• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuberculosis: Never Ending Story Refleksi Perjalanan Panjang Penanggulangan Tuberkulosis di Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tuberculosis: Never Ending Story Refleksi Perjalanan Panjang Penanggulangan Tuberkulosis di Jawa Tengah"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

TUBERCULOSIS:

NEVER ENDING STORY

Refleksi Perjalanan Panjang

Penanggulangan TuberKulosis

Di Jawa Tengah

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4)

TUBERCULOSIS:

NEVER ENDING STORY

Refleksi Perjalanan Panjang

Penanggulangan TuberKulosis

Di Jawa Tengah

Reviono

(5)

TUBERCULOSIS:

NEVER ENDING STORY

REFLEKSI PERJALANAN PANJANG PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DI JAWA TENGAH

Hak CiptaReviono. 2018

Penulis

Dr. dr. Reviono, Sp.P (K)

Editor

Dr. dr. Harsini, Sp. P (K)

Ilustrasi Sampul Arif Hasanudin

Penerbit dan Percetakan

Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press)

Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telepon (0271) 646994 Psw. 341 Fax. (0271) 7890628

Website : www.unspress.uns.ac.id Email : unspress@uns.ac.id

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang cukup akrab di masyarakat. Penyakit menular ini sering dikaitkan dengan status sosial yang rendah, walaupun kenyataannya tidak sepenuhnya benar. Indonesia termasuk dalam kelompok High Burden Country untuk kasus TB. Posisi Indonesia tidak pernah diluar 5 besar sebagai negara dengan insidensi terbanyak, bahkan pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2016 dan 2017 menduduki urutan kedua, diatasnya hanya ada negara India.

(7)

Pada buku ini disampaikan sebagian besar tentang masalah TB dari sisi kesehatan masyarakat dan managemen unit pelayanan kesehatan. Memang tidak dapat dipungikri juga terdapat masalah klinis pada TB, tetapi masalah klinis ini terjadi saat paien dalam keadaan

immunocompromised, misalnya TB bersama dengan penyakit lain: TB-HIV, TB-DM dan sebagainya. Masalah TB dari sisi kesehatan masyarakat tidak kalah besar. Pengobatan penyakit ini cukup lama, bila tanpa komplikasi atau penyakit penyerta adalah 6 bulan. Bagi sebagian besar masyarakat menganggap terapi 6 bulan ini terlalu lama, sehingga banyak yang tidak sabar sehingga terjadi kasus putus berobat (default), apalagi dalam waktu pengobatan 2 bulan saja kondisi klinis sudah membaik sehingga merasa sudah sembuh. Demikian juga jangka waktu 6 bulan ini dapat saja pasien TB karena mobilitasnya yang tinggi akan pindah pekerjaan atau melanjutkan sekolah, sehingga harus berpindah tempat sekaligus berpindah berobat ke fasilitas kesehatan lain. Persoalan ini kelihatannya sepele tetapi dari sisi pemantauan pengobatan menjadi bermasalah, apabila pasien TB tersebut tidak dilaporkan hasil akhir pengobatannya, apakah memang sudah sembuh atau jangan–jangan tidak melanjutkan pengobatan.

(8)

tersebut. Akibatnya pasien tidak segera berobat, sehingga panemuan kasus menjadi berkurang atau juga juga terjadi keterlambatan pengobatan. Pasien yang terlambat berobat akan menjadi sumber penularan dimasyarakat, sehingga akan mempersulit pengendalian TB. Keterlambatan pengobatan juga akan mengakibatkan kasus sudah berat sehingga akan mempersulit pengobatan.

Ilustrasi diatas merupakan masalah yang nyata di masyarakat dan juga terjadi di Jawa Tengah. Permasalahan tersebut diteliti dan dievaluasi pada penelitian ini, mulai tahun 2000-2016. Evaluasi dilakukan berdasarkan indikator program baik input maupun output. Hasil evaluasi ini merupakan refleksi diri, karena WHO telah mencanangkan eliminasi TB pada tahun 2035. Visi kedepan WHO ini harus dapat diikuti oleh Jawa Tengah. Berbagai langkah sudah pernah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah mulai dari penerapan strategi DOTS, terlibat dalam jejaring Public Private Mix

(PPM) dan upaya lain yang melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat. Pada penelitian ini juga dikembangkan konsep modal sosial dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam mensukseskan program pengendalian TB dengan tujuan eliminasi TB.

(9)

data-data program pengendalian TB di Jawa Tengah. Buku ini juga menjadi catatan saya pribadi yang selama ini ikut terlibat dalam pelaksanaan program pengendalian TB dengan Strategi DOTS. Semoga buku ini dapat menjadi masukan untuk pelaksanaan program dimasa mendatang, terutama untuk para sejawat yang terlibat program ini baik di Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota serta yang bekerja di Rumah Sakit. Akhirul kalam, mohon maaf bila masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini, semoga dapat memberi manfaat bagi kita semua. Aamiin

Surakarta 17 Agustus 2018

Reviono

(10)

Daftar Isi

A. Masalah Tuberkulosis Secara Global ... 2

B. Masalah Tuberkulosis di Tingkat Nasional 3 C. Masalah Tuberkulosis di Jawa Tengah ... 5

BAB II Penanggulangan Tuberkulosis di Dunia ... 7

A. Tuberkulosis Pada Awal Peradaban ... 8

B. Masa Ditemukannya Penyebab TB... 11

C. Masa Kemoterapi ... 16

B. Capaian Indikator Input Program ... 68

(11)

D. Perbandingan Antara Puskesmas

dan Fasilitas Rujukan ... 76

BAB VI Pembahasan dan Refleksi Program ... 81

A. Dinamika Pencapaian Indikator TB di Jawa Tengah... 82

B. Indikator Input Program ... 84

C. Indikator Output Program ... 88

BAB VII Public – Private Mix (PPM) ... 99

A. Public –Private Mix Dalam Memperkuat Strategi DOTS ... 100

B. Keterlibatan Sektor Swasta Pada PPM ... 102

C. Permasalahan Pelaksanaan Program Pengendalian TB di Rumah Sakit ... 108

BAB VIII Peran Serta Masyarakat ... 115

A. Gerakan Lintas Sektor dalam Penanggulangan TB ... 116

B. Modal Sosial ... 117

C. Dimensi Modal Sosial ... 120

D. Peran Kader Kesehatan ... 127

E. Peran Tokoh Masyarakat ... 132

BAB IX Penutup dan Rekomendasi ... 135

Daftar Pustaka ... 138

Lampiran ... 147

- Daftar Singkatan ... 149

(12)

Daftar Tabel

Tabel 1. Indikator untuk memantau program

pengendalian TB ... 32

Tabel 2. Tonggak pencapaian utama dalam

pengendalian TB di Indonesia ... 50

Tabel 3. Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang menerapkan Strategi DOTS pada tahun

2010 secara nasional. ... 56

Tabel 4. Sasaran Strategi Nasional pengendalian TB per tahun 2010-2014 ... 57

Tabel 5. Demografi penduduk dan fasilitas kesehatan pada kasus TB di Jawa Tengah pada tahun 2000 -2016 ... 66

Tabel 6. Output hasil pengobatan Kasus

TB BTA (+) (%) ... 73

Tabel 7. Perbandingan angka sembuh, default dan pindah antara fasilitas pelayanan

kesehatan ... 76

Tabel 8. Contoh alat untuk memulai dan

(13)

Daftar Gambar

Gambar 1. Hippocrates dan ilustrasi phthisis atau

consumption ... 9 Gambar 2. Fransiscus Sylvius de La Boe dan

Richard Morton... 12

Gambar 3. Robert Koch dan Penyebab TB ... 14

Gambar 4. Herman Brehmer dan Sanatorium ... 15

Gambar 5. Selman A Waksman Penemu Streptomycin 17 Gambar 6. Karel Styblo (bersama team WHO)

pencetus ide dasar DOTS ... 20

Gambar 7. Progres report yang dibuat tahun 2003 ... 24

Gambar 8. Program Sustainable Development Goals . 36

Gambar 9. Sekilas tentang End TB Strategy... 37

Gambar 10. Sanatorium di Indonesia ... 45

Gambar 11. Model Proyek HDL ... 54

Gambar 12. Case notification rate TB BTA positif dan

semua kasus di Indonesia. ... 58

Gambar 13. CDR Jawa Tengah 2000 – 2016 ... 69

Gambar 14. Pencapaian CNR total dan CNR BTA (+)

di Jawa Tengah tahun 2000 – 2016 ... 71

Gambar 15. Dinamika Success Rate tahun

(14)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Bab I.

Pendahuluan

(15)

TUBERCULOSIS: Never ending story

A. Masalah Tuberkulosis Secara Global

Setelah 20 tahun World Health Organization

(WHO) menerapkan strategi Directly Observed Treatment

Short-course (DOTS) dalam program penanggulangan

tuberkulosis (TB), sampai saat ini TB masih menjadi

permasalahan global (Asuquo AE et al, 2015).

Berdasarkan laporan WHO 2016, terdapat 9.600.000

kasus TB baru dengan 1.500.000 orang meninggal

(WHO, 2017). Strategi DOTS mengutamakan deteksi

kasus TB basil tahan asam (BTA) (+) dengan

menggunakan pemeriksaan mikroskopik sputum dan

pengawasan langsung menelan obat anti TB dengan

paduan obat jangka pendek. Pada tahun 2006 WHO

menggulirkan strategi Stop TB yang terdiri dari 6

komponen dengan visi dunia bebas dari TB. Target

utamanya adalah menurunkan beban TB global secara

dramatis pada tahun 2015 sesuai dengan target 8

Millenium development goals (MDGs). Target tersebut

adalah kelanjutan dari target WHO sebelumnya yaitu

deteksi kasus baru TB BTA positif (70%) dan angka

kesembuhan minimal 85% yang telah disampaikan

pada tahun 2005 (WHO, 2005; Pio A, 2006)). Program

ini berlanjut dengan dituangkan dalam The End TB

Strategy yang merupakan indikator dari tujuan

Sustainable Development Goals (SDGs) pada tujuan ke

3. The End TB Strategy mentargetkan dunia bebas TB

(16)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Pada tahun 1994, World Health Organization

telah mengeluarkan Strategi Directly Observed

Treatment Short Course (DOTS) yang ditujukan untuk

menanggulangi epidemi TB. Untuk menghadapi

Millenium Development Goals, strategi DOTS

dikembangkan menjadi Strategi Stop TB yang bertujuan

untuk melibatkan semua fasilitas pelayanan kesehatan

(Probandari A, 2008). Metode ini dikenal dengan Public

Private Mix (PPM) yang merupakan komponen inti dari

Strategi Stop TB (Lei X, et al, 2015).

B. Masalah Tuberkulosis di Tingkat Nasional

Program penanggulangan TB dengan Strategi

DOTS sampai tahun 2005 di Jawa Tengah sebagian

besar dilaksanakan oleh Puskesmas sekitar 98% sudah

terlibat, sedangkan untuk fasilitas pelayanan Rujukan

yaitu Rumah Sakit (RS) maupun Balai Kesehatan Paru

Masyarakat (BKPM) yang dahulu dikenal BP4 (Balai

Pengobatan Penyakit Paru Paru) belum mencapai 30%.

Untuk mencapai tujuan dan target penanggulangan TB

Strategi DOTS harus di diekspansi keseluruh fasilitas

pelayanan kesehatan (Depkes, 2008). Target dari

Strategi DOTS adalah case detection rate (CDR) minimal

70%, cure rate 85%, angka default (putus berobat) <

5%, angka gagal pengobatan <4% untuk daerah yang

tidak ada masalah resistensi obat anti TB (OAT)

(Depkes, 2008). Ekspansi DOTS secara bertahap mulai

(17)

TUBERCULOSIS: Never ending story

(UPK) mulai dari Puskesmas sampai ke fasilitas

pelayanan Rujukan baik milik pemerintah maupun

swasta serta, termasuk di Provinsi Jawa Tengah.

Rumah Sakit memiliki potensi besar dalam penemuan

kasus TB/case finding, namun ada keterbatasan dalam

menjaga keteraturan dan keberlangsungan

pengobatan/case holding. Puskesmas meskipun

mempunyai kelebihan dalam case holding, namun ada

keterbatasan dalam case finding. Perlu sinergi antara

RS dan Puskesmas dalam upaya penanggulangan TB

secara terpadu melalui jejaring DOTS (Depkes, 2008;

Kemkes, 2014).

Indonesia termasuk high burden country pada

kasus TB yang sampai saat ini belum sepenuhnya

memenuhi target (WHO, 2016). Angka deteksi kasus

baru/case detection rate (CDR) belum pernah

melampaui 60% dari target 70% sedangkan angka

keberhasilan pengobatan (success rate) masih

berflutuasi. Belum tercapainya target CDR tersebut

menggambarkan bahwa dari setiap 3 kasus TB

diperkirakan ada 1 kasus yang tidak ditemukan dan

tidak diobati (Kemkes, 2014), akibatnya kasus yang

tidak diobati tersebut akan menyebabkan terjadinya

penularan di masyarakat, sehingga akan selalu terjadi

kasus baru.

(18)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

C. Masalah Tuberkulosis di Jawa Tengah

Pencapaian di provinsi Jawa Tengah juga masih

belum sesuai target baik untuk input maupun output

program. Untuk indikator input misalnya CDR masih

dibawah 70%, demikian juga CNR terutama BTA(+)

tidak pernah di atas angka 60, sedangkan rata rata

nasional dari tahun ke tahun selalu di atas 70 (Kemkes,

2017). Sedangkan di Filipina minimal mencapai angka

86, bahkan sering di atas 100 (Vianzon et al, 2013).

Untuk indikator output antara lain angka kesembuhan

(cure rate) cenderung menurun, masih di bawah 85%,

demikian juga angka keberhasilan (success rate)

meskipun dapat mencapai target, tetapi pada dua

tahun terakhir juga cenderung menurun dibawah 85%.

Demikian juga untuk indikator yang lain terutama

angka putus berobat (default) dan pindah (transferred

out) juga perlu menjadi perhatian. Hal ini akan lebih

jelas permasalahan apabila pencapaian indikator target

tersebut dibedakan antara Puskesmas dan fasilitas

Rujukan. Dimana permasalahan terbesar adalah terjadi

pada fasilitas Rujukan. Untuk mengatasi hal tersebut

strategi Stop TB harus dilaksanakan sepenuhnya

dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait

dalam program penanggulangan TB, misalnya rumah

sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, dokter

praktek pribadi fasilitas kesehatan lain yang ada di

provinsi Jawa Tengah dan kelompok non medis lain

(19)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Bab II.

Penanggulangan Tuberkulosis

di Dunia

(20)

TUBERCULOSIS: Never ending story

A. Tuberkulosis pada Awal Peradaban

Dokumen ilmiah tertua tentang tuberkulosis

ditulis oleh Hippocrates sekitar 460 SM (Sebelum

Masehi). Dia memberi nama penyakit ini dengan

Phthisis atau consumption, nama ini terus digunakan

dalam berabad-abad sampai ditemukannya penyebab

penyakit ini. Phthisis atau consumption ini ditandai

dengan orang yang kurus (tampak tulang iga karena

demikian kurusnya), demam laten, yang diikuti dengan

batuk purulen, suara serak dan susah bernapas.

Sebenarnya jauh sebelum dibuatnya dokumen oleh

Hippocrates keberadaan Mycobacterium complex telah

muncul sekitar 15.000 – 35.000 tahun yang lalu.

Beberapa dokumen, laporan dari Mesir, India dan

China memperlihatkan kelainan rangka manusia, yang mengesankan Pott’s disease atau TB tulang belakang (gibbus). Identifikasi ini juga didukung melalui

pemeriksaan material genetik, yang membuktikan

terdeteksinya DNA (deoxyribonucleic acid) Mycobacteria

(21)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

(Evans CC.Clinical tuberculosis, 1994)

Gambar 1. Hippocrates dan ilustrasi phthisis atau consumption. Dokumen tertua tentang tuberkulosis ditulis oleh Hippocrates (bapak kedokteran dunia) yang memberi nama phthisis pada kasus dengan gejala pernapasan dan tubuh yang kurus sampai costanya terlihat.

Setelah Hippocrates, Aristotle (384-322 SM)

menyampaikan pendapat bahwa penyakit consumption

itu menular. Banyak pendapat saat itu menyatakan

bahwa penyakit ini adalah keturunan dan berhubungan

dengan amoral. Meskipun saat itu, bukti ilmiah bahwa

penyakit ini menular, juga belum ada. Berikutnya

Clarissimus Galen (131-201), mulai mendiskripsikan

penyakit ini lebih detail, yaitu terdapatnya luka di paru,

(22)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Bab III.

Penanggulangan TB Di Indonesia

(23)

TUBERCULOSIS: Never ending story

A. Masa Penjajahan

Untuk membahas perkembangan upaya

penang-gulangan penyakit tuberkulosis di Indonesia mestinya

dimulai saat masa penjajahan Belanda. Upaya

pemberantasan tuberkulosis ini secara resmi ditandai

saat didirikan SCVT (Stichting Centrale Vereninging

Voor Tuberculosebes Trijding) yang diketuai oleh Mvr

deJonge, beliau adalah istri gubernur Batavia. Peristiwa

ini terjadi pada tahun 1930, dimana saat itu belum

ditemukan obat anti TB, karena obat anti TB pertama

kali ditemukan pada tahun 1943 (Klik PDPI, 2017).

Pengobatan yang dilakukan sangat konservatif, yaitu

menggunakan akronim 4L, yaitu:

1. Lichts (sinar matahari), sinar matahari terutama dari

unsur ultraviolet memang terbukti mampu

mem-bunuh Mycobacterium tuberculosis (Sbarbaro J.A,

2006). Saat ini penderita di jemur setiap pagi antara

pukul 06.30-08.00.

2. Lucht (udara), waktu dianggap udara yang sejuk,

bersih, agak dingin, sehingga dimaksudkan

per-napasan pasien TB akan cepat sembuh bila

mendapatkan udara yang bersih. Meskipun kalau

untuk tatalaksana TB tidak sepenuhnya benar

kalau tergantung pada ketersediaan udara bersih

saja. Udara bersih yang dianggap kaya oksigen

justru akan mempermudah pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis, karena sifatnya aerob.

(24)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

melalui aliran udara yang baik, atau ventilasi udara

yang lancar akan menurunkan konsentrasi

Mycobacterium tuberculosis di udara.

3. Liefde (kasih sayang), maksud unsur ini adalah

memberikan perhatian khusus kepada segenap

penderita TB karena mereka menghadapi

stigmati-sasi sebagai penyakit yang berbahaya, sehingga

banyak yang dikucilkan.

4. Levertraan (minyak ikan), pemberian suplemen ini

merupakan upaya untuk meningkatkan status

imunitas, karena sebagian besar penderita TB

badannya kurus yang dianggap kurang gizi.

Selain modalitas dengan menggunakan 4L juga ada

upaya lain seperti fungsi pleura (pengambilan cairan

pleura), Water Seal Drainage, Pneumotoraks antifisial,

Torakoskopi medic, sampai tindakan bedah juga

dilakukan misalnya torakotomi, lobektomi. Beberapa

fasilitas kesehatan saat ini dibangun untuk memenuhi

pelayanan kesehatan tersebut. Fasilitas kesehatan yang

sangat penting saat itu adalah Sanatorium. Beberapa

sanatorium yang terkenal antara lain Cisarua, Ngawen

dan Batu.

Sanatorium di Ngawen, Salatiga, didirikan pada

tahun 1934, berhawa sejuk, suhu udara antara 18-29°

C, di ketinggian 800 meter. Terletak di lereng gunung

Merbabu. Sanatorium ini sekarang bernama RS Paru Dr

Ario Wirawan, saat masa penjajahan berfungsi sebagai

(25)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Bab IV.

Pengumpulan

dan Analisis Data Penelitian

Penelitian ini termasuk Operational Research

yang mengungkapkan evaluasi kinerja pelaksana

program penganggulangan TB di Jawa Tengah.

Variabel kuantitatif yang diteliti: (1) Jenis kasus

(26)

TUBERCULOSIS: Never ending story

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan membuat

analisis terhadap beberapa indikator program

penanggulangan TB yang dilaksanakan di Provinsi

Jawa Tengah. Subyek evaluasi program adalah semua

fasilitas kesehatan di Jawa tengah yang melakukan

penanggulangan TB sejak 1 Januari 2000 sampai 31

Desember 2016. Penelitian dilakukan secara

retrospektif menggunakan data dari seluruh UPK (unit

pepelayanan kesehatan) di Jawa Tengah yang

menggunakan strategi DOTS. Variabel kuantitatif yang

diteliti: (1) Jenis kasus TB, (2) Case notification rate

(CNR) baik total kasus maupun BTA (+) saja, (3) Angka

kesembuhan (4) Angka drop out, (5) Angka gagal

pengobatan, (6) Angka pindah (transferred out), (7)

Angka keberhasilan (Success Rate) dengan definisi

operasional sesuai dengan pedoman Departemen

Kesehatan (Depkes, 2008).

Untuk angka kesembuhan diperoleh dari data

pasien sembuh. Pasien sembuh adalah pasien TB paru

konfirmasi bakteriologis pada awal pengobatan dan

apusan dahak BTA negatif atau biakan negatif pada

akhir pengobatan dan/atau sebelumnya. Pengobatan

lengkap mirip dengan pasien sembuh yaitu pasien TB

yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak

memiliki bukti gagal tetapi tidak memiliki rekam medis

yang menunjukkan apusan dahak BTA atau biakan

(27)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

sebelumnya, baik karena tidak dilakukan atau karena

hasilnya tidak ada. Gagal pengobatan adalah pasien TB

apusan dahak atau biakan positif pada bulan kelima

atau setelahnya selama pengobatan, termasuk pasien

dengan strain kuman resisten obat yang didapatkan

selama pengobatan baik apusan dahak BTA negatif

atau positif. Pasien meninggal adalah pasien TB yang

meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai dan

selama pengobatan. Pasien putus berobat/loss to follow

up adalah pasien TB yang tidak memulai pengobatan

atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan

terus menerus atau lebih. Pasien pindah adalah pasien

TB yang pindah berobat ke fasilitas kesehatan kota lain

dan hasil pengobatan tidak diketahui. Puskesmas

adalah upaya kesehatan masyarakat strata pertama

sebagai pelayanan tingkat dasar. Pelayanan Rujukan

adalah upaya kesehatan masyarakat strata kedua atau

diatasnya atau pelayanan tingkat lanjutan (Kemkes,

2014).

B. Cara Kerja

Pengelompokan data dibedakan antara

Pelayanan kesehatan Puskesmas dan pelayanan

kesehatan Rujukan. Data penelitian tersebut

selanjutnya dikumpulkan oleh petugas Puskesmas,

rumah sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten setempat

dengan melakukan klarifikasi dan verifikasi data

(28)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Bab V.

Hasil Evaluasi Program

(29)

TUBERCULOSIS: Never ending story

A. Data Demografi

Data penelitian diambil dari fasilitas pelayanan

kesehatan yang sudah menerapkan DOTS yaitu 882

Puskesmas, 11 BP4/BKPM, dan 206 rumah sakit

pemerintah dan swasta sejak 1 Januari 2000 - 31

Desember 2016. Subjek penelitian adalah unit

pelayanan kesehatan yang sudah menerapkan DOTS di

Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 5. Demografi penduduk dan fasilitas kesehatan pada kasus TB di Jawa Tengah pada tahun 2000 -2016

(30)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Pada tabel 5 diatas menunjukan data demografi

yaitu perkembangan jumlah penduduk setiap

tahunnya. Selain itu tentang fasilitas kesehatan dan

jumlah kasus TB yang ditemukan dan diobati di

provinsi Jawa Tengah. Tampak jumlah fasilitas

kesehatan yang operasional dan aktif dalam

penanggulangan TB strategi DOTS setiap tahun terus

meningkat. Fasilitas kesehatan tersebut sebagian besar

terdiri dari Puskesmas, rumah sakit baik pemerintah

maupun swasta, BKPM atau BP4, Klinik praktik

swasta, lembaga pemasyarakatan (Lapas) atau rumah

tahanan (Rutan) dan dokter praktik mandiri. Waktu

awal penelitian ini tahun 2000 sebanyak 862 fasilitas

kesehatan menjadi 1099 pada tahun 2016.

Penambahan jumlah fasilitas kesehatan ini diikuti

dengan peningkatan kasus TB total secara jumlah

absolut, yaitu saat awal kegiatan tahun 2000 hanya

9.907 kasus, pada tahun 2016 mencapai lebih dari

37.000 kasus. Peningkatan tajam terjadi pada tahun

2001 ke 2002, karena pada tahun itu Rumah Sakit

baru mulai melaporkan kasus TB yang ditanganinya.

Capaian kasus TB total ini relatif berjalan stabil sampai

tahun 2016. Hasil dari penemuan kasus TB total ini

juga tercermin dari capaian CNR total kasus, yang pada

awal tahun 2000 hanya 32,1 naik terus dan mulai

tahun 2005 tidak pernah dibawah 100. Memang ada

penurunan yang cukup besar pada tahun 2006 tetapi

(31)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Bab VII.

Public - Private Mix

(PPM)

(32)

TUBERCULOSIS: Never ending story

A. Public-Private Mix Dalam Memperkuat Strategi

DOTS

Directly Obseved Treatment Short Course Strategy

(DOTS) merupakan strategi yang sangat efektif dan

ekonomis dalam penanggulangan kasus TB (Probandari

A, et al, 2008; Depkes, 2008).Strategi ini telah berhasil

menurunkan prevalensi TB apabila dilakukan dengan

pencapaian indikator yang baik. Untuk menghadapi

Millennium Development Goals (MDGs) yaitu upaya

penurunan prevalensi TB menjadi separuhnya pada

tahun 2015 dibandingkan dengan tahun 1990, maka

strategi DOTS dikembangkan menjadi Stop TB strategy

yang terdiri dari 6 komponen (Montoro E, et al, 2007).

Salah satu komponen yang penting adalah upaya

melibatkan pemberi pelayanan kesehatan baik

pemerintah maupun swasta yang dikenal dengan

public-private mix (PPM). Tujuan dari PPM adalah untuk

mempercepat pencapaian CDR dan memperbaiki

kualitas pelayanan TB untuk semua pasien TB (Luelmo

F, et al, 2006; Lal SS, et al, 2011).

Public-private mix merupakan pendekatan

komprehensif yang melibatkan semua penyedia layanan

kesehatan secara sistematis untuk meningkatkan

pelaksanaan ISTC dan pencapaian target pengendalian

TB nasional dan global. Public-private mix mencakup

berbagai strategi kolaborasi public-private yaitu antara

NTP dengan sektor swasta. Public-public, yaitu antara

(33)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

seperti rumah sakit umum, penjara, atau dinas

kesehatan militer. Private-private yaitu antara LSM atau

rumah sakit swasta dengan penyedia layanan

lingkungan sekitar. Hampir semua negara dengan

beban TB tinggi saat ini menerapkan kegiatan PPM

(WHO, 2018).

Public-private mix direkomendasikan sejak 2003

untuk mencapai target global WHO yang direncanakan

mendeteksi 70% kasus dan 85% keberhasilan

pengobatan. Komponen penting WHO stop TB strategy

melibatkan semua penyedia layanan kesehatan yang

berhubungan dengan perawatan TB melalui

pendekatan PPM. Stop TB strategy meletakkan PPM

pada poin keempat yaitu pendekatan public–public dan

public–private mix. International standards for

tuberculosis care melengkapi pendekatan PPM dan

harus dipromosikan secara aktif untuk melibatkan

semua penyedia layanan dalam pelaksanaan stop TB

strategy. End TB strategy kembali menekankan

pentingnya PPM dengan memasukkannya ke pilar dan

komponen poin 2b, yaitu keterlibatan masyarakat,

organisasi masyarakat sipil, serta penyedia layanan

publik dan swasta (WHO, 2006; WHO, 2018).

Pelaksanaan PPM di Indonesia ditekankan pada

pelibatan RS baik milik pemerintah maupun swasta

karena sampai awal 2008 kurang dari 30% RS yang

terlibat dalam penanggulangan TB dengan strategi

(34)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Bab VIII.

Peran Serta Masyarakat

(35)

TUBERCULOSIS: Never ending story

A. Gerakan Lintas Sektor dalam Penanggulangan TB

Pengembangan sumber daya manusia dalam

program penanggulangan TB bertujuan untuk

menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki

keterampilan, pengetahuan dan sikap yang diperlukan

dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang

memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu

yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya

tujuan program TB nasional (Kironde et al. 2002)

Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB

adalah suatu gerakan lintas sektor yang dibentuk pada

tahun 1999 dari tingkat pemerintah pusat hingga

daerah untuk mempercepat akselerasi pengendalian TB

berdasarkan kemitraan melalui pendekatan yang

terintegrasi dengan rumah sakit, sektor swasta,

akademisi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga

penyandang dana, dan para pemangku kepentingan

lainnya. Fungsi mitra dapat dikelompokkan menjadi

tiga yaitu pertama perencanaan dan pengarah, kedua

pembiayaan, alokasi dan pemanfaatan sumber daya

dan ketiga penyediaan pelayanan (Kemkes, 2011).

Sudah terbukti bahwa Modal sosial mampu

menunjukkan manfaat dalam pemecahan masalah

kesehatan masyarakat termasuk masalah

(36)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

B. Modal Sosial

Bolin K, et al (2003) berpendapat modal sosial

merupakan sumber daya yang terdapat dalam struktur

antara anggota masyarakat yang jika digunakan dapat

memberikan manfaat bagi kesejahteraan anggota

masyarakat. Beberapa teori tentang modal sosial

maupun bukti empiris menunjukan tingkat modal

sosial yang tinggi di suatu masyarakat erat kaitannya

dengan tingkat kesehatan anggota masyarakat. Modal

sosial yang tinggi memudahkan anggota masyarakat

untuk berbagi informasi kesehatan, mengakses, dan

menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia di

dalam masyarakat dengan lebih baik untuk pemecahan

masalah lokal dalam rangka meningkatkan derajat

kesehatan. Individu dan keluarga tidak hanya meminta

kebutuhan dan menginvestasikan kesehatan tetapi juga

modal sosial. Keluarga menginvestasikan modal sosial

dengan cara membentuk dan memelihara hubungan

dengan anggota masyarakat lainnya. Imbalan dari

investasi tersebut adalah modal sosial yang

memberikan kepuasan langsung kepada individu dan

memperluas kemampuan keluarga untuk mengakses

sumber daya yang tersedia di dalam masyarakat

sehingga memudahkan produksi kesehatan untuk

keluarga (Bolin K, et al, 2003).

Konsep modal sosial pertama kali

diperkenal-kan oleh Hanifan pada 1916 yang mengartidiperkenal-kan sebagai

(37)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

BabIX.

Penutup dan Rekomendasi

(38)

TUBERCULOSIS: Never ending story

Program penanggulangan TB khususnya di Jawa

Tengah, adalah suatu perjalanan yang panjang, telah

mengalami berbagai warna pada setiap zamannya

masing-masing. Rangkaian perjalanan ini tak lepas dari kebijakan

politis mulai dari masa penjajahan, baik Belanda maupun

Jepang, dilanjutkan masa kemerdekaan dan masa mengisi

kemerdekaan atau masa pembangunan. Keberhasilan

penanggulangan TB ini ditentukan setidaknya oleh 3

unsur, yaitu: stakeholder, pelaksana program dan

masyarakat. Stakeholder atau pemangku kepentingan

terdiri dari pemerintah (Kementrian Kesehatan atau Dinas

Kesehatan), Organisasi profesi dan Asosiasi RS setidaknya

3 unsur ini harus melakukan koordinasi yang efektif dan

membuat kebijakan yang bersifat mendorong atau

mempermudah agar program pengendalian TB ini dapat

berhasil dengan baik.

Pelaksana program pengendalian TB adalah tenaga

kesehatan yang bertugas di fasilitas kesehatan, baik tenaga

medis maupun administrasi. Titik lemah dalam

pelaksanaan program pengendalian TB adalah di RS,

meskipun ada titik lemah lagi yaitu dokter praktik swasta,

tetapi pada penelititian ini dokter praktik swasta belum

dievaluasi. Rumah Sakit sangat lemah pada case holding

sehingga output pelaksanaan program tidak dapat optimal.

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki

capaian hasil program pengendalian TB ini kami usulkan 2

(39)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

1. Penguatan fungsi jejaring PPM

2. Penguatan modal sosial untuk peningkatan partisipasi

masyarakat

Peran kader kesehatan, tokoh masyarakat bersama

dengan petugas kesehatan akan mampu meningkatkan

partisipasi masyarakat misalnya dengan kebiasaan

menghadiri pertemuan, mendorong perilaku masyarakat

serta kebiasaan gotong royong. Penguatan modal sosial

tersebut akan mampu meningkatkan penemuan kasus,

sehingga meningkatkan CDR dan CNR), mencegah

masyarakat untuk putus berobat, sehingga akan

menurunkan angka putus berobat

Sedangkan penguatan fungsi jejaring PPM terutama

pimpinan RS dan organisasi profesi untuk dapat

memberikan instruksi dan pengawasan yang ketat kepada

petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun

administrasi di Rumah Sakit untuk bekerja lebih

profesional sehingga akan mampu menekan angka gagal

pengobatan, angka putus berobat, serta harus mampu

memperbaiki administrasi reporting recording sehingga

dapat memperbaiki angka pindah yang tidak tercatat, serta

akan mencegah kasus yang hilang missing cases)

Penelitian ataupun evaluasi juga harus terus

dilakukan dalam program ini. Hal ini sangat penting untuk

menjaga sustainability dari keberlangsungan program ini,

karena tampak pencapaian indikator program ini sangat

dinamis, sehingga bila sewaktu-waktu terjadi hambatan

(40)

TUBERCULOSIS: Never ending story

DAFTAR PUSTAKA

Abebe M, Doherty M, Wassie L, Demissie A, Mihret A. 2012. TB case detection: can we remain passive while the process is active?. Pan African Medical Journal. vol. 11. hlm.1-5.

Arefi M. 2004. Neighborhood jump-starting: Los Angeles

neighborhood initiative. journal of policy

development and research. vol.7(1). hlm. 5-22.

Asuquo AE, Okam BDT, Ibeneme E., et al. 2015. A

public-private partnership to reduce tuberculosis burden in AkwaIbom State, Nigeria. International Journal of Mycobacteriology. vol. 4. hlm. 143-150.

Awofeso N, Schelokova I, Dalhatu A. 2008. Training of front-line health workers for tuberculosis control: Lessons

from Nigeria and Kyrgyzstan. Human Resources for

Health. vol. 6(20). hlm. 1478-91.

Baral SC, Karki DK, Newell JN. 2007. Causes of stigma and discrimination associated with tuberculosis in

Nepal: a qualitative study. BMC Public Health. vol.

7(211). hlm. 1-10.

Baum FE, Ziersch AM. Social capital. 2003. J Epidemiol

Community Health. vol. 57. hlm. 320-3.

Bolin K, Lindgren B, Lindstrom M, Nystedt P. 2003. Investments in social capital-implications of social

interactions for the production of health. Social

Science and Medicine. vol. 56. hlm. 2379-90.

Coleman JS. 1988. Supplement: Organizations and institutions: Sociological and economic approaches

to the analysis of social structure. The American

Journal of Sociology. vol. 94. hlm. 95-120.

Daniel B, Schwier R, McCalla G. 2003. Social capital in virtual learning communities and distributed

communities of practice. Canadian Journal of

(41)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Depkes (DepartemenKesehatan). 2008. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis, Edisi 2 cetakan ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dinkes (Dinas Kesehatan Kesehatan) Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil kesehatan provinsi Jawa Tengah.

Dinkes (Dinas Kesehatan Kesehatan) Provinsi Jawa Tengah. 2017. Profil kesehatan provinsi Jawa Tengah 2016. Dinas kesesehatan Jawa tengah.

Dirjen P2PL (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan). 2017. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014. Available from: (ed), Clinical tuberculosis. London: Chapman and Hall. hlm. 1-18.

Famous People Who Died Of Tuberculosis. 2017.

[cited2017April 19th]. Available from:

https://www.thefamouspeople.com/tuberculosis.ph p.

Ferro Ec, Diaz MIU, Rodriquez AT. 2014. Epidemiology of tuberculosis in Galicia, Spain, 16 years after the

launch of the Galician tuberculosis programme. Int

J Tuberc Lung Dis. vol. 18(2). hlm. 134-40

Fluegge K. 2011. Using cultural competence to improve tuberculosis case detection in Dabat, Ethiopia. The Ohio State University.

(42)

TUBERCULOSIS: Never ending story

Golub JE, Mohan CI, Comstock GW, Chaisson RE. 2005. Active case finding of tuberculosis: historical

perspective and future prospects. Int J Tuberc Lung

Dis. vol. 9(11). hlm. 1183-203.

Harpham T, Grant E, Thomas E. 2001. Measuring social

capital within health surveys: key issues. Health

Policy and Planning. vol. 17(1). hlm. 106-11.

Hazleton V, Kennan W. 2000. Social capital:

reconceptualizing the bottom line. An International

Journal. vol.5(2). hlm. 81-6.

Herzog, H.B. 1998. History of tuberculosis. Respiration.

hlm. 65.

Holtgrave DR, Crosby RA. 2004. Social determinants of

tuberculosis case rates inthe United States. Am J

Prev Med. vol. 26(2). hlm. 159–62.

Huyah GH, Klein DJ, Chin DP. 2015. Tuberculosis control strategies to reach the 2035 global targets in China: the role of changing demographic and reactivation disease. BMC Madline. Vol. 13. hlm. 88.

Irawati SR, Basri C, Arias MS. 2007. Hospital DOTS linkage

in indonesia : a model for DOTS expansion into

government and private hospitals. Int J Tuberc Lung Dis. vol. 11(1). hlm. 33-9.

Kapella BK, Anuwatronthakate A, Komsakorn S. 2009. Directlyobserved treatment is associated with reduced default among foreign tuberculosis patient

in Thailand. Int J Tuberc Lung Dis. vol. 13(2). hlm.

232-7.

Kemkes (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia). 2011. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Program Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.

(43)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Kemkes (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia). 2011. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta.

Kemkes (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia}. 2017. Tuberkulosis temukan obati sampai sembuh. [cited

2017 April 19th]. Available from:

http://www.depkes.go.id/download.php?file=downl oad/pusdatin/infodatin/InfoDatin-2016-TB.pdf.

Kironde S, Bajunirwe F. 2002. Lay workers in directly

observed treatment (DOT) programmes for

tuberculosis in high burden settings: Should they be paid? A review of behavioural perspectives. African Health Sciences. vol 2(2). hlm. 73-8

Klik PDPI. 2017. [cited 2017 April 19th]. Available from:http://www.klikpdpi.com/modules.php?name =Content&pa=showpage&pid=218.

Kurk ME, Schwalbe NR, Aguiar A. 2008. Timing of default from tuberculosis treatment: a systematic review. Tropical Medicine and International Health. vol. 13. hlm. 703-12.

Lal SS, Wares F, Lonnroth K. 2011. Intensified scale up of

public-private mix: a systems approach to

tuberculosis care and control in India. Int J Tuberc

Lung Dis. vol. 15(1). hlm. 95-104

Leao S C, Portaels. 2007. History tuberculosis In: Palomino JC, Leao SC, Ritacco V (Eds). Tuberculosis 2007

from basic science to patient care. 1th edition.

Bourcillierkamps.com. hlm. 25 – 49.

Lei X, Liu Q, Escobar E. 2015. Public-private mix for tuberculosis care and control: a systematic review. International Journal of Infectious Disease. vol. 34. hlm. 20-32.

Lopez LH. 2008. Assering rural community empowerment: What it takes to thinkinnovatively adoctoral

research proposal. Journal of Centrum Cathedra.

(44)

TUBERCULOSIS: Never ending story

Luelmo F, Blanc C, Enarson DA. 2006. Fundamental of tuberculosis control: The DOTS Strategy In: Raviglione Mc (Ed). Tuberculosis a comprehensive,

International approach. 3rd edition. New York;

Informa Health Care. hlm. 717-27.

Medina DG, Le QV. 2011. Infectious diseases and interpersonal trust: international evidence. vol. 3(4). hlm. 206-10.

Meulemans H, Ouytsel JV, Rigouts L, Mortelmans D, Heunis C, Matebesi Z., et al. 2005. Social capital and community TB care in the Free State, South

Africa. Acta Academica Supplementum. vol.1. hlm.

28-53.

Moges B, Amare B, Yismaw G, Workineh M, Alemu S,

Mekonnen D., et al. 2015. Prevalence of

tuberculosis and treatment outcome among

university students in Northwest Ethiopia: a retrospective study. BMC Public Health. hlm. 1-7

Montoro E, Rodriquez R. 2007. Global burden of tuberculosis In: Palomino JC, Leao SC, Ritacco V (Eds). Tuberculosis 2007 from basic science to

patient care. 1th edition. Bourcillierkamps.com. hlm.

263– 79

Naqvi SA, Nasser M, Kazi A.2012. Implementing a public private mix model for tuberculosis treatment in

Urban Pakistan: lesson and experinces. J Tuberc

Lung Dis. vol. 16(6). hlm. 817-21.

Pio A. 2006. Tuberculosis control intervention. In: Raviglione Mc (Ed). Tuberculosis a comprehensive,

International approach. 3rd edition. New York:

Informa Health Care. hlm. 501 – 515.

Probandari A, Utarini A, Hurtiq AK. 2008. Achieving quality in directly observed treatment short-course (DOTS) strategy implementation process: a challenge for

hospital public-private mix in Indonesia. Global

(45)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Probandari A, Utarini A, Lindholm L, Hurtig AK. 2011. Life of a partnership: the process of collaboration between the National Tuberculosis Program and the hospitals in Yogyakarta, Indonesia. Soc Sci Med.

73(9):1386-94. doi:

10.1016/j.socscimed.2011.08.017.

Putnam R. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy. vol. 6(1). hlm. 65-78.

Reviono, Sulaeman ES, Murti B. 2013. Modal sosial dan partisipasi masyarakat dalam penemuan penderita

tuberkulosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat

Nasional. vol.7(11). hlm. 495-501

Reviono, Suradi, Adji M, Sulaeman ES. 2015. Hubungan modal social dan pencapaian case detection rate tuberculosis puskesmas kabupaten Karanganyar. Jurnal Respirologi Indonesia. vol. 35. hlm. 28-38.

Reviono, Setianingsih W, Damayanti KE, Ekasari R. 2017. The dynamic of tuberculosis case finding in the era of the public–private mix strategy for tuberculosis

control in Central Java, Indonesia. Global Health

Action. vol. 10. hlm. 13537-77.

RS Batu. 2017. [cited 2017 April

19th]http://rsubatuprovjatim.com/?page_id=16

RSPG. 2017. Sejarah. [cited 2017 April 20th]. Available from:

http://www.rspg-cisarua.co.id/sejarah.

RSTP. 2017. Profil RSPAW Salatiga. [cited 2017 April 20th].

(46)

http://www.rspaw.or.id/profil-TUBERCULOSIS: Never ending story

Sbarbaro JA, Spinaci S. 2006. History of Tuberculosis Control. In: Raviglione MC (Ed). Reichman and

Hershfield's, Tuberculosis A Comprehensive,

International Approach. 3rd edition. New York:

Informa Healthcare USA, Inc. hlm.483 – 97.

Sengul A, Akturk UA, Aydemir Y, Kaya N, Koca ND, Tasolar FT.2015. Factors affecting successful treatment outcomes in pulmonary tuberculosis: a

single-center experience in Turkey, 2005-2011. J Infect

Dev Ctries. vol. 9(8). hlm. 821-28.

Sharma SK & Mohan A. 2006. Multidrug-resistant tuberculosis; a menace that threatens to destabilize tuberculosis control. Chest. vol. 130. hlm. 261-72.

Singh J, Sankar MM, Kumar S. 2013. Incidence and prevalence of tuberculosis among household contact of pulmonary tuberculosis patient in a peri-urban of South Delhi, India. PLOS ONE. vol. 8(7).

Smith I. 2004. What is the health, social, and economic burden of tuberculosis? In: Frieden T, editor. Toman's tuberculosis case detection, treatment, and

monitoring: questions and answers. 2nd edition.

Geneva: WHO. hlm. 233-7.

Subramani R, Radha Krishna S, Frieden TR. 2008. Rapid decline in prevalence of pulmonary tuberculosis after DOTS implementation in rural area of south India. Int J Tuberc Lung Dis. vol. 12(8). hlm. 916-20

Sundquist K, Yang M. 2007. Linking social capital and self-rated health: A multilevel analysis of 11.175 men

and women in Sweden. Health & Place.vol.

13(2).hlm. 324-34.

(47)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

Uplekar M, Lonnorth K. Engaging Private Providers in tuberculosis control : Public Private Mix for DOTS. In: RaviglioneMc Ed. Tuberculosis a comprehensive

approach 3rd

Vant Hoog AH, Laserson KF, Githui WA. 2011. High

prevalence of pulmonary tuberculosis and

inadeguite case finding in rural Western Kenya. Am J RespirCrit Care Med. vol. 183. hlm. 1245-53.

Vianzon R, Garfin AM, Lagos A, Belen R. 2013. The tuberculosis profile of the Philippines, 2003-20011: advancing DOTS and beyond. WPSAR. vol. 4(2).

Wang L, Cheng S, Xu M, Huang F, Xu W, Li R., et al. 2009. Model collaboration between hospitals and public health system to improve tuberculosis control in

China. Int J Tuberc Lung Dis. vol. 13(12). hlm. 1486–

92.

WHO (World Health Organization). 2003,. PPM DOTS in Indonesia: a strategy for action. Geneva.

WHO (World Health Organization). 2003. Community contribution to TB care: practice and policy. Genewa.

WHO. 2005. WHO Report. Global tuberculosis control. Surveillance, planning, financing. hlm. 349.

WHO. 2006. The stop TB strategy, building on enhancing DOTS to meet the related millenium developments goals. vol. 368. Hlm. 6-16

WHO. 2010 Advocacy, communications, and social mobilization for TB control. Report of the Regional Workshop Colombo; 2010 Sept 14-17; India. hlm. 1-33.

WHO. 2012. Involving private medical practitioners in TB and STI control. Report of an informal consultation Bangkok. Geneva: World Health Organization. hlm. 20.

(48)

TUBERCULOSIS: Never ending story

WHO (World Health Organization). 2016. Global

Tuberculosis Report. Geneva.

WHO (World Health Organization). 2017. Global

Tuberculosis Report. France.

WHO (World Health Organization). 2018. About the public private mix (PPM) initiative. [cited 2018 April 19th].

Available from:

http://who.int/tb/areas-of- work/engaging-care-providers/public-private-mix/about/en/.

Yuasa M, De Sa RF, Pincovsky S, Shimanouchi N. 2007. Emergence model of social and human capital and its application to the healthy municipalities project in Northeast Brazil. Health Promotion International. vol. 22(4). hlm. 292-8.

Zolowere D, Manda K, Panulo B, Muula AS. 2008. Experiences of self-disclosure among tuberculosis

patients in rural Southern Malawi. Rural and

(49)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

(50)

TUBERCULOSIS: Never ending story

DAFTAR SINGKATAN

BKPM Balai Kesehatan Paru Masyarakat

BP4 Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru

BTA Bakteri Tahan Asam

CDR case detection rate

CNR Case Notification Rate

DNA Deoxyribo Nucleic AcidDM

DOTS Directly Observed Treatment Short

FPK fasilitas pelayanan kesehatan

Gerdunas Gerakan terpadu nasional.

HDL Hospital DOTS Linkage

HIV human immunodeficiency virus

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MDGs Millennium Development Goals

MDR Multi-drug-resistant tuberculosis

NTP National tuberculosis program

NA Not Available

OAT Obat Anti Tuberkulosis

PAS para-aminosalicylic acid

PDC Provincial DOTS Committee

PPM Public-Private Mix

RS Rumah Sakit

SDGs Sustainable Development Goals

(51)

TUBERCULOSIS: NEVER ENDING STORY

SM Sebelum Masehi

SCVT Stichting Centrale Vereninging Voor Tuberculosebes Trijding

P2PL Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

TB Tuberculosis

UPK Unit Pelayanan Kesehatan

WHA World Health Assembly

(52)
(53)

Gambar

Gambar 1. Hippocrates dan ilustrasi phthisis atau consumption. oleh Hippocrates (bapak kedokteran dunia) yang memberi nama phthisis pada kasus dengan gejala pernapasan dan tubuh yang Dokumen tertua tentang tuberkulosis ditulis kurus sampai costanya terliha
Tabel 5. Demografi penduduk dan fasilitas kesehatan

Referensi

Dokumen terkait

Uji χ² ( chi-square ) menunjukkan bahwa pada persamaan nomor 1 sampai dengan persamaan nomor 3 memiliki nilai χ² ( chi-square ) yang lebih kecil dibanding nilai χ² tabel pada

[r]

Pengaturan putaran motor induksi tiga fasa diperlukan untuk mengatur suatu. proses yang dimana saat membutuhkan energi gerak yang dibutuhkan

[r]

Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pegawai ASN Kemnaker adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat

Suvei serupa dilakukan oleh KPMG terhadap 120 perusahaan di Inggris, yang menunjukkan 62% perusahaan yang bermasalah dalam pengembangan proyek SI (KPMG,1995).

5. Agar tepat waktu menghadiri pembuktian atas isian kualifikasi sebagaimana dimaksud. Jika sampai dengan batas waktu yang ditentukan calon penyedia tidak menghadiri

Secara keseluruhan yang dimaksud dengan judul penelitian “ Analisis Pengaruh Kualitas Informasi, Harga dan Kualitas Produk terhadap Pembelian Impulsif dalam Belanja Online