• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA SYARIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSISTENSI PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA SYARIAH"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA SYARIAH

Khoirul Huda

Pengadilan Agama Banjarbaru, Kalimantan Selatan E-mail: yhuda7khoirul@gmail.com

Abstract :

The purpose of this study was to analyze the ratio legislation given authority to the Religious Courts to resolve sharia banking disputes and analyze the implementation of sharia principles in resolving sharia banking cases in decisions in the Religious Courts.

First, the ratio legislation of the Religion Court in resolving sharia banking disputes in terms of philosophy as a manifestation of the first principle of practice, namely the One Godhead which is the soul and spirit of national law. Juridical aspects can be seen from several laws and regulations such as the 1945 Constitution, Law No. 48 of 2009 concerning Judicial Power, Law No. 7 of 1989 Jo. UU no. 3 of 2006 Jo. UU no. 50 of 2009 concerning Religious Courts and Law No. 21 of 2008 concerning Sharia Banking. Socio-logically the issues related to sharia economic transactions.

Secondly, the principles and principles of Islamic sharia in. resolving sharia banking disputes have been manifested in the decisions of religious courts. Some decisions of religious courts in general the judges have based their decisions on considerations that refer to the Qur'an, Sunnah and statutory regulations such as the Civil Code, Compilation of Sharia Economic Law and the Fatwa of the National Sharia Council of the Indonesian Ulema Council

Keywords: Religious Courts, Dispute Resolution, Sharia Banking

Abstrak :

Penelitian ini adalah menganalisis ratio legis diberikannya kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah dan implementasinya prinsip syariah dalam putusan di Pengadilan Agama.

Pertama, ratio legis kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah dari segi filsafat sebagai wujud pengamalan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan jiwa dan ruh hukum nasional. Aspek yuridis dari beberapa peraturan perundang-undangan seperti UUD 1945, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 Jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Secara sosilogis persoalan yang terkait dengan transaksi ekonomi syariah di dalam. masyarakat muslim Indonesia.

Kedua, azas dan prinsip-prinsip syariah Islam dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diwujudakan di dalam putusan pengadilan agama.

Beberapa putusan pengadilan agama pada umumnya mejelis hakim telah mendasarkan putusannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang merujuk pada Al-Quran, As-Sunnah dan peraturan perundang-undangan seperti KUHPerdata, Kompilasi Hukum Ekonomis Syariah dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

(2)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman dan inherent dengan pemberlakuan Hukum Islam dalam rentan waktu 10 tahun (1999-2009), Peradilan Agama mengalami perubahan yang berarti. Bahkan mengalami perubahan yang sangat signifikan ketika Badan Peradilan Agama berwenang menerima, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah tanpa kontroversi. Sementara itu, ekonomi syariah merupakan entitas baru bagi masyarakat Muslim Indonesia.1

Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak

1

Aden Rosadi. 2015. Peradilan Agama di Indonesia :DinamikaPembentukanHukum. Bandung :SimbiosaRekatama Media. hlm. 17.

hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.2

Peranan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi pada lembaga keuangan syariah merupakan sebuah kajian penting dalam hal implementasi perekonomian syariah. Belakangan ini banyak lembaga syariah muncul dalam memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan dengan pelaksanaan yang berdasarkan prinsip syariah. Kehadiran ekonomi syariah yang berlandaskan pada prinsip syariah dalam menangani kasus-kasus sengketa ekonomi pada lembaga syariah sangat menarik untuk dikaji. Apalagi masih ada beberapa pihak yang terlibat dalam perbankan syariah masih mempertanyakan atau bahkan meragukan tentang kesyari’ahan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama

Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi isu hukum di dalam penelitian ini adalah: Apa ratio legis diberikannya kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah ? dan Apakah prinsip syariah dalam penyelesaian perkara perbankan syariah sudah diwujudkan dalam putusan di Pengadilan Agama ?

2

LihatPenjelasanUmumUndang-UndangNomor 21 Tahun 2008

(3)

PEMBAHASAN

RASIO LEGIS KEWENANGAN

PENGADILAN AGAMA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA

PERBANKAN SYARIAH

A. Landasan Pemikiran Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah

Perjuangan umat Islam Indonesia terhadap tanah airnya dan catatan sejarah hukum Islam yang sudah membumi di bumi nusantara ini semenjak masa pra-penjajahan hingga sekarang, karenanya eksistensi hukum Islam keberlakuannya tergantung pada umatnya untuk menegakannya.3

Eksistensi hukum Islam di Indonesia dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat melihat pada teori eksistensi yang dikemukakan oleh Ichtijanto, penafsiran teori ini mengungkapkan eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional sebagai berikut:4

1. Hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.

2. Hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan diakui keberadaannya, dan karena kekuatan dan wibawanya, maka hukum nasional memberikan status sebagai hukum nasional. Norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia.

3 Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, hlm. 1

4Ichtijanto, 1990, Hukum Islam dan Hukum

Nasional Jakarta: Ind-Hill Co, hlm. 86-87.

3. Hukum Islam sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. Pemikiran yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu dari aspek filosofis, aspek sosiologis dan aspek yuridis. Penjelasan dari aspek-aspek tersebut adalah :

1. Aspek filosofis

Aspek filosofis merupakan pertimbang-kan atau alasan yang menggambarpertimbang-kan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Teks Proklamasi, Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Politik hukum Negara Indonesia yang didasari Pancasila menghendaki agar berkembang kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Muhammad Hatta menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik Indonesia, Syariah Islam berdasarkan al-Qur’an dan Hadits dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia.5

5

Ichtijanto, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional” dalam Mimbar Hukum No. 13 Thn V, Jakarta; Yayasan al-Hikmah, hlm. 17

(4)

Pancasila sebagai falsafah negara, dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum mendudukkan agama dan hukum agama pada kedudukan fundamental. Dalam hukum nasional hukum agama sebagai wujud pengamalan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan jiwa dan ruh hukum nasional. Karenanya, secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berurat berakar pada budaya masyarakat. Salah satu faktornya adalah karena fleksibilitas dan elastisitasnya. Artinya, kendatipun hukum Islam tergolong hukum yang otonom akan tetapi dalam tataran implementasinya ia sangat aplicable dan acceptable dengan berbagai jenis budaya lokal. Karena itu, bisa dipahami bila dalam sejarahnya di Indonesia ia menjadi kekuatan moral masyarakat (moral force of people) yang mampu vis avis

hukum positif negara, baik tertulis maupun tidak tertulis.6

Penambahan Kewenangan pengadilan Agama tersebut sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim, sebagaimana dinyatakan Eugien Ehrlich bahwa “...hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang

6

Taufiq Abdullah (ed.). 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia.

Jakarta: PustakaFirdaus, hlm. 104.

hidup di masyarakat”.7 Ia juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern).8

Dilihat aspek filosofis, Kewenangan absolut dari Peradilan Agama menunjukan bahwa perkembangan kebutuhan hukum masyarakat muslim (khususnya) terhadap kesadaran menjalankan syariat Islam semakin tinggi. Artinya, pluralisme hukum harus diterima sebagai realitas (real of entity) yang majemuk (legal fluraly) dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Cotterral, ”We should think of law as a phenomenon pluralistically, as a regulation of many krud existing in a veriety of relationships, same of the quit tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state”.9

2. Aspek sosiologis

Aspek sosilogis ini merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta

7

Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali,hlm. 19

8

Soerjono Soekanto. 2012. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Gravindo, hlm. 37

9

M. Ali Mansyur. “Aspek Hukum Perbankan Syariah Dan Implementasinya di Indonesia”, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011. Hlm. 69

(5)

empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Dalam kondisi yang demikian inilah, maka peraturan perundang-undangan tidak mungkin dilepaskan dari gejala sosial yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu agar diperoleh suatu pengaturan (melalui produk hukum) yang komprehensif dan integral, maka dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan persoalan-persoalan yang ada di dalam masyarakat dari bidang politik sampai dengan sosial budaya harus menjadi pertimbangan utama.10

3. Aspek yuridis

Aspek yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan dirubah atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Aspek yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.

Terdapat beberapa peraturan yang menjadi dasar kewenangan Pengadilan

10

Bagir Manan. 1992. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta : Ind-Hill Co, hlm. 16. Lihat juga di dalam B. Hestu Cipto Handoyo. 2008. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 67.

Agama di dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, yaitu :

a. UUD 1945

Ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 yang mengatur tentang keberadaan Peradilan Agama adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan (2). Aspek yuridis ini secara nyata menerangkan bahwa kekuasaan kehakiman yang salah satunya dilaksanakan oleh Peradilan Agama merupakan bagian dari agenda reformasi yang dengan tegas memberikan legitimasi konstitusional bagi kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari kekuasaan negara yang merdeka dalam rangka menyelenggarakan sistem peradilan yang profesional guna menegakkan hukum dan keadilan demi terciptanya negara hukum.

b. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Di dalam Pasal 25 ayat (1) dijelaskan bahwa “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”. Selanjutnya pada ayat (3) dikatakan bahwa “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.

(6)

Setiap perubahan yuridis kekuasaan kehakiman harus menyentuh berbagai peraturan perundang-undangan yang dipayungi, termasuk berbagai bentuk aturan kebijakan (beleidsregels) dan praktek peradilan yang didapati dalam berbagai yurispurdensi atau putusan hakim.11

c. UU No. 3 Tahun 2006

Kewenangan Peradilan Agama di dalam menerima, memeriksa dan memutus sengketa perbankan syariah diatur secara khusus di dalam Pasal 49 huruf i yang berbunyi “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: ekonomi syariah”. Penjelasan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 menerangkan bahwa “Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah.

d. UU No. 21 Tahun 2008

Dari keseluruhan kegiatan ekonomi syariah, perbankan syariah sudah mendapatkan payung hukum yang relatif lengkap dibandingkan dengan kegiatan ekonomi syariah lainnya. Perbankan syariah diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 berbunyi :

11

Bagir Manan. 2005. Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU No. 4 Tahun 2004. Jakarta : Mahkamah Agung RI, hlm. v

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

B. Eksistensi Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah.

Perkembangan ekonomi syariah tentunya membawa implikasi terhadap aktifitas ekonomi di Indonesia, khususnya kesiapan Indonesia dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi syariah, salah satunya dengan melakukan reformasi hukum ke arah hukum ekonomi syariah. Hukum asal syariah terhadap ibadah dan muamalah mempunyai kedudukan yang berbeda. Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan Al-Qur‟an dan Al-Hadist, sedangkan dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.12

Menurut data statistik Perbankan Syariah yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK) pada April 2018, terdapat

12

Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo, hlm. 29.

(7)

13 Bank Umum Syariah (BUS), 21 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 168 BPRS dengan total aset BUS dan UUS sebesar Rp. 423.944 Miliar. Sedangkan jumlah perusahaan asuransi syariah sebanyak 13, perusahaan asuransi UUS sebanyak 50, lembaga pembiayaan syariah sebanyak 7 dan UUS sebanyak 40, Dana Pensiun Syariah sebanyak 1, Lembaga Keuangan Khusus Syariah sebanyak 4, dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah sebanyak 42:13 Berdasarkan pada data di atas kehadiran ekonomi syariah khususnya perbankan syariah sangat dipercayai masyarakat sehingga dengan dasar kepercayaan itu harus diimbangi dengan bentuk perlindungan hukum melalui regulasi yang tidak hanya berisi tentang jenis, produks atau struktur ekonomi syariah, namun juga kepastian di dalam lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain

13

Ibid

pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat.14

Selain regulasi tentang sistem perbankan syariah, terdapat juga regulasi yang mengatur tentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 menerangkan bahwa Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: ekonomi syariah

Perluasan kewenangan peradilan agama di bidang ekonomi syariah dan khususnya di perbankan syariah tersebut, tidak hanya terbatas pada sengekta yang terjadi antara orang-orang yang beragama Islam saja, melainkan juga meliputi sengketa yang terjadi antara orang Islam dengan yang non Islam, bahkan termasuk juga sengketa yang terjadi antara sesama non Islam sekalipun, sepanjang mereka itu menundukkan diri terhadap hukum Islam dalam hal yang menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama tersebut. Sekalipun penganut agama lain di luar Islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan

14

Penjelasan Umum Undang-Undang Nonor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

(8)

lingkungan peradilan agama.15 Atau dengan kata lain kompetensi absolut peradilan agama di bidang perbankan syariah sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 dan Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 menunjukkan bahwa tatkala perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah terdapat sengketa maka muara penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi kompetensi peradilan agama.

Hal tersebut diperkuat lagi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 membatalkan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008, maka tidak ada lagi dualisme dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah.

IMPLEMENTASI PRINSIP SYARIAH DI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

A. Bentuk-Bentuk Sengketa Perbankan Syariah

Kebanyakan terjadinya sengketa perbankan syariah adalah karena adanya ketidakseriusan antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan. Sengketa yang merupakan conflict atau dispute dapat berbentuk perselisihan atau disagreement on a point of law or fact of interest between two person yang memiliki arti suatu kondisi di mana tidak ada

15

M. Yahya Harahap. 1993. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta : Pustaka Kartini, hlm.37

kesepahaman di antara kedua belah pihak. Timbulnya sengketa berawal dari situasi dan kondisi yang menjadikan pihak yang satu merasa dirugikan oleh pihak yang lain.16

Hubungan yang terjadi di dalam kegiatan perbankan syariah baik antara lembaga perbankan dan nasabah atau antara lembaga perbankan didasari oleh akad, maka dapat dikatakan bahwa sengketa terhadap hukum akad adalah suatu kondisi terjadinya ketidaksepaha-man atau perbedaan di antara para pihak yang membuat akad atau kontrak maupun perjanjiaan hukum yang terkait dengan fakta tidak dipenuhinya hak atau tidak dilaksanakannya kewajiban yang ditentukan atau pemutusan hubungan hukum kontraktual yang dilakukan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan dari pihak lainnya.17

Menurut Muhammad Asro dan Muhammad Kholid, terjadinya sengketa dalam pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah dapat berasal dari pihak bank, pihak nasabah dan pihak eksternal. Hal ini tentu saja didasarkan pada motif ataupun alasan yang berbeda dan bermacam-macam. Sebab-sebab munculnya permasalahan dalam pembiayaan antara bank dan nasabah adalah dari Pihak Internal Bank, Nasabah dan Pihak Eksternal dengan penjelasan sebagai berikut:18

1. Pihak internal bank

16

Neneng Nurhasanah dan Panji Adam. 2017. Hukum Perbankan Syariah : Konsep dan Regulasi. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 294.

17

Amran Suadi. 2017. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah : Teori dan Paraktik. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, hlm. 6

18

Muhammad Asro dan Muhammad Kholid. 2011. Fiqih Perbankan. Bandung: Pustaka Setia, hlm. 152

(9)

Hal ini biasanya terkait dengan Kebijakan pembiayaan yang kurang tepat, misalnya : a. Terdesak dalam suatu keadaan di mana

bank harus mencapai target yang ditetapkan maka memungkinkan bank tidak memperhitungkan kondisi kemampuannya dalam menyaturkan pembiayaan kepada nasabah;

b. Aspek kondisi perekonomian dan kondisi sosial politik daerah maupun negara kurang diperhatikan dengan seksama; c. Kuantitas nasabah menjadi lebih utama

untuk mernenuhi target dibanding kualitas nasabah itu sendiri;

d. Prinsip prudentialbanking practice menjadi tidak ditetapkan sebagaimana yang seharusnya;

e. Pihak Bank kurang teliti dalam pembuatan akad pembiayaan yang ternyata banyak cela atau multitafsirnya bunyi klausu-klausul akad, sehingga dimanfaatkan untuk hal-hat yang tidak baik oleh nasabah, atau dengan kata lain dapat disamipangi oleh nasabah demi keuntungan dirinya sendiri;

f. Kuantitas, kualitas dan integritas Sumber Daya Manusia yang kurang memadai. 2. Pihak nasabah

Sengketa yang timbul bersumber dari pihak nasabah seperti aspek karakter (itikad tidak baik) nasabah, aspek operasionalisasi dan manajemen usaha nasabah, aspek legal yuridis dan Aspek agunan. Menurut H. Taufiq (Mantan hakim agung, sengketa ekonomi antara lain terjadi karena penipuan dan ingkar janji. Lebih lanjut

beliau menegaskan bahwa yang dimaksud ingkar janji adalah:19

a. Pihak-pihak atau salah satu pihak tidak melakukan apa yang dijanjikan/disepakati untuk dilakukan;

b. Pihak-pihak atau salah satu pihak telah melaksanakan apa yang telah disepakati, tetapi tidak ”sama persis” sebagaimana yang dijanjikan;

c. Pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan apa yang telah dijanjikan, tetapi terlambat; dan

d. Pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

3. Pihak eksternal

Sedangkan faktor yang berasal dari pihak eksternal adalah Krisis ekonomi atau terjadinya perubahan makro ekonomi, Adanya perubahan regulasi oleh pemerintah maupun instansi terkait yang berwenang lainnya yang diberlakukan untuk bank dan nasabah, Bencana alam dan/atau gangguan keamanan (kerusuhan) yang menimpa nasabah, Nasabah tiba-tiba sakit keras sehingga tidak dapat menjalan usaha dan nasabah meninggal dunia padahal tidak memiliki ahli Waris atau memiliki ahli waris namun tidak mampu membayar hutangnya.

Pada dasarnya, terdapat banyak hal yang menyebabkan terjadinya sengketa secara umum di dalam perbankan syariah, yaitu :20

1. Proses terbentuknya akad disebabkan pada ketidaksepahaman dalam proses bisnis karena terjebak pada orientasi keuntungan, karakter

19

Jaih Mubarak, Penyelesian Sengketa Ekonomi Shari’ah di Indonesia, dalam www. Badilag.net

20

(10)

coba-coba, karena ketidakmampuan mengenali mitra bisnis dan mungkin tidak adanya legal cover.

2. Akad atau kontrak sulit dilaksanakan karena : a. Para pihak kurang cermat atau kurang

hati-hati ketika melakukan perundingan pendahuluan;

b. Tidak memiliki keahlian untuk mengkonstruksikan norma-norma akad yang pasti, adil dan efisien;

c. Kurang mampu mencermati risiko yang potensial akan terjadi atau secara sadar membiarkan potensi itu akan terjadi; dan d. Tidak jujur dan tidak amanah.

B. Prinsip-Prinsip Syariah dalam

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dalam Putusan Pengadilan Agama.

Dalam sejarah Islam, ketika terjadi beda pendapat atau sengketa antara para pihak baik dalam bidang keluarga (al-ahwal al-syahsiyah) maupun dalam bidang bisnis (muamalah), maka lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut adalah melalui mekanisme perdamaian (al-sulh), arbitrase (al-tahkim), dan/atau pengadilan (al-qadha).21

Di dalam proses dan mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah yang dilakukan oleh hakim di Pengadilan Agama tentunya harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. Oleh karena itu Asas dan prinsip-prinsip syariah menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.

21

Faturrahman Djamil,2012, Penyelesaian Pembiayaan bermasalah di Bank Syariah, Jakarta, sinar grafika, hlm. 106

Di dalam hukum Islam memiliki karakteristik dalam menerapkan hukumnya. Karakteristik tersebut diantaranya adanya azas-azas hukum Islam antara lain:22

1. Meniadakan Kepicikan/tidak memberatkan; 2. Menyedikitkan Beban;

3. Penetapkan Hukum Secara Bertahap; 4. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia; 5. Mewujudkan Keadilan yang Merata. Disamping selain berdasarkan azas-azas syariah Islam juga adanya prinsip-prinsip syariah (prinsip-prinsip hukum Islam).

Baharuddin Ahmad telah merangkum menjadi 9 prinsip hukum Islam, sebagai berikut:

1. Prinsip Tauhid.

Tauhid (ketuhanan Yang Maha Esa) adalah suatu prinsip yang menghimpun seluruh manusia kepada Tuhan. Inilah prinsip umum atau universal sebagai landasan prinsip-prinsip hukum Islam lainnya. Prinsip tauhid ini ditarik dari firman Allah surah Ali Imran ayat 64: Juhaya menjelaskan: “Prinsip tauhid ini pun menghendaki dan mengharuskan manusia untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya”. Begitu pula Al-Jurjani menjelaskan bahwa seluruh hukum syari’ah (hukum Islam) tertumpu pada ma’rifatullah dan tauhidullah.

Prinsip umum ini melahirkan pula prinsip khusus, misalnya prinsip-prinsip ibadah, yakni prinsip berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara atau prinsip berkomunikasi langsung dan prinsip beban hukum (taklif) yang melahirkan prinsip-prinsip: memelihara akidah

22

Hasbi Ash- Shiddiqie. 1982. Fakta Keagungan Syariat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 25-26

(11)

dan iman,memelihara agama, penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur.23

2. Prinsip al-Adl (Keadilan).

Pengertian adil dalam Al-Quran disebut dengan dua kata. Pertama, adl. Kedua, qisth. Kata adl dari akar kata a-d-l, sebagai kata benda. Keadilan dalam konteks Al-Quran tidak lepas dari moralitas. Realisasi keadilan, pertama-tama berpedoman pada wahyu Ilahi. Allah, sebagai yang Maha Adil, memerintahkan manusia bersikap adil, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Keadilan adalah sendi pergaulan sosial yang paling fundamental. Jika keadilan dilangar, sendi-sendi masyarakat akan goyah.

Mufassirin mengertikan adil dalam Al-Quran, paling tidak pada empat makna: Pertama, adil dalam arti sama. Kedua, adil dalam arti seimbang. Ketiga, adil dalam arti perhatian pada hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Allah.24 3. Prinsip al-Musawwah (Persamaan).

Dasar ketiga yang menjadi tumpuan bangunan hukum Islam ialah bahwa semua rakyat mempunyai persamaan hak di hadapan undang-undang yang harus dilaksanakan atas mereka semua, dari yang paling rendah dalam Negara sampai pejabat-pejabat dan pimpinan-pimpinan dengan derajat atau tingkatan yang

23

Baharuddin Ahmad, Illy Yanti, 2015, Eksistensi Dan Implementasi Hukum Islam di Indonesia:Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm.39

24

Ibid, hlm. 39-40

sama, tanpa memandang warna, suku, bahasa, atau tanah air. Tidak seorang pun atau kelompok mana pun dalam batas-batas Negara Islam, memiliki keistimewaan hak ataupun perbedaan dalam kedudukan. Landasan prinsip ini dijumpai dalam Al-Quran surah Al-Hujarat ayat 13.25 4. Prinsip Al-Hurriyah (Kemerdekaan).

Konsep al-hurriyah yang dimaksud adalah kebebasan atau kemerdekaan secara umum, baik kebebasan individual maupun kelompok. Prinsip al-hurriyah dapat ditemukan dalam beberapa ayat dalam Al-Quran, di antaranya terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 256, Dalam ayat lain, surah Al-Kaafirun ayat 6:, Ayat-ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kebebasan yang dimaksud meliputi kebebasan individu, kebebasan beragama, kebebasan berpolitik, dan kebebasan berinisiatif. Kebebasan amar ma’ruf nahi munkar.26

5. Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar.

Amar makruf berarti hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki oleh Allah. Ia berfungsi sebagai social engineering hukum. Nahi munkar berfungsi sebagai social control Prinsip tampak terlihat dari al-ahkam al-khams: wajib, haram, sunat, makruh dan mubah. Prinsip ini besar sekali peranan dan faedahnya bagi kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara. Baik buruknya kondisi kehidupan tersebut, amar bergantung pada ada tidaknya prinsip ini.27 6. Prinsip Al-Ta’awun (Tolong–menolong). Prinsip ini merupakan tindak lanjut yang nyata sebagai prinsip membantu sesama. Prinsip 25 Ibid.hlm.41 26Ibid, hlm 43 27 Ibid, hlm 44

(12)

saling menolong atau gotong royong sesuai dengan tradisi bangsa Indonesia yang dikenal secara sejarah. Islam mengajarkan prinsip ini dalam surah Maidah ayat 2 dan Al-Mujadalah ayat 9:

Prinsip ini dalam hukum Islam bias diterapkan dalam bentuk bahu-membahu merumuskan dan menggali hukum Islam, baik secara antar individu atau antar lembaga dan atau antar negara dalam bentuk ijtihad atau konferensi atau perkumpulan intelektual.28 7. Prinsip Tasamuh (Toleransi).

Suatu prinsip yang menjamin kemerdekaan dan kebebasan beragama dan kepercayaan dan menjamin kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh arena itu, prinsip ini menekankan umatnya untuk hidup rukun dan damai tanpa memandang ras, warna kulit (beda paham/aliran), dan Negara. Prinsip ini diambil dari ayat 256 dari surah Al-Baqarah dan surah Al-kafirun ayat 6.29

8. Prinsip Al-Tha’ah (Ketaatan pada Ulil Amri).

Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan prinsip-prinsip ketaatan kepada Ulil Amri, antara lain dalam surah Al-Nisa’ ayat 59 dan 83: Muhammad Ali dalam tafsirnya, The Holy Qur’an, sebagaimana yang dikutip oleh Dedi Supriyadi, merumuskan ayat 59 surat Al-Nisa dengan tiga wujud ketaatan. Pertama, taat kepada Allah dan utusan-Nya. Kedua, taat kepada yang memegang kekuasaan dia antara kaum muslim. Ketiga, mengembalikan kepada Allah jika terjadi perselisihan dengan pihak yang berkuasa. Kata

28 Ibid.hlm. 44 29

Ibid.hlm.45

ulil amri menurutnya mempunyai arti yang luas sehingga perkara apa saja yang bertalian dengan kehidupan manusia, mempunyai ulil amri sendiri-sendiri.30

9. Prinsip Al-Syura (Musyawarah).

Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-w-r, yang pada mulanya bermakna“ mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti “mengatakan atau mengajukan sesuatu”. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar. Dalam surat Ali Imran ayat 159: Ayat ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Agar memusywarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya. Dalam surat al sura ayat 38: Ayat tersebut turun sebagai pujian kepada kelompok muslim madinah (Ansor) yang bersedia membela Nabi Muhammad, SAW dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Ayyub Al-Ansori.31

Rifyal Ka’bah menyebut ada 3 (tiga) bentuk keadilan yang harus diwujudkan : Legal Justice, Moral Justice dan Social Justice. Legal

Justice.(Keadilan Hukum) adalah keadilan

berdasarkan undang-undang yang dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang

30Ibid.hlm 47 31

(13)

berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum Negara dalam bentuk formal. Moral Justice (Keadilan Moral) tidak lain dari keadilan berdasarkan moralitas. Moralitas adalah standar baik dan buruk. Moralitas berasal dari berbagai sumber, yang terpenting adalah agama. Social Justice (Keadilan Sosial) sebagai salah satu dasar Negara (sila kelima Pancasila) digambarkan dalam 3 bentuk keadilan sosial yang meliputi keadilan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan yang diinsafi (disadari) oleh mayoritas rakyat yang dapat berkembang.32

Idealnya, sebuah putusan harus mencerminkan tiga bentuk keadilan tersebut. Keadilan hukum negara yang merepresentasikan keadilan moral dan keadilan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia. Tetapi permasalahannya tidak berhenti sampai disitu, menyelaraskan tiga bentuk justice itu dalam sebuah putusan memang bukan hal yang tidak mungkin, tapi dalam prakteknya sangat sulit sekali diwujudkan.33 Pada prakteknya hakim terkadang harus dihadapkan pada dua pilihan yang sulit antara Legal Justice itu sendiri dengan Moral Justice dan Social Justice. Menerapkan salah satu justice dan meninggalkan justice yang lainnya. Ada saatnya ketika berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan untuk memenuhi keadilan moral dan keadilan sosial, hakim harus “melompat” dengan menyingkirkan ketentuan perundangan. Dalam kondisi seperti

32

Muntasir Syukri. Hakim : Antara Legal

Justice, Moral Justice dan

Sosial Justice,https://muntasirsyukri.wordpress.com/2 011/09/01/hakim-antara-legal-justice-moral-justice-dan-sosial-justice/, diakses pada tanggal 1 Oktober 2018

33

Ibid.

ini, legal justice (keadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan) harus dikorbankan.34 Putusan Hakim adalah merupakan suatu hukum atau undang-undang yang mengikat antara para pihak yang bersangkutan, sedangkan menurut hukum Islam adalah suatu hak bagi mahkum-lah (pihak yang dimenangkan) dari mahkum-alaih (pihak yang dikalahkan), jadi tidaklah ada perbedaan.35 Mengambil suatu putusan oleh para hakim, dalam hukum Islam adalah merupakan suatu perintah dan begitu juga isi dari pada putusan itu haruslah ditaati oleh para muslim, hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat An-Nisaa' ayat 58, yang berbunyi artinya "Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menunaikan amanat kepada ahlinya (rakyat umum) dan apabila kamu (para hakim) hendak memutuskan sesuatu hukum diantara manusia hendaklah memutuskan itu adil. Berdasarkan pada bunyi Friman Allah SWT tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim dalam mengambil suatu putusan itu, disamping berdasarkan kepada ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadist juga melihat ketentuan yang dibuat oleh para pemuka agama atau pimpinan, dan apabila terjadi pertentangan kembalilah kepada hukum Allah (Al-Qur'an). Disamping dasar untuk mengambil suatu putusan pada ayat tersebut diuraikan tentang kewajiban untuk mentaati hukum atau putusan yang ditetapkan oleh hakim. Dengan demikian jelas bahwa putusan hakim itu mempunyai daya ikat atas orang yang bersengketa.

34

Ibid.

35

Muhammad Salam Madku. 1990.

Peradilan Dalam Islam. Surabaya : Binas Ilmu, hlm. 127

(14)

Korelasi apakah azas dan prinsip syariah Islam telah diwujudkan dalam putusan Pengadilan Agama yang mengadili sengketa perbankan syariah, maka dapat dilihat di beberapa putusan pengadilan agama yang mengadili perkara sengketa perbankan syariah, antara lain:

1. Putusan Pengadilan Agama Surakarta No.0519/Pdt.G/2013/PA.Ska tanggal 19 Januari 2015M, bertepatan dengan tanggal 28 Rabiulawal 1436 H.

2. Putusan Pengadilan Agama Purbalingga No. Nomor:1721/Pdt.G/2013/PA.Pbg tanggal 07 Mei 2014 M, bertepatan dengan tanggal 07 Rajab 1435 H.

3. Putusan Pengadilan Agama Mentok Nomor 0136/Pdt.G/2017/PA.Mtk tanggal 19 September 2017 M bertepatan dengan tanggal 28 Dzulhijjah 1438 H

4. Putusan Pengadilan Agama Pekanbaru Nomor 0672/Pdt.G/2013/PA.Pbr tanggal 06 Nopember 2013 M. bertepatan dengan tanggal 02 Muharram 1435 H.

5. Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 2440/Pdt.G/2014/PA.Pwt tanggal 30 Desember 2014 M. bertepatan dengan tanggal 08 Rabi’ul Aawal 1436 H.

Dari beberapa putusan sengketa perbankan syariah tersebut diatas, maka ada beberapa hal yang dapat dikomparasikan dengan yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama dalam kajian fiqh al-qadha.. Dilihat dari aspek gugatan, syarat mengajukan gugatan,, formulasi gugatan, pembuktian gugatan secara umum tidak jauh berbeda antara hukum positif/hukum acara perdata dengan fiqih alqadha;

Beberapa putusan tersebut diatas majelis hakim Pengadilan Agama telah mempertimbangkan dengan berdasarkan pada Al-Quran, As-Sunnah dan, Kompilasi Hukum Ekonomis Syariah dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia serta peraturan perundang-undangan seperti KUHPerdata

PENUTUP

Ratio legis kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah dapat dilihat dari segi filsafat, yuridis dan sosilogis. Dari segi filsafat dalam hukum nasional hukum agama sebagai wujud pengamalan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan jiwa dan ruh hukum nasional. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diadopsi dan dinirmakan di dalam beberapa peraturan perundang-undangan.. Aspek yuridis secara nyata telah termaktub di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya sudah tepat dengan memberikan kompetensi perkara perbankan dan lembaga keuangan syariah kepada Peradilan Agama. Secara sosiologis masyarakat Indonesia sangat dekat dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan baik yang berorientasi nasional maupun agama.

Prinsip-prinsip syariah Islam dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diwujudakan di dalam putusan pengadilan agama dalam bentuk berupa

(15)

tidak memberatkan, menyedikitkan beban, penetapkan hukum secara bertahap, memperhatikan kemaslahatan manusia dan mewujudkan keadilan yang pada umumnya mejelis hakim telah mendasarkan putusannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang merujuk pada Al-Quran, As-Sunnah dan peraturan perundang-undangan seperti KUHPerdata, Kompilasi Hukum Ekonomis Syariah dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq (ed.). 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo.

Ahmad Baharuddin, dan Illy yanti, 2015,Eksistensi dan Implementasi Hukum Islam di Indonesia.yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ash- Shiddiqie, Hasbi. 1982. Fakta Keagungan Syariat Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Asro, Muhammad dan Muhammad Kholid. 2011. Fiqih Perbankan. Bandung: Pustaka Setia

Bintania Aris, 2012.Hukum Acara Peradilan Agama Islam dalam kerangka Fiqh Alqadla.Jakarta: Rajawali Pers Harahap, M. Yahya. 1993. Kedudukan,

Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta :Pustaka Kartini Jamil Fathurrahman,2012, Penyelesaian

Pembiayaan Bermaslah di Bank Syariah.Jakarta: Sinar Grafika Juhaya, 2011, Teori Hukum dan

Aplikasinya, Bandung : CV. Pustaka Setia

---,2012,Ekonomi Syariah, Bandung : Pustaka Setia

Karim, Adiwarma. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo

Madku, Muhammad Salam. 1990. Peradilan Dalam Islam. Surabaya :Bina Ilmu Manan, Abdul, 2006, Penerapan Hukum

Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Manan, Bagir. 1992. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta :Ind-Hill Co

---. 2005. Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU No. 4 Tahun 2004. Jakarta : Mahkamah Agung RI

Nurhasanah, Neneng dan Panji Adam. 2017.

Hukum Perbankan Syariah :Konsepdan Regulasi. Jakarta :Sinar Grafika

(16)

Ichtijanto, 1990, Hukum Islam dan Hukum Nasional Jakarta: Ind-Hill Co Rosadi, Aden, 2015, Peradilan Agama di

Indonesia :Dinamika Pembentukan Hukum, Bandung : Simbiosa Rekatama Media

Soekanto, Soerjono. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat.Jakarta: Rajawali ---. 2012. Pokok-pokok

Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Gravindo

Suadi, Amran. 2017. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah :Teori dan Paraktik. Jakarta :Kencana Prenada Media

Ichtijanto, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional” dalam

Mimbar Hukum No. 13 Thn V, Jakarta; Yayasan al-Hikmah

Mansyur, M. Ali, “Aspek Hukum Perbankan Syariah Dan Implementasinya di Indonesia”, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011

Mubarak, jaih.Penyelesian Sengketa Ekonomi Shari’ah di Indonesia,

dalam www. Badilag.net

Syukri, Muntasir. Hakim : Antara Legal Justice, Moral Justice dan Sosial Justice,

https://muntasirsyukri.wordpress.co m/2011/09/01/hakim-antara-legal-

justice-moral-justice-dan-sosial-justice/, diakses pada tanggal 1 Oktober 2018

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Putusan Pengadilan Agama Surakarta Nomor 0519/Pdt.G/2013/PA.Ska Putusan Pengadilan Agama Purbalingga

Nomor 1721/Pdt.G/2013/PA.Pbg Putusan Pengadilan Agama Mentok Nomor

0136/Pdt.G/2017/PA.Mtk

Putusan Pengadilan Agama Pekanbaru Nomor 672/Pdt.G/2013/PA.Pbr Putusan Pengadilan Agama Purwokerto

Referensi

Dokumen terkait

a) Game akan memaparkan cerita dan peristiwa pelaksanaan Sumpah Palapa secara kronologis dalam bentuk leveling , agar pengguna dapat mengetahui dan memahami

[r]

Luas layak untuk permukiman dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan lahan dapat menunjukkan kemampuan lahan suatu wilayah berdasarkan nilai Daya Dukung Lahan

terkandung dalam emisi gas buang kendaraan uji akan terjerap ke dalam pori-pori media karbon aktif pada knalpot uji, sedangkan sebagian yang lain dari polutan HC dan SO 2

Toko bahan roti Serba Sari memiliki daftar harga yang bisa dilihat di setiap

Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, maka Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung

Dilihat dari hukum Islam perubahan harga secara sepihak oleh pembeli yang disebabkan karena adanya spekulasi yang dilakukan oleh pembeli dalam membeli tembakau

bahwa dengan pertimbangan huruf a, perlu ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat tentang Pengaturan Lalu Lintas dan Pengaturan Angkutan