• Tidak ada hasil yang ditemukan

ZAKAT PROFESI DALAM PERSPEKTIF FIQIH KON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ZAKAT PROFESI DALAM PERSPEKTIF FIQIH KON"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

ZAKAT PROFESI

DALAM PERSPEKTIF FIQIH KONTEMPORER

(Integrasi Fiqih dalam Membangun Stabilitas

Kehidupan Sosial)

Oleh Abd. Hakim Abidin NIM: 21171200000058

abd_hakim_abidin17@mhs.uinjkt.ac.id

Abstrak

Islam hadir untuk memberikan petunjuk jalan yang benar dalam menjalani kehidupan. Dengan semangat menjunjung keadilan di dalam kehidupan, Islam kemudian menyajikan aturan-aturan yang menjadi panduan setiap umatnya. Dalam rangka mewujudkan keadilan itu, konsep egaliter dalam hubungan sosial sangat ditekankan. Adalah rukun Islam yang menjadi panduan untuk mengatur konsep ibadah. Terdapat hubungan vertikal dengan Tuhan, sekaligus terdapat hubungan horisontal dengan sesama manusia, atau dikenal dengan istilah hablun minaLlah dan hablun minannas. Keduanya harus seimbang dalam penerapanya. Salah satu di antara rukun Islam yang paling berpengaruh secara langsung dalam kehidupan sosial adalah zakat. Dan seiring dengan perkembangan zaman, maka muncullah sebuh gagasan progressif berupa zakat profesi. Zakat profesi tersebut memiliki dampak positif dalam rangka mewujudkan keadilan di dalam kehidupan sosial, sebab dengannya stabilitas ekonomi masyarakat bisa tercipta.

Kata Kunci: Islam, Keadilan, Rukun Islam, Zakat Profesi.

Pendahuluan

(2)

bernilai pula sebagai ibadah. Konsep hablun minaLlah dan hablun minannas saling terkait dan terikat.

Islam hadir mengatur tatanan sosial agar kehidupan yang dijalani oleh setiap orang bisa berlangsung stabil. Semangat keadilan dalam menyemai kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat merupakan tugas setiap muslim, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam rukun Islam ada 5 pilar yang harus ditegakkan bagi setiap muslim. Seseorang bisa ditegaskan sebagai muslim sejati jika ia melaksanakan 5 pilar dalam Islam ini, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, haji. Rukun Islam ini tidak bisa diletakkan secara tidak berurutan. Orang yang melaksanakan puasa tetapi tidak mengeluarkan zakat tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa dianggap sebagai seorang muslim yang sesungguhnya. Atau orang yang bersyahadat tetapi tidak pernah menunaikan shalat, maka orang seperti ini tidak bisa pula dianggap sebagai muslim seutuhnya. Memang siapapun yang telah bersyahadat, maka secara langsung ia menjadi muslim. Tetapi tidak cukup sampai di situ, ia juga harus melaksanakan rukun-rukun Islam selanjutnya. Kecuali haji, pilar ini hanya diwajibkan bagi seorang muslim yang mampu melaksanakannya saja. Bagi orang yang tidak mampu tentu tidak wajib. Demikianlah Islam mengatur bagaimana hubungan horizontal dan vertikal bisa beriringan dan seimbang.

(3)

dilaksanakan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merupakan semangat Islam itu sendiri. Di samping untuk membersihkan hartanya dari yang bukan haknya, selain itu juga untuk melaksanakan perintah Allah SWT sebagai manifestasi ibadah kepada-Nya.

Zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang wajib dibagikan kepada setiap orang yang berhak menerimannya dan telah

diatur dalam syari‟at. Ada delapan orang yang menjadi mustahiq

zakat itu, yakni fakir, miskin, „amil, muallaf, riqob, ghorim, sabilillah,

dan ibnu sabil. Delapan golongan yang berhak menerima zakat itu bisa menggunakan setiap pemberian zakat untuk survive dalam kehidupannya. Jika zakat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka kehidupan sosial akan bisa stabil, kesejahteraan akan tercapai dan ketimpangan sosial bisa diatasi bersama. Setelah zakat sebagai manifestasi hubungan horizontal, umat Islam diwajibkan kembali melaksanakan puasa dan haji (bagi yang mampu) sebagai manifestasi hubungan vertikal kepada Tuhan agar semakin dekat kepada-Nya. Pada dasarnya hubungan vertikal dan horizontal dalam beribadah sebagai manifestasi rukun Islam, tidak lain untuk mengantarkan umat Islam pada keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat (sa‟adatut darain). Sekali lagi, hubungan dengan Tuhan (hablun minaLlah) dan hubungan manusia dengan sesama (hablun minannas) tidak bisa dipisahkan, kedua hal tersebut saling terkait dan terikat.

Zakat adalah poros dan pusat keuangan negara Islam. Zakat meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi. Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk menghapus kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan orang kaya tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya ditangan para pemiliknya. Ia merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara.1 Namun demikian, lembaga-lembaga konsultasi zakat yang ada belum sepenuhnya mampu

1

(4)

sosialisasikan pengetahuan tentang zakat kepada masyarakat. Sementara, perkembangan sistem ekonomi setiap hari terus berkembang dan bervariasi.2

Perlu ditegaskan kembali bahwa ajaran Islam yang bertujuan mengatasi kesenjangan dan gejolak sosial pada masyarakat tidak lain adalah zakat. Zakat membawa misi memperbaiki hubungan horizontal antara sesama manusia, sehingga mampu mengurangi gejolak akibat problematika kesenjangan dalam hidup mereka. Selain itu, zakat juga dapat memperkuat hubungan vertikal manusia dengan Allah, karena Islam menyatakan bahwa zakat merupakan bentuk pengabdian (ibadah) kepada Yang Maha Kuasa.

Para ulama menetapkan bahwa harta yang wajib dizakati hanya lima macam, yaitu binatang ternak, emas, dan perak, perdagangan, pertanian, barang tambang dan rikaz (harta temuan). Dalam kerangka ini pula Abd Rahman al-Jaziri dalam kitabnya “al -Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah” menyatakan bahwa tidak ada zakat diluar yang lima macam tersebut.3 Namun, belakangan ada sebuah gagasan progressif tentang kategori perihal yang wajib dizakati. Tidak lain adalah zakat profesi. Zakat yang dirasa sangat relevan untuk menanggapai perkembangan zaman dan permasalahan sosial-ekonomi yang terus muncul.

Pada masa sekarang, banya profesi yang dapat menghasilkan kekayaan semakin berkembang. Hal ini menjadi perlu untuk dihubungkan dengan kewajiban mengeluarkan zakat. Profesi yang dimaksud secara substansial bisa dikategorikan sebagai bagian dari sebuah usaha yang bisa menghasilkan harta yang sangat berpotensi pula untuk dikeluarkan sebagai zakat. Oleh karena itu, cakupan harta yang wajib dizakati harus diperluas pada beberapa bentuk kekayaan yang tidak ada pada masa permulaan Islam. Profesi tersebut antara lain, pegawai negeri, dokter, notaris, bankir, psikolog, advokat, dan sebagainya. Kewajiban harta zakat yang diperluas ini didasarkan pada pengembangan pemahaman secara umum terhadap firman Allah

2

Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, h. 66.

3

(5)

dalam suarat At-taubah ayat 103, surat al-Dzariyat ayat 19 dan surat al-Baqarah ayat 267, yang artinya sebagaimana berikut;

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. At-Taubah ayat 103).

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat

bagian.” (QS. Al-Dzariyat ayat 19).

“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari

apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu....”. (QS. Al -Baqarah ayat 267).

Maka, dengan demikian perlu kiranya mengurai konsep zakat profesi ini dalam suatu kajian yang komprehensif. Kajian ini menjadi penting dalam rangka mewujudkan ikhtiar untuk membangun dan mengembangkan ekonomi umat Islam. Jika ekonomi stabil, maka akan tercipta kehidupan sosial yang seimbang. Sehingga semangat yang terkandung dalam maqashidus syari‟ah akan dengan baik terwujud.

Sebuah Gagasan Zakat Profesi

Dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern ini semakin terasa terjadinya perubahan berbagai nilai dan struktur, terutama di lapangan sosial ekonomi, sehingga setiap orang terdorong untuk berpacu mendapatkan riski dengan beragam cara, baik secara tradisional maupun rasional, efektif dan efisien.

Di antara perubahan nilai dan struktur itu adalah perubahan pada pola struktur ekonomi dari pola struktur agraris ke struktur industri dan jasa yang sangat menonjol saat ini.

(6)

menghasilkan berbagai barang jadi. Dengan demikian areal persawahan dan pertanian tadi telah berganti fungsi setelah dibangunkan pabrik-pabrik, real estate, jalan raya, tol, gudang dan sebagainya yang tentunya akan menghasilkan beraneka ragam barang jadi dan membuka berbagai lapangan kerja dan profesi serta penjualan berbagai jasa.

Perubahan-perubahan struktur ekonomi yang telah terjadi itu tidak bisa dipungkiri telah mengurangi salah satu jenis sumber penerimaan zakat yang paling utama, yaitu hasil tanaman seperti beras, karena semakin ciutnya tanah-tanah areal persawahan yang telah dialihfungsikan itu, walaupun terdapat pula usaha pencetakan lahan persawahan baru, namun kenyataan ini tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Dan akibatnya adalah terjadinya ketimpangan sosial yang semakin terasa.

Terhadap fenomena sosial ini, Islam tidak bersikap pasif membiarkan begitu saja tanpa konsep dan perhatian yang serius. Keadilan sosial merupakan salah satu konsep yang paling sentral dalam Al-Quran. Secara umum Islam telah menjawab dan mengantisipasi problema sosial tesebut dengan mewajibkan zakat kepada orang-orang yang mampu mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqoh. Kemudian muncullah sebuah pertanyaan yang butuh ditanggapi secara serius. Apakah semua orang yang mempunyai kemampuan yang hartanya diperoleh dari penghasilan usaha profesi, wajibkah baginya mengeluarkan zakat pula, menimbang penghasilan yang diperolehnya bisa jadi lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari pertanian?

Dari sinilah kemudian dirumuskan sebuah gagasan baru dalam hukum Islam terkait zakat, sebagai tanggapan serius terhadap realitas sosial tersebut. Pada dasarnya ada sejumlah prinsip umum mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, antara lain; QS. Al-Dzariyat ayat 19, QS. Al-Baqarah ayat 267, QS. Al-Taubah ayat 103, QS. Ali Imran ayat 180, Hadis Nabi, dan secara logis sosiologis. Kemudian muncullah gagasan zakat profesi yang dipopulerkan oleh Dr. Yusuf Qardawi sebagai jawaban atas realitas sosial umat Islam.

(7)

tiang yang tengah membangun masyarakat. Bahkan, justru zakat itulah yang merupakan prinsip dasar setiap agama sejak Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Isa, bahkan dalam hukum agama yang dianut oleh bangsa Israel.4

Ruang Lingkup Pengertian Zakat Profesi

Menurut imam Taqiyuddin al-Husaini menyebutkan dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar, zakat berarti tumbuh, berkah dan banyak

kebaikan”.5

Demikian pula menurut Sayyid Bakri dalam kitabnya I‟anah al-Tholibin menguraikan penjelasan dari kitab Fathul Mu‟in karya Sayyid Muhammad Syatho Al-Dimyathi bahwa arti zakat secara etimologis adalah penyucian atau pembersihan, berkembang, pujian, berkah dan banyak kebaikan. Sedangkan secara etimologis ada nama sesuatu yang keluar. Jika dihubungkan dengan pengertian leksikalnya, sesuatu yang keluar itu disebut zakat. Demikian itu menjelaskan bahwa sesuatu atau harta itu berkembang sebab adanya keberkahan dalam mengeluarkannya.6

Menurut Yusuf Qardhawi, secara etimologis kata zakat

berasal dari kata “zaka”, yang berarti suci, baik, berkah, terpuji, bersih, tumbuh, dan berkembang. Sedangkan dari segi istilah fikih

berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk

diserahkan kepada orang-orang yang berhak”, selain juga berarti

“mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”.7

Menurut “Ibn Faris dalam Mu‟jam al-Maqayis fi al-Lughah, zakat memiliki akar kata yang mengacu pada makna al-nama‟ dan al-ziyadah yang berarti pertumbuhan dan pertambahan. Menurutnya, hal ini bukannya tidak beralasan, karena dengan zakat diharapkan harta seseorang terus tumbuh dan bertambah, baik dalam bentuk nyata di dunia maupun di akhirat. Ahli bahasa lain, Ibn Manzhur menambahkan, bahwa zakat juga mengandung makna asal

4

Syed Mohammadennasr, Islam its Concepts and History, terj. Adang Efendi, Islam Konsepsi dan Sejarah, Bandung: CV Rosda, 1988, h. 469.

5

Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-husaini, Kifayatul Akhyar, Damaskus: Darul Basyair, 2001, h. 207.

6

Sayyid Bakri, I‟anat al-Tholibin, Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Arabiyah, juz II, h. 147. 7

(8)

al-shalah yang bermakna kebaikan serta al-tathir yang berarti penyucian.8

Selanjutnya, pengertian tentang zakat ini dihubungkan dengan profesi yang kemudian dikenal dengan istilah zakat profesi. Adalah Dr. Yusuf Qardawi yang secara intens membahas dan merumuskan secara spesifik pengertiannya. Ia mengatakan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan yang dilakukan sendiri dengan kecerdasannya atau keterampilannya sendiri seperti dokter, penjahit, tukang kayu dan lainya atau dari pekerjaan yang tunduk pada perseroan atau perseorangan dengan mendapat upah, gaji atau honorarium seperti pegawai negeri sipil.9

Dr. Yusuf al-Qardhawi menegaskan, bahwa masalah gaji, upah kerja, penghasilan wiraswasta termasuk kategori al-mustafad, yaitu harta pendapatan baru, bukan harta yang sudah dipungut zakatnya. Pengertian al-mal al-mustafad adalah harta yang diperoleh oleh orang Islam dan baru dimilikinya melalui suatu cara pemiliknya yang disahkan oleh undang-undang. Jadi, al-mal al-mustafad ini mencakup segala macam pendapatan, tetapi bukan pendapatan yang diperoleh dari penghasilan harta yang sudah dikenakan zakat. Seperti gaji, honor, dan uang jasa itu bukan hasil dari harta benda yang berkembang (harta yang dikenakan zakat), bukan hasil dari modal atau harta kekayaan yang produktif, akan tetapi diperoleh dengan sebab lain. Demikian juga penghasilan seorang dokter, pengacara, seniman, dan lain sebagainya itu mencakup dalam pengertian al-mal al-mustafad. Al-mal al-mustafad sudah disepakati oleh mayoritas ulama untuk wajib dikenakan zakat.10

Menurut Mahjuddin, zakat profesi atau jasa disebut sebagai kasbun yaitu zakat yang dikeluakan dari sumber usaha profesi atau pendapatan jasa. Istilah profesi, disebut sebagai profession dalam bahasa Inggris, yang dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan tetap dengan keahlian tertentu, yang dapat menghasilkan gaji, honor, upah

8

Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, h. 56-57 9

Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat,...., h.487. 10

(9)

atau imbalan. Ada beberapa profesi yang dapat menjadi sumber zakat; antara lain:

a. Profesi dokter yang dapat dikategorikan sebagai the medical profession.

b. Profesi pekerja tekhnik (insinyur) yang dapat dikategorikan sebagai the engineering profession.

c. Profesi guru, dosen, guru besar atau tenaga pendidik yang dapat dikategorikan sebagai the teaching profession. d. Profesi advokat (pengacara), konsultan, wartawan, pegawai dan sebagainya11

Kemudian menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3 Tahun 2003 yang dimaksud dengan “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.12

Dari defenisi zakat profesi yang dikemukakan oleh sejumlah pakar hukum Islam tersebut, bisa disimpulkan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan, gaji, jasa, upah atau honorarium yang diperoleh dengan cara halal. Adapun ketentuan waktu diwajibkannya mengeluarkan zakat profesi itu terdapat perbedaan pendapat di antara ulama, apakah harus sampai nishab13 dan haul14-nya ataukah hanya harus sampai nishab saja, tanpa haul. Tentu, perbedaan pendapat itu muncul karena argumentasi dan tinjauan sudut pandang yang berbeda pula.

Dasar Pijakan Hukum Zakat Profesi

11

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2007, h. 280 12

Hikmat Kurnia dan A. Hidayat, Fatwa-Fatwa Tentang Zakat (Fatwa MUI No. 3 Tahun 2003), Jakarta: Qultum Media, 2008.

13

Pengertian dari istilah nishab adalah batas minimum sesuatu atau harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Istilah ini disematkan kepada segala hal atau harta yang wajib dizakati.

14

(10)

Para ahli fikih telah membahas secara rinci mengenai sifat-sifat dan syarat-syarat menyangkut suatu harta kekayaan yag wajib dikeluarkan zakatnya. Berdasarkan sifat-sifat dan syarat-syarat itulah dapat ditetapkan prinsip-prinsip dasar yang menentukan harta-harta yang dapat dikenakan zakatnya. Prinsip-prinsip dasar itu dapat dikemukakan sebagaimana berikut;

1. Harta yang bersangkutan telah memiliki jumlah nishab yaitu jumlah yang mencapai nilai 20 dinar atau 200 dirham.

2. Jumlah nishab mengalami haul.

3. Harta yang bersangkutan benar-benar mengalami perkembangan, baik karena didayagunakan atau memang mempunyai potensi berkembang.

4. Pemilik harta tersebut bebas dari hutang.15

Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitab Fiqhu al-Zakat mengemukakan pandangan para ahli fikih tentang bentuk mata pencahariaan dan profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya serta pendapat para ulama pada zaman dahulu dan sekarang tentang hukum zakatnya serta penjelasan pendapat yang dianggap lebih kuat. Mengenai hal ini ia menampilkan pendapat beberapa ulama mutakhir seperti Adurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahhab Khallaf yang pernah mengemukakan persoalan zakat profesi ini dalam ceramah mereka tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952. Ceramah tersebut sampai pada suatu kesimpulan yaitu; penghasilan yang diperoleh dari pencahariaan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah mencapai setahun dan cukup nishab-nya.”16

Jika kita berpegang kepada pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad, bahwa jumlah nishab tidak perlu mencapai waktu satu tahun penuh, tetapi cukup pada awal atau akhir tahun.17 Maka, berdasarkan hal itu dapat ditetapkan bahwa hasil pencaharian dan profesi merupakan salah satu sumber zakat, karena terdapat

15

Syauqi Ismail Syahhatih, “Al-Tahtbiq al-Mu‟ashir li al-Zakat”. terj. Anshari Umar Sitanggal , “Penerapan Zakat dalam Dunia Modern”, Pustaka Dian; Jakarta, 1987, h. 127.

16

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 489 17

(11)

„illat18

sampai satu nishab yang merupakan salah satu syarat wajib zakat.

Dalam menegaskan gagasan zakat profesi itu, Dr. Yusuf Al-Qardhawi kembali merujuk ayat 267 surat Al-Baqarah, khususnya pada kata ma kasabtum, yang bisa diartikan sebagai bentuk umum meliputi semua usaha seperti usaha perdagangan dan usaha-usaha profesi yang dilakukan secara halal.

Para ulama fiqih lainnya merujuk pada pengertian umum ayat tersebut sebagai dasar hukum kewajiban zakat perdagangan dan pertanian. Oleh karena itu tidak perlu diragukan lagi untuk menjadikan ayat tersebut sebagai landasan hukum mewajibkan zakat atas penghasilan dari berbagai usaha dan profesi.19

Kata ma (ام) pada lafadz ma kasabtum dalam ayat tersebut menunjukkan pengertian yang umum untuk semua jenis harta benda. Para Ulama sepakat menyatakan bahwa penggunaa lafadz yang umum untuk semua pengertian afrad-nya, berlaku sampai ada dalil yang men-takhsiskan-nya, sesuai pula degan ucapan Ibnu Abbas; Yusannu fi al-Quran „Amun illa Mukhasshash. Artinya bahwa pengertian umum ayat-ayat Al-Quran tetap berlaku selama tidak ada hal yang men-takhsish-kan-nya.20

Dengan demikian dapat dipahami pengertian yang umum ayat 267 surat Al-Baqarah tersebut, bahwa semua jenis harta kekayaan yang diperoleh melalui berbagai kegiatan dan usaha yang legal yang dihasilkan dari bumi, demikian pula profesi, wajib dikeluarkan zakatnya.

Dalam semua nash Hadis21 yang menyinggung tentang sesuatu yang diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya tidaklah men-takhsish-kan kandungan ayat 267 surat Al-Baqarah, melainkan justru sebagai penjabarannya dan sekadar menyebutkan afrad-afrad dari berbagai jenis harta yang wajib dizakatkan, termasuk harta

18

Istilah ini digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang terkait dengannya akan menyebabkan terjadinya suatu hukum tertentu.

19

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 489. 20

Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958. h. 162-163. 21

(12)

penghasilan profesi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi; Dzikru ba‟dh afradi al„Am al-Muwafiq lahu fi Hukmi la yufidhu al-Takhsish. Artinya bahwa penyebutan sebagian satuan (afrad) lafadz umum hukumnya sama dengan yang disebutkan dalam dalil yang umum dan tidak berarti men-takhsish-kan keumuman lafadz tersebut.

Jika dilihat secara seksama maksud yang terkandung dalam ayat 267 surat al-Baqarah, sepertinya terdapat dua macam sumber rizki yang disediakan oleh Tuhan untuk manusia, yaitu dari sumber-sumber yang umum dari berbagai jenis usaha yang bukan berasal dari hasil bumi, dan dari sumber khusus hasil usaha yang berasal dari hasil bumi. Dalam hal ini Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan permasalahan dan mengajukan pertanyaan, mengapa kita membeda-bedakan dua jenis rizki dan penghasilan yang diatur oleh Allah dalam satu aturan, sedangkan kedua bentuk penghasilan itu adalah rizki dan nikmat dari Allah. Memang benar bahwa nikmat Allah yang diperoleh dari hasil bumi berupa buah-buahan dan hasil tanaman-tanaman lebih nyata. Oleh karenannya lebih utama untuk disyukuri, namun tidak berarti rizki yang diperoleh dari sumber-sumber lain tidak wajib disyukuri, atau dibedakan dalam ketentuan wajib zakatnya. Menurut Al-Qaradhawi kedua jenis sumber rizki ini sama-sama wajib disyukuri dan sama-sama wajib dizakatkan bila telah memenuhi syaratnya.22

Lebih jauh Yusuf Al-Qaradhawi mempermasalahkan dan mengemukakan pertimbangan secara logika dan rasa keadilan, bahwa seseorang petani kecil di desa yang hanya menghasilkan lima watsaq makanan pokok (kurang lebih 750 kg beras) yang dikelola dan dikerjakannya selama 4-6 bulan, dibebani kewajiban zakatnya sebesar 5-10 persen, sementara seorang yang berstatus profesional seperti dokter, advokat, akuntan, pejabat, guru besar, konsultan dan sejenisnya dengan penghasilan yang cukup besar, mudah dan dalam waktu yang relatif singkat, tetapi mereka bebas dari kewajiban mengeluarkan zakat. Akibatnya timbullah berbagai dampak negatif berua kesenjangan dan kecemburuan sosial, dan dapat pula menimbulkan kesan seakan-akan bukum Islam tidak adil dan Tuhan diskriminatif terhadap hamba-Nya yang tidak beruntung mendapatkan

22

(13)

lapangan pekerjaan yang mudah dan mendatangkan hasil yang cukup besar seperti golongan profesional tersebut.

Jawaban yang tepat untuk persoalan di atas adalah melakukan istidlal dan berbagai metode ijtihad untuk menetapkan ssutau prinsip bahwa golongan profesional tetap dikenakan kewajiban mengeluarkan zakat, karena prinsip zakat itu sendiri bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat. Tuhan tidak bersifat diskkriminatif terhadap hamba-Nya, tetapi sengaja dibeda-bedakan-Nya dalam bidang rizki, sebagaimana disebut dalam Al-Quran surat ah-Nahl ayat 71;

       ....

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki...”

Ketidaksamaan dalam rizki ini merupakan ujian dan cobaan bagi iman, khususnya bagi orang-orang yang diberi Allah kemudahan rizki, apakah mereka sanggup mengeluarkan sebagian rizki yang diterimanya itu untuk orang-orang yang sangat membutuhkannya yaitu fakir, miskin dan para mustahiq lainnya.

Selain dari landasan nash Al-Quran dan Hadis serta kaidah-kaidah hukum lainnya, kewajiban mengeluarkan zakat profesi juga berlandaskan historisitas yang pernah terjadi pada masa sahabat dan

tabi‟in berdasarkan penuturan beberapa riwayat;

1. Ibnu Abbas, bahwa Abu Ubaid meriwayatkan darinya tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan, ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya.

2. Ibnu Mas‟ud, bahwa Abu Ubaid meriwayatkan pula dari

Hubairah bin Yaryam bahwa Abdullah bin Mas‟ud

memberikan kami keranjang-keranjang kecil berisi hasiah, kemudian ia menarik zakatnya.

3. Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa‟ dari Ibnu Syihab meriwayatkan bahwa orang pertama kali yang mengenakan zakat dari pemberian („atho‟) adalah

Mu‟awiyah bin Abu Sufyan. Yang ia maksudkan dengan

(14)

pertama yang memungut zakat penghasilan itu adalah

Ibnu Mas‟ud sewaktu ia berada di Kufah atau yang

dimaksud orang pertama menurut riwayat Ibnu Syihab

adalah Mu‟awiyah, karena beliaulah secara resmi sebagai seorang khalifah dan penguasa yang memungut zakat dari harta pemberian.

4. Setelah empat periode kekuasaan Mu‟awiyah berlalu,

datang pula pembaharu yang merupakan orang pertama setelah berlalu satu abad sebelumnya, yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal biijaksana. Pandangan baru yang diterapkannya antara lain memungut zakat dari pemberian, hadiah, barang-barang sitaan dan sejenisnya. Abu Ubaid menyebutkan, bila khalifah Umar bin Abdul Aziz membayar gaji seorang bawahannya, maka ia pungut zakatnya. Demikian pula ia pungut zakat dari barang-barang yang ia sita pada saat dikembalikan kepada pemiliknya.23

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut di atas, Al-Qaradhawi membanding dan menyamakan pemberian, hadiah, dan sebagainya itu dengan upah kerja („ummal) yang diterima oleh seseorang sebagai upah, gaji, honor dan sejenisnya pada masa sekarang.

Sebenarnya persoalan zakat atas harta penghasilan profesi ini sudah mulai ramai dibicarakan sejak massa periode Imam Madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Hambali), hanya mereka masih berbeda pendapat yang cukup kisruh tentang rincian hukumnya. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Hazm (w.1064) dalam kitab Al-Muhalla sebagai berikut;

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemilik ini mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya. Untuk itu zakat harta penghasilan dikeluarkan pada permulaan tahun syarat sudah mencapai nishab.24

Imam Malik mengemukakan pendapatnya bahwa harta penghasilan tidak diwajibkan zakatnya sampai sebelum cukup waktu

23

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 500-502. 24

(15)

setahun, baik harta penghasilan itu sejenis dengan harta pemiliknya atau tidak, kecuali jenis binatang piaraan dengan syarat telah mencapai nishab.25

Imam Syafi‟i mengemukakan pulaa pendapatnya bahwa harta

penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai waktu setahun, meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nishabnya, kecuali zakat anak binatang ternak piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nishab.26

Daud Al-Zhahiri mengemukakan pula pendapatnya bahwa seluruh harta penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya tanpaa persyaratan setahun.27

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para Imam Madzhab di atas, pada prinsipnya sama yaitu mewajibkan zakat atas harta penghasilan yang mereka namakan dengan al-Mal al-Mstafad. Perbedaan perbedaan pendapat hanya pada persoalan haul (mencapa satu tahun), sehingga Ibnu Hazm menilai bahwa pendapat-pendapat itu kurang mempunyai alassan yang kuat, baik dari nash Al-Quran

maupun Hadis shahih atau dari riwayat maupun dari ijma‟ dan qiyas,

tetapi hanya berdasarkan dugaan-dugaan saja. Yang benar menurutnya adalah bahwa ketentuan setahun berlaku bagi seluruh jenis harta kekayaan yang wajib dizakatkan, termasuk harta benda penghasilan.28

Berdasarkan pendapat para ulama madzhab yang dikemukakan oleh Al-Qaradhawi dalam kitab Fiqh al-Zakat tentang hukum zakat harta penghasilan dengan membandingkan alasan-alasannya masing-masing serta meneliti nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam jenis kekayaan, dan memperhatikan hikmah dan maksud pembuat syariat (Allah SWT) yang mewajibkan zakat, serta memperhatikan pula kebutuhan dan perkembangan umat Islam pada masa sekarang, maka Yusuf Al-Qaradhawi merasa terpanggil untuk melakukan ijtihad yang menghasilkan suatau kesimpulan bahwa harta kekayaan yang diperoleh dari hasil usaha-usaha profesional seperti gaji pegawai,

25

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 504. 26

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 504. 27

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 504. 28

(16)

upah karyawan, dokter, insinyur, konsultan, desingner, advokat dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan seperti jasa angkutan

(mobil, kapal laut, pesawat terbang), percetakan, “tempat-tempat

hiburan” dan sebagainya, wajib dikenakan zakatnya bila mencapai nishabnya, dan boleh dikeluarkan zakatnya pada saat diterimanya penghasilan tersebut.29

Ketiadaan nash-nash qath‟i ataupun ijma‟ para ulama dalam ketetapan hukum zakat harta penghasilan usaha profesi, hal ini membuat madzhab-madzhab yag ada waktu itu berselisih pendapat, terutama dalam menentukan persamaan nishabnya, waktu pengeluarannya dan zakatnya.

Mewajibkan zakat atas harta kekayaan yang diperoleh dari usaha-usaha profesi seperti tersebut di atas, akan lebih menguntungkan nasib golongan fakir-miskin dan menambah besarnya perbendaharaan zakat.

Dalam kitab Musykilat al-Faqr wa Kaifa „Alajaha al-Islam, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan pentingnya peranan zakat dalam usaha untuk memecahkan persoalan sosial-ekonomi umat. Untuk itu menurutnya perlu diusahakan mencari terobosan baru yang

disebutnya “upaya-upaya mengatasi kemiskinan”, antara lain dengan cara mengintensifkan pemungutan zakat, pengelolaan zakat dan pengembangan jenis serta sumber-sumber penerimaan zakat. 30

Harta kekayaan yag diperoleh dari usaha-usaha profesi, merupakan salah satu jenis kekayaan, sesuai dengan pengertian kekayaan yang didefinisikan oleh Imam Abu Hanifah, yaitu; semua jenis harta benda yang dapat memiliki dan memanfaatkan menurut ghalibnya.31

Dari pengertian kekayaan yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah inilah Yusuf Al-Qradhawi mengembangkannya termasuk kekayaan yang diperoleh dari berbagai usaha, termasuk usaha-usaha

29

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 505. 30

Yusuf Al-Qaradhawi, Musykilat al-Faqr wa Kaifa „Alajaha al-Islam, terj. Umar Fanany, Problema Kemiskinan, Apa Konsep Islam, Bina Ilmu; Surabaya, 1982, h. 108.

31

(17)

pekerjaan keahlian (profesi) sepanjang usaha-usaha tersebut tidak berasal dari harta yang ghulul.32

Zakat Profesi dalam Perspektif UU No. 23 Tahun 2011 dan Hukum Islam

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, merupakan bentuk perundang- undangan tertinggi yang mengatur ketentuan pengelolaan zakat di Indonesia, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Walaupun UU No 23 Tahun 2011 ini pernah digugat keMahkamah Konstitusi oleh sebagian kelompok pegiat LAZ pada tahun 2012, akan tetapi eksistensi dari undang-undang tersebut tetap mengikat dan tetap berlaku, kecuali 3 pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu pasal yaitu; pasal 18 ayat 02 (huruf a, b dan d) serta pasal 38 dan pasal 41.

Adapun poin-poin penting yang menjadi materi UU No 23 Tahun 2011 tersebut antara lain, tentang asas pengelolaan zakat, tujuan pengelolaan zakat dan lain lain. Tentang asas pengelolaan zakat disebutkan dalam pasal 2 UU No. 23 Tahun 2011 menyatakan bahwa pengelolaan zakat berasaskan:

a. Syariat Islam; b. Amanah; c. Kemanfaatan; d. Keadilan;

e. Kepastian hukum; f. Terintegrasi; dan g. Akuntabilitas

Adapun pasal terkait dengan tujuan pengelolaan zakat, disebutkan dalam pasal 3 UU No. 23 Tahun 2011 menyatakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan:

a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan

b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

32

(18)

Selain itu, salah satu isi dan materi dari UU No 23 Tahun 2011 tersebut, yang menarik lagi untuk dilihat lebih jeli adalah keberadaan zakat profesi yang termuat dalam pasal 4 ayat (2) bagian (h), yaitu:

(1) Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.

(2) Zakat mal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Emas, perak, dan logam mulia lainnya;

b. Uang dan surat berharga lainnya; c. Perniagaan;

d. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan; e. Peternakan dan perikanan

f. Pertambangan; g. Perindustrian;

h. Pendapatan dan jasa; dan i. Rikaz

Memang secara eksplisit tidak disebutkan istilah profesi dalam pasal tersebut, akan tetapi dalam kolom (h) pasal 4 ayat (2) tersebut disebutkan bahwa di antara bentuk zakat mal adalah pendapatan dan jasa, ini artinya memberikan peluang terhadap bentuk aktifitas-aktfitas dan jasa yang menghasilkan pendapatan materi. Pada tahap inilah kemudian bermakna, bahwa setiap profesi yang menghasilkan pendapatan materi harus dikeluarkan zakatnya.33

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang berkaitan dengan pihak lain, seperti seorang pegawai maupun karyawan, apabila penghasilan dan pendapatannya mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal tersebut didasarkan pada: Pertama, ayat-ayat dalam al Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya. Kedua, berbagai pendapat para ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan istilah yang berbeda terdapat kesamaan pemikiran tentang zakat sesuai dengan uraian yang telah disampaikan sebelumnya mengenai penjelasan Dr. Yusuf

33

(19)

Qaradhawi. Ketiga, dari sudut keadilan penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada hal-hal tertentu. Keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia khususnya dibidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu.

Dengan demikian dalam konteks seperti ini, memberi pengertian bahwa keberadaan zakat profesi dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat telah resmi dan sah terlembagakan secara formal, mengikat dan yuridis. Termaktubnya zakat profesi dalam regulasi ini, disamping untuk memberi kepastian hukum pada setiap orang Islam (khususnya umat Islam Indonesia) dan badan usaha yang dimilikinya dalam transfer zakatnya kepada mustahiq juga da pat dijadikan sebagai bagian filantropi Islam yang dapat digunakan untuk kesejahtraan umat Islam dan umat yang lainnya, yang mana hal demikian itu merupakan juga bagian dari asas pengelolaan zakat dalam perpspektif UU No. 23 Tahun 2011 tersebut.34

Dari uraian sejumlah dalil dan beberapa pendapat para ulama tersebut di atas, bisa disederhanakan, bahwa wajibnya zakat profesi didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 267 yang bersifat umum dan hadis-hadis yang bersifat umum pula, baik keumumannya menyangkut materi hasil usaha, baik yang diperoleh dari perdagangan, investasi modal, honorarium, gaji, dan sebagainya. Keumumannya dari segi waktu yang tidak membatasi harus sudah satu tahun pemilikan harta.

Untuk menetapkan teknis penerapan ketentuan zakat profesi mulai dari nishab, kadar, dan waktunya menggunakan dalil qiyas (analogical reasoning). Sudah barang tentu menggunakan dalil qiyas sebagai dalil syar‟i, harus memenuhi syarat dan rukunnya untuk menemukan ketentuan hukum yang aktual dan proporsional. Dan inilah yang dipakai oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, seperti yang telah diuraikan dimuka.

Kesimpulan

34

(20)

Ulasan kajian tentang gagasan zakat profesi di atas, bisa diambil sejumlah kesimpulan. Namun, perlu ditegaskan kembali, bahwa gagasan zakat ini tidak bisa dilepaskan dengan cendekiawan muslim yang telah mempopulerkan dan secara spesifik menguraikan gagasan zakat profesi ini demi kemaslahatan umat Islam. Tujuan utama gagasan zakat ini, tidak lain adalah untuk menuntaskan persoalan ekonomi umat Islam. dengan harapan kehidupan yang lebih sejahtara bisa tercapai bersama, sehingga kehidupan umat Islam dan peradaban Islam akan tumbuh lebih baik dan semakin baik. Sebab ketika ekonomi suatu masyarakat membaik, maka dampaknya juga akan baik bagi kehidupannya, kebudayaanya, dan lain-lain. Namun, sebaliknya jika ekonomi memburuk, maka sangat kecil harapan ada stabilitas dalam setiap lini kehidupannya. Maka, gagasan zakat profesi ini sangatlah progressif dan memiliki implikasi yang sangat positif, sebab Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan untuk menuju kesejahteraan. Jika ini bisa tercapai maka, kebahagiaan di dunia dan kelak di akhirat bisa diraih pula.

Lebih spesifik, beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari uraian di atas adalah sebagaimana berikut;

1. Secara tematik Dr. Yusuf Al-Qaradhawi telah merumuskan pengertian zakat penghasilan profesi dari pengertian umum nash-nash Al-Quran, Hadis dan Qiyas atau analogi, dengan menghubungkan fakta historis terkait pelaksanakan zakat yang menginspirasi gagasan zakat profesi itu. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 103, ma kasabtum diartikan segala usaha apa saja yang baik dan legal-halal. Selain itu dalam surat At-Taubah ayat 103 khudz min amwaalihim shodaqotan, dimaknai bahwa lafadz amwal dalam bentuk jamak mengandung arti semua bentuk harta yang wajib dishodakohkan (dizakatkan).

(21)

kewajiban mengeluarkan zakatnya sebesar 1,5 persen. Namun sebaliknya, para petani kecil yang hidupnya miskin masih mendapatkan beban zakat itu, padahal terkadang hanya mendapatkan hasil panen yang hanya mencapai satu nishab saja. Hal ini sangat rentan sekali menimbulkan ketimpangan sosial. Maka muncullah ijtihad sebuah gagasan tentang zakat profesi tersebut. 3. Zakat profesi dalam perspektif UU No. 23 Tahun 2011

tentang pengelolaan zakat, memberi penegasan bahwa zakat profesi telah resmi dan sah terlembagakan secara formal, mengikat dan yuridis dalam regulasi Negara Indonesia. Termaktubnya zakat profesi dalam regulasi ini, disamping untuk memberi kepastian hukum pada individu muslim dan badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam dalam transfer zakatnya kepada mustahiq juga dapat dijadikan sebagai bagian filantropi Islam yang dapat digunakan untuk kesejahtraan umat Islam dan umat yang lainnya, yang hal demikian ini merupakan juga bagian dari asas pengelolaan zakat perpspektif UU No. 23 Tahun 2011 tersebut.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mannan, Muhammad, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.

Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002.

Rahman Al-Jaziri, Abdur, Kitabul Fiqhi „alal Madzahib al arba‟ah, Lebanon: Darul Kitab Ilmiyah, 2003.

Mohammadennasr, Syed, Islam its Concepts and History, terj. Adang Efendi, Islam Konsepsi dan Sejarah, Bandung: CV Rosda, 1988.

Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-husaini, Imam, Kifayatul Akhyar, Damaskus: Darul Basyair, 2001.

Bakri, Sayyid, I‟anat al-Tholibin, Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Arabiyah,__ juz II.

Al-Qardawi, Yusuf, Fiqh al-Zakat, juz I, Beirut: Al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi‟, 1973.

Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2007.

Kurnia, Hikmat dan A. Hidayat, Fatwa-Fatwa Tentang Zakat (Fatwa MUI No. 3Tahun 2003), Jakarta: Qultum Media, 2008.

Ismail Syahhatih, Syauqi “Al-Tahtbiq al-Mu‟ashir li al-Zakat”. terj. Anshari Umar Sitanggal , “Penerapan Zakat dalam Dunia Modern”, Pustaka Dian; Jakarta, 1987.

Zahrah, Abu, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memanfaatkan beberapa bagian (pair) dari kabel jaringan yang tidak digunakan dalam proses pengaliran data dari sumber input ke proses output dapat dimanfaatkan untuk

Tunjangan kehormmatan bagi dosen tetap yang memiliki jabatan profesor atau guru besar ditugaskan oleh pemerintah atau penyelenggara/satuan pendidikan yamng

Biaya perbaikan tersebut diminimalkan dengan sistem perawatan mesin yang diperbaiki dengan metode consequence driven maintenance.Dengan dilakukannya perhitungan maka

Penyusunan publikasi Incremental Capital Output Ratio Kabupaten Lumajang di Tahun 2016 ini, dimaksudkan untuk mendapatkan rasio penghitungan yang bisa digunakan untuk

Adversity quotient mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Riau berada dalam taraf sedang. Hal ini berarti bahwa mahasiswa JIP FKIP Universitas Riau mampu bertahan,

Jumlah pergerakan subjek akan ditentukan setelah percobaan yang berdurasi 110 menit dengan menggunakan metode perhitungan euclidean distance, Euclidean distance