• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara lebih praktis, beberapailmuan sudah merumuskan model kerangka kerja dari Collaborative Governance tersebut, misalnya model yang memulai proses collaboration dari negosiasi, komitmen dan pelaksanaan yang dinaungi oleh assessment. Dalam operasionalnya negosiasi berarti proses bargaining antar aktor yang akan terlibat di dalam collaboration dan setelah terjadi negosiasi makaakan muncul komitmen dari masing-masing aktor atas apa yangakan dilakukan di dalam kerjasama tersebut. Sementara proses pelaksanaan merupakan bentuk pengejawantahan dari komitmen bersama yang telah diambil melalui keterlibatan seluruh aktor dan interkasi antar aktor (Purnomo, et.al, 2018:15).

Menurut Ansell dan Gash (dalam Fawwaz ,2017). Model Collaborative governance memiliki empat variabel luas yaitu:

1. Kondisi awal

Kondisi awal dalam suatu kolaborasi dipengaruhi oleh beberapa fenomena, yaitu para stakeholders memiliki kepentingan dan visi bersama yang ingin dicapai, sejarah kerjasama dimasa lalu, saling menghormati kerjasama yang terjalin, kepercayaan masing-masing stakeholders, ketidakseimbangan kekuatan, sumber daya, dan pengetahuan.

2. Desain Kelembagaan

Pemimpin meminta para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam negoisasi itikat baik dan mengeksplorasi, kompromi dan perolehan bersama. Collaborative governance sebagai konsensus yang berorientasi meskipun menunjukkan bahwa konsensus tidak selalu tercapai. Masalahnya di sini apakah

semua kolaboratif harus memerlukan konsensus. Masalah desain kelembagaan penggunaan tenggang waktu melemah merupakan sifat berkelanjutan kolaborasi secara tidak sengaja mengurangi insentif kerjasama jangka panjang. Desain Kelembagaan berkaitan dengan tata cara dan peraturan dasar dalam kolaborasi untuk prosedural proses kolaborasi yang legal, transparansi proses, inklusivitas partisipan, dan eksklusivitas forum.

3. Kepemimpinan

Kepemimpinan penting untuk merangkul, memberdayakan dan melibatkan para pemangku kepentingan dan memobilisasi untuk kesuksesan kolaborasi. Konflik yang tinggi dan kepercayaan rendah memiliki insentif untuk berpartisipasi maka collaborative governance dapat melanjutkan layanan perantara antara stakeholder yang menerima layanan. Ketersediaan para pemimpin cenderung bergantung sesuai dengan keadaan setempat. Implikasi kemungkinan kerjasama yang efektif mungkin terhambat oleh kurangnya kepemimpinan. Kepemimpinan fasilitatif berkaitan dengan musyawarah yang dilakukan oleh stakeholders, penetapan aturan-aturan dasar yang jelas, membangun kepercayaan, memfasilitasi dialog antar stakeholders dan pembagian keuntungan bersama.

4. Proses Kolaboratif

Proses kolaboratif ini merupakan variable yang penting, dimana proses kolaboratif diawali dengan dialog tatap muka yang berkaitan dengan kepercayaan yang baik, setelah melakukan dialog tatap muka dengan baik maka akan terbangun suatu kepercayaan yang nantinya akan berpengaruh terhadap komitmen dalam proses kolaborasi, setelah komitmen para stakeholders tinggi akan terjadi suatu

pemahaman bersama dalam perumusan masalah, identifikasi nilai-nilai, dan misi yang jelas. Setelah para stakeholders memiliki kesamaan dan kesepahaman, maka akan menentukan rencana strategis untuk menjalankan kolaborasi.

Model selanjutnya adalah model yang cukup terkenal yang dipopulerkan Bryson dan Crosby (2006:44-45) dengan istilah cross-sector collaboration, dimana Collaborative Governance terdiri dari initial condition, structure andgovernance, process, contingencies and constraints, outcomes danaccountabilies. Fokus dari konsep ini akan mengekplorasi dari sisiprosesnya yang terdiri dari:

a. Forging agreements yang merupakankesepakatan bersama seluruh stakholders untuk melakukan kerjasama

b. Building leadership yaitu perlu adanya kepemimpinan baik formal maupun informal sebagai komite atau manajer darikerjasama tersebut

c. Building legitimacy dimana pentingnya membangun legitimasi dengan adanya struktur, proses, dan strategi yang relevan dengan keadaan di sekitarnya

d. Building trust yaitu membangun kepercayaan antar stakholders yang bekerjasama dan ini sifatnya sangat penting sekali di dalam Collaborative Governance

e. Managing conflict yaitu mengelola konflik yang ada mengingat besarnya kepentingan yang muncul dari masing-masing stakeholders yang terlibat di dalam kerjasama

f. Planning tahapan yang sangat penting di dalam menentukan visi, misi, tujuan, tahapan, pelaksanaan, keterlibatan dan peran dari masing-masing stakholders, sehingga planning ini sangat menentukan keberhasilan dari kerjasama.

Proses kolaborasi yang dimaksud adalah Collaborative Governance yang didefinisikan sebagai proses dan struktur dalam pembuatan keputusan kebijakan publik dan manajemen yang melibatkan masyarakat secara konstruktif dalam batas-batas lembaga-lembaga publik, tingkatan pemerintahan dan/atau masyarakat, swasta dan masyarakat sipil untuk melaksanakan kepentingan umum yang tidak bisa dicapai tanpa pelibatan pihak swasta dan masyarakat (Emerson, Nabatchi & Balogh, 2011: 2).

Proses dari suatu kolaborasi dilaksanakan dalam beberapa tahapan. Suatu tahapan model kolaborasi menjadi penting untuk diperhatikan sebagai strategi dalam aspek pengelolaan suatu urusan publik. Meskipun proses kolaboratif sulit untuk dilaksanakan karena karakter dari tiap stakeholder yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ansell dan Grash (2007:558-561) menguraikan proses Collaborative Governancesebagai berikut:

a. Face to face dialogue

Semua bentuk Collaborative Governance dibangun dari dialog tatap muka secara langsung dari tiap stakeholder yang terlibat. Sebagaimana Collaborative Governance yang berorientasikan proses, dialog secara langsung sangat penting dalam rangka mengidentifikasi peluang dan keuntungan bersama. Dialog secara tatap muka langsung bukanlah semata-mata merupakan negoisasi yang ala kadarnya. Dialog secara langsung ini dapat meminimalisir antagonisme dan disrespect dari antar stakeholder yang terlibat. Sehingga, stakeholder dapat bekerjasama sesuai dengan tujuan dan kebermanfaatan bersama.

Buruknya rasa percaya antar stakeholder memang merupakan hal yang lumrah di awal proses kolaborasi. Kolaborasi memang bukan semata tentang negoisasi antar stakeholder, namun lebih dari itu merupakan upaya untuk saling membangun kepercayaan satu dengan yang lainnya. Membangun kepercayaan perlu dilakukan sesegera mungkin ketika proses kolaborasi pertama dilakukan. Hal ini diupayakan agar para stakeholder tidak mengalami egosentrisme antar institusi. Oleh karenanya, dalam membangunan kepercayaan ini, diperlukan pemimpin yang mampu menyadari akan pentingnya kolaborasi.

c. Commitment to process

Komitmen tentunya memiliki relasi yang kuat dalam proses kolaborasi. Komitmen merupakan motivasi untuk terlibat atau berpartisipasi dalam Collaborative Governance. Komitmen yang kuat dari setiap stakeholder diperlukan untuk mencegah resiko dari proses kolaborasi. Meskipun komitmen memang merupakan hal yang rumit dalam kolaborasi. Komitmen merupakan tanggung jawab dari stakeholder supaya memandang relasi yang dilakukan sebagai hal yang baru dan tanggungjawab tersebut perlu dikembangkan.

d. Share Understanding

Pada poin yang sama dalam proses kolaborasi, stakeholder yang terlibat harus saling berbagi pemahaman mengenai apa yang dapat mereka capai melalui kolaborasi yang dilakukan. Saling berbagai pemahaman ini dapat digambarkan sebagai misi bersama, tujuan bersama, obketivitas umum, visi bersama, ideologi yang sama, dan lain-lain. saling berbagi pemahaman dapat berimplikasi terhadat kesepakatan bersama untuk memaknai dan mengartikan suatu masalah.

e. Intermediate outcomes

Hasil lanjutan dari proses kolaborasi terwujud dalam bentuk output atau keluaran yang nyata. Hal ini merupakan hasil proses yang kritis dan esensial dalam mengembangkan momentum yang dapat membimbing demi keberhasilan suatu kolaborasi. Intermediate outcomes ini muncul apabila tujuan yang mungkin dan memberikan keuntungan dari kolaborasi yang mana secara relatif konkrit dan ketika “small wins” dari suatu kolaborasi dapat dimungkinkan terjadi.

Teori proses kolaborasi dari Emerson, Nabatchi, & Balogh (2011: 1-29), teori ini menganalisis komponen kolaborasi secara komprehensif. Teori proses kolaborasi atau Collaborative Governance Regime (CGR) menjelaskan secara rinci bagaimana proses kolaborasi yang bersifat dinamis dan bersiklus, dengan menghasilkan tindakan-tindakan dan dampak sementara, sebelum mengarah pada dampak utama, serta adaptasi terhadap dampak sementara.Berbagai komponen yang menjadi proses kolaborasi diuraikan sebagai berikut:

a. Dinamika kolaborasi

Beberapa ilmuan menggambarkan proses kolaborasi sebagai sebuah tahapan linier yang terjadi dari waktu ke waktu dimulai dari pendefinisian masalah menuju setting agenda hingga implementasi. Berlawanan dengan Ansell dan Gash (2008) serta Thomson dan Perry (2006), Emerson (2013) melihat dinamika proses kolaborasi sebagai siklus interaksi yang oriteratif. Emerson fokus pada tiga komponen interaksi dari dinamika kolaborasi.Komponen tersebut antara lain; penggerakan prinsip bersama (principled engagement), motivasi bersama (shared

motivation) dan kapasitas untuk melakukan tindakan bersama (capacity for joint action).

1. Penggerakan pinsip bersama

Penggerakan prinsip bersama merupakan hal yang terjadi terus-menerus dalam kolaborasi. Beberapa hal seperti dialog tatap muka, atau melalui perantara teknologi adalah cara untuk menggerakan prinsip bersama. Di dalam komponen ini terdapat penegasan kembali tujuan bersama, pembentukan dan pengembangan prinsip-prinsip bersama, yang sering diungkap dalam berbagai perspektif actor yang terlibat. Oleh karna itu, penyatuan prinsip merupakan inti dari hal ini (Emerson, Nabatchi, & Balogh, 2011:10).

Karakteristik masing-masing aktor, merupakan elemen kunci yang memepengaruhi seberapa baik prinsip bersama berjalan. Langkah awal kritis adalah bagaimana pemerintah memilih aktor yang akan terlibat dalam kolaborasi. Selanjutnya, setelah kolaborasi berkembang, penambahan aktor pun dimungkinkan. Kemudian barulah kegiatan penggerakan prinsip bersama terwujud.

2. Motivasi bersama

Motivasi bersama hampir sama dengan dimensi proses kolaborasi yang diungkapkan oleh Ansell dan Gash kecuali legitimasi. Motivasi bersama menekankan pada elemen interpersonal dan relasional dari dinamika kolaborasi yang kadang disebut sebagai modal social.komponen ini diinsiasi oleh penggerakan prinsip bersama yang merupakan hasil jangka menengah. Namun menurut Huxham dan Vangen dalam Emerson, Nabatchi, & Balogh (2011) motivasi bersama juga memperkuat dan meningkatkan proses penggerakan prinsip bersama. Emerson,

Nabatchi, & Balogh (2011:13) mengartikan motivasi bersama sebagai siklus penguatan diri yang terdiri dari empat elemen saling menguntungkan diantaranya : kepercayaan bersama, pemahaman bersama, legitimasi internal, dan komitmen. 3. Kapasitas untuk melakukan tindakan bersama

Tujuan kolaborasi adalah untuk menghasilkan outcome yang diinginkan bersama yang tidak dapat dicapai secara individu atau oleh satu aktor saja. Hal ini dikarenakan kolaborasi melibatkan aktivitas kooperatif untuk meningkatkan kapasitas diri dan orang lain dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, CGR harus menghasilkan kapasitas baru bagi masing-masing aktor untuk bertindak bersama yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Seringkali beberapa aktor kolaborasi tidak punya kapasitas untuk bertindak bersama, karena adanya perbedaan dan ketimpangan kekuatan. Oleh karena itu, definisi dari kapasitas atau berbagai hasil elemen-elemen lintas fungsional untuk menghasilkan tindakan yang efektif, karena adanya kapasitas yang memadai dari aktor (Emerson, Nabatchi dan Balogh, 2012).

Dalam hal ini, kapasitas untuk melakukan tindakan bersama dikonseptualisasikan dalam kerangka yang merupakan kombinasi dari empat elemen penting diantaranya : prosuder dan kesepakatan institusi, kepemimpinan, pengetahuan dan sumber daya. Elemen-elemen tersebut harus memadai dalam mencapai tujuan yang telah disepakati. Kapasitas untuk melakukan tindakan bersama seringkali dipandang sebagai hasil dari interaksi penggerakan prinsip bersama dan motivasi bersama. Namun perkembangan kapasitas untuk melakukan tindakan bersama juga dapat memperkuat motivasi bersama dan penggerakan

prinsip bersama yang memastikan tindakan dan dampak kolaborasi yang lebih efektif.

Pada dasarnya kapasitas untuk melakukan tindakan bersama merupakan hal krusial dan merupakan tantangan utama kolaborasi, karena selalu terdapat perbedaan karakteristik dan kekuatan antar actor. Kejelasan prosedur dan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam bentuk legal-formal, pengaruh kepemimpinan, manajemen pengetahuan, serta manajemen sumber daya merupakan elemen-elemen yang memepengaruhi baik tidaknya kapasitas dari para aktor, sehingga menjadi mampu melakukan tindakan bersama. Namun, melihat penjelasan pada masing-masing elemen, terdapat pengaruh yang muncul dari komponen sebelumnya, yaitu penggerakan prinsip bersama, dan motivasi bersama. Kesimpulan akhir dari dinamika kolaborasi ini adalah baik tidaknya dinamika ditentukan oleh tiga komponen, yaitu penggerakan prinsip bersama, motivasi bersama, dan kapasitas untuk melakukan tindakan bersama, yang didalamnya terdapat berbagai elemen. Dinamika yang ada berbentuk siklus, dimana masing-masing komponen saling mempengaruhi begitu juga elemen-elemennya dan tidak dipungkiri bahwa elemen tersebut dapat mempengaruhi elemn lintas komponen.

b. Tindakan-tindakan kolaborasi

Tindakan kolaborasi dilatarbelakangi oleh pemikiran mengenai sulit tercapainya tujuan jika hanya satu kelompok atau organisasi yang bertindak sendiri (Agranoff & Mc Guire, 2003).Tindakan-tindakan dalam kolaborasi merupakan inti dari kerangka collaborative governance. Menurut Innes dan Booher dalam

Emerson (2012) tindakan-tindakan kolaborasi merupakan hasil utama dari proses kolaborasi linier yang terkadang dikaitkan dengan dampak.

Tindakan kolaborasi yang efektif harus diungkapkan secara tersirat dengan perumusan tujuan yang jelas (Donahue, 2004). Hal ini dikarenakan akan sulit melakukan tindakan kolaborasi jika tujuan yang ingin dicapai dari kolaborasi itu sendiri tidak dibuat secara eksplisit. Tindakan-tindakan kolaborasi pada prakteknya sangat beragam seperti pemberdayaan masyarakat, penetapan proses perijinan, pengumpulan sumber daya, monitoring sistem/praktik manajemen baru, dan lain sebagainya. Kemudian, hasil daripada tindakan ini secara lansung membawa dampak sementara yang mengarah kembali pada dinamika kolaborasi, dan dampak jangka panjang.

Menurut Huxam dalam emerson (2011), beberapa tindakan kolaborasi memiliki tujuan sangat luas seperti penentuan langkah strategis dalam isu/bidang kebijkan. Namun banyak pula tindakan kolaborasi yang memiliki tujuan sempit seperti proyek pengumpulan dan analisis informasi spesifik. Tindakan kolaborasi ada yang dapat dilakukan secara sekaligus oleh seluruh stakeholders ada pula yang hanya bisa dilakukan oleh stakeholder tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing stakeholder.

c. Dampak serta adaptasi proses kolaborasi

Dampak dalam CGR yang dimaksud adalah dampak sementara yang ditimbulkan selama proses kolaborasi. Karakteristik dampak ada yang diharapkan, yang tidak diharapkan, serta tidak terduga.Dampak yang diharapkan adalah “small-wins” yaitu hasil-hasil positif yang terus memberlangsungkan semangat para actor,

Sedangkan dampak yang tidak diharapkan seperti kendala-kendala dalam pelaksanaan kolaborasi. Dampak tidak terduga juga dapat muncul secara langsung maupun tidak pada proses kolaborasi.

Berbagai dampak tersebut menghasilkan umpan balik atau feedbacks, yang kemudian di adaptasi oleh kolaborasi. Adaptasi yang dimaksud adalah bagaimana kolaborasi menyikapi feedback dari masing-masing aktor yang ada.Adaptasi yang baik adalah yang sekiranya dapat dilakukan oleh seluruh aktor kolaborasi, artinya tidak ada pengaruh kepentingan organisasi di atas kolaborasi, sehingga menyebabkan terjadinya usaha mengambil mafaat kolaborasi secara lebih untuk kepentingan organisasi sendiri. Adaptasi harus berdasarkan apa yang menjadi kebutuhan utama untuk dirubah di dalam kolaborasi, sehingga dari hal tersebut dapat menjaga kemajuan.

Dokumen terkait