• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Harga Diri pada Remaja pasca Perceraian Orangtua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Harga Diri pada Remaja pasca Perceraian Orangtua"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

pada Remaja pasca Perceraian Orangtua

Barbara D.R. Wangge

Nurul Hartini

Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga

Abstract.________________________________________________________________________

This study aims to determine the relationship between self-acceptance and self-esteem in teen-agers Post Divorce Parental. This research conducted SMAK St. Maria Surabaya and some sub-jects are recorded in private. This research is a quantitative method, with data collection like questionnaire self acceptance and self esteem in adolescent. Content validity of the measure-ment from professional assessmeasure-ment and a professor of Psychology Airlangga University and through the selection of test item. Reliability of the measuring instrument scale self acceptance and self esteem in adolescents Post Divorce Parental was 0,814 for self acceptance scale and 0,912 for self esteem scale. Data analysis was done by using parametric statistical analysis with SPPS version 16.0. The data analysis was done by using descriptive statistic techniques and sup-ported by SPSS version 16.0 statistic program. Based on the results of data analysis that the higher self acceptance, the higher self esteem in adolescent Post Divorce Parental.

Keywords: Teenagers; Self-Acceptance; Self-Esteem.

Abstrak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Penelitian dilakukan di SMAK St.Maria Surabaya dan beberapa subjek yang didata secara pribadi. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan alat pengumpul data berupa kuesioner penerimaan diri dan harga diri pada remaja. Validitas isi alat ukur didapatkan dari penilaian profesional dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, serta melalui uji seleksi aitem. Reliabilitas alat ukur skala penerimaan diri dan har-ga diri pada remaja pasca perceraian orangtua yaitu sebesar 0,814 untuk skala penerimaan diri, dan 0,912 untuk skala harga diri. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis statistik parametrik dengan bantuan program statistik SPSS versi 16.0. Berdasarkan hasil analisa peneli-tan, diperoleh hasil bahwa semakin tinggi penerimaan diri maka semakin tinggi pula harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua.

Kata kunci: Remaja akhir; Penerimaan diri; Harga diri.

Korespondensi:

Barbara D.R. Wangge, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, email: dessyandi.raskass@gmail.com. Nurul Hartini, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, email: nurul.hartini@psikologi.unair.ac.id

(2)

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk mendapat bimbingan serta un-tuk memenuhi kebutuhan hidup secara fisik dan psikis. Namun, dewasa ini begitu banyak kasus perceraian yang terjadi di Indonesia baik dalam kehidupan masyarakat biasa, pejabat maupun dunia selebritis. Masalah perceraian sungguh me-nyengsarakan anak. Tingginya angka perceraian yang diperoleh merupakan angka perceraian ter-tinggi se-Asia Pasifik. Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur mencatat bahwa pada tahun 2008 ter-dapat 80.121 kasus perceraian. Pada tahun 2009, angka perceraian meningkat menjadi 92.729 ka-sus (Surabayakita [online], diakses pada tanggal 23 Agustus 2014). Secara nasional terdapat tiga wilayah yang angka perceraiannya paling tinggi menurut Pengadilan Agama, salah satunya adalah Surabaya dengan jumlah kasus perceraian seban-yak 68.092 kasus.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah kasus perceraian semakin meningkat dan tidak menutup kemungkinan masalah perceraian berpengaruh terhadap anak, khususnya remaja. Perceraian mengakibatkan status seorang laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri akan berakhir. Selain itu, perceraian tidak hanya membawa dampak bagi orangtua saja tetapi juga pada anak terutama remaja. Masa remaja juga merupakan periode yang penting dimana terjadi perkembangan fisik yang cepat juga disertai den-gan cepatnya perkembanden-gan mental. Keseluru-han perkembangan tersebut membutuhkan pe-nyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1992). Granville Stanley Hall (dalam Mappiare, 1998) menyebutkan bahwa kestabilan keadaan perasaan dan emosi sebagai perasaan yang sangat peka, saat remaja mengal-ami badai dan topan dalam kehidupan. Perasaan dan emosinya ini disebut dengan istilah “storm

and tress”. Seperti yang dipaparkan, bahwa masa

remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, se-dangkan perceraian orangtua akan sangat berdam-pak pada remaja itu sendiri. Mulai dari tidak bisa menerima kenyataan perubahan akibat peristiwa perceraian sampai pada permasalahan sehari-hari yang dialami remaja (Cole, 2004). Sementara itu anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan uluran tangan dari kedua

orang-tuanya. Orangtua yang paling bertanggung jawab dalam keseluruhan eksistensi anak, yaitu kebutu-han fisik dan psikis sehingga anak dapat berkem-bang ke arah kepribadian yang matang. Semua ini hanya dapat dicapai bila hubungan pernika-han orangtua baik. Dimana hubungan pernikapernika-han suami istri merupakan satu kesatuan dengan sua-sana keluarga penuh keakraban, saling pengertian, persahabatan, toleransi dan saling menghargai atau dapat dikatakan hubungan keluarga harmo-nis. Keluarga yang harmonis akan memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan anak, sedangkan keluarga yang tidak harmonis akan memberikan pengaruh yang tidak baik pada perkembangan anak (Naqiyaningrum, 2007). Ban-yak penelitian telah melaporkan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai mengalami lebih ban-yak masalah dalam penyesuaian dibandingkan anak-anak yang tumbuh dalam keluarga utuh. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak dari perceraian lebih mungkin untuk memiliki lebih banyak kesulitan di sekolah dan menjadi lebih aktif secara seksual, lebih agresif, lebih ce-mas, lebih menarik diri, kurang prososial, lebih tertekan, dan lebih mungkin untuk terlibat dalam penyalahgunaan zat terlarang. Salah satu peneli-. Salah satu peneli-tian yang dilakukan oleh Wallerstein, dkk. (2000) menemukan bahwa langkah perkembangan rema-ja yang normal menuju individuasi terancam oleh perceraian. Alih-alih mampu bergerak menuju ke-mandirian dan pemisahan dari orangtua, remaja melihat orangtua sebagai sosok yang telah terpisah dari mereka. Seringkali orang dewasa lebih fokus pada masalah pergolakan mereka sehingga remaja diabaikan. Banyak remaja merasa waktu mereka untuk tumbuh disingkat dengan perceraian.

Dua teori yang menjelaskan adanya keter-kaitan harga diri pada remaja adalah sebagai beri-kut: pertama, menyatakan bahwa sebuah harga diri remaja dibentuk oleh penilaian orangtua yang senilai melekat pada remaja (Margolin, Blyth & Carbone, 1988). Kedua, teori learning social yang menekankan bahwa harga diri diperoleh melalui harga diri dari orangtua.

Pembentukan harga diri pada anak yang orang tuanya bercerai tidaklah mudah, terutama pada masa remaja yang masih sangat membutuh-kan dukungan dari lingkungan. Pada masa remaja, ketika mereka berhadapan dengan masalah-ma-salah yang serius dan berat, perubahan perilaku tampak jelas pada mereka. Selama masa remaja,

(3)

perasaan remaja tidaklah konsisten. Perasaan-per-asaan tersebut berfluktuasi antara menerima diri mereka sendiri sebagai seseorang yang serba tahu menjadi seseorang yang tidak berdaya.

Seorang psikolog, Philip M. Stahl, menulis beberapa kasus remaja dari orangtua yang bercerai tentang kehidupan dan perceraian orangtua yang menyebutkan bahwa remaja belum sepenuhnya mampu menerima adanya perceraian orangtua. Bilamana terjadi perceraian, menjadikan remaja berpotensial mengalami kegagalan akademis, keti-dakaturan waktu makan dan tidur, depresi, bunuh diri, kenakan remaja, dewasa sebelum waktunya, penyalahgunaan narkoba, kekhawatiran hilangnya keluarga, cenderung kurang bertanggung jawab, merasa bersalah dan marah (Aminah, 2011). Selain itu harga diri remaja juga merupakan aspek yang penting. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa perceraian orangtua dapat membuat anak memburuk prestasi sekolahnya, memiliki harga diri yang rendah, maupun menunjukkan kenaka-lan remaja (Papalia & Old, 1993).

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penu-lis akan meneliti lebih lanjut bagaimana hubun-gan antara penerimaan diri denhubun-gan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua.

Remaja

Menurut Gunarsa (1991) masa remaja ada-lah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Demikian juga Ericson (dalam Gunarsa, 1991) mengemukakan bahwa masa remaja

(adole-sence) merupakan masa dimana terbentuk suatu

perasaan baru mengenai identitas yang mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain. Mappiare (1982) memberi batasan masa remaja pada usia 13-22 tahun dima-na usia 12/13-17/18 tahun merupakan masa remaja akhir.

Perceraian

Perceraian adalah berhentinya suatu perkawinan antara suami istri yang dilakukan didepan sidang pengadilan, yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Rasjidi, 1991). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus perceraian, antara lain: persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar, keinginan pemperoleh anak putra

atau putri, maupun persoalan prinsip yang ber-beda (Save, 1990). Selain itu perlu diketahui juga dampak dari perceraian. Ada berbagai dampak perceraian yang dijelaskan oleh beberapa tokoh. Menurut Cole (2004), dampak perceraian adalah: 1) Merasa diabaikan oleh orangtua yang mening-galkannya; 2) Mengalami kesulitan dalam meneri-ma kenyataan pada perubahan akibat perceraian; 3) Menarik diri dari teman-teman lama dan dari kegiatan favoritnya; 4) Kehilangan minat belajar; 5) Melakukan tindakan yang tidak bisa dilakukan atau perbuatan yang tidak dapat diterima sep-erti mencuri, membolos, selain itu mulai meng-gunakan bahasa yang kasar, menjadi agresif atau memberontak; 6) Merasa marah dan tidak yakin akan kepercayaannya sendiri menyangkut cinta, pernikahan dan keluarga; 7) Mulai mengkhawat-irkan persoalan orang dewasa, seperti keamanan

financial keluarga; 8) Merasa wajib menanggung

lebih banyak tanggung jawab orang dewasa dalam keluarga.

Harga Diri

Coopersmith (1967) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai dirinya sendiri, dimana evaluasi diri tersebut merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Evaluasi ini diekspresikan den-gan sikap setuju atau tidak setuju, tingkat keya-kinan individu terhadap dirinya sendiri sebagai orang yang mampu, penting, berhasil, dan ber-harga atau tidak. Menurut Cooppersmith (1967) aspek-aspek harga diri meliputi: 1) Self Values,

di-artikan sebagai nilai-nilai pribadi individu yaitu isi dari diri sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa harga diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya; 2) Leadership popularity,

Coo-persmith menunjukkan bahwa individu memiliki harga diri yang tinggi cenderung mempunyai ke-mampuan yang dituntut dalam kepemimpinan (leadership). Sedangkan popularitas merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri ber-dasarkan pengalaman keberhasilan yang di-peroleh dalam kehidupan sosialnya dan tingkat popularitasnya mempunyai hubungan dalam har-ga diri, oleh sebab itu semakin populer individu diharapkan mempunyai harga diri yang tinggi; 3)

Family parents, Coopersmith dalam membahas

(4)

merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif pada anak-anak akan member dasar bagi pembentukan rasa har-ga diri yang tinggi pada masa dewasanya kelak; 4) Achievement, individu dengan harga diri yang tinggi cenderung memiliki karakteristik kepriba-dian yang dapat mengarahkan pada kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi.

Penerimaan Diri

Penerimaan diri sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk yang ada pada diri dan memandang posi-tif terhadap kehidupan yang telah dijalani (Ryff, 1989). Menurut Sheerer (dalam Sutadipura, 1984) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah: 1) Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi per-soalan; 2) Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain; 3) Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan dito-lak orang lain; 4) Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri; 5) Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya; 6) Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objekti; 7) Individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun meng-ingkari kelebihannya.

METODE PENELITIAN

Teknik pengumpulan data untuk meng-hasilkan data yang relevan dengan tujuan pene-litian serta memiliki validitas dan reliabilitas set-inggi mungkin, maka penelitian ini menggunakan skala sebagai alat pengumpul data. Alat pengukur yang digunakan adalah modifikasi dalam bentuk respon Likert yang bersifat langsung dan berdasar-kan laporan mengenai diri sendiri atau setidak-ti-daknya berdasarkan pengetahuan dan keyakinan atas dirinya sendiri (Hadi, 2001). Alat pengumpu-lan data yang digunakan dalam penelitian ini me-liputi dua jenis skala yaitu skala penerimaan diri dan skala harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua.

Populasi penelitian ini adalah remaja yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki pada SMAK St.Maria-Surabaya dengan jumlah subjek

sebanyak 30 orang. Subjek penelitian merupakan remaja dari orangtua yang telah bercerai. Remaja yang dimaksud peneliti adalah remaja akhir den-gan rentang usia 17-19 tahun, dengan mengacu pada pendapat Hurlock (1978) bahwa bentuk-ben-tuk perkembangan dan pola-pola perilaku yang khas dengan usia tertentu, maka ia memberikan rentang usia remaja yakni 13-21 tahun yang dibagi dalam masa remaja awal dengan usia 13/14-17 ta-hun dan remaja akhir 17-21 tata-hun.

Dalam proses analisis data ini seringkali digunakan metode statistik, karena statistik me-nyediakan cara-cara meringkas data kedalam bentuk yang lebih banyak artinya dan memung-kinkan pencatatan secara pasti. Metode statistik parametrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson.

HASIL PENELITIAN

Hasil data dari dua variabel dikorelasikan dengan menggunakan korelasi Pearson Product

Moment.

Tabel 1.1 Korelasi antar variabel total Harga Diri total Pe-nerimaan Diri total

Harga DiriKorelasi Pearson 1 .670**

Sig. (2-tailed) .000 Sum of Squares and Cross-prod-ucts 7554.300 3565.500 Covariance 260.493 122.948 total Pe-nerimaan Diri Korelasi Pearson .670** 1 Sig. (2-tailed) .000 Sum of Squares and Cross-prod-ucts 3565.500 3748.167 Covariance 122.948 129.247

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). a. Listwise N=30

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpul-kan bahwa korelasi antara penerimaan diri dengan harga diri terdapat hasil korelasi sebesar 0,670.

(5)

Ini berarti hubungan tersebut mempunyai arah hubungan yang positif. Sehingga dapat dikatakan semakin tinggi penerimaan diri, maka semakin tinggi harga diri seseorang, atau semakin rendah penerimaan dirinya maka harga dirinya semakin rendah. Taraf signifikansi yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah 0,05. Jika dilihat dalam tabel, Sig. 0,001 < 0,05 menandakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara peneri-maan diri dengan harga diri.

Berdasarkan analisis data dengan menggu-nakan korelasi Product Moment dari Pearson, ha-sil hubungan kedua variabel adalah positif, karena hasil perhitungan korelasi antara penerimaan diri dengan harga diri terdapat hasil korelasi yang ber-tanda tidak negatif. Hubungan atau korelasi ini menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel berbanding lurus, maksudnya apabila satu varia-bel semakin tinggi nilainya maka variavaria-bel yang lain semakin tinggi pula. Artinya bahwa apabila remaja dengan keadaan orangtua telah bercerai mampu menerima keadaan dirinya maka remaja tersebut akan merasakan harga diri yang sema-kin tinggi ketika menghadapi keadaan yang tidak diharapkan. Begitupula sebaliknya, jika individu tidak mampu untuk menerima keadaan dirinya maka individu akan merasakan harga diri yang rendah ketika menghadapi persoalan perceraian orangtua. Harga diri yang rendah akan mempen-garuhi penerimaan diri individu sehingga pe-nerimaan diri menjadi rendah. Hal senada telah dijelaskan oleh Sheerer (dalam Sutadipura, 1984), yang menyatakan bahwa salah satu yang dapat mempengaruhi penerimaan diri adalah harga diri. Sehingga dapat dikatakan bahwa individu yang Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa penerimaan diri subjek terbilang baik karena se-banyak 30 orang memiliki penerimaan diri yang tinggi dan sedang.

Adapun Menurut Ryff (1989), pengala-man yang berpotensi mempengaruhi kesejahter-aan psikologis adalah pengalaman-pengalaman yang dipandang individu sangat mempengaruhi komponen-kemponen kehidupannya. Perceraian orangtua diasumsikan memiliki karakteristik sep-erti itu. Menurut Holmes & Rahe (dalam Carter & McGoldrick, 1989) perceraian menempati urutan kedua dalam skala pengalaman hidup yang pal-ing menimbulkan stres. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa perceraian orangtua dapat membuat anak memburuk prestasi sekolahnya,

memiliki harga diri yang rendah, maupun menun-jukkan kenakalan remaja (Papalia & Old, 1993). Hal lain yang mempengaruhi selain harga diri adalah penerimaan diri remaja terhadap perceraian orangtua. Menurut Adrian (dalam Ningrum, 2013) perceraian bagi anak adalah tanda kematian keu-tuhan keluarganya, rasanya separuh diri anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orangtua mereka bercerai dan mereka harus menerima kes-edihan dan perasaan kehilangan yang mendalam, perasaan kehilangan, penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan anak berkonsentrasi di sekolah. Dampak yang bisa terjadi pada anak remaja dari pasangan bercerai, biasanya dari segi psikis. Seperti perasaan malu, sensitif, rendah diri. Sehingga perasaan tersebut dapat membuat remaja menarik diri dari lingkungan (Asih, 2007). Berdasarkan uraian diatas, penerimaan diri remaja terhadap perceraian orangtua sangat diperlukan. Hurlock (1980) menyatakan bahwa penerimaan merupakan salah satu hal yang berkontibusi bagi setiap individu dalam mencapai kebahagian yang ditandai dengan sikap optimis, yakin dengan po-tensi diri, serta bebas dari kekhawatiran-kekha-watiran yang kemudian akan menunjang opti-malisasi perkembangan khususnya pada remaja. Schultz & Schultz menyatakan bahwa penerimaan diri adalah salah satu inti kebahagian pada setiap individu, termasuk ketika seseorang menginjak usia remaja, baik itu penerimaan diri maupun pe-nerimaan lingkungan (dalam Urim, 2007).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa ada korelasi positif dan sig-nifikan antara penerimaan diri dengan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Artinya, semakin tinggi penerimaan dirinya, maka sema-kin tinggi harga diri yang dimiliki remaja ketika menghadapi kehidupan dengan orangtua yang telah bercerain, begitupun sebaliknya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara penerimaan diri dan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka ada baiknya setiap orangtua mampu membimbing serta mengontrol perkembangan anak, terutama ketika perceraian yang terjadi pada orangtua yang memiliki anak usia remaja karena dalam perkem-bangan remaja penerimaan diri dan harga diri merupakan hal yang penting.

(6)

Saran yang diberikan peneliti bagi peneliti selanjutnya, apabila ingin melakukan penelitian pada remaja yang orangtuanya telah bercerai, se-baiknya menggunakan metode kualitatif agar

peneliti lebih mampu menggambarkan secara detail mengenai hubungan penerimaan diri dan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua.

PUSTAKA ACUAN

Carter, B., & Mcgoldrick, M. (1989). The Changing family Life Cycle. Boston: Allyn and Bacon.

Cole, K. (2004). Mendamping Anak Menghadapi Perceraian Orangtua. Alih bahasa: Tisa Asiantari Ja-karta : Prestasi Pustakaraya.

Coopersmith, S (1967). The Antecendent of Self Esteem. San Fransisco: W. H.

Gunarsa. (1991). Psikologi Perkembangan Anaka dan Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Hadi, S. (2001). Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Hurlock, E.B. (1978). Adolescent Development. New Delhi: Mc Graw Hill Inc.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta, Penerbit Erlangga.

Hurlock, E.B. (1992). Developmental Psycology : A Life Span Approach, fifth edition. Mc Graw Hill. Hurlock, E.B. (2001). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi

5. Jakarta : Erlangga.

Mappiare, A. (1998). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Naqiyahningrum, (2007). Penerimaan Diri pada Remaja yang berasal dari Keluarga Bercerai. Skripsi

Sarjana diterbitkan. Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Ningrum, Putri Rosalia. (2013). Perceraian Orangtua dan Penysuaian Diri Remaja. ejournal Psikologi, 1 (1): 69-79.

Papalia., Olds., Feldman. (2009). Human development. Jakarta: Salemba.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and social psychology, 57, (6), 1069-1081.

Stahl, Philip M. (2004). Parenting After Divorce. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Sutadipura, B. (1984). Kompetensi Guru dan Kesiapan Mental Anak. Jakarta: Rajawali.

Urim, (2007) dalam Proses Penerimaan Anak (Remaja Akhir) Terhadap Perceraian Orangtua dan Kon-sekuensi Psikososial yang Menyertainya. Skripsi Sarjana diterbitkan. Fakultas Psikologi Univer-sitas Indonesia, Depok.

Gambar

Tabel 1.1 Korelasi antar variabel

Referensi

Dokumen terkait

Kinerja yang dimaksud adalah kualitas kerja dari seorang Pamong Belajar yang diserahkan tanggung jawab untuk melaksanakan tupoksinya dalam semua kegiatan

Metode analisis data yang digunakan adalah estimasi model regresi dengan menggunakan teknik analis OLS (ordinary least square). Uji asumsi klasik yang terdiri dari uji

Puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan berkat dan kasih – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “ KONSEP DIRI LESBIAN

HUBUNGAN PERSENTASE LEMAK TUBUH TERHADAP DAYA TAHAN JANTUNG PARU PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MATARAM.. Gede Vendi Cahyadi Riandika, Ida Ayu Eka Widiastuti,

adalah bobot, anatomi, tingkah laku, dan nafsu makan pada dua kelompok

Bondowoso sangat kecewa dengan perlakuan Roro Jonggrang, lalu mengubah Roro Jonggrang menjadi batu yang kini dikenal sebagai Candi Prambanan, sedangkan candi di

(1) Subbagian Supervisi Program dan Ketenagaan mempunyai tugas melakukan pemeriksaan, evaluasi, serta pengusutan kebenaran laporan pengaduan atas penyimpangan dan

Hasil empiris dari penelitian ini adalah kinerja perusahaan berpengaruh signifikan terhadap kinerja saham, dan kepemilikan asing bukan merupakan anteseden bagi