• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI REGULASI TENTANG HAK KUASA ASUH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEMAHAMI REGULASI TENTANG HAK KUASA ASUH"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

“Makalah Pengayaan Mata Kuliah Sistem Hukum Indonesia”

MEMAHAMI REGULASI TENTANG HAK KUASA ASUH

TERHADAP ANAK

Disusun oleh: Fadhila Alisya Putri

Muhammad Lutfi Baidhowi Muhammad Dandi Saputra

NIM 07011281722094 NIM 07011281722095 NIM 07011381722163

Dosen Pembimbing: Dr. Azhar, S.H., LL.M., M.Sc.

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PALEMBANG

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat, sehingga aktivitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia maupun alam akhirat. Karena berkat rahmat-Nya pula makalah ini terselesaikan dengan baik untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sistem Hukum Indonesia dengan judul makalah “Memahami Regulasi Tentang Hak Kuasa Asuh Terhadap Anak”.

Tak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Azhar, S.H., LL.M., M.Sc. yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Serta orang tua dan teman-teman yang telah mendukung penulis dalam bentuk, baik fisik maupun moril.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi materi maupun dalam penyusunan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi seluruh pembaca, dalam upaya untuk menjadi lebih baik. Demikianlah makalah ini penulis buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.

(3)

DAFTAR ISI

Keterangan Hal

.

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I: PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan Penulisan... 2

1.3 Manfaat Penulisan... 2 BAB II: ISI... 3 2.1 Pengertian Perceraian... 3

2.2 Kuasa Asuh Anak dan Dasar Hukumnya... 6

a. Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002... 6

b. Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)... 11

2.3 Contoh Kasus Pemberian Kuasa Asuh Anak... 18

a. Kasus Tentang Ayah Mendapatkan Hak Asuh Anak dalam Perceraian... 19

b. Kasus Tentang Ibu Mendapatkan Hak Asuh Anak Dalam Perceraian... 22

BAB III: PENUTUP... 25

3.1 Simpulan... 25

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 23 tahun 2002). Anak sejak dalam kandungan memiliki hak atas hidup dan hak merdeka sebagai hak dasar dan kebebasan dasar, sehingga tidak dapat dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi harus dilindungi dan diperluas hak atas hidup dan hak merdeka tersebut.

Hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari HAM yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum baik Hukum Internasional maupun Hukum Nasional. Secara universal dilindungi dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR). Hak anak juga diatur secara khusus dalam konvensi-konvensi Internasional khusus. Perlakuan khusus terhadap anak mendapatkan perlindungan hukum.

Hak anak untuk mendapatkan jaminan hidup, pendidikan, dan kebebasan dari ancaman, diskriminasi, kekerasan dan sebagainya didapat juga dari orang tua. Kewajiban orang tua untuk melindungi anak dilakukan sampai anak dewasa. Namun jika terjadi perceraian di antara sepasang suami istri, maka siapa yang mendapatkan kewajiban dalam mengasuh anak? Apakah hak anak menjadi hilang setelah orang tua mereka bercerai? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat membuat kita berpikir dan bertanya tentang jawabannya. Faktanya bahwa angka perceraian di Indonesia sebesar 347,256 pasang suami istri melakukan talak dan cerai tiap tahunnya.(1)

Melihat besarnya kasus perceraian yang terjadi di Indonesia dan pentingnya kewajiban orang tua terhadap anak dan kerberlangsungan kesejahteraan kehidupan anak, maka dari itu perlunya masyarakat memahami regulasi yang mengatur tentang hak kuasa asuh anak, agar tidak terjadinya kesalahpahaman. UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 1 Tahun 1974

(5)

Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), telah dirancang untuk mengatur masalah tersebut.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut,

a. Untuk mengetahui pengertian perceraian dan landasan hukum yang mengaturnya.

b. Untuk mengetahui regulasi yang mengatur tentang hak kuasa anak. c. Untuk membandingkan regulasi yang mengatur tentang hak kuasa anak. d. Untuk memahami dan menganalisis kasus tentang pemberian kuasa anak.

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut,

a. Mengetahui pengertian perceraian dan landasan hukum yang mengaturnya. b. Mengetahui regulasi yang mengatur tentang hak kuasa anak.

(6)

BAB II

ISI

2.1 Pengertian Perceraian.

Perkawinan hapus, jikalau salah satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.

Mengenai putusnya perkawinan beserta akibatnya oleh Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diatur di dalam Bab VIII dengan judul Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya. Pengaturan perceraian menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini terdapat dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juncto pasal 14 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang diberlakukan secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Dalam Pasal 38 Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa dalam perjalanannya perkawinan dapat putus, yaitu jika disebabkan oleh:

a. Kematian; b. Perceraian atau;

c. Atas keputusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan secara wajar atau alamiah. Kejadian itu walau bagaimanapun adalah merupakan kehendak takdir Illahi, cepat atau lambat manusia itu akan kembali kepangkuan-Nya, manusia tak kuasa menahannya. Lain halnya dengan terputusnya perkawinan karena perceraian dan putusan pengadilan, yang mana pada hakekatnya dapat diatasi atau dihindarkan agar tidak terjadi.

(7)

putusnya perkawinan karena kematian pada Pasal 38 Undang-undang Perkawinan, Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 dimana disebut bahwa perkawinan putus karena kematian. Perkawinan antara suami isteri putus, yang dimaksud ialah “apabila perkawinan tersebut berakhir”, dan berakhirnya perkawinan itu bisa karena perceraian, demikian pula bisa karena kematian salah seorang suami atau isteri, atau karena keputusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena perceraian ini merupakan kehendak dari manusianya sendiri, apakah dari pihak isteri atau dari pihak suami yang berkeinginan untuk melakukan perceraian. Dengan adanya perceraian, berarti mereka tidak mengingat akan tujuan perkawinan itu pada mulanya atau apakah memang perkawinan mereka itu dilakukan hanya sekedar untuk syarat saja untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu lainnya yang mungkin terpuji atau mungkin juga tidak terpuji. Kehendak manusia yang sekarang kadang-kadang berlainan dengan yang akan datang, bahkan kadang-kadang bertentangan. Apalagi dengan pesatnya perkembangan kemajuan zaman, manusia makin banyak kehendaknya, makin susah menentukan pilihan makin susah pula menentukan apa yang lebih baik baginya, bahkan kadang-kadang yang dipilih itu sebetulnya bertentangan dengan hati nuraninya, karena sangat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan- pertimbangannya.

Keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat dengan mudah dicapai oleh pasangan suami isteri, sehingga kerap berakhir dengan perceraian. Perceraian sering dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah di dalam rumah tangga.

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa jiwa peraturan mengenai perceraian dapat dilakukan bila mempunyai alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi. Sedangkan tanpa adanya alasan untuk bercerai pengadilan berkeharusan menolaknya apabila ada pemberitahuan atau gugatan atau tuntutan untuk bercerai tersebut.

(8)

Undang-undang. Pasal 39 Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mensyaratkan bahwa untuk melakukan perceraian harus terdapat cukup alasan, bahwa antara suami isteri iti tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Adapun alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menuntut perceraian terurai dalan Penjelasan pasal tersebut dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perlu diketahui bahwa proses perceraian di Indonesia dapat dilakukan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk yang beragama non-Muslim. Proses perkara cerai di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan Agama secara garis besar hampir sama.

Dalam Islam, perceraian walau diperbolehkan, namun itu adalah salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah. Hal tersebut memberikan isyarat kepada kita, bahwa perceraian itu suatu hal yang diperbolehkan, dan hal tersebut menjadi norma agama yang menjadi dasar atau patokan bagi manusia dalam pembentukan hukum positif dalam hal perceraian. Dengan demikian tidak mungkin manusia membentuk hukum yang berlawanan dengan norma agama, misalnya norma agama membolehkan, maka norma hukum yang dibentuk oleh manusia harus membolehkannya juga, bukan sebaliknya.

Oleh karena perceraian perceraian termasuk kaedah hukum yang berisikan kebolehan, maka Pembentukan undang termasuk Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak berani mencantumkan pasal yang melarang perceraian perkawinan. Paling tinggi usaha yang telah dilakukan oleh Pembentuk Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.

(9)

hanyalah menyaksikan perceraian dan setelah itu membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.(2)

2.2 Kuasa Asuh Anak dan Dasar Hukumnya

a. Perspektif Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Arif Gosita kepastian hukum diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan. Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah:

1) Dasar Filosofis: Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara dan berbangsa serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

2) Dasar Etis: pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

3) Dasar Yuridis: pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan yuridis ini harus secara integratif yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran pelanggaran langsung. Kegiatan seperti ini dapat dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan dalam seperti mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara. Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang

(10)

lain yang melakukan atau terlibat dalam usaha perlindungan anak. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak disebutkan:

Pasal 1

(b) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 13

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupu seksual; c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(11)

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindal pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 26

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(3)

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 BAB VI dijelaskan mengenai hak kuasa asuh terhadap anak.

BAB VI KUASA ASUH

Pasal 30

(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Pasal 31

(12)

(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.

(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan.

(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.

Pasal 32

Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :

a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya; b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup

anaknya; dan

c. batas waktu pencabutan.

Apabila terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, maka ketentuannya sebagai berikut.

Pasal 29

(13)

(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.(4)

Bilamana syarat-syarat orang tua di atas tidak dapat dipenuhi atau kedua orang tua atau salah satu dari orang tua melanggar dan melalaikan kewajiban yang diberikan maka ditentukan perwalian dengan aturan sebagai berikut.

BAB VII PERWALIAN

Pasal 33

(1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.

(2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.

(4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

(5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34

Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.

(14)

Pasal 36

(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.

(2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.(5)

Berdasarkan UU. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga disebutkan hak dan kewajiban anak, dalam Undang-undang ini perlindungan anak sangat lebih diutamakan, dimana hal ini tetap harus dilakukan meskipun di antara ibu atau ayahnya yang bersengketa salah satunya berkeyakinan di luar Islam, atau di antara mereka berlainan bangsa, namun dalam memutuskan terhadap pilihan anak tersebut harus melihat untuk kemaslahatan anak tersebut yang dalam hal ini bukan hanya kemaslahatan dunianya saja tetapi juga adalah akhir dari dunia ini yaitu akhiratnya.

Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan: “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”. Dalam penjelesannya ditegaskan bahwa, “Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya”.

Jadi, meskipun sudah ada ketentuan hukumnya yang menyatakan salah satu orang tua sebagai pemegang “kuasa asuh anak”, tetap tidak ada alasan untuk melarang orang tua lain bertemu dengan anaknya.(6)

b. Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Di dalam tinjauan fikih, pemeliharaan anak disebut hadanah yang mengandung arti merawat dan mendidik anak yang belum mumayiz. Substansi

5 BAB VII Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

(15)

dari merawat dan mendidik adalah karena yang bersangkutan tidak atau dapat memenuhi keperluan sendiri. Para ulama fikih menyatakan wajib hukumnya untuk merawat dan mendidik, namun berbeda pendapat di dalam persoalan hak.

Hadanah atau biasa dengan hak asuh anak merupakan suatu kewajiban orang tua, baik dalam masa perkawinan atau bahkan perkawinan itu telah putus karena perceraian. Pada masalah hak asuh anak tetap diberikan kepada orang tua, sesuai yang tertuang dalam KHI dan UU No.1 Tahun 1974.

KHI secara rinci mengatur tentang kekuasaan orang tua terhadap anak dengan mempergunakan istilah “pemeliharaan anak” di dalam Pasal 98 sampai dengan 112, dimana Pasal 107 sampai dengan pasal 112 khusus mengatur tentang perwalian. Pada KHI terdapat Pasal yang mengatur tentang hadanah di antaranya pada:

Pasal 98

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

(16)

Berdasarkan kriteria 12 tahun ini, maka anak yang belum memasuki usia 12 tahun akan berada di bawah kekuasaan ibunya. Setelah melewati usia 12 tahun, anak diperbolehkan menentukan pilihan sendiri, apakah ikut ibu atau ayah. Namun demikian angka 12 tahun ini bukan angka mati berdasarkan kriteria manfaat atau madarat.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam KHI maka dalam konteks kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1) Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian memiliki korelasi erat dengan validasi perkawinan, dan validasi perceraian dari orang tuanya. 2) Kekuasaan orang tua terhadap anak diungkapkan dengan istilah

“pemeliharaan atau hadanah”. Kenyataan ini sesuai dengan konsep kewajiban pengasuhan anak yang dikonstruksikan sebagai tidak terdapat pemisahan antara pengasuhan materiil dan non materiil.

3) Kekuasaan orang tua pasca perceraian terhadap anak pada dasarnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang tua secara bersamasama dengan mendidik dan memelihara anak, dengan ketentuan anak yang belum mumayiz atau belum berusia 12 tahun berada dalam kekuasaan ibunya. 4) Kekuasaan orang tua pasca perceraian terhadap anak dapat diinvestasikan

oleh Pengadilan Agama, dan Pengadilan Agama dapat memutuskan kepada siapa kekuasaan orang tua terhadap anak dijatuhkan. Pengadilan Agama di dalam memutuskan perkara, sematamata akan mendahulukan pada jaminan kepentingan anak.

Pasal-pasal KHI tentang hadanah tersebut menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan material dan non material merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu KHI malah menangani tugas-tugas yang harus diemban kedua orang tua kendatipun mereka berpisah, anak yang belum mumayiz tetap di asuh oleh ibunya sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya.

(17)

Sebagai landasan Hukum tentang kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak tersebut di dalam UU Perkawinan pasal 45 ayat 1 dan 2 dijelaskan tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.(7)

Dalam Pasal 41 UU Perkawinan akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

Pasal 41

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menetukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Pasal 49 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan mengenai kewajiban orang tua jika telah dicabut kekuasaanya yakni:

Pasal 49

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.(8)

7 Wahyuni, Fitri. 2014. ”Analisis Yuridis Terhadap Hak Asuh Anak Dalam Putusan No.489/Pdt.G/2011/Pa.Sby Tentang Cerai Gugat Bersyarat”.

(18)

Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan, baik anak itu di bawah pemeliharaan bapak atau ibu, maka yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ialah bapak. Mengenai jumlah besarnya biaya ditentukan atas dasar kebutuhan anak, dan ketentuan tersebut diselaraskan dengan keadaan ekonomi orang tua. Apabila orang tua dalam keadaan kuat ekonominya, maka ia wajib memberikan biaya sesuai dengan kebutuhan anak. Sebaliknya apabila keadaan ekonomi orang tua dalam keadaan lemah, maka kewajiban orang tua itu harus sesuai dengankebutuhannya.

KHI tidak berbeda dengan UU Perkawinan, di mana secara umum tanggung jawab orang tua terhadap anak tetap melekat meskipun telah bercerai. Kekuasaan orang tua terhadap anak dijabarkan melalui perangkat ketentuan hak dan kewajiban anak, dan hak dan kewajiban orang tua terhadap kewajiban anak. Oleh karena itu perlakuan terhadap anak adalah berdasarkan prinsip pemberian yang terbaik bagi anak.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa substansi dan semangat KHI tidak berbeda dengan UU Perkawinan. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut ketentuan kedua UU adalah sejalan, dan harus dianggap logis mengingat makna kekuasaan orang tua terhadap anak sangat berkolerasi terhadap makna perkawinan dan perceraian sebagaimana diatur oleh KHI dan UU Perkawinan Pemaknaan yang terdapat di dalam kedua UU ini ternyata juga sejalan dengan pemaknaan perlindungan anak sebagaimana diatur di dalam UU Perlindungan anak, yaitu memberikan yang terbaik kepada anak. Dengan demikian pemaknaan kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian, di dalam konteks hubungan antara KHI dan UU Perlindungan Anak, adalah memiliki tingkat harmonisasi yang baik.

Menurut UU Perkawinan, bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya pada dasarnya terbagi kepada 2 bagian, yaitu pemeliharaan dan pendidikan. Kewajiban ini berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri walaupun perkawinan antara kedua orang tua itu telah putus. yakni:

(19)

2) Tujuan pemeliharaan anak, Kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anaknya adalah semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Hal ini dilaksanakan demi untuk mempersiapkan masa depan anak, agar mempunyai kemampuan dalam hidup setelah lepas dari kekuasaan orang tua.

Adapun orang yang berhak melakukan pemeliharaan anak dalam Pasal 41 (a) UU Perkawinan adalah,

Pasal 41

(a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

Pada prinsipnya, baik ibu maupun bapak diberikan hak yang sama untuk melakukan pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anaknya setelah terjadi perceraian. Oleh karena itu keduanya dapat mufakat siapa akan anak tersebut. Akan tetapi apabila terjadi perselisihan, maka persoalan diserahkan kepada Pengadilan.

Pengadilanlah yang harus memilih dan menetapkan siapa di antara kedua orang tua yang sama-sama berhak akan melaksanakan pemeliharaan, untuk itu Pengadilan harus memeriksa dengan teliti siapakah di antara mereka yang lebih baik mengurus kepentingan anak.(9)

Namun, jika hak kuasa asuh anak telah diberikan dan telah berjalan tidak sesuai dengan ketentuan maka kekuasaan dapat dicabut. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat 1 UU Perkawinan.

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang

(20)

telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a.

Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b.

Ia berkelakuan buruk sekali.

Dalam Pasal 49 ayat 2 UU Perkawinan, diatur mengenai kewajiban orang tua terhadap anak bilamana telah dicabut kekuasaannya.

Pasal 49

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.(10)

Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan, baik anak itu di bawah pemeliharaan bapak atau ibu, maka yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ialah bapak. Mengenai jumlah besarnya biaya ditentukan atas dasar kebutuhan anak, dan ketentuan tersebut diselaraskan dengan keadaan ekonomi orang tua.

Sedangkan tentang biaya pemeliharaan anak, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak diatur dalam Pasal 41 (b) dan 49 ayat 2 UU Perkawinan.

Pasal 41

(b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan, baik anak itu di bawah pemeliharaan bapak atau ibu, maka yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ialah bapak. Mengenai jumlah besarnya biaya ditentukan atas dasar kebutuhan anak, dan ketentuan tersebut diselaraskan dengan keadaan ekonomi orang tua. Apabila orang tua dalam keadaan kuat ekonominya, maka ia wajib memberikan biaya sesuai dengan kebutuhan anak. Sebaliknya apabila keadaan ekonomi orang tua dalam kesulitan maka ibu juga wajib membiayai anak.

(21)

Apabila orang tua dalam keadaan kuat ekonominya, maka ia wajib memberikan biaya sesuai dengan kebutuhan anak. Sebaliknya apabila keadaan ekonomi orang tua dalam keadaan lemah, maka kewajiban orang tua itu harus sesuai dengan kebutuhannya.

Hal ini memang patut sebagai lanjutan prinsip, bahwa bapak (suami) mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana yang ditentukan pasal 34 ayat 1.

Pasal 34

(1)

Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Mengenai batas kewajiban pemeliharaan anak, diatur dalam Pasal 45 ayat 2 UU Perkawinan:

Pasal 45

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Jadi pokok-pokok batas kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya tidak ditentukan sampai batas umur tertentu, tetapi dilihat dari keadaan anak itu. Apabila anak dianggap telah dapat berdiri sendiri atau telah kawin, maka terlepaslah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidiknya walaupun anak baru berumur 17 tahun, sebaliknya anak yang telah berumur 25 tahun tetapi belum mampu berdiri sendiri maka orang tua masih berkewajiban memelihara dan mendidik.(11)

2.1 Contoh Kasus Pemberian Kuasa Asuh Anak

(22)

berkaitan dengan hal tersebut yang telah berkekuatan hukum tetap agar dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai alasan ataupun pertimbangan hak asuh anak di bawah umur diberikan kepada pihak ibu atau diberikan kepada pihak ayah. Kasus-kasus tersebut ialah sebagai berikut:

a. Kasus Tentang Ayah Mendapatkan Hak Asuh Anak dalam Perceraian (Putusan Pengadilan Negeri Nomor 404/PDT.G/2007/PN.TNG)

Pokok Persoalan

Perkara perdata ini merupakan gugatan Perceraian Tuan Satrio Budi Hardono sebagai penggugat dengan isterinya, Nyonya Agnes Tri Rahayu sebagai Tergugat, dimana perkawinan mereka telah dilangsungkan di Semarang, pada tanggal 10 Desember 1987 berdasarkan kutipan akte perkawinan nomor 708/1987 pada tanggal 10 Desember 1987 yang dikeluarkan oleh kantor Catatan Sipil Pemerintah Kotamadya daerah Tingkat I Semarang. Dari perkawinan tersebut telah lahir 4 (empat) orang anak yaitu masing-masing:

1. Berlian Satriya Adhika Pramudita, lahir di Semarang, pada tanggal 20 April 1988;

2. Diamond Satriya Yusak Pramathana, lahir di Tangerang, pada tanggal 09 Oktober 1994;

3. Trifosa Berlian Karunia Hardana, lahir di Jakarta, pada tanggal 18 desember 2002;

4. Trifena Diamond Kharisma Hardana, lahir di Jakarta, pada tanggal 18 Desember 2002.

Penggugat memohon kepada Pengadilan Negeri Tangerang agar dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan penggugat seluruhnya.

2. Menyatakan pernikahan antara penggugat (Satrio Budi Hardono) dengan tergugat (Agnes Tri Rahayu) adalah putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya.

(23)

Kharisma Hardana di asuh, di rawat dan di pelihara oleh penggugat selaku ayah kandungnya.

4. Menetapkan tergugat untuk membayar ongkos perkara. 5. Menjatuhkan putusan perkara ini dengan seadil-adilnya.

Setelah pengadilan melakukan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak baik melalui proses mediasi dengan dibantu oleh Majelis Hakim Mediator, akan tetapi proses mediasi tersebut tidak berhasil maka sidang dilanjutkan.

Pihak tergugat telah megajukan jawaban secara lisan yang pokoknya:

1. Tergugat menyerahkan seluruh keputusan kepada Pengadilan Negeri Tangerang.

2. Tergugat menerima anak-anak diserahkan hak perwaliannya dan hak asuhnya pada penggugat, namun tergugat mohon agar tetap diberi hak berkunjung pada anak-anaknya.

3. Tergugat tidak akan hadir kembali pada persidangan berikutnya dan mohon agar persidangan perkara ini dapat segera diputuskan untuk kepastian hukum perkawinan antara penggugat dan tergugat.

Dalam tahap pembuktian penggugat menghadirkan 3 orang saksi yaitu Subroto, Dian Nur Wulandari dan Jemangin S.Ag. dalam perkara ini tidak disebutkan identitas para saksi yang berkaitan dengan penggugat dan tergugat. Di bawah sumpah mereka telah memberi keterangan bahwa saksi-saksi kenal dengan penggugat dan tergugat mereka adalah suami-isteri dan telah dikaruniai 4 orang anak. Keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat sekarang ini ternyata 2 (dua) tahun yang lalu tidak rukun lagi, sering terdengar ribut kadang hingga keras sampai tetangga sekitar rumah mereka dapat mendengar. Dan tergugat sudah 1 (satu) tahun lebih meninggalkan rumah sehingga anak-anak dirawat dan diasuh oleh penggugat.

(24)

Pertimbangan hukum yang diambil Pengadilan Negeri Tangerang adalah penggugat mengajukan permohonan cerai karena tergugat telah pergi meninggalkan penggugat dan ke 4 (empat) anaknya sejak tahun 2006 tanpa pernah memberikan kasih sayangnya lagi selaku ibu kandung ke empat anaknya tersebut sehingga sejak tergugat pergi meninggalkan rumah maka sejak itu pulalah penggugat yang bertugas menjaga, merawat dan mendidik ke-4 anaknya seorang diri. Berdasarkan bukti-bukti yang ada kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus dan sulit diatasi, sehingga membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup rumah tangga yang telah dibina bersama.

Tergugat tidak keberatan bila bercerai dengan penggugat dan tergugat menerima secara utuh seluruh gugatan yang diajukan oleh penggugat. Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 huruf b dan huruf f, perceraian dapat terjadi bila salah satu pihak selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah sehingga tidak memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya dan perceraian dapat terjadi karena alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Mengenai permohonan perwalian anak oleh karena 3 anak dari 4 anak tersebut masih di bawah umur yakni 13 tahun, 5 tahun dan 5 tahun. Dimana masih butuh kasih sayang dari seorang ibu, namun karena tergugat dalam jawaban secara lisan menerima bahwa anak-anak diserahkan hak perwaliannya dan hak asuhnya pada penggugat, namun disini tergugat mohon agar tetap diberi hak berkunjung pada anak-anaknya karena bagaimanapun juga tergugat adalah ibu kandung dari keempat anak-anak tersebut.

Putusan Pengadilan

(25)

catat dalam buku register dan kepada kantor Catatan Sipil Kota Tangerang untuk dipindahkan dalam register perceraian dan selanjutnya diterbitkan akta cerai, dan menetapkan anak-anak yang masih di bawah umur yang bernama Diamond Satriya Yusak, Trifosa Berlian, Trifera Diamond diasuh, dirawat dan dipelihara oleh penggugat selalu ayah kandungnya serta membebankan kepada tergugat untuk membayar biaya perkara.(12)

b. Kasus Tentang Ibu Mendapatkan Hak Asuh Anak Dalam Perceraian (Putusan Pengadilan Negeri Nomor 479/PDT.G/2008/PN.TNG)

Pokok Persoalan

Perkara perdata ini merupakan gugatan Perceraian Nyonya Samidjah Sradhasena sebagai penggugat dengan suaminya Tuan Marsito sebagai Tergugat, dimana perkawinan mereka telah dilangsungkan di Mapanbudhi di gombong, pada tanggal 26 Juli 1989 berdasarkan kutipan akte perkawinan nomor 12/1989/CS, pada tanggal 14 Agustus 1989 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Pemerintah Kabupaten daerah Tingkat II Kebumen. Dari perkawinan tersebut telah lahir 1 (satu) orang anak yaitu bernama Handhika Bayu Gautama, lahir di Jakarta pada tanggal 21 April 1990, sesuai akta kelahiran dari Kantor Catatan Sipil Jakarta Nomor 39/JS/1990, pada tanggal 8 Mei 1990.

Penggugat memohon kepada Pengadilan Negeri Tangerang agar dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan penggugat seluruhnya.

2. Menyatakan pernikahan antara penggugat (Samidjah Sradhasena) dengan tergugat (Marsito) adalah putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya.

3. Menetapkan penggugat (Samidjah Sradhasena) sebagai kuasa asuh dari anaknya yang bernama Handhika Bayu Gautama.

4. Menetapkan tergugat untuk membayar ongkos perkara. 5. Menjatuhkan putusan perkara ini dengan seadil-adilnya.

Pada saat persidangan yang telah ditentukan dengan surat panggilan yang telah disampaikan dengan sah dan patut. Penggugat telah datang menghadap ke

(26)

persidangan, sedangkan tergugat tidak datang dan tidak pula menyuruh orang lain atau kuasanya untuk datang menghadap meskipun telah dipanggil secara sah dan patut. Dalam tahap pembuktian penggugat menghadirkan 2 (dua) orang saksi yaitu Slamet Mulyono dan Samirin Budhi Dharma. Di dalam perkara ini tidak disebutkan identitas para saksi yang berkaitan dengan penggugat dan tergugat. Di bawah sumpah mereka telah memberi keterangan bahwa saksi-saksi kenal dengan penggugat dan tergugat mereka adalah suami-isteri dan telah dikaruniai 1 (satu) orang anak. Keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat ternyata sejak tahun 2000 yang lalu tidak rukun lagi karena kadang tergugat jarang pulang ke rumah dan berjudi. Penggugat telah berupaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan tergugat yaitu dengan cara pertemuan keluarga. Akan tetapi tergugat tersebut tetap saja tidak berubah dan upaya perdamaian yang dilakukan menjadi sia-sia. Bahkan pada tahun 2006 diketahui tergugat telah menikah lagi dengan seorang wanita tanpa sepengetahuan penggugat dan mempunyai seorang anak.

Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hukum yang diambil Pengadilan Negeri Tangerang adalah penggugat mengajukan permohonan gugat cerai karena tergugat sering tidak pulang kerumah dan terlilit hutang akibat sering berjudi yang pada akhirnya penggugatlah yang menanggung semua hutang-hutang tergugat. Serta upaya untuk mempertahankan rumah tangga ini pun sudah dilakukan berulang kali, akan tetapi perilaku tergugat tersebut tetap saja tidak berubah dan upaya perdamaian yang dilakuan menjadi sia-sia. Sekitar tahun 2006 diketahui tergugat telah menikah lagi dengan wanita lain tanpa sepengetahuan penggugat dan mempunyai seorang anak. Berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkatran secara terus-menerus yang sulit diatasi, sehingga membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup rumah tangga yang telah dibina bersama. Akibat dari perselisihan tersebut penggugat dan tergugat sejak beberapa tahun sudah pisah ranjang.

(27)

perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan atau antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga. Mengenai permohonan perwalian anak oleh karena anak tersebut masih di bawah umur, karena tergugat selama persidangan tidak pernah hadir maka Majelis Hakim menganggap termohon sudah melepaskan haknya untuk memelihara dan mengasuh anaknya.

Putusan Pengadilan

Dalam perkara ini setelah melihat fakta-fakta yang ada dan berdasarkan pertimbangan hokum yang diambil, maka Pengadilan telah mengadili dan menyatakan tergugat yang telah dipanggil dengan patut dan resmi untuk menghadap di persidangan tidak hadir, mengabulkan permohonan penggugat dengan verstek, menetapkan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya, dan menetapkan seorang anak yang bernama Handhika Bayu Gautama diasuh, dirawat dan dipelihara oleh penggugat selaku ibu kandungnya serta membebankan tergugat untuk membayar biaya perkara.(13)

(28)

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Hanika, Vina. 2010. “Kewajiban Asuh Anak di Bawah Umur sebagai Akibat Perceraian Kedua Orang Tuanya”. Skripsi. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Presiden Republik Indonesia. Wahyuni, Fitri. 2014. ”Analisis Yuridis Terhadap Hak Asuh Anak Dalam Putusan

No.489/Pdt.G/2011/Pa.Sby Tentang Cerai Gugat Bersyarat”. Skripsi. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Badan Pusat Statistik. “Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk, 2012-2015”. Bps.go.id. https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/893. (diakses pada 22 Januari 2018, 22:35 WIB).

Kementerian Agama Republik Indonesia. “Kompilasi Hukum Islam

(e-Document)”. Kemenag.go.id.

Referensi

Dokumen terkait

Metode demonstrasi dilaksanakan dengan cara melakukan praktik langsung ke tempat berwudhu (dimana dalam pelaksanaannya nanti siswa langsung diajak ke tempat

Hasil pengamatan mengidentifikasi total biaya peledakan yang dikeluarkan oleh PT Vitrama Properti masih belum optimal, sehingga menyebabkan untuk mencapai volume

(3)menyimpulkan hasil dari analisis.Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa buku pelajaran bahasa inggris mengembangkan tujuh latihan komunikatif yang

Sholihah (2013) menunjukkan bahwa rasio return pembiayaan profit loss sharing berpengaruh negatif signifikan terhadap non performing financing. Faktor penting lainnya yang

Tes KGS berbentuk tes objektif (pilihan ganda) mencakup ketiga materi percobaan, yaitu: 1) sintesis dan karakterisasi natrium tiosulfat pentahidrat, 2)

(empat). Dalam melakukan pendaftaran calon anggota harus mengunduh serangkaian berkas administrasi seperti formulir, serta melampirkan persyaratan seperti

Siapkan pembatas area kerja atau terapkan metode control kubus (menutup area kerja dengan plastic dgn menyegel dengan vakum HEPA untuk menyedot debu keluar) sebelum konstruksi di

Kesatu : Menetapkan daftar formularium obat (nama, dosis sediaan, khasiat & efek samping) yang ada di UPT Puskesmas Ngadirojo sebagaimana tersebut dalam lampiran yang