1
UTS Psikologi Bencana
Dosen : Brigjen TNI Dr. Arief Budiarto, DESS
Nama : Berwi Fazri Pamudi
NIM : 120140203009
1. Pendahuluan
Indonesia sangat berlimpah dalam hal keberagaman kekayaan alam.
Letak koordinat Indonesia pada 6oLU - 11o08’ LS dan 95oBB – 141o45’BT serta berada pada wilayah khatulistiwa sangat menguntungkan terutama
untuk masalah iklim sehingga Indonesia berada di zona tropis yang cukup
hanya mengalami dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan.
(Sungkawa, 2013). Sebagai dampaknya yaitu kesuburan tanah Indonesia
yang menjadi aset kekayaan Indonesia. Kekayaan ini pun didukung dengan
kekayaan di hutan dan segala kekayaan hasil laut yang berada pada 2/3
wilayah Indonesia.
Wilayah Indonesia selain berada pada daerah yang subur juga masuk ke
daerah rawan bencana. Posisi Indonesia secara geografis dan geologis
menjadikan Indonesia juga akan bahaya alam (Anwar dan Harjono, 2013).
Indonesia terletak di antara ring of fire sepanjang kepulauan timur laut
berbatasan langsung dengan New Guinea dan di sepanjang sabuk Alpide selatan dan barat dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, dan Timor. Daerah yang terkenal dan sangat aktif zona Patahan San Andreas di California
adalah sebuah kesalahan yang mengubah offset sebagian dari Pasifik Timur
Naik barat daya di bawah Amerika Serikat dan Meksiko.
2
Jika bahaya alam ini bersinggungan dengan kerentanan masyarakat di
Indonesia maka terdapat risiko bencana. Banyak bencana alam yang telah
terjadi di Indonesia seperti banjir, gempa bumi, tanah langsung, dan yang
terbesar yaitu Tsunami di Aceh pada tahun 2004. Bencana yang sudah lama
tidak pernah terjadi dan mulai menyita perhatian banyak pihak yaitu erupsi
Gunung Sinabung. Gunung ini kembali meletus pada tahun 2010 dan 2013.
1.1. Gunung Sinabung
Menurut Tjetjep (2011) di wilayah Indonesia terdapat sekitar 129 buah
gunung api yang aktif dengan berbagai tipe. Dari 129 gunung berapi
tersebut, sebanyak 13% terbentang dari pulau Sumatera menyusuri pulau
Jawa kemudian menyebrang ke Bali dan Nusa Tenggara hingga bagian timur
Maluku dan berbelok ke arah Sulawesi.
Tipe gunung diIndonesia disesuaikan dengan riwayat erupsinya. Tipe A
yaitu gunung api yang pernah meletus sejak tahun 1600 dan aktif sampai
sekarang, tipe B adalah yang mempunyai kawah dan memiliki lapangan
solfatara atau fumarol tetapi tidak diketahui erupsinya sejak tahun 1600, dan
tipe C adalah gunung api yang hanya mempunyai mempunyai lapangan
solfatara atau fumarol saja dan tidak ada rekaman erupsi sejak tahun 1600.
Gunung Sinabung terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Koordinat puncak Gunung Sinabung adalah 3o10’ LU dan 98o23’ BT dengan ketinggian 2.460meter dari permukaan laut dan disertai 4 kawah yaitu
(Kawah I, II, III, dan IV). Gunung bertipe strato ini terakhir meletus pada
tahun 1600 dan kembali meletus pada tahun 2010. Oleh karena itu, gunung
ini masuk ke dalam tipe B yang sejarah erupsinya tidak diketahui sejak tahun
1600.
Tabel 1. Sejarah Erupsi Gunung Sinabung
Tahun Erupsi
1600 Muntahan batu piroklastik serta aliran lahar yang
mengalir ke arah selatan
3
2010 7 April – 27 Agustus
Beberapa kali erupsi yang diantaranya merupakan
freatik. Status Gunung Sinabung berubah dari tipe B
menjadi tipe A.
7 September
Erupsi dengan lontara debu vulkanik hingga 5.000
meter ke udara dan suara erupsi terdengar hingga jarak
8KM.
23 September
Aktivitas Gunung Sinabung menurun menjadikan status
dari AWAS (level IV) ke SIAGA (level III)
7 Oktober
Status Gunung Sinabung kembali turun dari SIAGA
(level III) menjadi WASPADA (level II)
2013 15 September pukul 02:51 WIB
Erupsi pada Minggu dini hari masih terjadi hingga
beberapa kali kemudian. Status gunung berada pada
level III atau SIAGA.
29 September
Status Gunung Sinabung diturunkan dari SIAGA (level
III) menjadi WASPADA (level II).
3 November pukul 16.18 WIB
Erupsi mengeluarkan Debu Vulkanik setinggi 2.500
meter arah angin ke Barat. Radius 3 KM dari lokasi
harus dikosongkan (4 Desa)
23 November pukul 21:26 WIB
Status Gunung Sinabung meningkat dari SIAGA (level
III) menjadi AWAS (level IV). Radius diperluas menjadi
5KM, 21 desa dan 2 dusun harus diungsikan hingga
berkembang 32 desa dan 2 dusun.
2014 3 Januari
4
Warga yang dievakuasi mencapai 20.000 orang. Status
gunung turun menjadi SIAGA (level III).
29 Juni pukul 19:50 WIB
Gunung Sinabung mengeluarkan awan panas, dnegan
tinggi kolom erupsi setinggi 400meter dna 4,5meter ke
arah tenggara.
Sumber : Artikel Erupsi Gunung Sinabung dan Penanganan Bencana di
Indonesia, Kompas edisi 19 September 2013 dan Gema BNPB edisi
Desember 2013
Gambar 2. Gunung Sinabung sebelum meletus pada 2010
Sumber : Artikel Sinabung, 2014
Gambar 3. Aliran piroklastik pada 10 Januari 2014
5
Gambar 4. Erupsi Gunung Sinabung pada 14 Januari 2014.
Sumber : Artikel Sinabung, 2014
Gambar 5. Foto Perkembangan Jalur Aliran Lava erupsi Gunung Sinabung
6 1.2. Wilayah Terdampak Erupsi Gunung Sinabung
Sumber : Paparan Dandim 0205/ Tanah Karo selaku Dansatgas Erupsi Gunung Sinabung
Gambar 6. Peta Wilayah Desa Terdampak Erupsi Gunung Sinabung
7
Gambar 7. Pengamanan Jalan Masuk Menuju Radius 5KM
JLN MENUJU DS.KUTARAKYAT
JLN MENUJU DS. GAMBER
JLN MENUJU DS. TIGA PANCUR
JLN MENUJU DS. GURU KINAYAN JLN MASUK MENUJU DS.
PERBAJI
JLN MENUJU DS. TEMBERUN JLN MENUJU DS.
MARDINDING
5
8
Gambar 8. Pengamanan Jalan Masuk Menuju Radius 3KM
3
km
JLN MENUJU DSN.SIBINTUN DS.BERASTEPU
JLN MENUJU DS.GAMBER
JLN MENUJU DS. PERBAJI
JLN MENUJU DS.BEKERAH & SIMACEM
JLN MENUJU DS.KUTA TONGGAL
9 1.3. Demografi Penduduk sekitar Gunung Sinabung
(Sumber : Data Statistik Kabupaten Karo)
Penduduk asli di sekitar Gunung Sinabung khususnya di Kabupaten
Karo sebagian besar adalah suku Karo atau lebih dikenal dengan sebutan
Kalak Karo. Selain itu juga banyak dihuni dengan etnis pendatang lain
seperti Batak Toba, Batak Simalungun, dan suku Jawa. Masyarakat Karo
terkenal dengan keperkasaannya dan bersifat dinamis dan patriotis serta
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berikut data penduduk di Kabupaten
Karo pada tahun 2013.
Tabel 2. Data Penduduk di Kabupaten Karo pada Awal Tahun 2013
Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Mardingding 8.705 8.740 17.445
2. Laubaleng 9.092 9.018 18.110
3. Tigabinanga 10.122 10.224 20.346
4. Juhar 6.730 6.810 13.540
5. Munte 9.943 10.184 20.127
6. Kutabuluh 5.351 5.472 10.823
7. Payung 5.476 5.603 11.079
8. Tiganderket 6.569 6.905 13.474
9. Simpang Empat 9.714 9.726 19.440
10. Naman Teran 6.659 6.424 13.083
11. Merdeka 6.821 6.786 13.607
12. Kabanjahe 31.639 33.107 64.746
13. Berastagi 21.651 21.843 43.494
14. Tigapanah 14.823 15.153 29.976
15. Dolat Rayat 4.194 4.288 8.482
16. Merek 9.453 9.005 18.458
17. Barusjahe 11.131 11.462 22.593
Jumlah/Total 2012 178.073 180.750 358.823
10
Tabel 3 . Data Pengungsi Gunung Sinabung Tahun 2013 – 2014
Tanggal Jumlah Pengungsi (jiwa)
3 November 2013 1.299
17 November 2013 6.155
22 Desember 2013 11.618
29 Januari 2014 29.834
12 Februari 2014 33.210
1 Maret 2014 15.873
1 April 2014 15.774
17 Mei 2014 15.765
12 Juni 2014 15.212
7 Juli 2014 12.558
Tabel 4. Data Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung per 7 Juli 2014
No.
Posko Pengungsian
KK Jiwa Laki-laki Perempuan Kelompok Rentan
11
Jumlah 3913 12558 4397 4650 800 100 380
Tabel 5. Data Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung per 27 Februari 2015
No. Posko Pengungsian KK Jiwa Laki-laki
1.4. Kondisi Sosial Penduduk sekitar Gunung Sinabung
Warga di sekitar Gunung Sinabung mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani dengan modal sendiri sebagai hasil pertanian masyarakat.
12
desa percontohan untuk sektor produksi pertanian sehingga dapat dikatakan
keadaan sosialnya berada pada kategori tercukupi dan aman.
Keadaan sosial warga secara drastis berubah pasca erupsi Gunung
Sinabung. Sektor pertanian menjadi dampak terbesar yang mengakibatkan
warga beralih pekerjaan menjadi buruh lepas harian (dalam bahasa Karo
disebut sebagai Aron). Mereka ketakutan untuk bercocok tanam, trauma dan
membuat warga Desa Suka Meriah sulit tidur di malam hari, sehingga
masyarakat selalu membuat pos jaga yang dilakukan oleh laki-laki secara
bergantian, pakaian disusun dalam karung sebagai upaya kesiapan bila
bencana datang tiba-tiba.
1.5. Kondisi Ekonomi Penduduk sekitar Gunung Sinabung
Sebagian besar penduduk sekitar Gunung Sinabung bermata
pencaharian sebagai petani. Erupsi Gunung Sinabung sangat berdampak
besar pada lahan pertanian yang biasa digarap oleh masyarakat. Tanaman
padi gogo yang ditanam petani tertutup oleh debu vulkanik yang
menyebabkan daun padi gogo kekuningan pada ujungnya dan akhirnya
mengering. Adapun tanaman hortikultura yang berada pada radius 5 KM
ditemukan mengering dan gagal panen sehingga harga di pasaran
meningkat.
Sumber : BPTP Sumatera Utara
Gambar 9. Daun padi gogo ditutupi
oleh abu vulkanis- ujung daun kuning
dan mengering
13 1.6. Budaya
Data yang didapatkan dari Psychosocial Assessment Report pada 2013
dinyatakan bahwa pengungsi terbesar dari bencana erupsi Gunung
Sinabung berasal dari dari Desa Suka Meriah, Desa Bekerah dan Desa
Simacem. Mereka adalah masyarakat Karo yang masih memegang adat
dengan kuat dan tradisi keagamaan yang kental, membuat mereka memiliki
berbagai aktivitas adat-ritual yang dapat digunakan dalam membantu
memulihkan kondisi psikologis mereka maupun meningkatken resiliensi.
Raket Sitelu, yakni konsep lembaga sosial adat bagi masyarakat Karo dapat menjadi sarana dalam pemulihan masyarakat yang partisipatoris. Para
pengungsi juga memiliki berbagai upacara adat yang dapat membuat mereka
lebih tenang, misalnya Raleng Tendi yang biasanya dilakukan untuk membersihkan jiwa setelah mengalami kejadian yang berbahaya atau
mengancam. Masyarakat Karo juga memiliki tradisi Sangkep Sitelu untuk memulihkan hubungan antar anggota masyarakat/adat yang terbelah.
Sangkep Sitelu dapat digunakan untuk memulihkan hubungan antar
pengungsi yang sempat memanas atau mengalami ekskalasi konflik selama
tinggal di posko pengungsian.
Masyarakat Karo mayoritas beragama Nasrani, khususnya Protestan,
dengan sinode terbesar yakni Gereja Batak Karo Protestan, dan Gereja Injili
Karo Indonesia. Kedua sinode ini (ataupun sinode lain yang lebih kecil)
dapat menjadi media dalam melakukan program pemulihan psikologis
maupun meningkatkan reseliensi pada masyarakat di sekitar gunung
Sinabung. Selain melibatkan Sinode Gereja Protestan, sumber daya lain
yang tersedia adalah Pengurus Masjid Agung Kabanjahe dan Paroki
Brastagi, Keuskupan Agung Medan.
1.7. Dampak Erupsi Gunung Sinabung
Dampak bencana alam terbagi menjadi dua yaitu secara cepat (rapid
onset) dan secara lambat (slow onset). Dampak bencana yang terjadi secara
cepat yaitu yang disebabkan oleh fenomena tektonik seperti gempa dan
14
akibat keadaan lingkungan yang sudah tidak harmonis. Bencana karena
erupsi Gunung Sinabung termasuk ke dalam dampak secara cepat.
Setidaknya sebanyak 33 desa di sekitar wilayah Gunung Sinabung
terkena dampak dari erupsi. Kota Berastagi yang berada pada radius 22 KM
dari Gunung Sinabung juga terkena dampak abu vulkanik sisa erupsi. Abu
vulkanik juga mengenai daerah wilayah Kabupaten Deli Serdang. Erupsi
setinggi tiga meter ke atas kawah Gunung Sinabung mengakibatkan abu
vulkanik yang cukup tebal dan mengganggu pengendara kendaraan motor di
malam hari dan tersebar hingga ke Kota Lubuk Pakam.
Warga desa dengan radius tiga kilometer dari kawah harus steril
sehingga harus dievakuasi antara lain warga Desa Suka Meriah, Desa
Simacem, dan Desa Bekarah. Selain itu warga desa Kuta Tengah,
Sigarang-garang dan Lau Kawar juga ikut dievakuasi karena masih masuk dalam zona
yang harus disterilkan.
Erupsi Gunung Sinabung selain meninggalkan trauma dan kepanikan,
juga meninggalkan beberapa permasalahan di bidang kesehatan,
pendidikan, dan ekonomi. Ratusan warga dirawat di RSUD Kabanjahe,
karena menderita penyakit ISPA akibat erupsi. Jumlah warga yang dirawat
sebanyak 148 orang sejak terjadinya erupsi hingga 20 September 2013
(Retnaningsih,2013).
Akibat erupsi Gunung Sinabung, sebanyak 22 sekolah diliburkan, terdiri
dari 15 Sekolah Dasar dengan siswa sebanyak 2.374 orang, 6 Sekolah
Menengah Pertama dan 1 Sekolah Menengah Atas dengan siswa sebanyak
2.312 orang. Sekolah yang paling banyak diliburkan berada di Kecamatan
Naman Teran antara lain SD Negeri 040478 dan SDN 043950 di Desa
Sigarang-garang, 2 SD di Desa Guru Kinayan dan masing-masing 1 SD di
Desa Sukanalu dan Desa Simacem. Sementara 6 SMP yang diliburkan
antara lain SMP Negeri 1 Simpang Empat, SMPN 1 Naman Teran dan SMP
Satu Atap di Kecamatan Payung. Sedangkan SMA yang diliburkan yakni
SMA Negeri 1 Simpang Empat.
Erupsi Gunung Sinabung juga merusak tanaman pertanian dan
15
3.589 Hekta Are telah rusak akibat erupsi. Hal ini kemudian berdampak pada
kelangkaan bahan makanan. Pasokan sayur dan buah menurun hingga 40
persen karena banyak petani tak berani memanen, karena takut bahaya
erupsi.
2. Dampak Psikologi pada Penduduk
Bencana alam menimbulkan dampak baik secara fisik dan
psikologis. Kehilangan harta benda dan kesedihan mendalam pastinya
dirasakan oleh korban bencana. Akan tetapi, kondisi penyikapan dari
para korban berbeda. Dampak psikologis ini akan mempengaruhi
pikiran, emosi, dan perilaku korban bencana dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya setelah mengalami bencana. Pengaruh ini
dapat berlangsung dalam waktu singkat maupun lama, bahkan hingga
seumur hidup.
Sebagian besar kelompok rentan pada pengungsi erupsi Gunung
Sinabung merasakan dampak psikologis yang sangat kuat dari
bencana tersebut. Status gunung yang tidak stabil dan menjadikan
mereka tinggal lebih lama di pengungsian membuat mereka bosan dan
mengalami perubahan keadaan psikologis. Selain itu mereka juga
cukup kaget dengan perubahan drastis yang ada. Gunung Sinabung
tidak pernah terdengar aktivitasnya namun tiba-tiba meletus padahal
mereka tidak memiliki persiapan apapun.
Secara langsung atau tidak langsung, tingkah laku, cara berpikir,
dan ekspresi emosi individu dibentuk oleh kebiasaan dan tradisi sosial
budaya yang ada. Menurut Winter (1997) mengenai teori Allport
Psychology bahwa perasaan, pikiran, dan tingkah laku seseorang
dipengaruhi kehadiran orang lain yang secara nyata dan imajinatif
maupun tersirat. Ketika bencana terjadi kemungkinan kehilangan ini
16 menggambarkan bahwa manusia tidak dapat lepas dari kehadiran
yang lainnya atau lingkungan sosial.
Psiko dipahami sebagai jiwa, pikiran, emosi/ perasaan, dan
perilaku, hal-hal yang diyakini, sikap, persepsi, dan pemahaman akan
diri. Adapun sosial mengarah pada orang lain, tatanan, norma, nilai
dna aturan yang berlaku, system kekerabatan, dan religi dalam
masyarakat (Heni, 2008).
Dampak dari bencana menyentuh semua aspek kehidupan
masyarakat. Salah satu perubahan besar yaitu kehilangan kehidupan
yang teratur. Keadaan kehilangan ini memaksa korban untuk
beradaptasi secara cepat dengan lingkungan baru dan memungkinkan
munculnya stress karena tekanan yang datang bertubi-tubi.
Secara umum, stress adalah tekanan yang dirasakan oleh
seseorang akibat suatu situasi atau peristiwa, atau penjelasan lain,
sehingga terjadi kesenjangan (gap) antara keinginan dan kenyataan
yang dialami. Definisi stress yaitu respon tubuh terhadap situasi yang
menuntut, mengancam, atau adanya hambatan. Seseorang kemudian
bereaksi dengan cara melindungi diri atau menghindari situasi
tersebut.
Stress terjadi karena adanya situasi di luar diri (eksternal) yang
berpotensi menimbulkan tekanan disebut dengan stressor. Stressor
pada kondisi bencana letusan Gunung Sinabung yaitu untuk
sementara waktu kehilangan rumah dan kenyamanan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Stress juga dapat disebabkan oleh
faktor dari dalam diri (internal) seperti proses mental yaitu dengan
adanya harapan yang terlalu tinggi pada korban yang tidak tercapai
17 Dampak Psikologis pada korban terbagi pada tiga tahap :
a. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini yaitu pada masa beberapa jam atau hari setelah
bencana. Dampak yang terlihat pada tahapan ini yaitu “numbing”
atau mati rasa secara psikis, tertegun, linglung, apatis dan tatapan
mata kosong. Tidak lama kemudian, korban akan mengalami
perasaan takut yang sangat kuat, disertai dengan rangsangan
fisiologis, jantung berdebar-debar, ketegangan otot, nyeri otot,
gangguan gastrointestinal, dan ketidakstabilan emosi.
b. Tahap Pemulihan
Pada tahap ini korban bencana telah berada pada kondisi stabil,
akan tetapi bantuan logistik dan sukarelawan sudah mulai
berkurang. Korban harus bisa menghadapi realita yang ada dan
optimis tentang masa depan yang dikenal dengan fase “Honey
moon”. Akan tetapi pada fase pemulihan, korban biasanya
mengalami kekecewaan dan kemarahan dan berbagai gejala
pasca trauma seperti Pasca Trauma Stress Disorder, Disorder
Kecemasan Generalized, Abnormal Dukacita, dan Post Traumatic
Depresi.
c. Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Fase ini sekitar satu tahun atau lebih setelah bencana. Pada fase
ini, sebagian besar korban bencana sudah sembuh namun risiko
lain dapat meningkat seperti bunuh diri, kelelahan kronis,
ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan,
dan kesulitan berpikir logis, bahkan hingga konflik internal dalam
18 Gambar 11. Fase yang mempengaruhi psikologis korban bencana
Sumber : Paparan Kuliah Psikologi Bencana
Dampak Psikologis yang mungkin terjadi pada korban bencana
berdasarkan tingkatan usia:
a. Anak Pra Sekolah
Anak-anak korban bencana mengalami gangguan psikis seperti
mengompol, gigit jempol, mimpi buruk, mudah marah, temper
tantrum, hiperaktif, agresif, “baby talk” dan peningkatan intensitas (Norris, et.al, 2002).
b. Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah biasanya menunjukkan reaksi ketakutan dan
kecemasan, keluhan somatis, dan gangguan tidur. Selain itu mereka
juga mengalami gangguan pada prestasi sekolah, menarik diri dari
pertemanan, apatis, dan enggan berteman, Kondisi traumatik pasca
bencana juga snagat mungkin terjadi pada mereka dan pertengkaran
sesama teman (Mandalakas, Torjesen, dan Olness, 1999).
c. Anak Usia Remaja
Kondisi traumatik pada remaja menjadikan mereka akan menarik
diri dari aktivitas sosial dan sekolah, menjadi anak pemberontak,
19 yang paling ditakuti pada gangguan psikologis yang terjadi pada usia
remaja yaitu pelampiasan traumatik pada penyalahgunaan alkohol
ataupun seks bebas.
d. Wanita
Kaum perempuan mengalami berbagai goncangan psikologis akibat
bencana seperti hilangnya rasa percaya diri, khawatir yang berlebihan,
gejala ketakutan berlebihan dan trauma yang tinggi dari tekanan hidup
yang bertubi-tubi. Situasi setelah bencana terkadang menurunkan
motivasi bagi perempuan untuk mempertahankan hidup dan mereka
pun akan mengalami traumatis utnuk melakukan adaptasi kembali
dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
e. Lansia
Para lansia telah mengalami penurunan kemampuan fisik dan
mental sehingga sulit untuk melakukan adaptasi kembali setelah
kejadian bencana. Kaum lansia juga telah kehilangan peran sehingga
merasa dirinya tidak berarti dan tidak lagi dibutuhkan oleh orang-orang
di sekitarnya.
3. Rencana Penanggulangan Bencana pada fase Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Tahapan Rehabilitasi Bencana diatur dalam Pasal 58 dan 59
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan
Keputusan Sekretaris Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi No. 2 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi.
Pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi, layanan psikologis dan konseling
untuk para korban sebaiknya tetap dilanjutkan. Selain itu, korban bencana
juga diberikan pengetahuan untuk program resiliensi bila bencana datang
kembali. Hal lain yang baik untuk dapat dilakukan yaitu pelatihan untuk
professional dan relawan lokal tentang pendampingan sehingga korban
20
Pada tahapan ini, dukungan psikologis yang dapat dilakukan antara lain
mengatasi dan mengendalikan stress. Ada beberapa teknik yang dapat
digunakan untuk mengurangi pemicu stress agar korban bencana terhindar
dari gangguan mental. Cara yang paling tepat yaitu dengan memandang
secara positif untuk setiap masalah yang ada, dan berusaha untuk
menyelesaikannya. Langkah yang dapat dilakukan yaitu :
- Meminta korban bencana untuk meningkatkan interval toleransi terhadap
stress.
- Melakukan pendekatan orientasi kepada korban bencana untuk
penyelesaian masalah. Kegiatan yang dapat dilakukan dengan latihan
pernafasan dalam, istirahat teratur, sosialisasi, meditasi, dan relaksasi.
Dukungan psikososial dapat dikelompokkan sesuai dengan tingkatan
usia. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Anak-anak
Anak-anak harus dikondisikan dalam keadaan tenang dan lakukan
kegiatan yang membawa kesenangan. Kegiatan yang dapat dilakukan antara
lain:
bermain,
bernyanyi,
perlombaan sederhana,
kegiatan untuk memotivasi semangat dan menyalurkan emosi anak. kegiatan yang menggali potensi anak juga sangat dianjurkan untuk
mengetahui minat dan bakat.
b. Remaja
Periode remaja merupakan kondisi di saat emosional berada pada level
yang tidak stabil. Keputusan yang diambil dapat secara cepat berubah tanpa
pemikiran yang matang. Kegiatan yang dapat dilakukan pada remaja yaitu: Ajakan mendekatkan diri kepada Tuhan YME sebagai pemilik kekuasaan
atas dunia ini.
Aktivitas sosial seperti bantuan medis dan logistik sangat berguna untuk mengajak mereka ikut serta berkontribusi sehingga tidak terlarut dalam
21
c. Dewasa
Pada tingkatan usia dewasa, perubahan kondisi kehidupan yang sangat
drastis pasti secara cepat pula berubah pada kondisi psikologisnya.
Dukungan konseling dan perhatian dengan berbincang bersama korban bencana dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik.
Ajakan kepada korban untuk kembali meendekatkan diri dengan Sang Pencipta atas segala yang terjadi dalam kehidupan ini.
Selain kegiatan yang baik untuk menjaga kestabilan, usia dewasa sebaiknya diberikan pelatihan dan informasi mengenai kebencanaan
sehingga mereka memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana.
d. Lansia
Kegiatan dukungan psikososial yang dapat dilakukan pada lansia yaitu pemberian keyakinan yang positif mengenai kejadian bencana yang ada. pendampingan pemulihan fisik dengan kunjungan berkala
pemberian perhatian khusus agar korban mendapatkan kenyamanan pada lokasi evakuasi
bantuan untuk membangun kembali kontak dengan keluarga dan lingkungan sosial lainnya
pendampingan untuk mendapatkan pengobatan dan bantuan keuangan. Kegiatan yang dilakukan ditujukan untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik biasa disebut dengan “build back better” . Selain kegiatan yang telah disebutkan, dukungan psikologis yang dapat dilakukan yaitu
membangun resiliensi pada korban bencana. Resiliensi adalah proses masyarakat untuk berusaha dan berjuang secara maksimal untuk keluar dari
kegagalandan kekecewaan. Pada kondisi ini kekuatan pribadi dari korban
bencana ditingkatkan dengan adanya keyakinan diri untuk dapat memiliki
control dan kemampuan mengatasi bencana (self-efficacy), penghargaan
terhadap diri, dan optimisme serta dukungan sosial. Dengan adanya tujuan
ini diharapkan masyarakat menjadi lebih tangguh bila nantinya bencana
22 REFERENSI
Anwar, Herryzal Z., dan Harjono, Hery. 2013. Menggapai Cita-cita
Masyarakat Tangguh Bencana Alam di Indonesia : Hidup Harmonis
dengan Alam. Bandung : LIPI & CV. Andira.
Artikel Sinabung, Karo District, Sumatera Indonesia. 2014. Diunduh dari
http://www.volcano.si.edu/volcanoes/region06/sumatra/sinabung/3901sin
abung.pdf pada 23 Februari 2015 pukul 09:46 WIB
BPTP Sumatera Utara. Rekomendasi Kebijakan Mitigasi Dampak Erupsi
Gunung Sinabung terhadap Sektor Pertanian. Diunduh dari
http://www.karokab.go.id/in/attachments/article/1428/RekomendasiKebija
kanMitigasiErupsiSinabung.pdf pada 23 Februari 2015 pukul 09:48 WIB.
Brett Israel, 2010. Indonesia's Explosive Geology Explained. Diunduh dari
http://www.livescience.com/8823-indonesia-explosive-geology-explained.htmlpada 27 Februari 2015 Pukul 09: 23 WIB.
Budiarto, Arief. 2015. Paparan Kuliah Psikologi Bencana pada 13 Januari
2015.
Data Statistik Kabupaten Karo diunduh dari
http://www.karokab.go.id/in/index.php/gunung-sinabung/data-
pengungsi/2843-data-pengungsi-bencana-erupsi-gunung-sinabung-tgl-07-juli-2014
http://www.karokab.go.id/in/index.php/gunung-sinabung/data-
pengungsi/3782-data-pengungsi-erupsi-gunung-sinabung-kab-karo-tgl-27-februari-2015
Heni, Anastasia. 2008. Manual Psikoedukasi: Informasi Psikososial Bagi
Masyarakat Paska Bencana. Jakarta : CWS Indonesia.
Keputusan Sekretaris Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi No. 2 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi.
Kompas edisi 19 September 2013 dalam majalah Info Singkat Kesejahteraan
Sosial. 2013. Letusan Gunung Sinabung dan Penanganan Bencana di
23
Mandalakas, Torjesen, dan Olness, 1999. Helping the children : a practical
handbook for complex humanitarian emergencies. Australia : Kenyon MN
Health Frontiers.
Norris, F. H., Friedman, M. J., Watson, P. J., Byrne, C. M., Diaz, E., &
Kaniasty, K. 2002. 60,000 Disaster Victims Speak: Part 1. An empirical
review of the empirical literature, 1981-2001. Psychiatry, 65, 207-239.
Paparan oleh Dandim 0205/ Tanah Karo selaku Dansatgas Erupsi Gunung
Sinabung dalam paparan mengenai Peran Kodim 0205/TK dalam
Penanganan Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung.
Psychosocial Assesment Report pada Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung,
Sumatera Utara oleh Center for Trauma Recovery Unika Soegijapranata
pada 25-28 September 2013.
Retnaningsih, Hartini. 2013. Letusan Gunung Sinabung dan Penanganan
Bencana di Indonesia. Info Singkat Kesejahteraan Sosial Vol. IV. No. 18 –
September 2013.
Quarantelli, E. L. & Dynes, R. A. (1985) Community responses to disasters.
In B. J. Sowder, (Ed.) Disasters and mental health: Selected
contemporary perspectives (pp. 158-168). Rockville, MD: National
Institute for Mental Health.
Riwayat Erupsi Gunung Sinabung dalam Gema BNPB “Ketangguhan Bangsa
Dalam Menghadapi Bencana” edisi Desember 2013.
Sungkawa, Dadang. 2013. Bahan Ajar Geografi Regional Indonesia.
Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Tjetjep,W.S. 2011. Di bawah Naungan Gunungapi, Hidup Di atas Tiga
Lempeng : Gunungapi dan Bencana Geologi. Jakarta : Badan Geologi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Winter, David G.. 1997. Allport's Life and Allport's Psychology. Journal of