• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENERAPAN UANG ELEKTRONIK (UNIK) DI JALAN TOL KOTA MAKASSAR. Disusun Dan Diajukan Oleh NUR CAHYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENERAPAN UANG ELEKTRONIK (UNIK) DI JALAN TOL KOTA MAKASSAR. Disusun Dan Diajukan Oleh NUR CAHYA"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENERAPAN UANG ELEKTRONIK (UNIK) DI JALAN TOL KOTA MAKASSAR

Disusun Dan Diajukan Oleh NUR CAHYA

Nomor Stambuk :105640234515

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(2)

ii

PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENERAPAN UANG ELEKTRONIK (UNIK) DI JALAN TOL KOTA MAKASSAR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ilmu Pemerintahan

Disusun dan Diajukan Oleh

Nur Cahya

Nomor Stambuk : 105640234515

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(3)

iii

Judul Skripsi : Proses Collaborative GovernanceDalam Penerapan Uang Elektronik (UNIK) Di Jalan Tol Kota Makassar

Nama Mahasiswa : Nur Cahya Nomor Stambuk : 105640234515 Program Studi : Ilmu Pemerintahan

Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Menyetujui: Pembimbing I

Dr. Hj. Fatmawati, M.Si

Pembimbing II

Rudi Hardi, S.Sos., M.Si

Mengetahui :

Dekan

Fisipol Unismuh Makassar

Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si

Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan

(4)

iv

Telah diterima oleh TIM penguji skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar, berdasarkan surat keputusan/undangan menguji ujian skripsi Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Makassar, nomor : 0083/FSP/A.3-VIII/II/41/2020 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S.1) dalam program studi Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Makassar pada hari Jumat tanggal 14 Februari 2020.

TIM PENILAI

Ketua Sekertaris

Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si Dr.Burhanuddin, S.Sos., M.Si

Penguji :

1. Abdul KadirAdys, SH., MM (Ketua) (………)

2. Dra. Hj. St. Nurmaeta, MM (………)

(5)

v Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Mahasiswa : Nur Cahya Nomor Stambuk : 105640234515 Program Studi : Ilmu Pemerintahan

Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan orang lain atau melakukan plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.

Makassar, 10 November 2019 Yang menyatakan

(6)

v

NUR CAHYA, 2020. Proses Collaborative Governance Dalam Penerapan Uang

Elektronik (UNIK) Di Jalan Tol Kota Makassar.Hj. Fatmawati dan Rudi Hardi

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ProsesCollaborative Governance Dalam Penerapan Uang Elektronik (UNIK) Di Jalan Tol Kota Makassar.Penelitian ini merupakan penelitian jenis kualitatif dengan tipe Fenomenologi.Dimana jenis data terdiri dari data primer yang diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung dilapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari data yang telah dikumpulkan peneliti melalui dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses collaborative governanceyang meliputi kondisi awal dengan adanya peraturan baru dari kementrian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Indonesia sehingga terjadinya proses kolaborasi dari PT Bosowa Marga Nusantara dan Perbankan dalam penerapan uang elektronik di jalan tol kota Makassar. Desain kelembagaandalam penerapan UNIK didalam kolaborasi bahwa Kementrian PUPR sebagai regulator, PT Bosowa Marga Nusantara dan PT Jalan Tol Seksi Empat sebagai pelayanan operasional dan penyedia infrastruktur, Perbankan dari bank BRI sebagai penerbit kartu UNIK yaitu BRIZZI. Kepemimpinan dari PT Bosowa Marga Nusantara, PT Jalan tol seksi empat dan bank BRI sudah berjalan dengan maksimal, masing-masing dari pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab dalam menjalankan kolaborasi. Proses kolaboratif yang diawali dialog tatap muka antara pihak PT Bosowa Marga Nusantara dan PT jalan tol seksi empat serta perbankan sudah beberapa kali dilakukan mengenai penerapan uang elektronik.

Kata kunci :Collaborative Governance, Uang Elektronik

(7)

vi

melimpahkan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Proses collaborative governance Dalam Penerapan Uang Elektronik (UNIK) Di Jalan tol Kota Makassar”.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

Pada lembaran ini penulis hendak menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua saya, ibunda Hj. Andi Ukka dan ayahanda H. Dangkang atas segala kasih sayang, cinta, pengorbanan serta do’a yang tulus dan ikhlas yang senantiasa beliau panjatkan kepada Allah SWT sehingga menjadi pelita terang dan semangat yang luar biasa bagi penulis dalam menggapai cita-cita, serta seluruh keluarga besar penulis yang selalu memberi semangat dan dukungan disertai segala pengorbanan yang tulus dan ikhlas. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat, ibu Hj. Fatmawati, M.Si selaku pembimbing I dan Rudi Hardi, S.Sos., M.Si, selaku pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu dan tenaganya dalam membimbing dan memberikan petunjuk yang begitu berharga dari awal persiapan penelitian hingga selesainya skripsi ini.

(8)

vii

1. Bapak Prof. Dr. H. Abd Rahman Rahim, S.E, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Ibu Dr. Ihyani Malik, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

3. Ibu Dr. Nuryanti Mustari, S. IP., M. Si selaku Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan yang selama ini turut membantu dalam kelengkapan berkas hal-hal yang berhubungan administrasi perkuliahan dan kegiatan akademik.

4. Bapak dan Ibu dosen Ilmu Pemerintahan yang telah menyumbangkan ilmunya kepada penulis selama mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan dan seluruh staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah banyak membantu penulis.

5. Pihak Kantor PT Bosowa Marga Nusantara dan PT Jalan Tol Seksi Empat yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

6. Kepada seluruh keluarga besar fisipol Universitas Muhammadiyah Makassar, terutama kepada satu angkatan 2015 Ilmu Pemerintahan terkhusus kelas G,.Baso,Janwar, Rifki, Ardi, Mutmainnah, Ayu, Egha, Nunu, Riska, Dewi, Dillah, Elma, Kiki, Fatma, Fahrun, Iramalita, Asti dan teman-teman kelas ku yang tidak bisa saya sebutkan semua namanya.

Sehubungan akhir tulisan ini penulis memohon maaf kepada semua pihak atas segala kekurangan dan kehilafan, disadari maupun yang tidak disadari.Demi

(9)

viii

harapkan. Semoga karya skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang membutuhkan.

Makassar, 25 Desember 2019

Nur Cahya

(10)

ix ... ii Halaman Persetujuan ... iii

Halaman Penerimaan Tim

... iv

Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah

... v Abstrak ... vi Kata Pengantar ... vii Daftar Isi ... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 5 C. Tujuan Penelitian ... 5 D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Collaborative Governance ... 7

(11)

x ... 23 C. Penelitian terdahulu ... 26 D. Kerangka Pikir ... 28 E. Fokus Penelitian ... 29

F. Deskripsi Fokus Penelitian

... 29

BAB III METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

... 31

B. Jenis Dan Tipe Penelitian

... 31 C. Sumber Data ... 32 D. Informan Penelitian ... 32

E. Teknik Pengumpulan Data

... 33

F. Teknik Analisis Data

... 33

G. Keabsahan Data

... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Objek Penelitian ... 38

(12)

xi

Elektronik (Unik) Di Jalan Tol Kota Makassar ... 48

C. Faktor Pendukung Dan Penghambat ProsesCollaborative Governance Dalam Penerapan Uang Elektronik (Unik) Di Jalan Tol

Kota Makassar ... 61 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN-LAMIPIRAN

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan pesat teknologi selama beberapa tahun terakhir memberikan perubahan pada seluruh aspek kehidupan serta perilaku masyarakat dalam hal apapun selalu menginginkan kecepatan, ketepatan dan efisiensi, termasuk tuntutan sebuah sistem pembayaran secara langsung atau instan. Perkembangan sistem pembayaran yang terjadi kemudian tidak terlepas dari semakin besarnya volume transaksi yang dilakukan oleh masyarakat, peningkatan resiko, kompleksitas transaksi, dan perkembangan teknologi itu sendiri.

Wujud lain dari adanya kemajuan pada bidang teknologi dimanfaatkan untuk mengatur kecepatan arus transaksi pembayaran di jalan tol. Dengan diciptakan beberapa sistem yang mampu menghitung serta mendeteksi banyaknya jumlah kendaraan yang melewati jalan tol tanpa susah payah membayar kewajiban membayar jalan tol secara manual. Beberapa diantara sistem yang diciptakan dalam rangka mempercepat arus transaksi di berbagai negara di dunia seperti SmartTAG di Malaysia, ERP di Singapura, ETC (Electronic Toll Collection System) di Jepang dan masih banyak lagi sistem yang diciptakan sebagai dampak dari kemajuan tekhnologi yang berkembang secara cepat.

Pemerintah beseta perbankan mendorong masyarakat untuk mulai beralih bertransaksi secara non tunai. Dalam hal ini digencarkan dalam berbagai kebijakan, salah satunya aturan 100% non tunai pada transaksi di gerbang tol dengan harapan

(14)

dapat mengurangi beban penggunaan uang tunai serta demi meningkatkan efisiensi perekonomian masyarakat. Dengan adanya Uang elektronik (UNIK), pengendara tidak perlu repot untuk mencari uang, karena para pengendara cukup menempelkan kartu pada mesin elektronik yang telah disediakan kemudian kendaraan dapat melaju melewati gerbang tol, hanya membutuhkan waktu kurang dalam waktu 4 detik, lebih cepat dibandingkan bila membayar secara tunai. Fitur e-Toll card secara lengkap antara lain; saldo tersimpan pada chip kartu sehingga pada saat transaksi tidak dibutuhkan PIN atau tanda tangan, dapat diisi ulang, minimum saldo Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah), maksimal saldo kartu Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) sesuai ketentuan Bank Indonesia. Saldo yang mengendap pada kartu tidak diberikan bunga.

Pemerintah mengharapkan dengan dikeluarkannya produk perbankan Uang Elektronik card ini, maka berbagai kendala serta permasalahan yang timbul pada proses transaksi pembayaran tol dapat terselesaikan dengan baik.Layanan Uang Elektronik pada penerapannya dirasa memiliki tujuan yang dianggapbaik dalam meminimalisir hal kemacetan di gerbang tol, mempercepat layanan transaksi, meminimaslisir antrian dan menyelaraskan program pemerintah. Namundemikian, terdapat berbagai kendala pada penerapan Uang Elektronik.

Dari pantauan Tribun Makassar kemacetan panjang terjadi di Gerbang Tol Parangloe, Biringkanaya dan Tamalanrea. Antrean puluhan mobil memanjang sekitar 600 meter, sebelum loket pembayaran dari arah Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Banyak pengendara tidak mau memakai dan membeli uang elektronik. Fenomena ini terjadi sejak otoritas pengelola Jalan Tol Sesi Empat,

(15)

memberlakukan ketentuan menggunakan Uang Elektronik(UNIK) sebagai alat transaksi di TollGate. Namun, kenyataannya, masih banyak pengguna kendaraan yang enggan dan masih takut menggunakannya (TribunMakassar.Com 2017).

Salah satu keluhan pengguna adalah pengguna kesulitan jika jumlah saldo di dalam kartu UNIK tidak mencukupi untuk pembayaran disaat transaksi pembayaran sedang dilakukan, maka disini akan terjadi masalah, konsumen akan kebingungan untuk melakukan pembayaran, dan antrian mobil terus bertambah sedangkan mobil tertahan di gerbang tol alhasil kemacetanpun tidak dapat dihindari. Hal tersebut berimbas pada penumpukan kendaraan yang ingin menggunakan jalan tol termasuk penumpukan di gerbang tol / pintu tol karena proses pembayaran yang harus dilakukan oleh setiap kendaraan yang ingin masuk dan keluar jalan tol.

Menilik permasalahan di Kota Makassar, maka Pemerintah dapat melaksanakan Collaborative Governance dengan mengajak pihak swasta dan Bank Indonesia ikut serta berperan dalam menyukseskan program UNIK. Demikian halnya PT. Bosowa Marga Nusantara dan PT Jalan Tol Seksi Empat telah menjadi mitra swasta yang strategis bagi pemerintah dalam mendorong perekonomian, dan memberikan bantuan finansial. Terkait dengan realisasi transaksi tol non tunai, PT.BMN bersama PT. Jalan Tol Seksi Empat, mengembangkan layanan transaksi pembayaran UNIK untuk dijalan tol melalui peluncuran Uang Elektronik (UNIK) yang bekerja sama dengan perbankan sebagai penerbit e-money yang dikeluarkan oleh Bank Mandiri, Flazz yang di keluarkan oleh Bank BCA,lalu ada BRIZZI dari Bank BRI,TapCash dari bank BNI.

(16)

Riset yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada Negara Meksiko menyimpulkan bahwa kunci keberhasilan penggalakan transaksi nontunai diMeksiko adalah dukungan komitmen pemerintah yang memberikan berbagai insentif untuk mendorong percepatan pengalihan transaksidari tunai ke nontunai. Di antara hal yang telah dilakukan pemerintah adalah penetapan insentif pajak untuk perbankan yang mendukung program kartu UNIK. Hal penting dari hasil riset tersebut adalah komitmen pemerintah untuk senantiasa berkolaborasi dengan pihak perbankan dan pihak swasta serta masyarakat.

Dalam hal ini dikemukakan pendapat Johansson (2010: 371-392) yang mengemukakan bahwa peran dari negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan publik akan sangat menentukan arah perubahan dari suatu kebijakan. Keterlibatan segenap elemen dalam proses kebijakan publik memang diharapkan mampu membawa dampak yang positif bukan hanya bagi penyelenggaraan proses kebijakan, melainkan lebih jauh dari itu demi mencapai kesejahteraan rakyat yang lebih luas lagi. Dengan demikian, diasumsikan bahwa kerjasama seluruh pihak yang terkait (Collaborative Governance)dapat mengoptimalisasi khususnya dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Kota Makassar. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka saya merasa tertarik untuk mengangkat judul “Proses Collaborative Governance Dalam Penerapan Uang Elektronik (UNIK) Di Jalan Tol Kota Makassar”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

(17)

1. Bagaimana Proses Collaborative Governance dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar?

2. Apa faktor mendukung dan menghambat Proses Collaborative Governance dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan masalah yang akan dijadikan inti pembahasan maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Untuk mengetahui Proses Collaborative Governance dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar

2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat Proses Collaborative Governance dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat teoritis dalam rangka pengembangan ilmu pemerintahan melalui studi tentang Proses Collaborative Governance pada penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar.

2. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan praktis sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan semua pihak yang berkompeten terkait perumusan kebijakan dan Collaborative Governance pada penerapan Uang

(18)

Elektronik (UNIK), serta diharapkan menjadi referensi ilmiah bagi peneliti selanjutnya dalam mengembangkan penelitian sejenis.

(19)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Collaborative Governance

1. Pengertian Collaborative Governance

Sebelum mengurai pengertian Collaborative Governance, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian governance sebab istilah governance menjadi dasar dari konsep Collaborative Governance. Dalam studi Ilmu Pemerintahan sering muncul istilah government dan governance, di mana kedua istilah tersebut hampir sama namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda satu sama lain.

Governance didefinisikan oleh Kooiman (2009:273) sebagai sebuah konsepsi tentang interaksi dalam memerintah, di mana interaksi itu sendiri merupakan hubungan saling menguntungkan antara dua atau lebih aktor atau entitas. Menurut Keban (2008:38) governancemerupakan suatu sistem nilai, kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-urusan ekonomi, sosial, dan politik dikelola melalui interaksi antara masyarakat, pemerintah dan sektor swasta. Sedangkan pengertian governance menurut United Nations Development Programme (UNDP) adalah sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa (Sedarmayanti, 2003:5)

Dengan demikian, institusi dari governance meliputi tiga domain yaitu state (negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Menurut Sumarto (2004:2), dalam konsep governance, pemerintah hanya

(20)

menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi bahan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut.

Collaborative governance merupakan langkah tatanan pemerintahan yang didalamnya terdapat keterlibatan semua pihak antara government, civil society, dan private sector dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan kerangka egalitarianisme dan demokrasi yang melahirkan tata pemerintahan yang mengedepakan kepentingan masyarakat. Keterlibatan pihak swasta dan masyarakat dalam pembuatan maupun pelaksanaan kebijakan publik dibutuhkan untuk mewujudkan good governance.

Menurut Dwiyanto (2011:251) menjelaskan secara terperinci bahwa dalam kerjasaman kolaboratif terjadi penyampaian visi, tujuan, strategi dan aktivitas antara pihak, mereka masing-masing tetapi memiliki otoritas untuk mengambil keputusan secara independen dan memiliki wewenang dalam mengelola organisasinya walaupun mereka patuh dan tunduk atas kesepakatan bersama.

Adapun pengertian Collaborative Governancetelah diuraikan oleh para ilmuan, di antaranya dikemukakan oleh Ansell and Gash (2007:545) Collaborative Governance merupakan salah satu tipe governance dimana aktor publik dan privat bekerja secara bersama dengan cara khusus, menggunakan proses tertentu, untuk menetapkan hukum dan aturan untuk menentukan publik yang baik.

(21)

Agranoff dan McGuire dalam uraian Chang (2009:76-77) mendefinisikan secara khusus Collaborative Governancetelah menempatkan banyak penekanan pada kolaborasi sukarela dan hubungan horisontal antara partisipan multi sektoral, karena tuntutan dari klien sering melampaui kapasitas dan peran organisasi publik tunggal, dan membutuhkan interaksi di antara berbagai organisasi yang terkait dan terlibat dalam kegiatan publik. Berbeda halnya dengan definisi Collaborative Governance yang dijelaskan Lemos & Agrawal (2006:297) mendefenisikan collaborative governance tidak hanya berbatas pada stakeholders yang terdiri dari pemerintah dan bukan pemerintah tetapi juga terbentuk atas adanya multipartner governance yang meliputi berbagai sektor baik sector privat maupun swasta, masyarakat dan komunitas sipil dan terbangun atas sinergi peran stakeholder dan penyusunan rencana yang bersifat hybrid seperti halnya kerjasama publik-privat-sosial.

Jung, et.al (2009:1) mendefinisikan Collaborative Governancesebagai suatu proses membentuk, mengemudikan, memfasilitasi, mengoperasionalisasi dan memonitor pengaturan organisasi lintas sektoral dalam penyelesaian masalah kebijakan publik yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu organisasi atau publik sendiri. Pendapat lain dari Donahue & Zeckhauser (2011:305) yang mengemukakan Collaborative Governancebahwa pemerintahan kolaboratif dapat dianggap sebagai suatu bentuk hubungan kerja sama antara pemerintah sebagai regulator dan pihak swasta sebagai pelaksana.

Menurut Purnomo, et.al (2018:13) menjelaskan bahwa Collaborative Governance adalah konsep di dalam manajemen pemerintahan sebagai proses

(22)

fasilitasi dan pelaksanaan oleh berbagai institusi baik pemerintah, masyarakat, maupun NGOs yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah bersama yang tidak bisa diselesaikan oleh satu institusi pemerintah saja. Sedangkan menurut Sudarmo (2011:102-104) pada umunya, collaboration dipandang sebagai respon organisasi terhadap perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran lingkungan kebijakan. Pergeseran-pergeseran bisa dalam bentuk jumlah aktor kebijakan meningkat, isu-isu semakin meluas keluar batas-batas normal, kapasitas diluar pemerintah daerah atau kota dan pemerintah pusat umumnya semakin meningkat, dan inisiatif spontan masyarakat semakin meluas.

Uraian beberapa definisi tersebut dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa Collaborative Governance merupakan suatu paradigma baru dalam pemerintahan dimana stakeholder, sector business, NGOs, dan masyarakat lainnya dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan kebijakan, dan tatakelola pemerintahan secara umum. Orientasi dari pelibatan tersebut merupakan upaya dalam menyelesaikan masalah besar yang tidak mungkin bisa diselesaikan oleh satu pihak saja, akan tetapi memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, sehingga orientasinya adalah keberhasilan dari kebijakan tersebut sesuai dengan tujuan bersama.

2. Tujuan Penerapan Collaborative Governance

Kolaborasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu hal yang dibutuhkan dalam praktik pemerintahan sekarang ini. Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi adanya kolaborasi tiap lembaga atau institusi. Junaidi (2015:8) menyebutkan bahwa Collaborative Governance tidak muncul secara

(23)

tiba-tiba karena hal tersebut ada disebabkan oleh inisiatif dari berbagai pihak yang mendorong untuk dilakukannya kerjasama dan koordinasi dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh publik.

Salah satu alasan pentingnya penerapan Collaborative Governance dikemukakan oleh Ansell and Gash (2007:544) Collaborative Governance muncul sebagai respon kegagalan implementasi dan tingginya biaya dan dan politisasi regulasi. Ini dikembangkan sebagai sebuahalternatif adversarialism untuk pluralisme kelompok kepentingan dan kegagalan akuntabilitas manajerialisme (terutama otoritas ahli yang ditantang).

Lebih lanjut Ansell dan Grash dalam uraian Junaidi (2015:10) menyatakan bahwa Collaborative Governance muncul secara adaptif atau dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan dan pentingnya konsep ini dilakukan sebagai berikut ini:

a. Kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi

b. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam c. Upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik.

d. Kegagalan implementasi kebijakan di tataran lapangan

e. Ketidakmampuan kelompok-kelompok, terutama karena pemisahan rezim-rezim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk menghambat keputusan

f. Mobilisasi kelompok kepentingan g. Tingginya biaya dan politisasi regulasi

(24)

Pendapat diatas menyatakan bahwa kolaborasi dikakukan karena kompleksitas adanya saling ketergantungan dari tiap institusi. Kolaborasi juga dianggap munucul akibat beragamnya kepentingan antar tiap kelompok sehingga memunculkan adanya suatu kolaborasi.Dengan dilakukannya kolaborasi dapat memobilisasi kelompok-kelompok kepentingan. Kolaborasi dianggap menjadi solusi untuk buruknya suatu implementasi program atau kegiatan yang dilakukan oleh satu lembaga saja, karena keterbatasan lembaga tersebut, selain itu kolaborasi juga dianggap sebagai solusi untuk mengatasi tingginya biaya dari suatu program atau kegiatan.

3. Prinsip Penerapan Collaborative Governance

Seigler (2011:968-970) menguraikan delapan prinsip utama dalam penerapan Collaborative Governance:

a. Warga masyarakat harus turut dilibatkan dalam produksi barang publik

b. Masyarakat harus mampu memobilisasi sember daya dan aset untuk memecahkan masalah publik

c. Tenanga professional harus berbagi keahlian mereka dengan untuk memberdayakan warga masyarakat

d. Kebijakan harus menghadirkan musyawarah publik

e. Kebijakan harus mengandung kemitraan kolaboratif yang berkelanjutan f. Kebijakan harus strategis

g. Kebijakan harus mengubah kelembagaan untuk pemberdayaan masyarakat dan pemecahan masalah publik

(25)

4. Model dan Proses Collaborative Governance

Secara lebih praktis, beberapailmuan sudah merumuskan model kerangka kerja dari Collaborative Governance tersebut, misalnya model yang memulai proses collaboration dari negosiasi, komitmen dan pelaksanaan yang dinaungi oleh assessment. Dalam operasionalnya negosiasi berarti proses bargaining antar aktor yang akan terlibat di dalam collaboration dan setelah terjadi negosiasi makaakan muncul komitmen dari masing-masing aktor atas apa yangakan dilakukan di dalam kerjasama tersebut. Sementara proses pelaksanaan merupakan bentuk pengejawantahan dari komitmen bersama yang telah diambil melalui keterlibatan seluruh aktor dan interkasi antar aktor (Purnomo, et.al, 2018:15).

Menurut Ansell dan Gash (dalam Fawwaz ,2017). Model Collaborative governance memiliki empat variabel luas yaitu:

1. Kondisi awal

Kondisi awal dalam suatu kolaborasi dipengaruhi oleh beberapa fenomena, yaitu para stakeholders memiliki kepentingan dan visi bersama yang ingin dicapai, sejarah kerjasama dimasa lalu, saling menghormati kerjasama yang terjalin, kepercayaan masing-masing stakeholders, ketidakseimbangan kekuatan, sumber daya, dan pengetahuan.

2. Desain Kelembagaan

Pemimpin meminta para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam negoisasi itikat baik dan mengeksplorasi, kompromi dan perolehan bersama. Collaborative governance sebagai konsensus yang berorientasi meskipun menunjukkan bahwa konsensus tidak selalu tercapai. Masalahnya di sini apakah

(26)

semua kolaboratif harus memerlukan konsensus. Masalah desain kelembagaan penggunaan tenggang waktu melemah merupakan sifat berkelanjutan kolaborasi secara tidak sengaja mengurangi insentif kerjasama jangka panjang. Desain Kelembagaan berkaitan dengan tata cara dan peraturan dasar dalam kolaborasi untuk prosedural proses kolaborasi yang legal, transparansi proses, inklusivitas partisipan, dan eksklusivitas forum.

3. Kepemimpinan

Kepemimpinan penting untuk merangkul, memberdayakan dan melibatkan para pemangku kepentingan dan memobilisasi untuk kesuksesan kolaborasi. Konflik yang tinggi dan kepercayaan rendah memiliki insentif untuk berpartisipasi maka collaborative governance dapat melanjutkan layanan perantara antara stakeholder yang menerima layanan. Ketersediaan para pemimpin cenderung bergantung sesuai dengan keadaan setempat. Implikasi kemungkinan kerjasama yang efektif mungkin terhambat oleh kurangnya kepemimpinan. Kepemimpinan fasilitatif berkaitan dengan musyawarah yang dilakukan oleh stakeholders, penetapan aturan-aturan dasar yang jelas, membangun kepercayaan, memfasilitasi dialog antar stakeholders dan pembagian keuntungan bersama.

4. Proses Kolaboratif

Proses kolaboratif ini merupakan variable yang penting, dimana proses kolaboratif diawali dengan dialog tatap muka yang berkaitan dengan kepercayaan yang baik, setelah melakukan dialog tatap muka dengan baik maka akan terbangun suatu kepercayaan yang nantinya akan berpengaruh terhadap komitmen dalam proses kolaborasi, setelah komitmen para stakeholders tinggi akan terjadi suatu

(27)

pemahaman bersama dalam perumusan masalah, identifikasi nilai-nilai, dan misi yang jelas. Setelah para stakeholders memiliki kesamaan dan kesepahaman, maka akan menentukan rencana strategis untuk menjalankan kolaborasi.

Model selanjutnya adalah model yang cukup terkenal yang dipopulerkan Bryson dan Crosby (2006:44-45) dengan istilah cross-sector collaboration, dimana Collaborative Governance terdiri dari initial condition, structure andgovernance, process, contingencies and constraints, outcomes danaccountabilies. Fokus dari konsep ini akan mengekplorasi dari sisiprosesnya yang terdiri dari:

a. Forging agreements yang merupakankesepakatan bersama seluruh stakholders untuk melakukan kerjasama

b. Building leadership yaitu perlu adanya kepemimpinan baik formal maupun informal sebagai komite atau manajer darikerjasama tersebut

c. Building legitimacy dimana pentingnya membangun legitimasi dengan adanya struktur, proses, dan strategi yang relevan dengan keadaan di sekitarnya

d. Building trust yaitu membangun kepercayaan antar stakholders yang bekerjasama dan ini sifatnya sangat penting sekali di dalam Collaborative Governance

e. Managing conflict yaitu mengelola konflik yang ada mengingat besarnya kepentingan yang muncul dari masing-masing stakeholders yang terlibat di dalam kerjasama

f. Planning tahapan yang sangat penting di dalam menentukan visi, misi, tujuan, tahapan, pelaksanaan, keterlibatan dan peran dari masing-masing stakholders, sehingga planning ini sangat menentukan keberhasilan dari kerjasama.

(28)

Proses kolaborasi yang dimaksud adalah Collaborative Governance yang didefinisikan sebagai proses dan struktur dalam pembuatan keputusan kebijakan publik dan manajemen yang melibatkan masyarakat secara konstruktif dalam batas-batas lembaga-lembaga publik, tingkatan pemerintahan dan/atau masyarakat, swasta dan masyarakat sipil untuk melaksanakan kepentingan umum yang tidak bisa dicapai tanpa pelibatan pihak swasta dan masyarakat (Emerson, Nabatchi & Balogh, 2011: 2).

Proses dari suatu kolaborasi dilaksanakan dalam beberapa tahapan. Suatu tahapan model kolaborasi menjadi penting untuk diperhatikan sebagai strategi dalam aspek pengelolaan suatu urusan publik. Meskipun proses kolaboratif sulit untuk dilaksanakan karena karakter dari tiap stakeholder yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ansell dan Grash (2007:558-561) menguraikan proses Collaborative Governancesebagai berikut:

a. Face to face dialogue

Semua bentuk Collaborative Governance dibangun dari dialog tatap muka secara langsung dari tiap stakeholder yang terlibat. Sebagaimana Collaborative Governance yang berorientasikan proses, dialog secara langsung sangat penting dalam rangka mengidentifikasi peluang dan keuntungan bersama. Dialog secara tatap muka langsung bukanlah semata-mata merupakan negoisasi yang ala kadarnya. Dialog secara langsung ini dapat meminimalisir antagonisme dan disrespect dari antar stakeholder yang terlibat. Sehingga, stakeholder dapat bekerjasama sesuai dengan tujuan dan kebermanfaatan bersama.

(29)

Buruknya rasa percaya antar stakeholder memang merupakan hal yang lumrah di awal proses kolaborasi. Kolaborasi memang bukan semata tentang negoisasi antar stakeholder, namun lebih dari itu merupakan upaya untuk saling membangun kepercayaan satu dengan yang lainnya. Membangun kepercayaan perlu dilakukan sesegera mungkin ketika proses kolaborasi pertama dilakukan. Hal ini diupayakan agar para stakeholder tidak mengalami egosentrisme antar institusi. Oleh karenanya, dalam membangunan kepercayaan ini, diperlukan pemimpin yang mampu menyadari akan pentingnya kolaborasi.

c. Commitment to process

Komitmen tentunya memiliki relasi yang kuat dalam proses kolaborasi. Komitmen merupakan motivasi untuk terlibat atau berpartisipasi dalam Collaborative Governance. Komitmen yang kuat dari setiap stakeholder diperlukan untuk mencegah resiko dari proses kolaborasi. Meskipun komitmen memang merupakan hal yang rumit dalam kolaborasi. Komitmen merupakan tanggung jawab dari stakeholder supaya memandang relasi yang dilakukan sebagai hal yang baru dan tanggungjawab tersebut perlu dikembangkan.

d. Share Understanding

Pada poin yang sama dalam proses kolaborasi, stakeholder yang terlibat harus saling berbagi pemahaman mengenai apa yang dapat mereka capai melalui kolaborasi yang dilakukan. Saling berbagai pemahaman ini dapat digambarkan sebagai misi bersama, tujuan bersama, obketivitas umum, visi bersama, ideologi yang sama, dan lain-lain. saling berbagi pemahaman dapat berimplikasi terhadat kesepakatan bersama untuk memaknai dan mengartikan suatu masalah.

(30)

e. Intermediate outcomes

Hasil lanjutan dari proses kolaborasi terwujud dalam bentuk output atau keluaran yang nyata. Hal ini merupakan hasil proses yang kritis dan esensial dalam mengembangkan momentum yang dapat membimbing demi keberhasilan suatu kolaborasi. Intermediate outcomes ini muncul apabila tujuan yang mungkin dan memberikan keuntungan dari kolaborasi yang mana secara relatif konkrit dan ketika “small wins” dari suatu kolaborasi dapat dimungkinkan terjadi.

Teori proses kolaborasi dari Emerson, Nabatchi, & Balogh (2011: 1-29), teori ini menganalisis komponen kolaborasi secara komprehensif. Teori proses kolaborasi atau Collaborative Governance Regime (CGR) menjelaskan secara rinci bagaimana proses kolaborasi yang bersifat dinamis dan bersiklus, dengan menghasilkan tindakan-tindakan dan dampak sementara, sebelum mengarah pada dampak utama, serta adaptasi terhadap dampak sementara.Berbagai komponen yang menjadi proses kolaborasi diuraikan sebagai berikut:

a. Dinamika kolaborasi

Beberapa ilmuan menggambarkan proses kolaborasi sebagai sebuah tahapan linier yang terjadi dari waktu ke waktu dimulai dari pendefinisian masalah menuju setting agenda hingga implementasi. Berlawanan dengan Ansell dan Gash (2008) serta Thomson dan Perry (2006), Emerson (2013) melihat dinamika proses kolaborasi sebagai siklus interaksi yang oriteratif. Emerson fokus pada tiga komponen interaksi dari dinamika kolaborasi.Komponen tersebut antara lain; penggerakan prinsip bersama (principled engagement), motivasi bersama (shared

(31)

motivation) dan kapasitas untuk melakukan tindakan bersama (capacity for joint action).

1. Penggerakan pinsip bersama

Penggerakan prinsip bersama merupakan hal yang terjadi terus-menerus dalam kolaborasi. Beberapa hal seperti dialog tatap muka, atau melalui perantara teknologi adalah cara untuk menggerakan prinsip bersama. Di dalam komponen ini terdapat penegasan kembali tujuan bersama, pembentukan dan pengembangan prinsip-prinsip bersama, yang sering diungkap dalam berbagai perspektif actor yang terlibat. Oleh karna itu, penyatuan prinsip merupakan inti dari hal ini (Emerson, Nabatchi, & Balogh, 2011:10).

Karakteristik masing-masing aktor, merupakan elemen kunci yang memepengaruhi seberapa baik prinsip bersama berjalan. Langkah awal kritis adalah bagaimana pemerintah memilih aktor yang akan terlibat dalam kolaborasi. Selanjutnya, setelah kolaborasi berkembang, penambahan aktor pun dimungkinkan. Kemudian barulah kegiatan penggerakan prinsip bersama terwujud.

2. Motivasi bersama

Motivasi bersama hampir sama dengan dimensi proses kolaborasi yang diungkapkan oleh Ansell dan Gash kecuali legitimasi. Motivasi bersama menekankan pada elemen interpersonal dan relasional dari dinamika kolaborasi yang kadang disebut sebagai modal social.komponen ini diinsiasi oleh penggerakan prinsip bersama yang merupakan hasil jangka menengah. Namun menurut Huxham dan Vangen dalam Emerson, Nabatchi, & Balogh (2011) motivasi bersama juga memperkuat dan meningkatkan proses penggerakan prinsip bersama. Emerson,

(32)

Nabatchi, & Balogh (2011:13) mengartikan motivasi bersama sebagai siklus penguatan diri yang terdiri dari empat elemen saling menguntungkan diantaranya : kepercayaan bersama, pemahaman bersama, legitimasi internal, dan komitmen. 3. Kapasitas untuk melakukan tindakan bersama

Tujuan kolaborasi adalah untuk menghasilkan outcome yang diinginkan bersama yang tidak dapat dicapai secara individu atau oleh satu aktor saja. Hal ini dikarenakan kolaborasi melibatkan aktivitas kooperatif untuk meningkatkan kapasitas diri dan orang lain dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, CGR harus menghasilkan kapasitas baru bagi masing-masing aktor untuk bertindak bersama yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Seringkali beberapa aktor kolaborasi tidak punya kapasitas untuk bertindak bersama, karena adanya perbedaan dan ketimpangan kekuatan. Oleh karena itu, definisi dari kapasitas atau berbagai hasil elemen-elemen lintas fungsional untuk menghasilkan tindakan yang efektif, karena adanya kapasitas yang memadai dari aktor (Emerson, Nabatchi dan Balogh, 2012).

Dalam hal ini, kapasitas untuk melakukan tindakan bersama dikonseptualisasikan dalam kerangka yang merupakan kombinasi dari empat elemen penting diantaranya : prosuder dan kesepakatan institusi, kepemimpinan, pengetahuan dan sumber daya. Elemen-elemen tersebut harus memadai dalam mencapai tujuan yang telah disepakati. Kapasitas untuk melakukan tindakan bersama seringkali dipandang sebagai hasil dari interaksi penggerakan prinsip bersama dan motivasi bersama. Namun perkembangan kapasitas untuk melakukan tindakan bersama juga dapat memperkuat motivasi bersama dan penggerakan

(33)

prinsip bersama yang memastikan tindakan dan dampak kolaborasi yang lebih efektif.

Pada dasarnya kapasitas untuk melakukan tindakan bersama merupakan hal krusial dan merupakan tantangan utama kolaborasi, karena selalu terdapat perbedaan karakteristik dan kekuatan antar actor. Kejelasan prosedur dan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam bentuk legal-formal, pengaruh kepemimpinan, manajemen pengetahuan, serta manajemen sumber daya merupakan elemen-elemen yang memepengaruhi baik tidaknya kapasitas dari para aktor, sehingga menjadi mampu melakukan tindakan bersama. Namun, melihat penjelasan pada masing-masing elemen, terdapat pengaruh yang muncul dari komponen sebelumnya, yaitu penggerakan prinsip bersama, dan motivasi bersama. Kesimpulan akhir dari dinamika kolaborasi ini adalah baik tidaknya dinamika ditentukan oleh tiga komponen, yaitu penggerakan prinsip bersama, motivasi bersama, dan kapasitas untuk melakukan tindakan bersama, yang didalamnya terdapat berbagai elemen. Dinamika yang ada berbentuk siklus, dimana masing-masing komponen saling mempengaruhi begitu juga elemen-elemennya dan tidak dipungkiri bahwa elemen tersebut dapat mempengaruhi elemn lintas komponen.

b. Tindakan-tindakan kolaborasi

Tindakan kolaborasi dilatarbelakangi oleh pemikiran mengenai sulit tercapainya tujuan jika hanya satu kelompok atau organisasi yang bertindak sendiri (Agranoff & Mc Guire, 2003).Tindakan-tindakan dalam kolaborasi merupakan inti dari kerangka collaborative governance. Menurut Innes dan Booher dalam

(34)

Emerson (2012) tindakan-tindakan kolaborasi merupakan hasil utama dari proses kolaborasi linier yang terkadang dikaitkan dengan dampak.

Tindakan kolaborasi yang efektif harus diungkapkan secara tersirat dengan perumusan tujuan yang jelas (Donahue, 2004). Hal ini dikarenakan akan sulit melakukan tindakan kolaborasi jika tujuan yang ingin dicapai dari kolaborasi itu sendiri tidak dibuat secara eksplisit. Tindakan-tindakan kolaborasi pada prakteknya sangat beragam seperti pemberdayaan masyarakat, penetapan proses perijinan, pengumpulan sumber daya, monitoring sistem/praktik manajemen baru, dan lain sebagainya. Kemudian, hasil daripada tindakan ini secara lansung membawa dampak sementara yang mengarah kembali pada dinamika kolaborasi, dan dampak jangka panjang.

Menurut Huxam dalam emerson (2011), beberapa tindakan kolaborasi memiliki tujuan sangat luas seperti penentuan langkah strategis dalam isu/bidang kebijkan. Namun banyak pula tindakan kolaborasi yang memiliki tujuan sempit seperti proyek pengumpulan dan analisis informasi spesifik. Tindakan kolaborasi ada yang dapat dilakukan secara sekaligus oleh seluruh stakeholders ada pula yang hanya bisa dilakukan oleh stakeholder tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing stakeholder.

c. Dampak serta adaptasi proses kolaborasi

Dampak dalam CGR yang dimaksud adalah dampak sementara yang ditimbulkan selama proses kolaborasi. Karakteristik dampak ada yang diharapkan, yang tidak diharapkan, serta tidak terduga.Dampak yang diharapkan adalah “ small-wins” yaitu hasil-hasil positif yang terus memberlangsungkan semangat para actor,

(35)

Sedangkan dampak yang tidak diharapkan seperti kendala-kendala dalam pelaksanaan kolaborasi. Dampak tidak terduga juga dapat muncul secara langsung maupun tidak pada proses kolaborasi.

Berbagai dampak tersebut menghasilkan umpan balik atau feedbacks, yang kemudian di adaptasi oleh kolaborasi. Adaptasi yang dimaksud adalah bagaimana kolaborasi menyikapi feedback dari masing-masing aktor yang ada.Adaptasi yang baik adalah yang sekiranya dapat dilakukan oleh seluruh aktor kolaborasi, artinya tidak ada pengaruh kepentingan organisasi di atas kolaborasi, sehingga menyebabkan terjadinya usaha mengambil mafaat kolaborasi secara lebih untuk kepentingan organisasi sendiri. Adaptasi harus berdasarkan apa yang menjadi kebutuhan utama untuk dirubah di dalam kolaborasi, sehingga dari hal tersebut dapat menjaga kemajuan.

B. Uang Elektronik (UNIK)

Uang Elektronik merupakan sebuah program dalam bentuk layanan pembayaran tol secara elektronik yang berupa kartu elektronik digunakan untuk melakukan pembayaran masuk jalan tol disebagian daerah Indonesia (Gita,2017). Pengguna uang elektronik hanya perlu menempelkan kartu untuk membayar uang tol dalam waktu 4 detik, lebih cepat dibandingkan bila membayar secara tunai yang membutuhkan waktu 7 detik. Penggunaan uang elektronik juga mengurangi biaya operasional karena hanya diperlukan biaya untuk mengumpulkan, menyetor, dan memindahkan uang tunai.

Selain menjadi langkah awal dalam modernisasi pengumpulan uang, penggunaan uang elektronik juga dimaksudkan untuk mengurangi pelanggaran

(36)

(moralhazard) karena petugas tol tidak menerima pembayaran secara langsung dan terutama jumlah kendaraan yang semakin lama semakin menumpuk akibat sistem tunai di gerbang tol yang akan menyebabkan kemacetan dan kepadatan gerbang tol cukup sulit untuk diuraikan.

Uang elektronik berfungsi mengurangi adanya kesalahan-kesalahan seperti pemberian uang kembalian yang kurang, lalu adanya uang palsu, dengan meningkatnya kendaraan yang akan keluar, tentu saja penjaga tol harus dengan sigap dan cepat dalam melaksanakan tugasnya yaitu menerima uang dari pengguna tol. Jika uangnya bukanlah uang pas, tentu saja penjaga harus mengembalikannya yang terkadang memakan waktu lama.

Instrumen pembayaran non tunai atau uang elektronik (e-money) Bank of International Settlement (BIS) mendefinisikan e-money sebagai produk stored value atau prepaid dimana sejumlah nilai uang (monetary value) 4 disimpan secara elektronik dalam suatu peralatan elektronik yang dimiliki seseorang. E-money menurut Peraturan Bank Indonesia Uang Elektronik Sebagai Instrumen Pembayaran Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 Tahun 2018 tentang Uang Elektronik (“PBI 20/2018”) mendefinisikan Uang Elektronik (electronic money) sebagai instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut:

a. Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit b. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip

(37)

c. Nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan..

1. Tujuan Menggunakan Uang Elektronik

Adapun tujuan menggunakan uang elektronik atau e-toll card, Diantara manfaat menggunakan produk uang elektronik sebagai berikut:

a. Untuk memberikan pelayanan kepada pengguna jalan tol yang efektif, efisien, aman dan nyaman

b. Mempermudah aksesibilitas jalan tol

c. Memangkas waktu layanan transaksi di gerbang tol

d. Upaya mengatasi kemacetan di gerbang tol akibat tingginya volume lalu lintas kendaraan.

2. Fitur-fitur Uang Elektronik

Adapun fitur-fitur uang elektronik sebagai berikut:

a. Saldo tersimpan pada chip kartu sehingga pada saat transaksi tidak dibutuhkan PIN atau tanda tangan.

b. Dapat diisi ulang (Top Up)

c. Minimum saldo kartu Rp. 10.000,-

d. Maksimal saldo kartu Rp. 1.000.000,- (sesuai ketetuan Bank Indonesia) e. Saldo mengendap pada kartu tidak diberikan bunga.

C. Penelitian Terdahulu

Dari hasil penelusuran data pustaka, diketahui bahwa penelitian dengan topik “Collaborative Governance” telah diteliti oleh beberapa mahasiswa yang

(38)

hasil penelitiannya relevan untuk dibandingkan dengan penelitian ini. Hasil penelitian tersebut antara lain, Pertama, hasil penelitian Sururi (2018) dengan judul “Collaborative Governance sebagai Inovasi Kebijakan Strategis (Studi Revitalisasi Kawasan Wisata Cagar Budaya Banten Lama)”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) isu yang menjadi prioritas dan strategis yang harus dilakukan dalam proses Collaborative Governance dalam revitalisasi kawasan wisata cagar budaya Banten Lama yaitu dimensi struktural birokrasi, sosialisasi revitalisasi dan relokasi pedagang kaki lima yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Keraton Surososwan Banten Lama.

Kedua, hasil penelitian Kurniasih, et.al (2017) dengan judul “Collaborative Governance dalam Penguatan Kelembagaan Program Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kurangnya partisipasi masyarakat dan pelaksanaan program yang masih bercorak top-down membuat kinerja kelembagaan pada program SLBM di Kabupaten Banyumas masih belum optimal. Upaya penguatan kelembagaan ke arah interaksi sosial melalui kerjasama kolaboratif di antara segenap stakeholders penting dilakukan untuk membuat pelaksanaan program berbasis masyarakat lebih efektif sesuai harapan masyarakat. Ketiga, hasil penelitian Purnomo (2018). Dengan judul “Collaborative Governance dalam Tata Kelola Hutan Berbasis Masyarakat”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pegelolaan sumber daya hutan (SDH) menjadi masalah, perubahan paradigma ini dilakukan dengan beberapa alasan seperti, kegagalan Negara mengelola SDH secara adil dan berkelanjutan. Kedua, pengelolaan SDH yang lebih mendorong industri besar tetapi meminggirkan masyarakat. Ketiga, tata

(39)

kelola SDH yang ternyata belum mampu mengurangi pembalakan liar, perdagangan kayu illegal dan alih fungsi lahan hutan secara massif.

D. Kerangka Pikir

Collaborative governance terus berkembang dalam dunia pemerintahan karena adanya kompleksitas dan saling ketergantungan antara institusi dimana masalah publik sangat sulit ditangani oleh satu instansi pemerintah saja, maka sangat diperlukan adanya kolaborasi agar masalah publik tersebut dapat teratasi dengan lebih baik.

Kolaborasi dilakukan dalam beberapa tahapan dan bentuk. Suatu tahapan proses kolaborasi menjadi penting untuk diperhatikan sebagai strategi dalam aspek pengelolaan suatu urusan publik. Menurut Ansell & Gash (2007) ada beberapa bentuk dan tahapan dalam proses collaborative governance memiliki empat variabel yang meliputi Kondisi Awal, Kepemimpinan, Desain Kelembagaan dan Proses Kolaboratif. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kajian teori yang telah diuraikan, maka skema kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Proses Collaborative Governance Dalam Penerapan Uang Elektronik (UNIK) Di Jalan

Tol Kota Makassar

PT Bosowa Marga Nusantara, PT Jalan Tol Seksi Empat dan Perbankan

(40)

E. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini tentang bagaimana Proses Collaborative Governance dalam penerapan Uang Elektronik di Jalan Tol Kota Makassar, dengan indikator Kondisi Awal,Desain Kelembagaan, Kepemimpinan,dan Proses Kolaboratif serta faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dari Collaborative Governance dalam penerapan Uang Elektronik di jalan tol Kota Makassar.

Teori Ansell & Gash (2007) Indikator Proses Collaborative Governance : 1. Kondisi Awal 2. Desain Kelembagaan 3. Kepemimpinan 4. Proses Kolaboratif

Keberhasilan DalamPenerapan Uang Elektronik (UNIK) Di Jalan Tol Kota Makassar Faktor Pendukung : 1. OtoritasPemerint ah Adanya Permen 16/PRT/M/2017 Tentang Transaksi Tol Non Tunai Di Jalan Tol 2. Adanya Teknologi Mesin Gerbang Tol Otomatis dan Kartu UNIK Faktor Penghambat : 1. Keterbatasan Penyedia Kartu 2. Kurangnya Pemahaman Maysrakat Mengenai UNIK 3. Adanya antrian digardu isi ulang UNIK

(41)

F. Deskripsi Fokus Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir penelitian sebelumya, maka yang menjadi fokus penelitian ini yaitu menggunakan Model Proses Collaborative governance yang memiliki empat variabel yaitu:

1. Kondisi awal

Kondisi awal suatu kolaborasi dalam Penerapan Uang Elektronik (UNIK) dipengaruhi oleh beberapa fenomena dari PT.Bosowa Marga Nusantara (BMN) dan Perbankan memiliki kepentingan dan visi bersama yang ingin dicapai, Saling menghormati kerjasama yang terjalin, Kepercayaan masing-masingdari pihak PT.Bosowa Marga Nusantara (BMN) dan Perbankan..

2. Kepemimpinan

Kepemimpinan berkaitan dengan musyawarah yang dilakukan oleh PT.Bosowa Marga Nusantara (BMN) dan Perbankan, dalam penetapan aturan-aturan dasar yang jelas, memfasilitasi dialog antar PT.Bosowa Marga Nusantara (BMN) dan Perbankan mengenai pembagian keuntungan bersama dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar.

3. Desain Kelembagaan

Desain Kelembagaan berkaitan dengan tata cara dan peraturan dasar dalam kolaborasi PT.Bosowa Marga Nusantara (BMN) dan Perbankan dalam Penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar sesuai dengan prosedural. 4. Proses Kolaboratif

Proses kolaboratif diawali dengan dialog tatap muka antara PT.Bosowa Marga Nusantara (BMN) dan Perbankan yang berkaitan dengan kepercayaan yang baik,

(42)

maka akan terbangun suatu kepercayaan yang nantinya akan berpengaruh terhadap komitmen dalam proses kolaborasi, setelah komitmen antara PT.Bosowa Marga Nusantara (BMN) dan Perbankan akan terjadi suatu pemahaman bersama dalam perumusan masalah dalam menjalankan kolaborasi dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar.

5. Faktor pendukung merupakan hal-hal yang dapat menunjang pelaksanaan Collaborative Governance sehingga tercapainya penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar.

6. Faktor penghambat merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan terhambatnya pelaksanaan Collaborative Governance sehingga tidak terlaksana secara maksimal.

(43)

31 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu yang digunakan dalam penelitian ini selama 2 (dua) bulan terhitung setelah pelaksanaan seminar proposal dan lokasi penelitian dilaksanakan di kantor PT Bosowa Marga Nusantara dan PT Jalan Tol Seksi Empat tepatnya di Kota Makassar dengan alasan ingin mengetahui proses kolaborasi dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di jalan tol Kota Makassar.

B. Jenis dan Tipe Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang menghasilkan deskripsi dari orang-orang atau perilaku dalam bentuk kata-kata baik lisan maupun tulisan. Salah satu ciri penelitian kualitatif adalah bersifat deskriptif dimana data di rangkumkan melalui keterangan dan bukan angka.

2. Tipe penelitian

Tipe Penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian Fenomenologi yang dimana melalui metode penelitian kualitatif yaitu memberikan gambaran tentang masalah yang diteliti terkait Collaborative Governance dalam penerapan Uang Elekrtonik (UNIK) dilaksanakan di Jalan Tol Kota Makassar.

(44)

C. Sumber Data 1. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari narasumber atau informan dengan melalui wawancara. Dalam hal ini Peneliti melakukan wawancara langsung untuk mendapatkan hasil atau data yang valid dari informan secara langsung agar dapat mendeskripsikan hasil penelitian secara komprehensif.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data penelitian yang sudah tersedia, yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dari catatan pihak lain. Data sekunder merupakan pelengkap bagi data primer yaitu diperoleh dari sumber penelitian atau mempelajari referensi yang memiliki hubungan dengan objek penelitian.

D. Informan Penelitian

Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi yang diteliti.Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling, artinya memilih langsung informan yang lebih mengetahui masalah yang diteliti. Informan yang dimaksud adalah Kepala Gerbang Tol, RM Dana Ritel dan Masyarakat/Pengguna Kartu Unik. Berikut diuraikan daftar informan penelitian dalam tabel sebagai berikut:

(45)

Tabel. 3.1 Informan Penelitian

No. Nama Insial Jabatan Jumlah

1 Alimin Laupe AL Kepala Gerbang Tol 1 2 Aldita Septrina Gobel AS RM Dana Ritel 1

3 Nawir NA Penguuna Kartu UNIK 1

4 Dangkang DA Pengguna Kartu UNIK 1 5 Angga Murti AM Pengguna Kartu UNIK 1

Total Informan 5

E. TeknikPengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi

Observasi dalam hal ini adalah pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti terkait Collaborative Governance dalam penerapan Uang Elektronik (UNIK) di Jalan Tol Kota Makassar, sehingga dapat diuraikan dalam bentuk laporan penelitian ilmiah ini.

2. Wawancara

Dalam proses wawancara, peneliti berusaha mendapatkan informasi lebih mendalam yang ada pada objek penelitian, sehingga peneliti lebih mudah menentukan variabel atau masalah yang harus diteliti (Sugiyono, 2012:197). Wawancara ditujukan kepada pihak yang mewakili berbagai elemen collaborative govenace yang ada dalam objek penelitian.

(46)

3. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumentasi dapat dibedakan menjadi dokumen primer (dokumen yang ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa), dan dokumen sekunder (jika peristiwa dilaporkan kepada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh peneliti).

F. Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah model interaktif dari Miles dan Huberman (Sugiyono, 2012: 246-252), yakni analisis data dilakukan saat pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan data dalam periode tertentu. Teknik analisis data tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, mencari bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti komputer mini, dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. 2. Data Display (Penyajian Data)

Langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan yang sering digunakan untuk menyajikan data dalam

(47)

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. 3. Conclusion Drawing/Verification

Langkah ke tiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

G. Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data penelitian ini dilakukan melalui tahap pengecekan kredibilitas data dengan teknik triangulation yaitu mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dengan triangulasi sumber, metode dan teori (Moleong, 2001:330).Adapun model triangulasi yang digunakan adalah memberchek, yaitu proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Untuk menguji kredibilitas suatu penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :

(48)

Pengujian kebenaran informasi dengan berbagai cara dan berbagai kondisi berupa pengujian kebenaran serta akurasi data harus dengan berbagai cara. Hal ini dilakukan dengan tiga triangulasi, yaitu :

a. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi terlibat, dokumen tertulis, arsip, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau fotoyang berkaitan dengancollaborative governance. Masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti.

b. Triangulasi teknik berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber data yang sama.Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, Serta dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak.

c. Triangulasi waktu yaitu data yang dikumpulkan dengan teknik melihat kondisi sikologis informan yang dinilai berdasarkan waktu wawancara antara pagi, siang ataupun sore hari.

2. Analisis Kasus Negatif

Analisis kasus yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kasus yang sebenarnya dalam jangka waktu tertentu apabila pada waktu itu tidak di temukan lagi data yang lain atau data yang bertentangan maka data yang

(49)

diperoleh dianggap benar dan di jadikan sebagai referensi dari berbagai media atau penelitian.

3. Menggunakan Bahan Referensi

Hal ini dilakukan dengan cara memperlihatkan bukti berupa gambar ataupun suara rekaman antara peneliti dan informan penelitian sehingga ada yang bukti yang jelas atau kongkret bahwa peneliti betul-betul terjun langsung kelapangan atau lokasi penelitian untuk melakukan penelitian dan data yang dikumpulkan adalah data berdasarkan penelitian bukan hanya asumsi peneliti atau opini.

4. Mengadakan membercheck

Tujuan memberchek adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti datanya telah valid, sehingga semakin kredibel dan dapat dipercaya, tetapi apabila data yang ditemukan peneliti dengan berbagai penafsirannya tidak disepakati oleh pemberi data maka peneliti perlu melakukan diskusi dengan pemberi data, dan apabila perbedaannya tajam, maka peneliti harus merubah temuannya dan harus menyesuaikan dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.

(50)

38 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Deskripsi Objek Penelitian

1. Gambaran Umum Kota Makassar

Kota Makassar merupakan salah satu pemerintahan kota dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi, sebagaimana yang tercantum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822. Kota Makassar menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965, (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 94), dan kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1965 Daerah Tingkat II Kotapraja Makassar diubah menjadi Daerah Tingkat II Kotamadya Makassar.

Kota Makassar yang pada tanggal 31 Agustus 1971 berubah nama menjadi Ujung Pandang, wilayahnya dimekarkan dari 21 km2 menjadi 175,77 km2 dengan mengadopsi sebagian wilayah kabupaten lain yaitu Gowa, Maros, dan Pangkajene Kepulauan, hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 tentang Perubahan batas-batas daerah Kotamadya Makassar dan Kabupaten Gowa, Maros dan Pangkajene dan Kepulauan, lingkup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Pada perkembangan, nama Kota Makassar dikembalikan lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 tentang Perubahan NamaKotamadya

(51)

Ujung Pandang menjadi Kota Makassar, hal ini atas keinginan masyarakat yang didukung DPRD Tk. II Ujung Pandang saat itu, serta masukan dari kalangan budayawan, seniman, sejarawan, pemerhati hukum dan pelaku bisnis. Hingga Tahun 2013 Kota Makassar telah berusia 406 tahun sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2000 yang menetapkan hari jadi Kota Makassar tanggal 9 Nopember 1607, terus berbenah diri menjadi sebuah Kota Dunia yang berperan tidak hanya sebagai pusat perdagangan dan jasa tetapi juga sebagai pusat kegiatan industri, pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan edu-entertainment, pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan, simpul jasa angkutan barang dan penumpang baik darat, laut maupun udara.

Secara administratif Kota Makassar memiliki 15 kecamatan, yaitu Kecamatan Mariso, Kecamatan Mamajang, Kecamatan Tamalate, Kecamatan Rappocini, Kecamatan Makassar, Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Wajo, Kecamatan Bontoala, Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan Tallo, Kecamatan Panakkukang, Kecamatan Manggala, Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Kepulauan Sangkarrang. Adapun untuk administratif lainnya, Kota 50 Makassar tercatat memiliki 153 kelurahan, 996 RW dan 4.964 RT (BPS, 2017). Untuk pembagian administratif, Kota Makassar dengan luas wilayah 175,77 km2 terbagi atas 15 wilayah kecamatan.

Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Biringkanaya dengan 48,22 km2 dan 27,43% luas keseluruhan Kota Makassar. Wilayah terkecil adalah Kecamatan Kepulauan Sangkarrang dengan 1,54 km2 dan 0,88% luas keseluruhan Kota Makassar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 8 berikut.Rincian luas

(52)

masing-masing kecamatan, diperbandingkan dengan persentase luas wilayah Kota Makassar sebagai berikut :

Tabel.4.1.Luas Wilayah dan Presentase terhadap Luas Wilayah Menurut Kecamatan diKota Makassar tahun 2017

No Kecamatan Luas Area (km2) Persentase

1 Mariso 1,82 1,04 2 Mamajang 2,25 1,28 3 Tamalate 20,21 11,50 4 Rappocini 9,23 5,25 5 Makassar 2,52 1,43 6 Ujung Pandang 2,63 1,50 7 Wajo 1,99 1.13 8 Bontoala 2,10 1,19 9 Ujung Tanah 4,40 2,50 10 Tallo 5,83 3,32 11 Panakukang 17,05 9,70 12 Manggala 14,14 13,73 13 Biringkanaya 48,22 27,43 14 Talamanrea 32,84 18,11 15 Kepulauan Sangkarrang 1,54 0,88 TOTAL 175,77 100,00

Sumber : Makassar Dalam Angka 2017,BPS 2017 Kondisi Fisik Wilayah

Kota Makassar secara topografi berada pada dataran rendah dengan ketinggian bervariasi antara 1-22 meter di atas permukaan laut (BPS, 2017). Daerah pesisir di sebelah timur yang cenderung datar antara 1-4 meter di 51 atas permukaan laut, sedangkan pada sebelah utara dan barat wilayah cenderung variatif antara 1-22 meter di atas permukaan laut. Kondisi iklim Kota Makassarsecara umum ditandai dengan hari hujan dan curah hujan relatif tinggi, dan dipengaruhi oleh angin musim dan wilayahnya berbatasan langsung dengan Selat Makassar.

Gambar.4.1

(53)

Sumber :RTRW Kota Makassar tahun 2010-2030

Letak dan Kondisi Geografis

Kota Makassar yang merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan terletak di Pantai Barat pulau Sulawesi berada dalam titik koordinat 119° 18’ 30,18" sampai dengan 119°32'31,03" BT dan 5°00' 30,18" sampai dengan 5°14’ 6,49" LS. Sesuai dengan karakteristik fisik dan perkembangannya.

Kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan terluas diantara kecamatan-kecamatan lain yang ada di Kota Makassar, luasnya 48,22 km2 atau sekitar 27,43% dari luas keseluruhan Kota Makassar dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Maros. Topografi wilayah kecamatan ini mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian elevasi 1-19 m di atas permukaan laut. Potensi sumberdaya alam yang ada di kecamatan ini antara lain di sektor pertanian dan perikanan.

Berdasarkan data BPS (2013), di subsektor pertanian, luas lahan peruntukannya sebagai lahan sawah yakni 657 ha dan lahan tegalan 284 ha. Subsektor perikanan darat, luas lahan peruntukan sebagai tambak 479 ha dengan produksi 149,80 ton. Secara umum, Pantai Kecamatan Biringkanaya sebagian besar merupakan pantai berlumpur dan bervegetasi mangrove serta merupakan pantai yang landai.Hanya sebagian kecil pantai ini tergolong cadas.Dilihat dari segi stabilitas pantai, maka pantai ini dapat dikatakan relative stabil dan tenang, namun cenderung maju ke arah laut akibat sedimentasi dari Sungai Mandai.Di samping itu

(54)

juga tampak adanya gejala abrasi sepanjang sekitar 30 m di perkampungan nelayan Kelurahan Untia.

Kecamatan Tamalanrea adalah Kecamatan terluas kedua sesudah Kecamatan Biringkanaya, dengan luas 31,84 km2 . Jumlah penduduk 89.143 jiwa.Topografi wilayah kecamatan dimulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian elevasi 1-22 m di atas permukaan laut. Penggunaan lahan di kecamatan ini sangat bervariasi mulai permukiman, perkantoran, pertokoan hingga gedung pendidikan. Salah satunya adalah Universitas sebagai universitas terbesar di Kawasan Indonesia Timur. Ke arah selatan kecamatan ini mengalir Sungai Tallo sehingga masyarakat yang bermukim di sekitar tepi sungai memiliki tambak. Selain di tepi Sungai Tallo, kawasan tambak juga ditemukan di sisi utara kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut. Pantai Kecamatan Tamalanrea merupakan pantai yang berbatasan dengan laut dan bagian muara Sungai Tallo.Sebagian besar tipe pantai di lokasi ini merupakan pantai berlumpur dan bervegetasi mangrove serta merupakan pantai yang landai.Namun demikian terdapat pula pantai cadas di sebelah selatan Lantebung (Kelurahan ParangLoe).

2. Gambaran Umum Jalan Tol Kota Makassar

Gambar 4.2 Peta Jalan Tol Kota Makassar

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Gambar 4.2 Peta Jalan Tol Kota Makassar
Foto Gerbang Tol Kota Makassar
Foto Gardu Tempat Isi Ulang UNIK

Referensi

Dokumen terkait