IV.
GAMBARAN
TATA
KELOLA
PEMERINTAHAN
DAERAH
DAN
PENYEDIAAN
INFRASTRUKTUR
DI
INDONESIA
4.1 Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia
Terdapat sembilan dimensi tata kelola pemerintahan yang dipotret dari Studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh KPPOD pada tahun 2010, yaitu: akses terhadap lahan usaha dan kepastian berusaha, perizinan usaha, interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta (PPUS), kapasitas dan integritas kepala daerah, biaya transakasi, infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan peraturan daerah. Berikut adalah gambaran untuk masing-masing aspek tata kelola pemerintahan.
4.1.1 Akses Lahan dan Kepastian Hukum
Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk aktivitas usaha yang dibutuhkan setiap jenis kegiatan usaha. Walaupun perkembangan teknologi dan jenis usaha tertentu tidak membutuhkan kehadiran lahan, namun sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada lahan. Tingkat permintaan terhadap lahan semakin tinggi, sedangkan ketersediaan lahan terbatas. Hal ini menimbulkan permasalahan akses lahan. Masalah lain terkait dengan lahan adalah masalah administrasi pertanahan seperti sengketa lahan karena adanya kepemilikan sertifikat ganda ataupun perubahan tanah ulayat.
Masalah pertanahan atau lahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 UUPA ayat (2) dijabarkan mengenai hak negara yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD. Atas dasar tersebut, negara memiliki hak atas permukaan bumi (tanah) yang diantaranya adalah:
1. Hak milik (HM) adalah hak turun-temurun, kuat, dan penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, tetapi tidak berarti bahwa hak milik tersebut merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat. langsung dalam bidang sosial atau keagamaan.
2. Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, misalnya
digunakan untuk perusahaan pertanian atau perkebunan, perikanan dan peternakan.
3. Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dengan jangka waktu tertentu.
4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang, dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik.
Dalam implementasinya, hak atas tanah dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat. Sertifikat tanah diperoleh melalui pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran tanah sendiri meliputi dua hal, yaitu pendaftaran untuk tanah yang belum bersertifikat dan pendaftaran untuk pengalihan atau peningkatan hak. Pendaftaran tanah dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Gambaran Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Berikut adalah penjabaran detil mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang pertanahan pemerintah kabupaten dan kota:
1. Izin Lokasi 2. Pengadaan tanah
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian
5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah 6. Penetapan tanah ulayat
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong 8. Izin membuka tanah
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
Prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan pada indikator akses lahan dan kepastian usaha yaitu:
1. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah. 2. Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan.
3. Persepsi tentang tidak ada penggusuran lahan oleh Pemda. 4. Persepsi tentang tidak ada konflik lahan.
5. Persepsi tentang keseluruhan kemudahan akses lahan usaha.
Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan waktu pengurusan sertifikat tanah antar kabupaten dan kota. Waktu pengurusan sertifikat tanah di Jawa lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan tanah di luar Jawa, hal ini disebabkan sudah relatif terbatasnya tanah di Jawa sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk verifikasi.
Tabel 2 Perbandingan variabel-variabel akses lahan menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q31: Lama urus sertifikat (minggu) Q34: Kemudahan dapat lahan (%) Q38: Tidak ada penggusuran (%) Q40: Tidak ada konflik lahan (%) Q42: Keseluruhan kemudahan akses lahan (%) Kab. 201 9,06 5,30 0,39 0,70 Kota 43 8,72 4,67 Luar Jawa 199 8,48 5,19 -3,35 0,00 Jawa 45 11,29 4,60 Kab. 202 69,56 18,49 5,38 0,00 Kota 43 52,70 19,55 Luar Jawa 199 66,82 19,93 0,36 0,72 Jawa 46 65,66 18,96 Kab. 202 97,96 3,05 3,48 0,00 Kota 43 94,80 5,79 Luar Jawa 199 97,37 3,83 -0,36 0,72 Jawa 46 97,59 4,02 Kab. 202 94,67 10,34 1,98 0,05 Kota 43 90,94 11,45 Luar Jawa 199 92,95 11,46 -6,41 0,00 Jawa 46 98,62 2,36 Kab. 202 95,58 6,41 3,10 0,00 Kota 43 92,04 8,40 Luar Jawa 199 94,46 7,36 -3,42 0,00 Jawa 46 97,09 3,84
Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh sertifikat tanah adalah delapan minggu. Waktu pengurusan terlama terjadi di dua kabupaten di Papua, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sarmi. Waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat tanah di kedua kabupaten tersebut masing-masing hampir tujuh bulan. Kabupaten Batanghari (Jambi) merupakan daerah lain yang waktu pengurusan sertifikatnya sangat lama, hampir enam bulan. Sebaliknya, pelaku usaha di Kabupaten Pulang Pisau (Kalteng), Kabupaten Lebong (Bengkulu), dan Kabupaten Lembata (NTT) rata-rata hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk mengurus sertifikat tanah.
Berdasarkan tingkat kemudahan memperoleh lahan, Kabupaten Melawi (Kalbar), Kabupaten Kolaka Utara (Sultra), dan Kabupaten Mamuju (Sulbar) merupakan kabupaten yang paling mudah dalam mendapatkan lahan. Sedangkan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Maluku) dan Kota Surabaya (Jatim) adalah kabupaten/kota paling sulit untuk memperoleh lahan, masing-masing hanya dinilai mudah oleh sekitar 8 persen dan 12 persen pelaku usaha. Tingkat kesulitan untuk mendapatkan tanah di kabupaten lebih rendah daripada di kota. Hampir setengah (47 persen) pelaku usaha yang berusaha di wilayah kota mengaku kesulitan untuk memperoleh lahan, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pelaku usaha di daerah kabupaten, hanya 31 persen yang mengaku kesulitan memperoleh lahan. Walaupun perbedaannya tidak terlalu jauh tetapi secara statistik signifikan (Tabel 6). Hal ini dikarenakan luas lahan di kota sudah sangat terbatas, sehingga menjadi sulit untuk mendapatkan lahan. Berdasarkan letak geografis tidak ada perbedaan signifikan mengenai kemudahan memperoleh lahan antara kabupaten/kota di Jawa dan luar Jawa.
Resiko penggusuran tempat usaha dirasakan sangat kecil. Secara keseluruhan, hanya 3 persen pengusaha menyatakan sering terjadi penggusuran tanah di daerahnya. Frekuensi penggusuran di kota lebih tinggi daripada di kabupaten. Penggusuran di kota lebih sering terjadi karena dengan kapasitas lahan yang sudah relatif terbatas sehingga untuk pembangunan seringkali dilakukan dengan penggusuran. Adapun frekuensi penggusuran di Jawa dan luar Jawa tidak ada perbedaan yang signifikan.
Frekuensi konflik lahan secara umum dinilai jarang terjadi, hanya sekitar 6 persen pelaku usaha yang menyatakan sering terjadi konflik lahan. Sejalan dengan resiko penggusuran, frekuensi konflik lahan juga lebih sering terjadi di kota daripada di kabupaten. Namun, frekuensi konflik lahan lebih sering dirasakan terjadi di luar Jawa, seperti konflik lahan perkebunan yang memang kebanyakan berlokasi di luar Jawa.
4.1.2 Perizinan Usaha
Saat ini masalah perizinan usaha adalah salah satu masalah utama yang dihadapi seseorang ketika akan memulai usaha. Izin usaha merupakan bentuk pendaftaran perusahaan kepada pemerintah untuk mendapatkan formalitas status usaha. Formalitas usaha diperlukan agar perusahaan bersangkutan bisa mengakses modal dari lembaga keuangan formal dengan lebih mudah. Pengurusan perizinan di Indonesia secara umum masih lama dan mahal. Hal ini tercermin dari laporan Doing Business (2010) yang dikeluarkan Bank Dunia, untuk memulai sebuah usaha baru di Jakarta seorang pengusaha harus melewati 9 prosedur, memerlukan 47 hari kerja, dan membutuhkan biaya sampai 22 persen pendapatan per kapita. Masalah-masalah ini dapat menghambat aktivitas komersial, mempersulit perkembangan perusahaan-perusahaan kecil, menghambat pendirian usaha-usaha baru, dan membuat para usahawan menghindari formalisasi.
Penerbitan izin di daerah dikelola oleh instansi teknis atau PTSP. Di tingkat daerah, instansi yang berwenang menyelenggarakan pelayanan perizinan adalah instansi teknis (Satuan Kerja Pemerintahan Daerah atau SKPD) yang diberi wewenang. Salah satunya adalah Dinas Perdagangan/Perindustrian untuk izin- izin yang terkait dengan perindustrian dan perdagangan, seperti SIUP, TDP dan TDI. Pelayanan perizinan juga bisa dilaksanakan oleh pejabat yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) setempat sesuai dengan yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 24/2006. PTSP adalah institusi yang mendapatkan wewenang dari kepala daerah untuk menerbitkan berbagai izin usaha. Sebelum PTSP terbentuk, proses perizinan diselenggarakan di beberapa tempat yang terpisah.
Dengan adanya PTSP perizinan menjadi lebih sederhana, banyak prosedur yang dapat dikurangi, selain pengurangan waktu dan biaya pengurusan izin.
Berikut adalah beberapa jenis perizinan usaha yang menjadi kewenangan daerah yaitu:
1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Perusahaan ―perdagangan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha di sektor perdagangan yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 36/M-Dag/Per/9/2007).
2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
Pada tahapan selanjutnya, setelah mendapatkan SIUP. Dalam kurun waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah perusahaan beroperasi, perusahaan tersebut wajib segera mendaftarkan perusahannya.
3. Tanda Daftar Industri (TDI)
Tanda Daftar Industri (TDI) adalah izin yang harus dimiliki oleh perusahaan yang melakukan kegiatan industri dengan nilai investasi seluruhnya antara Rp5.000.000,00 - Rp200.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan. Proses pengurusan ini membutuhkan waktu kurang lebih selama 14 hari kerja. 4. Izin Gangguan (HO)
Setiap kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan bahaya atau ancaman bagi masyarakat luas diwajibkan memiliki izin gangguan (HO). Untuk perusahaan yang wajib memiliki amdal atau berada dalam kawasan industri yang telah memiliki AMDAL dikecualikan untuk memiliki HO. Sebagai syarat untuk memperoleh HO, terlebih dahulu harus memiliki IMB.
5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Undang-undang Bangunan mempertegas kewajiban atas izin terhadap setiap aktifitas pembangunan (konstruksi) dengan berbagai fungsinya. Sedangkan untuk dasar hukum HO yang masih menggunakan peraturan pada masa penjajahan hingga saat ini belum ada pembaharuan lagi.
Aspek perizinan usaha digambarkan dengan enam variabel penilaian, yaitu: 1. Persentase perusahaan yang memiliki TDP.
2. Persepsi kemudahan perolehan TDP.
3. Rata-rata waktu perolehan TDP.
4. Persepsi tingkat biaya tidak memberatkan usaha.
5. Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN. 6. Persepsi bahwa pelayanan izin usaha yang efisien.
7. Persepsi bahwa pelayanan izin usaha yang bebas pungutan liar. 8. Pengetahuan mengenai keberadaan mekanisme pengaduan.
9. Persepsi tingkat keseluruhan kemudahan izin usaha terhadap usahanya. Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum kepemilikan TDP masih cukup rendah, yaitu hanya sekitar 20 persen pelaku usaha yang sudah memilikinya. Berdasarkan wiilayah administrasi tidak ada perbedaan jumlah kepemilikan TDP di kota dan kabupaten. Sedangkan berdasarkan letak geografisnya pelaku usaha di Jawa justru lebih sedikit yang memiliki TDP dibandingakan pelaku usaha di luar Jawa, walaupun untuk pengurusan TDP masih lebih mudah di Jawa dibandingkan luar Jawa. Hal ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran pelaku usaha di Jawa untuk mengurus perizinan,.
Secara rata-rata lama pengurusan TDP adalah 12 hari, tidak ada perbedaan antara kota dan kabupaten, serta daerah di Jawa dan daerah luar Jawa. Di tingkat kabupaten/kota, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus TDP sangat lama di Ketapang (Kalbar) dan Kota Malang ( Jatim). Waktu pengurusan TDP terlama di antara seluruh kabupaten/kota yang disurvei adalah di Ketapang. Menurut pengakuan pelaku usaha di Ketapang, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus TDP adalah 49 hari. Waktu pengurusan di Kota Malang juga termasuk yang terlama, mencapai 36 hari. Jauh lebih lama daripada tetangganya, Kota Batu, dengan waktu pengurusan TDP hanya 11 hari.
Secara umum biaya pengurusan TDP tidak terlalu memberatkan, lebih dari 85 persen pelaku usaha menilai biaya pengurusan TDP tidak memberatkan. Biaya pengurusan TDP di kota lebih mahal dibandingkan di kabupaten dan di luar Jawa lebih mahal dibandingkan di Jawa.
Sekitar 8 persen pelaku usaha menilai bahwa perizinan usaha sudah bebas KKN. Perizinan di luar Jawa dinilai pelaku usaha lebih efisien dan bebas pungli dibandingkan di Jawa.
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
Tabel 3 Perbandingan variabel-variabel perizinan usaha menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q50: Kepemilikan TDP (%) Q51cR1: Kemudahan dapat TDP (%) Q51dR1: Waktu perolehan TDP (hari) Q52cR1: Biaya tidak memberatkan (%) Kab. 170 20,32 16,59 -0,89 0,37 Kota 42 22,87 16,35 Luar Jawa 167 21,81 17,23 1,96 0,05 Jawa 45 17,16 13,17 Kab. 201 87,96 15,06 1,53 0,13 Kota 43 84,15 13,53 Luar Jawa 198 86,31 15,65 -2,83 0,01 Jawa 46 91,47 9,80 Kab. 201 11,95 15,15 -0,36 0,72 Kota 43 12,81 6,58 Luar Jawa 198 12,08 15,10 -0,05 0,96 Jawa 46 12,19 7,97 Kab. 201 89,82 13,95 1,84 0,07 Kota 43 85,63 11,40 Luar Jawa 198 88,15 14,35 -2,99 0,00 Jawa 46 93,10 8,83 Q54R1: Bebas KKN (%) Kab. 202 81,78 15,06 0,28 0,78 Kota 43 81,10 11,49 Luar Jawa 199 81,41 14,37 -0,57 0,57 Jawa 46 82,75 15,02 Q54R2: Efisien (%) Kab. 202 71,36 18,20 1,42 0,16 Kota 43 67,06 17,51 Luar Jawa 199 72,22 16,35 2,37 0,02 Jawa 46 63,62 23,30 Q54R3: Bebas pungli (%) Q57: Mekanisme pengaduan (%) Q59: Keseluruhan izin usaha (%) Kab. 202 72,15 18,91 1,16 0,25 Kota 43 68,55 16,47 Luar Jawa 199 73,09 16,96 2,30 0,02 Jawa 46 64,73 23,20 Kab. 202 23,51 24,22 -4,21 0,00 Kota 43 40,52 23,20 Luar Jawa 199 22,85 22,98 -5,00 0,00 Jawa 46 42,25 26,74 Kab. 202 94,20 8,87 0,78 0,43 Kota 43 93,09 5,85 Luar Jawa 199 93,48 9,02 -3,04 0,00 Jawa 46 96,28 4,48
Hal tersebut cukup ironis karena keberadaan TPST yang diharapkan akan mempermudah dan mempermurah perizinan justru sudah lebih banyak dimiliki daerah di Jawa dibandingkan di luar Jawa. Secara umum keberadaan TPST masih rendah. Daerah kota dan Jawa sekitar 41 persen sudah memiliki TPST, sedangkan di kabupaten dan luar Jawa baru sekitar 22 persen atau sekitar setengahnya.
4.1.3 Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha
Komunikasi antar pelaku usaha dengan pemerintah sangat diperlukan untuk membangun interaksi yang konstruktif. Pada kenyataannya, komunikasi antara dunia usaha dan Pemda tidak selalu konstruktif. Pelaku usaha seringkali mengeluhkan Pemda yang tidak melibatkan mereka ketika membuat suatu kebijakan, yang terkadang menghasilkan kebijakan yang distortif terhadap perekonomian dan memberatkan dunia usaha. Pemda juga kerapkali kurang optimal dalam penyediaan pelayanan publik, atau dianggap hanya berorientasi mengumpulkan pendapatan daerah yang sebanyak-banyaknya melalui pajak, retribusi, dan pungutan, serta dinilai kurang memahami kebutuhan dunia usaha.
Pembentukan forum komunikasi antara Pemda dan pengusaha merupakan media interaksi dan komunikasi yang banyak diperkenalkan di daerah. Forum komunikasi inilah yang seringkali menjadi mekanisme formal bagi pelibatan dunia usaha dalam proses penyusunan kebijakan daerah, terutama yang terkait dengan kebijakan pengembangan iklim usaha di daerah. Forum komunikasi memungkinkan adanya dialog antar kepentingan yang berbeda-beda.
Kualitas interaksi Pemda dan pelaku usaha dinilai berdasarkan tujuh variabel, yaitu:
1. Keberadaan forum komunikasi.
2. Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh Pemda. 3. Tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah. 4. Tingkat kebijakan non-diskriminatif Pemda.
5. Tingkat kebijakan Pemda yang tidak merugikan pelaku usaha. 6. Tingkat konsistensi kebijakan Pemda terkait dunia usaha. 7. Tingkat hambatan interaksi Pemda dan pelaku usaha.
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
Tabel 4 Perbandingan variabel-variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q61: Pengetahuan tentang keberadaan forum komunikasi (%) Q62R1: Kepala daerah memberi solusi (%) Q62R2: Solusi sesuai harapan (%) Q62R3: Tindak lanjut institusi Pemda (%) Q64R1: Pemda mengerti kebutuhan pelaku usaha (%) Q64R2: Mendiskusikan kebijakan publik (%) Q64R3: Mendiskusikan permasalahan pelaku usaha (%) Q64R5: Penyediaan fasilitas pendukung (%) Q71: Hambatan keseluruhan interaksi Pemda dg pelaku usaha (%)
Sumber: KPPOD (diolah)
Kab. 202 24,86 17,00 -5,29 0,00 Kota 43 39,89 16,56 Luar Jawa 199 26,41 17,45 -1,99 0,05 Jawa 46 32,18 18,89 Kab. 202 56,72 21,73 -0,44 0,66 Kota 43 58,31 19,85 Luar Jawa 199 57,76 21,07 1,17 0,25 Jawa 46 53,69 22,61 Kab. 202 50,95 22,80 -0,51 0,61 Kota 43 52,64 18,93 Luar Jawa 199 52,64 22,00 2,06 0,04 Jawa 46 45,22 21,99 Kab. 202 52,28 23,48 -0,72 0,47 Kota 43 55,05 19,35 Luar Jawa 199 54,06 22,63 1,86 0,06 Jawa 46 47,16 22,92 Kab. 202 58,27 21,45 -1,20 0,23 Kota 43 62,54 19,86 Luar Jawa 199 59,76 21,32 1,14 0,26 Jawa 46 55,81 20,61 Kab. 202 50,30 22,95 -1,14 0,26 Kota 43 54,59 19,44 Luar Jawa 199 52,00 22,47 1,38 0,17 Jawa 46 46,95 21,87 Kab. 202 48,50 22,32 -2,28 0,03 Kota 43 55,72 18,02 Luar Jawa 199 50,58 22,04 1,22 0,22 Jawa 46 46,25 20,44 Kab. 202 53,09 22,41 -2,22 0,03 Kota 43 61,23 18,74 Luar Jawa 199 54,77 22,05 0,37 0,71 Jawa 46 53,43 21,94 Kab. 202 79,72 18,99 2,24 0,03 Kota 43 72,63 18,03 Luar Jawa 199 78,57 19,37 0,16 0,87 Jawa 46 78,07 17,42
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha tidak mengetahui keberadaan forum komunikasi. Secara umum tingkat pengetahuan pelaku usaha mengenai keberadaan forum komunikasi di kota dan Jawa lebih tinggi dibandingkan kabupaten dan luar Jawa. Forum yang diharapkan dapat menjembatani pemerintah dan dunia usaha untuk mendiskusikan dan memecahkan masalah pelaku usaha ini hanya diketahui oleh 28 persen pelaku usaha. Forum Komunikasi di Kota Kediri (Jatim) merupakan yang paling banyak dikenal oleh pelaku usaha. Sebanyak 92 persen pelaku usaha di Kota Kediri mengetahui keberadaan forum komunikasi. Selain Kota Kediri masih ada lima daerah lain di Jatim dengan forum komunikasi antara pelaku usaha dengan Pemda cukup dikenal oleh pelaku usaha, yakni Trenggalek (77%), Kota Probolinggo (70%), Lumajang (64%) dan Tulung Agung (62%), dan Kota Batu (57%). Di antara 20 daerah dengan tingkat pengetahuan pelaku usaha tertinggi, delapan diantaranya merupakan daerah kota. Hal yang sebaliknya terjadi di daerah kabupaten. Forum komunikasi antara pelaku usaha dengan Pemda sama sekali tidak dikenal di 15 kabupaten, diantaranya empat berlokasi di Maluku, tiga di Sultra.
4.1.4 Program Pengembangan Usaha Swasta
Program pengembangan usaha swasta terutama ditujukan kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Permasalahan utama yang dihadapi kelompok usaha ini adalah keterbatasan modal, akses modal yang minim ke lembaga keuangan formal, dan kurangnya keahlian dalam bidang manajemen usaha. Bentuk usaha kecil ini merupakan bentuk usaha yang paling dominan yang terdapat di kabupaten dan kota di Indonesia.
Program pengembangan usaha swasta oleh Pemda adalah pelayanan pengembangan bisnis yang disediakan Pemda dengan dukungan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Kegiatan tersebut diadakan tanpa adanya pungutan dari Pemda kepada pelaku usaha. Meskipun demikian, pada prakteknya ada beberapa daerah yang melakukan kegiatan tersebut dengan melibatkan keikutsertaan pendanaan aktif dari pihak swasta.
Ada lima kegiatan pengembangan bisnis untuk pelaku usaha kecil dan menengah biasa dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu:
1. Pelatihan manajemen bisnis untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam hal administrasi keuangan, manajemen pemasaran, dan manajemen produksi yang baik.
2. Pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja untuk tenaga kerja yang telah lulus sekolah namun belum bekerja berupa pelatihan administrasi kantor, pengenalan dunia kerja, etika bekerja, kemampuan bahasa asing.
3. Promosi produk lokal kepada investor (melalui exhibition, trade fair) promosi perdagangan/investasi/potensi ekonomi yang dilakukan di tingkat nasional, di kabupaten dan kota lain, dan di kabupaten dan kota sendiri. 4. Menghubungkan pelaku usaha kecil, sedang, besar untuk mempertemukan
mata rantai kegiatan bisnis perusahaan daerah dengan perusahaan besar yang ada di daerah kabupaten dan kota, di daerah kabupaten dan kota lain, dan di tingkat nasional.
5. Pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk mengatasi salah satu hambatan besar bagi pelaku bisnis kecil dan menengah terhadap kredit formal yang disediakan bank umum yang ada di kabupaten dan kota. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit (syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur).
Terlihat di sini bahwa Pemda memegang peranan kunci untuk mengembangkan UKM di daerahnya. Dengan mengidentifikasi dengan tepat permasalahan UKM, beberapa Pemda telah melakukan program penjaminan kredit bagi UKM dengan menempatkan jaminan pada bank nasional seperti di Kota Balikpapan. Pemohon aplikasi kredit dari pihak UKM tetap melalui prosedur formal sesuai ketentuan perbankan yang ditetapkan bank tersebut. Tanpa Pemda campur tangan secara langsung menyalurkan kredit kepada UKM, namun dengan memberikan jaminan kredit sekaligus memberi pelatihan keprofesionalan pengaksesan modal formal oleh UKM merupakan suatu langkah yang inovatif.
Aspek program pengembangan usaha swasta dinilai dari lima variabel, yaitu:
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
1. Tingkat kesadaran akan kehadiran program pengembangan usaha.
2. Tingkat partisipasi program pengembangan usaha.
3. Tingkat manfaat program pengembangan usaha terhadap pelaku usaha.
4. Tingkat hambatan program pengembangan usaha terhadap kinerja perusahaan.
Terdapat beberapa program pengembangan usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti: pelatihan menejemen bisnis, pelatihan tenaga kerja, promosi produk lokal, menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang-besar, pelatihan aplikasi kredit bagi UKM, dan pertemuan mitra bisnis. Secara umum hanya sekitar 68 persen pelaku usaha yang mengetahui bahwa Pemda setempat mempunyai program pengembangan usaha, dan dari pelaku usaha yang mengetahui hanya 63 persen diantaranya yang berpartisipasi (Tabel 5).
Tabel 5 Perbandingan variabel-variabel program pengembangan usaha swasta menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q79R1: Pengetahuan keberadaan PPUS (%) Q79R2: Partisipasi PPUS (%) Kab. 202 69,34 37,68 0,96 0,34 Kota 43 63,19 40,13 Luar Jawa 199 67,04 38,54 -1,04 0,30 Jawa 46 73,52 36,14 Kab. 202 58,80 38,13 -1,21 0,23 Kota 43 66,52 37,28 Luar Jawa 199 56,99 38,72 -3,09 0,00 Jawa 46 73,78 31,73 Q79R3: Manfaat PPUS (%) Kab. 189 90,30 17,57 -1,52 0,13 Kota 43 93,29 9,74 Luar Jawa 186 91,87 16,09 1,90 0,06 Jawa 46 86,77 17,31 Q64R2: Dampak terhadap kinerja usaha (%) Kab. 202 11,57 10,78 -4,99 0,00 Kota 42 21,02 12,90 Luar Jawa 199 13,77 11,99 1,79 0,08 Jawa 45 10,68 10,06
Sumber: KPPOD (diolah)
Secara umum pengetahuan pelaku usaha mengenai PPUS berbanding lurus dengan skala usahanya. Hal ini berlaku untuk seluruh kegiatan PPUS. Pelatihan tenaga kerja, misalnya, diketahui oleh 51 persen pelaku usaha skala besar. Tetapi kegiatan ini hanya diketahui oleh 29 persen usaha skala menengah, 20 persen
skala kecil, dan 5 persen skala mikro. Pelatihan manajemen bisnis juga diketahui oleh 35 persen pelaku usaha skala besar, sementara program tersebut hanya diketahui oleh 5 persen skala mikro. Hal ini menandakan Pemda belum terlalu berhasil untuk mensosialisasikan PPUS kepada para pelaku usaha, terutama usaha kecil dan mikro. Tidak terdapat perbedaan pengetahuan pelaku usaha terhadap PPUS, baik antar wilayah administrasi maupun geografis. Namun, tingkat partisipasi pelaku usaha di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa.
4.1.5 Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah
Kinerja pemerintahan, selain dipengaruhi oleh sistem kelembagaan, juga tergantung pada pejabat pemerintah yang menjalankannya. Suatu sistem yang sudah terlembaga dengan baik dapat memberikan batas dan rambu-rambu yang kuat untuk meminimalisasi penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah, peran para pejabat yang melaksanakannya bisa mengabaikan sistem yang ada. Beberapa studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran kepala daerah (bupati/walikota) dalam tata kelola pemerintahan. Hasil studi JPIP tahun 2007 di Jawa Timur menemukan bahwa pengambil keputusan utama lahirnya inovasi daerah berada di tangan kepala daerah hingga mencapai 73 persen (KPPOD 2011).
KPPOD (2007), menunjukkan bahwa integritas Kepala Daerah cukup penting pengaruhnya terhadap daya tarik investasi daerah. Meskipun belum sepenuhnya berjalan, namun kepatuhan para penyelenggara pemerintahan atas ketentuan tersebut dari tahun ke tahun semakin membaik yang memberikan harapan positif bagi berkurangnya praktek korupsi. Namun, di sisi lain publik mencatat banyaknya pejabat negara maupun pemerintah yang berurusan dengan aparat penegak hukum, utamanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Melalui sejumlah peraturan perundang-undangan, pemerintah telah menegaskan political will untuk memerangi korupsi. Pemerintah mengesahkan UU No. 28/1999 tentang ―Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme , UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001 mengenai ―Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk memerangi korupsi. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan pelembagaan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) sebagaimana diatur dalam UU No. 30/2002 tentang
―Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
Pemilihan Kepala Daerah langsung dengan disertai keberimbangan informasi menjadi salah satu mekanisme kontrol masyarakat untuk menilai secara langsung kinerja pemimpin tertinggi di daerahnya masing-masing. Dalam hal Kapasitas Kepala Daerah juga diyakini mempengaruhi kemampuannya untuk memberikan pelayanan kepada dunia usaha. Mengenai hal ini terdapat peraturan perundangan yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi Kepala Daerah.
Aspek kapasitas dan integritas kepala daerah terdiri dari lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu:
1. Tingkat pemahaman Kepala Daerah terhadap masalah dunia usaha. 2. Tingkat profesionalisme birokrat daerah.
3. Tingkat korupsi Kepala Daerah.
4. Tingkat ketegasan Kepala Daerah terhadap korupsi birokratnya.
5. Tingkat hambatan kapasitas dan integritas Kepala Daerah terhadap dunia usaha.
Secara umum, tingkat kepercayaan pelaku usaha terhadap kepala daerahnya cukup tinggi. Sekitar 64 persen pelaku usaha percaya bahwa bupati/walikota punya pemahaman yang baik mengenai persoalan dunia usaha. Proporsi yang sama juga berlaku untuk penempatan aparat Pemda, 64 persen pelaku usaha menilai bahwa birokrasi telah ditempatkan secara profesional.
Secara keseluruhan kapasitas dan integritas bupati/walikota bukanlah kendala yang berarti bagi kinerja pelaku usaha di daerah. Hanya 5 persen pelaku usaha yang merasa terhambat kinerja perusahaannya akibat kapasitas dan integritas kepala daerah. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagian besar kepala daerah yang ada di daerah yang diteliti untuk studi kali ini merupakan kepala daerah yang cukup mendukung kinerja pelaku usaha di daerah.
Namun ada yang menarik yaitu bahwa kepala daerah yang tegas terhadap tindakan korupsi tidak secara otomatis tidak melakukan tindakan korupsi. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha bahwa kepala daerah tidak melakukan korupsi hanya setengah dibandingkan persepsi bahwa kepala daerah merupakan pemimpin yang tegas terhadap tindakan pemberantasan korupsi. Sehingga
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
ketegasan terhadap tindakan korupsi lebih terlihat sebagai pencitraan saja. Hal ini diduga terkait dengan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah, sehingga kepala daerah terpilih harus mengembalikan modal politiknya dengan melakukan tidakan korupsi karena gaji yang diterima sebagai kepala daerah tidak mencukupi.
Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara karakteristik kapasitas dan integritas kepala daerah antar wilayah administrasi dan geografis. Hanya variabel keseluruhan kapasitas dan integritas kepala daerah yang berbeda, yaitu kapasitas dan integritas kepala daerah di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa.
Tabel 6 Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q79R1: Kepala daerah paham persoalan pelaku usaha (%) Q79R2: Pejabat ditunjuk Kab. 202 62,63 21,36 -1,40 0,17 Kota 43 66,88 17,36 Luar Jawa 199 64,13 20,60 1,19 0,23 Jawa 46 60,09 21,28 Kab. 202 63,47 23,14 -0,53 0,60
berdasar keterampilan yang Kota 43 65,09 17,01
relevan (%) Luar Jawa 199 64,13 22,30 0,55 0,59 Jawa 46 62,15 21,75 Q79R3: Kepala daerah tegas terhadap tindakan pemberantasan korupsi (%) Q79R4: Kepala daerah tidak melakukan tindakan korupsi (%) Q79R5: Kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat (%) Q64R2: Keseluruhan kapasitas dan integritas kepala daerah (%) Kab. 202 65,93 23,51 -0,07 0,95 Kota 43 66,16 18,93 Luar Jawa 199 65,15 22,75 -1,18 0,24 Jawa 46 69,52 22,57 Kab. 202 34,04 23,92 -0,91 0,37 Kota 43 36,80 16,63 Luar Jawa 199 34,76 22,69 0,33 0,74 Jawa 46 33,52 23,48 Kab. 202 75,32 20,00 -0,77 0,44 Kota 43 77,28 13,81 Luar Jawa 199 75,23 19,22 -0,74 0,46 Jawa 46 77,54 18,40 Kab. 202 94,57 9,34 -0,74 0,46 Kota 43 95,34 5,22 Luar Jawa 199 94,20 9,46 -2,99 0,00 Jawa 46 96,88 4,01
4.1.6 Keamanan dan Penyelesaian Konflik
Keamanan usaha merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan pelaku usaha ketika akan memulai usaha dan menjalankan usahanya. Pelaku usaha terkadang membayar biaya keamanan yang tinggi asalkan ia tetap dapat beroperasi di suatu daerah. Survei ini melakukan penilaian terutama terhadap tindakan aparat keamanan ketika menghadapi kejadian seperti demonstrasi buruh dan kejadian kriminalitas di tempat usaha. Struktur lembaga kepolisian Indonesia dipisahkan dari tentara nasional (TNI) sejak tahun 1999. Hal ini berkaitan dengan sejumlah tuntutan pelayanan dari masyarakat akan keprofesionalan polisi dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri.
Pemda secara langsung tidak memiliki kewenangan untuk menangani masalah keamanan yang terjadi di daerahnya. Namun keterbatasan kewenangan ini bukan berarti adanya pembatasan usaha yang dapat dilakukan untuk menciptakan keadaan yang aman. Bentuk koordinasi antara aparat Dinas Ketertiban Umum Pemda dan pihak kepolisian dapat menjadi bentuk sinergi koordinasi yang dapat meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa koordinasi antara lembaga negara dari berbagai tingkatan lebih penting untuk diimplementasikan dari pada sekedar mempersoalkan cakupan kewenangan.
Aspek keamanan dan penyelesaian sengketa dinilai dari tujuh variabel, yaitu:
1. Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha. 2. Polisi bertindak tepat waktu.
3. Solusi polisi menguntugkan pelaku usaha.
4. Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan.
Pencurian merupakan kasus kriminalitas yang paling banyak terjadi menurut pelaku usaha. Secara umum tingkat kejadian pencurian di tempat usaha rendah, yaitu kurang dari empat persen pelaku usaha yang menyatakan bahwa telah terjadi pencurian di tempat usaha.
Kualitas polisi dalam menangani demonstrasi buruh dinilai lebih positif daripada penanganan kejadian kriminal. Tingkat keyakinan pelaku usaha
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
Luar Jawa 199 96,44 6,33 -1,87 0,06
terhadap ketepatan waktu polisi dalam menangani demonstrasi buruh mencapai 87 persen, sementara dalam meminimalisasi kerugian pelaku usaha adalah 84 persen. Sama halnya dengan kualitas penanganan masalah kriminal, semakin kecil skala usaha semakin tinggi tingkat kepercayaannya kepada polisi. Perlu dicatat bahwa demonstrasi buruh tidak terjadi di semua daerah, tetapi hanya pada daerah-daerah tertentu yang banyak industrinya.
Tabel 7 Perbandingan variabel-variabel keamanan dan penyelesaian konflik menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q118bR1: Tingkat kejadian Kab. 202 3,57 3,63 2,22 0,03 pencurian di tempat usaha (%) Q120R1: Polisi bertindak tepat waktu (%) Q120R2: Solusi menguntungkan pelaku usaha (%) Q120R3: Solusi polisi meminimalisir kerugian usaha (%) Kota 43 2,81 1,51 Luar Jawa 199 3,32 2,99 -1,13 0,26 Jawa 46 3,94 4,66 Kab. 202 78,32 16,89 0,55 0,59 Kota 43 77,20 10,99 Luar Jawa 199 78,71 16,24 1,19 0,24 Jawa 46 75,60 14,82 Kab. 202 74,86 18,35 1,30 0,20 Kota 43 71,70 13,53 Luar Jawa 199 75,79 16,94 2,77 0,01 Jawa 46 67,91 19,18 Kab. 202 73,46 18,50 0,17 0,86 Kota 43 73,02 14,00 Luar Jawa 199 74,18 17,19 1,46 0,15 Jawa 46 69,94 19,95 Q121R1: Polisi tepat waktu Kab. 197 82,00 18,23 -0,01 0,99 dalam menangani demosntrasi buruh (%) Q121R2: Solusi polisi meminimalisir waktu dan biaya (%) Q122: Keseluruhan Kota 43 82,02 16,76 Luar Jawa 194 82,46 18,61 0,81 0,42 Jawa 46 80,08 14,78 Kab. 197 77,09 20,21 -0,12 0,90 Kota 43 77,48 17,79 Luar Jawa 194 77,05 19,94 -0,18 0,86 Jawa 46 77,64 19,21 Kab. 202 97,14 5,43 2,88 0,00
keamanan dan penyelesaian Kota 43 94,36 7,13
masalah (%)
Jawa 46 97,57 2,74
4.1.7 Biaya Transaksi
Biaya transaksi adalah pembayaran yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha yang dianggapnya sebagai beban biaya dalam menjalankan operasional perusahaannya baik yang resmi maupun tidak resmi. Biaya resmi meliputi pembayaran sejumlah nilai nominal tertentu dalam satuan rupiah oleh perusahaan kepada Pemda dengan disertai bukti tertulis yang jumlahnya sesuai antara yang tertera di bukti pembayaran tersebut dengan peraturan resmi yang ada. Pungutan resmi daerah meliputi pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga (SP3) dengan definisi dan contoh sebagai berikut:
1. Pajak Daerah
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan (dalam hal ini perusahaan) kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah (Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001). Contoh pajak daerah yaitu pajak penerangan jalan, pajak reklame, dan pajak restoran dan hotel.
2. Retribusi daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2001). Contoh retribusi daerah yaitu retribusi sewa tempat di pasar milik Pemda, retribusi kebersihan di pasar milik Pemda, retribusi parkir di tepi jalan umum yang disediakan oleh Pemda, dan retribusi sejenis lainnya.
3. Sumbangan Pihak Ketiga (SP3)
Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) yang resmi adalah sejumlah pembayaran yang diberikan oleh perusahaan kepada Pemda atas dasar adanya Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati/Walikota. Contoh sumbangan pihak ketiga yaitu sumbangan wajib pengusaha sektor perkebunan, sumbangan wajib pengusaha sektor industri (seperti nilai tertentu pada setiap unit hasil produksi: Rp 5,00 per kg buah sawit segar) dan sumbangan wajib pengusaha sektor jasa.
Keluhan yang sering dikemukakan oleh kalangan bisnis adalah tingginya pajak dan retribusi pengguna di daerah yang harus mereka bayar. Bentuknya bermacam-macam. Pemerintah daerah biasanya membebankan pajak listrik daerah, juga pajak hotel dan restoran. Di samping itu, mereka berhak menarik retribusi pengguna untuk sejumlah besar layanan peraturan daerah, bahkan ketika kadangkala tidak ada layanan yang sungguh-sungguh diberikan.
Aspek biaya transaksi dinilai dari empat variabel, yaitu: 1. Tingkat keringanan retribusi daerah.
2. Tingkat keringanan pajak daerah. 3. Pembayaran donasi ke Pemda.
4. Tingkat keringanan donasi resmi terhadap Pemda. 5. Tingkat keringanan donasi tidak resmi terhadap Pemda.
6. Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi. 7. Tingkat keseluruhan biaya transaksi
Pelaku usaha secara umum menilai tingkat retribusi maupun pajak daerah tidak memberatkan. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 8, sekitar 90 persen pelaku usaha yang menilai biaya retribusi dan pajak daerah tidak memberatkan. Tingkat retribusi dan pajak daerah kabupaten dinilai lebih ringan dibandingkan di kota, walaupun secara statistik perbedaan keduanya tidak signifikan. Tingkat donasi yang dibayarkan ke pemerintah daerah secara rata-rata di kabupaten sebesar Rp.2,5 juta per tahun dan di kota Rp.3 juta per tahun.
Tingkat pembayaran donasi tidak resmi dinilai lebih memberatkan dibandingkan donasi resmi yang diberlakukan oleh Pemda. Hal ini lah yang menyebabkan ekonomi biaya tingkat tinggi yang dikeluhkan oleh pelaku usaha. Selain pungutan resmi, pelaku usaha juga dibebani berbagai pembayaran tambahan untuk biaya keamanan. Biaya yang ilegal ini dibayarkan kepada oknum polisi, tentara, organisasi kemasyarakatan dan preman, sehingga menambah beban biaya yang harus ditanggung perusahaan. Terutama bagi pelaku usaha yang terlibat dalam transportasi, pungutan ilegal oleh pihak-pihak tersebut menjadi beban yang tidak ringan, bila ditambahkan dengan pungutan resmi yang sudah dikenakan oleh aparat pemerintah yang bersangkutan. Sebuah studi kasus yang dilakukan di NTT pada 2010 menemukan bahwa komponen biaya yang
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
harus ditanggung truk pengangkut barang pada beberapa rute bisa mencapai 17 persen dari total biaya transportasi darat, termasuk 12 persen adalah pungutan resmi (retribusi, izin masuk pelabuhan, parkir, SP3), sisanya 5 persen berupa pungutan liar.
Tabel 8 Perbandingan variabel-variabel biaya transaksi menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q84cR1: Tingkat hambatan Kab. 194 92,56 10,15 2,31 0,02 retribusi daerah (%) Kota 43 88,53 11,18 Luar Jawa 191 92,14 10,63 0,94 0,35 Jawa 46 90,53 9,61 Q84cR2: Tingkat hambatan Kab. 197 91,26 10,43 3,52 0,00 pajak daerah (%) Q86a: Pembayaran donasi ke Pemda (juta rupiah) Kota 43 84,95 11,63 Luar Jawa 194 90,44 10,95 0,90 0,37 Jawa 46 88,82 10,70 Kab. 144 2,51 5,67 -0,51 0,61 Kota 36 3,04 5,51 Luar Jawa 143 2,42 5,20 -0,91 0,36 Jawa 37 3,36 7,08 Q86cR1: Tingkat hambatan Kab. 153 86,68 20,97 0,59 0,56 donasi resmi (%) Kota 37 84,35 24,67 Luar Jawa 151 86,56 21,32 0,42 0,68 Jawa 39 84,94 23,32 Q86cR2: Tingkat hambatan Kab. 128 72,14 35,26 0,09 0,93 donasi tidak resmi (%) Q90bR1: Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi (%) Q92: Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan (%) Kota 38 71,57 32,03 Luar Jawa 126 71,77 34,77 -0,16 0,88 Jawa 40 72,76 33,86 Kab. 159 80,56 25,49 0,50 0,62 Kota 42 78,99 15,40 Luar Jawa 159 82,18 23,39 2,29 0,02 Jawa 42 72,85 23,75 Kab. 202 96,44 5,32 2,69 0,01 Kota 43 94,09 4,45 Luar Jawa 199 96,14 5,21 0,69 0,49 Jawa 46 95,54 5,45
4.1.8 Kebijakan Infrastruktur
Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Kehadirannya dapat menjadi faktor pendorong tingkat produktivitas di suatu daerah. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain, tentunya juga dari satu daerah ke daerah lain. Apabila akses transportasi yang baik tidak ada tentunya akan sulit bagi suatu perusahaan untuk melakukan aktivitas usahanya. Oleh karena itu, tak pelak lagi ketersediaan infrastruktur, terutama kualitas jalan yang baik, sangat diperlukan untuk kelancaran proses produksi.
Infrastruktur yang dinilai pada survei ini mencakup penilaian persepsi terhadap sejumlah fasilitas infrastruktur seperti jalan kabupaten dan kota, kualitas lampu penerangan jalan, kualitas air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), kualitas listrik, dan kualitas telepon. Selain itu, dihitung pula lama waktu yang dibutuhkan di setiap kabupaten dan kota untuk memperbaiki kerusakan terhadap berbagai infrastruktur tersebut. Jenis-jenis infrastruktur tersebut dipilih berdasarkan yang paling memengaruhi keputusan berbisnis pelaku usaha dan atau dalam kewenangan Pemda. Misalnya lampu penerangan jalan sebenarnya tidak terdapat peraturan yang menyebutkan aktivitas perawatannya kepada Pemda, namun karena pajaknya dimasukkan sebagai pajak daerah maka selayaknya Pemda memberikan perhatian terhadap kualitasnya. Di samping itu, tingkat kepemilikan genset oleh pelaku usaha juga digunakan sebagai salah satu indikator. Hal tersebut mencerminkan tingkat kewaspadaan akan padamnya aliran listrik. Semakin tinggi tingkatan tersebut menggambarkan keadaan listrik yang tidak baik.
Indikator kebijakan infrastruktur daerah dinilai dari lima variabel, yaitu: 1. Tingkat kualitas infrastruktur.
2. Lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan. 3. Tingkat pemakaian generator.
4. Lamanya pemadaman listrik.
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
Tabel 9 Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah
menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q114aR1: Kondisi infrastruktur jalan (%) Q114aR3: Kondisi infrastruktur air bersih (%) Q114aR4: Kondisi infrastruktur listrik (%) Q114bR1: Lama perbaikan jalan (hari) Q114bR3: Lama perbaikan air bersih (hari) Q114bR4: Lama perbaikan listrik (hari) Kab. 202 56,77 28,76 -5,74 0,00 Kota 43 76,95 18,84 Luar Jawa 199 57,46 29,03 -4,07 0,00 Jawa 46 72,67 21,14 Kab. 193 54,30 29,84 -2,69 0,01 Kota 43 67,49 25,46 Luar Jawa 190 52,60 29,84 -5,59 0,00 Jawa 46 73,63 20,88 Kab. 202 64,43 28,76 -2,87 0,01 Kota 43 74,32 18,26 Luar Jawa 199 60,71 27,13 -11,14 0,00 Jawa 46 89,76 11,93 Kab. 193 81,77 84,39 2,59 0,01 Kota 43 52,17 63,63 Luar Jawa 190 78,56 85,27 0,83 0,41 Jawa 46 67,39 64,90 Kab. 178 12,05 41,96 0,79 0,43 Kota 43 6,95 8,19 Luar Jawa 175 12,91 42,36 2,76 0,01 Jawa 46 4,01 2,64 Kab. 196 10,03 33,47 2,63 0,01 Kota 43 3,55 3,98 Luar Jawa 193 10,60 33,66 3,72 0,00 Jawa 46 1,57 0,73 Q106: Pemakaian genset Kab. 202 19,26 20,09 1,07 0,28 (hari) Q108: Frekuensi pemadaman listrik (kali dalam seminggu) Q116: keseluruhan isu infrastruktur (hari) Kota 43 15,78 14,98 Luar Jawa 199 21,08 20,41 7,26 0,00 Jawa 46 8,12 7,09 Kab. 202 3,06 2,40 2,08 0,04 Kota 43 2,25 1,91 Luar Jawa 199 3,48 2,24 16,94 0,00 Jawa 46 0,50 0,52 Kab. 202 71,85 24,07 -2,09 0,04 Kota 43 77,48 13,70 Luar Jawa 199 70,05 23,27 -5,38 0,00 Jawa 46 84,87 14,97
Infrastruktur memiliki hubungan yang erat dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dan keputusan pelaku usaha untuk melakukan investasi. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu keputusan pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi input dan output produksinya. Karenanya, ketersediaan infrastruktur dapat menjadi faktor pendorong produktivitas suatu daerah. Sebagai contoh, ketersediaan fasilitas transportasi yang baik akan mempermudah mobilitas orang, barang dan jasa yang dapat mengurangi biaya produksi dan meningkatkan akses pada pasar.
4.1.9 Kualitas Peraturan Daerah
Peraturan daerah (Perda) merupakan sebuah instrumen kebijakan daerah yang sifatnya formal, melalui Perda inilah dapat diindikasikan adanya insentif maupun disinsentif sebuah kebijakan di daerah terhadap aktivitas perekonomian. Penilaian kualitas Perda dilakukan melalui desk analysis dengan empat belas kriteria. Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran mengenai kualitas Perda di daerah yang dikelompokan dalam tiga kategori potensi permasalahan, yaitu kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis. Dalam kategori acuan yuridis terdiri dari tiga kriteria yaitu relevansi acuan yuridis, up to date acuan yuridis, dan kelengkapan yuridis formal. Kategori substansi terdiri enam kriteria, yaitu diskoneksi tujuan dan isi serta konsistensi pasal, kejelasan obyek, kejelasan subyek, kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut dan Pemda, kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur atau struktur dan standard tarif, kesesuaian antara filosofi dan pungutan. Kategori prinsip terdiri dari lima kriteria, yaitu keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip free internal trade, persaingan sehat, dampak ekonomi negatif, menghalangi akses masyarakat dan kepentingan umum, dan pelanggaran kewenangan pemerintahan.
Jumlah peraturan daerah yang dianalisis sebanyak 1.480 Perda. Perda yang dianalisis dibatasi dengan wilayah pengaturannya, yaitu terkait dengan perekonomian. Perda yang dianalisis tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) wilayah isu, yaitu Perda terkait dengan perizinan, Perda terkait dengan lalu lintas barang dan jasa, serta Perda terkait dengan ketenagakerjaan. Dari total 932 peraturan daerah, kebermasalahan pada kategori yuridis didominasi oleh banyaknya Perda yang tidak mengatur secara lengkap ketentuan-ketentuan
peraturan yang lebih tinggi. Diantaranya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Sejumlah ketentuan yang tertuang dalam ketiga produk hukum seperti tersebut di atas sifatnya wajib, sehingga setiap pengaturan yang tidak merujuk pada ketentuannya dikategorikan Perda bermasalah.
Kabupaten Kubu Raya memperoleh skor kualitas peraturan daerah tertinggi. Kubu Raya merupakan satu-satunya dari 239 daerah, di mana seluruh empat Perda yang dianalisis tidak mengandung permasalahan. Sementara itu Kota Solok dan Maluku Utara berada pada peringkat kedua, karena dari masing-masing tujuh Perda dari daerah ini yang dianalisis hanya ditemukan satu Perda yang bermasalah pada satu dari 14 kriteria pelanggaran. Perda tersebut adalah Perda Kota Solok No.6/2006 tentang Pajak Penerangan Jalan yang melanggar aspek kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur, atau struktur dan standar tarif. Sementara itu, satu-satunya Perda yang bermasalah di Maluku Utara adalah Perda No. 10 tahun 2009 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK). Letak permasalahan Perda juga sama yakni melanggar aspek kejelasan standar waktu, prosedur, serta struktur dan standar tarif (KPPOD 2011).
4.1.10 Indeks Tata Kelola Pemerintahan Daerah
Berdasarkan hasil studi TKED 2011, lima besar kabupaten/kota dengan tata kelola pemerintahan daerah terbaik berturut-turut adalah Kota Blitar, Kabupaten Lampung Utara, Kota Probolinggo, Kota Batu, dan Kabupaten Sorong. Sedangkan lima besar kabupaten/kota dengan tata kelola pemerintahan terburuk adalah Kabupaten Waropen, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Halmahera Barat, dan Kabupaten Teluk Bintuni. Skor tata kelola pemerintahan daerah tahun 2010 berentang antara 39,4 sampai 80,5.
Secara umum kabupaten/kota di Jawa dan sumatera memiliki skor tata kelola yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota di wilayah timur Indonesia. Namun ada beberapa kabupaten/kota dari wilayah timur yang memiliki skor tata kelola yang tinggi, seperti Kabupaten Sorong yang masuk lima besar terbaik. Hal ini mengindikasikan bahwa tata kelola pemerintahan di Indonesia masih sangat bervariasi, selain ada kesenjangan tata kelola pemerintahan daerah antar wilayah
Panjangjalan(Km)
barat dan timur, juga di masing-masing wilayah sendiri. Setelah sepuluh tahun pelaksanaan desentralisasi yang serentak dan mendadak tanpa adanya penyiapan institusi lokal, ternyata kualitas institusi daerah masih beragam.
4.2 Penyediaan Infrastruktur di Indonesia
4.2.1 Infrastruktur Jalan
Infrastruktur jalan mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Infrastruktur jalan merupakan faktor penunjang bagi terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang memadai akan memungkinkan terjadinya penularan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Penularan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi.
450000
400000 Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kab/Kota 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: BPS (diolah)
Gambar 4 Perkembangan infrastruktur jalan menurut tingkat kewenangannya di Indonesia periode 2000-2010
Pada tahun 2010, panjang jalan di Indonesia mencapai 487.314 km. Berdasarkan kewenangan pembinaannya, panjang jalan kabupaten/kota pada tahun 2010 mencapai 395.453 km atau sekitar 81 persen dari panjang jalan keseluruhan. Selama periode 1995-2010 jalan kabupaten/kota mempunyai porsi
Pan jan gj al an(K m) Ju mlah ken daraa nb ermoto r(Ju taun it) terbesar dengan tren yang selalu meningkat. Panjang jalan negara tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya sekitar 4,5 persen, sedangkan jalan provinsi relatif stagnan (Gambar 4).
600.000
Panjang jalan (km): sumbu kiri
Jumlah kendaraan bermotor (juta unit): sumbu kanan
90,00 80,00 500.000 70,00 400.000 60,00 50,00 300.000 40,00 200.000 30,00 20,00 100.000 10,00 0 - 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: BPS (diolah)
Gambar 5 Perkembangan panjang jalan dan jumlah kendaraan bermotor periode 2000-2010
Selama periode 2000-2010, walaupun panjang jalan secara keseluruhan mengalami pertumbuhan tetapi pertumbuhannya masih lebih rendah daripada pertumbuhan jumlah kendaraan (Gambar 5). Rata-rata pertumbuhan panjang jalan setiap tahunnya sekitar 3,46 persen, atau hanya sepertiga dari rata-rata pertumbuhan kendaraan bermotor yang tumbuh sekitar 10,66 persen per tahun. Berdasarkan tingkat mobilitas yang diukur dengan rasio jumlah kendaraan per panjang jalan, secara nasional tingkat mobilitas telah meningkat tiga kali sejak tahun 2000 dari sekitar 53 unit kendaraan per km menjadi 158 unit kendaraan per km pada tahun 2010 (Gambar 6). Semakin tinggi nilai rasio mobilitas menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Kondisi macet terjadi jika nilai rasionya sebesar 1 kendaraan per meter atau 1000 kendaraan per kilometer. Berdasarkan tingkat mobilitas provinsi, Provinsi DKI Jakarta merupakan satu-satunya provinsi yang sudah masuk dalam kategori macet dengan rasio kendaraan per panjang jalan sekitar 1,96 unit kendaraan per meternya. Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena semakin macet suatu wilayah maka akan menyebabkan peningkatan biaya, sehingga tingat efisiensi