Vol 01, Ed 2, Maret, 2021
PENERAPAN INSENTIF PPnBM MOBIL DI
TENGAH PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL
Hal. 1
CATATAN KRITIS PENGHAPUSAN PROGRAM
BANTUAN SUBSIDI UPAH (BSU) PADA APBN
2021
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM
Redaktur
Robby Alexander Sirait, S.E., M.E. Damia Liana, S.E.
Nadya Ahda, S.E
Editor
Ervita Luluk Zahara S.E.
Sekretariat
Husnul Latifah, S.Sos. Memed Sobari
Musbiyatun Hilda Piska Randini, S.I.P.
Budget Issue Brief Kesejahteraan Rakyat ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran,Badan Keahlian DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di terbitan ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Badan Keahlian DPR RI.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
1 Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
Melihat penurunan kinerja sektor otomotif, terutama penjualan mobil yang mencapai 50,44% di tahun 2020, pemerintah memutuskan untuk memberikan insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan bermotor dengan skema pajak ditanggung pemerintah (DTP) per Maret 2021 sesuai dengan PMK No.20/PMK.010/2021. Relaksasi PPnBM ini diperuntukkan bagi mobil dengan kriteria mesin di bawah 1.500 cc dan tingkat kandungan komponen dalam negeri di atas 70%. Skema relaksasi PPnBM tersebut akan dilakukan secara bertahap selama 9 bulan dan akan dievaluasi per 3 bulan, yaitu tahap pertama, yang akan diberikan insentif pada Maret-Mei 2021 sebesar 100%, tahap kedua diberikan pada Juni-Agustus 2021 sebesar 50%, dan tahap ketiga diberikan pada September-November 2021 sebesar 25%.
Insentif ini diharapkan mampu menjadi katalis bagi pemulihan ekonomi dengan mendorong konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah atas, serta dapat memberikan dampak pengganda bagi industri otomotif dan industri komponen mobil dalam negeri.
Kinerja PPnBM Selama 2015-2020
Berdasarkan data LKPP 2015-2019, penerimaan negara yang berasal dari PPnBM Dalam Negeri merupakan komposisi terbesar dari PPnBM dan mengalami tren perlambatan sejak tahun 2018-2019 (gambar 1).
Gambar 1. Realisasi PPnBM 2015-2019 (Rp Triliun)
Sumber: LKPP 2015-2019
Demikian juga dengan penerimaan PPnBM Impor, yang pada tahun 2020 juga mengalami tren penurunan (gambar 2). Hal ini disebabkan oleh perlambatan kinerja impor Indonesia sebagai
Komisi XI
PENERAPAN INSENTIF PPnBM MOBIL DI TENGAH PEMULIHAN
EKONOMI NASIONAL
• Melihat penurunan kinerja sektor
industri otomotif, pemerintah
memutuskan memberikan insentif PPnBM mobil baru dengan mesin di bawah 1500 cc dan komponen dalam negeri di atas 70% yang diberikan secara bertahap selama 9 bulan di tahun 2021.
• Periode I (Maret-Mei 2021)
pembebasan PPnBM mobil sebesar 100%; periode II (Juni-Agustus 2021) sebesar 50%; dan periode III
(September-November 2021)
sebesar 25%.
• Tantangan dalam pemberian
insentif pajak PPnBM mobil di
antaranya adalah masyarakat
masih mempertimbangkan belanja kebutuhan primer dan kesehatan dibandingkan barang tersier. Ceruk pasar mobil dengan spesifikasi di
bawah 1.500 cc didominasi
konsumen yang terkena dampak negatif pandemi Covid-19.
• Terdapat potensi hilangnya
penerimaan negara karena
pemberian insentif pajak, sehingga insentif pajak diharapkan dapat dievaluasi pelaksanaannya setiap periode.
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab: Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E
Redaktur: Robby Alexander Sirait · Dwi Resti
Pratiwi· Nadya Ahda· Damia Liana · Ervita Luluk Zahara
Penulis: Hikmatul Fitri & Damia Liana
permintaan impor bahan baku dan barang modal selama pembatasan sosial di tahun 2020.
Gambar 2. Realisasi PPnBM Impor 2020 (Rp Triliun)
Sumber: APBN Kita, 2020
Pro-Kontra Penerapan Kebijakan Insentif PPnBM Mobil
Jika ditinjau dari potensi penerimaan negara, meningkatnya produksi dan permintaan mobil baru karena adanya insentif PPnBM diproyeksi akan menyumbang penerimaan negara sebesar Rp1,62 triliun (Kemenko Perekonomian, 2021). Selain itu, insentif PPnBM mobil diperkirakan dapat menurunkan harga jual mobil hingga 10-20%, sehingga dapat meningkatkan permintaan mobil baru dengan kriteria mesin di bawah 1.500 cc hingga 60-70 ribu unit per bulan dan meningkatkan produksi mobil hingga 81.752 unit. Membaiknya kinerja sektor industri otomotif ini diharapkan dapat memperbaiki pasar tenaga kerja karena industri otomotif merupakan industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja hingga lebih dari 1,5 juta orang.
Namun di sisi lain, penerapan insentif PPnBM juga dinilai sulit untuk meningkatkan penjualan mobil untuk saat ini. Menurut ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, sulit untuk meningkatkan penjualan mobil melalui kebijakan ini karena mobilitas penduduk masih
baru, melainkan lebih kepada kebutuhan belanja kesehatan, makanan-minuman, dan kebutuhan primer lainnya. Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa relaksasi PPnBM belum tentu akan mendorong kenaikan pinjaman kendaraan bermotor. Perbankan dan
leasing sedang menghadapi risiko kredit macet sehingga lebih selektif memilih calon debitur. Sementara itu, menurut pengamat otomotif, Bebin Djuana, mobil dengan spesifikasi di bawah 1.500 cc merupakan ceruk pasar kendaraan dengan rentang harga yang didominasi oleh kelompok konsumen yang terkena dampak negatif pandemi, sehingga pemberian insentif PPnBM mobil ini dinilai tidak akan berdampak terlalu signifikan untuk mendongkrak penjualan mobil baru. Tidak hanya itu, pengamat pajak Tax Research Institute
(TRI), Prianto Budi, juga menjelaskan akan ada dampak negatif lain, seperti menurunnya penjualan mobil di segmen yang berdekatan yang tidak mendapat keringanan PPnBM seperti pasar penjualan mobil bekas. Penurunan penjualan tersebut diproyeksikan akan mencapai 30 persen (INDEF).
Rekomendasi
Melihat masih belum pulihnya daya beli masyarakat, serta preferensi konsumsi masyarakat kepada kebutuhan primer, maka pemerintah dapat mengevaluasi kebijakan insentif di setiap periode pelaksanaan agar diketahui efeknya terhadap perbaikan kinerja industri otomotif dan dampak ikutannya, serta untuk mengetahui minat permintaan masyarakat terhadap pembelian mobil dengan spesifikasi tersebut. Fokus pemerintah terhadap program vaksinasi harus tetap dilanjutkan agar mobilitas masyarakat dapat kembali normal.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
3 Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
Pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) tahun ini dengan tidak menganggarkannya dalam APBN 2021. Sebagai gantinya, pemerintah akan menyalurkan insentif bagi pekerja terdampak pandemi Covid-19 melalui program Kartu Prakerja 2021 yang telah diluncurkan pertama kali pada tahun 2020. Tulisan ini akan mengulas kinerja program BSU di tahun 2020 serta mengkritisi penghapusan BSU dan pengalihannya pada Kartu Prakerja.
Kinerja Program BSU 2020
Bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat pekerja di tengah pandemi Covid-19, BSU dilaksanakan dalam bentuk pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada pekerja dengan gaji/upah di bawah Rp5 juta per bulan yang terdaftar aktif di BPJS Ketenagakerjaan. Program ini disalurkan sejumlah Rp600 ribu per bulan selama 4 bulan (total Rp2,4 juta). Pada tahun 2020, BSU dilaksanakan dalam 2 termin, periode September-Oktober dan November-Desember 2020. Bersumber dari Kementerian Ketenagakerjaan, realisasi anggaran pelaksanaan BSU 2020 adalah sebesar Rp29,44 triliun atau sebesar 98,91 persen dari total pagu anggaran Rp29,77 triliun. Pada termin 1, BSU telah disalurkan kepada 12,29 juta pekerja atau 99,11 persen dari target dengan penggunaan anggaran Rp14,75 triliun. Sementara untuk termin 2, BSU telah diberikan kepada 12,24 juta pekerja atau 98,71 persen dari target dengan penggunaan anggaran Rp14,69 triliun. Secara umum, BSU 2020 telah disalurkan kepada sekitar 12,4 juta pekerja dengan rata-rata gaji/upah Rp3,12 juta per bulan yang terlibat dalam 413,65 ribu perusahaan.
Adapun dalam pelaksanaan program BSU di tahun 2020, masih terdapat kendala yang menjadi tantangan, antara lain masih ada 1-2 persen pekerja yang belum tersalurkan bantuan ini akibat adanya permasalahan data, misalnya, terkait duplikasi data, data yang tidak valid, maupun rekening bank yang pasif. Tidak hanya itu, pada mekanisme pelaksanaannya, terdapat masukan dari banyak pihak, seperti anggota DPR, akademisi/peneliti, maupun serikat pekerja untuk memperluas penerima bantuan kepada sektor informal yang tidak terdaftar BPJS Ketenagakerjaan karena pendapatan kelompok pekerja inilah yang justru terdampak paling parah oleh pandemi Covid-19.
Badan Anggaran
CATATAN KRITIS PENGHAPUSAN PROGRAM BANTUAN SUBSIDI
UPAH (BSU) PADA APBN 2021
• Pemerintah memutuskan untuk
tidak menganggarkan Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) dalam APBN 2021 dan mengalihkannya pada Kartu Prakerja 2021.
• Dengan realisasi anggaran lebih
dari 98 persen, program BSU 2020 telah disalurkan kepada 12,4 juta pekerja.
• Kontraksi pertumbuhan pada
komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga hingga Triwulan
IV-2020 menunjukkan masih
lemahnya daya beli masyarakat.
• Pergeseran prioritas program PEN
2021 pada kelompok 40 persen masyarakat terbawah menjadi tantangan untuk dapat dijawab
melalui implementasi semua
program perlindungan sosial dalam PEN 2021, termasuk di dalamnya adalah Kartu Prakerja.
• Pemerintah harus memperbaiki
seluruh catatan evaluasi Kartu Prakerja 2020, terutama terkait
verifikasi peserta, serta
memastikan seluruh program
perlindungan sosial disalurkan dengan lebih tepat sasaran.
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh,
S.E., M.Si
Redaktur: Robby Alexander Sirait · Dwi Resti
Pratiwi· Nadya Ahda· Damia Liana · Ervita Luluk Zahara
Penulis: Nadya Ahda & Khairina
2021 pada 40 persen masyarakat terbawah terdampak pandemi Covid-19 menjadi salah satu justifikasi penghapusan BSU dalam APBN 2021. Di sisi lain, daya beli rumah tangga secara umum masih relatif lemah dan masih terus membutuhkan stimulus. Hal ini terlihat dari kontraksi pertumbuhan pada komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PK-RT) masih terus berlangsung hingga Triwulan IV-2020 (-3,61 persen, yoy). Oleh karenanya, komitmen pemerintah untuk dapat tetap menjaga daya beli masyarakat rentan terdampak pandemi menjadi tantangan yang besar, terutama setelah program BSU ini dihapuskan. Tantangan ini harus bisa dijawab oleh implementasi semua program perlindungan sosial yang masih dipertahankan dalam program PEN 2021, termasuk di dalamnya adalah Kartu Prakerja, sebagai program yang juga menyasar pada kelompok pekerja sebagaimana program BSU.
Kartu Prakerja pertama kali diinisiasi pada 2020 sebagai program semi bantuan sosial (conditional cash transfer) dengan tujuan mendorong pengembangan kompetensi masyarakat secara umum (upskilling). Namun merespon situasi pandemi saat ini, untuk sementara Kartu Prakerja diprioritaskan bagi mereka yang terdampak pandemi dan belum menerima bantuan sosial lainnya di masa pandemi. Pada tahun 2020, Kartu Prakerja menyalurkan bantuan sebesar Rp3,55 juta dengan rincian insentif pasca pelatihan Rp600 ribu per bulan selama 4 bulan (Rp2,4 juta), insentif untuk biaya pelatihan Rp1 juta, dan insentif pasca survei Rp150 ribu. Meskipun tujuan utama program Kartu Prakerja adalah upskilling, dapat terlihat bahwa program ini juga memberikan insentif pasca pelatihan
dari penghapusan BSU dinilai dapat dialihkan pada Kartu Prakerja karena dianggap memiliki power yang sama terhadap peningkatan daya beli masyarakat. Adapun untuk tahun 2021, Kartu Prakerja akan tetap dilanjutkan dengan pagu anggaran awal Rp10 triliun (definitif) dan direncanakan akan bertambah Rp10 triliun (indikatif).
Berkaca dari pelaksanaan tahun lalu, program Kartu Prakerja masih banyak harus dievaluasi kembali, seperti proses verifikasi peserta yang masih lemah sehingga belum sesuai dengan kelompok masyarakat prioritas yang diekspektasikan, serta rawan conflict of interest. Selain itu, tantangan untuk memastikan adanya link and match
antara materi pelatihan yang tersedia dengan kebutuhan riil pasar tenaga kerja juga masih menjadi pekerjaan rumah.
Menimbang masih perlunya stimulus bagi daya beli masyarakat yang lesu, pemerintah harus memperbaiki seluruh catatan evaluasi dari Kartu Prakerja 2020, terutama terkait dengan proses verifikasi peserta yang masih lemah. Dengan proses verifikasi peserta yang lebih kuat, diharapkan mereka yang menjadi peserta Kartu Prakerja 2021 adalah kelompok masyarakat 40 persen terbawah atau masyarakat yang paling terdampak pandemi, sebagaimana prioritas program PEN 2021.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa seluruh program perlindungan sosial lainnya disalurkan secara lebih tepat sasaran sesuai prioritas agar mampu menopang PK-RT di tahun 2021. Hal ini juga menjadi penting karena penghapusan BSU akan mempengaruhi daya beli masyarakat di tahun 2021, dibandingkan dengan tahun 2020 yang masih ditopang dengan keberadaan BSU.