ADA BURUNG DI PASAR BURUNG
Oleh: Paulo RosarioSENGATAN matahari menemani perjalanan saya dari Cibinong, Bogor, ke sebuah sisi ramai di Jakarta. Jalan Kemuning, namanya. Orang lebih mengenalnya sebagai Gang Pasar Burung. Terletak di Kelurahan Bali Mester, Kecamatan Jatinegara, tempat ini merupakan salah satu pusat jual-beli unggas yang sudah dikenal oleh masyarakat luas sejak lama, khususnya sejak Orde Baru.
Namun, pemandangan siang itu, tak kalah menyengatnya buat saya, yang masih awam soal tempat yang satu ini. Bagaimana tidak?
Ketika mendengar nama “pasar burung”, saya membayangkan akan datang ke sebuah tempat sejenis mal atau setidaknya pertokoan yang nyaman yang melulu menjual aneka burung. Atau, mungkin kita bisa menyebutnya sebagai bird’s shops. Bukankah di Jakarta kini telah menjamur mal-mal dan mulai merekah toko-toko yang menjual hewan peliharaan?
Kenyataannya, lorong sepanjang kurang lebih 120 meter itu dipadati puluhan lapak berisi kandang dengan berbagai jenis hewan di dalamnya. Ada ikan, kelinci, kucing, bahkan ular dan tupai. Kios-kios percetakan pun ada di sana. Sejumlah kandang dibiarkan tergeletak sampai ke luar lapak, sehingga mempersempit badan jalan.
Tak cukup menampung minat pedagang, gang itu seakan menumpahruahkan lapak-lapak lain di dekat jalan raya, di seputar mulut gang, mengambil ruang trotoar di kiri dan kanannya. Pembeli yang berjejal bercampur-baur dengan para pedagang dan masyarakat lain, seperti pejalan kaki, mereka yang menunggu kendaraan umum, anak-anak sekolah, dan para pengendara. Kendaraan roda empat acapkali menerobos keramaian di gang yang hanya selebar sekitar tiga meter itu, seakan tidak menggubris marka jalan yang berisi larangan masuk bagi mobil.
Pasar burung persis berseberangan dengan Pusat Grosir Jatinegara. Di dekatnya terdapat sekolah, pertokoan lain, dan hotel. Tidak mengherankalan bila di lokasi itu sering terjadi kemacetan lalu-lintas.
Awalnya Hanya Burung
“Dulu, cuma ada penjual burung dan makanan burung,” tutur Ani (39 tahun), yang bersama keluarganya telah menetap di sebuah rumah sederhana di area tersebut sejak 1975. Dia menambahkan, sejak 2000-an hewan non-unggas mulai ikut dijual. Seperti ikan, ular, monyet, tupai, kelinci, dan kucing. “Kebanyakan penjualnya dari Jepara. Sedangkan penjual ikan banyak yang berasal dari Sumedang,” ujarnya ketika ditanya soal seputar penjual.
Menurut Ani, Pasar Burung ramai pada hari libur atau hari besar. Tentang harga, hewan di mulut gang djual relatif lebih mahal dibandingkan dengan yang di ujung gang. Kendati begitu, transaksi di mulut gang lebih ramai. “Pengunjung jarang berjalan ke pasar bagian belakang sini,” kata mantan penjual pakan unggas ini.
Buat sejumlah pedagang, hewan-hewan non-unggas memang terasa lebih menjanjikan karena bisa mendatangkan untung lebih besar. Seperti yang dialami oleh Zulkarnaen, yang sudah tiga tahun menjalani bisnis hewan. Ia menjual hewan-hewan yang sulit didapat di lapak lain, seperti monyet, iguana, kucing, tupai, sampai bajing terbang Papua.
Per hari, dia berpenghasilan kurang lebih Rp 750.000 hingga Rp 1.000.000. Cukup bisa diandalkan untuk menutupi ongkos sewa lapak seluas 1,25 meter persegi di mulut gang yang ditempatinya, yakni sebesar Rp 9 juta pertahun yang harus dibayar dua tahun sekaligus. Juga untuk membayar pungutan liar yang kerap ditagih oleh sejumlah oknum dengan mengatasnamakan “uang keamanan”.
Bagi para pembeli, dalam hal tertentu, keberadaan Pasar Burung dinilai cukup menguntungkan. Harga jual sejumlah hewan, misalnya, relatif lebih murah dibandingkan dengan harga di tempat lain. Ikan bawal air tawar yang seukuran tiga jari dapat dibeli dengan harga Rp 7.500 per 10 ekor di Pasar Burung Jatinegara, sementara di tempat lain bisa mencapai ribuan rupiah perekor.
“Saya suka belanja di Pasar Burung karena harganya lebih murah,” kata Sakti (28). Warga Cimanggis, Depok, ini telah beberapa kali membeli ikan atau keperluan lain di tempat itu.
Kurang Nyaman
Di sisi lain, Sakti berpendapat, Pasar Burung Jatinegara kurang nyaman karena kurang bersih. “Sanitasinya kurang,” kata Sakti.
Sementara itu, baik Ani maupun Zulkarnaen mengakui pentingnya menjaga kebersihan Pasar Burung. Menurut Ani, hanya ada seorang petugas kebersihan yang mengurusi lokasi itu. Warno, namanya. Pria berumur 40-an tahun itu membersihkan Gang Pasar Burung dari sampah tiga kali seminggu, setiap pukul 16.30. Sampah-sampah tersebut kemudian dibawanya dengan gerobak dorong ke dekat sekolah Slamet Riyadi Jatinegara.
“Jika Pak Warno sakit, sampah akan menumpuk di sepanjang gang,” kata Ani.
Apabila hujan turun, Gang Pasar Burung tidak pernah kebanjiran, kendati saluran air di sepanjang gang tersebut terbilang cukup kecil. Hanya saja, kata Zulkarnaen, gang tersebut akan becek oleh lumpr pada saat hujan. Lumpurnya pun bukan lumpur biasa, tapi sudah bercampur dengan kotoran hewan.
Saatnya Ditata-ulang
Konsep pasar burung sudah saatnya dikaji ulang. Nama yang disandang sudah kurang sesuai dengan kenyataan di lapangan, yang tidak lagi semata-mata menjual burung. Dari keberadaannya sendiri, menurut seorang penulis kelahiran Jakarta yang tidak mau disebut namanya, tempat itu sudah cukup mengganggu, baik dari segi kenyamanan berlalu-lintas, kebersihan lingkungan, dan lain-lain. Sementara jenis-jenis hewan yang dijual juga perlu dicermati, apakah ada yang termasuk hewan langka. Bagaimana pula dengan izin operasional dan aspek legalitas penjualan hewan-hewan di pasar itu.
Penulis yang juga pemerhati kesehatan masyarakat tersebut mengemukakan, keberadaan pasar burung cukup memberikan resiko bagi kesehatan masyarakat, terutama mengingat tempat itu dikelilingi permukiman padat. Sejumlah penyakit bisa muncul atau menular dari hewan ke manusia, atau sebaliknya dari manusia ke hewan. Misalnya, rabies yang bisa ditularkan oleh kera, batuk oleh burung dan manusia, dan sebagainya. Jika dibiarkan, ini bisa bermuara pada beban baru ekonomi bagi masyarakat itu sendiri.