• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam Nusantara Menurut Perspektif Mahas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Islam Nusantara Menurut Perspektif Mahas"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Islam Nusantara Menurut Perspektif Mahasiswa FAI UIKA Bogor

Syarifah Gustiawati Mukri Zahrotunn’imah

Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor syarifah@fai.uika-bogor.ac.id

liefah83@gmail.com

Abstrak

Mahasiswa sebagai agen of change di masyarakat, harus dapat menjadi pioneer dan teladan dalam mengedukasi dan mensosialisasikan setiap peristiwa yang berkaitan dengan sosial keagamaan, dalam hal ini gagasan Islam Nusantara yang menjadi isu yang harus disikapi dengan baik, dan dimaknai dengan penuh kebijakan. Sehingga tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan dan sikap mahasiswa terkait isu gagasan Islam Nusantara baik dari aspek sumber informasi, nilai pandang keagamaan dan pendapat etika budaya, sedangkan secara spesifik penelitian ini memiliki sejumlah tujuan antara lain, mendapatkan gambaran atau deskripsi lengkap tentang pandangan gagasan Islam Nusantara Menurut Perspektif Mahasiswa FAI UIKA Bogor. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana penelitian ini lebih menekankan pada makna dan proses dari pada hasil suatu aktivitas. Penelitian dilakukan selama tiga bulan dengan responden mahasiswa FAI dari berbagai program studi melalui hasil wawancara dan angket, sehingga dapat memberikan informasi yag bermanfaat untuk menambah wawasan Islam khususnya di lingkungan kampus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa berpendapat tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara yang berpotensi menimbulkan perpecahan umat Islam dan membatasi Islam yang rahmatan lilalamin sebatas wilayah teritorial dan budaya saja, sedangkan tujuan konsep Islam Nusantara secara umum mahasiswa berpendapat setuju dengan gagasan tersebut karena untuk tujuan mengangkat eksistensi agama dan bagian daripada strategi dakwah modern. Sebagian besar mahasiswa berpendapat bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat terkait isu Islam Nusantara adalah faktor informasi yang diperoleh dari media massa yang disajikan secara tidak berimbang dan menimbulkan pro dan kontra, selain faktor politik yang ingin menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran agama yang toleran, santun, damai dan universal sebagai anti tesis dari ajaran yang keras dan menyimpang dari semangat Islam yang rahmat bagi semesta alam.

(2)

1.1 Pendahuluan

Istilah Islam Nusantara, menimbulkan pendapat pro dan kontra di berbagai kalangan umat Islam di Indonesia. Pendapat yang pro dan kontra tersebut mempropagandakan bahwa “Islam Nusantara” adalah wujud implementasi Islam terbaik, dibandingkan dengan “Islam Timur Tengah” yang saat ini diwarnai berbagai konflik. Istilah tersebut, memang belum lama dideklarasikan, akan tetapi telah ramai diperbincangkan.

Beberapa kalangan intelektual, ulama, politisi, dan pejabat pemerintah banyak menggunakan istilah ini ketika membicarakan Islam. Pemicu awalnya adalah penggunaan langgam Jawa dalam tilawah Al-Qur’an pada acara Isra Mi’raj di Istana Negara. Namun demikian, ide Islam Nusantara bukanlah hal yang baru, karena Islam Nusantara hakikatnya adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah yang akidahnya Asy’ariyah, fiqhnya madzhab syafi’i dan tasawufnya alghazali.1

Ketua umum pengurus besar Nahdatul Ulama Said Agil Siradj2 menyatakan bahwa

konsep Islam Nusantara dianggap sebagai wujud kearifan lokal Indonesia. Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisional lokal, budaya, dan adat-istiadat di Tanah Air. Menurut Said, Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam Arab atau Timur Tengah. Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang khas ala Indonesia (Republika.co.id, 10/03).

Komarudin Hidayat menjelaskan bahwa konsep Islam Nusantara memerlukan penafsiran ulang, karena fikih keberagamaan manusia yang hadir di tengah masyarakat padang pasir dan bangsa maritim serta pertanian yang hidup damai, jauh dari suasana konflik dan perang memiliki ekspresi yang berbeda. Karena terlihat di berbagai daerah di Nusantara para wanita sudah biasa aktif bertani di sawah untuk membantu ekonomi keluarga. Tradisi berpakaian pun berbeda dengan wanita di Arab sehingga terasa sulit untuk meminta mereka mengganti pakaian tradisinya menjadi kearaban. Komarudin juga menambahkan bahwa di Amerika, telah terjadi Amerika Islam dan di Eropa terjadi Eropanisasi Islam (Koran sindo, 10/04).

Dengan beragamnya pendapat para tokoh dan cendikiawan dari berbagai kalangan umat Islam, maka terjadilah pro dan kontra di tengah masyarakat. Maka Mahasiswa sebagai agen perubahan di masyarakat, harus berperan sebagai pembawa sumber informasi utama bagi masyarakat, selain media massa dengan penuh tanggung jawab, maka dari itu mereka perlu mengambil sikap dan tindakan terkait menerima atau mensikapi isu tersebut, dan berupaya berkontribusi terhadap pemikiran, tindakan dan gerakan, untuk mewujudkan Islam yang Rahmatan lil’alamin.

Berdasarkan pemahaman yang pro dan kontra dari berbagai kalangan terkait dengan gagasan Islam Nusantara, dan pola informasi yang disajikan media massa yang tidak berimbang, akan memicu terjadinya kesalahpahaman yang berkepanjangan dari berbagai kalngan dan tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa yang merupakan penggerak aktivis muda yang banyak terlibat di masyarakat dan gerakan oganisasi massa.

1Hasil wawancara dengan Adian Husaini, Pemerhati Pemikiran Islam, wawancara in depth interview di pasca sarjana UIKA Bogor, 2 Februari 2016.

(3)

Berdasarkan pernyataan di atas maka diperlukan sebuah penelitian tentang Analisis Islam Nusantara dalam Perspektif Mahasiswa Fakultas Agama Islam UIKA Bogor.

Pandangan mahasiswa FAI terhadap gagasan Islam Nusantara dalam menerima dan menyikapi gagasan tersebut. Pandangan mahasiswa dalam hal ini, diminta tanggap terhadap isu Islam Nusantara baik dari aspek konsep pemikiran, gerakan dan tindakan.

Secara garis besar dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan mahasiswa FAI UIKA Bogor terhadap isu gagasan Islam Nusantara baik dari aspek sumber informasi, nilai pandang keagamaan dan pendapat etika budaya, sedangkan secara spesifik penelitian ini memiliki sejumlah tujuan antara lain:

Mendapatkan gambaran atau deskripsi lengkap tentang pandangan gagasan Islam Nusantara Menurut Perspektif Mahasiswa FAI UIKA Bogor.

2.1Literatul Review

Islam merupakan agama yang kaffah (holistis dan universal), yang memiliki sistem melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi Islam yang terdiri dari tiga hukum. Pertama, ahkam I’tiqadiyyah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ahkam Khuluqiyah, yaitu ajaran-ajaran yang memberikan petunjuk kepada mukallaf untuk membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Ketiga, ahkam ‘amaliyyah/hukum praktis, yaitu tuntunan dan tuntutan yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.3

Secara etimologis, Nusantara berasal dari bahasa Sansakerta yang terdiri dari dua kata: Nusa dan Tara. Nusa berarti pulau, tanah air. Antara berarti jarak, sela, selang, di tengah-tengah dua benda. Nusantara adalah pulau-pulau yang terletak antara Benua Asia dan Australia, diapit oleh dua lautan, Hindia dan Pasifik.4 Karenanya, tidak salah jika Radhar

Panca Dahana menyatakan bahwa orang-orang Nusantara adalah bangsa bahari yang inklusif. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil’alamin.

Nusantara adalah kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuna: nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca –seorang penulis sekaligus pendeta Buddha – menggambarkan wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulau-pulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain yang cukup luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan Malaysia, Singapura, Brunei, dan bagian selatan Filipina. Pada 2010, menurut data Biro Pusat Statistik, Wilayah Indonesia sekarang terdiri dari 1.340 kelompok etnik, dengan 2.500 bahasa dan dialek yang berbeda. Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kepulauan Indonesia yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian barat sampai Papua di bagian Timur. Inilah wilayah yang tercirikan dengan keanekaragaman geografis, biologis, etnis, bahasa, dan budaya. Kata “Nusantara” berasal dari bahasa susastra Jawa di abad ke 14 M,

3 KH. Afifuddin Mfuhaji, Mnnnufuhaan Islam Nfusantaa,a Untafua Pn,adaaan Indonnsia dan Dfunia Islam Nfusantaa,a da,i Ushful Hinuua Paham Knaanusaan Mizan Mndia Utaama 2016 h. 61

(4)

yang merujuk pada rangkaian pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit.5

Pengertian Islam Nusantara secara bahasa merupakan jenis penggabungan kata yang disebut aneksi, karena masuk dalam kategori aneksi maka terma Islam Nusantara sama saja dengan terma Islam di Nusantara.6 Menurut susunan gramatika Arab bahwa rangkaian dua

kata Islam Nusantara bukan susunan shifat maushuf, (sifat yang disifati), melainkan susunan idlafah (aneksi). Oleh karena itu di antara dua kata tersebut terkandung kata imbuhan, bisa berimbuhan min (dari) atau fi (di), maka rangkaian Islam Nusantara itu bukan bermakna Islam disifati Nusantara, tetapi Islam hidup di Nusantara. Kata Nusantara bukan sifat dari Islam tetapi sebagai idlafah.7 Sedangkan dari sisi subtansi, terma Islam

Nusantara adalah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita budaya setempat.8

Sementara Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil,MA9 menilai pembentukan istilah Islam Nusantara memiliki

kesalahan bahasa yang mendasar. Sistem bahasa Indonesia adalah diterangkan-menerangkan. Kata yang diterangkan lebih spesifik dan kata yang menerangkan lebih umum. Sebagaimna Islam Nusantara, Islam diterangkan dan Nusantara menerangkan, dengan pengertian bahasa seperti itu, karenanya Islam Nusantara salah secara bahasa, sebab itu berarti mereduksi makna Islam hanya sekedar nusantara.

Menurut katib Syuriah PBNU KH. Afifuddin Muhajir bahwasanya Islam Nusantara adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih muamalah sebagai hasil dialektika antara nash, syariat dan ‘urf, budaya dan realita di bumi Nusantara. Cendikiawan muslim Azyumardi Azra juga menjelaskan tentang Islam Nusantara sebagai Islam yang distingtif yang merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Dengan ciri ortodoksi Islam Nusantara (Kalam Asy’ari, Fiqh Mazhab Syafi’i, dan Tasawuf Ghazali) sehingga menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran.

Menurut Prof. Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub Pengurus Besar Nadhlatul ‘Ulama (PBNU) dan Imam Besar Masjid Istiqlal mengatakan bahwa “Islam Nusantara” itu adalah Islam di Nusantara, maka itu tepat. Kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bercorak budaya Nusantara, dengan catatan: selama budaya Nusantara itu tidak bertentangan dengan Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat. Sebab sumber agama Islam itu Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya. Yang wajib kita ikuti adalah agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar lagi. Tapi kalau budaya, boleh diikuti dan boleh juga tidak diikuti. Contoh budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti. Demikian pula budaya Nusantara. Selama budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai sarung itu budaya Nusantara dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai

5 KH. Yahya Cholil Staaqfui Islam Mn,anuaful Nfusantaa,a Islam Nfusantaa,a da,i Ushful Hinuua Paham Knaanusaan Mizan Mndia Utaama 2016 h. 191

6 Kamus Besar Bahasa Indonesia, aneksi adalah Gabungan kata dalam bahasa Indonesia, baik frase maupun majemuk (bagi yang setuju) memperlihatkan hubungan yang diterangkan dengan yang menerangkan lazim disebut DM. Hubungan erat antara yang diterangkan (bagian inti) dengan yang menerangkan (bukan inti) disebut aneksi. Hubungan iISlni menghasilkan makna baru.

7 KH. Sfuahan Ma’mfun 2015

8 Afifuddin Mfuhaji, Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, PT. Mizan Pustaka, 2016, h. 169

(5)

koteka itu juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka itu tidak boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya.10

pendapat Oman Faturahman, Guru Besar Filologi Islam UIN Jakarta dalam sambutannya pada acraa Pra Muktamar ke – 33 NU di Makasar, Sulawesi Selatan menegaskan, bahwa Islam Nusantara sebagai perwujudan islam yang bersifat empirik, dan isntingtif sebagai hasil interaksi, konstektuslisasi, indigenisasi, penerjemahan dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia (NU.or.id, 22/04).11

Sebagai cendikiawan muslim Indonesia Azyumardi Azra menyatakan bahwa Islam Nusantara merupakan hasil dari dialog antara Islam yang universal dengan kebudayaan lokal. Karakter islam Indonesia yang wasathiyah sedemikian memikat dunia, diawali dengan lahirnya tradisi, budaya, dan kesatuan Islam sufistik sejak awal abad ke- 16. Bahkan, Michael Laffan menejlaskan bahwa wajah Islam Indonesia tidak mulai dibentuk pada masa kolonial seperti banyak diasumsikan oleh para sarjana. Ia adalah kelanjutan dan buah dari pertemuan beragam tradisi, budaya, intelektualitas, dan agama yang telah saling berinteraksi sejak awal masuknya Islam ke wilayah ini. Tradisi Arab, Cina, India, dan Eropa, tersebut membentuk karakter wasathiyah.

Namun demikian, Dr. Tiar Anwar Bachtiar mengkritik istilah penggunaan Islam Nusantara yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra yang merupakan hasil dialog antara Islam yang universal dengan kebudayaan lokal. Menurutnya Islam Nusantara merupakan konsep politik dan kewilayahan. Konsep kewilayahan ini berarti satu wilayah yaitu Nusantara yang termasuk di dalamnya Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Myanmar dan Vietnam. Maka mestinya yang hidup disini bukan hanya mazhab syafi’I, tasawufnya Ghazali, maka harus representative dan mewakili semua yang ada di wilayah tersebut. (almutaqin//arrahman.com).

Sejumlah kalangan berpendapat berbeda tentang potensi Islam Nusantara untuk memecah belah kesatuan kaum muslim. Antar negeri muslim akan dipecah-belah melalui isu kedaerahan, ada Islam Nusantara, Islam Timur Tengah, Islam Turki, dan sebagainya. Strategi tersebut dianggap sebagai kalangan politik belah-bambu atau stick and carrot untuk melemahkan kaum muslim. Bagi mereka gagasan Islam Nusantara bukanlah hal yang baru, karena ide tersebut telah lahir sejak tahun 1980an. Sebagaimana yang pernah di gulirkan oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya, “Islam, kemodernan dan keindonesiaan (Mizan, 1987). Meliau menjelaskan tentang seruan islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya keindonesian. Ide tersebut dianggap memiliki persamaan dengan argumentasi pengusung ide Islam Nusantara yang mempropagandakan dimana ide Islam Nusantara ini dianggap sebagai kalangan sekularisasi model baru.

Kalangan yang menolak ide tersebut muncul karena senganp gagasan tersebut lemah. Karena, sebagaimana telah diketahui bahwa Al-Qur’an di turunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak ada kekhususan bagi orang Arab, Eropa, Asia, dan sebagainya. Pastinya hal tersebut adalah kekeliruan yang besar jika islam disepadankan dengan adat istiadat dan budaya sehingga ajaran Islam juga mengakomodir hal-hal yang sifatnya mubah selama tidak menyalahi syariah. Misalnya, memakai kopiah saat sholat dibolehkan sebagai sorban, karena hal tersebut hukumnya mubah. Namun, memakai jilbab (milhafah [baju kurung/abaya]) merupakan kewajiban bagi setiap Muslim

10 Pnnuuiata Jnjaa Islam funtafua Banusa (JIB) Andi Ryansyah an,aincanu dnnuan P,oi.D,.KH. Ali Mfustaaia Ya’qfua Jfum’ata (19/6/2015) di ,fuanu Imam Bnsa, Masjid Istaiqlal Jaaa,taa Pfusata.

(6)

yang akil balig (lihat QS. Al- Ahzab [33]:59). Karena itu jilbab tidak boleh diganti dengan sarung dan kebaya karena pertimbangan budaya lokal di daerah miritim dan agraris.

Ajaran islam bukanlah produk budaya Arab. Meskipun al-Qur’an dan al-Hadist berbahasa Arab, isinya bukan budaya Arab, melainkan perintah Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Ajaran Islam adalah perintah Allah SWT sedangkan budaya adalah hasil karya, cipta dan karsa manusia. Oleh karenanya, sistem peradilan Islam, sistem pendidikan Islam, hingga sistem pemerintahan Islam berupa Khalifah Islamiyah bukanlah produk budaya Arab. Semua itu merupakan perintah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Ada kecurigaan umat Islam yang menganggap bahwa Islam Nusantara bertujuan untuk membendung bahaya Islam Trans-Nasional. Alasan tersebut tidak berdasar dann terkesan tidak mengetahui sejarah. Ada yang terlewatkan bahwa Islam sendiri berasal dari Timur Tengah, bukan ‘produk’asli Indonesia. Jika mau menilai secara obektif seharusnya rutinitas shalat, shaum, zakat dan haji disebut juga sebagai produk Trans-Nasional. Sebagaimana catatan sejarah membuktikan, bahwa Islam masuk kenegeri ini dibawa oleh ‘orang luar’ yaitu Wali Songo. Sehingga, Islam terbukti memang sejak dulu bersifat Trans-Nasional, mulai didakwahkan secara lintas Negara dari pusat Dulah Islamiyah di Madinah hingga akhirnya menembus wilayah Romawi, Persia, Afrika Utara, Eropa, Asia dan seterusnya hingga Nusantara ini.

Seharusnya Islam Trans-Nasional bukanlah menjadi kendala, sehingga harus diendung dengan Islam Nusantara. Justru seharusnya karakteristik dakwah islam yang harus diemban oleh kaum muslim diseluruh dunia, harus melintasi sekat-sekat wilayah geografis. Sehingga ide Islam Nusantara yang bersifat kewilayahan dan terbatas itulah yang berbahaya karena pada akhirnya akan memojokkan Islam itu sendiri.

Perdebatan tersebut menimbulkan kebingungan bagi masyarakat awam pada umumnya di Indonesia. Ditambah lagi dengan siaran media massa yang memberikan ruang yang cukup luas bagi mereka untuk menyampaikan ide tersebut. Perang media massa semakin terlihat perannya dalam mengusung dan menolak gagasan Islam Nusantara dalam memberikan informasi ke masyarakat. sebagaimana pernyataan Mc Quail (2000:102) tentang subyektifitas media massa. Media massa adalah filter atau gate keeper tentang berbagai hal yang butuh perhatian masyarakat secara intensif atau sebaliknya. Media massa memilih isu, informasi, atau konten yang dianggap paling menarik dan representative. Disini khalayak dipilih oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat atensi. Dalam titik ini subjektifitas pengelola media yang dijadikan patokan, dengan demikian media massa berkekuatan super subjektif.

Berdasarkan hasil penjelasan tentang pengetian Islam Nusantara dari berbagai kalangan intelektual muslim, dapat disimpulkan, bahwa istilah Islam Nusantara berarti Islam di Nusantara atau Islam yang bercorak budaya Nusantara yang merupakan hasil dialektika antara Nash,Syariat, Urf, Budaya,Tradisi dan realita di bumi Nusantara. Dengan catatan selama budaya Nusantara tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karenanya, tidak semua ajaran syariat bisa diadaptasikan dengan budaya dan realitas, karena budaya Nusantara belum tentu sesuai dengan ajaran Islam, justru perlu Islamisasi budaya yang berkelanjutan, untuk Islamisasi budaya Nusantara justru perlu elaborasi terkait prinsip fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial) dalam menciptakan budaya Nusantara yang Islami.

Methodology/Materials

(7)

Metode penelitian pada penelitian ini adalah kualitatif, dengan jenis penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologik, objek penelitian adalah Mahasiswa FAI dari lintas Prodi FAI UIKA Bogor. Adapun sumber data yang digunakan terbagi menjadi dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari informan baik perseorangan, atau kelompok. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui berbagai sumber seperti, hasil jurnal ilmiah, buku-buku, surat kabar, foto hasil dokumentasi, serta sumber lainnya yang kompeten dalam memberikan data yang relevan.

4.1 Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan tiga tahapan yaitu mereduksi data, mendisplay data dan menafsirkan data.

Dalam reduksi data, semua data yang terkumpul melalui wawancara, observasi, dokumentasi, bahkan angket, yang akan difokuskan pada bagaimana sikap mahasiswa dalam menerima informasi dan mensikapi gagasan Islam Nusantara di kalangan masyarakat. Selanjutnya bagaimana pandangan mahasiswa FAI tentang pemikiran, gerakan dan tindakan yang harus disosialisasikan kepada masyarakat dalam rangka mengatasi perdebatan isu gagasan Islam Nusantara.

Setelah data dikumpulkan dan direduksi selanjutnya dikategorikan menurut pokok permasalahan dan dibuat dalam bentuk matrik, sehingga memudahkan peneliti untuk melihat pola-pola hubungan satu data dengan lainnya. Dengan penyajian diharapkan data dapat tersusun dalam pola hubungan, terorganisasikan, sehingga dapat dengan mudah untuk dipahami.

Dalam menafsirkan data, digunakan analisis content, kegiatan yang dilakukan dalam model ini adalah klarifikasi istilah-istilah, tanda, simbol, atau kode yang dipakai dalam komunikasi. Dengan menggunakan patokan dalam klarifikasi dan menggunakan teknik analisis dalam memprediksikan. Burhan dan Bungin yang dikutip Suharsimi Arikunto (2008:167), mengatakan mengidentifikasi langkah-langkah dalam proses penafsiran data ini (1) menetapkan lambang-lambang tertentu, (2) Klasifikasi data berdasarkan lambang/symbol, dan (3) melakukan prediksi atas hasil.

Setelah data tersebut ditafsirkan, kemudian disimpulkan dan diverifikasi dengan menggunakan data-data dan bukti-bukti yang valid, konsisten, yang terjadi di lapangan, sehingga kesimpulan yang diambil adalah kesimpulan yang kredibel. Kegiatan ini mencocokkan kembali apakah semua data telah tercakup dalam kegiatan analisis dan penafsiran, apakah penafsiran sesuai, apakah perlu ada konfirmasi ulang pada sumber data atau informan, apakah perlu perbaikan format tafsiran atau perlu data pendukung untuk memperkuat.

3.1 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk memperoleh tingkat keabsahan data, teknik yang digunakan antara lain: 1. Ketekunan pengamatan, yakni serangkaian kegiatan yang dibuat secara terstruktur dan dilakukan secara serius dan berkesinambungan terhadap segala realitas yang ada di lokasi penelitian, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur di dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau peristiwa yang sedang dicari kemudian difokuskan secara terperinci dengan melakukan ketekunan pengamatan mendalam.

(8)

pembanding terhadap data-data tersebut. Hal ini dapat berupa penggunaan sumber, metode penyidik dan teori.( Suratno, 1995).

3.Diskusi antar peneliti ahli dan responden, yakni diskusi yang dilakukan peneliti dengan dosen, tokoh cendikiawan muslim, para tokoh alim ulama, kalangan profesional, kalangan pejabat pemerintahan desa dan daerah, pengamat sosial, ekonomi, politik dan budaya, bahkan dengan yang mampu memberikan masukan ataupun sanggahan sehingga memberikan kemantapan terhadap hasil penelitian.Teknik ini digunakan agar peneliti dapat mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran serta memberikan kesempatan awal yang baik untuk memulai menjejaki dan mendiskusikan hasil penelitian dengan teman sejawat.

4. 1 Results and Findings

Fakultas Agama Islam (FAI) UIKA Bogor, merupakan fusi dari Fakultas Syar’ah, Fakultas Tarbiyah, dan fakultas ushuluddin, sebelum fusi civitas akademik Universitas Ibn Khaldun Bogor yang sering disebut dengan Fakultas dirasah Islamiyah. Sebelum menjelaskan Fakultas Agama Islam, perlu terlebih dahulu diuraikan fakultas-fakultas yang menjadi cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Fakultas Ahwal Alsyakhsiyah (Syari’ah) merupakan prodi yang tertua dibandingkan dengan prodi PAI (tarbiyah) dan Prodi KPI sebelumnya ushuluddin, karena berdirinya tidak berselang lama dari sejak Universitas Ibn Khaldun Bogor memperoleh otonomi penuh pada tahun 1961 dan tidak lagi menjadi bagian dari Universitas Ibn Chaldun Jakarta. Sementara fakultas tarbiyah pada awalnya sebuah Akademi Ilmu Agama Islam Bogor (AIAIB) yang berdiri sejak tahun 1975. Atas dasar rekomendasi dari coordinator perguruan tinggi Islam swasta (KOPERTAIS) wilayah I Jakarta Nomor : 11212/G/K/1976 tanggal 27 November 1976 dan laporan hasil observasi tim dari Ditperta Departemen Agama RI, maka AIAIB dianggap telah memenuhi syarat untuk memperoleh status terdaftar bagi Akademik Ilmu Agama Islam Bogor (AIAIB).

Fakultas Ushuluddin saat ini Prodi KPI, merupakan fakultas termuda, di lingkup fakultas-fakultas Dirosah Islamiyah maupun lingkup Universitas Ibn Khaldun Bogor, Fakultas ini berdiri hampir bersamaan dengan bergabungnya Fakultas tarbiyah ke UIKA sekitar tahun 1982-an dengan tujuan memenuhi kebutuhan para ahli agama dan da’i, pada awal berdirinya beralamatkan di Gedung PUI Jln. Pahlawan Bondongan bersama-sama dengan Fakultas Tarbiyah. Baru pada tahun 1985 sekretariat dan tempat perkuliahan pindah ke jln. RE. Martadinata bersama-sama dengan fakultas lainnya.12

Fusi menjadi FAI UIKA setelah menyadari kondisi fakultas-fakultas Dirasah Islamiyah keberadaanya dianggap sebagai beban dan harus disubsidi, memang jumlah mahasiswanya waku itu masih sedikit terutama fakultas syariah dan ushuluddin bila dibandingkan fakultas-fakultas Non Dirasah, menyadari akan kondisi tersebut, maka pimpinan fakultas syariah, tarbiyah, dan ushuluddin sepakat untuk melakukan efisiensi dengan cara fusi atau penggabungan tiga fakultas menjadi Fakultas Agama Islam. Sekarang upaya tersebut membuahkan hasil, yaitu bahwa jumlah mahasiswa FAI menjadi terbanyak pertama, FAI tidak lagi menjadi beban yang harus disubsidi.

Fakultas Agama Islam (FAI) UIKA Bogor saat ini memiliki 5 program studi, yakni: Program Studi Ahwal Syakhshiyyah, Program Studi Komunikasi Dan Penyiaran Islam (KPI), Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), dan Program Studi Ekonomi Syariah (Eksyar).

(9)

Fakultas Agama Islam yang bergerak dibidang dakwah Islam dan sosial keagaaman, menjadikan calon-calon Mahasiswa yang siap menjadi agen of change, yang harus mengetahui maksud dan tujuan setiap isu keagamaan yang sedang terjadi, terakhir permasalahan isu gagasan pemikiran Islam Nusantara, yang harus diketahui, didengar dan diamati melalui berbagai informasi media massa dan sosialisasi tentang gagasan tersebut, yang mana telah dianggap menimbulkan perselisihan pendapat. Berdasarkan informasi tersebut, Islam sebagai agama rahmatan lilalamin seakan dipertaruhkan untuk kepentingan popularitas suatu kelompok organisasi kemasyarakatan. Sedangkan mahasiswa sebagai informan aspirasi masyarakat dan pengamat pengkajian ilmu keislaman harus tanggap terhadap isu-isu Islam Nusantara, sehingga diharapkan dapat bersikap bijaksana dalam memperoleh informasi dan berupaya memelihara dan membentengi akidah dari berbagai aliran pemikiran modern yang menyimpang.

Berdasarkan pemahaman yang pro dan kontra dari berbagai kalangan terkait dengan gagasan Islam Nusantara, dan pola informasi yang disajikan media massa yang tidak berimbang, akan memicu terjadinya kesalahpahaman yang berkepanjangan dari berbagai kalangan dan tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa yang merupakan penggerak aktivis muda yang banyak terlibat di masyarakat dan gerakan oganisasi massa.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang perspektif mahasiswa terkait isu gagasan Islam Nusantara yang sedang ramai di perbincangkan di masyarakat, dengan demikian mahasiswa dapat diketahui pendapatnya dan pemikirannya, sehingga ditemukan sikap ilmiah yang mampu menyelesaikan propaganda di masyarakat luas terkait penjelasan istilah dan konsep Islam Nusantara.

Adapun responden mahasiswa yang dimintai keterangan berjumlah 150 mahasiswa berasal dari lintas prodi, dari total jumlah angkatan 2013, adapun karakteristik responden jika dilihat dari kategori perjenis kelamin, responden wanita berjumlah 77 orang sedangkan yang berjenis kelamin pria berjumlah 73 orang, dengan demikian total responden berjumlah 150 orang dari jumlah perwakilan masing-masing program studi di Fakultas Agama Islam UIKA Bogor.

Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 53% dari total responden 150 mahasiswa, menyatakan bahwa pola informasi media massa baik elektronik maupun cetak, sangat signifikan mempengaruhi pola pemikiran dan perilaku mahasiswa, 15% dari populasi menyatakan tidak signifikan, dan 32% lainnya tidak mengetahui informasi sama sekali tentang isu Islam Nusantara. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa pandangan mahasiswa terhadap sumber berita media massa dapat merubah pola pikir mahasiswa secara signifikan, sehingga media dianggap menjadi sumber informasi utama penyalur berita terkait Islam Nusantara.

Sebanyak 82% mahasiswa menerima informasi gagasan Islam Nusantara melalui media massa, 3% dari mahasiswa mengetahui informasi melalui buku bacaan, 6% dari mahasiswa mengetahui informasi dari hasil seminar yang diikuti, 2% dari hasil pengajian, 4% dari hasil diskusi antar teman dan 3% lainnya dari guru, sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa lebih banyak mengetahui informasi tentang gagasan Islam Nusantara melalui media massa khususnya televisi.

(10)

Pandangan keagamaan terhadap tujuan gagasan Islam Nusantara 46% dari mereka menyatakan bahwa tujuan Islam Nusantara adalah meningkatkan eksistensi agama Islam, sedangkan 33% dari mahasiswa menyatakan bahwa tujuan tersebut untuk politik, 10% lainnya menyatakan bahwa tujuan itu untuk radikalisme, sedangkan 4% lagi untuk tujuan liberalisme dan 7% lainnya untuk tujuan tradisi di Indonesia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan gagasan Islam Nusantara menurut pandangan mahasiswa adalah untuk meningkatkan eksistensi agama Islam.

Perspektif mahasiswa terhadap faktor-faktor munculnya gagasan Islam Nusantara 49% menyatakan faktor politik adalah pemicu munculnya gagasan Islam Nusantara, 30% menyatakan faktor budaya, 11% karena faktor dakwah, 8% karena perbedaan, dan 2% dari Phobia Islam Radikal. Dengan demikian, maka faktor terbanyak menurut pandangan mahasiswa adalah politik, sedangkan pilihan terendah adalah faktor phobia Islam Radikal.

Desakan masyarakat untuk menginternasionalisasikan Islam di Nusantara, menurut pandangan mahasiswa 9% dari mereka menyatakan sangat perlu, 40% dari responden menyatakan perlu, 8% dari mereka menyatakan cukup perlu, 33% dari mereka menyatakan tidak perlu, sedangkan 10% dari mereka menyatakan tidak perlu. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebagaian besar mahasiswa menyatakan perlu menginternasionalisasikan Islam di Nusantara ke luar Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, terlihat sebesar 40% dari mahasiswa menyatakan bahwa ajaran Islam akan mewarnai budaya, dan 46% tidak mewarnai budaya sedangkan 14% lagi tidak mengetahui dampak dari Islam Nusantara. Dengan demikian, sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa gagasan Islam Nusantara merupakan hasil dialog antara ajaran Islam universal dengan budaya lokal setempat.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, terlihat bahwa 40% mahasiswa menyatakan bahwa perbedaan pendapat antar kalangan umat Islam tentang Islam Nusantara karena Islam adalah rahmatan lilalamin, 30% lainnya menyatakan gagasan Islam Nusantara itu tidak sesuai syariat Islam, 20% lainnya menyatakan bahwa Islam itu bukanlah budaya, 7% lainnya menyatakan untuk memperkuat agama, dan 3% lainnya tidak memahami tujuan Islam Nusantara. Dengan demikian sebanyak 40% mahasiswa menyatakan bahwa sebab alasan pro dan kontra tersebut karena alasan Islam adalah rahmatan lilalamin sehingga tidak dapat dipisahkan antar wilayah.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat dijelaskan bahwa sebanyak 7% mahasiswa menyatakan bahwa isu tersebut dipandang baik, 34% mahasiswa menyatakan bahwa isu tersebut tidak baik, 30% dari mereka menyatakan tidak tahu, 12% dari mereka menyatakan tidak peduli, dan 17% mennyatakan meragukan berita tersebut. Dengan demikian, pandangan mahasiswa terhadap respon masyarakat tentang isu Islam Nusantara sebagian besar menganggap tidak baik bahkan diantara mereka menyatakan tidak peduli dengan isu tersebut.

(11)

Namun demikian, ternyata media tetap menjadi sumber utama untuk mengetahui berita secara langsung, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa 53% mahasiswa mendengar dan mengetahui informasi gagasan Islam Nusantara melalui media, sedangkan mahasiswa lainnya mengetahui informasi tersebut, melalui seminar, teman, buku, pengajian, dan guru, dengan jumlah yang tidak terlalu signifikan.

Dengan demikian, pandangan mahasiswa terhadap pola informasi media massa menyatakan bahwa sumber utama pengetahuannya masih didominasi dari hasil berita media massa yang disajikan oleh media secara tidak berimbang dan tergantung pada manajemen pengelolaannya, sehingga dapat sekali mempengaruhi pola pemikiran dan perilaku masyarakat serta menimbulkan reaksi pro kontra di kalangan masyarakat khususnya mahasiswa. Karena awal munculnya reaksi tersebut, pada saat perayaan Maulid Nabi Muhammad di Istana Negara, dengan dibuka oleh tilawah al-Qur’an yang menggunakan lagam Jawa. Seperti tidak lazim didengar, sehingga mereka berpendapat Islam diadaptasikan dengan budaya. Namun demikian, besarnya arus media massa menginfokan berita actual tersebut, tidak dapat dinafikan bahwa berita di media mendapat respon yang ramai di tengah masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat dijelaskan bahwa terdapat 56% dari total mahasiswa tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara, sedangkan sebagian mahasiswa lainnya tidak tahu sama sekali terkait isu gagasan Islam Nusantara. Pernyataan tersebut menunjukkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa pandangan mahasiswa terhadap isu tersebut masih belum merata. Namun demikian, pandangan mahasiswa yang tidak setuju terhadap istilah gagasan Islam Nusantara cukup signifikan. Mereka berpendapat bahwa faktor-faktor munculnya gagasan Islam Nusantara karena politik praktis di kalangan NU pasca Mu’tamar ke 33 di Makassar dan ada juga yang mengatakan isu tersebut muncul karena antitesis dari aliran radikalisme, sehingga perlu menampilkan Islam yang santun, toleran, dan moderat. Dan lebih penting lagi mereka menganggap bahwa gagasan Islam Nusantara akan mengancam eksistensi agama Islam. Sedangkan pernyataan lainnya, bahwa isu tersebut muncul karena faktor tradisi ataupun unsur liberalisme. Bahkan tidak ada yang menyatakan, bahwa munculnya gagasan tersebut karena faktor kepentingan uang, yang mungkin dapat menjadi faktor utama pandangannya.

Pandangan mahasiswa terhadap dampak gagasan Islam Nusantara terhadap respon organisasi masyarakat dan media massa, sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa isu gagasan Islam Nusantara dapat mempengaruhi organisasi masyarakat, sedangkan sisanya menyatakan tidak tahu, dan sejumlah kecil dari mahasiswa yang menyatakan positif dari sekian jumlah sample mahasiswa, sedangkan dampak terhadap media massa sebagian lainnya menyatakan tidak tahu tentang isu gagasan Islam Nusantara, ada juga yang menyatakan baik, dan sebagian besar lainnya belum peduli terhadap isu Islam Nusantara ini.

Sebanyak 40% mahasiswa menyatakan bahwa Islam adalah Rahmatan Lil’alamin, sehingga ide Islam Nusantara dianggap tidak sesuai dengan syariat, adapun alasan lainnya mahasiswa menyatakan bahwa Islam bukanlah budaya. Berdasarkan data tersebut membuktikan bahwa pandangan mahasiswa terhadap Islam Nusantara belum setuju karena akan berdampak kepada perpecahan umat Islam, dan melanggar syariat.

Sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa Indonesia perlu merespon desakan masyarakat Internasional untuk menginternasionalisasikan Islam di Nsantara, terlihat 30 mahasiswa setuju dengan pernyataan itu dan sebagian besar lainnya tidak setuju dengan strategi dakwah tersebut.

(12)

Islam yang rahmatan lilalamin dan dapat memecah belah umat Islam, selain juga mereka berpendapat bahwa faktor munculnya isu Islam Nusantara karena faktor politik, perihal tujuan Islam Nusantara sebagian besar mereka berpendapat bahwa konsep Islam Nusantara bertujuan untuk meningkatkan strategi dakwah dan eksistensi agama. Sebagaimana penjelasan salah satu mahasiswa dalam wawancara in depth interview, mereka menyatakan bahwa konsep Islam Nusantara itu adalah Islam yang melebur dengan budaya, Islam yang bersatu dengan nasionalis, Islam yang bersatu dengan kebangsaan, Islam yang ramah, toleran serta moderat. Ini menunjukan bahwa mahasiswa setuju dengan gagasan tersebut, karena menurutnya ada sebagian muslim khususnya di Indonesia yang antipati terhadap point-point di atas, sehingga dapat memicu terjadinya konflik internal. Mereka juga menjelaskan bahwa gagasan ini sebenarnya sudah jauh hari diaplikasikan oleh walisongo, namun dia tidak setuju dengan istilah saja “Islam Nusantara” seharusnya Islam di Nusantara sebagaimana pendapat KH. Hasyim Asy’ari, supaya tidak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat dan Islam tidak terkesan terkotak-kotak tidak terbatasi oleh letak geografis dan kulturnya. Sehingga berdasarkan penjelasan tersebut di atas, jika dibandingkan dengan hasil angket ada kesamaan pandangan bahwa sebagian besar mahasiswa tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara. Namun demikian, mereka masih menyatakan setuju terhadap tujuan besar Islam Nusantara yaitu Islam yang moderat, Islam yang ramah dan santun yang merupakan hasil dialog antara Islam universal dengan budaya lokal setempat. Dan hasil vernakularisasi antara teks-teks ayat al-Qur’an dengan tradisi dan budaya setempat.

Dalam mensikapi gagasan ini, Dede Jamaludin seorang mahasiswa pada semester VII Ekonomi Syariah menambahkan bahwa ia tidak tendensius atau tidak terlalu risih dengan adanya gagasan ini, justru gagasan ini sangat luar biasa karena dapat menimbulkan rasa nasionalisme cinta tanah air yang tinggi, sehingga tidak terjadi konflik-konflik seperti Negara-negara muslim di Timur Tengah, mengapa Negara Timur Tengah sering terjadi konflik padahal banyak ulama-ulama terkemuka, jawabannya adalah karena mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme atau cinta tanah air yang tinggi. Karena, Islam dan nasionalisme harus beriringan begitu kata KH. Hasyim Asy’ari.

(13)

Conclusion/ Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dijelaskan bahwa pola informasi media massa dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku serta sikap masyarakat, secara signifikan, terlihat dari hasil penelitian pada mahasiswa sebagian besar dari mereka mengetahui berita tentang Islam Nusantara dari media massa baik cetak maupun elektronik. Gagasan Islam Nusantara tersebut menimbulkan pro dan kontra karena faktor media massa yang disajikan secara tidak berimbang antara konsep dengan komunikan penyampai berita, sehingga berita sampai di tengah masyarakat tidak sesuai dengan prosedur pemberitaan. Adapun yang menjadi alasan pro dan kontra nya isu keagamaan tersebut karena Istilah Islam Nusantara yang cenderung membatasi Islam yang rahmatan lilalamin dengan batas teritorial, budaya dan bangsa. Maka dengan demikian perlu peninjauan ulang terkait susunan bahasa istilah Islam Nusantara yang berarti Islam di Nusantara, sehingga diksi tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Karena terbukti, sebagian besar mahasiswa tidak setuju dengan Istilah tersebut dikhawatirkan menyebabkan perpecahan umat dan pergeseran makna Islam yang universal. Adapun terkait tujuan gagasan Islam Nusantara sebagian besar mahasiswa menyetujui karena dapat mengangkat eksistensi agama dan sebagai strategi dakwah. Sebagian besar perspektif mahasiswa terkait tujuan besar Islam Nusantara, menyatakan setuju karena maksud dari konsep Islam Nusantara adalah Islam yang moderat, Islam yang ramah dan santun yang merupakan hasil dialog antara Islam universal dengan budaya lokal setempat. Dan hasil vernakularisasi antara teks-teks ayat al-Qur’an dengan tradisi dan budaya setempat. Bahkan dinyatakan bahwa ada tiga pilar atau rukun konsep Islam Nusantara antara lain Pertama, Pemikiran, yaitu cara berpikir yang moderat, artinya Islam Nusantara berada dalam posisi tidak tekstualis, tetapi tidak juga liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku sebagaimana yang terjadi pada kaum wahabi di dalam memahami teks-teks al-Qur’an.

Kedua, Gerakan, yaitu semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan reformasi, untuk jamaah perkumpulan, dan jamaah warga yang tak hanya didasarkan pada tradisi tetapi juga inovasi. Pilar Ketiga, adalah Amaliah, Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan Nahdiyyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan uhsul fikih, disiplin yang menjadi dasar untuk menyambungkan amaliah yang diperintahkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Intinya tidak bertentangan dengan Islam yang rahmatan lilaalamin dan gagasan Islam Nusantara bukanlah hal yang baru hadir di kancah isu politik keagamaan, karena tetap mensyariatkan ajaran rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia.

Daftar Pustaka

Alqardhawy, Yusuf, 1993. Al Iman wal Hayat. (Iman dan Kehidupan). PT. Bulan Bintang, Jakarta.

Blumler, Jay G., Elihu Katz (Editor), 1974. The Uses of Mass Communications, current Perspectives On Gratifications Research, Sage Publications/ Baverly Hilss/ London. Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kualitatif dan Kuantitatif,

Deliar Noer, Islam dan Masyarakat, Penerbit, Yayasan Risalah: Jakarta, cetakan pertama, Juni 2003

D. HendroPuspito, O.C. 2006. Sosiologi Agama, Penerbit, Kanisius: Jakarta, cetakan ke 22.

(14)

Editor Fauzi, Ali, 1990. Mencari Islam, Kumpulan otobiografi intelektual kaum muslim Muda Muslim Indonesia angkatan 80-an. PT. Mizan, Bandung.

Effendi, Djohan, 2010. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Hafidhuddin, K.H. Didin, 2000. Tafsir Al Hijri, Kajian Tafsir AlQur’an Surat An-Nisa.

PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta.

Hafidhuddin, K.H. Didin, 2001. Tafsir Al Hijri, Kajian Tafsir AlQur’an Surat Al-Maidah..

PT. Kalimah, Jakarta.

Hadi, Sutrisno, 1987. Metodologi Research, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.

Hafidhuddin, K.H. Didin, 2006. Agar Layar Tetap Terkembang Upaya Menyelamatkan Umat. PT. Gema Insani, Jakarta.

Hutington, Samuel, P., 2000. Bantuan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia,

edisi Terjemahan Buku, The Clash of Civilizations and The Remaking Of World Order ,

Penerbit Qalam, Jakarta.

Iman Suprayogo, Tobroni, 2001. Metode Penelitian Sosial Agama cet. 1, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Koentjaraningrat, 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT. Gramedia PustakaUtama, Jakarta.

Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Mc. Quail, 2000. Mass Communication Theories, 4th edition.

Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif : Remaja Rosdakarya, Bandung. Makalah Halaqah Ulama Pesantren Khas Nusantara Menuju Pendidikan Islam Internasional, Bogor, 6-8 Oktober 2015/ 22-24 Djulhijjah 1436 H.

Musthofa Harun, Ahmad, Memperteguh Islam Nusantara, PT. Khairu Jalisin Kitabun (KHALISTA), Agustus 2015.

Nazir, M. 1988. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Roland Robertson,ed. Agama: dalam analisa dan interpretasi sosiologis, penerbit: Rajawali Pers; Jakarta, cetakan pertama, Juni, 1988.

Samovar, A. Larry., & Porter, E, Richard. (2001). Communication Between Cultures.

Fourth Edition. California: Wadsworth.

Syamsu As, H. Muhammad, 1996. Ulama pembawa Islam di Indoensia dan sekitarnya. Pt. Lentera, Jakarta.

Shihab, Quraish, 1994. Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Pt. Mizan Cet IV.

Sudarto, 1995. Metodologi Penelitian Filsafat, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suprayogo, Imam, Tobroni, 2001. Metode Penelitian Sosial Agama cet.1, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi Sofwan, 1989. Metode Penelitian Survei, (LP3S, Jakarta) Soeratno, 1995. Metodologi Penelitian, (Yogyakarta : UUP AMP YKPN).

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratama (2012) dan Huriah (2006) yang mengemukakan mayoritas ibu memiliki perilaku yang baik dalam pemenuhan

Pendapat sebagian mahasiswa FAI UNISSULA yang lain (25% responden) bahwa nikah siri tidak sah sebab tidak memiliki kekuatan hukum. Adapun akibat dari nikah siri

Strategi Pemasaran Teh Manggata pada CV Dari Teman Sejati dengan menggunakan Analisis SWOT antara lain: Strategi Produk adalah Mening-katkan nilai jual dari Teh

Melihat dari kondisi sekarang ini pengkajian dilakukan karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap etnomatematika dan kesalah pahaman masyarakat awam

PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI (HDB) PADA TANAMAN PADI...

Oleh karenanya, sebagaimana dinyatakan dalam laporan kami tanggal 23 Maret 2004, pendapat kami atas laporan keuangan konsolidasi tahun 2003 adalah wajar dengan

Mikroemulsi minyak jinten hitam yang ditambahkan ekstrak kulit batang kayu manis memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik dibanding yang minyak jinten hitam