• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WAKTU SATWALIA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WAKTU SATWALIA (1)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Kelompok Mata Kuliah Ekologi Kuantitatif

POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WAKTU SATWALIAR

Oleh:

1.

IYAT SUDRAJAT

E351160051

2.

HANNY HERZEGOVINA E351160081

Dosen:

Prof. Dr. Ir. YANTO SANTOSA, DEA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pergerakan dilakukan untuk mencari pakan, berkembang biak ataupun menghindarkan diri dari pemangsaan dan gangguan lainya. Wilayah jelajah adalah daerah tempat tinggal suatu binatang yang tidak dipertahankan terhadap masuknya binatang lain kedalam daerah tersebut. Apabila daerah tersebut sudah mulai dipertahankan maka daerah tersebut menjadi daerah teritorialnya. Mason (1968) dan Bates (1970) diacu dalam Rinaldi (1992) menyatakan bahwa home range atau wilayah jelajah merupakan areal yang diliputi oleh gabungan-gabungan jelajah harian suatu kelompok. Sedangkan Alikodra (2002) mendefinisikan home range sebagai wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minuman, tempat tidur, dan kawin serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung. Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran dan kestabilan home range bervariasi menurut sumber dan jenis makanan, topografi, kepadatan populasi, predator, dan ukuran kelompok.

Pola penggunaan ruang dan waktu sangat penting untuk diketahui oleh semua pihak terutama pada satwa-satwa prioritas yang dilindungi dan terancam punah. Para pihak dapat melakukan pengelolaan berdasarkan pola penggunaan ruang dan waktu satwa sehingga satwa dapat dengan aman hidup dan manusia tidak merasa terganggu akibat dari keberadaan satwa.

B. Tujuan

Tujuan umum pola penggunaan ruang dan waktu satwa yaitu: 1. Mengetahui wilayah jelajah, core area dan territory satwa. 2. Mengetahui pola kegiatan harian satwa.

(3)

II.

PEMBAHASAN

A. Definisi Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

Menurut Legay dan Deboazie (1985); Santosa (1990) dalam Alita (1993), pola penggunaan ruang merupakan suatu keseuruhan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Daerah jelajah merupakan daerah pergerakan normal satwa dalam melakukan aktivitas rutinnya. Core Area merupakan bagian dari home range yang sering dipergunakan dan dengan keteraturan yang lebih besar dibandingkan dengan bagian lainnya. Territory adalah suatu daerah yang dipertahankan terhadap serangan dari luar (Chalmers,1980). Didalam hal ini, mobilitas dan luas serta komposisi daerah jelajah merupakan tiga parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar.

Mason (1968) dan Bates (1970) diacu dalam Rinaldi (1992) menyatakan bahwa home range atau wilayah jelajah merupakan areal yang diliputi oleh gabungan-gabungan jelajah harian suatu kelompok. Sedangkan Alikodra (2002) mendefinisikan home range sebagai wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minuman, tempat tidur, dan kawin serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung. Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran dan kestabilan home range bervariasi menurut sumber dan jenis makanan, topografi, kepadatan populasi, predator, dan ukuran kelompok. Alikodra (1990) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi yaitu posisi jarak antar pohon berjauhan, selain itu faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan satwa liar adalah ketersediaan makanan, predator, dan waktu berkembang biak. Setiap jenis satwa menunjukan pola kegiatan harian yang tertentu yang telah terpola secara alami seperti makan, bergerak, istirahat, menelisik dan kegiatan sosial lainnya.

C. Parameter Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

1. Parameter Pola Penggunaan Ruang

Ada dua hal yang menentukan perilaku pergerakan satwaliar yaitu fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer adalah faktor-faktor primer yang mendorong satwa untuk bergerak agar kebutuhan fisiologisnya terpenuhi, seperti rasa lapar, haus, dan motivasi seksual. Oleh karena itu distribusi pakan, air dan perkawinan diduga menjadi penentu utama dari penggunaan suatu tempat. Fungsi sekunder sendiri adalah faktor-faktor yang memodifikasi penggunaan ruang dapat mencakup sekurang-kurangnya variasi mikro-klimat suatu tempat, keadaan medan, resiko bertemu predator atau jenis yang sama dan resiko terkena penyakit (Gunawan, 1997). Mobilitas dan daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar (Santosa, 1990),

(4)

Bismark 1987) diacu dalam Zanuansyah (2013). Parameter dalam menganalisis Pola Penggunaan ruang pada satwa arboreal yaitu:

a. Jenis pohon dan posisi ketinggian satwa target di atas pohon b. Jenis, bagian-bagian pohon yang dimakan

c. Lama waktu melakukan aktivitas d. Waktu melakukan setiap jenis aktivitas e. Pola pergerakan

f. Komposisi vegetasi secara umum dan vegetasi pakan

1. Parameter Pola Penggunaan Waktu

Analisis pola penggunaan waktu pada satwa dengan memperhatikan perilaku satwa mulai dari bangun pagi dan keluar dari sarang sampai dengan aktivitas terakhir pada sore hari yang ditandai dengan istirahat atau selesai membuat sarang atau memasuki sarang. Parameter yang digunakan untuk menganalisis pola penggunaan waktu yaitu:

a. Alokasi penggunaan waktu dalam aktivitas pada waktu tertentu dan secara keseluruhan.

b. Sebaran temporal aktivitas satwa.

D. Data yang Dikumpulkan dalam Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

Data yang dikumpulkan dalam analisis pola penggunaan ruang dan waktu satwa yaitu:

a. Perilaku satwa dari bangun tidur sampai tidur lagi pada pembagian waktu tertentu.

b. Pergerakan satwa.

c. Nama spesies, jumlah jenis dan individu setiap jenis, diameter batang pada tiang dan pohon, tinggi bebas cabang pada tiang dan pohon, Tipe vegetasi d. Data sekunder meliputi data kondisi fisik (letak dan posisi geografis, iklim,

jenis tanah dan topografi lokasi penelitian, data kondisi biotik (flora dan fauna, serta data lain yang menunjang pembahasan

A. Metode Pengumpulan Data dalam Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

(5)

1. Metode Pengumpulan Data dalam Analisis Pola Penggunaan Ruang a. Data Vegetasi dan Diagram Profil

Tujuan pengambilan data vegetasi adalah mengetahui komposisi dan dominasi suatu jenis vegetasi satwa target di lokasi penelitian. Data vegetasi menggunakan metode kuadrat berpetak ganda. Pengambilan unit contoh yang dibuat berdasarkan aktivitas satwa target di setiap tipe habitat. Diagram profil berguna untuk menyimpulkan suatu hubungan antara derajat kelimpahan satwa dengan tipe habitatnya.

Analisis Vegetasi untuk mengetahui susunan dan bentuk vegetasi pada setiap tipe habitat dengan membuat jalur contoh yang dibuat memotong garis kontur. Data vegetasi diperoleh melalui analisis vegetasi dengan metode Petak Tunggal. Parameter yang diukur yaitu nama spesies, jumlah individu, diameter pohon pada ketinggian setinggi dada pada habitus pancang, tiang dan pohon. Diagram profil berguna untuk menyimpulkan suatu hubungan antara derajat kelimpahan satwa dengan tipe habitatnya

Gambar 1. Bentuk dan Ukuran petak pengamatan analisis vegetasi dengan metode petak tunggal

b. Wilayah jelajah

(6)

1) Metode poligon, penilaian berasal dari peripheral point atau berasal dari jarak point terjauh.

2) Metode pusat aktifitas, penilaian berasal dari prediksi bentuk parametrik fungsi distribusi, dan mencocokkannya dengan aktifitas atau aktifitas radii 3) Metode non-parametrik, penilaian berasal dari perkiraan penggunaan fungsi

distribusi menggunakan robust (kepadatan) penilaian pada geografik/koordinat lokasi radio tracking atau lokasi trap.

Metode poligon hanya memberi derajat/nilai wilayah jelajah, namun kedua metode lainnya memberikan juga penjelasan intensitas penggunaan. Identifikasi wilayah jelajah satwa dengan menggunakan teknologi tinggi dapat dilakukan dengan dua alat yaitu GPS Radio Collar dan Radio Telemetri.

1) Teknik Mengidentifikasi Wilayah Jelajah menggunakan GPS Radio Collar

Teknik mengidentifikasi wilayah jelajah dengan menggunakan GPS Radio Collar biasanya dilakukan pada satwa yang berkelompok dan memiliki wilayah jelajah yang luas. Pelaksanaannya dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah mengidentifikasi dan menentukan satwa target yang akan dipasangkan alat GPS Radio Collar. Satwa target selanjutnya dibius menggunakan alat bius dan penangkapan untuk dilakukan pemasangan GPS radio collar dan penyadaran (recovery). Selanjutnya satwa target yang sudah dipasang alat, diamati dengan alat receiver radio collar sehingga mampu mendeteksi sinyal dari GPS radio collar (receiver akan menerima frekuensi gelombang GPS radio collar dengan jarak maksimal 2 km). Monitoring dilakukan dengan metode triangulasi, untuk kemudian dicatat kondisi habitat yang dilewati gajah mengacu pada tally sheet monitoring. Monitoring, dilakukan s untuk melihat kondisi habitat serta jalur yang digunakan oleh gajah, monitoring juga bertujuan untuk data tambahan apabila GPS collar tidak beroperasi.

2) Teknik Menggunakan Bearing Radio Telemetri

(7)

Gambar 2. Triangulasi dari lokasi satwa menggunakan 3 bearing radio telemetri

2. Metode Pengumpulan Data dalam Analisis Pola Penggunaan Waktu a. Aktivitas harian

Pengamatan Perilaku terhadap kegiatan satwa target selama sehari penuh dari awal bangun tidur sampai satwa target tidur kembali. Tekniknya dengan cara mengambil data perilaku melalui pembagian kategori waktu aktivitas satwa target, pengamatan karakteristik daerah jelajah (tipe vegetasi) dan posisi individu dalam ruang dengan menggunakan GPS berdasarkan kategori ketinggian tempat, Data ritme individu aktif untuk mendapatkan gambaran rutinitas aktivitas pada selang waktu yang konstan atau temporal, serta penggunaan waktu harian untuk mengetahui alokasi waktu satwa target dalam beraktivitas.

Pengamatan aktivitas yang umum seperti aktivitas makan, berpindah tempat, istirahat, dan sosial dengan menggunakan metode Focal animal sampling (Altman 1974 dalam Kartikasari 1986) yaitu metode pengamatan yang dilakukan untuk mencatat obyek satwa yang menjadi fokus pengamatan dengan cara memilih salah satu individu dalam suatu kelompok dalam jangka waktu atau periode tertentu. Pengamatan dilakukan pada individu atau populasi satwa target dengan cara berselang, dan menjaga jarak dengan satwa target yang diikuti untuk menghindari gangguan aktivitas hariannya. Jarak pengamat dengan satwa tergantung pada posisi satwa dan kondisi topografi. Pencatatan aktivitas setiap individu/kelompok satwa dilakukan dengan cara continuous recording untuk mencatat aktivitas yang terjadi baik frekuensi maupun durasi aktivitas tersebut. Aktivitas yang diamati adalah sebagai berikut:

1. Aktivitas makan yaitu aktivitas yang meliputi pencarian makan, pemilihan makan, memasukan ke mulut, mengunyah dan di ikuti dengan menelan. 2. Aktivitas berpindah yaitu kegiatan pengembaraan atau perjalanan, berpindah

dari satu pohon ke pohon lain.

3. Aktivitas istirahat, meliputi diam di posisi/tempatnya dan tidur.

(8)

E. Metode Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

1. Metode Analisis Pola Penggunaan Ruang a. Analisis vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu jenis vegetasi pada suatu komunitas. Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komonitas dengan kata lain INP digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainya. INP yang dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominasi Relatif (DR) berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (2005): Kerapatan, KR, Dominansi, DR, Frekuensi, FR, INP Tumbuhan Bawah, INP Tiang dan Pohon.

Kerapatan jenis

(

ind ha

)

=

jumlah individusuatu jenis(ind) luas total petak contoh(ha)

Kerapatanrelatif( )= Kerapatansuatu jenis

kerapatan seluruh jenis×100 Dominansi

(

m

2

ha

)

=

luas bidangdasar suatu jenis(m2) luas petak contoh(ha)

Dominansi Relatif( )= Dominansi suatu jenis

Dominansi Seluruh Jenis x100 Frekuensi= jumlah petak contohdiemukan suatu jenis

jumlahtotal petak contoh

Frekuensi relatif ( )= frekuensi su atu jenis

frekuensi seluruh jenis×100

Indeks Nilai Penting(INP)=KR+DR+F R

Kemudian untuk mengetahui keragaman jenis digunakan indeks keanekaragaman Shannon Wiener (Pileou 1969; Magurran 1988) dan Indeks Kemerataan Hulbert (1971):

1) Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener (H’) H'

Ni = Jumlah individu atau nilai penting jenis ke-i S = Jumlah total spesies yang ditemukan

N = Total individu atau nilai penting seluruh jenis

2) Indeks Kemerataan (Evenness) Evenness D

Dmax

Keterangan:

(9)

D= Nilai Indeks Keanekaragaman Hasil Pengamatan

D max = Nilai Maksimum Indeks Keanekaragaman

Untuk mengetahui urutan preferensi jenis pakan digunakan nilai indeks Neu (Bibby et al, 1998). Jika indeks seleksi (preferensi) lebih dari 1, maka jenis pakan yang bersangkutan disukai karena penggunaan lebih besar daripada ketersediaan.

c. Analisis Wilayah Jelajah

Analisis wilayah jelajah biasanya dengan menentukan terlebih dahulu satwa target yang memiliki perilaku yang identik melakukan pergerakan berpindah tempat untuk mencari pakan, minum, cover dan menghindari mangsa. Namun demikian perlu diperhatikan dalam penentuan satwa target tersebut agar tidak terjadi salah penentuan sehingga tidak terjadi keraguan apakah satwa tersebut memiliki wilayah jelajah atau teritori atau tidak. Atau pada individu satwa tertentu dalam suatu populasi sulit menentukan individu mana yang dominan dan memimpin pergerakan kelompoknya. Pada kasus tersebut dapat dilakukan analisis menggunakan Reformulasi indeks Mitani-Rodman untuk membuktikan apakah suatu individu satwa merupakan satwa tertori atau satwa non teritori. Mitani-rodman berpendapat bahwa kemampuan pertahanan khussnya pada kelompok primata dari suatu wilayah terkait dengan frekuensi dimana suatu kelompok dapat memonitor range dari penyusup. Range tersebut dihitung dengan rumus:

Keterangan:

D adalah indeks kemampuan pertahanan, d merupakan panjang perjalanan dalam sehari (km) dan A merupakan area dari homerange (km2). Mitani-rodman menemukan bahwa semua spesies

yang memilki daerah pertahanan memiliki nilai D >1. Namun, sebaliknya tidak semua spesies non-teritori memiliki nilai D < 1.

Wilayah jelajah masing-masing kelompok satwa target dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui luas wilayah jelajah, dan panjang jelajah. Perhitungan luas wilayah jelajah dilakukan dengan menggunakan analisis Minimum Convex Polygon (MCP). MCP merupakan wilayah terkecil berbentuk konveks di mana di dalamnya terdapat titik-titik lokasi satwa selama periode pengamatan dengan membentuk garis-garis poligon yang menghubungkan titik-titik terluar dari semua catatan lokasi satwa tersebut. Analisis wilayah jelajah dilakukan dengan bantuan program komputer ArcView GIS 3.2 (ESRI) atau ArcGIS yang dilengkapi “Projection Utility Wizard” dan “XTools”.

Selanjutnya data faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi luas wilayah jelajah satwa dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk test dilanjutkan uji signifikansi t-test dan Mann-whitney U-test.

Analisis deskriptif merupakan penguraian dan penjelasan mengenai wilayah jelajah masing-masing individu/kelompok satwa yang diteliti berupa gambar dan tabel berdasarkan pengamatan langsung di lapangan. Parameter yang di ukur meliputi:

1) Jelajah harian (Daily range) yaitu panjang jelajah kelompok lutung yang dilakukan dalam waktu aktifnya setiap hari dari mulai meninggalkan lokasi tidur sampai ke lokasi tidur selanjutnya.

(10)

3) Jarak posisi bermalam (Night Position Shift) merupakan perbedaan jarak antar pohon tempat semula dengan tempat tidur pada malam berikutnya.

Pendugaan wilayah jelajah juga dapat dilakukan dengan Estismasi kerapatan kernel (EKD). EKD merupakan perhitungan statistic non parametrik dari smoothing data dan analisis pola titik. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam mengestimasi homerange. EKD menggunakan rumus:

f(x)= 1 nh2

i=1

n

K

(

xXi h

)

n : titik data (X1, X2, ...., Xn) h : smoothig parameter K : Kernel

Gambar 3. Bentuk Estimasi Wilayah Jelajah Populasi

Estimasi kerapatan kernel yang digunakan untuk estimasi home range (kontur 95%) dan area inti (50%) satwa dari lokasi pengambilan sampel.

Kernel Gaussian: 2π

¿ ¿ K(y)=¿

Rumus HREF (apabila data tidak tersebar normal): HREF=n

−1

6 σ

X , Y

(11)

f kuadrat error antar distribusi perkiraan dan distribusi yang sebenarnya pada setip titik didalam grid.

Asymptotic mean integrated squared error (AMISE) AMISE(h)=R(K)

(12)

Bias Cross-validation (BCV) memiliki pendekatan yang sama dengan UCV yang berbeda hanyalah BCV meminimalkan angka dari AMISE. BCV memiliki beberapa formulasi. Formulasi yang digunakan adalah BCV2. Nilai BCV2 dgunakan untuk mengestimasi kepadatan bivariate dengan asumsi gernel Gaussian dengan paramaeter smoothing yang berbeda untuk setiap dimensi:

(13)

3. Metode Analisis Pola Penggunaan Waktu a. Analisis aktivitas harian

Pengamatan aktivitas yang umum seperti aktivitas makan, berpindah tempat, stirahat, dan sosial dengan menggunakan metode Focal animal sampling (Altman 1974 dalam Kartikasari 1986) yaitu metode pengamatan yang dilakukan untuk mencatat obyek satwa yang menjadi fokus pengamatan dengan cara memilih salah satu individu dalam suatu kelompok dalam jangka waktu atau periode tertentu. Pengamatan dilakukan pada dua kelompok lutung jawa dengan cara berselang, dan menjaga jarak dengan lutung jawa yang diikuti untuk menghindari gangguan aktivitas hariannya. Jarak pengamat dengan lutung jawa tergantung pada posisi lutung jawa dan kondisi topografi. Pencatatan aktivitas setiap individu kelompok lutung jawa dilakukan dengan cara continuous recording untuk mencatat aktivitas yang terjadi baik frekuensi maupun durasi aktivitas tersebut. Pengamatan dimulai pada pukul 05.30-18.00 WIB atau pada saat lutung mulai bangun dari pohon tidurnya sampai memasuki pohon tidurnya lagi. Aktivitas yang diamati adalah sebagai berikut:

1. Aktivitas makan yaitu aktivitas yang meliputi pencarian makan, pemilihan makan, memasukan ke mulut, mengunyah dan di ikuti dengan menelan. 2. Aktivitas berpindah yaitu kegiatan pengembaraan atau perjalanan, berpindah

dari satu pohon ke pohon lain.

3. Aktivitas istirahat, meliputi diam di posisi/tempatnya dan tidur.

4. Aktivitas sosial meliputi bermain, berkutu-kutuan, kawin, serta konflik dengan anggota kelompok atau jenis satwa lain.

Analisis aktivitas harian digunakan untuk menjelaskan aktivitas harian lutung jawa seperti aktivitas makan, berpindah tempat, istirahat, dan sosial. Analisis menggunakan deskriptif dan kuantitatif. Secara deskriptif untuk menggambarkan seluruh jenis aktivitas satwa target yang dijumpai, secara kuantitatif untuk menjelaskan hubungan intensitas atau lamanya aktivitas yang dijumpai menurut tipe habitatnya. Hubungan-hubungan tersebut diantaranya: Proporsi jenis aktivitas dan waktu aktivitas dengan proporsi posisi dalam ruang. Dihitung persentasenya dan digambarkan dalam bentuk histogram dengan menggunakan tabel dan grafik. Perhitungan persentase aktivitas harian dilakukan dengan menggunakan rumus: Persentase aktivitas i (%) = Total Waktu AktivitasWaktu Aktivitas i x100

Keterangan: i = jenis aktivitas

d. Analisis Hubungan antara Perilaku dengan Habitat

(14)

1) Hipotesa (H°) = Tidak ada hubungan antara aktivitas tertentu dengan ketinggian pohon

2) Hipotesa Alternatif (H1) = Ada hubungan antara aktivitas tertentu dengan ketinggian pohon

3) Hipotesa (H0) = Penggunaan waktu oleh semua individu adalah sama

4) Hipotesa Alternatif (H1) = Penggunaan waktu oleh semua individu adalah tidak sama

5) Hipotesa (H0) = Penggunaan waktu oleh semua individu pada setiap kelas ketinggian pada pohon adalah sama.

6) Hipotesa Alternatif (H1) = Penggunaan waktu oleh semua individu pada setiap kelas ketinggian pada pohon adalah tidak sama

Untuk menguji hipotesis nol (H0) dengan cara menghitung semua frekuensi harapan bagi setiap sel menggunakan rumus:

B. Contoh Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

1. Orangutan yang Menjadi Obyek Penelitian

Berdasarkan survey pendahuluan, dijumpai lima ekor orangutan dengan komposisi umur dan jenis kelamin: dua ekor jantan dewasa, satu ekor betina dewasa, satu ekor betina dewasa induk, dan satu ekor jantan anak yang selanjutnya akan menjadi fokus penelitian. Untuk mempermudah penyebutan selanjutnya, masing-masing orangutan diberi nama. Orangutan dan jumlah jam pengamatan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah jam pengamatan orangutan di Mentoko, TN Kutai

4. Komposisi Vegetasi

(15)

(Litsea sp.), bayur (Pterospermum diversifolium), maligara (Dillenia borneensis), katan (Dysoxylum sp.), kenanga (Cananga odorata), simpur (Dillenia excelsa), dan teja (Ptenandra sp.). Kerapatan pohon di habitat orangutan adalah 167 pohon/ha dengan indeks keanekaragaman jenis 3,75 dan indeks kemerataan 0,95.

5. Pola Penggunaan Ruang

a. Sebaran Spasial Aktivitas pada Struktur Vertikal

Aktivitas orangutan lebih banyak dilakukan pada ketinggian antara 20-30 m dari permukaan tanah (Gambar 1). Dewi, hampir 82,58% dari seluruh waktu aktivitas hariannya dilakukan pada ketinggian ini, sedangkan aktivitas pada ketinggian di bawah 20 m dan di atas 30 m masing-masing sebesar 17% dan 0,27%. Demikian juga dengan Ayu sebanyak 80,43% pada ketinggian 20-30 m, 19% pada ketinggian di bawah 20 m, dan tidak pernah dijumpai pada ketinggian di atas 30 m. Selanjutanya Dewa, sebesar 79%, 20%, dan 0,83%, Surya sebesar 76%, 22%, dan 2%, Tole sebesar 72%, 28%, dan sama seperti induknya, tidak pernah dijumpai beraktivitas pada ketinggian di atas 30 m.

Gambar 4. Proporsi waktu aktivitas berdasar periode pengamatan

(16)

Pada Gambar 4 terlihat bahwa aktivitas orangutan terdistribusi secara tidak merata pada masing-masing ketinggian yaitu pada ketinggian di bawah 20 m, antara 20-30 m, dan pada persentase yang sangat kecil pada ketinggian di atas 30 m. Pada aktivitas makan, proporsi waktu terbanyak dijumpai pada ketinggian 20-30 m di atas permukaan tanah. Berkisar antara 75-88% aktivitas makan dilakukan pada ketinggian ini, sedangkan pada ketinggian di bawah 20 m hanya berkisar 12-25%. Demikian juga dengan aktivitas beristirahat lebih banyak dijumpai pada ketingian tertentu. Berkisar 81-96% aktivitas isirahat dijumpai pada ketinggian 20-30 m. Sisanya sebesar 2-19% pada ketinggian di bawah 20 m. Pada ketinggian di atas 30 m tercatat hanya Surya yang dijumpai dengan persentase waktu 2%. Berdasarkan uji khi-kuadrat pada tingkat signifikansi 0,05 terbukti bahwa ada hubungan antara ketinggian tempat dengan jenis aktivitas orangutan. Nilai khi-kuadrat Х2 hitung = 58,22, sedangkan dengan derajat bebas (df) = 8 dan tingkat signifikansi 0,05 nilai Х2 tabel adalah 15,507 yang menunjukkan bahwa ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap aktivitas orangutan. Tempat pada pohon yang paling disukai untuk beraktivitas adalah pada ketinggian 20-30 m dari permukaan tanah (72,01-82,58%). Demikian juga dengan distribusi jenis aktivitas dan ketinggian tempat, secara signifikan bahwa aktivitas makan dan istirahat terjadi secara dominan pada ketinggian 20-30 m.

e. Pola Pergerakan dan Jarak Jelajah Orangutan

Ayu mempunyai jarak jelajah terpendek di antara orangutan lain yaitu rata-rata 0,74 km per hari, dengan kisaran antara 0,65-0,80 km per hari. Selanjutnya Dewi dan Dewa mempunyai jarak jelajah rata-rata 0,90 km per hari, dengan kisaran antara 0,82-1,17 km per hari. Surya mempunyai jarak jelajah rata-rata 0,96 km per hari, dengan kisaran antara 0,86-1,11 km per hari.

6. Pohon Tempat Bersarang

Untuk mengetahui jenis pohon yang disukai orangutan sebagai tempat membuat sarang digunakan asumsi bahwa semakin tinggi frekuensi jenis pohon tertentu digunakan, maka pohon tersebut semakin disukai. Selanjutnya untuk menganalisis hubungan antara frekuensi dengan jenis pohon dilakukan dengan pendekatan Metode Neu’s (indeks preferensi).

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari tujuh jenis pohon yang dijadikan tempat bersarang selama penelitian, hanya satu jenis saja yang benar-benar disukai oleh orangutan yaitu pohon kenanga (Canangium odorotum). Hal ini ditunjukan dengan w > 1, sebagaimana Bibby et al. (1998) dalam Gunawan (2004) menyatakan bahwa jika w1 > 1, maka pilihan satwa terhadap sesuatu itu karena satwa menyukainya.

(17)

Tabel 2. Indeks Neu’s untuk preferensi jenis pohon tempat bersarang

7. Perilaku Makan dan Preferensi Makanan Orangutan

Tingkat kesukaan orangutan terhadap jenis makanan dapat diketahui melalui proporsi waktu yang digunakan untuk memakan suatu jenis makanan. Sesuai dengan hasil pengamatan, jenis makanan orangutan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu buah, daun, kulit kayu (kulit pohon dan liana), dan lain-lain (bunga, kuncup). Dari semua jenis makanan yang teramati dimakan orangutan, buah menempati proporsi tertinggi dengan rata-rata persentase 63,2%; selanjutnya daun 26,2%; kulit kayu 8,48%; dan lain-lain 4,5%. Jantan yang belum dewasa memakan buah yaitu 66%, sedangkan kebiasaan jantan dewasa makan buah yang dalam porsi sama antara 62-63%. Selanjutnya proporsi untuk daun persentase tertinggi juga ditempati oleh Tole yaitu 32%, sedangkan orangutan lain berkisar antara 23-26%. Persentase ini tidak berbeda jauh dengan orangutan di Bahorok, di antara berbagai jenis makanan menurut Sinaga (1992), buah menduduki persentase yang tertinggi dengan rata-rata 55,6%, menyusul daun 35,3%, dan sisanya untuk jenis makanan lain. Menurut Meijaard dan Rijksen (1999), di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu makannya dihabiskan untuk memakan buahbuahan.

8. Pola Penggunaan Waktu

(18)

a. Alokasi Penggunaan Waktu Harian

Proporsi waktu aktivitas makan Dewi paling tinggi dibanding orangutan lain yaitu 46%, beristirahat 43%, dan bergerak 10%. Selanjutnya Dewa persentase aktivitas makan 46%, bergerak 13%, beristirahat 31%. Ayu mengalokasikan waktunya untuk makan sebesar 45%, istirahat 44%, bergerak 10%. Surya, aktivitas makan sebesar 44%, istirahat 42%, dan bergerak 11%. Tole, aktivitas makan sebesar 41%, istirahat 36%, bergerak 11%, dan 20% untuk bermain.

Persentase waktu makan, bergerak, dan berisirahat orangutan di Mentoko menunjukkan perbedaan yang relative kecil. Misalnya rata-rata proporsi waktu untuk makan adalah 47% dengan kisaran antara 41% pada Tole sampai 46% pada Dewi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rodman (1973) di Kutai yang menyatakan bahwa persentase aktivitas makan orangutan adalah 46%. Di Bahorok, jantan pra dewasa menghabiskan waktunya untuk makan dalam sehari 50%, jantan dewasa 39%, dan induk betina 32% (Sinaga, 1992). Menurut Djojosudharmo (1978) orangutan di Ketambe rata-rata aktivitas makan berkisar antara 4,6-7,6 jam setiap hari.

Pada siang hari aktivitas yang dominan adalah beristirahat, kondisi cuaca yang cenderung panas pada siang hari menyebabkan orangutan mengurangi aktivitas makan dan bergerak. Berdasarkan lama keaktifan hariannya, orangutan di Mentoko menghabiskan waktu rata-rata 12 jam 10 menit dengan kisaran antara 11 jam 27 menit sampai 12 jam 38 menit. Permulaan keaktifan orangutan berada pada kisaran jam 05.35-06.41, sedangkan mengakhiri aktivitasnya pada sore hari berada pada kisaran jam 17.44-18.25. Hasil penelitian Sinaga (1992) menyebutkan bahwa orangutan di Bahorok menghabiskan waktu rata-rata 12 jam 25 menit dengan kisaran 12 jam 22 menit sampai 12 jam 58 menit, sedangkan Djojosudharmo (1978) menyebutkan bahwa orangutan di Ketambe memulai keaktifan harian sejak jam 06.00 dan diakhiri jam18.00.

Berdasarkan uji khi-kuadrat pada tingkat signifikansi 0,05 menunjukkan tidak adanya perbedaan dalam penggunaan waktu oleh masing-masing individu. Nilai khi-kuadrat Х2 hitung = 6,763, sedangkan dengan derajat bebas (df) = 8 dan

tingkat signifikansi 0,05 nilai Х2 tabel adalah 15,507. Karena Х2 hitung lebih kecil

dari Х2 tabel, menunjukkan bahwa secara statistik, dalam pengalokasian waktu

untuk aktivitas makan, bergerak, dan istirahat tidak ada perbedaan yang signifikan. Proporsi rata-rata aktivitas makan sebesar 44,65%, untuk istirahat dan bergerak masing-masing 41,9% dan 11,4%. Berdasarkan penelitian terhadap orangutan di Bahorok, Sinaga (1992) melaporkan bahwa jantan dewasa, waktu untuk aktivitas makan sebesar 39,2% dan istirahat 41,6%. Aktivitas makan betina induk 32,5% dan istirahat 52,3%, sedangkan jantan pra dewasa, aktivitas makan sebesar 50,4% dan istirahat 23,3%.

f. Sebaran Temporal Aktivitas

(19)
(20)

KESIMPULAN

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Santosa, Yanto., Agustinus Krisdijantoro, Machmud Thohari dan Dede Aulia Rahman. 2011. Analisis Pola Penggunaan Ruang Dan Waktu Orangutan (Pongo Pygmaeus Pygmaeus Linneaus, 1760) Di Hutan Mentoko Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 8 No 2: 109-117, 2011.

Giovana, Dendi. 2015. Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Lutung Jawa (Trachypithecus Auratus Raffles 1821) Di Resort Bama Taman Nasional Baluran. Institut Pertanian Bogor [Skripsi]. Bogor

Santosa, Yanto., Delfiandi. 2007. Aktivitas Harian Dan Wilayah Jelajah Lutung Jawa (Trachypithecus Auratus Raffles 1821) Di Resort Bama Taman Nasional Baluran

Gambar

Gambar 1. Bentuk  dan  Ukuran  petak  pengamatan  analisis  vegetasi  denganmetode petak tunggal
Gambar 2. Triangulasi dari lokasi satwa menggunakan 3 bearing radio telemetri
Gambar 3. Bentuk Estimasi Wilayah Jelajah Populasi
Tabel 1. Jumlah jam pengamatan orangutan di Mentoko, TN Kutai
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam image compression , biasanya digunakan lossy compression karena untuk membuat ukuran yang kecil diperlukan untuk menghilangkan atau mengubah sebagian informasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat mempersepsikan seorang elit (Aras Tammauni) yang pernah menjabat sebagai kepala desa di Desa Tobadak Kec, Tobadak

UNIT LAYANAN PENGADAAN BARANG DAN JASA Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu, Kendari

Kanker serviks atau yang lebih dikenal dengan istilah kanker leher rahim adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher rahim.Sel-sel yang tumbuh tidak normal ini berubah

Bagian dalam Micro processor Untuk mengetahui cara kerja micro processor, akan lebih mudah jika kita melihat ke dalam dan mempelajari logika yang digunakan. Berdasarkan instruksi

permasalahan dalam pengajaran bahasa Jerman. 3) Mengurus surat ijin penelitian ke SMA Pasundan Cikalong Cianjur.. 7) Melakukan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa.

Pada unit slow sand filter, zat organik dalam air baku cenderung menurun. Gradik hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 5., Gambar 6., dan Gambar 7. Titik klimaks

We developed a comprehensive index component associated with the relevant market conditions including BSI (banking soundness index), VFI (vulnerability financial index)