• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Ta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Ta"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Judul

:

Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga Anak dalam Budaya

N

genger”

Penulis

: Bagus Yaugo Wicaksono

Diterbitkan

: Journal Outlook, 009-07, 2011 Yogyakarta, Indonesi

(2)

Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga

Anak dalam Budaya

N

genger”

Bagus Yaugo Wicaksono

1

Abstract: Tulisan ini akan melakukan kajian mengenai sejauh mana kontek budaya

(“ngenger”) lokal memberikan peluang atau tantangan terhadap perlindungan pekerja anak di Indonesia. Dimana budaya “ngenger” ini secara umum bertentangan dengan jaminan perlindungan universal terhadap hak anak, khususnya pekerja anak. Di sisi lain budaya

“ngenger” masih dipercaya masyarakat sebagai sebuah bentuk pembelajaran bagi seorang anak.

Keyword: hak anak, ngenger, hak asasi manusia, perlindungan anak, pekerja rumahtangga anak, konvensi hak anak

Tantangan penerapan hak asasi manusia dalam budaya lokal sudah menjadi perdebatan panjang dalam perjalanan pengesahan Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti juga yang dinyatakan oleh American Anthropological Association (AAA) yang memberikan peringatan: bagaimana caranya HAM bisa diterapkan pada seluruah umat manusia dan tidak hanya memuat nilai yang lazim bagi negara-negara Eropa Barat dan Amerika? (AAA, 1947;539). Pernyataan AAA tersebut menunjukan bahwa HAM masih dalam perdebatan ketika dideklarasikan pada 1948. Bahkan secara tegas AAA sebagai penasihat pada naskah akhir penyusunan draf DUHAM pun menyatakan skeptis atas naskah tersebut: “…it will not be convincing to Indonesian, the

African, the Indian, if it lies on the same plane as like documents of an earlier period” (AAA, 1947). Pernyataan ini menunjukan bahwa poin-poin dalam pengakuan DUHAM masih bermasalah ketika dideklarasikan. Ada 3 poin utama yang direkomendasikan oleh AAA sebagai bahan pertimbangan penerapan HAM yaitu: (1) penjaminan dan penghormatan individual memerlukan penghormatan perbedaan budaya, selanjutnya (2) jaminan dan penghormatan itu didasarkan karena fakta ilmiah yang tidak pernah menemukan teknik evaluasi qualitative budaya, dan yang terakhir (3) standar dan nilai itu relative pada budaya yang berasal dari formulasi dalil yang berkembang dari kepercayaan atau etika moral suatu budaya maka dari itu jangkauan DUHAM harus dikurangi dalam pelaksanaanya ke seluruh umat (AAA, 1947;542). Rekomendasi tersebut guna untuk memperkecil kekhawatiran supaya DUHAM tidak menjadi bumerang bagi umat manusia di dunia. Setelah lebih dari setengah abad berlalu, kekhawatiran

(3)

tersebut ternyata terbukti pada pelaksanaan HAM khususnya perlindungan hak Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) di Indonesia.

Penerapan hak PRTA yang merupakan bagian dari HAM di Indonesia terbukti berbenturan dengan budaya lokal yang disebut “ngenger”. Di satu sisi, bagi para pembela HAM seperti

Human Right Watch (HRW) mengklaim bahwa pemerintah Indonesia telah gagal dalam melakukan perlindungan pada Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) di Indonesia. Pernyataan HRW tersebut dinyatakan bersamaan diterbitkanya hasil penelitian atas pemantauan Hak Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia tahun 2009. HRW melansir hasil penelitianya yang menunjukan bahwa ratusan ribu anak-anak perempuan Indonesia bekerja sebagai pekerja rumah tangga di rumah orang lain. Anak-anak ini bekerja layaknya pekerja rumah tangga dewasa. Mereka bekerja di bawah bayang-bayang masyarakat, terisolasi dari keluarga dan teman-teman sebaya mereka (HRW, 2009).

Senada dengan HRW, Laporan International Labor Worker (ILO) dan Universitas Indonesia yang yang dipakai oleh Koalisi Organisasi Non-negara Pemantau Hak Anak (Koalisi NGO) menunjukan angka sedikitnya ada 700.000 PRTA pada tahun 2002-2003, sebagian mereka adalah perempuan (Koalisi NGO, 2010). Data tersebut juga digunakan oleh Koalisi NGO di Indonesia untuk menunjukan bahwa pemerintah Indonesia tidak serius dalam melakukan perlindungan terhadap hak-hak PRTA. Karena hal tersebut diklaim sebagai tindakan pengabaian atas kewajiban negara sesuai yang diatur dalam norma hukum internasional dan domestik di Indonesia.

Di sisi yang lain, bertolak belakang dengan pernyataan beberapa lembaga pembela HAM di atas, cara pandang lain ditunjukan oleh beberapa orang dalam pemerintahan dan masyarakat. Cara pandang ini mendukung kepercayaan lama mengenai budaya “ngenger” di Jawa. sebagian masyaraat dan pemerintah meyakini bahwa bagi seorang anak yang bekerja pada seseorang yang mempunyai status sosial lebih tinggi maka akan membawa berkah bagi anak tersebut. Anak yang bekerja tersebut tidak dianggap bekerja dalam keluarga yang bersangkutan, melainkan dianggap sebagai anggota keluarga. Pola seperti ini yang di dalam budaya Jawa kemudian disebut “ngenger” (HRW, 2009). Dalam budaya Jawa, “ngenger” merupakan suatu cara masyarakat untuk mendidik anaknya menghadapi masa depanya. Hal ini sudah dipercaya dari generasi-generasi, dan bahkan sampai sekarang kepercayaan akan budaya “ngenger” ini masih melekat dalam masyarakat maupun pemerintah.

Seperti dalam temuan laporan HRW di mana dia mendapatkan statemen dari Deputi Bidang Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan mengatakan:

“[dalam] kebudayaan kami [Jawa], kalau [anak-anak] bekerja di sebuah rumah, mereka dianggap oleh majikan-majikan mereka sebagai anak sendiri dan disekolahkan sebagai imbalan mereka bekerja di rumah itu, hal ini disebut “ngenger”. Kadang mereka tidak

mendapatkan gaji karena majikan mereka menyediakan makanan dan akomodasi” (HRW, 2009). Begitu juga pengalaman HRW ketika bertemu dengan salah satu anggota DPRD di kota Yogyakarta yang mengatakan: “LSM-LSM selalu mengusulkan agar kami menambah detail kedalam rancangan undang-undang ini, tapi di Yogyakarta sulit untuk melakukan ini karena pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerja, melainkan dianggap sebagai keluarga

(4)

seorang anak yang menjadi PRTA. Berikut seperti yang dilaporkan oleh Koalisi NGO yang menemukan pernyataan anak: “Yang menyenangkan bisa sekolah lagi, dibiayai majikan. Disini itu lho nggak pernah dimarahi. Ya itu kalau nganter adek itu, banyak temen, kan bisa ketemu sama temen-temen disana, terus kalau pas sekolah itu punya temen yang banyak. Kumpul dengan majikan (nonton TV bersama), bisa bercanda dengan majikan” (Koalisi NGO, 2010).

Ulasan sekilas mengenai fakta di atas menunjukan adanya dilema dalam penerapan perlindungan PRTA di Indonesia. Di satu sisi, perlindungan secara universal ini berfungsi untuk meningkatkan derajat kemanusiaan PRTA, dan di sisi lain sebagian pemerintah dan masyarakat percaya bahwa mempunyai cara sendiri untuk mewujudkan harkat dan martabat mereka. Tulisan ini bermaksud untuk membahas lebih lanjut bagaimana problematika tersebut dapat mendapatkan jalan tengah ketika berlangsung di masyarakat. Berikut adalah kerangka penyajian dalam pembahasan ini: pertama akan mengkaji mengenai substansi HAM internasional dan penerapanya dalam norma hukum domestik. Kedua mencari substansi mengenai budaya “ngenger” di Jawa. Ketiga mengulas fakta kontradiksi HAM dan budaya

“ngenger” dalam masyarakat. Dan selanjutnya yang keempat menarik pembelajaran dari fakta tersebut.

Hukum HAM Internasional

Dalam sesi ini akan menggambarkan mengenai bagaimana asal mula pengakuan HAM secara universal. Dan kemudian juga akan menggambarkan mengenai sejarah panjang universalisme tersebut sampai bisa masuk menembus kedaulatan antar negara-bangsa. Dalam kaitanya dengan tulisan ini, maka penggambaran dalam sesi ini akan lebih mengkerucut pada norma perlindungan Hak PRTA. Norma perlindungan ini akan mencakup norma internasional dan norma domestik di Indonesia. Sekaligus menggambarkan bagaimana bentuk konsekuensinya.

Sekilas:Terbentuknya HAM Internasional

Dalam memahami hukum HAM internasional, saya akan memulai dengan mencoba menjawab pertanyaan mendasar: mengapa hukum HAM internasional itu ada? Dalam menjawab pertanyaan ini perlu untuk mengkaji kembali mengenai sejarah HAM internasional. Menurut para penggagasnya, hak asasi manusia tidak serta merta diciptakan dalam hitungan tahun. Hak ini mengalami berbagai evolusi yang cukup panjang. Wignjosoebroto menuliskan apa yang disebut hak-hak asasi manusia ini adalah sebuah konsep yang mempunyai riwayat lama yang panjang, terolah dan tersempurnakan dan merupakan bagian dari sejarah sosial-politik bangsa-bangsa dunia (Soetandyo Wignjosoebroto, 2005:2). Penyempurnaan melalui korban jutaan jiwa. Di mana setelah banjir korban jiwa pada perang dunia II, kemudian keseriusan akan penegakan HAM ini mulai digagas bibit-bibit yang dirumuskan dalam DUHAM.

Bahkan sebelum itu, bibit-bibit HAM ini diklaim telah ada sebelum yang sekarang dikenal sebagai magna carta (1215). Meskipun pada sekarang ini banyak dikenal bahwa magna carta

(5)

keterbatasan kekuasaan raja. Hal itu artinya, masyarakat sudah mempunyai ruang untuk mendapatkan hak-haknya. Meskipun pada waktu itu, yang mempunyai hak adalah segelintir orang atau disebut para bangsawan. Dari sini pula geneologi pengembangan mengenai konsep kedaulatan raja perlu dikontrol oleh rakyat mulai dikembangkan. Hak-hak ini juga yang diklaim akan berevolusi menjadi hak asasi yang tidak bisa dicabut (inderogable) dan tidak bisa dialihkan (inalienable).

Selain itu, gagasan tentang HAM ini juga dikarenakan tidak adanya hukum internasional (pada sekitar abad 15) yang mengatur jaminan hak-hak individu (Ravindrant, 1998). Seperti pada konsep hukum internasional klasik, suatu negara berdaulat sepenuhnya memiliki kebebasan bertindak dalam hubungan dengan warganya (kedaulatan personal), dengan wilayahnya (kedaulatan teritorial), dan dalam (laut, atmosphere dan angkasa luar) mengelola domain publik (Sieghart Paul, 1992;11). Paul menambahkan bahwa situasi itu membuktikan hukum internasional klasik hanya mengakui negara dan tidak menjangkau individu yang hidup didalam negara. Paul juga menegaskan bahwa dalil ini menjadi menjadi dalil tunggal takterbantahkan selama berabad-abad di mana: doktrin kedaulatan negara, Hukum antar Negara tidak bisa memberikan hak apapun kepada siapapun dalam hubungan dengan negara berdaulat manapun

–baik negaranya sendiri maupun negara lain” (Sieghart Paul, 1992;18). Kemudian pengalaman atas kesewenang-wenangan penguasa yang merenggut jutaan nyawa memicu keseriusan tentang penjaminan mengenai HAM.

Evolusi HAM melaju dengan kencang pada abad ke 19. Seperti yang dikenal terhadap pengakuan pakta HAM oleh Liga Bangsa-Bangsa pertama kali baru dilakukan tahun 1926 (slavery convention) pakta mengenai perbudakan. Ditambah lagi dengan adanya situasi perang dunia II, di mana Hitler yang dikambing hitamkan oleh sekutu sebagai pembawa kehancuran ras manusia. Menyadari akan situasi ini, sekutu menganggap perlu untuk menghidupkan badan dunia (Liga Bangsa-Bangsa) yang sudah lama tidak aktif. Amerika Serikat menjadi tokoh kunci dari sekutu, melalui presidenya Roosevelt dalam pidatonya yang terkenal dengan empat kebebasanya, yang kemudian dipercaya sebagai pondasi dasar kebebasan HAM.

In the future days, which we seek to make secure, we look forward to a world founded upon four essential human freedoms. The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way everywhere in the world. The third is freedom from want, which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants everywhere in the world. The fourth is freedom from fear, which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a thorough fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical aggression against any neighbor anywhere in the world. (Michael E. Eidenmuller, 2008)

(6)

Dari tinjauan sekilas ini kemudian bisa dipahami mengenai keberadaan hukum HAM internasional yaitu: melengkapi jaminan hukum internasional yang memungkinkan untuk menjangkau setiap individu. Asumsinya, jangkauan internasional terhadap jaminan setiap individu adalah meluluh lantakan kedaulatan negara yang memegang kekuasaan penuh terhadap semua manusia yang berada di dalam wilayah tersebut.

Norma hukum HAM internasional dalam perlindungan PRTA

Setelah dideklarasikanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948, keberadaan HAM mengalami akselerasi yang cepat. Keberadaan HAM dalam hukum

internasional yang bersifat “soft law” ini kemudian ditingkatkan menjadi “hard law” dengan

adanya dua konvensi yang mengelaborasi kandungan dari DUHAM. Dua konvensi tersebut adalah konvensi internasional hak-hak sipil dan politik dan konvensi internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dan ditambah dengan dua protokol tambahan konvensi hak-hak

sipil dan politik kemudian kelimanya disebut sebagai paket “bill of rights”. Hak asasi manusia tidak berhenti pada tahapan ini. Keberadaanya terus dinamis searah dengan tuntutan sosial.

Munculnya isu hak anak menunjukan kedinamisan HAM di mana beberapa pengamat menggolongkanya kedalam isu HAM gelombang kedua. Isu hak anak ini muncul dan dikuatkan dengan adanya perubahan sosial yang mengakui anak sebagai sosok individu yang merdeka. Di mana sebelumnya posisi seorang anak ini masih melekat dalam kekuasaan orangtua, khususnya ayah. Pada saat itu anggapan umum menyepakati bahwa seorang ayah memiliki kekuasaan atas seorang anak, oleh karenanya pihak ayah berhak untuk menentukan nasib anak termasuk dijual ataupun dikasari (Ravindran, 1998). Sedangkan pihak ibu tidak memiliki kekuasan untuk pengasuhan anak. Seiring dengan perkembangan revolusi industry, masyarakat di Eropa mengalami sebuah perubahan sosial yang besar. Termasuk dalam perubahan atas hak kesetaraan perempuan.

Dengan munculnya status legal persamaan perempuan ini kemudian berdampak pada persamaan pengakuan hak pengasuhan terhadap orangtua (baik pihak ayah dan ibu) yang berdampak pada pengakuan hak independen anak. Munculnya hak persamaan pengasuhan pada pihak ibu kemudian memberikan kontribusi besar dalam mengangkat status legal anak. Sampai kemudian pada awal abad kedua puluh, di mana sudah mulai muncul pengakuan atas hak independen seorang anak. Hal ini tercermin dalam Deklarasi yang diadopsi oleh Liga Bangsa Bangsa pada tahun 1924 yang memberi penekanan pada perlindungan anak dari kelaparan dan kebutuhan material lainnya (Weissberg, 1978). Ini diikuti dengan standar yang diadopsi oleh ILO mengenai buruh anak dan isu-isu terkait lainnya. Sejalan dengan dinamika sosial pengakuan terhadap independensi hak anak juga semakin meningkat.

(7)

bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, di mana isu PRTA masuk dalam salah satu bentuk-bentuk-bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak itu.

Dari ulasan sekilas tersebut dapat dibuktikan bahwa hukum HAM internasional sangat rigit dalam melakukan perlidungan terhadap hak anak. Terlebih lagi pada perlindungan PRTA juga mempunyai sistem pelindungan yang ditetapkan melalui konvensi. Bukti tersebut dapat menjadi kesimpulan bahwa usaha universalisme hak asasi telah masuk pada sekup-sekup detail dalam kehidupan sosial di seluruh dunia.

Norma hukum HAM domestik di Indonesia dalam perlindungan PRTA

Lalu bagaimana pengakuan HAM di Indonesia dan bagaimana khususnya mengenai hak PRTA? Dalam menjawab pertanyaan ini perlu untuk melihat sekilas bagaimana pengakuan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Proses masuknya pengakuan HAM telah di awali pada pemerintahan oteriternya rezim Suharto. Pada tahun 1984 pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Suharto telah memasukan salah satu instrument HAM yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Tidak hanya itu, Suharto juga telah mendirikan Komisi Nasional HAM pada tahun 1993. Pengakuan HAM di era Suharto pada waktu itu tentu saja mengundang berbagai kontroversi argumen. Terlepas dari apapun maksud pengakuan HAM pada masa itu, poinya adalah setidaknya HAM telah mejadi bagian isu di Indonesia. Setelah Suharto lengser, dinamika masuknya HAM bisa diikuti dalam kerangka normatif Indonesia. Pengakuan HAM diawali dengan amandemen pasal 28 konstitusi Indonesia. Menyusul setalah itu hak anak, hak sipil politik dan ekonomi sosial budaya.

Khususnya pada hak anak, hak ini telah diakui oleh pemerintah Indonesia dengan meratifikasi konvensi hak anak pada tahun 2000 dengan keputusan presiden no 36/2000. Pada perkembanganya, pemerintah Indonesia telah mem follow up konvensi hak anak menjadi undang-undang Perlindungan Anak pada tahun 2002. Sedangkan lebih khususnya pada pekerja anak, isu ini sebenarnya telah lebih dulu mendapat perhatian oleh pemerintah. Hal ini ditunjukan melalui diratifikasinya Konvensi ILO melalui UU No. 19/1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 mengenai Kerja Paksa, dan UU No 20/1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja. Tidak hanya berhenti di sini, pada tahun 2000 Pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak melalui UU No. 1/2000.

(8)

N

genger”

Dalam sesi ini akan lebih banyak mengeksplorasi mengenai pemahaman dan ruang lingkup

“ngenger”. Eksplorasi ini akan dimulai dengan melihat mitos yang masih menjadi kepercayaan dalam masyarakat. Dengan mencoba mengkonstruksi dari awal ini, kemudian harapanya dapat memberikan gambaran mengenai ruang lingkup dari pola “ngenger”. Selain itu setidaknya diharapkan juga bisa untuk mengukur sejauh mana kepercayaan terhadap mitos “ngenger” ini masih berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.

N

genger”

dalam budaya Jawa

Derajat dan pangkat merupakan sesuatu posisi yang terhormat dalam struktur sosial dalam masyarakat Jawa, karena kekuasaan itu adalah suatu hal yang agung (Sudadi, 2006). Kepercayaan ini telah menjadi mitos secara turun temurun pada generasi yang digambarkan oleh masyarakat Jawa. Kepercayaan terhadap mitos tersebut yang kemudian merangsang masyarakat untuk meraih derajat dan pangkat tersebut. Di dalam mitos itu juga selalu disebutkan berbagai jalan bagaimana dalam mendapatkan derajat dan pangkat itu. Salah satu jalan yang dikenal adalah dengan menjalani laku “ngenger”.

Mitos-mitos yang menceritakan tentang laku “ngenger” menggambarkan kesuksesan oleh beberapa orang yang kemudian sampai menjadi taraf capaian tertinggi derajat dan pangkat

manusia. Seperti mitos dalam cerita wayang “Sumantri “ngenger””, di mana dalam cerita

tersebut disebutkan bahwa Sumantri dapat mencapai derajat dan pangkat yang tinggi. Dalam cerita tersebut disebutkan bagaimana Sumantri yang merupakan pemuda dari desa yang mengabdi ke Raja Arjunasasrabau, diuji kesetianya oleh sang raja untuk berperang merebut calon istrinya dan juga disuruh memindahkan Taman Sriwedari (Sindusastra, 1978; Sudadi 2006). Karena kekuatan tekad dan kesetianya, akhirnya Sumantri berhasil melakukanya dan dia diangkat menjadi menteri tertinggi dalam kerajaan Raja Arjunasasrabau.

Mitos lain yang menceritakan mengenai laku “ngenger” adalah kisah Prabu Damarwulan. Sebelum dia menjadi raja Brawijaya, dia melakukan laku “ngenger” di rumah Mahapatih Logender. Dalam lakunya, dia mendapat kewajiban untuk menjadi pengurus kuda. Namun karena dia menunjukan kinerja dan kesetiaanya yang bagus, maka dia mendapatkan kesempatan kepercayaan untuk menumpas Patih Minakjingga. Akhirnya Damar Wulan dapat melakukan tugasnya dengan baik, dan dia kemudian menikah dengan Ratu Kenconowungu. Oleh karenanya Damar Wulan bisa menjadi Raja (Suaramerdeka, 2008). Dan masih banyak sebenarnya kisah-kisah seorang yang melakukan laku “ngenger” dan kemudian berhasil mencapai impian mereka. Namun pertanyaan kemudian, apa yang dimaksud “ngenger” itu? Dalam adat Jawa tidak ada definisi yang pasti mengenai konsep “ngenger”. Meskipun begitu ada beberapa konsep yang mendfinisikan “ngenger”. Seperti dalam penelitian yang dilakukan ILO pernah mendefinisikan “ngenger”:

(9)

ditanggung seluruh biaya hidupnya dan pendidikannya untuk masa depan yang lebih baik. Sebagai imbalannya maka anak tersebut harus membantu berbagai pekerjaan rumah tangga. (ILO, 2004)

Namun definisi dari ILO ini menyempit jika dibandingkan dengan pengertian “ngenger” berikut:

“Ngenger” iku tegese suwita utawa dadi abdine priyayi, narapraja, utawa ratu. “Ngenger” iku mujudake "lembaga pendidikan" saliyane nyantrik ing padhepokan. Sing di”ngenger”i iku sok isih sedulur, nanging terkadhang uga wong liya. “Ngenger” iku ora gampang, marga kudu manut miturut karo kulawarga sing di”ngenger”i, kudu bisa gawe renaning penggalihe sing di”ngenger”i. Mula “ngenger” iku mujudake pasinaon, latihan, lan penggemblengan jiwa. (Sudjarwo, 2008).

“Ngenger” itu artinya suwita (sistem hubungan antara pelindung dan yang dilingungi dalam budaya Jawa) atau menjadi abdinya seorang priyayi, pembesar kerajaan atau raja. “Ngenger” itu mewujudkan “lembaga pendidikan” selain masuk ke sekolahan. Orang yang di”ngenger”i itu terkadang masih saudara, akan tetapi terkadang juga bukan keluarga. “Ngenger” itu tidak gampang, karena harus menurut sama keluarga yang di”ngenger”i, juga harus bisa membuat senang keluarga yang di”ngenger”i. Maka dari itu “ngenger” itu mewujudkan pembelajaran, latihan dan penggemblengan jiwa.

Dari konsep “ngenger” yang lebih luas ini, kemudian “ngenger” itu dapat ditarik menjadi sebuah bentuk pembelajaran bagi setiap orang. Karena definisi tersebut mengarahkan bahwa

“ngenger” merupakan bentuk lain dari pendidikan setiap orang.

Dilematika

“ngenger”

dan perlindungan PRTA

Seperti ulasan singkat di atas mengenai konsep “ngenger” yang lebih luas tidak hanya terhenti pada sebuah batasan bentuk pekerjaan, melainkan proses pembelajaran. Di mana pada dasarnya konsep ini kemudian bisa untuk mempertegas perbedaan posisi keduanya. Dasar dari konsep “ngenger” adalah ketika seseorang yang mengabdi kepada orang lain yang tidak hanya untuk memperoleh materi semata. Akan tetapi keluasan dari falsafah ini adalah untuk mendapatkan kesiapan mental seseorang untuk mencapai derajat dan pangkat tertentu. Hal inilah yang kemudian bisa menunjukan bahwa konsep “ngenger” tersebut merupakan bentuk lain sebuah sistem pendidikan oleh masyarakat itu sendiri. Yang hasil dari pendidikan itu adalah untuk menciptakan manusia yang benar-benar siap menghadapi persoalan nyata dalam masyarakat.

Namun di sisi lain, perlindungan PRTA secara universal yang ada sekarang itu secara langsung membatasi konsep “ngenger”. Sehingga pola “ngenger” yang sudah ada di masyarakat Jawa itu terkadang bisa masuk pada persoalan kriminal. Seperti misalkan adanya pembatasan bentuk definisi pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan imbalan dalam bentuk lain (UU Ketenagakerjaan, psl. 1). Hal ini sangat berbeda dengan konsep

(10)

Kontradiksi

“ngenger”

dan perlindungan PRTA

Terlihat perbedaan mendasar mengenai konsep budaya “ngenger” di Jawa dengan definisi perlindungan PRTA yang berlaku umum. Di mana konsep budaya “ngenger” tersebut masih mempercayakan rasa komunalisme yang disebut dengan Suwito (sistem hubungan antara pelindung dan yang dilindungi dalam budaya Jawa), dan bertolak belakang dengan konsep pekerja yang hanya bertujuan mencari upah. Hal ini tentunya berdampak sangat buruk ketika salah satu diantara keduanya sudah menjadi bentuk legal formal sedangkan lainya hanya merupakan bentuk konvensi masyarakat.

Bentuk dari sistem legal formal mengatur bahwa jika sang pemberi kerja tidak melakukan kewajiban memberikan upah, maka pemberi kerja tersebut akan dikenakan hukuman. Dan juga sebaliknya jika sang pemberi kerjaan sudah memberi upah, mereka berhak menuntut pekerja untuk melakukan kewajiban-kewajibanya. Hal ini tentu saja merupakan sebuah penyederhanaan dalam relasi sosial di dalam masyarakat Jawa.

Sementara dalam sistem sosial Jawa masih mempercayai adanya rasa kepercayaan pada orang lain. Di mana setiap orang dipercaya masih mempunyai rasa tolong-menolong antar sesama. Oleh karenanya konsep “ngenger” ini masih menjadi kepercayaan bagi sebagian masyarakat di Jawa, baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil. Dampaknya adalah seringkali kepercayan ini akan bertubrukan dengan sistem normatif untuk melakukan perlindungan bagi PRTA di Indonesia.

Sampai di sini kemudian bisa dilihat bahwa pola budaya “ngenger” ini tidak bisa mendukung cara pandang dari konsep perlindungan Hak PRTA yang ada sekarang ini. Yang terjadi adalah jika masih banyak masyarakat yang percaya terhadap pola budaya “ngenger”, maka besar kemungkinan mereka akan masuk kedalam batasan kriminal yang disediakan oleh negara guna melakukan perlindungan PRTA. Dengan kata lain jika anggapan ini masih banyak dianut masyarakat, maka angka pelanggaran hak PRTA akan terus meningkat.

Fakta Perlindungan Hak PRTA VS

“ngenger”

Sesi ini akan membuktikan adanya benturan antara perlindungan Hak PRTA dengan

kepercayaan “ngenger” yang masih menjadi kepercayaan masyarakat. Di satu sisi, masyarakat

masih percaya bahwa untuk menggapai derajat dan pangkat perlu sebuah pengorbanan salah

(11)

Fakta kepercayaan “ngenger” di masyarakat

Dalam studi mengenai fenomena pekerja rumah tangga anak International Labour Organisation dan Universitas Indonesia di tahun 2003, memuat beberapa studi kasus yang mengekspresikan opini PRTA dan majikanya. Beberapa pernyataan yang didapatkan dari responden sebenarnya mengarah dalam kepercayaan “ngenger”. Seperti statemen dari orang yang di”ngenger”i (majikan) dan oleh salah seorang PRTA ini menunjukan betapa budaya

“ngenger” ini masih menjadi kepercayaan di masyarakat (ILO, 2003). Berikut ringkasan studi kasus tersebut:

Setelah manganggur cukup lama - dari pekerjaan pertamanya menjadi PRT Sumi (17 tahun) memutuskan untuk kembali bekerja menjadi PRT…….Ia mulai bekerja pukul 06.00 sampai pukul 18.30 sore, jika ada waktu majikan perempuan dan adiknya juga ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Banyak waktu luang yang dimiliki Sumi selama bekerja di rumah keluarga Suwarno…..

Pada bulan Maret 2003, Sumi mulai mengikuti kegiatan kursus menjahit di Sanggar Puri atas ijin majikannya. Informasi keberadaan Sanggar Puri diperoleh setelah pekerja sosial dari Sanggar tersebut pernah berkunjung ke rumah majikannya. Kegiatan yang diikuti Sumi adalah kursus menjahit tingkat dasar dengan lama kursus kurang lebih 3 bulan setiap hari Sabtu dan Minggu dari pukul 12.00 sampai dengan pukul 18.00.

Setelah mengikuti kursus menjahit, keluarga majikan memberikan dorongan untuk mengikuti kegiatan kursus secara serius dengan maksud agar dirinya mempunyai keterampilan dan keahlian. Sebagaimana dituturkan Pak Suwarno, diharapkan suatu saat nanti Sumi bisa bekerja di tempat lain dengan gaji yang lebih besar, tetapi tidak sebagai PRT. Lebih lanjut beliau mengatakan:

“ Sumi masih muda dan mempunyai masa depan yang panjang. Jangan sampai dia selamanya menjadi pembantu terus. Satu hari, Sumi harus punya kehidupan sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain”

Dengan berbekal sertifikat dari Sanggar Puri dan ijin dari keluarga Suwarno, Sumi pun melamar pekerjaan di sebuah perusahaan konfeksi untuk keperluan ekspor sebagai Helfer yang spesifikasinya membuat pola yang dikhususkan pada pola kerah dan tangan. Majikan Sumi sangat mendukung dengan keputusan Sumi bahkan pihak keluarga Suwarno tidak memberhentikannya tetapi memberikan kesempatan untuk tetap bekerja dirumahnya meski bekerja di pabrik……..

Sumber: ILO, 2003

Fakta studi kasus di atas menunjukan bahwa tidak semua orang yang mempekerjakan seorang PRTA menganggap mereka sebagai pekerja. Buktinya di atas menunjukan kepedulianya sebagai seorang yang berusaha untuk membantu orang lain. Bahwan orang yang memperkerjakan tersebut juga mendorong dan memberikan kesempatan bagi PRTA untuk mengembangkan keahlianya supaya suatu hari PRTA yang bekerja di rumahnya bisa menghadapi kehidupanya sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Selain masih adanya fakta bahwa orang yang benar-benar ingin menolong orang lainya seperti di atas, kepercayaan “ngenger” itu sendiri masih dipercaya oleh pekerja rumah tangga anak sebagai batu loncatan dalam menggapai cita-cita mereka. Berikut studi kasus yang dilaporkan ILO:

(12)

mengancungkan jempol kepada Dian. Secara ekonomi keluarga Dian sebenarnya tidak mampu untuk membiayai Dian sekolah, namun dengan modal semangat yang tinggi, Dian ternyata mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bisa bersekolah. Ibu Panji kemudian mendaftarkan Dian untuk memperoleh beasiswa setelah mendengarkan presentasi dari Sanggar Puri, di wilayah rukun tetangganya. Apa yang dilakukan Sanggar Puri sangat bagus dan berguna, menurut Bu Panji tidak selamanya seseorang terus menerus menjadi PRT, perubahan pada kondisi yang lebih baik harus dicapai.

….. Meski Dian menjadi PRT, Dian mempunyai keinginan yang tinggi untuk meraih harapannya di masa depan, karenanya ia yang saat ini tengah duduk di bangku kelas 1 SMK swasta ini begitu bersemangat untuk terus bersekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi agar cita-citanya menjadi insinyur tercapi.

Sumber: ILO, 2003

Upaya perlindungan Hak PRTA di Indonesia

Di tahun 2000 pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU 1/2000 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182. Konsekuensi dari pengesahan konvensi ini maka Indonesia harus mengambil tindakan segera dan efektif untuk melarang dan menghapuskan bentuk bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sebagai langkah darurat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Menetapkan dan memetakan pekerjaan berbahaya, (2) Membuat mekanisme pemantauan, (3) Mendesin dan melaksanakan program aksi (Rencana Aksi Nasional), (4) Mengembangkan program aksi berjangka atau terikat waktu (berjangka pendek, menengah atau panjang) sehingga dapat dijadikan acuan dan indikator dalam rangka implementasi program aksi tersebut dan terakhir (5) Meningkatkan bantuan dan kerjasama internasional dengan mensyaratkan negara maju untuk membantu negara berkembang dalam implementasi konvensi ini (ILO, 2003). Langkah nyata atas ratifikasi ini kemudian pemerintah menetapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan

Terburuk untuk anak. RAN ini di buktikan dengan dikeluarkanya Keppres No. 59 /2002

Tentang RAN Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Program ini dilakukan bekerjasama dengan berbagai pihak non-pemerintah juga. Seperti misalkan yang dilakukan di DI. Yogyakarta oleh Rumpun Tjut Nyak Dien (RTND). Lembaga ini bekerja sama dengan pemerintah daerah pada tahun 2003 merumuskan raperda perlidungan PRT. Namun upaya yang dilakukan ini menemui hambatan karena tidak mendapat respon dari pihak legislative (ILO, 2003), dan peraturan perlindungan PRT tingkat propinsi ini baru disyahkan pada tahun 2010 (RTND, 2010). Selain pembuatan peraturan daerah ini RTND juga mendirikan sekolah alternative bagi PRT. Tidak hanya RTND, penanganan bersama ini juga dilakukan di berbagai kota di di Indonesia oleh organisasi-organisasi non pemerintah.

(13)

sandiwara radio berseri. Survei PRTA bekerjasama dengan Fakultas Kesejahteraan Sosial UI dan konsultan dari BPS yang hasilnya dimuat dalam buku ini. Program-program atas dukungan ILO IPEC di atas dari sisi wilayah program lebih terkonsentrasi dan tidak menyebar, akan tetapi program diarahkan lebih komprehensif dan memberikan dampak yang luas (ILO, 2003).

PRTA dalam angka

Jumlah angka hasil penelitian mengenai Pekerja Rumah Tangga Anak yang masih digunakan sampai saat ini dibuat pada tahun 2003 oleh ILO-IPEC. Dalam hasil penelitian ini menunjukan estimasi jumlah PRTA di Indonesia sekitar 688.132 anak (ILO, 2003). Meskipun data spesisifik tentang PRTA belum ada pembaharuan sampai sekarang, namun di tahun 2009 Badan Pusat Statistik Indonesia dan ILO menyatakan hasil penelitian mengenai eastimasi pekerja anak di Indonesia sebesar 1.755.300 (BPS – ILO, 2009). Setidaknya angka-angka ini menunjukkan bahwa angka pekerja anak (termasuk di dalamnya adalah PRTA) masih menunjukan angka yang masih tinggi. Kemudian jika dikaitkan dengan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam penghapusan dan perlindungan pekerja anak, maka kuatlah argumentasi yang menyatakan bahwa usaha penghapusan dan perlindungan pekerja anak (termasuk PPRTA) yang telah dilakukan ini belum efektif.

Catatan Penutup

Budaya “ngenger” masih menjadi kepercayaan dalam masyarakat khususnya di Jawa. Dalam

kepercayaan ini, laku “ngenger” masih menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat tertentu

untuk mendapatkan derajad dan pangkat mereka. Mereka juga percaya untuk mendapatkan keduanya memang perlu adanya pengorbanan. Pengorbanan tersebut berguna dan dipercaya bisa menjadi pembelajaran dan pembentukan sikap dan perilaku seseorang. Setelah seseorang mampu mendapatkan pembelajaran dan membentuk sikap dan perilaku, maka mereka semakin percaya bahwa derajat dan pangkat tersebut semakin dekat untuk dicapai. Namun hal ini ternyata berbenturan dengan wacana baru yang masuk dalam aturan normative negara.

(14)

Referensi

American Anthropologist Association. “Statement on Human Rights.” American Anthropogist,

New Series, Vol. 49, No.4, Part 1. (Oct. – Dec. 1947), pp. 539 – 543.

Badan Pusat Statistik dan International Labour Organisation. Pekerja Anak di Indonesia 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2009.

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948.

Eidenmuller, Michael E. “Franklin Delano Roosevelt:The Four Freedoms.” American Rethoric

.com, 2008.

Human Rights Watch. Pekerja di Dalam Bayang-bayang: Pelecehan dan Eksploitasi terhadap Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia. New York: Human Rights Watch, 2009.

International Labour Irganisation – International Program on the Elimination of Child Labour.

Bunga-bunga di Atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga anak di Indonesia. Jakarta: Kantor Perburuhan International, 2004.

Keputusan Presiden No. 36 Tahun 2000 tentang Pengengesahan Konvensi Hak Anak.

Koalisi NGO dkk. Laporan Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak di Indonesia 1997 – 2009. Jakarta: koalisi NGO, 2010.

Piagam PBB 1945.

Ravindran, D. J. Human rights praxis: A resource book for study, action and reflection. Bangkok, Thailand: The Asia Forum for Human Rights and Development, 1998.

Rumpun Tjut Nyak Dien. “PERGUB DIY NO 31 TAHUN 2010 ttg Pekerja Rumah

Tangga.” Rumpun Tjut Nyak Dien, 10 Desember 2010

http://www.rtnd.org/v3/pergub-diy-no-31-tahun-2010-ttg-pekerja-rumah-tangga.html (Diakses 30 Mei 2011).

Sieghart Paul. The International Law of Human Rights…..: Oxford, 1992.

Sindusastra, Raden Ngabehi. Terj. Hadisutjipto, S.H. Sumantri Ngenger: Seri Arjunosasrabau Jilid IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Sudadi. “Memburu Punggawa Praja Lewat Laku Ngenger.” Koran Suara Merdeka, 14 Agustus

2006,

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2006/08/14/47/Memburu-Punggawa-Praja-lewat-Laku-Ngenger (Diakses 22 Mei 2011)

Sudjarwo. “Ngenger.” Suara Merdeka Cyber News, 22 Januari 2008,

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2008/01/22/282/Ngenger (Diakses 22

(15)

Undang-undang No 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.

Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-undang No. 19 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 mengenai Kerja Paksa.

Undang-undang Dasar 1945 Amandemen.

Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Weissberg, Kelley. Evolution of the Concept of the Rights of the Child in the Western World. ICJ Review No. 21, December 1978.

Referensi

Dokumen terkait

ّ‫ُهنّ َرا ُ ُج ۡو ُهنّ ۡوتُفَاّ لَـكُمّۡ ا َ ۡرض َۡعنَّ فَا ِۡن‬ “Kemudian jika mereka menyusukan anak-anak mu untukmu maka berikanlah

Dari pembahasan rumusan masalah di atas dapat disimpulkan, bahwa perlindungan hukum teerhadap anak jalanan dilakukan berbagai kebijakan oleh pemerintah yaitu dengan

MODEL PROBLEM BASED LEARNING DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK TENTANG MATERI LINGKUNGAN HIDUP DI KELAS XI IPS 4 SMA NEGERI 5 CIREBON. Universitas Pendidikan Indonesia

Kesiapan Masyarakat Terhadap Pembangunan Jalan Tol Cileunyi – Sumedang – Dawuan di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang1. Universitas Pendidikan Indonesia |

Untuk meningkatkan hard skills dan soft skills salah satu cara yang dilakukan sekretaris profesional adalah dapat menguasai keterampilan dalam berkomunikasi,

Hubungan antara manusia dengan hewan atau satwa telah berlangsung sejak manusia dan hewan menjejakkan tapak-tapak mereka di planet biru ini. Entah berjuta tahun

Selanjutnya Trisnaningsih (2003:6) mengemukakan bahwa sumber daya adalah semua potensi dan lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sedangkan jumlah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sleman Yogyakarta penelitian ini mempunyai kontribusi atau implikasi tentang persepsi