HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN,
INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
DI INDONESIA
SUTARSONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2012 Sutarsono H151104454
ABSTRACT
SUTARSONO. A Nexus between Governance, Infrastructure and Economic Growth in Indonesia. Under supervision of BAMBANG JUANDA and NOER AZAM ACHSANI. Good governance has an important role to promote economy growth. The study relationship between governance with economic growth using aggregate data in Indonesia did not find a significant relationship. Therefore, the purpose of this study was to explore the influence of governance on economic growth, both direct effects and indirect effects through infrastructure provision. By employing two stages least square method on the data 245 districts/cities in 2010, the results of this study indicate that governance affects economic growth through the provision of road infrastructure and the electricity infrastructure. A discussion of public policy and the firmness of the regional head on anti-corruption measures improving road infrastructure, while the duration of roadworks negatively affect the provision of road infrastructure. Facilitation efforts by the local government will increase the supply of electricity infrastructure. Governance affects economic growth directly through government policy that does not increase costs for businesses. Keywords: governance, infrastructure, economic growth, two stages least square
RINGKASAN
SUTARSONO. Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan NOER AZAM ACHSANI. Pada tahun 2001, Indonesia melakukan desentralisasi secara luas meliputi desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi administrasi. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang lebih besar dalam proses pembangunan. Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Untuk itu, tata kelola pemerintahan daerah menjadi penting dalam pengelolaan perekonomian daerah. Menurut Bardhan dan Mookherjee (2006), desentralisasi justru akan merugikan masyarakat apabila akuntabilitas pemerintah lokal rendah, karena desentralisasi hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu. Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola perekonomian daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat kompleks. De (2010) mengungkapkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bisa bersifat langsung dan tidak langsung, yaitu melalui jalur infrastruktur, perdagangan, dan investasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini mempunyai dua tujuan. Pertama, memberikan gambaran mengenai tata kelola pemerintahan daerah dan penyediaan infrastruktur di Indonesia. Kedua, menganalisis hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah, penyediaan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri. Cakupan penelitian ini adalah 245 kabupaten/kota di 19 provinsi tahun 2010, sesuai dengan cakupan studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh KPPOD. Tata kelola pemerintahan dalam penelitian ini hanya mencakup tata kelola pemerintahan daerah kabupaten/kota, tidak mencakup tata kelola pemerintah pusat dan provinsi. Tata kelola pemerintahan daerah dinilai berdasarkan persepsi pelaku usaha terhadap tata kelola pemerintah daerah hasil studi KPPOD yang meliputi sembilan aspek dengan 65 variabel penyusun. Infrastruktur dalam penelitian hanya mencakup infrastruktur ekonomi dasar yang ada di semua kabupaten/kota, yaitu: jalan, air bersih, dan listrik. Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian menggunakan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang digambarkan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita.
Metode analisis deskriptif eksploratif dengan bantuan tabel, grafik, uji beda rata-rata, dan analisis spasial digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama. Sedangkan tujuan kedua dijawab secara deskriptif dengan korelasi pearson dan metode ekonometrika two stages least square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas institusi daerah dan penyediaan infrastruktur baik jalan, air bersih, maupun listrik di Indonesia belum merata, baik antar wilayah administrasi maupun geografis. Kualitas institusi dan penyediaan infrastruktur di kota lebih baik dibandingkan kabupaten, dan kabupaten/kota di Jawa lebih baik dibandingkan kabupaten/kota di luar Jawa. Tata kelola pemerintahan daerah secara disagregat mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Tata kelola pemerintahan daerah diindikasikan berpengaruh tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Hal ini menjawab mengapa hubungan secara agregat dan langsung penelitian sebelumnya tidak diketemukan hubungan yang
signifikan. Penyediaan infrastruktur jalan dipengaruhi oleh tata kelola
pemerintahan daerah melalui adanya diskusi kebijakan publik, lama perbaikan
jalan, dan ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi,
ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi akan
meningkatkan efektifitas belanja infrastruktur jalan. Penyediaan infrastruktur listrik dipengaruhi tata kelola pemerintahan melalui pemberian fasilitas pendukung bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Perpres No.56 Tahun 2011 yang merupakan pembaruan Perpres No.76 Tahun 2005. Adapun penyediaan infrastruktur air bersih lebih dipengaruhi oleh tata kelola perusahaan. Adapun tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan pemerintah daerah yang tidak menyebabkan peningkatan biaya bagi pelaku usaha. Untuk itu, Pemerintah pusat perlu mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan daerah terutama untuk pemerintah daerah kabupaten dan luar Jawa, sehingga kualitas pemerintah daerah tidak timpang. Penguatan kualitas institusi lokal di wilayah tertinggal diperlukan mengingat tata kelola merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pengelolaan ekonomi daerah, dimana banyak daerah di kabupaten dan luar Jawa yang sebenarnya mempunyai potensi sumber daya alam yang melimpah tetapi belum dikelola dengan baik karena kurangnya kapasitas pemda. Untuk pembangunan infrastruktur harus ada keberpihakan (political will). Pemerintah daerah harus menambah belanja publik guna meningkatkan penyediaan infrastruktur dan mendorong pertumbuhan. Pemerintah pusat dapat mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan alokasi belanja infrastruktur, misalnya dengan instrumen DAK atau pemberian insentif dalam hal alokasi dana perimbangan bagi daerah yang mengalokasikan belanja infrastruktur tertentu. Selain itu, pemerintah daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tidak membuat kebijakan yang menyebabkan peningkatan biaya bagi pelaku usaha, seperti penghapusan Perda-perda yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Kata kunci: tata kelola pemerintahan, infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, two stages least square
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN,
INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
DI INDONESIA
SUTARSONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu EkonomiSEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec
Judul Tesis : Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Nama : Sutarsono NRP : H151104454 Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS
Ketua Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr. Tanggal Ujian: 3 September 2012 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Topik penelitian yang penulis pilih adalah ”Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang besar kepada kedua orangtua dan saudara penulis yang selalu mendorong penulis untuk terus maju dan tidak henti- hentinya mendo’akan penulis. Istri penulis, Mardiana, serta kedua buah hati penulis, Aisyah Halilah Nibras dan Muhammad Ihsan Albani, merupakan semangat terbesar bagi penulis untuk terus maju dan berkembang. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah SWT. Dia jualah yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Besar harapan penulis hasil penelitian ini dapat menjadi kontribusi penulis, baik untuk dunia pendidikan maupun pengambilan kebijakan penyediaan infrastruktur di Indonesia. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Bogor, September 2012 Sutarsono
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 7 September 1981 dari pasangan Subadi dan Sari. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menikah dengan Mardiana dan telah dikaruniai seorang putri dan seorang putra, Aisyah Halilah Nibras dan Muhammad Ihsan Albani. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Girikulon, Kabupaten Magelang pada tahun 1993. Pendidikan lanjutan tingkat pertama penulis tamatkan pada tahun 1996 di SMPN 2 Secang, Kabupaten Magelang. Kemudian pada tahun 1999, penulis lulus dari SMUN 1 Magelang. Selanjutnya penulis melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, dan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST) pada tahun 2003. Setelah tamat dari STIS, penulis menjalani ikatan dinas di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulaun Riau, Provinsi Riau. Kemudian seiring dengan pemekaran wilayah, sejak tahun 2005 menjadi bernama BPS Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pada akhir tahun 2008 penulis dipindah- tugaskan ke Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS Republik Indonesia. Pada tahun 2010 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program beasiswa BPS. Sebelum menjalani program pascasarjana (S2) penulis mengikuti program alih jenis dari Diploma IV ke Strata 1 (S1) dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE) pada tahun yang sama.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI...xiii DAFTAR TABEL...xv DAFTAR GAMBAR ... xvii DAFTAR LAMPIRAN...xix I. PENDAHULUAN ...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah...5 1.3 Tujuan Penelitian...6 1.4 Manfaat Penelitian...6 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...7 II. TINJAUAN PUSTAKA ...9 2.1 Tinjauan Teoritis ...9 2.1.1 Tata Kelola Pemerintahan ...9 2.1.2 Infrastruktur ...10 2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi...13 2.1.4 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Penyediaan Infrastuktur, dan Pertumbuhan Ekonomi ...15 2.1.5 Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Penyediaan Infrastruktur ...17 2.1.6 Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ...18 2.2 Tinjauan Empiris ...19 2.3 Kerangka Pemikiran ...22 2.4 Hipotesis Penelitian ...23 III. METODE PENELITIAN... 25 3.1 Jenis dan Sumber Data ...25 3.2 Metode Analisis...26 3.3.1 Analisis Deskriptif ...26 3.3.2 Analisis Regresi Berganda ...28 3.3 Spesifikasi Model Penelitian ...32 3.4 Definisi Variabel Operasional ...34 3.5 Prosedur Analisis...35 IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA ...37 4.1 Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia ...37 4.1.1 Akses Lahan dan Kepastian Hukum ...37 4.1.2 Perizinan Usaha... 41 4.1.3 Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha ...45 4.1.4 Program Pengembangan Usaha Swasta ...47 4.1.5 Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah ...50 4.1.6 Keamanan dan Penyelesaian Konflik ...53 4.1.7 Biaya Transaksi...55 xiii4.1.8 Kebijakan Infrastruktur ...58 4.1.9 Kualitas Peraturan Daerah ...60 4.1.10 Indeks Tata Kelola Pemerintahan Daerah... 61 4.2 Penyediaan Infrastruktur di Indonesia...62 4.2.1 Infrastruktur Jalan...62 4.2.2 Infrastruktur Air Bersih ...67 4.2.3 Infrastruktur Listrik ...71 V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH, PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA ...77 5.1 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Penyediaan Infrastruktur di Indonesia ...77 5.2 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ...81 5.3 Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan Terhadap Penyediaan Infrastruktur di Indonesia ...88 5.4 Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan dan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ...91 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...97 6.1 Kesimpulan ...97 6.2 Implikasi Kebijakan...97 6.3 Saran Penelitian Lanjutan ...98 DAFTAR PUSTAKA...99 xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Data dasar dan sumber data yang digunakan ...25 2 Perbandingan variabel-variabel akses lahan menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...39 3 Perbandingan variabel-variabel perizinan usaha menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...44 4 Perbandingan variabel-variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...46 5 Perbandingan variabel-variabel program pengembangan usaha swasta menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...49 6 Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...52 7 Perbandingan variabel-variabel keamanan dan penyelesaian konflik menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...54 8 Perbandingan variabel-variabel biaya transaksi menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...57 9 Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...59 10 Perbandingan akses jalan kabupaten/kota kualitas mantap menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010...66 11 Perbandingan akses air bersih kabupaten/kota menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...7112 Perbandingan akses listrik kabupaten/kota menurut wilayah
administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...75
13 Nilai korelasi infrastruktur jalan dengan variabel interaksi Pemda
dengan pelaku usaha tahun 2010 ...78
14 Korelasi infrastruktur dengan variabel-variabel integritas dan
kapasitas kepala daerah tahun 2010...80
15 Korelasi infrastruktur dengan variabel-variabel kebijakan
infrastruktur tahun 2010 ...80
16 Korelasi infrastruktur dengan indikator tata kelola tahun 2010 ...81
17 Korelasi akses lahan dan kepastian hukum dengan pendapatan per
kapita tahun 2010...81
18 Korelasi perizinan usaha dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...82
19 Korelasi interaksi pemerintah daerah-pelaku usaha dengan
pendapatan per kapita tahun 2010 ...83 xv
20 Korelasi program pengembangan usaha swasta dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...84 21 Korelasi kapasitas dan integritas kepala daerah dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...85 22 Korelasi keamanan dan penyelesaian konflik dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...85 23 Korelasi biaya transaksi dengan pendapatan per kapita tahun 2010...86 24 Korelasi kebijakan infrastruktur dengan pendapatan per kapita tahun 2010...87 25 Korelasi indeks tata kelola dengan pendapatan per kapita tahun 2010...87 26 Hasil estimasi model infrastruktur ...89 27 Hasil estimasi model pertumbuhan (gPDRBKap)... 92 xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Boxplot infrastruktur kabupaten/kota periode 2007-2010 ...4 2 Determinan pendapatan ...15 3 Diagram alur kerangka pemikiran ...23 4 Perkembangan infrastruktur jalan menurut tingkat kewenangannya di Indonesia periode 2000-2010 ...62 5 Perkembangan panjang jalan dan jumlah kendaraan bermotor periode 2000-2010 ...63 6 Perkembangan tingkat mobilitas periode 2000-2010 ...64 7 Perkembangan panjang jalan kabupaten/kota menurut kualitasnya periode 2001-2010 ...65 8 Peta aksesibilitas jalan menurut kabupaten/kota tahun 2010 ...66 9 Persentase rumah tangga yang mempunyai akses air minum layak 1993-2010 ...67 10 Perkembangan rumah tangga yang mempunyai akses air minum layak 2000-2010 ...69 11 Perkembangan volume air bersih yang disalurkan PDAM periode 2000-2010 ...70 12 Peta aksesibilitas air bersih menurut kabupaten/kota tahun 2010 ...70 13 Perkembangan rasio elektrifikasi listrik PLN periode 2000-2010 ...72 14 Perkembangan jumlah pelanggan PLN dan jumlah rumah tangga periode 2000-2010 ...73 15 Perkembangan energi listrik terjual dan pelangga PT. PLN periode 2000-2010 ...73 16 Perkembangan energi listrik terjual menurut jenis pelanggan PT. PLN periode 2000-2009 ...74 17 Peta aksesibilitas listrik menurut kabupaten/kota tahun 2010 ...75 18 Perkembangan alokasi belanja APBD Kabupaten/Kota periode 2001- 2010 ...954 19 Hubungan tata kelola pemerintahan, infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi ...95 xviixviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Hasil Estimasi Model Infrastruktur Jalan dengan Program STATA SE 10... 103 2 Hasil Estimasi Model Infrastruktur Air Bersih dengan Program STATA SE 10...104 3 Hasil Estimasi Model Infrastruktur Listrik dengan Program STATA SE 10... 105 4 Nilai korelasi Pearson infrastruktur ...106 5 Hasil Estimasi Metode 2SLS dengan Program SPSS 16...107 6 Ringkasan penelitian terdahulu... 118 xixHalaman ini sengaja dikosongkan xx
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonomi tetapi juga diukur dari tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan meratanya pembagian hasil pembangunan ekonomi. Semakin tinggi rata-rata pendapatan penduduk yang diimbangi dengan semakin meratanya distribusi pendapatan antar berbagai kelompok penduduk menunjukkan semakin tingginya kemajuan suatu bangsa. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam proses pembangunan. Indonesia memasuki era baru dengan diterapkannya sistem desentralisasi sejak tahun 2001, yang meliputi desentralisasi politik, fiskal, danadministrasi. Desentralisasi politik diwujudkan dengan dilaksanakannya
pemilihan kepala daerah secara langsung. Desentralisasi fiskal diwujudkan dalam bentuk pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mencari sumber pendapatan dan menentukan alokasi pengeluarannya sendiri, walaupun dalam pelaksanaanya masih menitikberatkan pada desentralisasi dari sisi pengeluaran. Adapun desentralisasi administrasi diwujudkan dengan diberikannya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur urusan tata pemerintahannya sendiri. Desentralisasi di Indonesia bergulir seiring dengan gerakan reformasi pada tahun 1998 yang menuntut turunnya pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 33 tahun. Setelah krisis ekonomi 1997, muncul gerakan masa yang menuntut demokratisasi sebagai bentuk ketidakpuasan sistem pemerintahan sentralistik pada masa orde baru. Pada saat yang bersamaan timbul ancaman disintegrasi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam menuntut pembagian kekuasaan dan pembagian kekayaan yang lebih besar. Untuk mengatasi permasalahan diatas, akhirnya diterapkan desentralisasi secara luas.
Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hayek (1948), Tiebout (1956), dan Oates (1999) berpendapat bahwa desentralisasi akan mendorong penyediaan pelayanan publik melalui teori efisiensi alokasi, persaingan, dan preferensi. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Aspirasi rakyat akan mudah dan cepat terekam, dan kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Salah satu diantara urusan yang didesentralisasikan adalah penyediaan pelayanan publik, termasuk didalamnya penyediaan infrastruktur, sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Menurut Undang- Undang No.38 tahun 2007, penyediaan infrastruktur merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Infrastruktur mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Berbagai studi empiris telah membuktikan bahwa infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (Setboonsarng 2005, Kwon 2001), serta pengurangan ketimpangan antar wilayah (D´emurger 2001, De dan Gosh 2005). Hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) juga menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan faktor penting bagi pengusaha untuk berinvestasi, dari sembilan sub-indeks tata kelola, kualitas infrastruktur mempunyai bobot paling besar, yaitu 36 persen pada tahun 2007 dan 38 persen pada tahun 2010. Percepatan penyediaan infrastruktur tidak hanya diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pada gilirannya akan menekan tingkat kemiskinan, tetapi pada skala makro, penyediaan infrastruktur juga diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Peningkatan peringkat investasi pada akhir tahun 2011 akan mendorong arus modal masuk, sehingga diperlukan suatu perangkat, salah satunya infrastruktur, untuk menstimulasi modal masuk tersebut menjadi investasi jangka panjang. Hal ini akan mengurangi
terjadinya resiko bubble yang dapat memicu krisis finansial seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Setelah 10 tahun pelaksanaan desentralisasi, penyediaan infrastruktur di Indonesia ternyata belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tercermin dari laporan The Global Competitiveness Report tahun 2010-2011 (The World Economic Forum 2010), dari 139 negara yang dikaji, Indonesia menempati peringkat 90 untuk aspek infrastruktur secara keseluruhan, sementara Malaysia dan Thailand masing-masing berada pada peringkat 27 dan 46. Dalam hal kualitas jalan, peringkat Indonesia adalah 84, jauh lebih rendah daripada Malaysia (21) dan Thailand (36). Demikian juga halnya dengan kualitas listrik, Indonesia ditempatkan di peringkat 97, sementara Malaysia peringkat 40 dan Thailand peringkat 42. Hasil studi TKED 2011 juga menunjukkan bahwa dari lima jenis infrastruktur yang dikaji, hanya infrastruktur telepon dan listrik— keduanya bukan merupakan kewenangan Pemda—yang dinilai relatif baik oleh pelaku usaha, masing-masing hanya dinilai buruk oleh sekitar 22 persen dan 34 persen pelaku usaha. Sedangkan infastruktur jalan, air bersih dan lampu penerangan jalan yang menjadi tanggung jawab Pemda masih dipandang buruk oleh lebih dari 40 persen pelaku usaha. Selain itu, selama empat tahun terakhir penyediaan infrastruktur di kabupaten/kota yang meliputi jalan, air bersih, dan listrik justru menunjukkan sebaran yang semakin lebar. Interquartile range (IQR) yang merupakan ukuran penyebaran data selama periode 2007-2010 menunjukkan trend peningkatan (Gambar 1). IQR jalan meningkat dari 0,4800 pada tahun 2008 menjadi 0,4927 pada tahun 2010. Sedangkan IQR air bersih dan listrik masing-masing meningkat dari 29,7904 pada 2007 menjadi 39,4408 pada 2010 untuk air bersih dan dari 236,683 menjadi 367,347 untuk listrik. Hal ini mengindikasikan bahwa desentralisasi telah meningkatkan ketimpangan penyediaan infrastruktur antar kabupaten/kota di Indonesia. Indikasi diatas didukung oleh pendapat Bardhan dan Mookherjee (2006) yang menyatakan bahwa desentralisasi justru akan merugikan masyarakat apabila akuntabilitas pemerintah lokal rendah, karena desentralisasi hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka pengelolaan perekonomian,
A ks es Ja la n (Km /Km 2 ) A ks e sAir B e rs ih( m 3 /r um a h ta ngga ) A ks e sL is tr ik(K w h/ p e nduduk) sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi tata kelola pemerintahan daerah menjadi penting. North (1990) dan Bardhan (2002) menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan mempunyai peran penting dalam perekonomian secara umum. 12 10 8 6 4 2 0 IQR: 0,4920 IQR: 0,4800 IQR: 0,4831 IQR: 0,4927 2007 2008 2009 2010 (a) Jalan 2500 3500 3000 2000 2500 1500 1000 500 0 2000 1500 1000 500 0
IQR: 29,7904 IQR: 29,7818 IQR: 38,4874 IQR: 39,4408 IQR: 236,683 IQR: 237,070 IQR: 252,448 IQR: 367,347
2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010 (c) Air bersih (b) Listrik Sumber: BPS, diolah Gambar 1 Boxplot infrastruktur kabupaten/kota periode 2007-2010 Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat kompleks. Selain itu, karena analisis dilakukan dengan data agregat sementara terdapat 61 variabel, sehingga arah hubungan tata kelola dengan pertumbuhan ekonomi bisa berbeda antara data agregat dengan data disagregat. Hal ini dikarenakan arah hubungan setiap variabel penyusun indeks bisa mempunyai arah hubungan
dengan pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda, sehingga pengagregatan berupa indeks justru akan menghilangkan hubungan tersebut. Kompleksitas hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi juga dikemukan oleh De (2010) yang menyatakan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung tata kelola
dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur infrastruktur,
perdagangan, dan atau investasi. 1.2 Perumusan Masalah Ada beberapa alasan mengapa studi mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia menarik untuk dikaji. Pertama, desentralisasi di Indonesia dilaksanakan secara big bang tanpa ada penyiapan tata kelola pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang didesentralisasikan. Padahal tata kelola pemerintahan mempunyai peran penting sebagai supporting system bagi pengelolaan perekonomian daerah. Kedua, studi empiris mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia masih sedikit. Studi tentang tata kelola di Indonesia kebanyakan bersifat teoritis dan politis. Sehingga belum diketahui secara empiris bagaimana peran tata kelola pemerintahan terhadap proses pembangunan di Indonesia. Hal ini karena terkendala ketersediaan data. Sejak tahun 2007 KPPOD telah melaksanakan studi TKED yang memotret tata kelola pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2007 KPPOD melakukan studi TKED di 15 provinsi, sedangkan tahun 2008 studi hanya dilakukan di Provinsi Aceh. Pada tahun 2010 KKPOD melakukan studi yang sama di 19 provinsi dengan tiga provinsi yang sama dengan studi tahun 2007, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sehingga data mengenai tata kelola pemerintahan secara nasional sekarang ini sudah tersedia. Ketiga, hasil kajian sebelumnya oleh McCulloch dan Malesky (2010) dengan data agregat tidak ditemukan pengaruh langsung tata kelola terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini memberi kesan bahwa tata kelola pemerintahan daerah tidak penting sehingga peningkatan kualitas institusi melalui reformasi
birokrasi tidak perlu dilakukan, sebagaimana menjadi salah satu implikasi kebijakan penelitian tersebut untuk mengurangi fokus pada kapasitas pemerintah daerah. Untuk itu, perlu dieksplorasi dan dikaji lebih mendalam berdasarkan data disagregat, yaitu variabel-variabel tata kelola pemerintahannya, bagaimana sebenarnya pengaruh tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, apakah tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, atau berpengaruh tetapi secara tidak langsung, dalam hal ini melalui jalur infrastruktur. Dengan uraian di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran tata kelola pemerintahan daerah dan infrastruktur di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan tata kelola pemerintahan daerah dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran mengenai tata kelola pemerintahan dan infrastruktur di Indonesia. 2. Menganalisis hubungan tata kelola pemerintahan dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran mengenai hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi, baik hubungan secara langsung maupun melalui penyediaan infrastruktur di Indonesia. Pembahasan tata kelola pemerintahan secara disagregat, baik jenis infrastruktur maupun variabel tata kelola pemerintahan daerah, diharapkan akan dapat lebih memperjelas implikasi kebijakan yang dapat diambil peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi serta pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan untuk
mendorong penyediaan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya, khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Cakupan penelitian ini adalah 245 kabupaten/kota tahun 2010 di 19 provinsi, sesuai dengan cakupan studi TKED yang dilaksanakan oleh KPPOD. Daftar provinsi cakupan penelitian adalah Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Khusus untuk gambaran penyediaan infrastruktur, analisis dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010, yang mencakup 497 kabupaten/kota. Tata kelola pemerintahan dalam penelitian ini hanya mencakup tata kelola pemerintahan daerah kabupaten/kota, tidak mencakup tata kelola pemerintahan pusat dan provinsi. Tata kelola pemerintahan daerah dinilai berdasarkan persepsi pelaku usaha terhadap tata kelola pemerintah daerah hasil studi KPPOD yang meliputi sembilan aspek dengan 61 variabel penyusun. Infrastruktur dalam penelitian hanya mencakup infrastruktur ekonomi dasar yang ada di semua kabupaten/kota, yaitu: jalan, air bersih, dan listrik. Hal ini mengacu pada penggolongan infrastruktur menurut Bank Dunia. Infrastruktur ekonomi dasar lain seperti telekomunikasi, dan sanitasi tidak dicakup karena ketidaktersediaan data di tingkat kabupaten/kota.
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Tata Kelola Pemerintahan Dixit (2001) mendefinisikan tata kelola secara luas menyangkut interaksi- interaksi antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan beberapa peneliti lain memisahkan tata kelola menjadi konsep yang berbeda dan lebih sederhana, seperti korupsi (Wei 2000), transparansi (Kaufmann et al. 2003), dan peraturan (Djankov et al. 2002). Busse et al. (2007) menggunakan tata kelola pemerintahan (governance) sebagai proxy kualitas institusi. North (1990) memasukkan birokrasi sebagai salah satu unsur dari institusi, sehingga tata kelola pemerintahan merupakan gambaran kualitas desentralisasi birokrasi. Menurut Asian Development Bank (2009), terdapat empat prinsip pokok tata kelola pemerintahan yang baik, antara lain:1. Accountability, yaitu pejabat dapat mempertanggung-jawabkan
kebijakannya, kebijakan dilakukan berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku, dan setiap pekerjaan dilaporkan secara benar dan akurat. 2. Participation, yaitu pegawai diberikan peran dalam pembuatan keputusan, adanya pemberdayaan masyarakat, khususnya penduduk miskin, melalui pemenuhan hak akan akses untuk memperoleh kehidupan yang layak. 3. Predictability, yaitu: adanya kepastian hukum melalui penegakan hukum, aturan, dan kebijakan secara adil dan konsisten. 4. Transparency, yaitu ketersediaan informasi yang murah dan mudah dipahami masyarakat guna mendukung akuntabilitas yang efektif, dan dan adanya kejelasan hukum, aturan, dan kebijakan.
World Bank Institute (2008) mengukur tata kelola pemerintahan
menggunakan enam indikator. Keenam indikator tersebut antara lain: (1)
keterbukaan dan akuntabilitas, (2) stabilitas politik dan ketiadaan
kekerasan/terorisme, (3) efektifitas pemerintahan, kualitas peraturan, (5)
Sedangkan KPPOD mengukur tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia dari aspek tata kelola ekonomi. KPPOD (2007) menggunakan sembilan indikator untuk mengukur tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia melalui survei terhadap pelaku usaha. Kesembilan aspek tersebut antara lain: (1) Akses lahan dan kepastian hukum, (2) Infrastruktur, (3) Perizinan usaha, (4) Kualitas peraturan daerah, (5) Biaya transaksi, (6) Kapasitas dan integritas bupati/walikota, (7) Interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha, (8) Program pengembangan usaha swasta, (9) Keamanan dan penyelesaian konflik. 2.1.2 Infrastruktur Grigg (2000) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat. Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkan atau membangun kegunaan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Akatsuka dan Yoshida (1999) menambahkan bahwa infrastruktur fasilitas dan jasa biasanya disediakan secara gratis atau dengan harga yang terjangkau dan terkontrol. Ada enam kategori besar infrastruktur menurut Grigg (2000), yaitu: kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan), kelompok pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara), kelompok air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air), kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat), kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar, dan kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas). World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi, meliputi: public utilities (listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya); 2. Infrastruktur sosial, meliputi: pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi; 3. Infrastruktur administrasi, meliputi: penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis infrastruktur yang penyediaannya diatur oleh pemerintah, yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga penyediaannya perlu diatur oleh pemerintah. Infrastruktur Jalan Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh pusat kegiatan, baik kegiatan ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik maupun pertahanan keamanan dihubungkan oleh jaringan jalan. Dalam kerangka tersebut jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan saperti pemerataan hasil-hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, jalan juga berperan dalam pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan. Berdasarkan statusnya jalan dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa. Berdasarkan kewenangannya, jalan nasional termasuk jalan tol yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sementara jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa merupakan kewenangan pemerintah daerah. Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi, infrastruktur jalan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah didanai dari Anggaran Pendapatan Belanja daerah (APBD). Infrastruktur Air Bersih Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Keterbatasan air bersih merupakan suatu tantangan bagi manusia. Seiring dengan pertumbuhan pembangunan di segala bidang, antara lain: permukiman, kegiatan industri, kegiatan perdagangan dan lain-lain, kebutuhan akan air untuk berbagai sektor diperkirakan akan meningkat,
oleh karena itu pengadaan sarana pemenuhan kebutuhan air seperti halnya kebutuhan air bersih akan sangat diperlukan. Akses terhadap air bersih merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai. Sistem air bersih yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, dan vital bagi kesehatan manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1987 tentang desentralisasi tanggung jawab pemerintah pusat disebutkan bahwa tanggung jawab untuk menyediakan suplai air bersih adalah pada pemerintah daerah. Sebagai perwujudannya, penyediaan sebagian besar kebutuhan air bersih di Indonesia dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang terdapat di setiap provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. PDAM merupakan perusahaan daerah sebagai sarana penyedia air bersih yang diawasi dan dimonitor oleh aparat eksekutif maupun legislatif daerah. PDAM sebagai perusahaan daerah diberi tanggung jawab untuk mengembangkan dan mengelola sistem penyediaan air bersih serta melayani semua kelompok konsumen dengan harga yang terjangkau. PDAM bertanggung jawab pada operasional sehari-hari, perencanaan aktivitas, persiapan dan implementasi proyek, serta bernegosiasi dengan pihak swasta untuk mengembangkan layanan kepada masyarakat. Infrastruktur Listrik Energi listrik diketahui sebagai energi yang paling mudah dipergunakan, efisien, untuk berbagai keperluan, industri, proses produksi, perkantoran, pendidikan, perumahan dan kegiatan kegiatan lain yang berhubungan dengan keperluan hajat hidup manusia. Listrik merupakan salah satu input yang menunjang peningkatan output barang dan jasa, disamping input barang dan jasa lainnya. Infrastruktur kelistrikan terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan produktifitas sektor produksi. Di Indonesia, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun sejak tahun 2009, ada usaha memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat untuk membuka jenis usaha pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan tenaga listrik. Selain itu ada pendelegasian kewenangan
kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dalam hal pemberian ijin usaha dan penetapan tarif listrik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan pendapatan per kapita, yang diperlukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan (Tambunan 2006). Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi penduduk bertambah. Pada tingkat regional seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di dalam suatu daerah kabupaten/kota diukur secara agregat dalam bentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Seluruh barang dan jasa yang diproduksi dikonversi dalam bentuk mata uang negara yang bersangkutan agar dapat diagregasikan. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari perubahan peningkatan PDB riil pada periode tertentu. Pada tingkat rumah tangga ataupun individu pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari peningkatan pendapatan rumah tangga atau pendapatan perkapita. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi dapat didekati dengan pengukuran peningkatan PDB atau peningkatan pendapatan perkapita. Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan Harrod-Domar, model perubahan struktural, model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Model pertumbuhan Harrod-Domar menekankan perlunya tabungan untuk kegiatan investasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan oleh peningkatan pendapatan nasional. Teori perubahan struktural menekankan pada mekanisme transformasi ekonomi negara terbelakang dengan kegiatan ekonomi yang bersifat pertanian subsisten menuju negara modern yang berbasis industri manufaktur dan jasa. Proses transformasi ini disebabkan adanya surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang pindah ke sektor industri secara terus menerus.
Teori pertumbuhan neoklasik dikenal dengan model pertumbuhan Solow karena pertama kali dikemukan oleh Robert Solow. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi terjadi tidak saja dipengaruhi oleh peningkatan modal (melalui tabungan dan investasi) tetapi juga dipengaruhi oleh peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan) dan peningkatan teknologi, dengan asumsi diminishing return to scale bila input tenaga kerja dan modal digunakan secara parsial dan constant return to scale bila digunakan secara bersama-sama, serta perekonomian berada pada keseimbangan jangka panjang (full employment). Model pertumbuhan endogen memasukkan pengaruh teknologi, investasi modal fisik dan sumber daya manusia sebagai variabel endogen. Model pertumbuhan endogen mengeluarkan asumsi diminishing return to scale atas investasi modal dari model, dan memberikan peluang terjadinya increasing return to scale dalam produksi agregat dan peran eksternalitas dalam menentukan tingkat pengembalian investasi modal. Investasi sektor publik dan swasta dalam sumber daya manusia menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas sehingga terjadi increasing return to scale dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Tingkat pertumbuhan tetap konstan dan berbeda antar negara tergantung tingkat tabungan nasional dan tingkat teknologinya. Tingkat pendapatan perkapita di negara-negara miskin akan modal cenderung tidak dapat menyamai tingkat pendapatan perkapita di negara kaya, meskipun tingkat pertumbuhan tabungan dan tingkat pertumbuhan penduduknya serupa. Aspek yang menarik dari model pertumbuhan endogen adalah mampu menjelaskan keanehan aliran modal internasional yang memperparah ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Potensi tingkat pengembalian atas investasi yang tinggi yang ditawarkan negara berkembang (rasio modal-tenaga kerja rendah) akan berkurang dengan cepat karena rendahnya tingkat investasi sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan (R&D). Model ini dikembangkan lagi oleh Romer dengan menambahkan asumsi cadangan modal dalam keseluruhan perekonomian dan adanya eksternalitas positif dari ilmu pengetahuan sebagai barang publik, secara positif mempengaruhi
output pada tingkat industri, sehingga terdapat kemungkinan increasing return to scale pada tingkat perekonomian secara keseluruhan.
2.1.4 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Penyediaan Infrastuktur, dan Pendapatan Per Kapita
De (2010) mengembangkan kerangka teori hubungan tata kelola
pemerintahan dengan infrastruktur, yang merupakan modifikasi dari kerangka determinan pendapatan Rodrik et al. (2002) dan Busse et al. (2007). Pola hubungan ini dikembangkan dari pemikiran bahwa tata kelola pemerintahan dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui perdagangan, investasi, infrastruktur, dan geografis. Gambar 2 memperlihatkan bahwa tata kelola pemerintahan mempunyai pengaruh secara langsung terhadap tingkat pendapatan melalui pengurangan terhadap biaya transaksi. De (2010) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara bagaimana kualitas institusi memengaruhi pendapatan. Pertama, mengurangi asimetris informasi melalui pemberian informasi oleh institusi mengenai keadaan, barang, dan pelaku di pasar secara simetris. Kedua, mengurangi resiko, yaitu institusi yang baik akan menjamin hak intelektual (property rights). Dan ketiga, adanya pembatasan terhadap kepentingan kelompok tertentu melalui akuntabilitas. Tingkat Pendapatan Keunggulan komparative, skala ekonomi, teknologi Informasi asimetris, risk premium, kekuatan politik dan kepentingan kelompok Daya tarik Infrastruktur Produktivitas pertanian pasar Jarak ke pasar Pengetahuan, sumber daya, preferensi Integrasi Institusi/Tata Kelola Keterbukaan, kompetisi, less rent
Geografis Endowments, resource curse
Sumber: De (2010)
Pengaruh tidak langsung tata kelola pemerintahan melalui jalur infrastruktur adalah bahwa dengan tata kelola pemerintahan yang baik, maka akan ada keberpihakan (political will) dalam pemanfaatan pengetahuan dan sumber daya untuk mendorong peningkatan infrastruktur. Selain itu tata kelola pemerintahan yang baik akan meningkatkan kualitas infrastruktur karena tidak banyak kebocoran alokasi sumber daya yang disebabkan oleh para pencari rente. Sehingga dengan infrastruktur yang baik maka akan meningkatkan keunggulan komparative, meningkatkan efisiensi sehingga tercapai skala ekonomi, dan infrastruktur sebagai representasi dari kemajuan teknologi. Litvack et al. (1998) berpendapat bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang jarak geografis yang paling minimum, karena: 1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; 2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; 3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Namun, Vazques dan McNab (1997) mengingatkan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat menghambat pencapaian tujuan desentralisasi, seperti: birokrasi yang dikuasai oleh elit lokal, meningkatnya praktek korupsi di pemerintahan lokal, dan terbatasnya kapasitas birokrasi lokal. Ketiga hambatan tersebut mencerminkan bahwa birokrasi atau tata kelola pemerintahan mempunyai peranan penting dalam pencapaian desentralisasi secara umum. Hal ini juga dikemukakan oleh Gerittsen (2009), bahwa booming infrastruktur antara tahun 2009-2015 akan menghasilkan pemenang dan pecundang. Pecundang akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada dengan mengorupsi belanja infrastruktur dan kurangnya kapasitas. Sedangkan pemenang akan menciptakan mesin pertumbuhan baru bagi generasi selanjutnya melalui energi terbarukan, dan daya saing global dibidang kesehatan dan pendidikan. Terdapat sejumlah kebijakan nasional dan daerah yang berkaitan erat dengan kualitas jalan diantaranya adalah peraturan mengenai pengadaan barang
dan jasa (Perpres 8/2006 dan Kepres 80/2003). Peraturan ini dikeluarkan untuk mengurangi tingkat resiko terjadinya korupsi dan kolusi pada proses tender proyek pemerintah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas barang dan jasa yang diadakan karena melalui proses yang lebih transparan dan akuntabel. Tender proyek pemerintah disini berarti berbagai bentuk investasi publik pemerintah seperti pembangunan jalan, pengadaan lampu penerangan jalan, dan pengadaan material jembatan. Disini juga disebutkan pengaturan mengenai tingkatan subkontrak agen yang disinyalir dapat menurunkan kualitas barang dan jasa karena terdapat semakin banyaknya agen yang menerima kick- back fee pada setiap tingkatan kontrak proyek. Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi dari pemodalan swasta. 2.1.5 Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Penyediaan Infrastruktur 1. Pendapatan Per Kapita De (2010) menyatakan bahwa hubungan pendapatan per kapita dengan infrastruktur bersifat daua arah. Peningkatan pendapatan per kapita akan mendorong permintaan infrastruktur yang akan direspon oleh penyedian infrastruktur dengan meningkatkan infrastruktur, dan sebaliknya infrastruktur akan mendorong perekonomian sehingga akan meningkatkan pendapatan per kapita. Dalam hal ini pendapatan perkapita menjadi demand driver penyediaan infrastruktur. 2. Belanja Infrastruktur Belanja publik pemerintah merupakan salah satu sumber pembiayaan infrastruktur, bahkan untuk jenis infrastruktur yang mempunyai sifat barang publik murni, maka belanja publik pemerintah menjadi satu-satunya sumber pendanaan. Seiring dengan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mempunyai hak untuk mengelola secara penuh alokasi belanjanya.
Untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan yang dikenal dengan prinsip money follows function. Transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara garis besar dibedakan atas bagi hasil (revenue sharing) dan bantuan (grant). Dana bantuan dibagi lagi menjadi bantuan blok (block grant) dan bantuan spesifik (specific grant). Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa penerimaan daerah adalah Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH merupakan instrumen pemerintah untuk mengurangi ketimpangan vertikal, dengan pembagian alokasi bagi hasil sumber daya alam yang lebih berimbang antara pusat dan daerah. Adapun DAU dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan horizontal, dengan memberikan alokasi dana yang lebih untuk daerah yang kurang, atau bersifat subsidi silang. Sedangkan DAK dimaksudkan untuk mendorong penyediaan infrastruktur, yang alokasinya mensyaratkan bagi daerah untuk menyediakan dana pendamping sebesar 10 persen dari DAK yang diminta. 2.1.6 Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi 1. Rata-rata lama sekolah Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja, tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi. Tournemaine (1997) menyatakan bahwa penduduk dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap pendapatan per kapita tergantung pada kualitas
penduduknya. Kualitas penduduk menggambarkan tingkat produktivitas.
Produktivitas dan standard of living suatu negara sebagian ditentukan oleh
pertumbuhan penduduknya. Pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap standard of living digambarkan dalam pendapatan per kapita. Negara yang memiliki
pertumbuhan penduduk tinggi akan memiliki pendapatan per kapita yang rendah.
Alasannya adalah pertumbuhan jumlah tenaga kerja (dicerminkan dari
lebih ―tipis . Jumlah kapital per tenaga kerja yang kecil mengarah pada produktivitas yang rendah dan GDP per tenaga kerja yang rendah pula. Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menghambat pengembangan human capital. Negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi memiliki jumlah anak usia sekolah yang besar sehingga membebani sistem pendidikan negara tersebut dan menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi anak usia sekolah. 2. Belanja Publik Menurut Barro (1996), pengeluaran pemerintah yang diarahkan pada kegiatan yang relatif bersifat investasi, maka pemerintah telah menciptakan semacam input baru dalam proses produksi secara eksternal yang selanjutnya akan mendorong kegiatan usaha pada tingkat perusahaan dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat agregat. Chao dan Grubel (1997) menerangkan bahwa hubungan antara peran pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi berbentuk kuadratik. Artinya, peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. 2.2 Tinjauan Empiris De (2010) mengkaji peran tata kelola terhadap penyediaan infrastruktur untuk negara-negara di Asia dengan data tahun 1996 dan 2006. Penelitian menggunakan indeks tata kelola pemerintahan dari World Bank Institute. Selain menggunakan data agregat penelitian ini juga mengeksplorasi pengaruh dari masing-masing indikator yang meliputi: kontrol terhadap korupsi, penegakan hukum, kualitas peraturan, efektivitas pemerintah, stabilitas politik, keterbukaan dan akuntabilitas. Terdapat enam jenis infrastruktur yang digunakan, yaitu: jalan, rel kereta, telekomunikasi, pelabuhan, bandara, dan listrik. Keenam jenis infrastruktur tersebut dijadikan indeks komposit dengan Principal Component Analysis (PCA), yang selanjutnya diberi nama the Physical Infrastructure Index