• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORTOGRAFI ALIF ZIYADAH DALAM RASM MUSHAF MADINAH PADA SURAH AL-BAQARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ORTOGRAFI ALIF ZIYADAH DALAM RASM MUSHAF MADINAH PADA SURAH AL-BAQARAH"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ORTOGRAFI ALIF ZIYADAH DALAM RASM MUSHAF MADINAH PADA SURAH AL-BAQARAH

Ibnu Rawandhy N. Hula IAIN Sultan Amai Gorontalo Email: ibnurawandi@iaingorontalo.ac.id

Ibnu Rawandhy N. Hula Abstrak

Penelitian ini berrtujuan mengungkap tentang keberadaan aksara alif yang berfungsi sebagai al-Ziyadah (tambahan), dalam rasm Mushaf Madinah. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang datanya disajikan secara deskriptif. Berdasarkan objeknya, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (lybrary research), data dikumpul dari surah al-Baqarah, dengan mengutip, menyadur kemudian mengulas dan menyimpulkannya. Hasil penelitian ini adalah : Ortografi alif al-Ziyadah dalam rasm Mushaf Madinah pada surah al-Baqarah sebanyak 354 kata, dan yang mengandung keunikan penulisan sebanyak 8 kata : (1) Ortografi alif ziyadah sesudah waw jama’ (ﱚ) (ﱚ) (2) Ortografi alif ziyadah sesudah waw mufrad (اَوُف ۡعَي) (ْ اوُلۡتَت) (ﱚ) dan (3) Ortografi alif ziyadah tidak terletak sesudah waw mufrad dan jama’ (ﱚ) (ﱚ) (ﱚ). Alasan adanya problematika alif ziyadah pada rasm Mushaf Madinah disebabkan oleh beberapa aspek: 1) Aspek teknisnya, berkaitan dengan kaidah pola rasm usmani yang berbeda dengan pola rasm qiyasi, 2) Aspek qira’at, karena Mushaf Madinah yang ditulis mengikuti riwayah Hafs ‘an Imam ‘Asim akan berbeda dengan Mushaf yang mengikuti riwayah dari imam qira’at lainnya, 3) Aspek masadir, ada dua rujukan yang mendominasi rasm ‘usmani, yakni versi al-Dani dengan karyanya al-Muqni’ dan versi Abu Dawud dengan karyanya al-tanzi>l, 4) Aspek tarikhiyah, aspek ini dibutuhkan untuk melihat bagaimana tulisan awalnya (ىلولأا ةبتكلا) yang ada pada mushaf kuno dalam bentuk manuskrip, 5) Aspek qawaid lugawiyah, karena rasm al-Mushaf tidak boleh menyimpang dari kaidah bahasa, 6) Aspek dilaliyah, karena bertambahnya sebuah komponen huruf dalam kata akan menghasilkan makna yang berbeda-beda, (ىنعلما دايز ىلع لدت ىنبلما ةدايز). Kata Kunci: ortografi, alif ziyadah, rasm, mushaf Madinah, al-Baqarah

Abstract

This research seeks to explore the existence of alif as al-Ziyadah (additional) on rasm Madinah Mushaf in surah al-Baqarah. The issue is analyzed from the aspect of its diversity and variety of script. This research is qualitative in which the data is presented descriptively, and based on its object, this research is a library research. The data were collected from surah al-Baqarah by quoting, adapting, reviewing, and concluding it. The result of research reveals that: the orthography of alif al-Ziyadah on rasm Madinah Mushaf in surah al-Baqarah consists of 354 words, and those of with script problem are 8 words: (1) alif ziyadah orthography after waw jama’ (ﱚ) (ﱚ) (2) alif ziyadah orthography after waw mufrad (اَوُف ۡعَي) (ْ اوُلۡتَت) (ﱚ) and (3) alif ziyadah orthography not existed after waw mufrad and jama’ (ﱚ) (ﱚ) (ﱚ). The reason for the existence of alif ziyadah problematics on rasm Madinah Mushaf is due to several aspects: 1) technical aspect, it is related to the rule of pattern of rasm uthmani which is different from rasm qiyasi, 2)

(2)

Qira’at aspect, the Madinah Mushaf that was written based on riwayah of Hafs ‘an Imam ‘Asim will be different from the mushaf that is written based on other riwayah, 3) Masadir aspect, there are two major references of rasm uthmani, they are al-Dani version in al-Muqni’ and Abu Dawud version in al-Tanzil, 3)Tarikhiyah aspect, this aspect is needed to see the original script (ىلولأا ةبتكلا) in ancient hand-written mushaf, 4) Qawaid Lugawiyah aspect, it is because the rasm al-Mushaf must not digress from the grammatical rule, 5) Dilaliyah aspect,which means additional of a letter component in a word will produce different meaning, (ىنعلما دايز ىلع لدت ىنبلما ةدايز).

Keywords: orthography, alif ziyadah, rasm, Madinah mushaf, al-Baqarah

Pendahuluan

Term ortografi merupakan ilmu kajian ilmu linguistik makro, yang secara bahasa

berasal dari bahasa Yunani, ortha “benar” dan graphein “untuk menulis”, (Pusat Bahasa, 2008). Dengan demikian ortografi terkait dengan ilmu menulis aksara dengan benar (Eisenberg et al., 2016). Dari segi objeknya ortografi Arab bermakna “aksara Arab” adalah sistem tulisan yang dibuat untuk digunakan secara umum dan berlaku di dalam masyarakat suatu bahasa (Hula, 2020). Aksara ini dibuat untuk dapat menggambarkan bunyi yang sebenarnya dari suatu bahasa dalam bentuk tulisan (Apel, 2011). Ortografi dalam kajian grafem adalah sistem pelambangan bunyi (

توصلا ىلع لادلا زمرلا وه فرحلا

).

Grafem ada dua macam, yaitu grafem yang mengikuti sistem fonetis dan grafem yang

mengikuti sistem fonemis. Grafem yang mengikuti sistem fonetis lebih popular disebut ejaan fonetis, hal ini melambangkan bunyi-bunyi yang diucapkan penutur dalam bentuk huruf yang dalam istilah ortografi Arab disebut (

يتوصلا زمرلا

). Oleh karena itu, jumlah bunyi yang dilambangkan relatif lebih banyak dari jumlah huruf yang terdapat dalam

alpabet. Sementara itu, grafem yang mengikuti sistem fonemis lebih popular disebut

ejaan fonemis, ejaan ini melambangkan fonem-fonem bahasa tertentu dalam bentuk tulisan huruf (

ةئجهتلاب يباتكلا زمرلا

). Jadi, pelambangan yang disesuaikan dengan bunyi-bunyi tertentu akan menghasilkan perbedaan bentuk tulisan sekaligus membedakan makna.

Sistem ortografi dibuat berawal dari huruf-huruf bersifat arbitrer (

يطابطعا

) dieja, disepakati untuk digunakan secara umum di dalam masyarakat suatu bahasa, oleh karena itu ortografi atau sistem penulisan huruf, menjadi unsur disusunnya sebuah kata, kalimat, kemudian didokumentasikan menjadi bahasa lexikografi. Dalam konteks sosiolinguistik, ortografi penting dalam pemakaian bahasa tulis, baik untuk kepentingan tulisan konvensional maupun untuk tulisan-tulisan yang sifatnya sakral dan suci. Oleh karena itu dalam ragam bahasa tulis, ortografi dijadikan sebagai unsur dasar, untuk mengabadikan ide dan ungkapan dengan perantaraan media tulis sampai pada menghasilkan visualisasi bentuk, simbol dan suara sebagai penciri masing-masing bahasa, (Syamsuddin, 1992). Kridalaksana mengungkapkan bahwa gambaran bunyi bahasa berupa tulisan atau lambang sistem ejaan suatu bahasa yang dalam ilmu linguistik disebut ortografi,

(3)

(Harimurti, 2008). Ia menyebutkan bahwa ortografi adalah sistem penulisan untuk sebuah bahasa yang mencerminkan apa adanya di dalam sebuah bahasa tertentu, termasuk bunyinya tulisannya dan bentuk huruf dan kata-katanya. Namun demikian bahasa tulisan dalam ortografi juga memiliki kekurangan yang dapat dilihat dari keragaman tanda-tanda tulisan itu dipakai untuk menyatakan bunyi-bunyi bahasa, karena biasanya ada huruf dan kata yang ditulis ketika dibaca memiliki banyak varian, bahkan ada huruf ditulis tidak dibaca, atau huruf dibaca tetapi tidak ditulis. Dari pengertian di atas, jelas bahwa maksud dari ortografi Arab adalah sistem penulisan aksara Arab yang benar (Chaer, 1994).

Dilihat dari segi bentuknya, ortografi Arab mempunyai bentuk yang cukup rumit dari bahasa lain, kadang antara yang ditulis berbeda dengan yang diucapkan, adapula huruf untuk suku/kabilah tertentu mudah diucapkan, sedangkan pada kabilah lain sulit diucapkan. Oleh karena itu menurut al-Zanzani ortografi Arab disebut juga dengan ejaan fonemis, karena tiap bunyi bahasa dinyatakan dengan sebuah tanda atau huruf yang membedakan antara satu bentuk dengan bentuk yang lainnya, yang melahirkan varian-varian bahasa, (Wahyuni, 2017).

Istilah ortografi dalam bahasa Arab disebut niz}am al-Tahji’ah (sistem ejaan) yang banyak dibahas dalam ilmu imla’ (Baalbaki, 1995).Sedangkan dalam pembidangannya ortografi Arab merupakan bidang ilmu tersendiri, karena memiliki kaidah-kaidah penulisan tersendiri yang sangat berkaitan dengan ilmu fonologi (aswat), ilmu morfologi (sarf) dan sintaksis (nahw), yang dengannya dapat diketahui bagaimana sebuah tulisan berada pada derajat yang baik dan benar. Bahkan yang menarik dikaji adalah ternyata ortografi Arab memiliki perbedaan sistem dan keragaman pola, jika diterapkan pada rasm konvensional (imla’i) dan rasm usmani yang merupakan pola penulisan kitab suci al-Qur’an. (Vural, 2015) yang secara spesifik dibedakan dengan sistem hijaiyah, abjadiyah, dan sautiyah, (Abidat, 2013).

Keunikan ortografi Arab, diakui memiliki khas dan perbedaan dengan ortografi lainya, seperti tenis penulisannya dimulai dari kanan ke kiri, ada huruf yang harus disambung (wasl) dan dipisah (fasl), ada huruf yang harus dibaca namun tidak ditulis (mantuq ghair maktub) ada pula yang ditulis namun tidak dibaca (maktub ghair mantuq), bahkan ortografi Arab tidak hanya terdiri dari sistem aksara, namun juga memiliki tanda diakritik, yang membedakan antara bunyi vokal (sha’itah) dan konsonan (shamitah), yang menjelma dalam bentuk penanda bacaan fath}ah (a), kasrah (i), d}ammah (u),

sukun, (tanda mati/diam), dan lain-lain, (Hula, 2016).

Rasm, secara bahasa berasal dari kata “rasama-yarsumu-rasman” yang berarti

“penulisan”. Kata ini memiliki sinonim dengan kata (

طـــخلا

) “jejak”,(

شقنلا

) ukiran,(

رطسلا

) garis, ejaan, (

ءلاملإا

)ْdan (

ةباتكلا

) penulisan,ْyang berarti penulisan yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya,(Febrianingsih, 2016). Secara istilah rasm difenisikan sebagai ilmu yang membahas tentang pengetahuan menulis huruf dan teks, dengan metode penulisan tertentu dan kaidah-kaidahnya baik secara qiyasi atau imla’i, maupun secara usmani yang digunakan dalam pola penulisan mushaf. Rasm yang dimaksud di

(4)

sini adalah bekas tulisan pada lafadz kata, yang dirangkai dengan huruf-huruf hijaiyah.(Al-Hamd, 1982).

Untuk membedakan antara pola rasm qiyasi dan usmani dapat dilihat pada pengertian berikut. Menurut Sya’ban Muhammad Ismail bahwa rasm qiyasi adalah sebagai berikut:

لاو ليدبت لاو ناصقن لاو ةدايز ريغ نم,امامت اهب قطني امك ةملكلا بتكت نأ : ي سايقلا مسرلا

اعارم عم رييغت

ت

.اهيلع فقولا و ءادتبلإا

Rasm Qiyasi adalah penulisan kalimat sebagaimana yang diucapkan secara

sempurnah, tanpa ada tambahan huruf, pengurangan, pergantian, perubahan, bersamaan dengan memperhatikaan tanda mulai dan berhentinya sebuah tulisan. (Isma’il, 2012).

Adapun pengertian dari rasm usmani adalah:

ُها َضَتْرا ي ِذ

َّلا ُعْضَوْلَا

ِةَباَت ِك ي ِف ِةَبا َح َّصلا َنِم ُهَع َم َنا

َك ْنَمَو هنع الله ي ضر ناَمْثُع

ِنآْر

ُقلْا ِتاَمِلَك

اَيِز ِرْي

َغ ْنِم ، ِقْوُطْنَمْلِل ِةَقَفاَوُلمْا َماَمَت ًاقِفاَوُم َنْوُكَي ْنَأ ِبْوُتْكَلمْا يِف ُلْصَلأْاَو .ِهِف ْوْرُحَو

َلاَو ٍة َد

, ٍنا َص ْق

ُن

ْد َق َةَّيِنا َم

ْثُعلْا َف ِحاَصَلمْا َّنِكَلَو ,ٍرْيِيْغَت َلاَو ٍلْيِدْبَت َلاَو

ُه ُف ْوُر ُح اَه ِب ْت َد ِجُو

َف ,َلْصَلأْا ا َذَه اَهْيِف َلَمْهَأ

. ِة َفْيِر

َّشلا ِضاَرْغَ ِلأ َكِلَذَو ِقْطُّنلْا ِءاَدَلأ اًفِلاَخُم اَهُم ْسَر َءاَج ٌةَرْيِثَك

Rasm ‘us|mani> adalah pola penulisan al-Qur’an yang digunakan oleh Usman bin

‘Affan bersama pada sahabatnya yang lain dalam menuliskan kata-kata dan huruf-huruf al-Qur’an. Pada dasarnya pola penulisan harus sesuai dengan apa yang diucapkan, tanpa ada penambahan, pengurangan, begitu pula penggantian dan perubahan. Akan tetapi pola penulisan mushaf-mushaf usmaniyah telah mengesampingkan pola dasar tersebut. Sehingga di dalamnya terdapat banyak huruf-huruf yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kaidah pengucapannya. Dan itu semua dilakukan untuk sebuah tujuan yang mulia.(Al-Zarqani, 2001).

Dalam mushaf kebanyakan, seperti mushaf Madinah yang banyak dicetak, dibagi dan disebarluaskan oleh Mujamma’ Kha>dim al-Syari>faini al-Ma>lik al-Fahd li

Tiba>’ah al-Mus}h}af, (Hakim, 2017) pola penulisan rasm-nya mengacu

pada riwayat al-Syaikhani, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu> Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani) pada umumnya, dan terkadang dirujuk dari ulama selain keduanya. Hal terlihat pada ta’rif Mushaf Madinah sebagai berikut:

ْد َق َو

ِجْر

َت َعَم

ٍحا

َجَن ُنْب ُناَمْيَل ُس َدُواَد ْوُبَأَو ,ِ يِناَّدلا وٍرْمَع وُب

أ ِنا

َ

َخْي َّشلا ُهَلَقَن اَم َكِلَذ ىِف َي ِع ْوُر

ِحْي

ا َم ِهِرْي

َغ ِلْوَقِب ذخؤي دقو اًبِلاَغ ِفَلاَتْخِلإْا َدْنِع يِناَّثلا

Pada mushaf ini ditemukan sejumlah contoh ortografi alif ziyadah, seperti pada kata (

ةئام

), (

انأ

), (

بابلا اولوأ

) (

مهبر اوقلام

) (al-A’zami, 2005:143). Demikian pula tulisan ortografi alif ziyadah pada sesudah waw jama’, pada kata (

ْوَتَع

) yang terdapat pada surah al-Furqan ayat 21, (

اًرْيِب

َك

ا ًّوُتُع ْوَتَع َو

) ditulis tanpa alif, sedangkan pada surah al-A’raf ayat 166 (

ا ْوَتَع

ْ

ا َّمَل َف

) dan surah al-Zariyat (51); 44 (

ْم ِه ِبَر ِر ْم

أ ْن َعا ْوَتَعف

َ

) ditulis dengan ortografi

(5)

Pada bentuk lain alif ziyadah kita menemukan keunikan penulisannya dimana alif ditulis setelah waw mufrad, contoh: (

ا َو ُع ْدَن ْن

ل - ا ْوُلْتَتا َم -ى ِثَب اْو

َ

ُك ْشَأ

), serta ziyadah alif yang tidak terletak sesudah waw jama’ atau waw mufrad,ْcontoh: (

ٍماَع ة

َئاِم

) surah al-Baqarah (2): 259, (

هَّن َحَب ْذا

لأ

َ

) surah al-Naml (27): 21., (

اَّن ِك

ل

َ

) pada surah al-Kahfi (18): 38.(

ئاشل

) pada surah al-Kahfi (18): 23, (

نْبا

) pada surah al-Taubah (9): 30 (

ِالله ُنْبا ٌرْيَزُع ُد ْوُهَيل

ْا ِتَلاَقَو

) juga pada kata (

ا ْو ُسَئْياَت َلاَو

) ortografi alif ziyadah terletak di antara huruf mudara’ah ta dan ya, dan masih banyak lagi contohnya dalam al-Qur’an. Dari sekian contoh-contoh tersebut, menunjukkan bahwa ortografi alif ziyadah memiliki keunikan dan keragaman bentuk yang menarik untuk dikaji alasan, dalil pendukung dan argumentasinya.

Term ziyadah, yang terangkai dari huruf zay-ya-dal dimaknai dengan “penambahan huruf”(ibnu Faris bin Zakariya, 1994), namun para ulama memiliki perbedaan pandangan dalam memberikan definisi ziyadah, diantaranya: a) Ulama nahwu mengatakan bahwa

ziyadah adalah lafaz yang tidak memiliki posisi dalam i’rab. Artinya ziyadah bagi mereka

bukan terletak pada makna, akan tetapi terletak pada lafaz-lafaz tersebut. Begitupun yang dimaksud oleh ulama tasri>f, b) Ulama bahasa berpendapat bahwa ziyadah adalah penambahan huruf atau lafaz yang tidak mempenyai arti dan faedah sama sekali, hanya sebagai penghias kata, sedangkan c) ulama tafsir cenderung berpendapat sama dengan ulama nahwu, terlebih lagi bahwa ziyadah tidak mungkin terjadi dalam al-Quran jika yang dimaksud ziyadah adalah penambahan huruf atau lafaz yang tidak berfaedah atau sia-sia, (Al-Sabt, 1996), sehingga untuk menghindari distorsi makna ziyadah tersebut mereka bersepakat bahwa maksud ziyadah dalam al-Quran adalah penambahan huruf atau lafaz yang mempunyai tujuan dan faedah tertentu yang tidak didapatkan ketika lafaz tersebut dibuang, namun jika huruf tersebut dibuang, tidak akan merubah makna dasarnya.

Penelitian spesifik terkait dengan ortografi alif ziyadah dalam mushaf Madinah, sejauh ini masih tergolong minim, meski demikian para ulama dan cendekiawan yang bergelut dalam ilmu rasm dari dulu sampai sekarang telah membahasnya dalam bentuk teori-teori dasar, nazham syair, bahkan mu’jam, seperti kitab al-muqni’ fi ma’rifah

mashahif amshar, karya Abu ‘Amar Dani (A. ‘Amr Al-Dani, 1978), mukhtashar al-tabyin li hija’ al-tanzil karya Abu Dawud Sulaiman bin al-Najah (Najah, 2002), al-munsif

karya al-Balansi, maurid al-zham’an fi rasm al-Qur’an karya al-Kharraz, aqilah al-atrab karya imam Syatibi, dalil hairan ala maurid zham’an fi fannaiy rasm wa

al-dhabt, dan mu’jam al-rasm ‘usmani (Madzkur, 2019). Di Indonesia sendiri beberapa

penelitian relevan di antaranya artikel yang ditulis oleh Zainul Arifin Madzkur, Al-Rasm

al-’Utsmani fi al-Mushaf al-mi‘yari al-Indunisi ‘inda al-Dani wa Abi Dawud (Madzkur,

2020), dan Kajian ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani

Indonesia. Tanda Baca Dalam Al-Qur'an Studi Perbandingan Mushaf Al-Qur'an Standar Indonesia dengan Mushaf Madinah (Ayana, 2016), dan penelitian Mushaf Al-Qur’an

Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah (Kajian Atas Ilmu Rasm) (Thoharoh, 2018), namun dari ke empat penelitian tersebut lebih fokus pada kajian perbandingan (muqaranah).

(6)

Adapun pembeda penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, terletak pada variabel ortografi alif ziyadah, khususnya dalam mushaf Madinah yang bentuknya berbeda-beda, (mukhtalif) dan beragam (mutanawwi’), sehingga penting untuk dikaji keberadaanya dilihat dari sudut pandang beberapa ilmu terkait, seperti (rasm, qiraat,

tarikh, nahwu, sharf dan dilalah). Disamping itu dalam kajian pola penulisan mushaf-mushaf usmaniyah memang banyak ditemukan huruf-huruf yang tidak sesuai dengan

kaidah pengucapannya, bahkan jika merujuk pada pandangan al-Dani dan Abu Dawud yang menjadi sumber riwayah penulisan mushaf Madinah, keduanya meski memiliki kesamaan pandangan, namun tidak jarang pada kasus-kasus tertentu sering berbeda. Dengan demikian maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ortografi alif

ziyadah baik yang terletak setelah waw jama’ dan waw mufrad maupun yang tidak

terletak sesudah waw mufrad dan jama’ serta alif ziyadah pada lafaz khusus.

Metode

Berdasarkan objeknya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library

research), karena data yang akan dihimpun dan selanjutnya diolah dan dirumuskan

sepenuhnya menggunakan sumber-sumber kepustakaan. Data yang dihimpun melalui riset kepustakaan dikelompokkan menjadi dua kategori: a) Data primer : Ayat al-Quran, sedangkan al-Quran dimaksud adalah al-Quran cetakan Madinah atau yang disebut dengan Mushaf Madinah yang diterbitkan oleh Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah

Mushaf al-Syarif, yang disalin berdasarkan qira’ah Hafs dari Imam Asim bin Abi Najud,

dibakukan pola rasm usmani-nya berdasarkan riwayah syaikhani (Abu ‘Amr al-Dani dan Abu Dawud bin Sulaiman al-Najjah) dengan mengunggulkan riwayah Abu Dawud jika terjadi perbedaan. b) Data Sekunder, berupa referensi sekunder, seperti buku-buku: ilmu

al-rasm wa dabt, qawaid imla’, ilmu al-khat, ulum al-Qur’an, tafsir dan qira’at.

Pendekatan yang digunakan adalah content analysis, yakni rangkaian penelitian yang mengarah kepada penarikan kesimpulan shahih dari sebuah bahan tertulis untuk menemukan alasan dan argumentasi secara obyektif (Muhadjir, 1996).

Sumber data diperoleh dari ayat al-Quran pada surah al-Baqarah merupakan surah ke-2yang terdiri dari 286 ayat, 6.221 kata dan 25,500 huruf, dari jumlah tersebut peneliti melakukan klaster alif ziyadah dalam empat jenis yakni: 1) Alif ziyadah sesudah waw

jama’, 2) Alif ziyadah sesudah waw mufrad, 3) Alif ziyadah tidak terletak sesudah waw jama’ dan waw mufrad, dan 4) Alif ziyadah pada lafaz khusus, sehingga untuk

mempermudah analisisnya peneliti menggunakan teknik distribusional, yakni teknik urai unsur terkecil (ultimate constituent analysis) berupa morfem ortografis alif, kemudian dianalisis secara kualitatif.

(7)

Ortografi alif ziyadah dalam kajian ilmu rasm, terdapat pada empat bagian, yakni: 1)

Alif ziyadah sesudah waw jama’, 2) Alif ziyadah sesudah waw mufrad, 3) Alif ziyadah

tidak terletak sesudah waw jama’ dan waw mufrad, dan 4) Alif ziyadah pada lafaz khusus (

ؤلؤل

).

a. Ortografi Alif Ziyadah sesudah Waw Jama’

Pada umumnya penulisan fi’il madhi pada dhamir hum dibubuhi alif yang berfungsi sebagai ziyadah, dan letaknya sesudah waw jama, seperti (

ْوا -

َت ُب

َك

ْوا

ُءا

َج

), namun kenyataanya pada mushaf yang disalin dengan pola rasm usmani, seperti Mushaf Madinah, ada enam kata yang dikecualikan sehingga tidak ditulis dengan ortografi alif

ziyadah, seperti pada tabel berikut:

Tabel 1 : Hadzf Ortografi Alif Ziyadah sesudah waw Jama’

No Ayat Kata 1

١٦

:ةرقبلا

ﭐﱡ

و ُءاَب

2

٦٨١

:نارمع لآ

ﭐﱡ

1

و ُءا َج

3

٩

:رشحلا

ﭐﱡ

و ُء َّوَبَت

4

٥

:أبس

ﭐﱡ

ْوَع َس

5

٢٢١

:ةرقبلا

ﭐﱡ

ْو ُءاَف

6

٢٦

:ناقرفلا

ﭐﱡ

ْوَتَع

Sumber : Mushaf al-Madinah al-Munawwarah li al-Nasyr al-Hasubi

Data di atas menunjukkan bahwa 6 kata tersebut tidak dibubuhi ortografi alif ziyadah, meski demikian jika disandingkan dengan beberapa kata yang sama, ada yang tetap dibubuhi ortografi alif ziyadah, seperti terlihat pada diagram ini.

Ortografi alif ziyadah sesudah waw jama’ secara ittifaq kedua syaikhani (Al-Dani – Abu Dawud) tidak banyak perbedaan pandangan, namun ada enam kata yang dikecualikan, dengan tidak membubuhi alif pada penulisan, yakni: (

و ُء َّوَبَت

و ُءا َج

و ُءاَب

ْوَع َس

ْو ُءا َف

-

ْوَتَع

). Dari enam kata tersebut ada dua (2) kata yang terdapat dalam surah al-Baqarah, yakni kata (

) dan kata (

).

Kata (

) yang berarti “dan mereka kembali” disebutkan sebanyak dua (2) kali dalam surah al-Baqarah, yakni terdapat pada ayat 61 dan ayat 90.

ﱚﱚﱚﱚ

ﱠ ﭐﱡ “serta mereka

1 Terdapat pada empat surah lainnya : Nur : 11 dan 13, Furqan : 4, Naml : 84 dan

al-Hasyr : 4

al -A'raf : 166 al -Furqan : 21

Al -Hajj : 51 Saba ' : 5

(8)

(kembali) mendapatkan kemurkaan dari Allah”, dan

ﱚﱚﱚﱚ

ﱠ ﭐﱡ “karena itu mereka kembali mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan”.

Penulisan kata (

وُءاَب

) semestinya sesudah waw jama’ terdapat alif ziyadah, namun ada tiga tempat tidak dibubuhi alif, yakni pada surah al-Baqarah (2): 61 dan 90 serta surah ali Imran (3) 112. Jika merujuk pada sumber-sember rujukan rasm al-Mushaf, para ulama

rasm memberikan banyak keterangan tentang penulisan kata ini, seperti Ibnu Abi Dawud

al-Sijistani dalam kitab al-Masahif, menyebutkan bahwa terjadi perbedaan bacaan dan tulisan pada kata (

وُءاَب

) yang awalnya tertulis tanpa hamzah dan alif di akhir (

ُْواَب

). Hal ini dapat dimaklumi karena huruf hamzah, sering tidak dibaca untuk qira’at warsy an

Nafi’. Sedangkan dalam kitab al-Lahjat al-‘Arabiyah disebutkan bahwa kata ini,

penulisan aslinya dengan dua ortografi waw (

ووُءاَب

), hal ini merujuk pada bahasa qabilah Jurhum, sehingga pada penulisannya terlah terjadi pergantian antara ortografi

waw dengan alif (ibdal waw ila alif). Disamping itu pada al-Quran kuno, huruf hamzah

juga tidak ditulis, dan oleh sebagian ulama memandang huruf hamzah bukanlah huruf mandiri tetapi sebagai tanda diakritik yang bisa melekat pada banyak huruf (alif, waw dan

ya) (Al-Sijistani, 2002).

Al-Sijistani kembali menambahkan bahwa alasan tidak dibubuhkannya alif pada kata itu, karena dua alasan, 1) Karena adanya qira’at yang berbeda tentang hamzah dan alif, yang disandarkan pada riwayah Muhammad bin Isa dari bacaan Nusair bin Yusuf al-Nahwi> 2) Karena mayoritas mushaf-mushaf pada ahli Amsar, di Madinah, Basrah, Kufah, Syam dan Bagdad tertulis tanpa alif, jadi harus mengacu pada keaslian penulisan awalnya (al-Katbah al-Ula).

Demikian pula ibnu al-Anbari dalam Marsum al-Khat, menyebutkan bahwa pada Mushaf ahli Iraq kata (

وُءاَب

) tidak dibubuhi huruf alif meskipun bentuknya jama’, (Al-Anbari, 2008). Al-Mahdawi dalam Hija’ Masahif Amsar serta dan Juhni dalam

al-Badi’ fi Rasm Masahif Usman juga memberikan keterangan yang sama bahwa alif

sesudah waw jama’ pada kata itu dihilangkan, (Al-Juhni, 1998).

Abu ‘Amar al-Dani secara lebih jelas memberikan penjelasan bahwa, kata (

وُءاَب

) pada mushaf kuno tertulis (

ُْواَب

), alasan dihilangkannya hamzah adalah disebabkan karena persoalan pengucapan, karena dulu sebagian orang-orang Arab tidak menyukai bergabungnya penulisan antara hamzah dan alif, karena hamzah berat dalam pengucapan, (Al-Dani, 1986). Abu Dawud juga menyebutkan bahwa alif ziyadah yang terletak sesudah

waw jama’ semuanya dihilangkan, dan itu terdapat pada tiga tempat, 2 kali pada surah

al-Baqarah (61 dan 90) dan 1 kali pada surah ali-Imran. (Najah, 2002).

Persoalan penulisan (

) juga diabadikan oleh al-Kharraz pada bait 338 dan 346.

ِفُر ْح

أ ِضْعَبِب

َ

َدْيِز اَم َكاَهَو

ِفِلأ ْن ِم ْو

أ ٍءاَي ْن ِم ْو

َ

أ ٍواَو ْنِم

َ

)وَع َس( ْن ِم ِواَو

َدْعَبَو ,اَهَطا َق ْسِإ :اوَأَر )وَّوَبَت( )واَب( ْنِم َّنِكٰل

Al-Marigni menjelaskan bahwa bait syair al-Kharraz di atas, memberikan keterangan bahwa seluruh ulama rasm secara mutlaq menyepakati penulisan ziyadah alif sesudah

(9)

Selain alasan-alasan di atas, dari aspek semantik sebenarnya ada makna yang terkandung dibalik dihilangkannya ortografi alif pada kata (

وُءاَب

), yakni (

مهباستكا ةعرس

الله بضغ

), cepatnya mereka orang-orang Yahudi mendapatkan kemurkaan Allah(Syamlul, 2006). Jadi kata (

وُءاَب

) tidak hanya bermakna kembali seperti yang dikandung dalam kata raja’a, tetapi kembali lebih cepat mendapat murka Allah, karena ayat ini berbicara tentang ketidaksabaran orang-orang Yahudi yang bosan terhadap satu jenis makanan, juga kedurhakaan mereka terhadap mensyukuri nikmat Allah serta sikap melampaui batas dengan membunuh nabi-nabi mereka (Zakaria – Yahya) secara semena-mena.

Dari Penjelaskan di atas menunjukkan bahwa fenomena penulisan kata (

) yang semestinya ada penambahan alif namun dihilangkan, dilandasi beberapa hal: 1) Persoalan

qira’at, 2) Kemudahan dalam pengucapannya, 3) Mayoritas mushaf pada ahli Amsar

tertulis tanpa alif, sehingga untuk menjaga originalitas tulisannya tetap ditulis demikian. 4) Mayoritas ulama rasm, mulai al-Sijistani, al-Mahdawi, al-Juhni, al-Anbari, al-Dani, Abu Dawud sampai pada al-Kharraz dan Al-Marigni sepakat bahwa alif pada kata itu dihilangkan. Adapun dalam Mushaf Madinah sebelum waw telah dibubuhi hamzah karena sesuai bacaan Hafs ‘an ‘Asim dan sesudah waw ortografi alif-nya dihilangkan, dengan men-tarjih pendapat mayoritas ulama rasm di atas.

Kata (

) “mereka kembali”. Dalam kamus al-Munawwir kata ini berasal dari kata (

ُ

أْي َف

ً

-

َءاَف

) yang bermakna (

عجر

) (Al-Munawwir, 1997). Kata ini juga berasal dari kata (

أَيَف

َ

أَي ْفَي

),yang bermakna “berteduh dan bernaung dari sinar matahari” kemudian dimaknai dengan (

بضغلا نم ئيفلا

) “kembali dari perasaan marah”. al-Fairuz Abadi mengartikan bahwa kata (

ءوي ُفلا و ء ْي َفلا

) bermakna “kembali kepada kondisi yang baik (

ةلاح ىلإ عوجرلا

حم

م

ةدو

), (Abadi, 2008).

Kata ini dalam Qur’an hanya sekali disebutkan, yakni terdapat pada surah al-Baqarah (2): 226, sebagai berikut:

ﭐﱡ ﱚﱚﱚﱚﱚﱚﱚﱚﱚ ﱚﱚﱚ ﱞﱠ

“Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sama seperti kata sebelumnya, kata (

) termasuk dari enam kata yang dibuang alif-nya yang terletak setelah waw jama’. Ibnu Anbari berpendapat bahwa alif pada kata itu tidak ada, (

ِواَول

ْا َدْعَب ٌفِلَأ ِف ْوُرُحلْا ِهِذه ْنِم ٌئْي َش ىِف ُسْيَلَو

) dan tulisan pada awalnya juga memang tidak memiliki hamzah (

ُواَف

),(Al-Anbari, 2008).

Abu Amar al-Dani dan Abu Dawud juga sepakat bahwa pada kata itu dihilangkan

alif-nya, karena menurut Al-Dani hamzah dan alif merupakan dua huruf yang sulit dalam

pengucapkan bagi qira’at tertentu seperti qira’at warsy an Nafi, sedangkan menurut Abu Dawud bahwa kata (

) dihilangkan alif-nya, dan hanya memiliki satu huruf waw, adapun huruf hamzah di antara alif dan waw, awalnya tidak tertulis (

ُواَف

),(Najah, 2002). Sedangkan hasil pengecekan al-Himyari pada lima Mushaf makhtutat, yakni: (Mushaf San’a’, al-Husaini, Riyad, Topkafi> dan mushaf di perpustakan Paris) juga demikian tanpa alif sesudah waw jama’ (Al-Himyari, 2015).

(10)

Adapun makna yang dikandung dari dihilangkannya ortografi alif pada kata itu, menurut Syamlul bermakna (

ءلايلإا نم ةدوعلا ىف ةعرسلا

) “Cepat kembali dari waktu ila). Sebagaimana diketahui bahwa al-Ila’ adalah sumpah seorang suami kepada Istri untuk tidak menggaulinya selama waktu empat bulan, sehingga dihilangkannya ortografi alif pada kata (

) bermakna cepat kembali pulang lebih cepat dari waktu yang ditentukan, karena jika tidak cepat kembali maka akan berlaku hukum talaq, sebagaimana dikaitkan dengan ayat sesudahnya, (222).

ﭐﱡ ﱠ ﱡ ﱢ ﱣ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱠ

Dengan demikian bahwa alasan dihilangkannya alif pada kata (

) bukan merupakan kelalaian atau sengaja dihilangkan oleh para khattat al-mushaf atau lujjan mura’ah, namun didasari oleh konsistensi mengikuti tulisan awalnya yang terdapat pada mushaf-mushaf kuno, adanya faktor kesulitan bacaan, juga didasari oleh pijakan pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama rasm, seperti Anbari, Dani, Abu Dawud, dan al-Kharraz.

b. Ortografi Alif Ziyadah sesudah Waw Mufrad

Dalam kaidah bahasa Arab, jarang dibahas tentang alif sesudah waw mufrad, sedangkan dalam ilmu rasm usmani, alif ziyadah sesudah waw mufrad merupakan pembahasan yang cukup menarik, karena berkemiripan dengan alif ziyadah sesudah waw

jama’. Ortografi alif ziyadah sesudah waw mufrad penulis temukan dalam surah

al-Baqarah sebanyak enam kata, dan tiga di antaranya yang akan dianalisis, yakni:

ْ اوُلۡتَت

ا َوُفۡعَي

Kata (

ْ ا َوُفۡعَي

) berasal dari akar kata (

ا ًو ْفَع

-

َو ُفْعَي

-

َو َف َع

) yang berarti "maaf" sedangkan dalam kamus lisan al-‘Arab, bahwa makna (

َو َف َع

)ْ ْ “menghilangkan sesuatu dan menghapus bekas-bekasnya”, (

هرثأ وحمو ئيشلا ةلزإ

), (Manzur & ibn al-Mukarram, 1955). Hal ini sejalan dengan makna kata “maaf” artinya orang yang telah memberi dan diberi maaf, maka pada hakekatnya telah hilang dan terhapus kesalahannya. Dengan kata lain bahwa orang telah berusaha memohon maaf kepada Allah, sebenarnya ia berusaha agar dosa dan kesalahannya dihapus tanpa ada bekas apapun.

Kata ini dalam surah al-Baqarah tedapat pada ayat 237.

ﭐﱡ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱠ

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah…

Terhadap penulisan kata (

ا َوُفۡعَي

), semestinya sesudah waw ditulis tanpa alif (

َْوُفۡعَي

), namun jika merujuk pada pendapat kedua syaikhani (Al-Dani dan abu Dawud) mereka sepakat pada surah bahwa pada al-Baqarah (2): 237 terdapat alif ziyadah sesudah waw

asliyah. Namun ada pengecualian untuk surah al-Nisa (4): 99 pada kata yang sama dengan

tidak membubuhkan alif sesudah waw, berikut perbandingan perbedaannya: ﭐﱡ

ﱚﱚﱚﱚ

ﱚﱚ

(11)

Perbedaan penulisan pada dua ayat di atas dilandasi oleh alasan bahwa: Tulisan dengan alif pada surah al-Baqarah (2) 237 dan al-Nisa’ (4): 99, dirujuk pada pada Mushaf kuno ahli Iraq dan Syam. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Sakhawi ketika menjelaskan ‘aqi>lah al-Atrab karya al-Syatibi, (Al-Sakhawi, 2009). Sedangkan menurut al-Marigni bahwa tidak adanya alif pada surah al-Nisa’ berkaitan dengan kata sesudahnya (

), artinya bila diberi alif akan terjadi bacaan mad panjang pada (

), sedangkan bacaan seharusnya adalah tanpa mad dan langsung kepada kata (ﱚ). (Al-Marigni, 2005).

Hal ini berarti bahwa kedua kata ini dalam aspek qira’at tidak ada perbedaan. Disamping kedua alasan yang dikemukakan al-Sakhawi> dan al-Marigni, ada pula alasan lain yang menyatakan bahwa tidak adanya ortografi alif pada surah al-Nisa’ karena sebelumnya ada huru>f nawasib (

) yang berdekatan langsung dengan kata (

), sedangkan pada surah al-Baqarah masih diselingi oleh kata (

).

Perbedaan makna yang muncul dari dua pola penulisan (

ْ ا َوُفۡعَي

) dengan (

َْوُفۡعَي

), adalah bila kata tersebut terdapat alif ziyadah maka makna “maaf” tersebut masih dimungkinkan belum secara total diberikan dan diterima, yang terjadi antara (

هنع فعمـلا و ىفاعلا

), atau masih ada sedikit ganjalan dalam hati, karena ayat pada surah al-Baqarah di atas berkaitan dengan masalah suami yang ingin menceraikan istri yang belum dicampuri setelah terjadinya akad, padahal suami telah menetapkan memberi maharnya, maka dalam kasus ini suami berkewajiban menyerahkan separuh mahar yang disepakati, kecuali jika sang istri merelakannya lalu tidak mengambilnya, atau pihak suami berlapang dada membiarkan mahar seutuhnya bagi istri yang ditalaknya itu. Oleh karena itu makna kata (

ْ ا َوُفۡعَي

) dapat bermakna “rela dan lapang dada” yang tidak sama dengan makna “maaf” yang sesungguhnya.

Adapun makna penulisan kata (

َْوُفۡعَي

) tanpa ortografi alif ziyadah pada surah al-Nisa’ (4) 99, menurut Syamlul, berkaitan dengan “maaf” yang diberikan oleh Allah kepada orang yang lemah baik laki-laki maupun perempuan, termasuk anak-anak yang berhalangan untuk berhijrah, sehingga makna dihilangkannya alif pada kata itu, bermakna “maaf yang pasti” yang diberikan oleh Allah, sehingga Allah menghapus kesalahan mereka secara totalis, karena Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,(Syamlul, 2006).

Kata (

ﱚﱚ

) berasal dari akar kata (

ولْتَي

-

وَلَت

) dan (

ةولات

-

ولتي

-

لات

) yang berarti “mengikuti” (

عابتلإا

). Jika kata tilawah dikaitkan dengan ayat al-Qur’an, maka yang dimaksud adalah (

اعباتتم

لايترت

ة

ءارق

). Fairuz Abadi mengemukakan bahwa kata tilawah berbeda dengan kata qira’ah. Kata tilawah lebih khusus untuk bacaan yang diikuti dalam al-Quran, artinya setiap tilawah adalah qira’ah, tetapi tidak setiap qira’ah adalah tilawah, (Abadi, 2008).

Kata ini disebutkan dalam Qur’an sebanyak lima kali, yakni pada (Surah Baqarah (2): 102, Yu>nus (10): 61, Ra’du (13): 30, Qasas (28): 45, dan ‘Ankabu>t (29): 48). Dari kelima kata tersebut menurut Marigni hanya surah al-Baqarah yang menunjukkan waw mufrad, bukan waw jama’, sedangkan pada ayat lainnya

(12)

berbentuk khitab mufrad. Berikut redaksi ayat surah al-Baqarah (2) : 102. (Al-Marigni, 2005)

ﭐﱡ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱚ ﱠ

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia…

Al-Dani menyebutkan bahwa pada kata (ﱚﱚ) dibubuhi alif, namun ia tidak banyak memberikan penjelasan tentang alif ziyadah pada kata itu,(Al-Humaid, 2010). Sedangkan Abu Dawud menyebutkan bahwa waw pada kata itu ada waw asliyah bukan waw jama’. Hal ini juga diabadikan oleh al-Kharraz dalam naz}am-nya pada bait ke 338 dan 348, (Al-Kharraz, 1360)

ِفِلأ ْن ِم ْو

أ ٍءاَي ْن ِم ْو

َ

أ ٍواَو ْنِم ِفُر ْح

َ

أ ِضْعَبِب

َ

َدْيِز اَم َكاَهَو

َع َم ) َو ُفْعَي ْن

أ( َدْعَب ْتَتَبَث ا ًضْي

َ

أ ِدْر َفل

َ

ْا ِواَو َدْعَبَو

ْت َف ِذ ُح ) ْو

ُذ(

Bait di atas dijelaskan oleh al-Marigni bahwa secara mutlaq para ulama rasm sepakat menambahkan alif pada fi’il mufrad, sesudah waw pada akhir kata (

ﱚﱚ

), (Al-Marigni, 2005) Sedangkan hasil pengecekan al-Himyari pada empat mushaf kuno, menyebutkan semuanya isbat alif pada kata itu, sebagai alif ziyadah.

Dengan beberapa rujukan di atas menunjukkan bahwa penulisan kata (

ﱚﱚ

) pada Mushaf Madinah dengan ziyadah alif sesudah waw mufrad tidak lain karena mengacu pada pendapat para ulama rasm terutama (al-Dani dan Abu Dawud), disamping itu pada mushaf-mushaf makhtu>tat semuanya dibubuhi alif ziyadah.

Syamlul juga memberikan keistimewaan kata (

اولتي

) yang dibubuhi alif, bahwa

ziyadah alif pada kata itu menunjukkan makna li ta’zim, jika yang dimaksud adalah

al-Quran al-Karim, (Syamlul, 2006). Sedangkan makna alif ziyadah pada kata (

ﱚﱚ

) di atas adalah bacaan sihir, yang berguna untuk memperkuat, mengelabui, serta memperdaya.

Para setan mengklaim bahwa Nabi Sulaiman memperkuat kerajaannya dengan ilmu sihir. Padahal Nabi Sulaiman tidak kufur dengan mempraktikkan ilmu sihir, sebagaimana klaim orang-orang Yahudi, tetapi para setan itulah yang kufur, karena mereka mempelajari dan mengajarkan sihir kepada masyarakat yang hanya mendatangkan mudarat serta tidak memberikan manfaat kepada mereka. Bahkan orang-orang Yahudi mempraktekkan bacaan sihir, sampai mampu menceraikan antara seorang-orang suami dengan istrinya, sehingga mereka jadikan sihir tersebut sebagai pengganti kitab Allah. Itulah makna tersirat dari alif ziyadah pada kata (

اولتت

) yang bukan bermakna bacaan biasa, namun bacaan sihir yang dijadikan sebagai kekuatan setan.

Kata (

). Dalam kamus lisan al-‘Arab disebutkan bahwa: kata “riba” (

اَبِر

) berarti “bertambah” (

َداَز

) dan “tumbuh” (

ا َمَن

), (Manz|u>r, 2007). Jika orang menyatakan (

ُهُتْيَبْر

أ

َ

) artinya “aku telah menambah dan menumbuhkannya”. Dalam bentuk fi’il kata ini

(13)

disebutkan dalam al-Quran pada surah al-Baqarah (2): 276 (

ِتا

َق َدَّصلا ي

ِب

ْرُيَو

) yang bermakna “menyuburkan sedekah”.

Jika ditelusuri secara keseluruhan, kata (

) disebutkan sebanyak 8 kali dalam al-Quran, yakni dalam surah al-Baqarah sebanyak 5 kali (ayat 275, 276 dan 278), surah ali-‘Imran (3): 130, surah al-Nisa’ (4): 161, serta surah al-Rum (30): 39 masing-masing satu kali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Ortografi Alif Ziyadah pada kata Riba dalam al-Qur’an.

Ortografi Surah - Ayat Redaksi Ayat

ا

Al-Baqarah (2): 275 ﱚﱚ

ا

Al-Baqarah (2): 275 ﱚ ﱚﱚﱚﭐﭐ

ا

Al-Baqarah (2): 275 ﱚﱚﱚﱚﭐ

ا

Al-Baqarah (2): 276 ﱚ ﱚﭐ

ا

Al-Baqarah (2): 278 ﱚﱚﱚﱚ ﱚﱚﭐ

ا

Ali-Imran (3): 130 ﱚﱚ

ا

Al-Nisa’ (4): 161 ﱚﱚﱚﱚﭐ

-

Al-Ru>m (30) : 39* ﱚﱚﱚﱚﱚﱚﱚ

* Tanpa ziyadah alif dan waw, berbentuk nakirah.

Tabel di atas menunjukkan bahwa kata (

) pada hakekatnya ada dua kaidah yang melekat pada kata itu, yakni kaidah ibdal (dari alif ke waw) dan kaidah ziyadah (penambahan alif sesudah waw mufrad). Pada aspek ziyadah, Ibnu Abu Dawud al-Sijistani memberikan keterangan bahwa: Penulisan kata (

) disandarkan pada riwayah Muhammad bin ‘Isa sesuai dengan bacaan Nusair bin Yusuf al-Nahwi serta tulisan seperti terdapat pada mushaf ahli Amsar (Madinah, Kufah, Basrah dan Syam), kecuali yang kata yang terdapat pada surah al-Rum (30) : 39, (Al-Sijistani, 2002).

ﭐﱡ

ﱚﱚﱚ

ﱚﱚﱚﱚﱚﱚﱚﱚ

ﱚ ﱠ

‘Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah’.

Beberapa ulama rasm juga menjelaskan tentang kata (

), seperti Ibnu al-Anbari bahwa semua kata “riba” ditulis dengan waw dan sesudahnya dengan ortografi alif

ziyadah, kecuali pada surah surah al-Ru>m hanya ditulis dengan alif saja, (Al-Anbari,

2008). Begitu pula al-Mahdawi> dalam Hija’ Masahif al-Amsar, bahwa pola penulisan kata (

) disandarkan kepada riwayah Muhammad bin ‘Isa dari Nusair bin Yusun al-Nahwi sedangkan untuk surah al-Ru>m ayat 39 ditulis dengan alif tanpa waw,(Al-Mahdawi, 2007) .

Al-Dani juga memberikan penjelaskan tentang kata ini, bahwa penulisan kata (

) sama dengan penulisan kata (

, (

) dan (

) dengan membubuhkan waw pada kata itu,

(14)

namun ketika dibaca tetap dengan aliff athah, artinya waw tidak dibaca (

ظفللا

ىف ةمودعم

). Penulisan waw pada kata itu menurut al-Dani disandarkan kepada riwayah Qasim bin Asbaq dari Ibnu Qutaibah bahwasanya semua penulis wahyu menulis kata itu dengan

waw. Disamping itu al-Dani mengambil pijakan penulisannya berdasarkan riwayah Bisra

bin ‘Umar dari Harun dan al-Jahdari, bahwasanya pada mushaf al-Imam semua kata itu ditulis dengan waw, kecuali dalam bentuk idhafah, seperti kata (

مهتلاص

) (A. ‘Amr Al-Dani, 1978). Al-Andarabi juga menegaskan bahwa penulisan kata (

) dengan waw dan sesudahnya ada alif ziyadah, merupakan tulisan asli dan dari awalnya seperti itu, kecuali pada surah al-Rum (30) : 39, yang berbentuk nakirah, berbeda ketika bentuknya ma’rifah

bi alif wa lam, (Al-Andarabi, 2002).

Abu Dawud ketika menjelaskan kata ini, memberikan catatan bahwa kata (

) ditulis dengan waw sebagai ibdal dari alif. Sedangkan sesudah waw harus ditulis alif sebagai alif

ziyadah dan itu terdapat pada delapan tempat. Adapun untuk surah al-Ru>m ayat 39 kata

(

) ditulis dengan alif saja karena kata itu termasuk tsulatsi dan tidak boleh dibaca

imalah, (Najah, 2002). Disamping itu kata (

) dalam redaksi ayat masih berkaitan dengan kata selanjutnya (

), sehingga secara ittifaq para ahli qira’ah menganjurkan untuk membaca wasl sampai di ujung ayat. karena jika kata (

) pada surah al-Rum disamakan tulisannya seperti yang terdapat pada surah lain dengan waw dan alif, maka dipastikan akan terjadi lahn al-Qira’at.

Inilah yang dikemukakan oleh al-Andarabi bahwa Usman bin ‘Affan r.a berkata tentang penulisan (

) sebagai berikut (

ُه ُمْي ِقُن َس َو اًن ْح

ل ا َهْيِف ىَرَن اَّن

َ

أ َرْي َغ , ْمُتْل َم ْج

َ

أ َو ْمُتْن َس ْح

َ

أ ْد َق

َ

اَنِتَن ِس

ل

ْ

أِب

َ

) "Kalian sudah bagus dan baik, hanya saja kami melihat di dalamnya terdapat

lahn, dan kami akan meluruskan dengan lisan kami". Kata ini disebutkan pula oleh

al-Syatibi> pada bab hazf al-waw wa ziyadatiha, (Al-Syatibi, 2001).

ٍف

ل

ْ

أ ْع َم ِواَو

َ

لاِب اوٰبِ رلاَو ا

ْ

ٌؤُرْما ِنِإ

اَر َقَت ْح ُم ٍم ْوُّرلا ى ِف اَبِر

ُفْلَخ َسْيَلَو

Dilihat dari aspek makna, Syamlul memberikan penafsiran bahwa, alif ziyadah pada kata (

), karena “riba” berarti “bertambah”, yakni bertambahnya keuntungan secara finansial yang diperoleh dari bunga pembayaran, sedangkan di hadapan Allah riba tidak bertambah yang berlawanan dengan sedekah (

ِتا

َق َدَّصلا ي

ِب

ْرُيَو

) yang menyuburkan (Syamlul, 2006).

Dari perjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa penulisan kata (

) memiliki dua kaidah, yakni ibdal dan ziyadah. Alasan-alasan penulisan kata tersebut didasari oleh beberapa hal, yakni: 1) Mengacu pada riwayah Muhammad bin ‘Isa sesuai dengan bacaan Nusair bin Yusuf al-Nahwi, 2) Mengacu pada Qira’at tentang imalah, wasl, dan menghindari terjadinya lahn 3) Mengacu pada keaslian tulisan tersebut. 4) Mengacu pada bentuk kata, yang dilihat dari aspek nakirah dan ma’rifah. Disamping empat alasan di atas, dari aspek makna, penulisan kata riba dengan alif ziyadah di akhir kata, menunjukkan makna bertambah.

(15)

Ortografi alif ziyadah tidak hanya terletak sesudah waw jama’ dan waw mufrad, namun dalam ilmu rasm alif ziyadah juga terdapat pada sebuah kata-kata tertentu dalam bentuk isim. Alif ziyadah seperti ini dalam surah al-Baqarah terdapat pada tiga kata sebagai berikut:

Kata (ﱚ). Menurut ibnu Manzur kata (

) berasal dari kata (

َي َئ َم

). Pada kata ini terdapat ortografi alif ziyadah, dan dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 8 kali, 2 kali pada surah al-Baqarah (

ﱚﱚ

) dan (

), dan 6 kali pada surah lainnya, yakni Surah al-Anfal (8): 65 (

ةئام

) 66 (

ةرباص ةئام

), surah al-Kahfi (18): 25, (

نينس ةئام ثلاث

), surah al-Nur (24): 2, (

ةدلج ةئام

) dan surah al-Saffat (37): 147(

نوديزي وأ فلأ ةئام

), (Audah, 1997).

Al-Dani memberikan penjelasan bahwa kata ini ditulis dengan alif namun tidak dibaca (

ظافللأا ىف مودعم

), (A. ‘Amr Al-Dani, 1960), demikian pula Abu Dawud bahwa kata (

) ditulis dengan alif di antara mim dan ya’ mahmuzah yang bersambung dengan

ha’, (

ءاهلاب ةلصتلما ةزومهلما ءايلاو ميلما نيب فللأا ةدايز

), (Najah, 2002).

Penambahan ortografi alif pada kata (ﱚ), karena memang tulisan asalnya seperti itu yang oleh para penulis wahyu menambahkan alif pada kata yang bermakna “ratus”, hal ini dibuktikan dengan beberapa mushaf kuno pada kata (ﱚ) ditulis dengan menambah

alif seperti Mushaf al-Husaini di Mesir, Mushaf Riyad, Mushaf Topkafi di Turki, hal

ini berarti bahwa penambahan ortografi alif pada kata itu tidak lain menjaga originalitas tulisan dari para penulis wahyu.

Alasan lain jika ditinjau dari aspek struktur ortografinya, bahwa kata (ﱚ) tersebut memiliki dua huruf yang sering menjadi ikhtilaf dalam ilmu rasm, yakni huruf hamzah di tengah kata yang ditulis di atas nabrah dan ya’ yang terselubung yang ada pada ortografi

mim berbaris kasrah, maka pada saat tidak dibubuhi alif sebagai ziyadah, akan

memunculkan kata dengan tulisan (

ٌةَئْي ِم

), karena ada yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata ”miy’i” (

ٍئْيِم

). Oleh karena itu fungsi alif ditambahkan pada kata itu berfungsi sebagai pemisah (

ةقرافلا

) bertemunya bacaan mad/panjang pada ortografi mim berbaris kasrah, seperti pada kata (

ئْي ِس

). Adapun kecenderungan memilih menambahkan

alif dibandingkan dengan ya, disebabkan oleh adanya huruf sesudahnya, yakni hamzah

yang berbaris fathah yang identik dengan alif.

Ada pula pandangan lain bahwa penulisan (ﱚ) ditambah dengan alif, bukan (

ةَئِم

), karena berfungsi untuk membedakannya dengan kata (

هنِم

), mengingat pola tulisan di masa dahulu belum memiliki syakal dan titik, disamping itu karakteristik hamzah dan alif termasuk huruf yang rumit, baik dalam bacaan maupun tulisan. Pandangan ini memiliki kelemahan, karena jika hanya untuk membedakan dengan kata (

هنِم

), maka tentu bertolak belakang dengan bentuk musanna-nya (

ن يَتَئا ِم

) yang juga tetap menambahkan alif, sedangkan dalam al-Qur’an tidak dijumpai kata (

هنِم

) dalam bentuk musanna.

Ditinjau dari aspek qira’at, kata (ﱚ) oleh Imam Abu Ja’far al-Madanni dibaca dengan (

ةَيِم

), demikian pula imam Hamzah al-Kufi > membaca (

ةَيِم

) ketika waqaf saja. Adapun imam Asim al-Kufi membacanya dengan (

ةَئِم

), sehingga untuk menjembatani adanya dua

(16)

varian bacaan tersebut, yang dalam penulisannya ditambahkan alif, sebagai tanda bahwa al-Qur’an merangkum tujuh bacaan oleh para Imam Qira’at, dan para sahabat juga dalam men-talaqqqi-kan bacaan mereka hanya dengan dua bacaan itu (

ةَيِم

) dan (

ةَئِم

) yang kedua-duanya merupakan bahasa Quraisy. Namun demikian bila alasan penambahan ortografi alif pada kata (ﱚ) agar tidak sama dengan kata (

ةَيِم

), maka menurut hemat penulis, pendapat itu kurang kuat, karena kata (

ةَيِم

) tidak satupun terdapat dalam al-Qur’an.

Kritik menarik terkait dengan penulisan kata (ﱚ) adalah, kenapa tidak disamakan saja penulisannya dengan kata (

ةَئِف

). Mengenai hal ini, al-Markisi memberikan argumen sebagaimana yang dikutip oleh Syamlul bahwa: ditambahkannya ortografi alif pada kata itu, karena (ﱚ) menunjukkan isim yang melingkupi makna banyak (

ةرثكلل

) yang berfungsi memisahkan antara dua urutan dalam hitungan yakni “satuan dan puluhan”, sehingga untuk mencapai angka seratus, maka itu tidak lain berasal dari angka satuan dan puluhan yang dilipatgandakan, (Syamlul, 2006).

Dari penjelasan di atas maka dapat ketahui bahwa alasan adanya alif ziyadah pada kata (ﱚ) didasari oleh beberapa pendapat. 1) Mengikuti tulisan awalnya sebagaimana yang terdapat pada mushaf ‘atiq, 2) Untuk membedakan dengan kata (

هنِم

) karena awalnya tulisan al-Quran tidak memiliki titik dan syakal, 3) Agar tidak memunculkan bacaan dengan tulisan (

ٌةَئْي ِم

) sehingga fungsi alif pada kata itu sebagai alif fariqah, 4) Untuk merangkung dua bacaan (

ةَيِم

) oleh Imam Hamzah dan (

ةَئِم

) oleh imam ‘Asim, 5) Alif ziyadah bermakna katsrah, karena kata (ﱚ) merupakan bilangan yang diperoleh dari angka satuan dan ratusan.

Kata (

) disebutkan dalam Qur’an sebanyak 35 kali, dan 4 kali dalam surah al-Baqarah yakni pada ayat 87 dan ayat 253 yang redaksinya sama.

ﭐﱡ

ﱚﱚﱚﱚﱚ

.Kata (

) tampak ada ortografi alif di awal kata sebagai ziyadah, yang bentuknya

tidak terletak sesudah waw jama’ dan mufrad dan bukan pada bentuk fi’il. Jika dilihat dari aspek sintaksis kata (

) menjadi sifat dari isim ‘alam sebelumnya dan di-mudaf-kan pada isim ‘alam sesudahnya (Isa anaknya Maryam). Kata ini kebanyakan dilekatkan pada dua redaksi yakni Isa ibnu Maryam dan Masih ibnu Maryam, sedangkan pada ayat lain kata (

) dilekatkan pada kata umm dengan tulisan berbeda, yakni: pada surah al-A’raf (7):15 ﱚﱚﱚﱠ ﭐﱡ dan surah Taha (20): 94 ﱚﱚﱠ ﭐﱡ, pada surah al-Taubah (9): 30 kata (

) dilekatkan dengan kata Allah, ﱚﱚﱚﱠ ﭐﱡ sedangkan dua kata lainnya berdiri sendiri, surah Gafir (40): 36 ﱚﱚﱚﱠ ﭐﱡ

dan al-Tahrim (66):11 ﱚﱚﱚﱠ ﭐﱡ.

Dalam kaidah rasm ‘us|mani>, kata (

) ditulis dengan menambahkan alif, yang berlaku sama pada bentuk mu’annas-nya seperti dalam surah al-Tahrim (66): 12.

ﭐﱡﭐ

ﱚﱚﱚ

Menurut al-Dani bahwa penulisan kata (

) harus dengan alif sebagai ziyadah baik dalam posisi na’at/sifat ataupun khabar. Hal ini sebagaimana disebutkan nazham aqilah

atrab pada bab ziyadah (Al-Syatibi, 2001):

) ٍةَئا ِم( ْع َم ُّل

ُكلا ) ِنْيَتَئاِم( ىِف َداَزَو

#

(17)

Adapun menurut Abu Dawud bahwa kata (

) ditambahkan alif, namun berbeda dalam penulisannya, sebagaimana pada al-A’raf (7):15 ditulis terpisah, sedangkan pada surah Taha (20): 94 ditulis bersambung.

Menurutnya bahwa ortografi alif dibuang dan digabung dengan umm, yang tujuannya untuk meringkas/ikhtisar. Sedangkan status ortografi alif pada kata (

) bukanlah sebagai ziyadah haqiqqi, karena tetap dibaca pada saat kata itu berada di awal kata, (Najah, 2002). Begitu pula jika ditelusuri penulisan kata (

) pada beberapa manuskrip kuno, seperti mushaf Topkafi, mushaf Riyad serta mushaf di perpustakaan Paris ditemukan bahwa pada kata itu ditulis dengan menambahkan alif, kecuali pada kata yang disambung pada surah Taha (20): 94 di atas.

Mengenai perbedaan antara kata (

) yang disambung dan dipisah, Syamlul menjelaskan bahwa

ﱚﱚ

ﭐﱡ

mengandung makna ikatan antara dua orang anak sehingga secara spontan dan cepat kata itu diungkapkan oleh Harun agar Musa tidak memarahinya, (Syamlul, 2006). Seakan-akan Harun memberikan isyarat kepadanya bahwa mereka berdua bersaudara dari satu ibu dan tidak mungkin ia mengingkari perintah Musa. Harun berkata: “Wahai saudaraku, anak dari Ibuku (sang ibu disinggung untuk melunakkan hati Musa), janganlah kamu genggam jenggot dan rambutku karena ingin menghukum dan marah kepadaku. Sesungguhnya aku tidak mengingkari perintahmu.

Kata (ﱚ), disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 68 kali, dan pada surah al-Baqarah sebanyak 2 kali ayat (160 dan 258). Ziyadah alif pada kata (ﱚ), tidak terletak sesudah

waw jama’ dan mufrad karena bentuknya bukan dari fi’il, melainkan damir, sehingga

ketika membaca tidak dipanjangkan, karena itu ortografi alif pada kata itu bukanlah tanda

mad/panjang. Al-Marigni berpendapat bahwa mayoritas ulama qira’at ber-ittifaq bahwa

mereka tidak membaca panjang pada kata (ﱚ) bila wasl, namun jika waqf tetap dibaca panjang, oleh karena itu ortografi alif sebagai tambahan pada kata itu, bukanlah zaidah

haqiqi,(Al-Marigni, 2005).

Informasi lain dari aspek ilmu qira’ah adalah, bahwa jika membaca (ﱚ) dalam posisi

waqf/berhenti maka dibaca menjadi (

ْهَن

أ

َ

) ini merupakan cara baca penduduk tami>m dan

qais, (Al-Farra’, 1982). Al-Dani dalam al-Muhkam-nya, menuliskan alif pada semua (ﱚ)

dengan memberikan tanda merah dengan lingkaran panjang di atas alif (

ليطتسم رفص

), sebagai penanda bahwa huruf itu tidak dibaca ketika wasal dan dibaca panjang ketika

waqf, (A. ‘Amr Al-Dani, 1960).

Penutup

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa ortografi alif ziyadah dalam rasm mushaf Madinah pada surah al-Baqarah memiliki keunikan dan keragaman bentuk dilihat dari aspek penulisannya, sedangkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh para ulama rasm terhadap perbedaan tulisan tersebut juga ada yang ittifaq adapula ikhtilaf.

(18)

Dari 6.221 kata dalam surah al-Baqarah penulis menemukan ortografi alif ziyadah sebanyak 354 kata, yang terdiri dari 1) Ortografi alif ziyadah terletak setelah waw jama; sebanyak 340 kata, 2) Ortografi alif ziyadah terletak setelah waw mufrad; sebanyak 6 kata, 3) Ortografi alif ziyadah tidak terletak setelah waw jama dan waw mufrad sebanyak 8 kata, dan 4) Ortografi alif ziyadah terletak pada kata khusus (

ؤل

ؤل

) tidak ditemukan. Dari 354 kata tersebut, yang memiliki keunikan dan keragaman bentuk tulisannya serta menjadi fokus analisis peneliti terdapat pada 8 kata, (1) Alif ziyadah sesudah waw jama’, pada dua kata (ﱚ) (), (2) Alif ziyadah sesudah waw mufrad, pada 3 kata (اَوُف ۡعَي) (ْ اوُلۡتَت) (ﱚ) dan (3) Alif ziyadah yang tidak terletak sesudah waw mufrad dan jama’ sebanyak 3 kata, yakni (ﱚ) (ﱚ) (ﱚ).

Adapun alasan adanya ortografi alif ziyadah pada rasm Mushaf Madinah disebabkan oleh beberapa hal, yakni:

1. Teknisnya, dimana dalam pola rasm usmani memiliki kaidah khusus, yang berbeda dengan pola rasm qiyasi yang bersifat umum digunakan dalam tulisan konvensional, seperti buku, majalah, artikel, dan karya ilmiah lainnya. Salah satu kaidah pembedanya dalam pola rasm usmani yang dibakukan dalam penulisan Mushaf Madinah adalah, ada huruf pada sebuah kata yang ditulis tetapi tidak dibaca (

قوطنلما ريغ مو ْسرلما

), dan ada yang dibaca tetapi tidak ditulisْ(

مو ْسرلما ريغ قوطنلما

).

2. Aspek Qira’at, dalam penulisan huruf dan kata, qira’at sering dijadikan landasan dalam menentukkan sebuah tulisan, oleh karena itu Mushaf Madinah yang mengikuti

riwayah Hafs ‘an Imam ‘Asim akan berbeda dengan Mushaf Magribiyah

(Libya-Maroko) yang mengikuti riwayah Qalun dan Warsy ‘an Imam Nafi’ al-Madani. 3. Aspek Masadir, dalam penulisan Mushaf ada dua versi mazhab yang mendominasi

rasm ‘usmani, yakni versi Abu ‘Amar al-Dani dengan karyanya al-Muqni’ fi Ma’rifah Marsum Masahif ahl Amsar, dan versi Abu Dawud dengan karyanya Mukhtasar al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil, biasa disebut dengan “al-Tanzil”. Dari dua versi masadir ini

penulisan mushaf diacu/dirujuk, meski demikian adapula masadir lainnya yang tidak kalah penting dijadikan acuan, seperti, al-Munsif karya al-Balansi, Aqilah al-Atrab karya Syatibi, Maurid Zam’an karya Kharraz dan Dalil Hairan, karya al-Marigni.

4. Aspek Tarikhiyah, ini dibutuhkan dalam rasm al-Mushaf, karena ilmu rasm dan keberadaan mushaf di dunia, telah melewati sejarah yang cukup panjang, sehingga untuk melihat ketepatan dan kebenaran tulisan huruf dan kata, harus melihat bagaimana tulisan awalnya (

ىلولأا ةبتكلا

) yang ada pada masahif makhtutah

al-‘atiqah (Mushaf kuno tulisan tangan).

5. Qawaid Lugawiyah, kaidah bahasa yang meliputi aspek morfologi dan sintaksis turut berperan dalam penentuan benar tidaknya sebuah tulisan, karena rasm al-Mushaf tidak boleh menyimpang dari kaidah bahasa, meski demikian dalam rasm usmani banyak ditemukan pengecualian, sehingga kaidah bahasa fleksibel dan tidak selalu baku diterapkan dalam penulisan,

(19)

6. Aspek Dilaliyah, maksudnya adalah dalam penulisan Mushaf Madinah, sering kita temui keunikan, keragaman, perbedaan antara penulisan satu huruf pada kata yang sama, dengan kata yang lainnya, juga antara satu ayat dengan yang ayat lainnya. Oleh karena itu aspek perbedaan penulisan tersebut dipastikan memiliki makna tersendiri, karena bertambahnya sebuah komponen huruf dalam kata akan menghasilkan makna yang berbeda-beda pula (

ىنعلما دايز ىلع لدت ىنبلما ةدايز

), karena tidak mungkin satu kata dibaca sama namun bentuk penulisannya berbeda tidak memiliki rahasia dan varian maknaْ(

ىنعلما ددعت

).

Daftar Pustaka

Abadi, M. M. bin Y. al-F. (2008). al-Qamus al-Muhit (p. 178). p. 178. Al-Qahirah: Dar al-Hadis.

Abidat, M. M. A. (2013). Aswat al-Arabiyah min Tartib Abjadi ila Tartib ak-Shati.

Majallah Jamia’h Dimasq, 29, 167–203.

Al-Anbari, A. B. M. bin al-Q. (2008). Marsum al-Khat (H. S. Al-Dhamin, Ed.). Imarat al-Arabiyah al-Muttahidah al-Syariqah: Maktabah Lisan al-Arab.

Al-Andarabi, A. bin A. U. (2002). Al-Iydhah fi al-Qira’at (G. Q. Al-Hamd, Ed.). Saudi ’Arabiyah: Shamelah.

Al-Dani, A. ‘Amr. (1960). Al-Muqni fi Ma;rifah Mashahif al-Amshar (M. S. Qamhawi, Ed.). Al-Qa>hirah: Maktabah al-Kulliya>t al-Azhariyah.

Dani, A. ‘Amr. (1928). al-Muqni’ fi Ma’rifah Marsum Masahif al-Amsar (M. S. Al-Qamhawi, Ed.). al-Qahirah: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah.

Al-Dani, A. A. (1986). Al-Muhkam fi Naqt al-Masahif (I. Hasan, Ed.). Damasqus, Suriah: Dar al-Fikr.

Al-Farra’, A. Z. Y. bin Z. (1982). Ma’ani al-Qur’an. Beirut: Alim al-Kutub.

Al-Hamd, G. Q. (1982). Rasm al-Mushaf “Dirasah Lughawiyah Tarikhiyah” (1st ed.). Kairo.

Al-Himyari, B. H. (2015). Mu’jam Rasm Usmani. Riyad: Markaz Tafsir li al-Dirasah al-Islamiyah.

Al-Humaid, N. bin H. bin F. (2010). Al-Muqni’ fi Ma’rifah Marsum Masahif Ahl

al-Amshar. Riyad: Dar al-Tadmiriyah.

Al-Juhni, I. M. (1998). Al-Badi’ fi Ma’rifah Ma Rusima fi Mushaf Utsman (p. 103). p. 103. Dar ’Ammar.

Al-Kharraz, M. al-S. (1360). Mandzhumah Maurid al-Zham’an fi Rasm al-Quran (1st ed.). al-Qahirah: Matba’ah al-Istiqamah.

Al-Mahdawi, A. al-‘Abbas A. bin ‘Ammar. (2002). Hija’ Masahif Ahl al-Amshar. Uni Emira Arab.

Al-Marigni, I. bin A. (2005). Dalil Hayran ‘ala Maurid Z}am’an fi Fannay

al-Rasm wa al-Dabt (A. al-S. M. Al-Bakari, Ed.). al-Qahirah: Dar al-Hadits.

Al-Munawwir, A. W. (1997). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Progressif.

(20)

Al-Sabt, K. bin ‘Us|ma>n. (1996). Mukhtashar fi Qawa’id al-Tafsir.pdf. Saudi ’Arabiyah: Da>r Ibnu ‘Affa>n,.

Sakhawi, A. al-H. ‘Ali bin M. (2009). Washilah ila Kasyf ’Aqilah (M. I. Al-Thahiri, Ed.). Riyad: Maktabah al-Rasyid.

Al-Sijistani, A. B. A. bin S. bin A. D. al-‘Asy’as. (2002). Kitab Masahif. Beirut Libanon: Da>r al-Basya’ir al-Islamiyah.

Al-Syatibi, A. M. al-Q. bin F. bin A. (2001). Mandzhumah Aqilah Atrab al-Qashaid fi

Asna al-Maqashid fi Ilmi Rasm al-Mashahif (A. R. Suwaid, Ed.). Jeddah: Dar Nur

al-Maktabat.

Al-Zarqani, M. A. al-’Adzhim. (2001). Manahil al’Irfan fi Ulum al-Qur’an.

Apel, K. (2011). What is orthographic knowledge? Language, Speech, and Hearing

Services in Schools.

Audah, A. (1997). Konkordansi Quran : Panduan dalam Mencari Ayat al-Quran. In

Litera Antar Nusa (Vol. 2). Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa.

Ayana, J. (2016). Tanda Baca Dalam Al-Qur’an Studi Perbandingan Mushaf Al-Qur’an

Standar Indonesia Dengan Mushaf Madinah.

Baalbaki, R. (1995). Al-Mawrid: A Modern Arabic–English Dictionary. Dar Ilm Lil

Malayin, pp. 1–1257. Retrieved from

https://www.noor-book.com/باتك-دروملا-سوماق-يبرع-يزيلكنإ-pdf-pdf

Bahasa, P. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Chaer, A. (1994). Linguistik umum. Rineka Cipta Jakarta,, Indonesia.

Eisenberg, P., Peters, J., Gallmann, P., Fabricius-Hansen, C., Nübling, D., Barz, I., … Henning, M. (2016). Duden-Die Grammatik. Unentbehrlich für richtiges Deutsch. Faris, I. (1994). Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, tahqiq Syihabuddin Abu ‘Amru. Cet. Febrianingsih, D. (2016). Sejarah Perkembangan Rasm Usmani. AL-MURABBI: Jurnal

Studi Kependidikan Dan Keislaman, 2(2), 293–311.

Hakim, A. (2017). Perbandingan Rasm Mushaf Standar Indonesia , Mushaf Pakistan , dan Mushaf Madinah : Analisis Rasm Kata Berkaidah Ḥażf Al-Ḥurūf. Suhuf, 10(2), 371–394.

Harimurti, K. (2008). Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). In Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hula, I. R. N. (2016). QAWAID AL-IMLA WA AL-KHAT: Kaidah-kaidah Menulis

Huruf dan Kata Arab dan Seni Kaligrafi. Gorontalo: IAIN Sultan Amai Gorontalo.

Hula, I. R. N. (2020). GENEALOGI ORTOGRAFI ARAB (Sebuah tinjauan Historis: Asal-usul, Rumpun Bahasa dan Rekaman Inskripsi). ’Ajamy, 1, 78. Retrieved from http://journal.umgo.ac.id/index.php/AJamiy

Isma’il, S. M. (2012). Rasm Mushaf wa Dabtuhu baina Tauqifi wa Istilahat

al-Hadisah. Al-Qahirah: Dar al-Salam.

Madzkur, Z. A. (2019). Survei Bibligrafis Kajian Penulisan al-Qur’an, Studi Literatur Rasm Usmani dari Masa Klasik Sampai Modern. S}UH}UF, 12(Juni), 151–170. Retrieved from https://jurnalsuhuf.kemenag.go.id/suhuf/issue/view/32

Madzkur, Z. A. (2020). Al-Rasm al-’Uthmānī fī al-Muṣḥaf al-mi ‘yārī al-Indūnīsī ‘inda al-Dānī wa Abī Dāwud. Studia Islamika, 27(1).

(21)

Manzur, I., & ibn al-Mukarram, M. (1955). Lisan al-’Arab (15 Vols). In Dar al-Sadir. Beirut Libanon: Dar al-Sadr.

Muhadjir, N. (1996). Metodologi penelitian kualitatif: pendekatan positivistik,

rasionalistik, phenomenologik, dan realisme metaphisik telaah studi teks dan penelitian agama. Rake Sarasin.

Najah, A. D. S. bin. (2002). Mukhtasar al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil_li Abu Dawud

Sulaiman bin al-Najah (. Ah}mad bin Ah}mad bin Mu’amma>r Syirsya>l, Ed.).

Al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah Ma>lik al-Fahd.

Syamlul, M. (2006). I’jaz al-Rasm wa I’jaz al-Tilawah. Al-Qahirah: Dar al-Salam. Syamsuddin, A. R. (1992). Studi Wacana. In Mimbar Bahasa dan Seni. Bandung:

Mimbar Bahasa dan Seni.

Thoharoh, A. (2018). Mushaf Al-Quran Standar Usmani Indonesia dan Mushaf

Madinah (Kajian atas Ilmu Rasm).

Vural, F. (2015). A Rewiew of Manahil al-Irfan di Ulum al-Qur’an of al-Zarqani. In

Bilimname (Vol. 29). ILAHIYAT BILIMLERI ARASTIRMA VAKFI C/O

ERCIYES UNIV ILAHIYAT FAK, MELIKGAZI ….

Wahyuni, I. (2017). Genealogi Bahasa Arab Perkembangannya sebaga Bahasa Standar (1st ed.). Yogyakarta: Deepublish.

Gambar

Tabel 1 : Hadzf Ortografi Alif Ziyadah sesudah waw Jama’
Tabel 2.  Ortografi Alif Ziyadah pada kata Riba dalam al-Qur’an.

Referensi

Dokumen terkait

Contoh dari larutan sangat polar yang memiliki ikatan hidrogen dan merupakan pelarut organik dimana gelatin akan larut dalam asam asetat, trifluoroetananol, dan

Tim dinamis adalah tim yang memiliki kinerja yang sangat tinggi, yang dapat memanfaatkan segala energi yang ada dalam tim tersebut untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai.

tracking yaitu kemampuan mengikuti tanda atau obyek yang dikoordinasikan gerakan-. gerakan

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa body image adalah sebuah gambaran, pikiran, ide, persepsi dan sikap seseorang terhadap bentuk tubuh yang

Bagaimana hasil dari model cooperative learning type buzz group dalam. pembelajaran sejarah untuk menumbuhkan keterampilan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, indeks keanekaragaman dan kelimpahan jenis capung (Odonata) di Kawasan Bakau, Dusun Baros, Desa Tirtohargo,

Pada bagian ini akan dibahas cara menkontrol converter tipe buck untuk menghidupkan HPL ( High Power LED ) dengan watt sebesar 50 Watt , pertama dengan

3 (tiga) penyedia yang Mengunggah ( upload ) Dokumen Penawaran Administrasi, Teknis dan Harga serta