2.1 Letak Geografis
Bunyamin Marasabessy (2003:27) Tidore pada abad XII-XVIII merupakan salah satu kerajaan di Maluku Utara yang terletak pada 00-100 lintang utara, 00-280 lintang selatan, dan 127-30 bujur barat wilayah kekuasan meliputi pulau Tidore dan sekitarnya, Halmaherah Tengah termasuk Jazirah Timur Pulau Gebe, gugusan kepulauan Raja Empat daerah Seram timur, wilayah kepala burung dan pantai selatan Irian, Banggai dan Sangihe Talaud.
Selain Kerajaan Tidore pada abad itu, di Maluku Utara terdapat tiga kerajaan lainnya, yaitu Kerajaan Ternate, Jailolo, dan Bacan yang tergabung suatu konfederasi kerajaan Maluku Kie Raha (Empat Pulau dalam suatu genggaman). Kerajaan Maluku Kie Raha yang awalnya hanya meliputi keempat kerajaan itu, dengan kedaulatannya masing-masing, pada masa VOC mengalami perubahan wilayah pemerintahannya.
- Sebelah Utara berbatasan dengan pulau Ternate dan Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat
- Sebelah Timur berbatasn dengan Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur dan Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah
- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan dan Kecamatan Pulau Moti Kota Ternate
- Sebelah Barat berbatasan dengan perairan Maluku Utara
Kota Tidore Kepulauan merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari pulau Tidore dan beberapa pulau kecil dan sebagian daratan pulau Halmahera bagian barat. Pulau Tidore tergolong besar disamping sebagian didaratan pulau Halmahera dan pulau-pulau kecil seperti pulau Maitara, pulau Mare, pulau Filonga, pulau Woda, pulau Raja, pulau Tamen dan pulau Joji.
Secara Administratif, Kota Tidore Kepulauan terdiri dari 5 (lima) Kecamatan dan 20 Kelurahan serta 21 Desa, yang memiliki luas wilayah daratan 9.564,7 KM2 (69,03 %) dan luas lautan 4.293,2 KM2 (30,47 %), yaitu :
1. Kecamatan Tidore dengan jumlah Desa sebanyak 2 desa dan 8 Kelurahan; 2. Kecamatan Tidore Selatan dengan jumlah desa sebanyak 2 desa dan 6
kelurahan
3. kecamatan Tidore Utara dengan jumlah desa sebanyak 2 desa dan 6 kelurahan 4. Kecamatan Oba dengan jumlah desa sebanyak 7 Desa
5. Kecamatan Oba Utara dengan jumlah desa sebanyak 8 Desa 2.2 Perubahan Penduduk Dan Pemukiman
2.2.1 Perubahan Penduduk
Menurut M. Amin Faroek (2005:4) sejak masa VOC telah dibuat perbedaan dikalangan penduduk yaitu :
a. Ordendaner yaitu sebuta para kaula Belanda atau disebut juga Europanen terdiri dari orang-orang Belanda dari Eropa.
b. Ininders yaitu kaula Sultan.
c. Burgers yaitu orang-orang asing yang seperti Cina, Bugis, Makasar, Jawa, dan Melayu.
d. Siaven yaitu para Budak
Keadaan penduduk pada tahun 1797-1805 tidak dapat dipastikan karena, belum ada pendataan (sensus penduduk) pada masa itu. Hal ini disebabkan karena pada masa itu belum suatu lembaga khusus seperti BPS yang bertugas menata semua jumlah penduduk yang ada dalam wilayah tersebut, pendataan mengenai jumlah penduduk (sensus penduduk) mulai dilakukan setelah periode 1805 yakni pada tahun 1834. Berdasarkan hasil pendataan. Rata-rata penduduk Maluku Utara secara umum adalah sekitar 14.556 jiwa. Jumlah penduduk tersebut, terdiri dari penduduk asli Ternate, Tidore, dan orang-orang Belanda yang tinggal di Maluku Utara (orang Asing).
Secara garis besar rata-rata jumlah orang Belanda yang ada di Tidore pada priode 1834 hingga 1842 tidak mencukupi 10% dari jumlah penduduk Tidore secara keseluruhan atau sekitar 1000 jiwa, sedangkan jumlah penduduk Tidore pada periode tersebut hanya 30% dari jumlah penduduk di Maluku Utara (sekitar 14,556 jiwa). Data-data yang akurat tentang persebaran penduduk ini sulit diperoleh akan tetapi secara umum dapat dikemukakan pada tabel berikut:
Tabel 2.2
Keadaan penduduk Maluku Utara Abad XVIII
Tahun Kaula Belanda Kaula Ternate Kaula Tidore Jumlah 1834 1837 1838 1841 1842 2.604 2.604 2.850 3.011 35.000 34.552 34.724 34.726 33.008 16.000 9.620 9.830 10.509 10.802 53.604 46.776 47.404 48.246 43.810 Sumber : Algemeen Versling Ternate tahun 1853 (Dalam Lisna Sarjun 2008:16)
Berdasarkan data pada tabel diatas terlihat bahwa telah terjadi fluktuasi pertumbuhan jumlah penduduk Maluku Utara dari beberapa periode dimana jumlah penduduk Maluku Utara priode 1834 sampai pada 1837 mengalami penururnan jumlah penduduk sebesar 6.380 atau sekitar 12,74%, jumlah penduduk periode 1837 sampai pada 1838 mengalami kenaikan sebanyak 628 jiwa atau sekitar 1,34% dari tahun 1838 sampai 1841 terjadi kenaikan penduduk sebanyak 842 jiwa atau sekitar 1,78% sedangkan jumlah penduduk untuk priode 1841 hingga 1842 mengalami penurunan sebesar 4.436 jiwa atau sekitar 9,19%.
Adapun terjadi fluktuasi jumlah penduduk Maluku Utara dari tahun ketahun, dikarennakan tertutupnya pemasokan makanan dari luar (Halmahera Barat) sehingga rakyat kehabisan makanan dan dapat menimbulkan kelaparan mulai terasa, dan adapun penyebab-penyebab lain, yaitu konflik diantara kolonial Belanda dengan kesultanan Tidore dalam rangka merebut kerajaan Ternate, dengan konflik itulah mengakibatkan korban jiwa semakain bertambah banyak
sehingga jumlah rakyat Tidore, Ternate, dan Kolonial Belanda semakiin berkurang, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa ada dua penyebab fluktuasi jumlah penduduk yaitu: kebutuhan ekonomi dan konflik yang terjadi antara Tidore dan kolonial Belanda. Dapat dilihat tabel jumlah fluktuasi dan jumlah penduduk tersebut diatas.
2.2.2 Pemukiman
Meningkatnya perdagangan rempah-rempah, khususnya cengkeh berimbas pula pada aspek perkembangan pemukiman. Pemukiman merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan kesultanan Tidore, baik yang ada diketinggian/ pegunungan dan yang ada dipesisir pantai. Kedatangan pedang asing memicu makin maraknya pelabuhan, diduga secara sporadis pusat-pusat transaksi juga mulai berkembang di sepanjang pantai Tidore yang letaknya dipantai barat pulau. Lokasi pasar yang ada ditepi mempunyai peranan adanya perdagangan dan ekonomi masyarakat. Hal ini merupakan kegiatan dan kebutuhan masyarakat yang menggambarkan kondisi aktual aktivitas masyarakat yang bercirikan kota. Hanya saja tidak semuanya berkembang dengan baik tergantung situasi geografis yang lebih menguntungkan. Teluk yang dalam dan lebar biasanya lebih mempunyai potensi berkembang.
Diduga pencarian letak yang lebih strategis berdasarkan potensi situasi alam turut mempengaruhi proses perpindahan pusat-pusat kekuasaan Tidore. Berdasarkan sumber sejarah dapat menyebutkan adanya lokasi-lokasi yang menjadi pusat pemukiman Tidore; lokasi kraton sebagai tempat tinggalnya Sultan, konsepnya tentu dibangun dengan cermah yang dapat mempertimbangkan
aspek Religi, aspek Sosial, aspek Politik, aspek Strategis dan Adaptif. Begitupun lokasi Benteng, Masjid, dan tempat penting lain dilingkungan dipusat kekuasaan. Jadi diketahui bahwa penguasa Tidore telah memanfaatkan ruang-ruang disisi barat pulau untuk menempatkan rencana pusat pemerintahannya. Oleh karena itu dikenal dengan bekasnya kadaton Rum, yang sangat mungkin masih dipimpin oleh seorang Kolano. Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Kadaton Mareku yang pernah kedatangan bangsa Spanyol, dan lokasi selanjutnya dikadaton Biji Negara yang terletaknya di Toloa.
Perpindahan kekuasaan yang terakhir yang dilakukan oleh Sultan Syaifudin atau disebut sebagai Jou Kota, perpindahannya keposisi arah timur pulau Tidore di kampung Soasio. Lokasi ini dikenal dengan nama Limau Timore (Kota Matahari Terbit). Pada masa itu Portugis sudah membangun pemukiman dibeberapa lokasi. Ketika belanda mengusir Portugis dari Tidore, maka lokasi Soasio dijadikan lokasi tidak terbatas. Hal ini dapat dilihat sisa pagar-pagar batu yang sangat kokoh untuk perlindungan rumah dan punghuninya. Perubahan yang menonjol ketika terjadinya kedatangan bangsa Belanda dan VOC. Pada masa itu terdapat bangunan-bangunan rumah untuk kebutuhan Belanda, posisi pemukiman dengan pagar-pagar batu alam seperti tembok benteng itu sendiri.
Perkembangan pemukiman juga terkait juga dengan prasarana akses dari pusat ekonomi ke pusat Pemerintahan, pemelihan pemukiman yang berada dibukit yang merupakan masyarakat, petani penghasil Cengkeh, Pala, dan Tanaman lainnya yang tampak juga dengan pertimbangan kelayakan lingkungannya. Begitupun posisi yang disebuah lembah yang memungkinkan
akses menunjukan lokasi ini lebih mudah. Citra kesultanan Tidore tidak hanya dibentuk oleh lingkungan Pulau, Gunung, dan Rempah-rempah, tetapi ada juga sejumlah unsur pemanfaatan ruang yang masih digambarkan tentang adanya benteng, Bukit-bukit, Tanjung, Pelabuhan, Kraton dan Mesjid. Benteng-benteng tersebut yang berlokasinya dibagian perbukitan yang menghadap kearah lautan dan benteng itu dapat dibangun oleh orang Spanyol dan Portugis itu sendiri.
Kalau kedatangan bangsa Belanda tidak membangun Benteng tetapi hanya menggunakan benteng yang telah ada, sedangkan dilihat sisa bangunan kolonial Belanda hanyalah sebuah Rumah Batu yang bercirikan bagunan Indisch dengan ciri tiang pilar. Secara peninggalan fisik yang jelas dapat membuktikan bahwa kejayaan masa lalu Tidore masih dapat dilihat hingga saat skarang. Lokasi bangunan Istana, Masjid Kesultanan, Perkampungan, Perbentengan, hingga rumah-rumah bergaya Eropa masih tersisa di Kota Soasio.
Perlu diketahui pula bahwa Dokumen-dokumen VOC dan Hindia Belanda yang mengungkapkan pemukiman-pemukiman di Maluku Utara dibedakan antara “Negeri” dan dan bagian-bagianya yang disebut sebagai “Kampung”. Negeri yang utama di Tidore adalah Rum dan yang terakhir sampai sekarang adalah di Soasio M. Amin Faroek (2005:5).
Negeri Soasio terdiri dari 18 kampung yang tersebar diluar tembok Kadaton, termasuk dua kampung dari penduduk asli yaitu kampung Cina dan Jawa, masih terdapat empat negeri lainnya dipulau Tidore dengan sejumlah kampung dengan sensus yang dibuat pada tanggal 12 Mei 1807, setelah kolonial
Belanda menguasai Soasio (setelah Sultan Nuku meninggal dunia). Ke empat Negeri ini masing-masing: Negeri jongan jili (Rum) dengan 18 kampung, Negeri Marieko dengan 2 kampung, Negeri Toloa dengan 8 kampung, Negeri Gurabati 9 kampung.
R.Z. Leirissa: 1996 (dalam Amin Faroek 2005:5) sensus pada tanggal 12 Mei 1807, saat itu ke lima Negeri tersebut dihuni sekitar 6.332 jiwa. Jumlah terbesar terdapat di: (1) Negeri Gurabati 2.221 jiwa, (2) Negeri Marieko 943 jiwa, (3) Negeri Soasio 861 jiwa, (4) Negeri Toloa 798 jiwa, (5) Negeri Jongan Jili 474 jiwa. Penduduk Tidore pada dasarnya berkebun dan berdusun untuk mendapatkan bahan makananmeskipun sebagian besar bahan makanan harus didatangkan dari luar pulau Tidore. Selain bertani pada setiap negeri mengerjakan kegiatan ekonomi yang berbeda-beda seperti Negeri Soasio tenunan, Negeri Gurabati melakukan penyedian bahan pangan, Negeri Jongan Jili melakukan perniagaan, Negeri Marieko melakukan kegiatan nelayan, Negeri Toloa melakukan kegiatan pandai besi.
2.3 Sejarah Singkat Tidore
Jauh sebelum Islam membumi di nusantara, Tidore dikenal dengan sebutan Kie Duko (artinya pulau bergunung api), gunung merapi tersebut terdapat dipuncak marijang yang merupakan puncak tertinggi di Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Gunung merapi marijang saat ini tidak lagi termasuk gunung merapi yang aktif, pada era ini, pemimpin tertinggi satu komunitas masyarakat di namai momole. Momole berasal dari bahasa setempat, artinya pria perkasa “Satria” ada beberapa orang momole yang memimpin komunitas-komunitas
tertentu, diantaranya; a) Momole Rabu Hale, b) Momole Jagarora, c) Momole Rato, dan lain-lain.
Kekuasaan para momole hanya sebatas wilayah suku pendukun atau komunitas tertentu maka kadang kala, dalam pencarian legitimasi wilayah yang lebih besar, pertikayan antara momole tidak dapat terelakan. Berkali-kali pertumpahan darah di coba ditengarai sesama mereka, namun selalu saja gagal, seperti perrjanjian Ake Saragi, dan perjanjian Gumira Mabuku. Pertikaian diselesaikan melalui perundingan (menjaga haluan) yang difasilitasi Syek Yakub, salah satu anggota rombongan Ibnu Chardzaba Khalifa Al-Mutawakil dari Bani Abbasiyah dari Irak yang di perkirakan tiba di Tidore pada tahun 232 H, 846 M. Pertemuan Togorebo untuk menjaga haluan ini, dapat menghentikan pertikaiyan antara komunitas, juga melahirka kesepakatan monumental, peralihan nama Kie Duko menjadi Tidore.
Tidore dimaknai dari rangkaian kata To Ado Re”aku telah sampai” dan bahasa Arab dialek Irak Anta Thadore “engkau datang” dikisahkan, tempat pertemuan disepakati yang terletak diatas sebuah batu besar di kaki bukit marijang. Para momole mempertaruhkan kehebatannya dan keahliannya, siapa yang terlebih dahulu sampai di tempat pertemuan. Tidak ada yang menang, dan tidak ada yang kalah dalam ilmu mandraguna.
Di saat satu momole mengirah dialah yang lebih dahulu tiba di togorebo sambil berteriak To Ado Re “aku telah sampai” Momole lain pun berteriak dengan kata yang sama To Ado Re “aku telah sampai” beberapa saat kemudian tiba Syeh Yakub ditempat pertemuan, serta beliau mengujar dengan bahasa arab
Anta Thadore “kau datang” sambil menunjukan kemasing-masing Momole. Tidak akan mengangkat pertarungan, maka disepakati Syeh Yakum sebagai pemimpin pertemuan. Sejak itu, nama Kie Duko berangsur-angsur hilang dari penggunaan masyarakat berganti dengan sebutan Tidore. Perpaduan antara bahasa derah “To Ado Re “dan baha arab dialek Irak “Anta Thadore” Menjadi Tidore.
Keadaan Tidore mulai terkuat sejak Sultan Ciriliyati naik tahta 1495. (penguasa Tidore pertama yang menggunakan gelar Sultan) bersemayam di Gam Tina “Kelurahan Tongowai”. Pada tahun 1512 Sultan Mangsur naik tahta, Ia membuka perkampungan baru sebagai Ibu Kota Kesultanan Tidore di Rum, letak Rum selain berdekatan dengan Ternate, juga diapit oleh tanjung mafugogo dan pulau Maitara.
Tahun 1600, Sultan Mole Majimo alias Alauddin Syah naik tahta, karena alasan Rum sangat berdekatan dengan Ternate yang waktu itu adalah musuh babuyutan Tidore, Dipindah ibu Kota Kesultanan Tidore dari Rum ke Toloa. Alasan kedua, di pedalaman Toloa masih bermukim Kolano Tomabanga (Raja Belantara) atau Kolano Jin ( Raja Jin) yang masih Animis sehingga diperlukan pendekatan khusus dalam penyebaran dakwa Islam. Dalam tataran penyebaran Islam Alauddin berhasil mengislamkan komunitas kolano tomabanga dengan mempersunting salah satu putranya dengan Boki Bola putri kolano tomabanga.
Sepeninggalannya Sultan Alauddin Syah, tapuk Kesultanan Tidore pun silih berganti. Tepat tahun 1600 M. Sultan Saifuddin alias Jou Kota naik tahta, memindahkan Ibu Kota Kesultanan ke Limau Timore “Kawasan Timur” latar belakan perpindahan atas pikiran pertahanan keamanan, yang pada waktu itu
perseteruan Tidore dengan Belanda-Ternate mulai menghangan soal perebutan pulau Makian. Disamping itu pemukiman yang dianggap layak, sebaiknya berhadapan dengan matahari terbit, atau kawasan timur “Limau Timore” Limau Timore kemudian menggantikan namanya menjadi Soa-sio sampai sekarang. (Lisna Sarjun 2008:24)
2.4 Struktur Perekonomian
Di kepulauan Tidore memiliki beberapa potensi yang dapat dihandalkan yaitu :
2.4.1 Potensi perkebunan
Luas areal perkebunan di kepulauan Tidore adalah 35.077 hektar, baru dimanfaatkan sebesar 12.577 hektar atau 35,86 % dengan total produksi 4.713,8 ton/ MP meliputi kelapa 8.557 hektar (produksi 2.715 ton), cengkeh 870 hektar (produksi 554 ton), pala/fuli 674 hektar (produksi 620 ton), cacao 1.729 hektar (produksi 665,8 ton), kopi 575 hektar (produksi 108 ton), dan jambu mete 172 hektar (produksi 50 ton/MP).
Pengembangan areal baru untuk komoditas perkebunan seperti kelapa dalam, kelapa sawit akan terus ditingkatkan. Disamping itu upaya diverisfikasi melalui pengembangan industri kecil dan menengah (UKM) seperti industri arang tempurung 12.100 ton (7,04%) dari total produksi 171.798 ton, sabut 49.790 ton (14,25 %) dari total produksi 349.417 ton dan air kelapa 69.591.600 liter (26,55%) dari totalol produksi 262.062.000 liter.
2.4.2 Kehutanan
Luas area hutan di Provinsi maluku Utara 2.433.535 hektar, dimana 18,950 hektar (1,43 %) berada diwilayah kepulauan Tidore, potensi hutan yang telah dimanfaatkan meliputi comoditi kayu, rotan, damar dan pohon enau (untuk industri gula aren dan gula semut)
2.4.3 Perikanan
Potensi perikanan sangan berfariasi diantaranya terdiri dari ikan pelagis besar (tuna, cakalang, tongkol, cucut dan tanggiri) dan pelagis kecil (kakap merah, lencam, ekor kuning, gulana, gerat-gerat, dan kerapu) serta potensi non ikan (cumi-cumi, teripang, lobster, kepiting, rumput laut dan ubun-ubun). jumlah produksi dengan kekuatan 346 unit armada penangkapan adalah 22. 110,15 ton pertahun.
2.4.4 Potensi pertanian tanaman pangan
Portensi pengelolaan pertanian tanaman pangan oleh 425 kelompok dengan anggota 8.500 orang berkwalifikasi pemula 398 kelompok, kelas lanjut 19 kelompok dan kelas madya 8 kelompok dengan komoditi yang dikembangkan meliputi jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kedele, sayur-sayuran dan buah-buahan yang pengelolanya masih bersifat usaha sampingan dengan luas areal 18.900 hektar, baru tergarap secara optimal 6.317 hektar (33,42%).
2.4.5 Perdagangan
Salah satu faktor tumbuh dan berkembangnya suatu daerah sangat tergantung pada sejauh mana sistim perdagangan yang dilakukan secara efektif,
simultan, kontinyu dalam kehidupan masyarakat di daerah tersebut. Karena sektor perdagangan merupakan salah satu variabel dari proses kegiatan ekonomi yang memiliki peranan Vital yang menghubungkan kelancaran barang dan jasa untuk memenuhi kebutuahn masyarakat melalui kegiatan hukum ekonomi yang berhubungan dengan permintaan dan penawaran. Di kepulauan Tidore sebagaimana juga seperti di daerah lain telah disediakan oleh masyarakat maupun pemerintah tempat perangkat sarana dan prasarana perdagangan yang cukup memadai.
Dilihat dari pandangan informan bahwa sektor perdagangan merupakan sektor andalan bagi pembangunan daerah. Sistim perdagangan yang mulai terbuka dan mulai banyak diminati oleh masyarakat menyebabkan penerimaan (income) bagi masyarakat dan daerah meningkat tajam. Munculnya kaum pemodal dan wiraswastawan daerah memunculkan mobilitas antar sektor dunia bisnis dan pada kenyataan sekarang berdasarkan pengamatan lapangan oleh penulis, dimana pusat atau lokasi perdagangangan disetiap kecamatan sudah mulai tumbuh dengan baik.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kegiatan perdagangan di daerah ini umumnya berpusat di Ibu kota kepulauan Tidore itu sendiri, selain itu terdapat juga pasar yang menjadi pusat ekonomi wilayah sekaligus sebagai pasar tradisional yang berjalan satu atau dua kali dalam seminggu dibeberapa desa pada setiap kecamatan.
Sistem pengelolaan perdagangan umum melalui pola distribusi kebutuhan bahan-bahan primer dan pemasaran hasil produksi olahan diwilayah Tidore masih
bersifat perdagangan perantara antara UKM lokal dengan para distributor di kepulauan Ternate
2.4.6 Potensi Pariwisata
Obyek wisata yang cukup potensial untuk dikembangkan antara lain : 1. Wisata pantai (air panas) didesa Akesahu ,serta wisata pantai dan bahari di
desa Cobo pualu Maitara.
2. Wisata alam di Talaga dan Gurabunga yang berposisis di pegunungan Kie matubu pulau Tidore
2.4.7 Ketersedian Sumber Daya Manusia
Perkembangan suatu daerah terletak dari tiga mata rantai yang saling berhubungan, yaitu Sumber Daya Alama (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Budaya (SDB) yang ada didaerah tersebut. meski demikian yang paling diutamakan adalah mentalitas dari SDM yang tersedia, apakah ketersediaan SDM mampu menopang SDA dan SDB ? jawabannya adalah ya, karena daerah yang kaya akan SDA dan SDB namun tidak mampu dikelola oleh SDM yang matang dan terampil maka degradasi pembangunan akan terjadi.
Faktor utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah kepulauan Tidore bagaimana cara untuk menumbuh dan mengembangkan mentalitas SDM yang matang dan akuntabilitas serta responsif aparat birokrasi yang profesional agar pelayanan yang diberikan bisa berhasil guna dan berdaya guna supaya dirasakan oleh masyarakat umum. Apa yang dialami oleh pemerintah wilayah Tidore dalam menjalankan tugas pokok pemerintahan belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat, dalam hal pembangunan maupun pelayanan yang diberikan.
Hal ini disebabkan karena banyak birokrasi pemerintahan yang mempunyai tingkat pendidikan sekaligus pengetahuan dan ketrampilan kerja masih dibawa standar kebutuhan. Adapun kendala-kendala lain yang sangat berpengaruh terhadap pelayanan adalah permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan organisasi perangkat daerah Tidore adalah volume kerja pada bidang pemerintaha tidak sebanding dengan struktur dan personil kerja atau volume dan beban kerja yang cukup besar, sehingga pelaksanaan tugas pokok mengalami keterlambatan dan cenderung tidak berfungsi.