TESIS
Oleh
YUDHI MARZA HARCA
107011113/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
YUDHI MARZA HARCA
107011113/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH
Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Prof. Abdullah Syah, MA, PhD
Nama : YUDHI MARZA HARCA
Nim : 107011113
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR KORBAN
TSUNAMI DI ACEH
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.
Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang mekanisme perwalian anak dibawah umur korban tsunami di Aceh, menjelaskan aturan-aturan perwalian, penerapanya dimasyarakat, aturan aturan baru yang lahir setelah tsunami,serta pengawasan terhadap perwalian tersebut dan akibat hukumnya.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga. Sehingga pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, hal ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum. Perwalian merupakan suatu lembaga yang berupaya untuk mengurusi kepentingan anak yang belum dewasa, baik kepentingan pribadinya maupun kepentingan harta bendanya. wali wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan dan mengurus harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, Wali dapat dituntut oleh keluarga sianak ataupun anak itu sendiri atas kerugian yang ditimbulkan oleh wali. Kendati dalam peraturan perundang-undangan telah diatur permasalahan perwalian ini, akan tetapi pasca tsunami peraturan tentang perwalian ini tidak di indahkan dalam menanganinya sehingga banyak menyisakan pemasalahan hukum yang tidak terselesaikan. Khususnya masyarakat adat Aceh yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit-belit. Akibat kurangnya pemahaman dari masyarakat menyangkut hukum perwalian dan kurangnya kontrol dari pihak-pihak atau lembaga perwalian yang berwenang menjadi wali/wali pengawas serta kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat meyebabkan keberadaan perwalian anak yang berada di Gampong (desa) tidak terpantau baik kepengurusan maupun pengawasannya.
Disarankan agar Perlunya penyeragaman aturan hukum menyangkut perwalian sehingga tidak menyebabkan pluralisme hukum dimasyarakat. Perlunya sosialisasi kemasyarakat menyangkut perwalian secara formal sehingga tidak muncul anggapan, penyelesaian perkara perwalian di Pengadilan berbelit-belit dan sulit untuk dilaksanakan.Meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan masalah perwalian melalui peraturan perundang-undangan, yang mengatur kesepakatan kerjasama antara Baitul Mal dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan perwalian. Dengan demikian dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan terbangunnya kelembagaan yang akuntabel dan professional.
not able to take care of their property or their own environment. In other words, they have not yet been able to act legally; therefore, someone or a group of people are needed to take care of and guide them as guardians for the sake of their safety, their survival, and their property.
The research used descriptive analytic approach which described and analyzed the mechanism of the guardian of young children who are the victims of tsunami in Aceh and explained the regulations of guardianship, its application in society or new regulations existed after the tsunami occurred, the supervision of the guardian, and its legal consequences.
The result of the research showed that the guardianship was not conducted officially but based on the agreement among the members of the family. Consequently, the management of the children’s property with a guardianship is not conducted legally but whatever is available so that there is no legal certainty. Guardianship is an institution which attempts to take care of young children’s interest, either their personal interest or their property. A guardian is responsible for children’s welfare and for taking care of their property. A guardian can be sued by the children’s families or by the children themselves when he harms them. Although there is a regulation on guardianship, it has been ignored after the incident of tsunami so that there are many legal problems which cannot be solved. Specifically, Acehnese have simple characters that tend to think and to carry out something which is not difficult and complicated. Since they lack of understanding about guardianship, and the lack of control by the parties or the guardianship institutions that have the right to become the guardian/supervisor, and the lack of coordination among the institutions, the guardianship of children, either its management or its supervision, at Gampong (villages) cannot be controlled effectively.
It is recommended that the legal standardization of guardianship is needed so that there will be no pluralism in the society. The socialization about guardianship formally is also needed so that there will be no assumption that the guardianship case in the Court is very complicated and very difficult to be solved. Coordination among the government institutions regarding guardianship through legal provisions which regulate the cooperative agreement between Baitul Mal (Treasury) and the institutions related to guardianship should be increased in order that the quality of public service can be increased and accountable and professional institutions can be established.
berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS
PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR
KORBAN TSUNAMI DI ACEH”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih
yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat
dan amat terpelajar Bapak Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH., Bapak Prof. H. M.
Hasballah Thaib, MA.Ph.D., dan Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A. selaku Komisi
Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk
kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil
sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat
selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menjalani pendidikan.
7. Ketua Mahkamah Syariyah Banda Aceh beserta staf, Pimpinan Baitul mal Di
Kota Banda Aceh, beserta staf bagian pembiaaan dan seluruh responden dan
informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan
informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.
8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah
banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Teristimewa diucapkan dengan tulus hati terima kasi kepada kedua orang tua
penulis, H. Razali Harun dan ibunda Hj. Nurhayati Abdullah serta adik-adik tercinta Fitria Harca, SH.Dan Putra Ricky Harca, ST.yang selalu mengasihi dan mendoakan, serta memberikan nasehat dan motivasi untuk berbuat sesuatu yang
terbaik demi masa depan penulis dan dalam penyelesaian tesisi ini.
Serta terima kasih terhadap semua pihak yang tidak dapat disebut
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Maret 2013 Penulis,
Nama : Yudhi Marza Harca
Tempat / Tgl. Lahir : Banda Aceh, 10 Maret 1982.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jalan Hasan Saleh Lr. H. Keuchik Man. Nomor 18. Neusu Aceh, Banda Aceh.
II. ORANG TUA
Nama Ayah : H. Razali Harun
Nama Ibu : Hj. Nurhayati Abdullah
III. PENDIDIKAN
SD Negeri 77 Banda Aceh Tamat Tahun 1994
SMP Negeri 3 Banda Aceh Tamat Tahun 1997
SMA Negeri 2 Banda Aceh Tamat Tahun 2000
S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Tamat Tahun 2006
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... ………….……… vii
DAFTAR TABEL ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... ... 1
B. Rumusan Masalah ... . 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Manfaat Penelitian . ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi………... 14
G. Metode Penelitian ... 24
BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM PERWALIAN ANAK YANG TIDAK ADA ORANG TUANYA ... 28
A. Pengertian Anak dan Batasan Usia Anak ... 28
1. Pengertian Anak... 28
2. Batasan Usia Anak... 31
3. Hak-hak anak ... 35
B. Pengertian dan macam-macam perwalian ... 36
1. Pengertian Perwalian ... 36
2. Berbagai Macam Perwalian... 40
3. Asas-asas dalam perwalian ... 42
4. Syarat-Syarat Seorang Anak Memperoleh Perwalian 43 C. Dasar hukum perwalian ... 43
5. Landasan Hukum Menurut Undang-undang 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak ... 50
6. Hukum Perwalian Dalam Qanun Aceh... 51
D. Tujuan dan Saat Berlakunya Perwalian ... 52
1. Tujuan Perwalian ... 52
2. Mulai Berlakunya Perwalian ... 54
BAB III PELAKSANAAN PERWALIAN ANAK DIBAWAH UMUR YANG TIDAK ADA LAGI ORANG TUANYA DI BANDA ACEH ... 56
A. Tinjauan Pelaksanaan Perwalian menurut Adat dan kebiasaan di Aceh ... 56
1. Pelaksanaan Penunjukan Wali Pada Mayarakat Aceh 56 2. Penunjukan Wali Oleh Pengadilan di Aceh ... 64
3. Prosedur Pengajuan Permohonan Perwalian Pada Makamah Syar’iyah... 72
4. Kedudukan Perempuan Dalam Perwalian ... 75
B. Orang yang ditunjuk sebagai wali, Kewajiban sebagai wali, serta larangannya ... 76
1. Yang ditunjuk sebagai wali ... 76
2. Syarat-syarat menjadi wali ... 81
3. Kewajiban wali ... 82
4. Larangan-larangan dalam perwalian... 84
C. Baitul Mal Sebagai Salah Satu Lembaga Perwalian Di Aceh 84 1. Tugas dan Kewenangan Baitul Mal... 84
2. Dasar Hukum Baitu Mal ... 89
BAB IV KENDALA DALAM PELAKSANAAN PERWALIAN
TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR KORBAN
TSUNAMI DI BANDA ACEH ... 107
1. Kendala Sarana Perundang-Undangan ... 107
2. Kurangnya Pemahaman Terhadap Perwalian di masyarakat ... 108
3. Kendala Kurangnya Koordinasi Antara Lembaga Yang Terlibat Dengan Masalah perwalian ... 110
4. Pengawasan Perwalian... 111
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114
A. Kesimpulan ... 114
B. Saran ... 116
DAFTAR PUSTAKA... 118
TABEL 2: Perkara Perwalian yang di putus oleh Mahkamah Syariah Kota
dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.
Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang mekanisme perwalian anak dibawah umur korban tsunami di Aceh, menjelaskan aturan-aturan perwalian, penerapanya dimasyarakat, aturan aturan baru yang lahir setelah tsunami,serta pengawasan terhadap perwalian tersebut dan akibat hukumnya.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga. Sehingga pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, hal ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum. Perwalian merupakan suatu lembaga yang berupaya untuk mengurusi kepentingan anak yang belum dewasa, baik kepentingan pribadinya maupun kepentingan harta bendanya. wali wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan dan mengurus harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, Wali dapat dituntut oleh keluarga sianak ataupun anak itu sendiri atas kerugian yang ditimbulkan oleh wali. Kendati dalam peraturan perundang-undangan telah diatur permasalahan perwalian ini, akan tetapi pasca tsunami peraturan tentang perwalian ini tidak di indahkan dalam menanganinya sehingga banyak menyisakan pemasalahan hukum yang tidak terselesaikan. Khususnya masyarakat adat Aceh yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit-belit. Akibat kurangnya pemahaman dari masyarakat menyangkut hukum perwalian dan kurangnya kontrol dari pihak-pihak atau lembaga perwalian yang berwenang menjadi wali/wali pengawas serta kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat meyebabkan keberadaan perwalian anak yang berada di Gampong (desa) tidak terpantau baik kepengurusan maupun pengawasannya.
Disarankan agar Perlunya penyeragaman aturan hukum menyangkut perwalian sehingga tidak menyebabkan pluralisme hukum dimasyarakat. Perlunya sosialisasi kemasyarakat menyangkut perwalian secara formal sehingga tidak muncul anggapan, penyelesaian perkara perwalian di Pengadilan berbelit-belit dan sulit untuk dilaksanakan.Meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan masalah perwalian melalui peraturan perundang-undangan, yang mengatur kesepakatan kerjasama antara Baitul Mal dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan perwalian. Dengan demikian dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan terbangunnya kelembagaan yang akuntabel dan professional.
not able to take care of their property or their own environment. In other words, they have not yet been able to act legally; therefore, someone or a group of people are needed to take care of and guide them as guardians for the sake of their safety, their survival, and their property.
The research used descriptive analytic approach which described and analyzed the mechanism of the guardian of young children who are the victims of tsunami in Aceh and explained the regulations of guardianship, its application in society or new regulations existed after the tsunami occurred, the supervision of the guardian, and its legal consequences.
The result of the research showed that the guardianship was not conducted officially but based on the agreement among the members of the family. Consequently, the management of the children’s property with a guardianship is not conducted legally but whatever is available so that there is no legal certainty. Guardianship is an institution which attempts to take care of young children’s interest, either their personal interest or their property. A guardian is responsible for children’s welfare and for taking care of their property. A guardian can be sued by the children’s families or by the children themselves when he harms them. Although there is a regulation on guardianship, it has been ignored after the incident of tsunami so that there are many legal problems which cannot be solved. Specifically, Acehnese have simple characters that tend to think and to carry out something which is not difficult and complicated. Since they lack of understanding about guardianship, and the lack of control by the parties or the guardianship institutions that have the right to become the guardian/supervisor, and the lack of coordination among the institutions, the guardianship of children, either its management or its supervision, at Gampong (villages) cannot be controlled effectively.
It is recommended that the legal standardization of guardianship is needed so that there will be no pluralism in the society. The socialization about guardianship formally is also needed so that there will be no assumption that the guardianship case in the Court is very complicated and very difficult to be solved. Coordination among the government institutions regarding guardianship through legal provisions which regulate the cooperative agreement between Baitul Mal (Treasury) and the institutions related to guardianship should be increased in order that the quality of public service can be increased and accountable and professional institutions can be established.
Gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan
dampak yang sangat dahsyat. Bukan saja ratusan ribu jiwa yang melayang dan
kerugian materiel yang tak pernah terbayangkan, tetapi juga meninggalkan puluhan
ribu anak yatim piatu, sehingga muncul pula berbagai persoalan dalam masalah
kewarisan dan perwalian.
Sebagaimana diketahui tsunami telah melahirkan serangkaian problem hukum
yang tidak teratasi oleh instrumen hukum yang tersedia sebelumnya. “Beberapa
persoalan yang menuntut penyelesaian secara cepat dan tepat adalah persoalan
hak-hak keperdataan korban dan keluarganya dimana hilangnya keluarga, atau keluarga
yang hanya menyisakan anak-anak, menuntut penyelesaian hukum, baik atas hak
kewarisan maupun hak perwalian sebagai upaya melindungi anak-anak korban itu di
masa yang akan datang”.1
Persoalan-persoalan di atas belum mendapatkan ruang penyelesaian hukum
yang memadai. “Belum adanya landasan hukum sebagai panduan untuk
menyelesaikan masalah-masalah itu menyebabkan masing - masing pihak di Aceh
1
berinisiatif dan berkreasi secara berbeda-beda dalam memandang dan menyelesaikan
masalah hukum tersebut”.2
Permasalahan perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup
anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa mengurus diri
sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan maupun
dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang
masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka
perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara
juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang
mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.
Pasca tsunami di Aceh masalah perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil
penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan
bersama dalam keluarga. “sehingga pengelolaan harta milik si anak yang
membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan
apa adanya, berdasarkan kesepakatan dan kenyakinan dalam masyarakat tersebut, hal
ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum.”3
Proses perwalian ini dilakukan karena telah menjadi suatu kebiasaan dalam
masyarakat adat, “bahwa ketentuan mengenai perwalian hanya dilakukan melalui
2
Ismailhasani,Sisa-Masalah-Hukum Pasca Tsunami,
musyawarah pihak keluarga, dan atau melibatkan petua kampung (tertua desa) dalam
menentukan pihak mana yang menjadi wali, baik dalam pengasuhan anak tersebut
atau pemeliharaan harta yang ditinggalkan. Sehingga seringkali antara satu daerah
(gampong) dengan daerah lain mempunyai ketentuan yang berbeda”.4
Dalam kasus tertentu, wali ditunjuk dengan proses adat. “dimana wali
tersebut, ditentukan oleh pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang dilaksanakan di
Meunasah (tempat ibadah) di pedesaan tersebut, yang melibatkan para petua
gampong (tertua desa) untuk mengkonfirmasi mengenai pengangkatan seorang wali
dalam keluarga tertentu.”5 Namun dalam kasus-kasus yang dipersengketakan maka
penunjukan wali diberi kewenangan kepada geuchik (kepala desa) dan/atau imeum
meunasah (Imam).
Sering kali dalam perwalian ini menjadi permasalahan jika seorang anak
memiliki warisan, seperti tanah, rekening bank, uang pensiun dan lain sebagainya.
Hal tersebut menyebabkan adanya klaim dari orang-orang tertentu yang ingin
menjadi wali. Ini dilakukan agar memungkinkan sebagai wali dapat menikmati pula
harta yang diwariskan kepada anak tersebut.
Menyangkut permasalahan-permasalahan yang terjadi pasca tsunami di Aceh,
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4Ibid, hal. 6
5
Nomor 2 tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam rangka
pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara,
yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 48 tahun 2007. “Undang-Undang
ini merupakan payung hukum untuk penanganan permasalahan hukum seperti
Pertanahan, Perbankan serta Pewarisan dan Perwalian”.6
“Umumnya Undang-undang ini mengatur tentang permasalahan hukum dalam
penyelengaraan administrasi pemerintah, hak keperdataan, perwalian, pertanahan, dan
perbankan”.7
Sebagaimana ditegaskan dalam BAB V Pasal 31 Undang-undang nomor 48
tahun 2007, “anak dibawah umur yang orang tuanya telah meninggal atau tidak cakap
bertindak menurut hukum, maka harta kekayaannya dikelola oleh wali sesuai dengan
peraturan perundang undangan”.8
Dalam hal keluarga tidak mengajukan permohonan penetapan wali, maka
Baitulmal atau Balai Harta Peninggalan (BHP), sebagai wali pengawas mengajukan
permohonan penetapan wali kepada pengadilan.
Kemudian dalam pelaksanaan dari Undang-undang ini dikeluarkan Qanun
(Peraturan Daerah) yang mengatur Baitul Mal yaitu Qanun Aceh Nomor 10 tahun
6
Pengaturan Tentang Perwarisan, Perwalian dan Perbankan dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2007, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM,.terakhir di akses pada tanggal 26 oktober 2010.
7
Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 huruf .C.
8 Lihat Pasal 31 Undang-undang nomor 48 tahun 2007, tentang Penanganan Permasalahan Hukum
2007 tentang Baitul Mal. Pengertian tentang Baitul Mal terdapat pada Pasal 1 butir 11
Ketentuan Umum Qanun tersebut yaitu:
“Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan
untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan
untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim
piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada
wali berdasarkan Syariat Islam”.
Hal ini tidak terlepas dari perkembangan hukum di Aceh yang memiliki
keunikan sendiri jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, meskipun
Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak
terpisahkan dari sistem hukum Nasional, namun keberadaan hukum adat dan hukum
syari’at mendapat tempat yang strategis dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia. Undang-undang Nomor. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor. 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), merupakan bentuk pengakuan terhadap
eksistensi hukum adat dan hukum syari’at, sebagai sistem hukum yang berlaku di
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini menggambarkan kewenangan yang luas
Provinsi NAD sesuai peraturan perundang-undangan, untuk mengatur dirinya sendiri
termasuk dalam bidang hukum. Implikasi lain dari diterapkan otonomi khusus bagi
Provinsi NAD adalah pengakuan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
samping itu pembentukan Majelis Adat Aceh (MAA) yang salah satu fungsinya
mengembangkan nilai adat istiadat juga ikut mewarnai otonomi khusus tersebut.
“Perkembangan hukum di Aceh di dasarkan atas 3 (tiga) sistem hukum yang telah berkembang di masyarakat (living law). yaitu berupa sistem Hukum Syari’ah, Hukum Nasional, dan Hukum Adat. Ketiga sistem hukum ini mempunyai paradigma sendiri, baik dalam teori maupun praktek. Harmonisasi ketiga sistem hukum tersebut untuk mensinergikan pembentukan dan penegakan hukum merupakan mainstream penting dalam pembentukan tatanan hukum di Aceh”.9
Menurut Hukum Islam perwalian terhadap anak meliputi perwalian terhadap
diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap
diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari
mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan
ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua
pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab siwali.
“Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri”.10
Menurut Arif Masdoeki “Perwalian adalah pengawasan terhadap anak
dibawah umur yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan
benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-undang”.11
9
Dinamika-pembangunan-hukum-di-nanggroe-aceh-darussalam-pasca-gempa-dan-tsunami-sebuah-refleksi-antara-cita-dan-realitas&catid=40:article&Itemid=294
http://www.isjn.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186: terakhir diakses tanggal 13 Desember 2011
10
Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh
http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.terakhir diakses 12 Januari 2012.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 330 ayat (3) dinyatakan bahwa “Perwalian (voogdij) adalah pengawasan
terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua”.12
Sebagaimana juga dalam Undang- undang Nomor. 1 tahun 1974 Pasal 50-54
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 107-112 yang menyatakan bahwa
perwalian adalah “sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi
kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak
mampu melakukan perbuatan hukum”.
Masalah perwalian ini telah diatur dalam peraturan perundangan-undang yang
ada di Indonesia baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata, bab kelima belas tentang
perwalian pada umumnya untuk anak-anak yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua maka berlaku bagian kelima Pasal 359 yang menyatakan anak-anak yang
tidak bernaung dibawah kekuasaan orang tua dan perwaliannya tidak diatur dengan
cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah memanggil
keluarga sedarah ataupun semenda.
Anak yang berada dibawah perwalian adalah:
(1)Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang
tua;
(2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai;
(3) Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijke kind).
“Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali
apabila seorang wali-ibu (moedervoogd) kawin lagi, dalam hal mana suaminya
menjadi teman wali (medevoogd)”.13
“Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut
Undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi
anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke
Voogdij).”14
Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang
tua yang mengakuinya. “Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas
permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve
voogdij)”.15
Tetapi ada juga kemungkinan, “seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya
mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian
menurut Wasiat(testamentair voogdij)”.16
13Anonim, Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum,Pengaturan Mengenai Perwalianditinjau
Dari Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata. terakhir diakses 12 September 2012.
14R.Subekti dan R. Tjitrosudibio,Op. Cit,hal. 103 15Ibid,hal. 103
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku untuk lingkungan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pengangkatan wali terhadap anak yang
dibawah umur yang muslim Pada Bab XI mengatur pula masalah perwalian dalam
Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 sebagai berikut:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah kekuasaan wali.
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 33
mengatur pula masalah perwalian sebagai berikut:
1. Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
2. Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.
3. Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.
4. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam ketentuan umum Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) huruf h
dikemukakan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan oleh seseorang
nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tuanya masih
hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Dalam kompilasi Hukum Islam BAB XV mengenai perwalian Pasal 107 juga
menegaskan sebagai berikut:
1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Bedasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dalam bentuk tesis dengan judul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian
Terhadap Anak di bawah Umur Korban Tsunami di Aceh.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hukum perwalian bagi anak yang tidak ada orang tuanya?
2. Bagaimana pelaksanaan perwalian terhadap anak korban tsunami yang tidak
ada orang tuanya di Aceh?
3. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perwalian terhadap anak
dibawah umur korban tsunami di Aceh?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini
1. Untuk mengetahui hukum perwalian bagi anak yang tidak ada orang tuanya.
2. Untuk mengetahui perwalian terhadap anak dibawah umur korban tsunami
yang tidak ada lagi orang.
3. Untuk mengetahui kendala didalam menentukan pengangkatan wali terhadap
anak dibawah umur yang menjadi korban tsunami di Aceh.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:
1. Secara teoritis,
Dari penelitian dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan ilmu
hukum dan dapat menambah pengetahuan dalam perwalian terhadap anak.
2. Secara praktis,
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
masyarakat dan sebagai penyempurnaan aturan yang menyangkut perwalian
anak.
E. Keaslian penelitian
Dari hasil penelusuran keperpustakaan yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka
penelitian dengan judul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap
Anak Dibawah Umur Korban Tsunami di Aceh,belum pernah ada yang meneliti
sebelumnya.
Dari hasil penelusuran keaslian penulisan, penelitian yang menyangkut
Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, yaitu:
1. Nama : Meifina Rosary
NIM : 057011053
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Thesis : “Tinjauan yuridis terhadap perwalian pada anak muslim dibawah umur menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam” (studi kasus di pengadilan Negeri Medan).
2. Nama : Salimah
NIM : 037011075
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Thesis : “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang ditemukan akibat Gempa dan Tsunami” (penelitian di Banda Aceh).
Namun tesis-tesis tersebut, berbeda baik judul, tempat penelitian, maupun
permasalahannya dengan penelitian ini. Adapun permasalahan yang diangkat dalam
tesis-tesis tersebut adalah:
Judul tesis Meifina Rosary “Tinjauan Yuridis Terhadap Perwalian Pada Anak
Muslim di bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam” (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan). Dengan
rumusan masalah:
1. Bagaimana tinjauan perwalian terhadap anak muslim dibawah umur menurut
2. Bagaimana cara pengangkatan terhadap wali bagi anak muslim di bawah
umur di Pengadilan Agama?
3. Apa yang menjadi pertimbangan hakim di Pengadilan Agama dalam
pengangkatan terhadap wali bagi anak muslim dibawah umur?
Judul tesis Salimah “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang ditemukan
akibat Gempa dan Tsunami” (penelitian di Banda Aceh). Dengan rumusan masalah:
1. Bagaimanakah kriteria anak korban gempa dan tsunami yang secara khusus
mendapat perlindungan hukum dan bagaimana bentuk perlindungan
hukumnya?
2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam upaya perlindungan hukum
terhadap anak yang diketemukan akibat gempa bumi dan tsunami?
3. Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Child Trafficking
(perdagangan anak) terhadap anak korban gempa dan tsunami?
Penulis tertarik membahas penelitian dengan judul “tinjauan yuridis
pelaksanaan perwalian terhadap anak dibawah umur pasca tsunami di Aceh” (studi di
Banda Aceh), khususnya dalam konteks perwalian di Aceh setelah bencana gempa
dan tsunami, yang menyebabkan sistem perwalian yang dilaksanakan pada umumnya
bukan dari hasil penunjukkan berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan
persetujuan bersama dalam keluarga atau komunitas dalam masyarakat setempat.
Dimana pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali, tidak dijalankan
sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, yang berdasarkan pada
memiliki suatu kepastian hukum, banyak anak-anak yang tidak memiliki orang tua
dan membutuhkan suatu kepastian hukum dalam kedudukan perwalian, maka
diperlukan suatu putusan hukum yang mengikat.
Berdasarkan pembuktian diatas dengan demikian penelitian ini adalah asli dan
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui
proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu
masalah dan “suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang
dapat menunjukkan ketidak benarannya”.17
Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori
ialah:
“pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu”18.
Menurut J. Supranto “teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan
mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena
berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi
variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”19.
Otje Salman dan Anton F Susanto, mengutip pendapat W.L.Neuman yang
menyebutkan, bahwa:
17M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, Hal 203 18
W.J.S.Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal.1055.
“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang
berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir
tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”20.
Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori
menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut:
“Kerangka Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping
mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin
saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih
umum”.21
Menurut M Solly lubis. “Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang bagi
pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setujui
ataupun yang tidak disetujui, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti”.22
Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling
berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu
penjelasan atas segala gejala yang ada atau “seperangkat proposisi yang berisi konsep
abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antara variabel
sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang di gambarkan oleh
variabel dengan lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel
tersebut”.23
20
HR.Otje Salman S dan Anton F Susantop,Teori Hukum,Refika Aditama, Bandung, 2005, hal, 22.
21
Ibid,hal. 23.
22
M. Solly Lubis (I),Filsafat Ilmu Dan Penelitian,(Bandung ; Mandar Maju,1994), hal. 80,
Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan
suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan
berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas, adapun teori yang digunakan
teori Hukum Pembangunan yang dikemungkakan Mukhtar Kusumaatmaja yang
memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta
bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan terhadap
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalamnya. Pada dasarnya “Teori
Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat(law as a tool of social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem
sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang”.24
Menurut Lilik Mulyadi yang mengutip pendapat Mukhtar Kusumaatmadja,
menyebutkan bahwa:
Tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.25
Hukum sebagai sarana pembaharuan terkait erat dengan cita-cita
pembangunan hukum nasional yang dapat menjawab kebutuhan hukum masyarakat,
seperti diketahui “masyarakat Indonesia adalah masyarakat yangpluralis dan dalam
24Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 5.
25
Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja,
budaya hukum Indonesia dikenal 3 (tiga) tradisi normatif, yaitu Hukum Adat
Pribumi, Hukum Islam dan Hukum Sipil Belanda”.26
“Bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan itu dapat berupa itikad baik
(tegoeder trouw)dalam berhukum untuk membangun sistem hukum yang baik, maka
diperlukan suatu basis yang kokoh yang diatasnya sistem hukum dapat dibangun”,27
dengan kata lain hukum sebagai teks dapat berjalan sebagai mana mestinya jika di
barengi dengan itikad baik dari pihak yang bersentuhan dengan hukum tersebut.
Bismar Nasution menyatakan “dalam memenuhi adanya kepastian hukum dan
ketertiban tersebut harus berdasarkan pada tindakan nyata dalam pelaksanaan
perwalian tersebut, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang berdasarkan pada
keadilan, keterbukaan, pertanggung jawaban dan tanggung jawab”.28
Selain itu menurut Andrian Suhedi Keadilan adalah :
Suatu ukuran normatif yang sering dikaitkan dengan good governanceuntuk dapat menciptakan keadilan diperlukan beberapa prasyarat yang saling terkait satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi, diantaranya berupa
1. Transparansi(transparancy); 2. Akuntanbilitas(accountanbility); 3. Kepastian(predictability); 4. Partisipasi(partisipation).29
Bekerjanya hukum tidak terlepas dari pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat. Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa:
26
Ratno Lukito,Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Terjemahan Pustaka Alphabhet, Jakarta, 2008, hal. 9.
27
Satjipto Raharjo,Hukum dan Perilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik,Penerbit Kompas Media Nusantara, Jakarta,2009.
28
Bismar Nasution,Peranan Birokrasi dalam Mengupayakan Good Governace : Suatu Kajian dari Pandangan Hukum dan Moral, Makalah yang disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia”reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-Prinsip Good Governance”, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara.
29
“Hukum tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri
melainkan dengan dengan pemikiran dan pertimbangan apa yang baik yang
dilakukan bagi masyarakat, sehingga muncul persoalan bagaimana membuat
keputusan yang pada akhirnya bisa memberikan sumbangan terhadap efesiensi
produksi masyarakatnya”.30
Pelayanan hukum harus memenuhi rasa keadilan didalam masyarakat,
walaupun rasa keadilan itu sulit untuk dipastikan namun setidaknya harus memenuhi
suatu ukuran normatif yang hidup didalam masyarakat yang akan melahirkan suatu
kepastian hukum.
Banyak negara berkembang yang mencantumkan gagasan ideal negara
hukum, The Rule of Law pada konstitusi yang dibuatnya, namun hal tersebut tidak
menjadi jaminan, didalam pelaksanaannya ternyata banyak pihak yang tidak tunduk
dan taat terhadap hukum. Seperti yang dikemukakan Irmayani yang mengutip
pendapat Jan Michiel Otto “bahwa hanya ada sedikit kepastian hukum yang nyata di
Negara-negara berkembang karena terdapat ketidaksesuaian aturan hukum dengan
pelaksanaanya”.31
Ketiadaan hukum yang efektif untuk memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat di Negara berkembang, menimbulkan sikap frustasi, pada kenyataannya
untuk menciptakan dan mendatangkan keadilan di masyarakat, “hukum pada saat ini
30
Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 146.
31 Irmayani, Akuntabilitas Tim Pengamat Kemasyarakatan (TPP) Pada Pelaksanaan
malah sering menjadi masalah daripada menyelesaikan masalah, bahkan tidak sedikit
yang bersikapaprioriterhadap hukum”.32
Senada dengan Irmayani yang juga mengutip pendapat Jan Michiel Otto,
bahwa :
Hukum menjadi tidak efektif karena faktor-faktor yang secara yuridik dan nonyuridik. Misalnya penegak hukum Negara-negara berkembang sering sekali kesulitan mencari dan menemukan aturan hukum mana yang berlaku dalam menghadapi situasi konkrit, begitupun dengan penerapan interprestasi yang digunakan. Setidaknya ada tiga jenis faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepastian hukum nyata yaitu:
1. Aturan-aturan hukum itu sendiri;
2. Instalasi-instalasi yang membentuk dan menerapkan hukum;
3. Lingkungan sosial yang lebih luas yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya.33
Perlindungan anak yang merupakan suatu bidang pembangunan nasional,
dimana hakikat pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya, yang
mana melindungi anak adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia
seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan
pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak menimbulkan
berbagai permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan
pembangunan nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya yaitu
melalui perwalian, yang harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan
Nasional.
Di samping teori utama yang dipergunakan sebagai alat analisis penelitian ini,
juga akan didukung dengan beberapa teori lain sebagai teori pendukung yaitu teori
perwalian. “Setiap orang harus ada walinya, wali itu dapat terdiri dari orang tuanya
atau orang lain yang ditunjuk oleh orang tuanya atau ditetapkan oleh Pengadilan.
Wali ini penting dalam hubungannya dengan perkawinan bila yang bersangkutan
perempuan, berkaitan dengan harta benda dan pewarisan”.34
Sebagaimana telah disebutkan bahwa teori perwalian sebagai teori
pendukung, teori ini penting diikut sertakan karena pada dasarnya semua orang harus
ada walinya. Wali terhadap anak secara realitas memang sangat dibutuhkan. Setiap
ada urusan tentang anak selalu dikaitkan dengan orang tua atau walinya.
Teori pendukung lain adalah teori keadilan. “Merupakan teori yang
menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan
mewujudkan perlindungan hak-hak anak”.35
“Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang
tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila
orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih
sayangnya”.36
Selain teori-teori diatas juga di ikutkan teori pengayoman. Menurut Soediman
Kartohadiprodjo:
Hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan di masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi, melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan
34 Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Ditinjau Dari Hukum Islam. http://www. repository.usu.ac.id, terakhir diakses tanggal 17 Maret 2012
35
Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah, Jilid 8, , Al-Maarif, Bandung, 1994, hal. 160.
36A. Hamid Sarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, Ringkasan
dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.37
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah
sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada
dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia
teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.38
Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud
dengan konsep. Menurut beliau, “sebuah konsep berkaitan dengan defenisi
operasional. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digenaralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.39
Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. ”Suatu
konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu
abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep
merupakan suatu uraian mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut”.40
Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas
masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu
masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan
untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka
37
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993, hal. 245.
38Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survey,LP3ES, Jakarta, 1999, hal 34 39
Sumandi Suryabrata,Metodelogi Penelitian,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 3.
penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa
variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan
perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu,
dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan
pandangan dalam menganalisa masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek
yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.
Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman
yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian
dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:
a. Perwalian adalah:
“Kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau badan sebagai wakil dari
anak atau sebagai pengampu dari orang yang tidak cakap untuk melakukan
suatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau orang yang
tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak cakap melakukan
perbuatan hukum.”41
Secara etimologi pewalian dalam bahasa Indonesia ialah “segala sesuatu
yang menjadi urusan wali”.42 Dalam bahasa Arab disebut dengan Wilayah.
“Perwalian ialahAn-Nasrah(pertolongan)”.43
Secara terminologi (istilah) perwalian merupakan “Kekuasaan
melakukan akad dan transaksi, baik akad nikah maupun akad lainya tanpa
41
Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007, Tentang Baitul Mal.
42WJS. Poerwadarminta,Kamus Besar Bahasa Indonesia,PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 1147.
ketergantungan kepada orang lain. Para Fugaha (ahli Hukum Islam) juga
membagi perwalian atas perwalian diri pribadi dan atas harta”.44
b. “Wali adalah seseorang yang bertindak menggantikan orang tua sianak yang
belum dewasa atau belum akil baliq untuk melaksanakan perbuatan hukum”.45
c. Pengertian anak adalah “seseorang yang masih dibawah usia tertentu dan belum
dewasa serta belum kawin”.46
Pengertian anak secara khusus adalah sebagai berikut :
Menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, dan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu: “Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak
yang ada dalam kandungan”.
d. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
e. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak
mempunyai dua makna yang asasi yaitu: “(1) sekumpulan kaidah dan nash
yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan manusia
44Zakiyuddin Sya’ban,Al-hakam as-syar’iyyahll ahwal asSyakhshiyyah, Dar an- Nahdhah al-arabiyah, Kairo, 1969, hal, 214.
45
Yan Pramudya Puspa,kamus hukum, cv. Aneka, Semarang , 1977, hal 894. 46
sesama manusia baik mengenai orang maupun harta bendanya, (2) kekuasaan
menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang bagi selainnya.”47
f. Peraturan perundang-undangan adalah aturan-aturan atau norma-norma yang
diterbitkan atau dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur permasalahan
yang berkembang didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Peraturan hukum adalah memberikan tata tertib dan menjamin
adanya kepastian hukum didalam masyarakat tetap dipelihara sebaik-baiknya
dengan harapan setiap warga taat mematuhi peraturan hukum yang berlaku.
g. Qanun adalah adalah “Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang
di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
penyelenggaraan otonomi khusus”.48
h. Baitul Mal adalah “Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan
untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan
tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap
anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan
yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam”.49
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Sifat penelitian adalah yuridis normatif, dengan menggunakan “pendekatan
perundang-undangan (statue approach)”,50 yang mengfokuskan pada mengumpulkan
47
Iman Jauhari,Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 86-87.
48
Pasal 1 angka 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi khusus Bagi provinsi daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
49
Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul Mal.
semua perundang-undangan yang terkait dengan perwalian, kemudian menganalisa
hukum baik yang tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi
pelaksanaannya di Indonesia maupun hukum yang diputuskan melalui proses
pengadilan.
Penelitian ini mengunakan metode deskriptif analitis, yang maksudnya adalah
“suatu analisis data yang tidak keluar dari suatu ruang lingkup sampelyang
berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan
seperangkat data atau menunjukan kamparasi datayang ada hubungannya dengan
seperangkat data lain”.51
Dengan demikian penelitian ini diarahkan untuk menggambarkan dan
sekaligus juga menganalisis fakta-fakta tentang perwalian dalam menjalankan fungsi
dan tanggung jawabnya sebagai wali dari anak dibawah umur. Sehingga pada
akhirnya didapatkan gambaran tersebut dengan melihat kepada pemenuhan
kebutuhan masyarakat terhadap aturan hukum tentang perwalian ini.
2. Sumber Data
Dalam penulisan ini sumber data yang digunakan diperoleh dari data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier
dan data primer, yaitu sebagai berikut:
1. Data Sekunder,
Terdiri dari bahan hukum primer, merupakan bahan hukum terkait, yang
terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki
perundang-undangan.
Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi seperti buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum,
makalah, majalah dan sebagainya, serta dokumen-dokumen lainnya yang
berkaitan tentang masalah.
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu mencakup bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus umum dan eksiklopedia dalam penelitian ini.
2. Data Primer
Data primer dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara langsung
terhadap pihak terkait untuk melakukan dan memastikan validasi terhadap data
sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan pemecahan masalah.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Menurut Bambang Waiuyo.“Sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif,
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (Library Research) yakni upaya untuk memperoleh data
dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah,
koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.”52
b. Wawancara
Disamping studi kepustakaan, penelitian ini juga melakukan “wawancara”53
untuk mendapatkan data pendukung menjamin ketepatan dan keabsahan hasil
52Bambang Waiuyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 14. 53
wawancara, maka wawancara dilakukan dengan narasumber yang memiliki
kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai, yaitu:
1. Ketua Mahkamah Syar’iyah kota Banda Aceh;
2. Anggota Baitul Mal kota Banda Aceh;
3. Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh.
4. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriftif analistis, dimana
analisis data merupakan sebuah “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan”54.
Menurut Koentjoroningrat. “Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan
pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, baik dari inventarisasi peraturan
perundang-undangan dan karya ilmiah yang berkaitan dengan judul penelitian, baik
media cetak dan laporan-laporan penelitian lainnya mendukung studi pustaka
kemudian wawancara digunakan untuk mendukung analisis data.”55
54Lexy Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,Penebit Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004. hal, 103.
BAB II
TINJAUAN TENTANG HUKUM PERWALIAN BAGI ANAK YANG TIDAK ADA ORANG TUANYA
A. Pengertian Anak dan Batasan Usia Anak
1. Pengertian Anak
Berbicara masalah perwalian maka tidak telepas dari pembahasan anak dan
batas usia seorang anak, ini penting karena untuk mengetahui bilamana seseorang
anak diletakkan dibawah perwalian dan dapat mempertangung jawabkan suatu suatu
perbuatanya.
Dalam bahasa arab “anak disebut walad, satu kata yang mengandung
penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangannya
kearah abadi Allah yang saleh”.56
Dengan memandang anak dan kaitannya dengan perkembangan membawa arti
sebagai berikut:
1) “Anak diberikan tempat khusus yang berbeda dengan kehidupan dengan orang
dewasa;
2) Anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para
pendidiknya, artinya kehidupan anak tidak dipenggal dan dilepaskan dari
dunianya serta dimensi dan prospeknya.”57
Dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang
ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telaah dari sisi pandang
56
Iman Jauhari,Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,Op, Cit, hal. 81
sentralistis kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosiologi menjadikan pengertian
anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Untuk meletakkan anak
kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur internal maupun
eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak
tersebut.Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
a. Unsur internal pada diri anak yaitu anak sebagai subjek hukum atau sebagai
manusia, anak juga digolongkan sebagai Human Right yang terkait dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada
anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam
perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Persamaan
hak dan kewajiban anak, anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dengan dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum. maka hukum
meletakan anak dalam posisi sebagai perantara hukum untuk dapat disejajarkan
dengan kedudukan orang dewasa atau untuk disebut sebagai subjek hukum.
b. Unsur eksternal pada diri anak ini didasarkan pada ketentuan hukum atau
persamaan kedudukan dalam hukumEquality Before The Lawdapat memberikan
legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat
peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu
sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang memuat perincian tentang
klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang
pemerintah yang timbul dari Undang Undang Dasar dan peraturan
perundang-undangan.
Untuk dapat memahami pengertian tentang anak itu sendiri sehingga
mendekati makna yang benar, diperlukan suatu pengelompokan yang dapat dilihat
dari berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek agama, ekonomi, sosiologis dan hukum
dimana pengertian dari masing-masing aspek memiliki perbedaan baik dari subtansi,
fungsi, makna dan tujuannya misalnya “pengertian anak menurut agama diartikan
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang arif dan berkedudukan mulia yang
keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan
kehendak Tuhan Yang Maha Esa”.58
Berbeda halnya dalam kaitannya kedudukan anak dalam status sosial yang
memposisikan anak sebagai kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari
masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi, ini disebabkan karena keterbatasan
kemampuannya dalam proses pertumbuhan, belajar dan sosialisasisnya, akibat usia
yang belum dewasa.
Dalam pengertian ekonomi anak cenderung dianggap kepada golongan yang
tidak produktif, maka oleh itu dianggap perlu adanya pengaturan untuk terciptanya
kesejahteraan dari anak tersebut supaya tidak menjadi korban dari tindakan keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara untuk melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan
produktifitas yang dapat menghasilkan nilai-nilai ekomomi.
58 Salimah, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Ditemukan Akibat Gempa Dan
Dalam pengertian politik anak pada umumnya diartikan sebgai seseorang
yang masih dibawah usia tertentu, belum dewasa dan belum kawin. Aminah Azis
meyebutkan “Mengenai batas usia tertentu dibagi kedalam dua katagori yaitu batas
usia termuda dimana pada usia ini anak tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban
atas tindakan yang dilakukannya, sedangkan batas umur keatas adalah untuk
menetapkan siapa saja yang sampai batas ini diberikan kedudukan sehingga
diperlakukan secara khusus”.59
2. Batasan Usia Anak
Menyangkut masalah pengertian anak ini dan batas umurnya masih
mempunyai ketidak seragaman pendapat, baik itu pendapat para pakar dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku Senada dengan ini Muhammad Hasan Wadong
juga menyebutkan batas usia anak dapat dikelompokan yaitu “pengelompokan usia
maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak
tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau dapat menjadi subjek hukum yang
dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum
yang dilakukan anak tersebut”.60
Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi Hak-hak Anak yang diadopsi oleh
Majelis Umum Peserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 yang
menyebutkan anak merupakan orang berusia dibawah 18 tahun, kecuali yang berlaku
bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
59Aminah Azis,Op. Cit, hal. 19
Sedangkan membicarakan batas umur dari anak menurut peraturan
perundang-undangan juga memiliki perbedaan dari pembatasan usia anak ini didasari
dari maksud dan tujuan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut,
untuk meletakkan batas usia seoarang anak ini meyebabkan pluralitas dalam
menentukan batas usia seorang anak dimana diantaranya:
a. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
“Pasal 330 ayat (1) menyebutkan batas antara belum dewasa (minderjarigheid)
dengan usia telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun Kecuali anak
tesebut telah kawin sebelum usianya 21 tahun atau karena pendewasaan (Venia
Aetatis).”61 Pendewasaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 419 KUH Perdata.
“Dengan melakukan perlunakan seorang anak belum dewasa boleh dikatakan
dewasa atau bolehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu”. Yang
mana perlu atas anak yang belum dewasa tersebut dinyatakan dewasa dengan
surat-surat pernyataan dewasa (Venia Aetatis) yang diberikan oleh Presiden
setelah mendengarkan nasehat dari Makamah Agung sebagaimana tersebut
didalam Pasal 420 KUH Perdata.
Dari ketentuan yang tersebut pada Pasal 330 diatas dapat diketahui bahwa
batasan umur anak merupakan mereka yang belum berumur 21 tahun, hal ini
61Nashriana, Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Penjara Terhadap
Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba,