• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Di Bawah Umur Korban Tsunami Di Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Di Bawah Umur Korban Tsunami Di Aceh"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

YUDHI MARZA HARCA

107011113/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUDHI MARZA HARCA

107011113/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Prof. Abdullah Syah, MA, PhD

(5)

Nama : YUDHI MARZA HARCA

Nim : 107011113

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR KORBAN

TSUNAMI DI ACEH

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang mekanisme perwalian anak dibawah umur korban tsunami di Aceh, menjelaskan aturan-aturan perwalian, penerapanya dimasyarakat, aturan aturan baru yang lahir setelah tsunami,serta pengawasan terhadap perwalian tersebut dan akibat hukumnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga. Sehingga pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, hal ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum. Perwalian merupakan suatu lembaga yang berupaya untuk mengurusi kepentingan anak yang belum dewasa, baik kepentingan pribadinya maupun kepentingan harta bendanya. wali wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan dan mengurus harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, Wali dapat dituntut oleh keluarga sianak ataupun anak itu sendiri atas kerugian yang ditimbulkan oleh wali. Kendati dalam peraturan perundang-undangan telah diatur permasalahan perwalian ini, akan tetapi pasca tsunami peraturan tentang perwalian ini tidak di indahkan dalam menanganinya sehingga banyak menyisakan pemasalahan hukum yang tidak terselesaikan. Khususnya masyarakat adat Aceh yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit-belit. Akibat kurangnya pemahaman dari masyarakat menyangkut hukum perwalian dan kurangnya kontrol dari pihak-pihak atau lembaga perwalian yang berwenang menjadi wali/wali pengawas serta kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat meyebabkan keberadaan perwalian anak yang berada di Gampong (desa) tidak terpantau baik kepengurusan maupun pengawasannya.

Disarankan agar Perlunya penyeragaman aturan hukum menyangkut perwalian sehingga tidak menyebabkan pluralisme hukum dimasyarakat. Perlunya sosialisasi kemasyarakat menyangkut perwalian secara formal sehingga tidak muncul anggapan, penyelesaian perkara perwalian di Pengadilan berbelit-belit dan sulit untuk dilaksanakan.Meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan masalah perwalian melalui peraturan perundang-undangan, yang mengatur kesepakatan kerjasama antara Baitul Mal dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan perwalian. Dengan demikian dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan terbangunnya kelembagaan yang akuntabel dan professional.

(7)

not able to take care of their property or their own environment. In other words, they have not yet been able to act legally; therefore, someone or a group of people are needed to take care of and guide them as guardians for the sake of their safety, their survival, and their property.

The research used descriptive analytic approach which described and analyzed the mechanism of the guardian of young children who are the victims of tsunami in Aceh and explained the regulations of guardianship, its application in society or new regulations existed after the tsunami occurred, the supervision of the guardian, and its legal consequences.

The result of the research showed that the guardianship was not conducted officially but based on the agreement among the members of the family. Consequently, the management of the children’s property with a guardianship is not conducted legally but whatever is available so that there is no legal certainty. Guardianship is an institution which attempts to take care of young children’s interest, either their personal interest or their property. A guardian is responsible for children’s welfare and for taking care of their property. A guardian can be sued by the children’s families or by the children themselves when he harms them. Although there is a regulation on guardianship, it has been ignored after the incident of tsunami so that there are many legal problems which cannot be solved. Specifically, Acehnese have simple characters that tend to think and to carry out something which is not difficult and complicated. Since they lack of understanding about guardianship, and the lack of control by the parties or the guardianship institutions that have the right to become the guardian/supervisor, and the lack of coordination among the institutions, the guardianship of children, either its management or its supervision, at Gampong (villages) cannot be controlled effectively.

It is recommended that the legal standardization of guardianship is needed so that there will be no pluralism in the society. The socialization about guardianship formally is also needed so that there will be no assumption that the guardianship case in the Court is very complicated and very difficult to be solved. Coordination among the government institutions regarding guardianship through legal provisions which regulate the cooperative agreement between Baitul Mal (Treasury) and the institutions related to guardianship should be increased in order that the quality of public service can be increased and accountable and professional institutions can be established.

(8)

berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS

PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR

KORBAN TSUNAMI DI ACEH”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu

persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih

yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat

dan amat terpelajar Bapak Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH., Bapak Prof. H. M.

Hasballah Thaib, MA.Ph.D., dan Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A. selaku Komisi

Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk

kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan

arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil

sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

(9)

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat

selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama

menjalani pendidikan.

7. Ketua Mahkamah Syariyah Banda Aceh beserta staf, Pimpinan Baitul mal Di

Kota Banda Aceh, beserta staf bagian pembiaaan dan seluruh responden dan

informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan

informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.

8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah

banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Teristimewa diucapkan dengan tulus hati terima kasi kepada kedua orang tua

penulis, H. Razali Harun dan ibunda Hj. Nurhayati Abdullah serta adik-adik tercinta Fitria Harca, SH.Dan Putra Ricky Harca, ST.yang selalu mengasihi dan mendoakan, serta memberikan nasehat dan motivasi untuk berbuat sesuatu yang

terbaik demi masa depan penulis dan dalam penyelesaian tesisi ini.

Serta terima kasih terhadap semua pihak yang tidak dapat disebut

(10)

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada

kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Maret 2013 Penulis,

(11)

Nama : Yudhi Marza Harca

Tempat / Tgl. Lahir : Banda Aceh, 10 Maret 1982.

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jalan Hasan Saleh Lr. H. Keuchik Man. Nomor 18. Neusu Aceh, Banda Aceh.

II. ORANG TUA

Nama Ayah : H. Razali Harun

Nama Ibu : Hj. Nurhayati Abdullah

III. PENDIDIKAN

SD Negeri 77 Banda Aceh Tamat Tahun 1994

SMP Negeri 3 Banda Aceh Tamat Tahun 1997

SMA Negeri 2 Banda Aceh Tamat Tahun 2000

S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Tamat Tahun 2006

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... ………….……… vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... ... 1

B. Rumusan Masalah ... . 10

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian . ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi………... 14

G. Metode Penelitian ... 24

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM PERWALIAN ANAK YANG TIDAK ADA ORANG TUANYA ... 28

A. Pengertian Anak dan Batasan Usia Anak ... 28

1. Pengertian Anak... 28

2. Batasan Usia Anak... 31

3. Hak-hak anak ... 35

B. Pengertian dan macam-macam perwalian ... 36

1. Pengertian Perwalian ... 36

2. Berbagai Macam Perwalian... 40

3. Asas-asas dalam perwalian ... 42

4. Syarat-Syarat Seorang Anak Memperoleh Perwalian 43 C. Dasar hukum perwalian ... 43

(13)

5. Landasan Hukum Menurut Undang-undang 23 tahun

2002 tentang perlindungan anak ... 50

6. Hukum Perwalian Dalam Qanun Aceh... 51

D. Tujuan dan Saat Berlakunya Perwalian ... 52

1. Tujuan Perwalian ... 52

2. Mulai Berlakunya Perwalian ... 54

BAB III PELAKSANAAN PERWALIAN ANAK DIBAWAH UMUR YANG TIDAK ADA LAGI ORANG TUANYA DI BANDA ACEH ... 56

A. Tinjauan Pelaksanaan Perwalian menurut Adat dan kebiasaan di Aceh ... 56

1. Pelaksanaan Penunjukan Wali Pada Mayarakat Aceh 56 2. Penunjukan Wali Oleh Pengadilan di Aceh ... 64

3. Prosedur Pengajuan Permohonan Perwalian Pada Makamah Syar’iyah... 72

4. Kedudukan Perempuan Dalam Perwalian ... 75

B. Orang yang ditunjuk sebagai wali, Kewajiban sebagai wali, serta larangannya ... 76

1. Yang ditunjuk sebagai wali ... 76

2. Syarat-syarat menjadi wali ... 81

3. Kewajiban wali ... 82

4. Larangan-larangan dalam perwalian... 84

C. Baitul Mal Sebagai Salah Satu Lembaga Perwalian Di Aceh 84 1. Tugas dan Kewenangan Baitul Mal... 84

2. Dasar Hukum Baitu Mal ... 89

(14)

BAB IV KENDALA DALAM PELAKSANAAN PERWALIAN

TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR KORBAN

TSUNAMI DI BANDA ACEH ... 107

1. Kendala Sarana Perundang-Undangan ... 107

2. Kurangnya Pemahaman Terhadap Perwalian di masyarakat ... 108

3. Kendala Kurangnya Koordinasi Antara Lembaga Yang Terlibat Dengan Masalah perwalian ... 110

4. Pengawasan Perwalian... 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA... 118

(15)

TABEL 2: Perkara Perwalian yang di putus oleh Mahkamah Syariah Kota

(16)

dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang mekanisme perwalian anak dibawah umur korban tsunami di Aceh, menjelaskan aturan-aturan perwalian, penerapanya dimasyarakat, aturan aturan baru yang lahir setelah tsunami,serta pengawasan terhadap perwalian tersebut dan akibat hukumnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga. Sehingga pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, hal ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum. Perwalian merupakan suatu lembaga yang berupaya untuk mengurusi kepentingan anak yang belum dewasa, baik kepentingan pribadinya maupun kepentingan harta bendanya. wali wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan dan mengurus harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, Wali dapat dituntut oleh keluarga sianak ataupun anak itu sendiri atas kerugian yang ditimbulkan oleh wali. Kendati dalam peraturan perundang-undangan telah diatur permasalahan perwalian ini, akan tetapi pasca tsunami peraturan tentang perwalian ini tidak di indahkan dalam menanganinya sehingga banyak menyisakan pemasalahan hukum yang tidak terselesaikan. Khususnya masyarakat adat Aceh yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit-belit. Akibat kurangnya pemahaman dari masyarakat menyangkut hukum perwalian dan kurangnya kontrol dari pihak-pihak atau lembaga perwalian yang berwenang menjadi wali/wali pengawas serta kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat meyebabkan keberadaan perwalian anak yang berada di Gampong (desa) tidak terpantau baik kepengurusan maupun pengawasannya.

Disarankan agar Perlunya penyeragaman aturan hukum menyangkut perwalian sehingga tidak menyebabkan pluralisme hukum dimasyarakat. Perlunya sosialisasi kemasyarakat menyangkut perwalian secara formal sehingga tidak muncul anggapan, penyelesaian perkara perwalian di Pengadilan berbelit-belit dan sulit untuk dilaksanakan.Meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan masalah perwalian melalui peraturan perundang-undangan, yang mengatur kesepakatan kerjasama antara Baitul Mal dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan perwalian. Dengan demikian dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan terbangunnya kelembagaan yang akuntabel dan professional.

(17)

not able to take care of their property or their own environment. In other words, they have not yet been able to act legally; therefore, someone or a group of people are needed to take care of and guide them as guardians for the sake of their safety, their survival, and their property.

The research used descriptive analytic approach which described and analyzed the mechanism of the guardian of young children who are the victims of tsunami in Aceh and explained the regulations of guardianship, its application in society or new regulations existed after the tsunami occurred, the supervision of the guardian, and its legal consequences.

The result of the research showed that the guardianship was not conducted officially but based on the agreement among the members of the family. Consequently, the management of the children’s property with a guardianship is not conducted legally but whatever is available so that there is no legal certainty. Guardianship is an institution which attempts to take care of young children’s interest, either their personal interest or their property. A guardian is responsible for children’s welfare and for taking care of their property. A guardian can be sued by the children’s families or by the children themselves when he harms them. Although there is a regulation on guardianship, it has been ignored after the incident of tsunami so that there are many legal problems which cannot be solved. Specifically, Acehnese have simple characters that tend to think and to carry out something which is not difficult and complicated. Since they lack of understanding about guardianship, and the lack of control by the parties or the guardianship institutions that have the right to become the guardian/supervisor, and the lack of coordination among the institutions, the guardianship of children, either its management or its supervision, at Gampong (villages) cannot be controlled effectively.

It is recommended that the legal standardization of guardianship is needed so that there will be no pluralism in the society. The socialization about guardianship formally is also needed so that there will be no assumption that the guardianship case in the Court is very complicated and very difficult to be solved. Coordination among the government institutions regarding guardianship through legal provisions which regulate the cooperative agreement between Baitul Mal (Treasury) and the institutions related to guardianship should be increased in order that the quality of public service can be increased and accountable and professional institutions can be established.

(18)

Gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan

dampak yang sangat dahsyat. Bukan saja ratusan ribu jiwa yang melayang dan

kerugian materiel yang tak pernah terbayangkan, tetapi juga meninggalkan puluhan

ribu anak yatim piatu, sehingga muncul pula berbagai persoalan dalam masalah

kewarisan dan perwalian.

Sebagaimana diketahui tsunami telah melahirkan serangkaian problem hukum

yang tidak teratasi oleh instrumen hukum yang tersedia sebelumnya. “Beberapa

persoalan yang menuntut penyelesaian secara cepat dan tepat adalah persoalan

hak-hak keperdataan korban dan keluarganya dimana hilangnya keluarga, atau keluarga

yang hanya menyisakan anak-anak, menuntut penyelesaian hukum, baik atas hak

kewarisan maupun hak perwalian sebagai upaya melindungi anak-anak korban itu di

masa yang akan datang”.1

Persoalan-persoalan di atas belum mendapatkan ruang penyelesaian hukum

yang memadai. “Belum adanya landasan hukum sebagai panduan untuk

menyelesaikan masalah-masalah itu menyebabkan masing - masing pihak di Aceh

1

(19)

berinisiatif dan berkreasi secara berbeda-beda dalam memandang dan menyelesaikan

masalah hukum tersebut”.2

Permasalahan perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup

anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa mengurus diri

sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan maupun

dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang

masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka

perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara

juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang

mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.

Pasca tsunami di Aceh masalah perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil

penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan

bersama dalam keluarga. “sehingga pengelolaan harta milik si anak yang

membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan

apa adanya, berdasarkan kesepakatan dan kenyakinan dalam masyarakat tersebut, hal

ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum.”3

Proses perwalian ini dilakukan karena telah menjadi suatu kebiasaan dalam

masyarakat adat, “bahwa ketentuan mengenai perwalian hanya dilakukan melalui

2

Ismailhasani,Sisa-Masalah-Hukum Pasca Tsunami,

(20)

musyawarah pihak keluarga, dan atau melibatkan petua kampung (tertua desa) dalam

menentukan pihak mana yang menjadi wali, baik dalam pengasuhan anak tersebut

atau pemeliharaan harta yang ditinggalkan. Sehingga seringkali antara satu daerah

(gampong) dengan daerah lain mempunyai ketentuan yang berbeda”.4

Dalam kasus tertentu, wali ditunjuk dengan proses adat. “dimana wali

tersebut, ditentukan oleh pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang dilaksanakan di

Meunasah (tempat ibadah) di pedesaan tersebut, yang melibatkan para petua

gampong (tertua desa) untuk mengkonfirmasi mengenai pengangkatan seorang wali

dalam keluarga tertentu.”5 Namun dalam kasus-kasus yang dipersengketakan maka

penunjukan wali diberi kewenangan kepada geuchik (kepala desa) dan/atau imeum

meunasah (Imam).

Sering kali dalam perwalian ini menjadi permasalahan jika seorang anak

memiliki warisan, seperti tanah, rekening bank, uang pensiun dan lain sebagainya.

Hal tersebut menyebabkan adanya klaim dari orang-orang tertentu yang ingin

menjadi wali. Ini dilakukan agar memungkinkan sebagai wali dapat menikmati pula

harta yang diwariskan kepada anak tersebut.

Menyangkut permasalahan-permasalahan yang terjadi pasca tsunami di Aceh,

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

4Ibid, hal. 6

5

(21)

Nomor 2 tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam rangka

pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara,

yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 48 tahun 2007. “Undang-Undang

ini merupakan payung hukum untuk penanganan permasalahan hukum seperti

Pertanahan, Perbankan serta Pewarisan dan Perwalian”.6

“Umumnya Undang-undang ini mengatur tentang permasalahan hukum dalam

penyelengaraan administrasi pemerintah, hak keperdataan, perwalian, pertanahan, dan

perbankan”.7

Sebagaimana ditegaskan dalam BAB V Pasal 31 Undang-undang nomor 48

tahun 2007, “anak dibawah umur yang orang tuanya telah meninggal atau tidak cakap

bertindak menurut hukum, maka harta kekayaannya dikelola oleh wali sesuai dengan

peraturan perundang undangan”.8

Dalam hal keluarga tidak mengajukan permohonan penetapan wali, maka

Baitulmal atau Balai Harta Peninggalan (BHP), sebagai wali pengawas mengajukan

permohonan penetapan wali kepada pengadilan.

Kemudian dalam pelaksanaan dari Undang-undang ini dikeluarkan Qanun

(Peraturan Daerah) yang mengatur Baitul Mal yaitu Qanun Aceh Nomor 10 tahun

6

Pengaturan Tentang Perwarisan, Perwalian dan Perbankan dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2007, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM,.terakhir di akses pada tanggal 26 oktober 2010.

7

Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 huruf .C.

8 Lihat Pasal 31 Undang-undang nomor 48 tahun 2007, tentang Penanganan Permasalahan Hukum

(22)

2007 tentang Baitul Mal. Pengertian tentang Baitul Mal terdapat pada Pasal 1 butir 11

Ketentuan Umum Qanun tersebut yaitu:

“Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan

untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan

untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim

piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada

wali berdasarkan Syariat Islam”.

Hal ini tidak terlepas dari perkembangan hukum di Aceh yang memiliki

keunikan sendiri jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, meskipun

Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak

terpisahkan dari sistem hukum Nasional, namun keberadaan hukum adat dan hukum

syari’at mendapat tempat yang strategis dalam peraturan perundang-undangan

Indonesia. Undang-undang Nomor. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor. 18

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), merupakan bentuk pengakuan terhadap

eksistensi hukum adat dan hukum syari’at, sebagai sistem hukum yang berlaku di

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini menggambarkan kewenangan yang luas

Provinsi NAD sesuai peraturan perundang-undangan, untuk mengatur dirinya sendiri

termasuk dalam bidang hukum. Implikasi lain dari diterapkan otonomi khusus bagi

Provinsi NAD adalah pengakuan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

(23)

samping itu pembentukan Majelis Adat Aceh (MAA) yang salah satu fungsinya

mengembangkan nilai adat istiadat juga ikut mewarnai otonomi khusus tersebut.

“Perkembangan hukum di Aceh di dasarkan atas 3 (tiga) sistem hukum yang telah berkembang di masyarakat (living law). yaitu berupa sistem Hukum Syari’ah, Hukum Nasional, dan Hukum Adat. Ketiga sistem hukum ini mempunyai paradigma sendiri, baik dalam teori maupun praktek. Harmonisasi ketiga sistem hukum tersebut untuk mensinergikan pembentukan dan penegakan hukum merupakan mainstream penting dalam pembentukan tatanan hukum di Aceh”.9

Menurut Hukum Islam perwalian terhadap anak meliputi perwalian terhadap

diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap

diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari

mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan

ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua

pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab siwali.

“Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri”.10

Menurut Arif Masdoeki “Perwalian adalah pengawasan terhadap anak

dibawah umur yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan

benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-undang”.11

9

Dinamika-pembangunan-hukum-di-nanggroe-aceh-darussalam-pasca-gempa-dan-tsunami-sebuah-refleksi-antara-cita-dan-realitas&catid=40:article&Itemid=294

http://www.isjn.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186: terakhir diakses tanggal 13 Desember 2011

10

Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh

http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.terakhir diakses 12 Januari 2012.

(24)

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 330 ayat (3) dinyatakan bahwa “Perwalian (voogdij) adalah pengawasan

terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua”.12

Sebagaimana juga dalam Undang- undang Nomor. 1 tahun 1974 Pasal 50-54

dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 107-112 yang menyatakan bahwa

perwalian adalah “sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi

kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak

mampu melakukan perbuatan hukum”.

Masalah perwalian ini telah diatur dalam peraturan perundangan-undang yang

ada di Indonesia baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan dalam Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata, bab kelima belas tentang

perwalian pada umumnya untuk anak-anak yang tidak berada di bawah kekuasaan

orang tua maka berlaku bagian kelima Pasal 359 yang menyatakan anak-anak yang

tidak bernaung dibawah kekuasaan orang tua dan perwaliannya tidak diatur dengan

cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah memanggil

keluarga sedarah ataupun semenda.

Anak yang berada dibawah perwalian adalah:

(1)Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang

tua;

(25)

(2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai;

(3) Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijke kind).

“Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali

apabila seorang wali-ibu (moedervoogd) kawin lagi, dalam hal mana suaminya

menjadi teman wali (medevoogd).13

“Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut

Undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi

anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke

Voogdij).14

Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang

tua yang mengakuinya. “Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan

orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas

permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve

voogdij)”.15

Tetapi ada juga kemungkinan, “seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya

mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian

menurut Wasiat(testamentair voogdij)”.16

13Anonim, Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum,Pengaturan Mengenai Perwalianditinjau

Dari Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata. terakhir diakses 12 September 2012.

14R.Subekti dan R. Tjitrosudibio,Op. Cit,hal. 103 15Ibid,hal. 103

(26)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku untuk lingkungan Pengadilan

Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pengangkatan wali terhadap anak yang

dibawah umur yang muslim Pada Bab XI mengatur pula masalah perwalian dalam

Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 sebagai berikut:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,

berada dibawah kekuasaan wali.

2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta

bendanya.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 33

mengatur pula masalah perwalian sebagai berikut:

1. Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

2. Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.

3. Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

4. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam ketentuan umum Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) huruf h

dikemukakan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan oleh seseorang

(27)

nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tuanya masih

hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Dalam kompilasi Hukum Islam BAB XV mengenai perwalian Pasal 107 juga

menegaskan sebagai berikut:

1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.

3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Bedasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dalam bentuk tesis dengan judul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian

Terhadap Anak di bawah Umur Korban Tsunami di Aceh.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hukum perwalian bagi anak yang tidak ada orang tuanya?

2. Bagaimana pelaksanaan perwalian terhadap anak korban tsunami yang tidak

ada orang tuanya di Aceh?

3. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perwalian terhadap anak

dibawah umur korban tsunami di Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini

(28)

1. Untuk mengetahui hukum perwalian bagi anak yang tidak ada orang tuanya.

2. Untuk mengetahui perwalian terhadap anak dibawah umur korban tsunami

yang tidak ada lagi orang.

3. Untuk mengetahui kendala didalam menentukan pengangkatan wali terhadap

anak dibawah umur yang menjadi korban tsunami di Aceh.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoritis,

Dari penelitian dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan ilmu

hukum dan dapat menambah pengetahuan dalam perwalian terhadap anak.

2. Secara praktis,

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi

masyarakat dan sebagai penyempurnaan aturan yang menyangkut perwalian

anak.

E. Keaslian penelitian

Dari hasil penelusuran keperpustakaan yang ada di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka

penelitian dengan judul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap

Anak Dibawah Umur Korban Tsunami di Aceh,belum pernah ada yang meneliti

sebelumnya.

Dari hasil penelusuran keaslian penulisan, penelitian yang menyangkut

(29)

Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara, yaitu:

1. Nama : Meifina Rosary

NIM : 057011053

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Thesis : “Tinjauan yuridis terhadap perwalian pada anak muslim dibawah umur menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam” (studi kasus di pengadilan Negeri Medan).

2. Nama : Salimah

NIM : 037011075

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Thesis : “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang ditemukan akibat Gempa dan Tsunami” (penelitian di Banda Aceh).

Namun tesis-tesis tersebut, berbeda baik judul, tempat penelitian, maupun

permasalahannya dengan penelitian ini. Adapun permasalahan yang diangkat dalam

tesis-tesis tersebut adalah:

Judul tesis Meifina Rosary “Tinjauan Yuridis Terhadap Perwalian Pada Anak

Muslim di bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam” (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan). Dengan

rumusan masalah:

1. Bagaimana tinjauan perwalian terhadap anak muslim dibawah umur menurut

(30)

2. Bagaimana cara pengangkatan terhadap wali bagi anak muslim di bawah

umur di Pengadilan Agama?

3. Apa yang menjadi pertimbangan hakim di Pengadilan Agama dalam

pengangkatan terhadap wali bagi anak muslim dibawah umur?

Judul tesis Salimah “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang ditemukan

akibat Gempa dan Tsunami” (penelitian di Banda Aceh). Dengan rumusan masalah:

1. Bagaimanakah kriteria anak korban gempa dan tsunami yang secara khusus

mendapat perlindungan hukum dan bagaimana bentuk perlindungan

hukumnya?

2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam upaya perlindungan hukum

terhadap anak yang diketemukan akibat gempa bumi dan tsunami?

3. Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Child Trafficking

(perdagangan anak) terhadap anak korban gempa dan tsunami?

Penulis tertarik membahas penelitian dengan judul “tinjauan yuridis

pelaksanaan perwalian terhadap anak dibawah umur pasca tsunami di Aceh” (studi di

Banda Aceh), khususnya dalam konteks perwalian di Aceh setelah bencana gempa

dan tsunami, yang menyebabkan sistem perwalian yang dilaksanakan pada umumnya

bukan dari hasil penunjukkan berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan

persetujuan bersama dalam keluarga atau komunitas dalam masyarakat setempat.

Dimana pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali, tidak dijalankan

sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, yang berdasarkan pada

(31)

memiliki suatu kepastian hukum, banyak anak-anak yang tidak memiliki orang tua

dan membutuhkan suatu kepastian hukum dalam kedudukan perwalian, maka

diperlukan suatu putusan hukum yang mengikat.

Berdasarkan pembuktian diatas dengan demikian penelitian ini adalah asli dan

dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui

proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu

masalah dan “suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang

dapat menunjukkan ketidak benarannya”.17

Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori

ialah:

“pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu”18.

Menurut J. Supranto “teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan

mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena

berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi

variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”19.

Otje Salman dan Anton F Susanto, mengutip pendapat W.L.Neuman yang

menyebutkan, bahwa:

17M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, Hal 203 18

W.J.S.Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal.1055.

(32)

“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang

berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan

mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir

tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”20.

Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori

menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut:

“Kerangka Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping

mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin

saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih

umum”.21

Menurut M Solly lubis. “Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau

butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang bagi

pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setujui

ataupun yang tidak disetujui, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti”.22

Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling

berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu

penjelasan atas segala gejala yang ada atau “seperangkat proposisi yang berisi konsep

abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antara variabel

sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang di gambarkan oleh

variabel dengan lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel

tersebut”.23

20

HR.Otje Salman S dan Anton F Susantop,Teori Hukum,Refika Aditama, Bandung, 2005, hal, 22.

21

Ibid,hal. 23.

22

M. Solly Lubis (I),Filsafat Ilmu Dan Penelitian,(Bandung ; Mandar Maju,1994), hal. 80,

(33)

Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan

suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan

berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas, adapun teori yang digunakan

teori Hukum Pembangunan yang dikemungkakan Mukhtar Kusumaatmaja yang

memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta

bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan terhadap

norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalamnya. Pada dasarnya “Teori

Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat(law as a tool of social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem

sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang”.24

Menurut Lilik Mulyadi yang mengutip pendapat Mukhtar Kusumaatmadja,

menyebutkan bahwa:

Tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.25

Hukum sebagai sarana pembaharuan terkait erat dengan cita-cita

pembangunan hukum nasional yang dapat menjawab kebutuhan hukum masyarakat,

seperti diketahui “masyarakat Indonesia adalah masyarakat yangpluralis dan dalam

24Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 5.

25

Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja,

(34)

budaya hukum Indonesia dikenal 3 (tiga) tradisi normatif, yaitu Hukum Adat

Pribumi, Hukum Islam dan Hukum Sipil Belanda”.26

“Bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan itu dapat berupa itikad baik

(tegoeder trouw)dalam berhukum untuk membangun sistem hukum yang baik, maka

diperlukan suatu basis yang kokoh yang diatasnya sistem hukum dapat dibangun”,27

dengan kata lain hukum sebagai teks dapat berjalan sebagai mana mestinya jika di

barengi dengan itikad baik dari pihak yang bersentuhan dengan hukum tersebut.

Bismar Nasution menyatakan “dalam memenuhi adanya kepastian hukum dan

ketertiban tersebut harus berdasarkan pada tindakan nyata dalam pelaksanaan

perwalian tersebut, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang berdasarkan pada

keadilan, keterbukaan, pertanggung jawaban dan tanggung jawab”.28

Selain itu menurut Andrian Suhedi Keadilan adalah :

Suatu ukuran normatif yang sering dikaitkan dengan good governanceuntuk dapat menciptakan keadilan diperlukan beberapa prasyarat yang saling terkait satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi, diantaranya berupa

1. Transparansi(transparancy); 2. Akuntanbilitas(accountanbility); 3. Kepastian(predictability); 4. Partisipasi(partisipation).29

Bekerjanya hukum tidak terlepas dari pelayanan yang diberikan kepada

masyarakat. Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa:

26

Ratno Lukito,Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Terjemahan Pustaka Alphabhet, Jakarta, 2008, hal. 9.

27

Satjipto Raharjo,Hukum dan Perilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik,Penerbit Kompas Media Nusantara, Jakarta,2009.

28

Bismar Nasution,Peranan Birokrasi dalam Mengupayakan Good Governace : Suatu Kajian dari Pandangan Hukum dan Moral, Makalah yang disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia”reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-Prinsip Good Governance”, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara.

29

(35)

“Hukum tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri

melainkan dengan dengan pemikiran dan pertimbangan apa yang baik yang

dilakukan bagi masyarakat, sehingga muncul persoalan bagaimana membuat

keputusan yang pada akhirnya bisa memberikan sumbangan terhadap efesiensi

produksi masyarakatnya”.30

Pelayanan hukum harus memenuhi rasa keadilan didalam masyarakat,

walaupun rasa keadilan itu sulit untuk dipastikan namun setidaknya harus memenuhi

suatu ukuran normatif yang hidup didalam masyarakat yang akan melahirkan suatu

kepastian hukum.

Banyak negara berkembang yang mencantumkan gagasan ideal negara

hukum, The Rule of Law pada konstitusi yang dibuatnya, namun hal tersebut tidak

menjadi jaminan, didalam pelaksanaannya ternyata banyak pihak yang tidak tunduk

dan taat terhadap hukum. Seperti yang dikemukakan Irmayani yang mengutip

pendapat Jan Michiel Otto “bahwa hanya ada sedikit kepastian hukum yang nyata di

Negara-negara berkembang karena terdapat ketidaksesuaian aturan hukum dengan

pelaksanaanya”.31

Ketiadaan hukum yang efektif untuk memberikan kepastian hukum bagi

masyarakat di Negara berkembang, menimbulkan sikap frustasi, pada kenyataannya

untuk menciptakan dan mendatangkan keadilan di masyarakat, “hukum pada saat ini

30

Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 146.

31 Irmayani, Akuntabilitas Tim Pengamat Kemasyarakatan (TPP) Pada Pelaksanaan

(36)

malah sering menjadi masalah daripada menyelesaikan masalah, bahkan tidak sedikit

yang bersikapaprioriterhadap hukum”.32

Senada dengan Irmayani yang juga mengutip pendapat Jan Michiel Otto,

bahwa :

Hukum menjadi tidak efektif karena faktor-faktor yang secara yuridik dan nonyuridik. Misalnya penegak hukum Negara-negara berkembang sering sekali kesulitan mencari dan menemukan aturan hukum mana yang berlaku dalam menghadapi situasi konkrit, begitupun dengan penerapan interprestasi yang digunakan. Setidaknya ada tiga jenis faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepastian hukum nyata yaitu:

1. Aturan-aturan hukum itu sendiri;

2. Instalasi-instalasi yang membentuk dan menerapkan hukum;

3. Lingkungan sosial yang lebih luas yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya.33

Perlindungan anak yang merupakan suatu bidang pembangunan nasional,

dimana hakikat pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya, yang

mana melindungi anak adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia

seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan

pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak menimbulkan

berbagai permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan

pembangunan nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya yaitu

melalui perwalian, yang harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan

Nasional.

Di samping teori utama yang dipergunakan sebagai alat analisis penelitian ini,

juga akan didukung dengan beberapa teori lain sebagai teori pendukung yaitu teori

(37)

perwalian. “Setiap orang harus ada walinya, wali itu dapat terdiri dari orang tuanya

atau orang lain yang ditunjuk oleh orang tuanya atau ditetapkan oleh Pengadilan.

Wali ini penting dalam hubungannya dengan perkawinan bila yang bersangkutan

perempuan, berkaitan dengan harta benda dan pewarisan”.34

Sebagaimana telah disebutkan bahwa teori perwalian sebagai teori

pendukung, teori ini penting diikut sertakan karena pada dasarnya semua orang harus

ada walinya. Wali terhadap anak secara realitas memang sangat dibutuhkan. Setiap

ada urusan tentang anak selalu dikaitkan dengan orang tua atau walinya.

Teori pendukung lain adalah teori keadilan. “Merupakan teori yang

menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan

mewujudkan perlindungan hak-hak anak”.35

“Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang

tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila

orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih

sayangnya”.36

Selain teori-teori diatas juga di ikutkan teori pengayoman. Menurut Soediman

Kartohadiprodjo:

Hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan di masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi, melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan

34 Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Ditinjau Dari Hukum Islam. http://www. repository.usu.ac.id, terakhir diakses tanggal 17 Maret 2012

35

Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah, Jilid 8, , Al-Maarif, Bandung, 1994, hal. 160.

36A. Hamid Sarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, Ringkasan

(38)

dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.37

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah

sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada

dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia

teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.38

Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud

dengan konsep. Menurut beliau, “sebuah konsep berkaitan dengan defenisi

operasional. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

digenaralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.39

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. ”Suatu

konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu

abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep

merupakan suatu uraian mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut”.40

Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas

masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu

masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan

untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka

37

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993, hal. 245.

38Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survey,LP3ES, Jakarta, 1999, hal 34 39

Sumandi Suryabrata,Metodelogi Penelitian,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 3.

(39)

penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa

variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan

perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu,

dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan

pandangan dalam menganalisa masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek

yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.

Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman

yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian

dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

a. Perwalian adalah:

“Kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau badan sebagai wakil dari

anak atau sebagai pengampu dari orang yang tidak cakap untuk melakukan

suatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau orang yang

tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak cakap melakukan

perbuatan hukum.”41

Secara etimologi pewalian dalam bahasa Indonesia ialah “segala sesuatu

yang menjadi urusan wali”.42 Dalam bahasa Arab disebut dengan Wilayah.

“Perwalian ialahAn-Nasrah(pertolongan)”.43

Secara terminologi (istilah) perwalian merupakan “Kekuasaan

melakukan akad dan transaksi, baik akad nikah maupun akad lainya tanpa

41

Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007, Tentang Baitul Mal.

42WJS. Poerwadarminta,Kamus Besar Bahasa Indonesia,PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 1147.

(40)

ketergantungan kepada orang lain. Para Fugaha (ahli Hukum Islam) juga

membagi perwalian atas perwalian diri pribadi dan atas harta”.44

b. “Wali adalah seseorang yang bertindak menggantikan orang tua sianak yang

belum dewasa atau belum akil baliq untuk melaksanakan perbuatan hukum”.45

c. Pengertian anak adalah “seseorang yang masih dibawah usia tertentu dan belum

dewasa serta belum kawin”.46

Pengertian anak secara khusus adalah sebagai berikut :

Menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, dan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu: “Anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak

yang ada dalam kandungan”.

d. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

e. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi

dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak

mempunyai dua makna yang asasi yaitu: “(1) sekumpulan kaidah dan nash

yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan manusia

44Zakiyuddin Sya’ban,Al-hakam as-syar’iyyahll ahwal asSyakhshiyyah, Dar an- Nahdhah al-arabiyah, Kairo, 1969, hal, 214.

45

Yan Pramudya Puspa,kamus hukum, cv. Aneka, Semarang , 1977, hal 894. 46

(41)

sesama manusia baik mengenai orang maupun harta bendanya, (2) kekuasaan

menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang bagi selainnya.”47

f. Peraturan perundang-undangan adalah aturan-aturan atau norma-norma yang

diterbitkan atau dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur permasalahan

yang berkembang didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Peraturan hukum adalah memberikan tata tertib dan menjamin

adanya kepastian hukum didalam masyarakat tetap dipelihara sebaik-baiknya

dengan harapan setiap warga taat mematuhi peraturan hukum yang berlaku.

g. Qanun adalah adalah “Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang

di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka

penyelenggaraan otonomi khusus”.48

h. Baitul Mal adalah “Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan

untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan

tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap

anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan

yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam”.49

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian adalah yuridis normatif, dengan menggunakan “pendekatan

perundang-undangan (statue approach)”,50 yang mengfokuskan pada mengumpulkan

47

Iman Jauhari,Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 86-87.

48

Pasal 1 angka 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi khusus Bagi provinsi daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

49

Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul Mal.

(42)

semua perundang-undangan yang terkait dengan perwalian, kemudian menganalisa

hukum baik yang tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi

pelaksanaannya di Indonesia maupun hukum yang diputuskan melalui proses

pengadilan.

Penelitian ini mengunakan metode deskriptif analitis, yang maksudnya adalah

“suatu analisis data yang tidak keluar dari suatu ruang lingkup sampelyang

berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan

seperangkat data atau menunjukan kamparasi datayang ada hubungannya dengan

seperangkat data lain”.51

Dengan demikian penelitian ini diarahkan untuk menggambarkan dan

sekaligus juga menganalisis fakta-fakta tentang perwalian dalam menjalankan fungsi

dan tanggung jawabnya sebagai wali dari anak dibawah umur. Sehingga pada

akhirnya didapatkan gambaran tersebut dengan melihat kepada pemenuhan

kebutuhan masyarakat terhadap aturan hukum tentang perwalian ini.

2. Sumber Data

Dalam penulisan ini sumber data yang digunakan diperoleh dari data sekunder

yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier

dan data primer, yaitu sebagai berikut:

1. Data Sekunder,

Terdiri dari bahan hukum primer, merupakan bahan hukum terkait, yang

terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki

perundang-undangan.

(43)

Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi seperti buku-buku teks, kamus-kamus

hukum, hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum,

makalah, majalah dan sebagainya, serta dokumen-dokumen lainnya yang

berkaitan tentang masalah.

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu mencakup bahan

yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus umum dan eksiklopedia dalam penelitian ini.

2. Data Primer

Data primer dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara langsung

terhadap pihak terkait untuk melakukan dan memastikan validasi terhadap data

sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan pemecahan masalah.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

Menurut Bambang Waiuyo.“Sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif,

teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

penelitian kepustakaan (Library Research) yakni upaya untuk memperoleh data

dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah,

koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.”52

b. Wawancara

Disamping studi kepustakaan, penelitian ini juga melakukan “wawancara”53

untuk mendapatkan data pendukung menjamin ketepatan dan keabsahan hasil

52Bambang Waiuyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 14. 53

(44)

wawancara, maka wawancara dilakukan dengan narasumber yang memiliki

kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai, yaitu:

1. Ketua Mahkamah Syar’iyah kota Banda Aceh;

2. Anggota Baitul Mal kota Banda Aceh;

3. Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh.

4. Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriftif analistis, dimana

analisis data merupakan sebuah “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan”54.

Menurut Koentjoroningrat. “Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan

pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, baik dari inventarisasi peraturan

perundang-undangan dan karya ilmiah yang berkaitan dengan judul penelitian, baik

media cetak dan laporan-laporan penelitian lainnya mendukung studi pustaka

kemudian wawancara digunakan untuk mendukung analisis data.”55

54Lexy Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,Penebit Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004. hal, 103.

(45)

BAB II

TINJAUAN TENTANG HUKUM PERWALIAN BAGI ANAK YANG TIDAK ADA ORANG TUANYA

A. Pengertian Anak dan Batasan Usia Anak

1. Pengertian Anak

Berbicara masalah perwalian maka tidak telepas dari pembahasan anak dan

batas usia seorang anak, ini penting karena untuk mengetahui bilamana seseorang

anak diletakkan dibawah perwalian dan dapat mempertangung jawabkan suatu suatu

perbuatanya.

Dalam bahasa arab “anak disebut walad, satu kata yang mengandung

penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangannya

kearah abadi Allah yang saleh”.56

Dengan memandang anak dan kaitannya dengan perkembangan membawa arti

sebagai berikut:

1) “Anak diberikan tempat khusus yang berbeda dengan kehidupan dengan orang

dewasa;

2) Anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para

pendidiknya, artinya kehidupan anak tidak dipenggal dan dilepaskan dari

dunianya serta dimensi dan prospeknya.”57

Dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang

ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telaah dari sisi pandang

56

Iman Jauhari,Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,Op, Cit, hal. 81

(46)

sentralistis kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosiologi menjadikan pengertian

anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Untuk meletakkan anak

kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur internal maupun

eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak

tersebut.Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Unsur internal pada diri anak yaitu anak sebagai subjek hukum atau sebagai

manusia, anak juga digolongkan sebagai Human Right yang terkait dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada

anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam

perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Persamaan

hak dan kewajiban anak, anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama

dengan dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum. maka hukum

meletakan anak dalam posisi sebagai perantara hukum untuk dapat disejajarkan

dengan kedudukan orang dewasa atau untuk disebut sebagai subjek hukum.

b. Unsur eksternal pada diri anak ini didasarkan pada ketentuan hukum atau

persamaan kedudukan dalam hukumEquality Before The Lawdapat memberikan

legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat

peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu

sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang memuat perincian tentang

klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang

(47)

pemerintah yang timbul dari Undang Undang Dasar dan peraturan

perundang-undangan.

Untuk dapat memahami pengertian tentang anak itu sendiri sehingga

mendekati makna yang benar, diperlukan suatu pengelompokan yang dapat dilihat

dari berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek agama, ekonomi, sosiologis dan hukum

dimana pengertian dari masing-masing aspek memiliki perbedaan baik dari subtansi,

fungsi, makna dan tujuannya misalnya “pengertian anak menurut agama diartikan

sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang arif dan berkedudukan mulia yang

keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan

kehendak Tuhan Yang Maha Esa”.58

Berbeda halnya dalam kaitannya kedudukan anak dalam status sosial yang

memposisikan anak sebagai kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari

masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi, ini disebabkan karena keterbatasan

kemampuannya dalam proses pertumbuhan, belajar dan sosialisasisnya, akibat usia

yang belum dewasa.

Dalam pengertian ekonomi anak cenderung dianggap kepada golongan yang

tidak produktif, maka oleh itu dianggap perlu adanya pengaturan untuk terciptanya

kesejahteraan dari anak tersebut supaya tidak menjadi korban dari tindakan keluarga,

masyarakat, bangsa dan negara untuk melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan

produktifitas yang dapat menghasilkan nilai-nilai ekomomi.

58 Salimah, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Ditemukan Akibat Gempa Dan

(48)

Dalam pengertian politik anak pada umumnya diartikan sebgai seseorang

yang masih dibawah usia tertentu, belum dewasa dan belum kawin. Aminah Azis

meyebutkan “Mengenai batas usia tertentu dibagi kedalam dua katagori yaitu batas

usia termuda dimana pada usia ini anak tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban

atas tindakan yang dilakukannya, sedangkan batas umur keatas adalah untuk

menetapkan siapa saja yang sampai batas ini diberikan kedudukan sehingga

diperlakukan secara khusus”.59

2. Batasan Usia Anak

Menyangkut masalah pengertian anak ini dan batas umurnya masih

mempunyai ketidak seragaman pendapat, baik itu pendapat para pakar dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku Senada dengan ini Muhammad Hasan Wadong

juga menyebutkan batas usia anak dapat dikelompokan yaitu “pengelompokan usia

maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak

tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau dapat menjadi subjek hukum yang

dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum

yang dilakukan anak tersebut”.60

Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi Hak-hak Anak yang diadopsi oleh

Majelis Umum Peserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 yang

menyebutkan anak merupakan orang berusia dibawah 18 tahun, kecuali yang berlaku

bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

59Aminah Azis,Op. Cit, hal. 19

(49)

Sedangkan membicarakan batas umur dari anak menurut peraturan

perundang-undangan juga memiliki perbedaan dari pembatasan usia anak ini didasari

dari maksud dan tujuan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut,

untuk meletakkan batas usia seoarang anak ini meyebabkan pluralitas dalam

menentukan batas usia seorang anak dimana diantaranya:

a. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

“Pasal 330 ayat (1) menyebutkan batas antara belum dewasa (minderjarigheid)

dengan usia telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun Kecuali anak

tesebut telah kawin sebelum usianya 21 tahun atau karena pendewasaan (Venia

Aetatis).”61 Pendewasaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 419 KUH Perdata.

“Dengan melakukan perlunakan seorang anak belum dewasa boleh dikatakan

dewasa atau bolehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu”. Yang

mana perlu atas anak yang belum dewasa tersebut dinyatakan dewasa dengan

surat-surat pernyataan dewasa (Venia Aetatis) yang diberikan oleh Presiden

setelah mendengarkan nasehat dari Makamah Agung sebagaimana tersebut

didalam Pasal 420 KUH Perdata.

Dari ketentuan yang tersebut pada Pasal 330 diatas dapat diketahui bahwa

batasan umur anak merupakan mereka yang belum berumur 21 tahun, hal ini

61Nashriana, Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Penjara Terhadap

Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba,

Gambar

Table 1: Perwalian Dalam Masyarakat Aceh90
Table 2: Perkara Perwalian yang di putus oleh Mahkamah Syariah Kota

Referensi

Dokumen terkait

OCB dapat meningkatkan produktifitas tenaga kerja, menghemat sumber daya perusahaan, OCB dapat bekerja secara efektif, dalam mengkoordinasikan kegiatan antar

Dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification, jenis batubara

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis penelitian diperoleh t_hitung>t_tabel (14,211>1,988), maka dapat disimpulkan bahwa H_0 ditolak dan H_1 diterima yang

Entah mengapa, dengan melihat ratu pada saat itu, Jumri Tang jadi teringat kepada anak perempuannya , si So- lung, yang ditinggalkannya bersama adiknya si Bongsu di

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang terdapat dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Pihak kedua akan memberikan supervisi yang diperlukan serta akan melakukan evaluasi akuntabilitas kinerja terhadap capaian kinerja dari perjanjian ini dan mengambil tindakan

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa indeks kepuasan masyarakat pada pelayanan pembuatan akta kelahiran Dispendukcapil Surabaya adalah baik. Perlu adanya

Manajerial Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pedoman Perumusan Standar Kompetensi Teknis Pega.wai Negeri