MATI LAZIM
Anthony Hope
Mati Lazim
Diterjemahkan dari: La Mort À La Mode karangan Anthony Hope
terbit tahun 1907
(Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah : Ilunga d’Uzak Penyunting : Kalima Insani Penyelaras akhir : Bared Lukaku Penata sampul : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA
Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351
SMS : 0853 1179 4533
Surel : relift.media@gmail.com Situs : reliftmedia.com
Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2016 Revisi terakhir: Juni 2017
Copyright © 2016 CV. RELIFT
Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati,
peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT:
Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan
Monsieur Le Duc & Madame La Marquise
Gerobak tumbril1 menjadi yang terakhir dari deretan gerobak. Sebagian meninggalkan gerbang Conciergerie, sebagian tetap di situ. Yang lain-lain penuh, sementara di dalam sini Duc sendirian. Di awal percakapan ini tumbril tak bergerak, lalu ia bergulir pelan, dikawal Garda Nasional menerobos kerumunan kisruh menuju tempat tujuannya di Place Louis Quinze (Place de la Revolution). Waktu kejadian adalah tengah hari cerah di masa Pemerintahan Teror.
Duc: Sendirian! Aku memang mujur sampai akhir. Padahal
mereka berdempetan seperti ikan dalam ember—dan kebetulan setiap orang bersebelahan dengan musuh berat-nya, atau paling tidak dengan suami sahabatnya! Para bajingan ini tak punya perhitungan. Ah, ada yang datang! Biar bagaimanapun aku pasti dapat teman. Perempuan juga —sial! (Seorang nyonya dibantu masuk tumbril. Duc bangkit,
membungkuk, dan kaget.) Marquise! (Nyonya itu merosot ke bangku.) Kau di sini! (Dia menghirup tembakau dan meng-gumam.) Buruk sekali! (Jeda dan menggumam lagi.) Bahkan
dirinya! Terkutuk anjing-anjing itu!
Marquise: Aku—aku dengar kau kabur.
Duc: Ah, madame, aku tak berhak lagi mengharap keadilan
darimu—hanya kemurahan. Lalu—maaf—Tn. Marquis?
Marquise: Dia—dia sudah pergi—
Duc: Ah ya, ya. Dia mendahului kita? Aku ingat sekarang. Ehm
—aku turut berdukacita, Marquise. Tapi atas alasan apa kau —?
Marquise: Mereka bilang, sebagai isterinya, aku terlibat dalam
rencananya dan dipercaya olehnya.
Duc: Sempit sekali dunia mereka! (Tersenyum.) Sebagai
isteri-nya—dipercaya olehnya! Naif betul bangsat-bangsat itu! (Menatapnya.). Kurasa keberadaanku tidak menguntungkan.
Marquise: Tidak juga. (Dia mengulurkan sebuah kotak perak
kecil.) Maukah kau pegangkan untukku? (Duc mengambil-nya.) Kau boleh lihat. (Membukanya, Duc menemukan gincu pipi dan bantalan pemulas. Marquise tersenyum tipis.)
Duc: (Menutup kotak.) Demi kehormatanku, kau tak butuh ini
pagi ini. Pipimu menampakkan gelora paling mempesona. Ah, kita jalan. (Marquise kaget.) Ya, ya, memang bergoyang keras. Tapi takkan kujatuhkan gincu ini.
Marquise: Apa ini akan lama?
Duc: Ini? (Mengangkat bahu.) Oh, sebentar saja—sebentar saja! Marquise: Bukan, bukan—maksudku perjalanannya.
Duc: Ah, perjalanannya! Akan terasa pendek sekarang. Sebelum
kau datang, aku takut bosan—meski kerumunan itu cukup menghibur. Lihat pria itu! Kenapa dia mengacungkan tinju ke arahku? Dia bukan rumpunku, bahkan bukan dari provinsiku. (Tersenyum pada kerumunan dan duduk di
samping Marquise.) Kau agak pendiam. Ah, aku ingat, aku
ingat sekarang! Waktu kita berpisah terakhir kali, kau bersumpah takkan pernah menyapaku lagi.
Marquise: Harusnya.
Duc: Hal-hal yang kita pikir tak seharusnya dilakukan
mencakup semua hal paling menyenangkan.
Marquise: Kau menyanjung dirimu sendiri, monsieur. Aku
serius dengan ucapanku waktu itu, tapi zaman berubah.
Duc: Keyakinan, ya! Zaman, lebih dari aku.
Marquise: Lebih darimu? Ah, zaman berubah-ubah!
Duc: Dan perubahannya lebih menyengsarakan daripada
perubahanku.
Marquise: Oh, soal kesengsaraan—! Kelancanganmulah yang
kusesalkan, lebih dari rasa kehilanganku.
—
Marquise: (Berbisik.) Serong?
Duc: (Berbisik.) Hina, madame. (Marquise menatapnya sesaat
dan mendesah. Duc tersenyum dan hendak bicara ketika sorakan keras terdengar dari arah Place Louis Quinze. Marquise kaget, agak pucat, dan tanpa sengaja mengulurkan tangan kepadanya.)
Marquise: Ada apa barusan? Apa yang terjadi?
Duc: Oh, mereka geger! Sejujurnya, Marquise, sudah lama aku
ingin—
Marquise: Bukan, bukan—sorakan apa itu?
Duc: Well—ehm—kurasa kawan pertama kita sudah datang. Marquise: (Berbisik.) Datang! (Duc tersenyum, meraih dan
mencium tangannya, lalu menyodorkan kotak gincu dengan kesan mengolok.) Tidak, tidak—aku tak mau.
Duc: Ah, ya! Kita tak butuh itu. Biar kuhadirkan rona pada
pipimu. Suatu ketika aku—well, setidaknya aku pernah di sana saat itu terjadi. Ah, itu terjadi sekarang! Dengarkan aku. Sudah lama aku ingin—
Marquise: Menjelaskan?
Duc: (Tersenyum.) Ah, kau selalu agak—agak—cerewet. Tidak,
tidak, tak ada yang bisa menjelaskan ini. Aku cuma ingin— 8
Marquise: Kau tak berani minta maaf!
Duc: Ah, dan kau tak pernah cukup adil terhadap
sopan-santunku yang telah diajarkan sejak kecil. Jangan lagi! Aku ingin terus-terang, aku sudah berbuat kesalahan besar. (Sebuah suara dari kerumunan berteriak, “Enyahlah ke
neraka!” Duc tertawa.) Hak prerogatif Gereja mengikuti hak
prerogatif Raja! Ah, well! Kesalahan dahsyat, Marquise.
Marquise: (Pelan, tapi antusias.) Kau curiga aku—? Itukah
sebabnya kau—?
Duc: Tidak. Aku curiga dengan perempuan itu. Marquise: Dia? Tapi atas tuduhan apa?
Duc: Kecerdikan, madame, dan kecantikan. Aku sangat tak adil. Marquise: (Tersenyum.) Dan kiranya bukan atas satu hal lain—
di mana kau juga tak adil?
Duc: (Menatapnya sesaat lalu tersenyum.) Bukan, bukan—demi
kehormatanku, aku tidak ditolak.
Marquise: Oh, tidak ditolak! (Dia berpaling.) Duc: Haruskah kuceritakan alasannya?
Marquise: Tak bolehkah aku—minimal—menebak alasannya? Duc: Sekurangnya kau boleh menebak. Aku tidak minta,
Marquise.
Duc: Sumpah, tidak. Kau mau tanya kenapa tidak?
Marquise: Kenapa tidak, memangnya? Kau tidak seperti
biasa-nya, monsieur.
Duc: Aku memikirkanmu—makanya, dengarkan aku, itu jadi
mustahil. Saat ini citramu— (Terdengar sorakan keras lain.) Ehm, mereka tak bosan-bosan rupanya. (Dia melirik
Mar-quise, tapi Marquise tidak memperhatikan sorakan itu. Duc meraih tangannya dan diremas lemah-lembut.)
Marquise: Masa? Lebih baik katakan yang sebenarnya
sekarang.
Duc: Sekarang? (Tertawa.) Ah, ya!
Marquise: Sungguh, betulkah? (Dia menarik tangannya dengan
kasar.)
Duc: Kau tak percaya aku?
Marquise: Ya, aku percaya padamu. Tapi—tapi alangkah
bodohnya kau dulu, monsieur!
Duc: Hah?
Marquise: Alangkah bodohnya kau dulu, monsieur.
Duc: Benar. (Menghirup tembakau.) Benar, demi Tuhan! Aku—
bodoh sekali.
Marquise: Bahwa kau bisa— Duc: Mencintainya?
Marquise: Lupakan aku, monsieur. Celaka, aku kehilangan
semua rasa banggaku akan— (Jeda.)
Duc: Akan—? (Jeda. Mereka tersenyum, terus Marquise tersipu.) Marquise: Akan pujian yang bisa saja kau berikan padaku. Duc: (Dengan lembut.) Kau tak mau memaafkanku? Well, itu
sedang tren! Aku harus mati dua kali hari ini?
Marquise: Dua kali—mati dua kali! (Menatapnya dan sedikit
gemetar.) Aku—aku hampir lupa siapa—di mana kita.
(Terdengar teriakan sengit, kali ini lebih dekat.) Louis, mereka takkan—mereka takkan berbuat lebih buruk selain mem-bunuhku, kan? Kau tak jawab, Louis!
Duc: Ya, ya. Tak usah cemas—tak usah cemas soal itu. Marquise: Tapi kau ragu.
Duc: (Berbisik.) Sekiranya kita harus membahas kematian,
semoga itu kematianku. (Marquise memandangnya sepintas
dan meletakkan tangannya di atas tangan Duc untuk sementara.) Kematianmu terlalu—terlalu— (Tersenyum.) Aku
butuh satu istilah. Well, terlalu tak layak, Marquise sayang.
Marquise: Aku sudah mengakui—dan memaafkan semua
musuhku.
Duc: Apa aku musuhmu? Tak adakah maaf tersisa untuk
tersenyum enggan.) Ah, kita semakin genting! Itu akan jadi
akhir yang buruk.
Marquise: Akhir paling bermartabat!
Duc: Untukku? Oh, oh, Marquise! Mereka akan mengira salah
tangkap orang. Tanganmu agak dingin.
Marquise: (Tertawa gugup.) Well, memangnya kenapa?
Gerobaknya berhenti lagi! Apa kita sudah dekat?
Duc: Di gerbang Place, kukira. (Menatapnya dan buru-buru
menyambung.) Kita pernah berjalan kaki kemari
bersama-sama. Kau ingat? Berdua—begitu sering. (Bangkit.) Maaf— selama wajahmu menghadap ke arah Place, mentari ada di matamu. Tolong duduklah ke arah lain. Lebih enak memandang sungai—lebih sejuk di mata. Kau ingat jalan-jalan kita, Marquise?
Marquise: Tapi kau masih memandang ke arah Place.
Duc: (Tertawa.) Ah ya! Aku tak bisa biarkan anjing-anjing itu
menyebutku tak berani—
Marquise: Berarti mereka mengatakannya untukku, monsieur?
(Dia bangkit dan berdiri di sebelahnya, memandang ke arah
Place, di mana tiang gantungan kini nampak.)
Duc: (Melepas topi dan membungkuk rendah.) Aku minta maaf. Marquise: (Pelan sekali.) Louis sayang, Louis sayang!
Duc: Kukira hidup sudah selesai. Aku keliru untuk keseribu
kalinya!
Marquise: Aku menangis waktu kau—
Duc: Ah, kalau kuminta mereka menyiksaku— Akankah itu
menebus dosaku?
Marquise: Mereka mendapatiku menangis. Bayangkan
peng-hinaan itu!
Duc: Oh, aku harus bicara dengan pendeta—harus! (Marquise
berpaling sambil terisak lalu tertawa megap.) Ya, begitulah
hidup, Marquise tersayang—dan mungkin itu hal lain pula.
Marquise: Aku tak begitu peduli sekarang, Louis.
Duc: Ulurkan tanganmu sebentar. Ya, kini lebih hangat. Dan
gincu itu—ah, madame, sumpah gincu itu berlebihan! Haruskah kita lemparkan ke arah massa! Itu warna kesukaan mereka. Akan kutinggalkan di dalam gerobak—bila mereka saling serang, seorang pahlawan mungkin gembira men-dapatkannya. Margot, Margot sayang, apa kau dingin? Sepertinya lenganmu menggigil saat menyentuhku.
Marquise: (Berbisik.) Tidak. Aku—aku cuma sedikit takut,
Louis.
Duc: Oh, tidak, tidak, tidak—Margot, tidak. Kau dingin. Atau—
katakan itu asyik. Ayolah, Margot, katakan itu!
Marquise: (Mendekat.) Mereka tidak sadar dengan apa yang
mereka perbuat saat mengirimku bersamamu.
Duc: Kebodohan orang-orang itu luar biasa. Marquise: Karena—setiap orang tahu.
Duc: Celaka, aku selalu sembrono! (Terdengar sorakan lagi.
Garda yang bertugas mengawal tumbril berteriak, “Siap? Kita yang terakhir.”) Hmm! Untuk hari ini, kurasa dia serius! (Dia menatap Marquise; bibir Marquise bergerak. Dia melepas topi dan berdiri telanjang kepala. Pergerakan bibir Marquise berhenti, kemudian dia menoleh padanya. Duc tersenyum.)
Kurasa kau perlu sedikit berdoa.
Marquise: Kau mengatakan itu? Kau?
Duc: Ya, aku mengatakan itu, Margot. (Mereka sudah sampai di
kaki tiang gantungan.) Adapun aku—well, aku selalu ikut tren
—dan sekarang ini doa tidak tren. Aku tersengat oleh Tn. Voltaire. Ngomong-ngomong, mungkin dia ada kaitannya dengan ini—dan kita menjadikannya tren! Betapa ganjil! (Garda Nasional berputar dan mengarahkan telunjuknya ke
tiang gantungan.) Apa? Oh, siap, monsieur. (Dia berpaling kepada Marquise, tersenyum.) Aku harus meninggalkanmu—
kali ini dalam cinta.
Marquise: (Mengulurkan kedua tangan.) Biarkan aku lebih dulu. Duc: Demi jiwaku, aku tak sanggup! (Dengan lembut.) Jalannya
gelap, biar kutuntun kau.
Marquise: Louis, Louis!
Duc: Sekarang—sekarang lihatlah ke sungai. Tolong—lihatlah
ke sungai! Aku ingin kau mengenangku dalam keadaan terbaikku. Dan—Margot—kau tak—tak butuh gincu pipi. Tanganmu hangat—masih hangat.
Marquise: (Penuh emosi.) Aku akan pergi lebih dulu. Aku—aku
tak sanggup melihatmu—aku akan pergi lebih dulu.
Duc: Kehendakmu adalah undang-undangku, selalu. (Marquise
berputar untuk turun.) Senang rasanya datang bersamamu.
Marquise: Lebih ringan rasanya datang bersamamu. Duc: Kau memaafkanku, Margot?
Marquise: Louis, Louis sayang! (Duc menarik tangan Marquise
ke bibirnya. Marquise pergi. Duc berdiri telanjang kepala, menghadap tiang gantungan selagi Marquise sengsara. Lalu dia memakai topi dan menaiki tiang gantungan. Mereka membawanya melewati keranjang berisi kepala Marquise. Seorang pendeta mengangkat salib di hadapannya. Dia kaget dan membungkuk kepada sang pendeta.)
dengan berani, kan? Apa? Pikirkan bagaimana kami hidup seperti halnya bagaimana kami mati? Ya, ya; paling tepat dan—ehm—pantas. Mati penuh sesal? Ah ya, ya. Maafkan aku—aku bukan penguasa zamanku. (Dia membungkuk dan
berbalik kepada algojo dan para asistennya.) Jangan buat aku
menunggu. Keinginanku adalah menyusul Madame la Marquise. Apa? “Wanita itu mati dengan baik!” Tuhan selamatkan kami—wanita itu! Well, terserah. Haruskah kita katakan— (Dia menempatkan diri di bawah pisau.) Haruskah kita katakan—Margot? Tak ada yang seperti Margot. (Tersenyum, lalu menengadah.) Well? Oh, kau menungguku. Bagus! Tuan-tuan, cepatlah!