• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELAKSANAAN PERWALIAN ANAK DIBAWAH

C. Baitul Mal Sebagai Salah Satu Lembaga Perwalian Di Aceh 84

3. Struktur Dari Lembaga Baitul Mal

Baitul Mal di Aceh adalah organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Aceh yang merupakan bagian dari lembaga keistimewaan Provinsi Aceh yang terdiri dari 4 lembaga keistimewaan. Jika dilihat dari bentuk organisasinya, Baitul Mal Aceh dibagi ke dalam 4 tingkatan, yaitu:

1. Baitul Mal Provinsi

2. Baitul Mal Kabupaten / Kota

3. Baitul Mal Mukim (Kumpulan dari beberapa desa) 4. Baitul Mal Gampong (Desa)

Baitul Mal Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi yaitu Banda Aceh. Dalam menjalankan fungsinya Baitul Mal provinsi berada di bawah pengawasan gubernur selaku kepala daerah karena Baitul Mal provinsi bertanggung jawab kepada Gubernur.

Susunan organisasi Baitul Mal Provinsi terdiri dari kepala Baitul Mal, Sekretaris, Bendahara, dan dibantu oleh beberapa bidang. Adapun bidang-bidang tersebut adalah:

1. Bidang Pengawasan; 2. Bidang Pengumpulan;

3. Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan; 4. Bidang Sosialisasi dan Pengembangan; 5. Bidang Perwalian.

Dalam menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Baitul Mal Aceh maka dibentuklah Sekretariat Baitul Mal Aceh berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. “Sekretariat Baitul Mal Aceh ini dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat yang secara fungsional bertanggung jawab kepada pimpinan Baitul Mal Aceh dan secara administratif kepada Gubernur melalui Sekretariat Daerah”.118

Selanjutnya “sekretariat Baitul Mal Aceh mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan administrasi kesekretariatan, dan fungsi menyusun program, memfasilitasi penyiapan program, memfasilitasi dan memberikan pelayanan teknis serta pengelolaan administrasi keuangan, kepegawaian, perlengkapan, rumah tangga dan ketatausahaan pada Baitul Mal Aceh”.119

Sedangkan Baitul Mal Kabupaten/Kota berada di bawah Baitul Mal Provinsi dan berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota serta bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Adapun susunan Organisasi Baitul Mal Kabupaten/kota sama

118Pasal 3 Ayat 1 & 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2008 119Pasal 4 Ayat 1 & 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2008

dengan susunan Baitul Mal Provinsi, namun ada perbedaan pada pembagian bidang-bidang organisasi. Bidang-bidang-bidang organisasi pada Baitul Mal kabupaten Kota disebut bagian, adapun bagian-bagiannya adalah sebagai berikut:

1. Bagian Pengumpulan

2. Bagian Pendistribusian dan Pendayagunaan 3. Bagian Sosialisasi dan Pembinaan

4. Bagian Perwalian.

Tidak berbeda dengan Baitul Mal Provinsi, dalam menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Baitul Mal Kabupaten/Kota juga di bentuk Sekretariat Baitul Mal Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2009 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Kabupaten/Kota pada Pemerintahan Aceh. “Sekretariat Baitul Mal kabupaten/kota ini dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat yang secara fungsional bertanggung jawab kepada pimpinan Baitul Mal Kabupaten/kota dan secara administratif kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah.”120

Selanjutnya sekretariat Baitul Mal Kabupaten/Kota juga mempunyai tugas dan fungsi yang sama dengan sekretariat Provinsi, “yakni mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan administrasi kesekretariatan, dan fungsi menyusun program, memfasilitasi penyiapan program, memfasilitasi dan memberikan pelayanan teknis

serta pengelolaan administrasi keuangan, kepegawaian, perlengkapan, rumah tangga dan ketatausahaan pada Baitul Mal Kabupaten/Kota.”121

“Dibawah Baitul Mal Kabupaten/kota terdapat Baitul Mal Mukim atau Baitul Mal yang berkedudukan di tingkat mukim.”122 Baitul Mal ditingkat Mukim ini

struktur organisasinya agak berbeda dari susunan organisasi di tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota, struktur organisasi mukim terdiri dari ketua yang dijalankan oleh Imeum mesjid (Imam Mesjid). Kemukiman dimana Baitul Mal tersebut berada. Dalam pelaksanaannya Imeum Mukim menunjuk dan menetapkan sekretaris, bendahara, seksi perwalian, seksi perencanaan dan pendataan serta seksi pengawasan, Baitul Mal Mukim juga bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.

Selanjutnya barulah kepengurusan Baitul Mal Gampong (Kampong), untuk susunan organisasi Baitul Mal gampong tidak jauh berbeda dengan Baitul Mal Mukim (Imam surau), hanya saja ketua di Baitul Mal tingkat gampong dilaksanakan oleh Imuem Meunasah atau imuem Mesjid yang tingkatnya dibawah Imuem Mukim, sedangkan struktur organisasi lainnya sama dengan Baitul Mal Mukim dan Baitul Mal Gampong juga bertanggung Jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/kota.

121Pasal 4 Ayat 1&2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2009

122 Secara spesifik didalam pasal 2 Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur tentang pemerintahan Aceh dibagi dalam 4 tingkatan yakni, Kabupaten/kota, Kecamatan, Mukim dan Gampong, masing-masing tingkatan pemerintahan ini mempunyai kewenangan yang berbeda, sesuai dengan pasal 114 UUPA tersebut, mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum dibawah Kecamatan yang terdiri dari gabungan beberapa Gampong yang mempunyai wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau bana lain yang berkedudukan langsung di bawah Camat, adapun kewenangan dan urusan pelayanan diatur dalam qanun, lihat Abdur Rozaki, et.al,Mengembangkan Gampong Peduli Hak Anak, Institute For Research and Empowerment (IRE), Yokyakarta, 2009, Hal 4.

Sampai saat ini Baitul Mal Provinsi Aceh telah memiliki dan membentuk kepengurusan Baitul Mal di tiap Kabupaten dan Kota diseluruh Provinsi Aceh, yang diharapkan dapat memaksimalkan peran Baitul Mal Aceh.

Dari penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa Baitul Mal mempunyai tugas dan wewenang yang hampir sama dengan Balai Harta Peninggalan. Hal ini tercermin dari penjelasan umum Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 yang dalam penjelasan umumnya menyebutkan:

“Baitulmal adalah lembaga agama Islam diprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berwenang menjaga , memelihara, mengembangkan, dan mengelola harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali pengawas berdasarkan syariat Islam.”123

Sedangkan Balai Harta Peninggalan adalah lembaga yang berada didalam lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang mengurus perwalian, pengampuan, ketidak hadiran, harta peninggalan tidak terurus, pendaftaran akta wasiat, surat keterangan ahli waris, dan kepailitan, bagi penduduk yang bukan beragama Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam atau penduduk, baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam di kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara.124

D. Tinjauan Mengenai Pengawasan Perwalian

Menyangkut hal pengawasan terhadap perwalian tersebut sebenarnya telah diatur Dalam Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Balai Harta Peninggalan(Public Trustee) atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan serupa dapat bertindak sebagai wali pengawas untuk

123Lihat Perpu Nomor 2 tahun 2007 ketentuan umum angka 6 124Ibidketentuan umum angka 7

memastikan bahwa kepentingan anak di bawah perwalian adalah dilindungi dan dipelihara secara baik.”125

Peran Balai Harta Peninggalan ini dalam sistem hukum perdata Indonesia terwujud dalam tugas dan fungsi nya yang berpedoman pada surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 19 Juni 1980 nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tentang organisasi dan tata kerja Balai Harta Peninggalan.

Salah satu fungsi dari Balai Harta peninggalan adalah perwalian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan intruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia Stb.1872 nomor 166. Timbulnya perwalian akibat dari putusnya suatu perkawinan baik kerena kematian maupun karena putusan Pengadilan, selalu membawa akibat terhadap isteri suami, anak-anak maupun harta kekayaanya. Dan akibat yang seperti itu sangat artinya dirasakan terutama terhadap anak- anak yang dibawah umur, dimana anak anak yang dibawah umur itu masih membutuhkan bimbingan, pemeliharaan dan perlindungan hukum, karena belum bisa mengurus pribadinya, kepentinganya, terutama sekali terhadap harta kekayaannya. Oleh karena itu perlu ditunjuk/diangkat seorang wali yang dapat berindak sebagai orang tuanya dengan tugas yang ditentukan oleh undang-undang.

Mengingat tugas wali yang cukup luas menyangkut diri pribadi sianak yang belum dewasa terhadap harta kekayaanya, sedangkan wali adalah manusia biasa yang bersifat lalai, mempunyai banyak kepentingan dan kebutuhan, khilaf, lupa dan sebagainya maka perlu adanya lembaga yang mengawasi pelaksananan perwalian

yaitu “Balai Harta Peninggalan yang memikul tugas selaku wali sementara (Tijdelijk voogd)dan wali pengawas (Toeziende Voogd).

Tugas-tugas pokok yang merupakan beban kerja Balai Harta Peninggalan yang terkandung dalam peraturan-peraturan Balai Harta Peninggalan masa lalu, tenyata sudah banyak yang tidak sesuai dengan situasi masa kini, karena perlakuanya dianggap diskriminatif, sehingga beban kerja Balai Harta Peninggalan terasa semakin berkurang. Aturan-aturan yang berlaku dalam fungsi dan tugas pokok balai harta Peninggalan ini sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini.

Dalam setiap perwalian di Indonesia, Balai Harta Peninggalan menurut undang-undang adalah menjadi pengawas, Balai harta peninggalan ini berada di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Makasar, sedangkan ditempat lain Balai Harta peninggalan mempunyai cabang. Dalam tiap-tiap perwalian Balai Harta memiliki dewan perwalian yang terdiri dari atas kepala dan anggota-anggota serta beberapa anggota lainnya.

Kewajiban wali pengawas adalah mewakili kepentingan anak bila bertentangan dengan kepentingan siwali dengantidak mengurangi kewajiban yang istimewa kepada Balai Harta Peninggalan. Dalam surat intruksinya perwalian pengawas itu setiap tahun harus meminta kepada setiap wali supaya secara ringkas memberikan perhitungan tanggung jawab dan supaya memperlihatkan kepadanya segala surat-surat berharga milik sianak. Perhitungan secara ringkas itu akan dibuat diatas kertas tidak bermaterai dan diserahkan tampa suatu biaya apapun dan tanpa suatu bentuk hukum. Apabila wali tidak melaksanakan hal tersebut, dan dalam

perhitungan secara ringkas terdapat tanda-tanda ada kecurangan atau kealpaan yang besar, maka wali pengawas dapat menuntut pemecatan wali yang ditentukan dalan undang-undang sebagai mana yang dijelaskan dalam Pasal 373 KUH Perdata.

Balai Harta Peninggalan adalah suatu lembaga atau badan Negara yang mempunyai tugas dan kewajiban melindungi Hak Asasi Manusia, terutama dibidang personal right bagi orang-orang yang demi hukum, atau atas penetapan pengadilan tidak cakap bertindak dalam.

Tugas Balai Harta Peninggalan (BHP) tercermin dalam tugas pokoknya yang berupa :

a. Pengurusan diri pribadi dan harta anak-anak yang belum dewasa selama belum ditunjuk seorang wali atas mereka (Pasal 359 KUH perdata ayat terakhir atau disebut juga sebagai wali sementara);

b. Sebagai wali pengawas (Pasal 366 KUH perdata);

c. Mewakili kepentingan anak yang belum dewasa dalam hal ada pertentangan dengan kepentingan wali (Pasal 370 KUH perdata);

d. Pengurusan harta kekayaan anak-anak yang belum dewasa dalam hal pengurusan itu dicabut dari wali mereka (pasal 338 KUH perdata).

Masalah perwalian di Aceh dasar hukum yang diterapkan ialah Undang-undang Nomor. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain aturan-aturan tersebut juga diatur dalam bentuk aturan-aturan lainnya yaitu sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanana Rehabilitasi Dan Rekontruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang kemudian menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2007, Tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007.yang dalam penjelasan umumnya dalam alinea kedua menyebutkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak cukup untuk dijadikan dasar oleh pemerintah dalam melakukan tindakan serta upaya menangulangi berbagai langkah perbaikan dari sisi fisik maupun psikis untuk mengatasi kondisi yang tidak normal pada daerah yang terkena bencana.

Selain itu “untuk memberikan landasan hukum yang kuat dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dibidang pertanahan, perbankan, keperdataan, perwalian dan administrasi kependudukan di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara yang terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami.”126

Dalam Perpu tersebut masalah perwalian diatur pada Pasal 27 sampai dengan pasal 32, namun pengaturanya lebih kepada pengawasan terhadap penggunaan harta anak oleh wali.

Kemudian pemerintah menetapkan Perpu tersebut menjadai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2007, dan masalah perwalian ini diatur pada Bab V bagian kedua tepatnya pada Pasal 31 yang menyebutkan :

(1)Anak dibawah umur yang orang tuanya telah meninggal atau tidak cakap bertindak menurut hukum, maka harta kekayaan dikelola oleh wali sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(2)Orang yang tidak cakap bertindak menurut hukum yang orang tuanya telah meninggal atau tidak cakap bertindak menurut hukum maka harta kekayaannya dikelola oleh wali sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 32 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2007 juga menyebutkan hal sebagai berikut :

“Dalam hal pihak keluarga tidak mengajukan permohonan penetapan wali maka Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas mengajukan permohonan penetapan wali kepada Pengadilan.”

Baitul Mal dikhusus kan untuk orang muslim di Aceh sedangkan untuk Non Muslim tunduk ke Balai Harta Peninggalan. Dengan demikian Batul Mal di Aceh juga mempunyai kewenangan yang sama dengan Balai Harta Peninggalan yaitu menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu yang masih dibawah umur. E. Pengelolaan Managemen Harta (Aset) dalam Perwalian.

Mengenai Penggeloaan Managemen Harta (Aset) dalam Perwalian, Undang-Undang Nomor 23/2002 Tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa wali

mengelola kekayaan lingkungan mereka untuk kepentingan anak tersebut. Dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan bahwa “seorang wali bertanggung jawab atas pengelolaan aset (harta) dan harus membayar jika dalam pengelolaan harta tersebut menjadi hilang atau rusak, baik karena sengaja maupun karena kelalaian.”127

Pada awal penetapan perwalian, maka diperlukan upaya “inventarisasi semua asset (harta) dari anak yatim tersebut, dan wali wajib mendokumentasikan semua perubahan terhadap aset.”128

Begitu juga harta tersebut yang harus diaudit secara manual (tahunan) untuk mengetahui nilai dari aset dari anak yang diperwalikan itu, dan untuk memastikan bahwa hartanya tetap terjaga. Selain itu, wali dilarang menjual, mengalihkan atau menggadaikan aset anak perwalian, kecuali dalam keadaan yang darurat (memaksa).

Seperti telah disebutkan sebelunya menyangkut pengelolaan aset harta anak yang berada di bawah perwalian maka Makamah Syar'iyah berwenang dalam mengawasi perwalian anak-anak yatim piatu akibat tsunami, Namum fungsi dan tugasnya tidak boleh memihak selaku lembaga peradilan maka menyangkut pengawasan terutama tehadap anak dan hartanya yang berada dibawah perwalian dilakukan oleh Baitul Mal, dan dalam prosesnya akan diawasi oleh Mahkamah Syar'iyah.

127Lihat Pasal51(5) UU No. 1/1974. 128Ibid

1. Menyangkut Simpanan di Bank

Selanjutnya didalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2007 dalam BAB IV mengatur juga masalah perbankan yang berkaitan dengan perwalian. Hal ini menyangkut dengan simpanan yang ada di Bank yang ditinggalkan oleh orang tua sianak yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (1). Bank dapat mengeluarkan bukti kepemilikan atas simpanan yang hilang atau musnah akibat bencana gempa bumi dan tsunami sesuai dengan pencatatan pada bank berdasarkan permintaan dari nashabah atau ahli waris/wali nashabah setelah bank menyakini kebenaran identitas nasabah atau ahli waris/wali nasabah.

Mengenai bank menyakini “kebenaran identitas nashabah atau ahli waris/wali nashabah maka bank meminta nashabah atau ahli waris/wali nashabah mengisi formulir identifikasi dan meminta bukti keterangan ahli waris/wali nashabah yang dikeluarka dn oleh pengadilan.”129

Bank Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 10/39/PBI/2008 yang merupakan tindak lanjut dari Undang-undang nomor 48 tahun 2007. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 dari Undang-undang Nomor 48 tahun 2007. Menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang penyelesaian berbagai permasalahan perbankan pasca bencana gempa bumi dan tsunami diatur dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Ruang lingkup peraturan PBI ini berlaku bagi Bank Umum konvensional, Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Umum Syar’iyah, jadi tidak hanya terbatas kepada Bank konvensional saja.

Kemudian selanjutnya didalam peraturan ini mewajibkan Bank untuk menyerahkan Simpanan/Investasi nashabah tidak diketahui keberadaan pemilik atau ahli waris/Wali nashabah kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan setelah memperoleh penetapan pengadilan melalui langkah-langkah berikut:

1. Melakukan penelitian terhadap rekening-rekening simpanan/investasi yang diduga tidak ada lagi pemilik atau ahli waris/wali nashabah;

2. Mengumumkan nama dan alamat dimaksud sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali sampai dengan tanggal 6 September 2009;

3. Pengumuman dilakukan melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran luas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara yang berskala lokal paling sedikit 2 (dua) kali dan dan melalui surat kabar berbahasa Indonesia berskala nasional paling sedikit 1 (satu) kali;

4. Menyampaikan pengumuman sebagaimana dimaksud pada huruf c untuk dimuat pada Berita Daerah atas pengumuman melalui surat kabar lokal dan pada Berita Negara atas pengumuman melalui surat kabar nasional; dan 5. Mengajukan permohonan penetapan kepada Pengadilan yang berwenang.

Setelah pengumuman yang dilakukan Bank sampai tanggal 6 September 2009, maka selambat-lambatnya 1 tahun setelah tanggal yang ditentukan tersebut tidak ada orang yang muncul sebagai nashabah atau ahli waris/wali maka bank harus mengajukan permohonan penetapan ke Mahkamah Syar’iyah untuk menetapkan Baitul Mal sebagai pengelola dari simpanan nashabah dimaksud.

Mengenai penggunaan harta sianak yang berada dibawah perwalian oleh walinya sebenarnya tidak ada ketentuan spesifik dalam hukum formal yang mengatur berapa banyak seorang wali miskin dapat menggunakan harta anak di bawah perwaliannya. Begitupula, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai ukuran yang akurat seberapa banyak harta milik anak yatim yang dapat dimanfaatkan menurut kepatutan. Namun, jika kita merujuk kepada Qur’an (An-Nisa:6), seorang wali miskin hanya diperbolehkan memanfaatkan harta anak yatim untuk sebatas kebutuhan pangan (falya’kul) yang sewajarnya. Namum pada kenyataanya bayak wali yang mempergunakan harta anak yang dibawah perwalianya walaupun wali tersebut kaya tetapi ia mengambil manfaat dari harta anak yatim dibawah perwaliannya.

2. Mengenai Permasalahan Pertanahan

Mekanisme yang relevan untuk mendaftarkan hak anak yatim atas tanah adalah melalui program RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System) dimana “Anak yatim yang dibawah umur harus diwakili oleh wali dalam proses ini. Peranan wali dalam proses pendaftaran tanah adalah serupa dengan peranan yang dijalankan pemilik tanah lainnya. Namun, sebelum wali dapat mendaftarkan tanah atas nama anak yatim harus terlebih dahulu mengisi formulir bukti kesepakatan pewarisan dan formulir bukti kesepakatan”.130

130Keputusan Kepala BPN No. 114-II.2005 Tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah-Daerah Pasca Tsunami, 33. Dicatat bahwa menurut hukum Indonesia, Jika penerima warisan lebih dari satu orang akta pembagian waris yang memerinci pembagian harta harus terlampir pada saat pendaftaran dilakukan. Jika pada waktu didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris sebagai hak bersama; Pasal 42(4)-(5) PP 24/1997.

Penunjukan atau penetapan wali kerap kali dilakukan bersamaan dengan proses pendaftaran dan sertifikasi tanah yang diselenggarakan di bawah program RALAS. “Penunjukan dan penetapan wali dalam program ini mempunyai tujuan yang lebih spesifik dan terbatas, yaitu untuk kepentingan mewakili anak yatim dalam setiap langkah prosedur administratif mulai dari rapat kesepakatan warga, pengukuran dan pemetaan batas tanah warisan anak yatim, pengisian sejumlah formulir, pengajuan keberatan bila perlu dan penerimaan sertifikat tanah atas nama anak yatim.”131

Penetapan wali yang dilakukan Mahkamah Syar’iyah dalam program RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System) ini berlangsung di luar gedung pengadilan. Biasanya persidangan itu dilangsungkan dikantor gampong/kelurahan atau meunasah yang terdapat di suatu gampong. Untuk penetapan wali ini, masyarakat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara. Pada umumnya perkara ini berlangsung singkat dengan menghadirkan calon wali dari anak.

Menurut Keputusan Kepala BPN No. 114-II.2005 Tentang Manual Pendaftaran anah di Daerah-Daerah Pasca Tsunami: Anak dan anak yatim yang mempunyai hak waris atas tanah dapat mendaftarkan hak atas tanahnya atas nama dirinya dengan bantuan dari wali, Bagi harta warisan yang belum selesai pembagiannya, maka sertifikat dapat diatas namakan sejumlah ahli waris, termasuk ahli waris di bawah umur.

131Arskal salim, Laporan Penelitian INTERNATIONAL DEVELOPMENT LAW ORGANIZATION

(IDLO) Post-Tsunami Legal Assistance Initiative for Indonesia

Jika sertifikat tanah diterbitkan atas nama wali atau sanak keluarga yang lain selain atas nama anak yatim yang berhak, maka pihak manapun dapat mendatangi BPN (melalui tim RALAS, atau dengan menulis surat kepada kantor BPN), dan memohon agar sertifikat tanah diterbitkan kembali.

BAB IV

KENDALA DALAM PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR KORBAN TSUNAMI DI BANDA ACEH

Didalam melaksanakan perwalian dan pengelolaan harta anak yang berada dibawah perwalian di Kota Banda Aceh tidak lepas dari hambatan-hambatan yang timbul. Pembahasan terhadap hambatan dalam tulisan ini tidak hanya melihat dari hambatan yang timbul setelah penetapan perwalian namun juga hambatan dalam pelaksanaan perwalian tersebut.

Adapun hambatan dan permasalahan yang timbul antara lain adalah:

Dokumen terkait