• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM LINGKUP M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM LINGKUP M"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM LINGKUP MASYARAKAT INTERNASIONAL

Oleh: Syaputra, S. H.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pidana mati dalam lingkup masyarakat internasional telah sekian lama digunakan. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian sejarah yang menyebutkan bahwa pidana mati telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM) dalam hukum yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia. Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet). Tidak hanya itu, penggunaan pidana mati juga telah diterapkan dibawah naungan hukum kerajaan Inggris pada abad ke 10. Beberapa negara juga menerapkan pidana mati untuk menghukum pelaku kejahatan-kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa hingga tahun 1989.1

Anggapan atas kesadisan dan kekejian penggunaan pidana mati terhadap pelaku kejahatan, memang menyebabkan sebagian masyarakat internasional tidak memberikan pengakuan dan tempat kepada sanksi pidana mati karena ketidaksesuaian dengan kehidupan demokratis dan berbudaya yang dianut dalam kehidupan masyarakat internasional. Pengakuan yang tidak diberikan kepada sanksi pidana mati ini tertuang dengan dikeluarkannya tanggapan berupa Protokol Opsional Kedua pada

International Convenant On Civil And Political Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) oleh komisi PBB dibawah pengawasan Human Rights Committee yang ditujukan untuk penghapusan hukuman mati pada tahun 1989.

1 Ayub Tory S. K., 2002, Hukuman Mati Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Hak

Asasi Manusia Internasional, Diakses di Laman

(2)

Hingga Juni 2006 terdapat 68 negara yang masih menerapkan praktek pidana mati, termasuk Indonesia, meskipun terdapat 88 negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan pidana mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium pidana mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap pidana mati.2

Pidana mati telah lama diterapkan di Indonesia sebagai pidana pokok dan sebagai hukuman yang paling berat terhadap tindak pidana tertentu yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penerapan pidana mati dimulai ketika Belanda menerapkan asas konkordansi pada tanah jajahannya, yaitu Indonesia pada tahun 1918 melalui Wetboek van Strafrecht dengan turunannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang dikhususkan untuk masyarakat pribumi di Indonesia yang kemudian diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana sebagaimana kita kenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Secara yuridis, pidana mati sebagai instrumen hukum nasional termaktub dalam Pasal 10 KUHP sebagai bagian dari pidana pokok di hierarki teratas dan beberapa undang-undang khusus di luar KUHP yang juga menyebutkan mengenai sanksi pidana mati. Penempatan pidana mati pada heirarki teratas dimaksudkan bahwa ancaman pidana mati merupakan ancaman serius dan yang paling berat yang ditujukan hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu.

Meskipun pidana mati diterapkan dan telah dilaksanakan terhadap beberapa terpidana mati, tetap saja keputusan ini menuai pro kontra di kalangan publik, baik secara nasional maupun dalam lingkup masyarakat internasional. Pelaksanaan pidana mati dianggap bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), seperti hak untuk hidup. Melalui pengakuan hak untuk hidup tersebut, seseorang memiliki kebebasan untuk melanjutkan kehidupannya tanpa ada batasan-batasan yang dapat mengurangi hak

(3)

tersebut. Tidak hanya itu, beberapa pandangan menyatakan bahwa pidana mati dapat menyebabkan ketidakadilan, dan bukan merupakan upaya efektif untuk memasyarakatkan karena sering kejahatan dilakukan karena panas hati dan emosi (di luar jangkauan kontrol manusia), sehingga tidak sepantasnya dijatuhi hukuman yang berlebihan dari apa yang dia perbuat.3

Pada level tersebut, tujuan pidana idealnya adalah untuk memperbaiki atau meresosialisasi individu pelaku dari sifat-sifat jahatnya agar kembali normal dan menjadi individu yang baik dan diterima dalam masyarakat.4

Berbeda dengan alasan di atas, beberapa pandangan menyatakan bahwa pelaksanaan dan penerapan sanksi pidana mati sangat dibutuhkan karena pidana mati ditujukan untuk menjerakan dan menakutkan penjahat, dan relatif tidak menimbulkan sakit jika dilaksanakan dengan tepat.5

Tujuan pidana sebagai tujuan untuk membalaspun tersampaikan, karena pada dasarnya sifat-sifat manusia itu tidak dapat diperbaiki dan merupakan faktor biologis yang telah dibawa sejak lahir.6 Kemudian, selama

perbuatan-perbuatan itu melanggar perikemanusiaan dan sangat mengancam kehidupan masyarakat luas tentu saja pidana mati harus dilaksanakan dan diancamkan kepada pelaku sebagai bagian dari pertanggungjawaban atas perbuatannya yang harus diterima olehnya.7

Bertolak dari adanya pertanggungjawaban pelaku terhadap perbuatannya yang harus dibalas, maka pidana mati dianggap sangat penting untuk beberapa tindak pidana tertentu. Urgensitas sanksi pidana mati bagi tindak pidana tertentu, tentu saja seperti disebutkan sebelumnya ditujukan hanya pada ketentuan-ketentuan kejahatan yang luar biasa, yang mengakibatkan efek yang meluas dan efek yang berkelanjutan terhadap korbannya baik korban sebagai indvidu, ataupun masyarakat bahkan negara sekalipun. Sehingga dengan adanya efek yang berdampak sangat

3 Muladi et al, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, Hlm. 63.

4Ibid, Hlm. 32.

5 Andi Hamzah et al, 1985, Pidana Mati di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm. 27.

6Ibid.

(4)

hebat terhadap korbannya dan menimbulkan kerugian yang mendalam tentu saja tidak dapat berimbang jika pidana mati tidak diterapkan karena mengingat ancaman yang sangat berbahaya untuk kelanjutan kehidupan korbannya.

Telah banyak kasus-kasus kejahatan di teritorial hukum nasional Indonesia yang menerapkan sanksi pidana, di mana di antaranya diterapkan terhadap warga negara asing. Beberapa kasus tersebut di ataranya adalah tindak pidana narkotika dengan terpidana mati ekspatriat asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran 2006, tindak pidana terorisme dengan terpidana mati Amrozi cs tahun 2003, tindak pidana pembunuhan dengan terpidana mati Gunawan Santoso tahun 2004 dan masih 133 terpidana mati lagi yang belum dilaksanakan eksekusi mati.8

Indonesia, meskipun sebagai bagian dari masyarakat internasional yang turut menandatangani dan tunduk konvenan Human Rights, tetap bertahan dengan pendiriannya untuk menerapkan pidana mati dengan penafsiran dan alasannya sendiri. Seperti yang baru-baru ini kita saksikan bagaimana Presiden Jokowi tak gentar menerapkan sanksi tersebut meskipun pihak Australia terus menerus melakukan berbagai lobi tertentu agar warga negaranya mendapat pengampunan. Atas dasar latar belakang di atas, pembahasan terkait konsistensi pemerintah Indonesia dalam menerapkan pidana mati beserta landasan yuridis serta sosiologisnya dalam mempertahankan eksistensi pidana mati menjadi menarik untuk dikaji.

B. Rumusan Masalah

Atas latar belakang singkat di atas, penulis menarik sebuah rumusan masalah yaitu bagaimana urgensitas penerapan sanksi pidana mati di Indonesia dalam lingkup masyarakat internasional?

(5)

PEMBAHASAN

A. Landasan Yuridis Pidana Mati

Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia memberikan definisi pidana mati yaitu pidana yang dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali gantungan pada leher terpidana, kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Pasal ini tidak memberikan penjelasan secara harfiah apa yang dimaksud dengan pidana mati melainkan menjelaskan teknis dari pelaksanaan pidana mati itu sendiri.

Tidak ada pendapat ahli yang secara eksplisit menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana mati karena pada dasarnya definisi pidana mati dianggap tidak perlu dituangkan secara tegas. Hal ini dikarenakan kata-kata pidana mati itu sendiri telah dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana mati. Tetapi disini penulis berkesimpulan bahwa pidana mati adalah sanksi atau hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tertentu dengan melenyapkan atau mengambil nyawanya sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya dan mengakibatkan efek yang meluas dalam jangka panjang dengan tujuan untuk memberikan kejeraan terhadap pelaku maupun calon pelaku dengan eksekusinya yang dilakukan melalui berbagai cara.

(6)

Beberapa konvenan yang dihasilkan oleh komite-komite pengawas instrumen Hak Asasi Manusia beberapa diantaranya telah diratifikasi dan diaksesi oleh pemerintah Indonesia, yaitu:9

1. Konvensi Internasional Pennghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD) yang telah diratifikasi melalui Undnag-Undang Nomor 20 Tahun 1999;

2. Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (CCPR) yang telah diratifikasi Oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005;

3. Protokol Opsional Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (CCPR);

4. Protokol Opsional Kedua Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Untuk Penghapusan Hukuman Mati (CCPR); 5. Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

(CESCR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005;

6. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi menjadi Undnag-Undang No 7 Tahun 1984;

7. Protokol opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) ditanda tangani; 8. Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan

atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;

9. Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT);

9 Syaldi Sahude, 2008, Status Ratifkasi Indonesia Untuk Instrumen

(7)

10. Konvensi Tentang Pelindungan Terhadap Semua Orang dari Tindak Penghilangan Secara Paksa;

11. Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi melalui Undnag-Undang No. 36 Tahun 1990;

12. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (CRC) ditandatangani;

13. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (CRC) ditandatangani;

14. Konvensi Internasional Perlindungan Untuk Buruh Migran dan Keluarganya (CMW) ditandatangani;

15. Konvensi Hak-Hak Penyandang Cacat (CRPD) ditandatangani; dan

16. Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Penyandang Cacat (CRPD).

Begitu banyaknya pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam masyarakat internasional pada akhirnya menyurutkan eksistensi pidana mati karena dianggap bertentangan keras dengan sifat-sifat kemanusiaan yang berlandaskan pada hak-hak asasi manusia. Konvensi-konvensi tersebut mengikat negara-negara yang menjadi anggota dalam perjanjian, tetapi tidak serta merta perjanjian tesebut menundukkan hukum nasional dalam suatu negara. Hal itu dikarenakan hukum internasional yang sifatnya sebagai compelementary law (hukum pelengkap).

Beberapa konvenan yang telah disebutkan di atas ada yang diratifikasi dan ada pula yang diaksesi oleh pemerintah Indonesia sehingga pada dasarnya Indonesia terikat dalam perjanjian-perjanjian internasional. Oleh karena itu, terhadap pidana mati yang diberlakukan di Indonesia mendapat pertentangan yang hebat dari masyarakat internasional.

(8)

Nomor 5 Tahun 1998 tentu saja menjadi tolak ukur masyarakat internasional dalam menyikapi pidana mati di Indonesia. Ratifikasi terhadap konvensi ini telah memperlihatkan bahwa Indonesia juga ikut serta dalam dalam mengakui dan menentang penghukuman yang kejam (dalam hal ini pidana mati dianggap kejam dan tidak manusiawi) sehingga pidana mati sangat bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini. Begitu juga Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia yang pada dasarnya mengakui hak-hak setiap orang untuk hidup sekalipun itu adalah pelaku kejahatan yang tidak bisa dimaafkan perbuatannya. Disebutkan pula bahwa dalam hukum internasional terdapat asas civitas maxima, apanila dikaitkan dengan teori hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional maka merek adalah satu kesatuan sistem dengan menempatkan hukum internasioanal diaas hukum nasional.10

Terlepas dari hal itu, Indonesia tetap memiliki peraturan-peraturan pidana mati yang diberlakukan secara tegas dalam hukum positifnya. Pengaturan mengenai pidana mati di Indonesia dapat kita jumpai di berbagai produk undang-undang di Indonesia. KUHP (Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana) merumuskan beberapa pasal yang di dalamnya tercantum mengenai ancaman pidana mati, yaitu:

1. Pasal 104 KUHP mengenai perbuatan makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

2. Pasal 111 ayat (2) KUHP mengenai upaya untuk membujuk negara asing supaya bermusuhan atau berperang (dalam hal ini jika upaya tersebut terealisasi).

3. Pasal 124 ayat (1) KUHP mengenai perbuatan membantu musuh saat perang.

4. Pasal 124 bis KUHP mengenai perbuatan yang menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan terjadinya huru hara.

(9)

5. Pasal 140 ayat (3) KUHP mengenai perbuatan makar terhdap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncakan dan berakibat maut.

6. Pasal 340 KUHP mengenai tindak pidana pembunuhan berencana.

7. Pasal 365 ayat (4) KUHP mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati. 8. Pasal 444 KUHP mengenai pembajakan di laut, da pesisir dan

di sungai yang mengakibatkan kematian.

9. Pasal 479k ayat (2) KUHP mengenai perampasan atau pembajakan dengan kekerasan dan menyebabkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara dengan melanggar ketentuan Pasal 479i dan Pasal 479j.

10. Pasal 479o ayat (2) mengenai perbuatan yang dilakukan berdasarkan Pasal 479i, Pasal 479m dan Pasal 479n sehingga menyebabkan kematian seseorang atau hancurnya pesawat udara.

Kemudian pengaturan mengenai pidana mati juga tertuang di berbagai undang-undang di luar KUHP, beberapa diantaranya adalah:

1. Undang-Undang No. 2 (Pnps) Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969.

2. Pasal per pasal dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, diantaranya:

a. Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi:

(10)

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

b. Pasal 114 ayat (2) yang berbunyi:

“Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

c. Pasal 116 ayat (2) yang berbunyi:

“Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

d. Pasal 118 ayat (2) yang berbunyi:

“Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

e. Pasal 119 ayat (2) yang berbunyi:

(11)

(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

f. Pasal 121 ayat (2) yang berbunyi:

“Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan oranglain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkannorang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan palinglama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).”

g. Pasal 133 ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).”

3. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

(12)

Terorisme yang diantara pasal-pasalnya mengancamkan pidana mati, yaitu:

a. Pasal 6 yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

b. Pasal 9 yang berbunyi:

“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

c. Pasal 10 yang berbunyi:

“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.”

(13)

“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.”

e. Pasal 15 yang berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.”

f. Pasal 16 yang berbunyi:

“Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.”

g. Pasal 19 yang berbunyi:

“Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.”

(14)

perbuatan itu dapat dijatuhi pidana yang diancamkan sesuai dengan isi pasal yang dilanggar.

Diadopsinya pidana mati dalam beberapa pasal yang terdapat dalam beberapa undang-undang tersebut tentu saja secara tegas ingin menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak ingin melepaskan dan menghapuskan pidana mati untuk memidana pelaku tindak pidana yang sangat membahayakan dan berdampak sistematis terhadap kehidupan korban. Seperti yang katakan oleh Oemar Senoadji bahwa selama negara masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal prikemanusiaan, maka negara masih memerlukan pidana mati.11

B. Penerapan Sanksi Pidana Mati di Indonesia

Pelaksanaan pidana mati yang telah dilegitimasi dalam berbagai aturan dalam hukum positif Indonesia sudah acapkali diterapkan. Penerapan sanksi pidana mati ditujukan pada tindak pidana khusus yang sifatnya menyebar dan meluas. Pidana mati yang menjadi sorotan masyarakat internasional hanyalah pada kasus-kasus yang sifatnya lintas negara (transnational crime). Salah satu contoh kasus yang menjadi penerapan sanksi pidana mati adalah kasus “bali nine”. Kasus “bali nine” merupakan kasus penyelundupan narkoba 8,2 kg dari Australia ke Indonesia dengan dinahkodai oleh Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Mereka divonis hukuman mati pada tanggal 14 Februari 2006 oleh Pengadilan Negeri Denpasar.

Berdasarkan hierarki kejahatan internasional yang didasarkan atas 281 Konvensi Internasional Tahun 1918, penyelundupan narkotika termasuk dalam international delicts (tindak pidana internasional) karena berkaitan dengan kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih

(15)

dari satu negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal lebih dari satu negara.12

Dilihat dari kasus “bali nine”, penyelundupan narkotika termasuk dalam karakteristik kejahatan internasional secara materiil. Ini dikarenakan kejahatan tersebut merupakan kejahatan lintas batas teritorial suatu negara dan kejahatan tersebut telah dikualifikasikan dalam konvensi internasional.13 Sehingga berdasarkan prinsip universal, pelaku kejahatan

dapat dihukum berdasarkan hukum positif nasional.14

Prinsip universal ini juga didukung oleh asas aut dedere aut judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban menuntut dan mengadili pelaku kejahatan internasional serta berkewajiban melakukan kerja sama dengan negara lain dalam rangka menahan, menuntut, dan mengadili pelaku kejahatan internasional.15 Pelaku kejahatan internasional

diadili berdsarkan hukum di tempat ia melakukan kejahatan (locus delicti) yang berdasarkan asas aut dedere aut punere.16 Berlandaskan atas

asas-asas yang telah disebutkan maka menjadi hak sepenuhnya pemerintah Indonesia untuk menerapkan hukum nasionalnya.

Penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan terutama dalam kasus “bali nine” juga didasarkan atas asas legalitas hukum nasional yang dicantumkan dalam Pasal 1 KUHP Indonesia dan asas teritorial yang dicantumkan dalam Pasal 2 KUHP Indonesia. Legitimasi pidana mati dalam perundang-undangan mempertegas bahwa tidak ada celah untuk menyurutkan eksistensi pidana mati agar tetap diterapkan dalam tindak pidana tertentu.

Pertanggungjawaban pelaku yang pada akhirnya menerima ancaman pidana mati didasari atas adanya kehendak dan mengetahui (willen en wetens) bahwa pelaku menghendaki akibat dari tindak pidana dan mengetahui apakah tindak pidana tersbut dapat dilaksanakan atau

12 Eddy OS Hiariej, Op. Cit, Hlm. 57. 13Ibid, Hlm. 54.

14Ibid.

(16)

tidak.17 Oleh karena itu, dengan adanya kehendak dan pengetahuan

tersebut, unsur kesengajaan terpenuhi sehingga kesalahan yang dilakukan pelaku kejahatan dapat dimintai pertanggungjawaban.18 Sekalipun

ancaman pidana mati melanggar hak-hak individu pelaku, perbuatan yang telah dilakukan merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat secara luas dan sangat merugikan secara sistemis sehingga sangat perlu sanksi pidana yang setimpal atas perbuatannya yang ditujukan pada pelaku dan calon pelaku.19

C. Beberapa Pendapat Terhadap Pro dan Kontra Pidana Mati

Hadirnya pidana mati tentu saja mendattangkan perdebatan panjang antar pendukung dan penolak sanksi ini. Penolakan sanksi pidana mati ini bagi sebagian kalangan dianggap sangat bertentangan dengan aliran modern pemidanaan.

Cesarie Beccaria memandang bahwa pidana mati itu hanya menyia-nyiakan sumber daya manusia yang merupakan modal utama bagi negara karena alasan utama penjatuhan pidana adalah untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, pidana mati hanyalah akan membangun sentimen moral.20

Jeremy Bentham memberikan pandangan bahwa pemidanaan itu bersifat memperbaiki dan digunakan bukan untuk pembalasan pelaku melainkan untuk mencegah kejahatan.21

Selanjutnya dalam pandangan Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pemidanaan itu bertujuan untuk memperahankan kelestarian hidup besrsama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan sekaligus sebagai

17 Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 118.

18 Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 155. 19 Muladi et al, Op. Cit, Hlm. 27.

(17)

penentuan hukum yang merupakan koreksi dari reaksi atas sesuatu yang bersifat hukum.22

J. E. Sahetapy berpandangan bahwa tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata untuk oenderitaan agar pelaku menjadi jera dan merasa menderita akibat perbuatannya yang dibalaskan melainkan derita itu harus sebagai obat untuk pelaku bertobat.23 Dalam hal ini merupakan beliau

menggunakan paham determinisme yang berarti bahwa perbuatan jahat seseorang bukan karena keinginannya melainkan adanya faktor luar yang mempengaruh dan mendukung perbuatan it dilakukan.

Flinterman, anggota Komite HAM asal Belanda menyampaikan ketidaksetujuannnya terhadap pidana mati karena Komite HAM PBB menganggap kejahatan narkotika tak termasuk kejahatan serius. Meskipun Kovenan Sipol memang tidak melarang praktik hukuman mati masih diterapkan oleh negara pihak tapi syarat-syaratnya ketat. Diantaranya, hukuman mati hanya untuk kejahatan yang tergolong serius.24

Anggota Komite HAM PBB asal Kosta Rika, Victor Manuel Rodriguez, menegaskan secara umum lembaga HAM internasional memandang kejahatan narkotika bukan kejahatan serius. Kejahatan narkotika lebih disepakati sebagai masalah besar yang perlu diselesaikan dengan solusi yang besar dan komprehensif. Sehingga tidak tepat jika hukuman mati dianggap sebagai solusi dalam memberantas kejahatan narkotika. Butuh perbaikan menyeluruh dan meliputi berbagai bidang seperti akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak.25

Dapat diihat bahwa munculnya pandangan yang menentang keberadaan pidana mati itu hanya didasarkan pada anutan teori pemidanaan modern dan gabungan yang memberikan pandangan bahwa tujuan pemidanaan itu hanya bersifat rehabilitasi dan reintegrasi sosial demi mengembalikan keseimbangan.

22Ibid, Hlm. 22. 23Ibid, Hlm. 23.

24 Ady, 2015, Komite Ham Pbb Sesalkan Rencana Eksekusi Mati, diakses di laman www.hukumonline.com pada tanggal 20 April 2015.

(18)

Urgensitas sanksi pidana mati diperkuat oleh putusan yurisprudensi (Mahkamah Konstitusi) dalam putusannya menyatakan hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, hak asasi yang dijamin dalam pasal 28A hingga 28I UUD 1945 sudah dikunci oleh pasal 28J yang berfungsi sebagai batasan. Hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, hak asasi manusia harus dibatasi melalui instrumen Undang-Undang.26

Makamah Konstitusi menyatakan bahwa semua jenis kejahatan dan kualitas kejahatan tidak dapat disamaratakan karena dasar filosofinya bahwa tindakan (treatment) berupa rehabilitasi, reintegrasi sosial (resosialsiasi) hanya berlaku pada kejahatan-kejahatan tertentu dengan kualitas tertentu.27 Mahkamah Konstitusi berpendapat lagi bahwa

Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati karena dalam pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.28

Pendapat lain mengatakan bahwa kejahatan itu menghendaki adanya pembalasan, bila seseorang itu telah mencederai hak-hak individu lain dan tidak menunjukkan rasa bersalahnya, maka negara berhak dan berkewajiban untuk melenyapkan dia dari masyarakat.29

26 Putusan MK, 2007, Terikat Konvensi Internasional Hukuman Mati Mesti Jalan Terus, diakses pada laman www.hukumonline.com pada tanggal 20 April 2015.

27Ibid. 28Ibid.

(19)

Lambroso berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan invidu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.30

Hartawi A.M mengemukakan bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu social defence yang artinya bahwa pidana mati itu merupakan perlindungan sosial untuk menhindarkan masyarakat calon korban dari ancaman bahaya yang dapat mengakibatkan kesengsaraan dan menganggu ketertiban serta keamanan masyarakat pada umumnya.31

Berdasarkan pandangan teori absolut yang dikemukan oleh Johan Adenanes, tujuan pemidanaan adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan.32 Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kenapa orang yang melakukan kejahatan sehingga dasar pembenaran dari pidana terletak pada perbuatan itu sendiri.33

John Kaplan adalah penganut teori retributif yang memandang bahwa tujuan pemidanaan itu terbagi atas pembalasan dan penebusan dosa yang artinya adalah pemidanaan itu harus berorientasi pada kualitas tindak pidana yang telah dilakukan.34 Pemidanaan itu tergantung atas

kesepadanan kesalahan pelaku.35

Berdasarkan beberapa pandangan dan teori pemidanaan tersebut dapat disempitkan bahwa tujuan dari pemidanaan itu mutlak sebuah pembalasan, hanya saja orientasi pembalasan itu haruslah sepadan atau berimbang dengan kualitas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan tertentu. Tindak pidana tertentu yang memberikan ancaman besar yang tersistematis dan berkepanjangan terhadap masyarakat secara luas dangat tentu juga harus dibarengi pemidanaan dengan kualitas tertentu pula. Jika perbuatan itu melanggar ketetuan hukum positif mengenai ancaman pidana mati, sudah sewajarnya sanksi

30Ibid.

31 Hartawi A. M, dalam Andi Hamzah, Ibid, Hlm. 30. 32 Muladi et al, Op. Cit, Hlm. 11.

33Ibid.

(20)

yang diberikan itu adalah pidana mati sebagai sanksi alternatif yang berat dan melalui pertimbangan yang cermat tentunya.

D. Urgensitas Sanksi Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati sebagai pidana pokok dalam KUHP dan sebagai sanksi pidana dengan ancaman terberat di luar KUHP memiliki posisi yang vital. Kepentingan pidana mati dalam memberikan efek jera dan pencegahan terhadap kejahatan berdampak signifikan meskipun tidak secara menyeluruh. Pidana mati tidak dapat ditolak dan dihapuskan dalam hierarki jenis-jenis sanksi pidana.

Telah disebutkan bahwa penjatuhan sanksi pidana mati memiliki alasan yang jelas. Pidana mati tidak serta merta dijatuhkan pada semua tindak pidana. Hanya pada tindak pidana jenis tertentu yang dalam hukum positif Indonesia mengkategorikan sebagai tindak pidana luar biasa karena dapat memberikan dampak yang berkepanjangan, sistemik dan massive. Sehingga sewajarnyalah jika tindak pidana dengan kualitas tertentu (tindak pidana luar biasa) harus dijatuhi sanksi pidana tertentu pula (pelakuan yang luar biasa).

Bukan permasalahan pidana mati itu melenyapkan hak asasi dari pelaku, tetapi harus dilihat pula dampak yang ditimbulkan oleh pelaku yang mencederai hak-hak individu banyak orang. Oleh karena itu, pembatasan hak dengan adanya instrumen pidana mati ditujukan untuk melindungi hak-hak individu calon korban tersebut.

(21)

caranya adalah menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Efektif dan maksimal telah disebutkan bahwa tindak pidana luar biasa haruslah mendapat perlakuan luar biasa (khusus).

Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius (luar biasa), Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Protokol Opsional Kedua Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik Untuk Penghapusan Hukuman Mati (ICCPR) karena dalam pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.

Perlu diingat bahwa prinsip universal dalam hukum internasional yang dikemukan dalam pembahasan sebelumnya menyatakan bahwa hukum nasional dapat mengadili pelaku tindak pidana yang berskala internasional selama hukum positif nasional mengatur mengenai tindak pidana tersebut. Meskipun pada perjanjian internasional memiliki sifat yang mengikat layaknya undang-undang (asas pacta sunt servanda) bagi negara yang ikut serta dalam perjanjian, namunhal tersebut tidak menundukkan konstitusi sebagai hierarki perundang-undangan tertinggi dalam sistem hukum Indonesia dibawahi oleh perjanjian internasional.

Tujuan pemidanaan yang hanya berorientasi pembalasan tidak dapat disalahkan karena pembenaran terhadap perbuatan yang telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, perbuatan itu tentu saja harus dibarengi dengan sanksi yang luar biasa pula namun dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang cermat sebelum menjatuhkan sanksi pidana mati tersebut.

(22)

KESIMPULAN

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah dan Sumangelipu, 1985, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta

Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika.

Eddy Os Hiariej, 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Erlangga.

J. E. Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV. Rajawali.

Jan Rammelink, 2003, Hukum Pidana (Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implemntasinya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.

Oentoeng Wahjoe, 2010, Hukum Pidana Internasional (Perkembangan Tindak Pidana Internasional & Proses Penegakannya), Jakarta: Erlangga.

Romli Atmasasmita, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV. Utomo.

Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

(24)

Ady, 2015, Komite Ham Pbb Sesalkan Rencana Eksekusi Mati, diakses di laman www.hukumonline.com.

Ayub Tory S. K., 2002, Hukuman Mati Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia Internasional, Diakses di Laman www.ayub.staff.hukum.uns.ac.id

Putusan MK, 2007, Terikat Konvensi Internasional Hukuman Mati Mesti Jalan Terus, diakses pada laman www.hukumonline.com pada tanggal 20 April 2015.

Qur’anul Hidayat, 2015, 133 Terpidana Mati Belum Dieksekusi, Diakses di Laman news.okezone.com.

Referensi

Dokumen terkait

PELAKSANAAN TERHADAP PENJATUHAN SANKSI PIDANA MATI UNTUK PELAKU TINDAK

Akibat Tindak Pidana Terorisme dan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Terorisme ………. Akibat yang Ditimbulkan oleh Tindak Pidana

31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat adanya ancaman pidana hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi pada kondisi

Dalam kedua jenis hukum tersebut memberikan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan sama-sama dalam jenis pembunuhan yang dilakukan secara

Diharapkan dengan pidana mati yang dijatuhkan bagi para pelaku tindak pidana narkotika dapat memberantas peredaran narkotika di Indonesia, mengingat pidana penjara sudah tidak

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, 2) hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak, 3) setiap

Menurut penulis pidana mati itu dijatuhkan pada pelaku yang telah melakukan kejahatan yang sangat keji dan sangat merugikan korban, tidak ada hukuman lain yang

eksekutor, maka hukuman mati dapat diambil sebagai kebijakan yang efektif menghilangkan sebagian ancaman teror dan penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana