• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

e-ISSN 2301-7074

ARTIKEL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANGTUA

Sih Rineksa W. N. dan Achmad Chusairi, M.Psi.*

Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRAK

Tingginya angka perceraian di Jawa Timur dan berbagai permasalahan yang dialami remaja dari keluarga yang bercerai menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konsep diri dengan resiliensi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan responden 71 remaja (32 laki-laki, 39 perempuan) berusia 13-22 tahun yang memiliki pengalaman orangtua yang bercerai. Alat pengumpulan data berupa Skala Konsep Diri berjumlah 36 aitem, dan Reciliency Attitudes and Skill Profile (RASP). Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan resiliensi (r = 0.333, p = 0.005). Dimensi harapan dan penilaian diri memiliki hubungan dengan resiliensi sedangkan pengetahuan tidak memiliki hubungandengan resiliensi. Penelitian ini juga mendeskripsikan perbedaan skor resiliensi berdasarkan variasi usia perkembangan, status pendidikan atau pekerjaan, dan rentang waktu setelah perceraian orangtua.

Kata kunci: konsep-diri, perceraian orangtua, remaja, resiliensi

ABSTRACT

The high number of divorce in East Java and many problems experienced by the adolescents of parental divorce were the background of this research. This study aims to determine whether there are correlations between self-concept and resilience among adolescents who experienced parental divorce. This quantitative research was conducted on 71 adolescents (32 boys and 39 girls) of age 13-22 years whose experience of parental divorce. The data collection instruments were Self-Concept Scale composed of 23 items, and the Resiliency Attitudes and Skill Profile (RASP). The result shows the correlation between self-concept and resilience (p = 0.005, r = 0.333). Hope and evaluation of self have significant positive relationship with resilience while knowledge did not. This study also describe the difference of resilience scores by the variation of developmental age, academic or work status, and interval time after parental divorce.

Key words: adolescent, parental divorce, resilience, self-concept

*Alamat korespondensi: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kampus B Universitas Airlangga Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Surel: achmad.chusairi@psikologi.unair.ac.id

Naskah ini merupakan naskah dengan akses terbuka dibawah ketentuan the

Creative Common Attribution License

(http://creativecommons.org/licenses/by/4.0), sehingga penggunaan,

(2)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

P E N D A H U L U A N

Angka perceraian di Indonesia tergolong tinggi dan terus meningkat pada tahun-tahun terakhir (Sasongko, 2014). Menurut data dari artikel Angka Perceraian di Jawa Timur Capai 100 ribu Kasus, dapat disimpulkan bahwa angka perceraian di Jawa Timur cukup tinggi dengan total 81.672 pada tahun 2014 (Arifin, 2015). Sama halnya dengan perpisahan dan perceraian secara hukum, perpisahan non-legal juga memiliki dampak-dampak negative pada berbagai konteks, termasuk pada anak yang lahir dalam pernikahan tersebut (Sember, 1968).

Peristiwa perceraian orangtua membawa dampak sepanjang rentang kehidupan seorang anak (Amato, 1994; Fagan & Churchill, 2012; Whitton, 2008), meski demikian, dinamika psikologis pada masa-masa kritis perkembangan manusia yaitu masa remaja, tidak dapat diabaikan (Kelly & Emery, 2003; Amato, 1994). Elizabeth B. Hurlock (1980) menjelaskan masa remaja sebagai usia dimana baik laki-laki maupun perempuan memiliki masalah yang sulit diatasi, karena selama masa kanak-kanak, permasalahan yang mereka hadapi seringkali diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman mengatasi permasalahan. Karatas dan Cakar (2011) juga menyebutkan bahwa masa remaja pada umumnya ditandai dengan periode depresi, kemarahan, konflik, dan keprihatinan yang intens dan direspon secara ekstrim. Salah satu faktor depresi pada remaja bersumber dari keluarga. Faktor-faktor tersebut meliputi: orangtua yang menderita depresi, orangtua yang tidak terikat secara emosi, orangtua yang mengalami konflik perkawinan, dan orangtua yang mengalami masalah finansial (Santrock, 2011). Dengan kata lain, kondisi keluarga yang diwarnai konflik dan tidak bahagia menyebabkan remaja memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami depresi.

Dampak perceraian orangtua bagi anak dan remaja bervariasi mulai dari yang ringan hingga berat, tidak tampak hingga tampak, dan dalam jangka waktu singkat hingga jangka panjang (Amato, 1994; Whitton, 2008; Fagan & Churchill, 2012), namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa orang berhasil melewati masa-masa sulit pasca perceraian orangtua, bangkit dari keterpurukan, bahkan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi (Kelly & Emery, 2003; Chen & George; Werner, 2005). Menurut Chen dan George (2005), yang menjadi faktor kunci dalam kemampuan adaptasi anak adalah resiliensi. Wolin dan Wolin (1993) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih. Individu yang resilien dapat melambung dan mengembangkan kompetensi social dan akademik, sekalipun dalam tekanan yang berat.

(3)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

pencapaian resiliensi (Zolkoski & Bullock, 2012; Beardslee & Podorefsky, 1988; Werner, 2005).

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut (Beardslee & Podorefsky, 1988; Chen & George, Werner, 2005; Crawford, Rutter, 2006; Zolkoski & Bullock, 2012) dapat diketahui bahwa pencapaian resiliensi didukung oleh proses pembentukan konsep diri. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), konsep diri adalah gambaran mental individu tentang dirinya sendiri, segala yang terlintas di pikiran tentang “saya”, yang terangkum dalam pengetahuan, pengharapan, dan penilaian tentang diri. Konsep diri terbentuk dari interaksi antara manusia dengan lingkungannya yaitu orangtua, teman sebaya, dan masyarakat sebagai sumber informasi (Calhoun & Acocella, 1990).

Menurut Calhoun dan Accocella (1990), individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya sesuai realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan. Individu yang memiliki konsep diri positif cenderung adaptif karena mampu terbuka terhadap pengalaman dan realitas yang baik dan yang buruk bukan sebagai ancaman, dan kemudian ditanggapi secara fleksibel. Respon positif terhadap situasi baru, kemampuan adaptasi terhadap stres, dan pandangan positif tentang kehidupan inilah yang menjadi faktor protektif resiliensi pada lingkup internal (Garmezy, 1985; Masten, 1990).

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pencapaian resiliensi pada remaja yang mengalami perceraian orangtua terkait dengan proses pembentukan konsep diri pada masa remaja. Argumentasi penelitian ini bahwa pembentukan konsep diri ke arah positif dapat mendukung pencapaian resiliensi, sedangkan pembentukan konsep diri yang negatif justru menghambat kemampuan resiliensi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengetahui bagaimana hubungan antara konsep diri yang terdiri dari tiga dimensi yaitu pengetahuan, harapan, dan penilaian; dengan tingkat resiliensi pada remaja yang mengalami perceraian orangtua.

M E T O D E

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsep diri. Yang dimaksud dengan konsep diri dalam penelitian ini adalah pandangan mengenai diri sendiri, mencakup keyakinan, pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri yang diperoleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah resiliensi. Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih. Individu yang resilien dapat melambung dan mengembangkan kompetensi social dan akademik, sekalipun dalam tekanan yang berat (Wolin & Wolin, 1993).

Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 13-22 tahun yang memiliki orangtua kandung yang bercerai, dan berdomisili di Malang. Pemilihan populasi penelitian di Kota Malang karena data-data yang menunjukkan bahwa Kota Malang memiliki angka perceraian yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Satrio, 2016), sedangkan angka perceraian se-Malang Raya (Kota dan Kabupaten Malang) menempati peringkat tertinggi di Jawa Timur dan peringkat kedua di Indonesia, setelah Inderamayu (Anwar, 2016).

(4)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

responden mana yang memenuhi kriteria penelitian, sehingga data kuesionernya dapat dianalisis. Data dari responden yang tidak mengisikan data perceraian orangtua selanjutnya dieliminasi (tidak diteliti). Dari hasil pengumpulan data berupa kuesioner cetak dan kuesioner online menggunakan aplikasi Google Form, diperoleh sebanyak 71 responden (32 laki-laki dan 39 perempuan) yang datanya memenuhi kriteria untuk dianalisis.

Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala konsep diri dan skala resiliensi. Kedua skala tersebut dibuat dengan model Likert yang diukur melalui kontinum 1 sampai 4. Pada masing-masing skala terdapat 4 alternatif jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Skala konsep diri yang digunakan disusun oleh peneliti berdasarkan tiga dimensi konsep diri yang dijelaskan oleh Calhoun dan Acoccella (1993) yaitu dimensi pengetahuan, harapan, dan penilaian.Skala konsep diri terdiri dari 23 aitem final dengan koefisien reliabilitas 0.833 dan telah memenuhi kriteria validitas masing-masing aitem dengan korelasi item dan total skor di atas 0.25.

Pengukuran resiliensi menggunakan skalaReciliency Attitudes and Skill Profile (RASP) yang diterjemahkan dari Therapeutic Recreation Journal. Jurnal tersebut ditulis oleh Karen P. Hurtes dan Lawrence R. Allen (2001) dengan judul Measuring Resiliency in Youth: The Resiliency Attitudes and Skill Profile. Skala RASP disusun berdasarkan hasil analisis kualitatif yang dilakukan oleh Wolin dan Wolin (1993), yang mengidentifikasi karakteristik-karakteristik berikut sebagai individu yang resilien: insight, independence, creativity, humor, initiative, relationships, dan value orientation (morality). Aitem final berjumlah 31 aitem dengan koefisien reliabilitas 0.838. Teknik analisis data yang digunakan disesuaikan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara konsep diri dengan resiliensi, menggunakan analisis korelasi product moment dengan teknik Pearson Correlation, yang dalam proses penghitungannya dibantu dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows.

H A S I L P E N E L I T I A N

Data menunjukkan rerata skor konsep diri dan resiliensi dari 71 responden.

Berdasarkan penghitungan norma alat ukur, sebanyak 5.6% responden (n = 4)

memiliki skor konsep diri pada kategori Sangat Positif, 69% tergolong Positif (n =

49), dan 25.3% berada pada kategori Cukup (n = 18). Hasil ini menunjukkan bahwa

dari seluruh responden tidak ada yang memiliki konsep diri negatif. Hal ini berarti

responden memiliki pandangan yang jelas mengenai diri sendiri, memiliki

keyakinan, pengetahuan, pengharapan, dan penilaian yang cenderung positif

terhadap dirinya (Calhoun & Acocella, 1990). Pada pengukuran resiliensi, sebanyak

12.6% responden (n = 9) memperoleh skor Sangat Tinggi, 60.6% responden (n = 43)

memperoleh skor Tinggi, dan 26.8% (n = 19) berada pada kategori Sedang. Hal ini

berarti secara keseluruhan, responden dalam penelitian ini telah mampu dan cukup

mampu untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai

permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki

(5)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

Analisis deskriptif variabel resiliensi berdasarkan usia menunjukkan bahwa

rata-rata skor resiliensi remaja awal dan remaja madya berada pada kategori

Sedang, dan remaja akhir berada pada kategori Rendah. Rerata skor resiliensi

remaja awal lebih tinggi daripada remaja madya, dapat disimpulkan bahwa skor

resiliensi pada pengukuran ini menurun seiring bertambahnya usia subjek. Analisis

Deskriptif Variabel Resiliensi berdasarkan Status menunjukkan bahwa ketujuh

puluh satu subjek, baik yang duduk di bangku SMP, SMP, Kuliah, maupun bekerja,

memiliki rerata skor yang berada pada kategori Sedang. Kelompok subjek SMP

memiliki rerata skor resiliensi tertinggi sedangkan subjek yang bekerja memiliki

rerata paling rendah. Analisis Deskriptif Variabel Resiliensi berdasarkan Rentang

Waktu menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua antara 2

hingga 6 tahun sebelum dilakukannya survey memiliki rerata skor resiliensi lebih

rendah daripada yang orangtuanya bercerai pada rentang usia 7 – 11 tahun.

Sedangkan kelompok subjek yang mengalami perceraian orangtua pada waktu yang

lebih lama yaitu 12 – 16 tahun, memiliki rerata skor resiliensi yang berada pada

kategori tinggi.

Tabel 1. Hasil Uji Korelasi Variabel Konsep Diri dan Resiliensi

TotalKonsepDiri TotalResiliensi Pearson

Correlation

0,333

Sig. (2-tailed) 0,005

N 71

Hasil uji signifikansi pada table di atas adalah 0.005, artinya Sig. < 0.05 maka

korelasi antara kedua variabel signifikan. Koefisien korelasi dari kedua variabel

adalah 0,333. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antar variabel adalah

sedang. Arah hubungan antara variabel konsep diri dan resiliensi adalah positif,

ditunjukkan dengan nilai positif pada koefisien korelasi. Hal ini berarti tiap-tiap

kenaikan nilai variabel konsep diri selalu disertai kenaikan yang seimbang

(6)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

Tabel 2. Hasil Uji Korelasi Dimensi Pengetahuan, Harapan, dan Penilaian dengan Resiliensi

Correlations

Pengetahuan Harapan Penilaian total_R

total_R Pearson Correlation .033 .429** .259* 1

Sig. (2-tailed) .786 .000 .029

N 71 71 71 71

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Hasil uji korelasi antara dimensi pengetahuan dari konsep diri, dengan

variabel resiliensi menunjukkan koefisien sebesar 0.033 dan signifikansi 0.786.

Angka signifikansi lebih besar dari 0.05 (sig. > 0.05) berarti tidak ada hubungan

yang signifikan antara dimensi pengetahuan dan resiliensi. Dimensi harapan dan

resiliensi berkorelasi dengan koefisien sebesar 0.429 dan signifikansi 0.000. Hal ini

berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variable tersebut. Hasil uji

korelasi antara dimensi penilaian dari konsep diri, dengan variabel resiliensi

menunjukkan koefisien sebesar 0.259 dan signifikansi 0.029. Angka signifikansi

kurang dari 0.05 (sig. 0.029 < 0.05) berarti ada hubungan yang signifikan antara

dimensi penilaian dan resiliensi.

D I S K U S I

Penelitian ini menemukan adanya positif dan signifikan antara konsep diri

dan resiliensi, hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu (Beardslee & Podorefsky,

1988; Crawford, 2006; Masten, 1990; Zolkoski & Bullock, 2012). Masten dkk. (2011)

menyebutkan bahwa kemampuan untuk menerima diri sendiri, persepsi positif

terhadap diri sendiri, dan rasa berharga merupakan faktor protektif dalam

pembentukan resiliensi individu. Sybil Wolin dan Steven Wolin (1993) secara

khusus memasukkan konsep diri sebagai salah satu hal yang penting untuk

diperhatikan dalam penanganan anak-anak (atau orang dewasa) yang berisiko

(disebut survivor). Menurutnya, konsep diri adalah hal penting yang harus dibangun

saat berhadapan dengan survivor. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), individu

(7)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi

kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan.

Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri yang positif merupakan kualitas seseorang

yang berkaitan dengan kemampuan resiliensi, yaitu untuk mengatasi

kesulitan-kesulitan hidupnya serta menghadapi secara kompeten kondisi yang tidak

menguntungkan (Werner, 2005).

Koefisien korelasi antara variabel konsep diri dan resiliensi memiliki tingkat

kekuatan Sedang (Pallant, 2007). Hal ini berkaitan dengan adanya faktor-faktor lain

selain konsep diri yang mungkin mempengaruhi kemampuan resiliensi remaja.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terapat perbedaan rerata skor

resiliensi berdasarkan usia, status, dan tahun perceraian. Tingkatan usia

menunjukkan bahwa remaja akhir memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah

daripada remaja awal dan tengah, sedangkan remaja awal memiliki rerata paling

tinggi. Hal serupa juga terdapat pada analisis status dimana mahasiswa dan remaja

yang telah bekerja memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah dibandingkan

dengan remaja yang masih berstatus pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi

yang tinggi dapat dipengaruhi oleh tahap perkembangan remaja awal dan

lingkungan pendidikan.

Perbedaan rerata skor resiliensi juga bervariasi menurut rentang waktu

sejak perceraian terjadi. Tabel tersebut menunjukkan bahwa remaja yang

mengalami perceraian orangtua antara 2 hingga 6 tahun sebelum dilakukannya

survei memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah daripada yang orangtuanya

bercerai pada rentang usia 7 – 11 tahun, meskipun sama-sama berada pada kategori

Sedang. Sedangkan kelompok subjek yang mengalami perceraian orangtua pada

waktu yang lebih lama yaitu 12 – 16 tahun, memiliki rerata skor resiliensi yang

berada pada kategori tinggi. Dapat disimpulkan bahwa semakin lama rentang waktu

antara peristiwa perceraian orangtua, semakin besark kemampuan anak untuk

mengatasi kesulitan, beradaptasi, dan mencapai resiliensi. Hal ini berarti, resiliensi

dapat dicapai melalui berbagai proses dari waktu ke waktu (Amato, 1999; Rutter,

1985). Wallerstein dan Kelly (dalam Amato, 1994) menemukan bahwa anak usia

(8)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

tertekan pada masa-masa awal perpisahan orangtua terjadi, tetapi 10 tahun

kemudian mereka menunjukkan adapatasi yang lebih baik. Menurut Wallerstein

(1989), meskipun banyak penelitian yang menyatakan bahwa dampak perceraian

sangat merugikan bagi anak-anak, tetapi sebagian besar dari mereka mampu

menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka setelah 2-3 tahun.

Hasil analisis korelasi masing-masing dimensi konsep diri dengan resiliensi

menunjukkan adanya hubungan antara dimensi harapan dengan resiliensi, serta

dimensi penilaian dengan resiliensi, sedangkan dimensi pengetahuan tidak

memiliki hubungan yang signifikan dengan resiliensi. Dimensi pengetahuan

meliputi apa yang kita ketahui tentang diri kita sendiri, informasi-informasi dasar

seperti usia, jenis kelamin, dan kelompok-kelompok sosial dimana kita berada.

Informasi tersebut diperoleh melalui perbandingan antara diri kita dengan orang

lain (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut Calhoun dan Acocella (1990),

kualitas-kualitas yang diperoleh melalui perbandingan dengan orang lain tersebut tidaklah

permanen. Kita dapat mengubah aspek-aspek diri kita untuk menjadi sesuai dengan

kelompok pembanding, atau mengubah kelompok pembanding untuk memperoleh

pengetahuan yang sesuai dengan diri kita. Dengan demikian, pengetahuan tentang

diri kita mungkin tidak secara langsung mempengaruhi kemampuan kita dalam

menghadapi tantangan atau bangkit dari kesulitan.

Dimensi harapan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan resiliensi.

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), harapan membangkitkan dorongan dan

memandu perilaku kita untuk mencapai tujuan tersebut. Orang dengan konsep diri

yang positif merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis, artinya ada

kemungkinan yang besar untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Pada dimensi

inilah konsep diri yang positif menjadi modal yang lebih besar untuk kehidupan

seseorang, dibanding dengan pengetahuan dan penilaian. Hal ini sesuai dengan hasil

uji hubungan antara dimensi harapan dengan resiliensi yang menunjukkan

hubungan yang signifikan. Calhoun dan Acocella (1990) menegaskan bahwa

pengharapan mengenai diri sendiri menentukan bagaimana seseorang akan

bertindak dalam hidupnya. Seseorang yang memiliki konsep diri positif berpikir

(9)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

mengarahkan seluruh tindakannya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Orang yang

konsep dirinya negatif berpikir bahwa ia mungkin gagal, maka sebenarnya ia sedang

menyiapkan dirinya untuk gagal.

Hasil uji hubungan antara dimensi penilaian dan resiliensi memiliki

hubungan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh beberapa

ahli bahwa self-esteem juga merupakan faktor yang penting dalam kajian resiliensi

(Masten, 1990; Rutter, 1985). Konsep diri yang negatif meliputi penilaian (

self-esteem) negatif terhadap diri, sehingga orang dengan konsep diri yang negatif tidak

pernah merasa cukup baik. Apapun yang diperolehnya dirasa tidak berharga

dibandingkan dengan apa yang diperoleh orang lain, apapun pengalaman yang

dialaminya dinilai secara negatif. Penilaian negatif tentang diri dan kehidupannya

membuat harga dirinya rendah dan menimbulkan kekecewaan emosional yang

lebih parah. Remaja yang mengalami perceraian orangtua, apabila konsep dirinya

negatif, akan menilai kehidupan dan keluarganya sebagai hal yang buruk, serta

menilai dirinya sebagai bagian dari lingkungan yang buruk.

S I M P U L A N

Temuan dari penelitian ini menjawab pertanyaan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara konsep diri dan resiliensi, dengan r = 0.333 dan p = 0.005.

Arah hubungan antara variabel konsep diri dan resiliensi adalah positif, yang berarti

tiap-tiap kenaikan nilai variabel konsep diri selalu disertai kenaikan yang seimbang

(proporsional) pada nilai-nilai variabel resiliensi. Hasil uji hubungan menunjukkan

bahwa dimensi pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan

resiliensi (r = 0.033, Sig = 0.786), sedangkan dimensi harapan memiliki hubungan

positif yang signifikan dengan resiliensi (r = 0.429, Sig = 0.000). Dimensi penilaian

juga memiliki hubungan positif yang signifikan dengan resiliensi (r = 0.259, Sig =

0.029). Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa perbedaan rerata skor

resiliensi juga dipengaruhi oleh variasi pada usia perkembangan, status pendidikan

atau pekerjaan, perbedaan jenis kelamin, dan rentang waktu sejak peristiwa

(10)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

Berdasarkan temuan tersebut, peneliti merasa penting untuk dilakukan

penelitian serupa dengan menganalisis faktor-faktor lain seperti ada atau tidaknya

konflik setelah perceraian dan struktur keluarga setelah perceraian, yang mungkin

berpengaruh terhadap pencapaian resiliensi remaja.

P U S T A K A A C U A N

Amato, P. R. (1994). Life-Span Adjustment of Children to Their Parents' Divorce.

The Future of Children, Children and Divorce, Vol. 4, No.1, Spring., 143-162. Anwar, K. (2016, Juni 27). Angka Cerai di Malang Peringkat Pertama se-Jatim.

pojokpitu.com, p. 1.

Arifin, N. (2015, Agustus 20). Angka Perceraian di Jawa Timur Capai 100 Ribu Kasus. Okezone News, p. 1.

Beardslee, R. W., & Podorefsky, D. (1988). Resilient Adolescents whose Parents have Serious Affective and other Psychiatric Disorders: Importance of Self-Understanding. Am J Psychiatry, 145 (1), 63-9.

Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan (Vols. edisi ke-3). (P. D. Satmoko, Trans.) Semarang: Penerbit IKIP Semarang Press.

Chen, J.-D., & George, R. A. (2005). Cultivating Resilience in Children from Divorced Families.

Crawford, K. (2006). Risk and Protective Factors Related to Resilience in Adolescents in an Alternative Education Program. South Florida: Scholar Common. Fagan, P. F., & Churchill, A. (2012). The Effects of Divorce on Children. Marriage

and Religion Research Institute, Research Synthesis - marri.us, 1-48. Hadi, S. (2004). Statistik jilid I. Yogyakarta: Andi.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga.

Hurtes, K. P., & Allen, L. R. (2001). Measuring Resiliency in Youth: The Resiliency Attitudes and Skills Profile. Therapeutic Recreation Journal vol. 35, no. 4, 333-347.

Karatas, Z., & Cakar, F. S. (2011). Self-Esteem and Hopelessness, ande Resiliency: An Exploratory Study of Adolescents in Turkey. International Education Study, 84-88.

(11)

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

Luthar, S. S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The Construct of Resilience: A Critical Evaluation and Guidelines. National Institute of Health, Child Dev.71(3), 543–562.

Masten, A. (2011). Resilience in children threatened by extreme adversity:

Frameworks for research, practice, and translational synergy. Development and Psychopathology vol. 23, 493–506.

Pallant, J. (2007). SPSS survival manual: A step by step guide to data analysis using SPSS for Windows 3rd Edition. Maidenhead: Open University Press.

Rutter, M. (1985). Resilience in the Face of Adversity. British Journal of Psychiatry, 598-611.

Rutter, M. (2006). Implications of Resilience Concepts for Scientific Understanding.

Ann. N.Y. Acad. Sci. 1094., 1-12.

Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 1, Edisi ke-13, Alih Bahasa: Widyasinta Benedictine. Jakarta: Erlangga.

Sasongko, A. (2014, Nopember 14). Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun, ini Datanya. Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun, ini Datanya, p. 1.

Satrio, F. A. (2016, Maret 11). Angka Perceraian di Malang Naik Setiap Tahun.

m.malangtimes.com, p. 1.

Sember, B. M. (1968). The Complete Divorce Handbook: A Practical Guide. New York: Sterling Publishing.

Swastika, I. (2009). Resiliensi pada Remaja yang Mengalami Broken Home.

Universitas Gunadarma.

Wagnild, G. M., & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric Evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, Vol.1, No. 2, 165-178.

Wallerstein, D. J. (1989). What are the Possible Consequences of Divorce for Children? New York: Hyperion.

Werner, E. (2005). Resilience and Recovery: Findings from the Kuai Longitudinal Study. FOCAL POiNT Research, Policy, and Practice in Children’s Mental

Health, Vol. 19 No. 1, 11-14.

Whitton, S. W. (2008). Effects of Parental Divorceon Marital Commitment and Confidence. National Institute of Health Public Access, 1-5.

Wolin, S., & Wolin, S. J. (1993). he Resilient Self: How Survivors of Troubled Families Rise Above Adversity. New York: Villard Books.

Zolkoski, S. M., & Bullock, L. M. (2012). Resilience in Children and Youth: a Review.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terutama dalam masalah peralihan pendengar atau audiensnya yang justru menghendaki siaran radio dengan kualitas audio radio FM.Salah satu penyebab hal

Pada pengujian hipotesis untuk mengetahui adakah perbedaan antara kelompok perlakuan I dan II maka dilakukan uji beda i ndependent sample t-test dan didapatkan nilai p =

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas akhir ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah menyumbang pikiran, tenaga dan bimbingan kepada

207 Tahun 2006 tentang Pembentukan dan Penetapan Susunan Dewan Pengarah/Pengendali Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan dan Kesehatan Kabupaten Deli Serdang. Peraturan

Tujuan evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja SDM organisasi, dalam penilaian kinerja tidak hanya

terdahulu tersebut, melalui inovasi ini telah ditemukan suatu metode dan alat untuk budidaya Bambu laut dengan metode integrasi ex-situ dan in-situ (Migrasi),

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada

Sebaliknya berdasarkan analisis struktur dalam ekonomi industri, struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat perusahaan terbesar menguasai minimal 40