• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOLEKSI DAN KEJADIAN MYIASIS YANG DISEBABKAN OLEH OLD WORLD SCREWWORM FLY, CHRYSOMYA BEZZIANA DI DAERAH ENDEMIS DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOLEKSI DAN KEJADIAN MYIASIS YANG DISEBABKAN OLEH OLD WORLD SCREWWORM FLY, CHRYSOMYA BEZZIANA DI DAERAH ENDEMIS DI INDONESIA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KOLEKSI DAN KEJADIAN MYIASIS YANG DISEBABKAN OLEH OLD

WORLD SCREWWORM FLY, CHRYSOMYA BEZZIANA DI DAERAH

ENDEMIS DI INDONESIA

APRIL H WARDHANA, S. MUHARSINI dan SUHARDONO

Balai Penelitian Veteriner, PO. Box 151. Bogor 16114

ABSTRACT

Collection and Incidence of Myiasis that were Caused by the Old World Scerwworm Fly, Chrysomya Bezziana in Endemic Area in Indonesia

A survey of the primary myiasis-producing screwworm fly, Chrysomya bezziana, was carried out in two endemic area in Indonesia i.e. in East Sumba and PT. Berdikari United Livestock Indonesia (PT. BULI) in Makassar, South Sulawesi. The aim of study was to collect flies and made as part of a global study of genetic variation of C. bezziana in Indonesia and others analysis. Twenty-three cattle in East Sumba and 6 cattle in South Sulawesi were used in this study. Artificial wound of 10 cm length was made on cattle femur to attract female flies. Beside that, C. bezziana was collected from natural infestations. Egg masses and larval were cultured and permitted become mature flies in laboratory. The result showed that there were 12 of myiasis cases in East Sumba and 24 of myiasis cases in South Sulawesi in some different stage of life. Two isolates of egg masses was successfully collected from artificial wound. Most of myiasis incidences occurs on cattle, calf, horse and buffalo with different wound locations i.e. vagina, umbilical, ear, eye, hoof, vulva, horn and rectal. One of them that was collected from both East Sumba and South Sulawesi, were cultured as laboratory colony until now.

Key words: Myiasis, Chrysomya bezziana, Indonesia

PENDAHULUAN

The Old World screwworm fly (OWSWF) atau Chrysomya bezziana adalah agen penyakit myiasis

(belatungan) yaitu adanya infestasi larva lalat pada jaringan tubuh hewan maupun manusia. Lalat ini tersebar luas di kawasan Afrika bagian tropis dan sub tropis, subkontinen India dan Asia Tenggara termasuk Malaysia, Indonesia dan Papua New Guinea (NARAYAN

dan PILLAY, 1936; NORRIS dan MURRAY, 1964; BASSET

dan KADIR, 1982; SUKARSIH et al., 1989; SUTHERST et

al., 1989).

Larva lalat C. bezziana ditemukan pertama kali di Indonesia pada kasus myiasis kuku sapi dalam bentuk infestasi campuran dengan larva lalat B. intonsus di daerah Minahasa (KRANEVELD dan PETTINGA, 1948). Kasus selanjutnya ditemukan pada kuda di daerah yang sama (KRANEVELD dan PETTINGA, 1949). Laporan lain menyebutkan bahwa telah terjadi kasus myiasis pada kuku sapi perah di daerah Bogor dalam bentuk infestasi campuran dengan Sarcophaga dux dan Musca

domestica (DJAENOEDIN, 1951).

Menurut PARTOUTOMO (2000), kejadian myiasis dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan sekarang telah tersebar hampir ke seluruh Indonesia. Umumnya kasus myiasis banyak terjadi pada ternak import dan ternak lokal yang dipelihara secara semi intensif dan ekstensif seperti di Pulau Lombok, Sumbawa, Minahasa, Pulau Jawa, Madura dan Bali. Makassar dan Sumba Timur dilaporkan sebagai daerah

endemis penyakit ini yaitu hampir setiap hari dijumpai kasus myiasis di lapangan (SIGIT and PARTOUTOMO, 1981; SUNARYA, 1998).

Chrysomya bezziana sangat jarang ditemukan di

sekeliling sapi. Lalat betina hanya mendekat ke ternak ketika akan bertelur. Lalat ini lebih senang bertengger di daun, pagar, pokok kayu dan berbaur dengan jenis

Calliphoridae lainnya di lingkungan tersebut. Banyak

jenis Calliphoridae lain yang juga berwarna hijau sehingga tidak mudah mengenali C. bezziana secara kasat mata. Oleh sebab itu, untuk keperluan identifikasi mutlak diperlukan lalat-lalat yang berasal dari larva yang diperoleh dari luka (SIGIT, 1978).

Paper ini melaporkan hasil koleksi dan kejadian kasus myiasis di dua daerah endemis di Indonesia yang nantinya akan dipelihara di laboratorium. Isolat-isolat yang berhasil dipelihara digunakan untuk analisis variasi genetik sehingga diharapkan dapat menggambarkan struktur populasi C. bezziana di Indonesia, disamping itu juga digunakan untuk analisis -analisis lainnya seperti uji obat tradisional, hibridisasi, uji in vitro dan in vivo.

MATERI DAN METODE

Chrysomya bezziana dikoleksi dari daerah-daerah

endemis penyakit myiasis yaitu pada beberapa peternakan rakyat di Sumba Timur dan di suatu ranch, PT. Berdikari United Livestock Indonesia (PT. BULI),

(2)

Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Makassar, Sulawesi Selatan.

Medium biakan Chrysomya bezziana

Medium biakan larva C. bezziana terdiri dari dua medium yaitu campuran daging giling dan darah

(Meat-Blood Mixture, MBM) dan media pemeliharaan larva

(Larval Rearing Medium, LRM). Medium MBM dibuat dengan cara mencampur 250 gram daging cincang dengan 30 ml darah segar sapi. Medium ini harus dalam bentuk segar dan hanya dibuat untuk tujuan menetaskan telur menjadi larva instar I (L1), sedangkan LRM dibuat dengan cara mencampur 300 gram marus (darah sapi), 30 gram susu kim, 30 gram tepung telur, 12 gram water

lock®, formalin 10% 1 ml dan 430 ml akuades. Medium ini dapat dalam bentuk segar atau disimpan pada 4oC maksimal dua hari sebelum digunakan (SUKARSIH et al.,

2000).

Koleksi larva Chrysomya bezziana secara alami

Chrysomya bezziana yang diperoleh dari lapangan

dalam berbagai stadium yaitu telur, L1, L2 dan L3. Pemeliharaan larva C. bezziana dilakukan berdasarkan metode yang dikerjakan oleh SUKARSIH et al. (2000). Telur yang dikoleksi dari luka myiasis dipindahkan ke dalam sudut kotak plastik berukuran 18,5 cm x 13,5 cm x 4,5 cm yang telah berisi MBM. Sebanyak 50 ml LRM ditambahkan disamping medium tersebut, selanjutnya kotak plastik ditutup dengan kain kasa dan separuhnya ditutup dengan potongan handuk basah untuk menjaga kondis i tetap lembab. LRM ditambahkan sampai memenuhi kotak plastik setelah inkubasi selama 24 jam sehingga L1 bermigrasi ke medium yang baru. Inkubasi di lanjutkan selama 24 jam, setelah itu LRM yang mengandung larva dipindahkan ke dalam sudut kotak plastik berukuran 30 cm x 23 cm x 4,5 cm dan ditambahkan 600 ml LRM yang baru disamping medium yang lama. Sebanyak 800 ml LRM ditambahkan pada sore hari dan diinkubasi 72 jam. Selama inkubasi L2 akan menjadi L3 yang selanjutnya dikoleksi.

Koleksi larva Chrysomya bezziana secara buatan Koleksi larva C. bezziana secara buatan dikerjakan berdasarkan metode SUKARSIH et al. (1989). Dua puluh

tiga ekor sapi di Sumba Timur dan 6 ekor di Sulawesi Selatan digunakan untuk luka buatan. Luka insisi dilakukan pada siang hari (pukul 14:00–15:00) dengan cara mengiris bagian rump sepanjang 8–10 cm dengan kedalaman 2 cm, selanjutnya ternak di lepas di padang gembalaan. Sapi dibawa kembali ke kandang pada pukul 18:00 untuk mengoleksi telur C. bezziana. Ternak

yang dilukai diterapi dengan Gusanex. Telur yang dikoleksi dipelihara sampai menjadi larva menggunakan metode dan cara yang sama seperti di atas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama penilitian di lapangan telah berhasil dikoleksi larva C. bezziana baik secara alami maupun buatan. Kejadian myiasis di Sumba Timur dan di PT. BULI, Sidrap, Makassar tergolong dalam myiasis traumatika yaitu myiasis yang didahului oleh terjadinya trauma atau luka pada suatu bagian tubuh ternak. Luka yang masih segar menarik lalat C. bezziana untuk hinggap dan bertelur di pinggir luka tersebut. Keadaan ini dibuktikan dengan didapatkannya isolat telur pada luka insisi di daerah femur sapi.

Awal infestasi larva terjadi pada daerah kulit yang terluka, selanjutnya larva bergerak lebih dalam menuju ke jaringan otot sehingga menyebabkan daerah luka semakin lebar. Larva akan berkembang menjadi lalat dewasa dengan cara memakan jaringan hidup, jaringan nekrotik atau bahan makanan yang sedang dicerna di dalam saluran pencernaan inang (SIGIT, 1978). Kondisi ini menyebabkan tubuh ternak menjadi lemah, nafsu makan menurun, demam serta diikuti penurunan produksi susu dan berat badan bahkan dapat terjadi anemia (SPRADBERY, 1991; BARHOOM et al., 1998).

Kasus myiasis alami yang diperoleh, berasal dari sapi, pedet, kuda, dan kerbau dengan lokasi luka yang berbeda-beda yaitu pada daerah vagina, umbilikus, telinga, kaki, mata, vulva, tanduk dan rektum.

Hasil koleksi di Sumba Timur

Enam lokasi dipilih sebagai tempat untuk mengoleksi larva C. bezziana sesuai dengan laporan Dinas Peternakan. Sebanyak 23 ekor sapi yang terdiri dari 8 ekor di Watu Puda, 9 ekor di Watu Hadang dan 6 ekor di Matowai Maringu digunakan untuk membuat luka insisi. Hasil yang diperoleh adalah 2 isolat telur yang selanjutnya dipelihara hingga menjadi L3, tetapi hanya 1 isolat saja yang mampu berkembang biak di laboratorium. Isolat ini dipelihara sampai sekarang dan dijadikan sebagai koloni lalat Sumba Timur di Laboratorium Entomologi, Departemen Parasitologi, Balai Penelitian Veteriner, Bogor, Indonesia.

Hasil yang diperoleh dari kejadian myiasis secara alami adalah 12 kasus berupa infestasi campuran antara

C. bezziana dan Sarcophaga sp . (Tabel 1). Kejadian

myiasis yang cukup tinggi di daerah Sumba Timur berhubungan erat dengan metode pemeliharaan ternak di daerah tersebut. Umumnya ternak sapi, kuda dan kerbau di Sumba Timur dipelihara secara ekstensif. Ternak dilepas di lapangan secara bebas dan

(3)

dikumpulkan apabila hendak dijual sehingga kurang mendapat perhatian dari peternak.

Hasil koleksi kasus myiasis menunjukkan bahwa ternak kuda lebih peka menderita penyakit ini. Setiap bagian tubuh kuda rentan terhadap serangan C. bezziana karena kuda mempunyai gerakan yang lebih lincah, kulitnya lebih halus dan dagingnya lebih lunak sehingga apabila terjadi luka akan lebih cepat meluas. Adanya luka traumatika ini akan menarik lalat betina untuk mendekat ke ternak dan meletakkan telurnya di pinggir luka tersebut. Kondisi ini memicu terjadinya peningkatan kasus myiasis di Sumba Timur.

Hasil koleksi di Sulawesi Selatan

Pembuatan luka insisi pada enam ekor sapi di sebuah ranch PT. BULI, Sidrap, Makassar tidak memberikan hasil. Kegagalan ini diduga karena luka yang dibuat cepat menutup dan mengering sehingga tidak mampu menarik C. bezziana untuk meletakkan telurnya di pinggir lokasi luka tersebut. Hasil koleksi kasus myiasis yang terjadi secara alami menunjukkan tingginya kasus penyakit ini di ranch tersebut (Tabel 2). Berbeda dengan di Sumba Timur, kasus myiasis di PT. BULI banyak menyerang pedet daripada sapi. Kejadian ini juga berhubungan dengan sistem pemeliharaannya yaitu sapi dilepas di lapangan sehingga pedet yang lahir kurang mendapat perhatian.

Luka pada umbilikus adalah luka yang selalu menyertai kelahiran pedet. Luka ini akan menarik lalat penyebab myiasis untuk meletakkan telurnya. Umbilikus yang mengandung larva akan membengkak, memerah dan panas. Apabila luka tersebut dikuakkan maka akan nampak sekumpulan larva lalat yang bergerak aktif masuk ke dalam jaringan disertai bau busuk yang menyengat.

Kepekaan ternak import pada serangan lalat myiasis terbukti dengan adanya 3 kasus yang terjadi pada sapi yang di datangkan dari Australia. Kasus lain juga terjadi pada sapi Limousin yang mengakibatkan telinganya putus. Larva yang dikoleksi dari myiasis pada sapi ini mampu berkemb ang biak di laboratorium sehingga dijadikan koloni Sulawesi Selatan yang dipelihara sampai sekarang (Tabel 2).

Pengobatan myiasis yang dilakukan di lapangan di Sumba Timur menggunakan karbamat (MIPCIN 50 WP) dan Echon. Kedua preparat ini cukup berbahaya karena merupakan insektisida sistemik sehingga banyak dilaporkan adanya keracunan pada ternak pascapengobatan (komunikasi pribadi dengan Dinas Peternakan). Di samping itu, digunakan juga obat-obat tradisional yaitu tembakau, baterai yang dicampur dengan oli, selanjutnya dioleskan pada luka. Pengobatan dengan cara ini ditujukan untuk mengeluarkan larva dari luka tetapi berakibat iritasi pada kulit.

Tabel 1. Hasil koleksi larva C. bezziana dari kasus myiasis di Sumba Timur

Koleksi larva Tanggal/ lokasi Hewan Jenis sampel Lokasi luka

C. bezziana Sarcophaga sp 25-03-02 / Watu Puda/Umalulu 26-03-02 / Watu Puda/Umalulu Watu Hadang/Umalulu 27-03-02 / Matowai Maringu/ Kahaungu Eti 28-03-02 / Matowai Maringu/ Kahaungu Eti Kataka/Lewa Lewa/Lewa 29-03-02 / Waingapu 30-03-02 / Waingapu Karantina/Waingapu sapi sapi pedet kuda kuda kuda kerbau kuda kuda sapi kuda sapi telur telur L2 L2+telur L3+telur L1 + L3 + telur L1 + L2 telur L3 telur +L2 telur+L2 telur femur femur umbilikus leher kaki rektum femur rektum kaki tanduk kaki tanduk + + + + + + + + + + + + - + - - + + + + + + + +

(4)

Tabel 2. Hasil koleksi larva C. bezziana dari kasus myiasis di PT. BULI – Makassar

Koleksi larva Tanggal / lokasi Hewan Jenis sampel Lokasi luka

C. bezziana Sarcophaga sp 02-04-02 /PT. BULI 03-04-02 /PT. BULI 18-06-02 /PT. BULI 19-06-02 /PT. BULI 20-06-02 /Sidrap 20-01-03 /PT. BULI 21-01-03 /PT. BULI sapi pedet sapi pedet sapi pedet sapi * sapi sapi pedet pedet pedet pedet sapi pedet pedet pedet pedet sapi sapi sapi sapi pedet pedet pedet sapi L3 L1 L3 L3 L3 + telur L1 L2 L2 + L3 L2 + L3 L2 + L3 L2 L1 L3 L2 + L3 - - - - - - - - L3 L2 L2 L2+L3 rektum umbilikus vagina dan rektum umbilikus dan rektum telinga umbilikus telinga vulva vulva umbilikus vulva umbilikus umbilikus mata umbilikus bahu ekor umbilikus kaki umbilikus umbilikus dan kaki kaki umbilikus umbilikus umbilikus vagina + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - - - + + + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

* Isolat yang dipelihara sebagai koloni di laboratorium Entomologi, Departemen Parasitologi, Balai Penelitian Veteriner, Bogor sebagai koloni Sulawesi Selatan

Pengendalian kejadian myiasis di PT BULI, Makassar dilakukan dengan cara melakukan perendaman (dipping) rutin dua kali seminggu dengan mecampur 6 liter Ecoflee® dengan 3 m3 air. Larutan ini dapat digunakan selama 1,5 tahun dan dilaporkan cukup efektif untuk pengendalian penyakit myiasis. Berbagai preparat telah dicoba untuk mengobati ternak yang menderita myiasis yaitu asuntol, lezinon, rifcord 505 dan campuran kapur, bensin serta vaselin. Ramuan yang dilaporkan cukup efektif untuk pengobatan myiasis di PT BULI yaitu campuran dari 50 gr Iodium, 200 ml alkohol 75% dan 5 ml Ecoflee® yang selanjutnya ditambah air hingga 1 liter. Ramuan ini langsung dioleskan pada luka yang mengandung larva sehingga larva keluar dan luka menjadi mengecil. Pengobatan ini dilakukan dua kali dalam seminggu dan digunakan hingga sekarang.

Kasus myiasis yang terjadi di Sumba Timur dan Sulawesi Selatan disebabkan oleh Chrysomya bezziana sebagai lalat primer dan Sarcophaga sp sebagai lalat sekunder. Pengobatan terhadap luka yang sekaligus membunuh larvanya adalah cara yang cukup efektif. Perlu dilakukan pemasangan perangkap (trap) di padang penggembalaan untuk memonitor populasi lalat ini.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh International Atomic

Energy Agency (IAEA). Penulis mengucapkan terima

kasih kepada Dinas Peternakan Waingapu, Drh. Martono, Bapak Yam yang banyak membantu dalam mengkoleksi larva di Sumba Timur. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Soegiarto, Drh.

(5)

Effendi, Bapak Damalele dari Balai Pengkajian Penyakit Veteriner (BPPV Maros), Dinas Peternakan dan Perikanan Sidrap, Ir. H. Jundawi, Bapak Thamrin dan Irsan yang telah memberi ijin melakukan penelitian di ranch PT. BULI.

DAFTAR PUSTAKA

BARHOOM, S. S., A. M KHALAF and F.S KADHIM, 1998. Aetiological and clinical findings of cutaneous myiasis in domestic animals in Iraq. Iraq J. Vet. Sci. 11: 31–44.

BASSET, C. R. and KADIR, S. B. A. 1982. The screwworm fly (Chrysomya bezziana) – an obstacle to large-scale beef production in Malaysia. Anim. Prod. Health

Tropics. 133-135.

DJAENOEDIN, R. 1951. Larvae of flies, which may occur in affections of the hoofs of cattle. Hemera Zoa. 58: 557– 560.

KRANEVELD, F.C. and PETTINGA, J.J. 1948. Klauwmyiasis bij runderen in de Minahasa (Noord Celebes). Ned. Ind.

Blad. Dierg. 55: 179–182.

KRANEVELD, F.C. and PETTINGA, J.J. 1949. Myiasis bij het paard. Hemera Zoa. 56: 296–298.

NARAYAN, M.A. and PILLAY, M. R. 1936. Some notes on cutaneous myiasis in animals in the Madras Presidency.

Indian J. Vet. Sci. Anim. Husb. 6: 261-265.

NORRIS, K. R. and MURRAY, M. D. 1964. Notes on the screwworm fly, Chrysomya bezziana (Diptera:

Calliphoridae) as a pest of cattle in Papua New Guinea.

CSIRO. Aust. Div. Entomol. Tech. Pap. 6.

PARTOUTOMO, S. 2000. Epidemiologi dan pengendalian myiasis di Indonesia. Wartazoa. 10 (1): 20–27.

SIGIT, S. H. 1978. Masalah myiasis pada sapi di Sulawesi Selatan. Laporan peninjauan ke Ranch Bina Mulya Ternak. Media Vet. 3 (2): 1–12.

SIGIT, S.H. and S. PARTOUTOMO, 1981. Myiasis in Indonesia.

Bull. Int. Epiz. 93: 173-178.

SPRADBERY, J.P. 1991. A Manual for the Diagnosis of Screwworm Fly. CSIRO Division of Entomology. Canberra. Australia.

SUKARSIH., R. S. TOZER, and M. R. KNOX. 1989. Collection and case incidence of the Old World screwworm fly,

Chrysomya bezziana, in three localities in Indonesia. Penyakit Hewan. 21. (38): 114–117.

SUKARSIH., S. PARTOUTOMO, R. TOZER, E. SATRIA. G. WIJFFELS dan G. RIDDING 2000. Establishment and maintenance of a colony of the Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana at BALITVET in Bogor, West Java, Indonesia. JITV. Spec. Ed. 5 (3).

SUNARYA, M.I.G.M . 1998. Penyakit Myiasis di Propinsi NTB. Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Bantuan EIVSP Pemerintah Australia. Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I NTB. Mataram.

SUTHERST, R. W., J. P. SPRADBERY and G. F. MAYWALD. 1989. The potential geographical distributi on of the Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana. Med. Vet.

Gambar

Tabel 1. Hasil koleksi larva C. bezziana dari kasus myiasis di Sumba Timur
Tabel 2. Hasil koleksi larva C. bezziana dari  kasus myiasis di PT. BULI – Makassar

Referensi

Dokumen terkait

Nilai tengah yang lebih baik dari kedua tetua nampak terlihat pada karakter tinggi tanaman, luas daun bendera, umur berbunga, jumlah floret hampa per malai, persentase

Proto- kol untuk mendapatkan tanaman triploid melalui per- silangan, menghadapi banyak kendala, yaitu memerlu- kan pentahapan/waktu yang panjang untuk mendapat- kan tanaman

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh lingkungan kerja fisik terhadap kinerja pustakawan di Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh?.. Tujuan penelitian

Atas persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya diatur dalam Pasal 348 ayat

Pihak pemegang paten berhak untuk melarang dan melaksanakan kegiatan penyewaan objek yang dipatenkannya, sebaliknya pihak lain haruslah memintakan izin untuk melaksanakan

Hasil pengukuran nilai PEFR tersebut kemudian dikategorikan normal atau tidak normal berdasarkan tabel hasil penelitian Tim Pneumobile Indonesia tahun 1993

Terakhir, kiranya pembangunan fasilitas USO telekomunikasi ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menggairahkan kembali industri telekomunikasi dalam negeri

memperhatikan ketika guru menerangkan, dan berusaha menambah wawasan dan pengetahuan yang telah dimiliki. Pembentukan kebiasaan belajar yang baik perlu dikembangkan karena