ANALISIS LAYANAN SISTEM INFORMASI PENGELOLAAN HUTAN
PRODUKSI LESTARI (SIPHPL) DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN
HIDUP DAN KEHUTAHANAN (KLHK)
OLEH:
PRIHA LECHSA EFFENDY 30.2559
PROGRAM PASCARASARJANA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah melalui Kementerian Pemdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Kemenpan-RB) pada tahun 2017 memberikan 40 penghargaan terhadap inovasi-inovasi yang berhasil memberikan perubahan, salah satunya ialah Sistem Inovasi
Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Saat ini, SIPUHH sendiri sudah terintegrasi dalam satu sistem yang dinamakan Sistem Informasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (SIPHPL).
SIPHPL sendiri diluncurkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2017 melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor
P.45/Menlhk-Setjen/2015 tentang Integrasi Sistem Informasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, dengan tujuan untuk meningkatkan akurasi dan mengurangi kecurigaan atau kesalahan dalam pelaporan data, dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pendapatan rantai
pasokan kayu, sehingga kebijakan dapat berjalan lebih optimal. Sistem ini dibentuk sebagai sebuah perwujudan dari pengembangan informasi yang terintergrasi, seperti Sistem Informasi
Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), Sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak (SIPNBP), Sistem Informasi Rencana Penerimaan Bahan Baku Industri (SIRPBBI), dan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) (http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/748).
KLHK dalam membangun sistem tersebut bekerjasama dengan Multistakeholder Foresty Programme (MFP), sehingga dapat menunjang bagi berbagai stakeholder antara lain:
2. Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK), untuk memudahkan penerbitan V-Legal.
3. Pemerintah daerah, untuk memudahkan kontrol peredaran hasil hutan kayu di daerahnya.
4. Pemerintah pusat, untuk menghimpun data dalam upaya mementukan kebijakan
yang tepat.
Selain hal tersebut, SIPHPL juga terintegrasi dengan sistem informasi lainnya seperti Sistem
Informasi Penerimaan Online (SIMPONI) dan Elektronik Monitoring dan Evaluasi (E-MONEV).
SIPHPL sendiri memiliki beberapa fitur penting yang dapat membantu masyarakat
untuk mengakses berbagai aspek yang berhubungan dengan industri kayu seperti pencatatan hasil hutan kayu, hutan rakyat, kayu impor, penerimaan bahan baku, produksi industri
lanjutan, dan sebaran data pemasaran produk. Sistem tersebut juga diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat baik dalam meningkatkan verifikasi data, megurangi kecurangan, mendorong profesionalisme kerja, maupun sebagai bahan pertimbangan
pengambil kebijakan. Akses tersebut diperankan oleh berbagai unit yang bekerja dalam SIPHPL seperti: 1) Unit Manajemen Hutan yang berfungsi sebagai pelapor seluruh transaksi,
mulai dari inventarisasi, pemanenan, mutase kayu, dan pengangkatan. 2) LVLK yang berperan sebagai pemverifikasi laporan dari Unit Manajemen Hutan dan mengeluarkan V-Legal. 3) Balai Pemanfaatan Hutan Produksi (BPHP) dan Dinas Perindustrian Kabupaten,
Kota, dan Provinsi sebagai penyedia daya primer dan lanjutan. 4) Dinas Kehutanan yang berperan sebagai pengawas peredaran kayu di wilayahnya, dan 5) Direktorat Jenderal PHPL
KLHK yang berperan sebagai administrator.
Merujuk pada Permen KLHK nomor P.45/Menlhk-Setjen/2015, SIPHPL memiliki materi muatan antara lain:
1. Input Data meliputi: Perizinan, Rencana Kerja, Produksi, Peredaran dan Iuran Kehutanan;
2. Proses Internal meliputi evaluasi kebenaran jenis, volume, jumlah batang hasil
hutan dari jenis dokumen Rencana Kerja, Produksi, Peredaran;
3. Proses Eksternal meliputi evaluasi kebenaran pembayaran iuran kehutanan oleh
wajib bayar dalam kaitannya dengan produksi dan iuran kehutanan
4. Output meliputi Informasi Internal Berjenjang, Informasi Publik, Pengawasan dan Pengendalian PHPL.
Materi tersebut akan sangat membantu bagi berbagai kalangan masyarakat yang berhubungan dengan industri kayu, baik para pemegang izin pada hutan negara, pelaku industry primer,
lanjutan, maupun pedagang kayu.
Perubahan sistem ini diharapkan mampu melanjutkan dan meningkatkan kinerja dalam dari Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang berhasil
melakukan perampingan birokrasi tata usaha kayu, dengan menghilangkan 60% titik biaya transaksi pelayanan tahunan. Kajian KPK pada tahun 2013 menunjukkan bahwa setidaknya
Rp 680 juta per tahun biaya informal mengalir dalam proses tatausaha kayu. Sistem ini diharapkan dapat membantu akan mengurangi moral hazard yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi sehingga mendorong semua pihak untuk bekerja secara professional.
( https://nasional.tempo.co/read/904377/sistem-informasi-pengelolaan-hutan-produksi-lestari-diluncurkan ).
birokrasi, akurasi dan transparansi kegiatan, maupun efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyakat.
1.2 Rumusan Masalah
Kondisi dan fakta empirik yang telah dijabarkan sebelumnya tentang Sistem Informasi Pengelolaan Hutan Produk Lestari (SIPHPL) diharapkan mampu memberikan
perubahan dalam pengefisiensian pelayanan kepada masyarakat terkait dengan pengeolaan hutan, maka menarik untuk dikaji tentang SIPHPL lebih lanjut terutama dalam konteks
menajemen pelayanan publik. Berdasarkan hal tersebut, penulis memunculkan pertanyaan: Bagaimana analisis SIPHPL dilihat dari berbagai teori menajamen pelayanan publik?
1.3 Tujuan
Makalah ini diharapkan mampu mendeskripsikan dan menggambarkan pelayanan
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Konsep Barang Layanan
Merujuk pada konsep New Publik Management (NPM) di mana E.S Savas, Andrisani,
dan Hakim mendeskripsikannya sebagai sebuah “manifestasi terakhir dari reformasi Pemerintah”. NPM merupakan kerangka pemikiran yang terdiri dari delapan elemen utama
yaitu kembali ke fungsi inti; desentralisasi dan perpindahan otoritas; membatasi ukuran dan cakupan Pemerintah atau rightsizing; mengembalikan fungsi dari civil society; mengadopsi prinsip pasar; mengelola hasil baik dalam konteks pemuasan masyarakat maupun
akuntabilitas Pemerintah; pemberdayaan karyawan, masyarakat, dan komunitas; dan memperkenalkan e-government dan teknologi.
Menurut mereka, NPM akan sangat dibutuhkan dalam konteks pelayanan publik ke depan dengan meramalkan berbagai situasi dan kondisi antara lain: 1) Internet akan membentuk formula baru dalam kompetisi pasar pada pengadaan barang dan jasa oleh
Pemerintah. 2) E-government memperluas kontak antara masyarakat dan Pemerintah. 3) Pemerintah lokal terdiri dari professional yang memonitor kinerja dari privat sebagai
penyedia utama layanan. 4) Pelayanan yang diberikan secara langsung oleh Pemerintah akan berkurang. 5) Pelayanan publik tradisional yang disampaikan melalui kerjasama publik privat akan semakin meningkat. 6) Yuridiksi terpisah akan meningkatkan kerjasama dalam
pemberian layanan. 7) Badan Pemerintah yang memiliki kelebihan di dalam suatu area akan menjual layanannya kepada badan Pemerintah yang lain. 8) Struktur hierarkis dalam
Berdasarkan pada konsep NPM tersebut, Savas melihat perlu adanya privatisasi dalam pelayanan publik untuk mencapai kebutuhan masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan
sebagai aksi untuk mengurangi peran Pemerintah atau meningkatkan peran dari intstitusi lain untuk memproduksi barang dan jasa maupun memiliki properti. Pada umumnya, baik sektor publik dan privat memiliki peran penting dan dapat tercipta sebuah kerjasama publik-privat
(publik-privat partnership), yang didefinisikan sebagai pengaturan antara sektor publik dan privat dalam kegiatan publik, baik secara parsial atau tradisional yang dilaksanakan oleh
sektor privat. Tujuan dari adanya kerjasama sektor publik-privat diharapkan mampu meningkatkan kinerja Pemerintah, dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara luas (E. S Savas (2001), dalam P.C Bansal (2003:381).
Baik privatisasi dan NPM, keduanya melihat barang layanan sebagai suatu fokus utama untuk mencapai tujuan baik secara internal yaitu, mencapai tujuan Pemerintah melalui
jalan yang lebih efektif, dan secara eksternal yaitu untuk kesejahteraan masyarakat. Barang layanan sendiri menurut Savas terbagi menjadi empat kategori:
1. Barang yang digunakan untuk memenuhi kepentingan individu dan bersifat privat
(private goods).
2. Barang yang dikonsumsi bersama-sama, dan bilan menggunakan barang tersebut
harus membayar (toll goods).
3. Barang yang digunakan oleh bersama secara terus-menerus dan sulit diukur penggunaannya secara individu dan penyediannya tidak dapat dilakukan melalui
pasar, sehigga dibayar melalui pajak (collective goods).
4. Barang yang mempunyai karakteristik di mana penggunanya tidak mau
2.2 Core Public Service
Core Public Service menurut McKevitt (1998) dapat didefinisikan sebagai berbagai
pelayanan yang penting untuk proteksi dan promosi kesejahteraan masyarakat, tetapi dalam area di mana pasar tidak mampu mencapai atau bahkan mendekati nilai optimal secara sosial, seperti: kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan keamanan. Terdapat tiga elemen utama
dalam pelayanan publik. Elemen pertama ialah Pemerintah memiliki posisi kuat sebagai regulator dan sebagai pemonopoli pelayanan publik. Posisi tersebut menimbulkan buruknya
pelayanan dari Pemerintah daerah, karena sulitnya memilih dan memilah antara kepentingan Pemerintah itu sendiri dengan fungsi dalam peningkatan pelayanan. Elemen kedua ialah penerima pelayanan baik orang, masyarakat, maupun organisasi yang bersangkutan. Elemen
ketiga ialah kepuasan yang diterima maupun diberikan oleh pengguna layanan. Merujuk pada elemen tersebut, sifat dari pelayanan publik sebagai ketentuan dari pelayanan kepada
masyarakat yang menjadi kewajiban bagi pegawai Pemerintah, demi mewujudkan pelayan publik yang berdasarkan pada beberapa prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipasi, kesetaraan, dan keseimbangan hak dan kewajiban (Kotler 1997:49,
dalam Syahri Nehru 2014:33).
Lebih lanjut, core public services juga dapat dilihat sebagai outcome dari hubungan
antara penyedia layanan dan masyarakat, klien dan warga negara, yang melibatkan seperangkat proses. Outcome tersebut dijelaskan oleh McKevitt menggunakan model dari Street Level Public Organization (SLPO), sejalan dengan reformasi pelayanan publik modern
yang menempatkan aspek ekonomi sebagai penekanan dalam menyampaikan pelayanan yang efektif dan responsif kepada masyarakat (McKevitt, Millar, dan Keogan 2000:1). Model
misalnya ketika hubungan antara penyedia barang melalui kontrak, karena hubungan yang dibentuk secara utama berkarakteristik ekonomi dan legal. Di sisi lain, hubungan antara
SLPO dan warga negara atau kilen mungkin berdasarkan pada konvensi informal tentang tingkah laku para pegawai Pemerintah. Hubungan antara SLPO dan warga negaranya maupun klien membutuhkan kepercayaan dan rasa saling berkewajiban berdasarkan tugas dan haknya.
Beberapa hubungan membutuhkan pengukuran kepercayaan dan saling mendukung, dan yang lain membutuhkan pengukuran efisiensi dan penggunaan sumber daya (Lawton, McKevitt,
BAB III
ANALISIS
Jika melihat pada konsep NPM, SIPHPL sesuai dengan elemen kedepalan yaitu penggunaan teknologi. SIPHPL menjadi bentuk penggunaan teknologi dalam pelayanan
publik untuk menciptakan efektivitas proses pada aspek industri kayu. SIPHPL juga menjadi suatu program yang kondisinya sesuai dengan pendapat dari E.S Savas, yaitu internet
merubah kondisi dan situasi Pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Sistem tersebut merubah proses kegiatan yang sebelumnya manual, tradisional, dan kurang efisien, menjadi sederhana dan terinetegrasi dalam suatu sistem, dan diakses oleh setiap masyarakat
yang memiliki kepentingan di dalamnya. Adanya sistem ini juga membuat masyarakat yang berkepentingan dapat berkontak langsung dengan penyedia layanan. Hal tersebut sejalan
dengan konsep dari e-government yang mampu memperluas kontak antara Pemerintah dengan masyarakat. SIPHPL juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam melihat kinerja dari KLHKsehingga akuntabel, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Savas terkait NPM yaitu adanya pertanggungjawaban terkait kinerja dan hasil dari pelayanan.
Sistem ini juga menjadi bentuk adanya kolaborasi atau kerjasama antara publik-privat atau yang dikatakan oleh Savas sebagai public-private partnership. Meskipun SIPHPL tidak sepenuhnya mengadopsi nilai privatisasi yang dianjurkan oleh Savas, yaitu privat memegang
kendali terhadap implementasi pelayanan publik, sistem ini masih sepenuhnya dipegang kendalinya oleh KLHK melalui Dirjen PHPL dan berdasar pada Peraturan Menteri
sejalan dengan adanya pertimbangan eksternalitas, yaitu dengan pemlimpahan wewenang yang sepenuhnya terintegrasi pada satu badan di KLHK.
SIPHPL dapat dikategorikan sebagai collective goods, yang menurut Savas dikatakan sebagai barang yang digunakan oleh bersama secara terus-menerus dan sulit diukur penggunaannya secara individu dan penyediannya tidak dapat dilakukan melalui pasar,
sehigga dibayar melalui pajak. Hasil pajak yang didapati oleh Pemerintah melalui masyarakat salah satunya akan menjadi program Pemerintah baik dalam bentuk penyediaan layanan
masyarakat, infrastruktur, maupun berbagai kebijakan lain yang diatur oleh undang-undang sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, aspek hutan masih menjadi bagian dari Pemerintah yang kepemilikan, pengelolaan, dan hak gunanya
diatur dalam undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan pada tiga dimensi keilmuan yaitu politik, ekonomi, dan sosial, SIPHPL
akan memberikan perubahan terutama dalam konteks ekonomi, karena mensederhanakan kegiatan prosedural yang berhubungan dengan industri kayu. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang berhasil
melakukan perampingan birokrasi tata usaha kayu, dengan menghilangkan 60% titik biaya transaksi pelayanan tahunan. Penghilangan biaya transaksi tersebut dapat menjadi suatu
gambaran adanya pengehematan anggaran dalam pelayanan karena efektivitas birokrasi yang semakin baik. Pada konteks sosial dan politik, perampingan transaksi akan membatasi kewenangan yang berhubungan dengan industri kayu melalui penggunaan teknologi,
sehingga dalam konteks ini masyarakat yang sebelumnya often meet and contact, menjadi less meet and more contact dengan penyedia pelayanan publik. Masyarakat juga dapat
mampu mengurangi indeks korupsi yang terjadi dalam penyediaan pelayanan industri kayu dan kebijakan dapat berjalan lebih optimal.
Pada konteks konsep core public service menurut McKevitt, SIPHPL bukan dikategorikan sebagai core public service, karena hubungan yang tercipta antara KLHK dan masyarakat yang berkepentingan merupakan hubungan ekonomi, artinya untuk mencapai
nilai ekonomi optimal dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan indsutri kayu dan penggunaan hutan. Jika merujuk pada konsep privatisasi dari E.S Savas, kegiatan SIPHPL
mampu sebagian ataupun sepenuhnya dipegang oleh privat melalui public-private partnership, dan Pemerintah dapat me-monitoring kegiatan sesuai dengan perjanjian dari kedua belah pihak. Hal tersebut juga sejalan dengan NPM yang dikemukakan oleh Savas
yaitu kegiatan prosedural tradisional akan semakin berkurang, di mana pemberian informasi merupakan bagian dari pelayanan tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Bansal, P.C. 2003. “Review of Privatization and Public-Private Partnership by E. S Savas”. Indian Journal of Industrial Relations Vol.38 No. 3 pp. 381-385. Shri Ram Centre for Industrial Relations and Human Resources.
Breul, Jonathan D. 2004. “Review of The New Public Management: Lessons from Innovating Governors and Mayors by Paul J. Andrisani, Simon Hakim, and E. S Savas”. Journal of
Policy Analysis and Management Vol. 23 No.3 pp. 645-648.
Husain, Syahri Nehru. 2014. “Effect of Bureaucracy Apparatus Behavior on Education Service Effectiveness at Education Office of Kendari City”. International Journal of
Business and Management Invention Vol.3 Issue 5 pp. 31-37. Diakses dari http://www.ijbmi.org/papers/Vol(3)5/Version-1/D0351031037.pdf.
McKevitt, David, Michelle Millar, dan Justin F. Keogan. 2000. “The Role of the Citizen-Client in Performance Measurement: The Case of the Street Level Public Organization (SPLO)”. International Review of Administrative Sciences Vol 66 pp 619-636. London:
SAGE Publications.
Lawton, Alan, David McKevitt, dan Michelle Millar. 2000. “Coping with Ambiguity:
Reconciling External Legitimacy and Organizational Implementation in Performance Measurement”. Public Money and Management, CIPFA.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. “Sistem Informasi Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (SIPHPL), Untuk Transparansi Dan Akuntabilitas”. Diakses dari http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/748.
Kompas. 2017. “KLHK Kembangkan Sistem Informasi Pengelolaan Hutan”. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2017/03/22/22063191/klhk.kembangkan.sistem.infor
masi.pengelolaan.hutan?page=1.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor P.45/Menlhk-Setjen/2015 tentang Integrasi Sistem Informasi Pengelolaan Hutan