• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY (PSARP) TESIS. dr. Rico Darmayanto Simorangkir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY (PSARP) TESIS. dr. Rico Darmayanto Simorangkir"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI

POSTERIOR SAGIT

Progr

UNIVERSITAS INDONESIA

EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PAS

OSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY

(PSARP)

TESIS

dr. Rico Darmayanto Simorangkir

0706310955

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Departemen Bedah FKUI-RSCM

Jakarta, April 2014

PASCA

ANORECTOPLASTY

(2)

EVALUASI

POSTERIOR SAGIT

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar spesialis bedah

Progr

UNIVERSITAS INDONESIA

EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PAS

OSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY

(PSARP)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar spesialis bedah

dr. Rico Darmayanto Simorangkir

0706310955

Pembimbing :

dr. Sastiono, SpB, SpBA

dr. Aria Kekalih, MTI

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Departemen Bedah FKUI-RSCM

Jakarta, April 2014

PASCA

ANORECTOPLASTY

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar spesialis bedah

(3)
(4)
(5)

iv Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar spesialis bedah Jurusan Ilmu bedah pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai masa studi hingga pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:

(1) dr. Sastiono, SpB, SpBA selaku pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini; (2) dr. Aria Kekalih, MTI, selaku dosen pembimbing statistik yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyusun tesis ini;

(3) DR. dr. Toar J.M. Lalisang, SpB (K) BD selaku Kepala Departemen Ilmu Bedah;

(4) dr. Riana P.Tamba,SpB, SpBA, selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah, para staff pengajar di lingkungan FKUI-RSCM dan rumah sakit jejaring;

(5) Dr. dr. Yefta Moenadjat, SpBP (K), selaku Koordinator Penelitian Departemen Ilmu Bedah;

(6) Pihak-pihak di RSCM yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan;

(7) Para pasien yang mau memberikan kesempatan belajar, kalianlah guru-guru saya yang sesungguhnya;

(8) Orang tua, mertua, istriku Rima dan anak-anakku Ariel, Azel dan Aleeandra yang selalu mendoakan memberikan bantuan dukungan material dan moral dalam keadaan apapun;

(9) Teman-teman seperjuanganku dr. Aseane Femelia, dr. Marethania Maheranny, dr, Syarif Mustika, semua teman residen bedah periode Januari 2008, para

(6)

v Universitas Indonesia

sahabat-sahabat berikut, dr. Febiansyah, dr. Bonauli, dr. Okian, dr. Kshetra, dr. Dorothy, dr. Danny yang menjadi tempat berbagi suka dan duka bersama; (10) Para konsulen yang sering menjadi teman diskusi dan selalu memberi motivasi

dr. Wifanto, SpB (K) BD, dr. A. Yani, SpB, SpBA, dr. Iskandar, SpB, SpBA, dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV, para senior yang sering saya repotkan baik untuk bertanya ataupun dimintakan bantuannya dr. Adianto, SpB (K) BD dan dr. Gunawan, SpB serta para junior dr. Eko Ristiyanto, dr. Dogma, dr. Okta, dr. Liberty, dr. Wulan, dr. Fransisca, dr. Vania yang banyak menyediakan waktu, dukungan, masukan maupun kritikan;

(11) Tidak lupa saya ucapkan terimakasih pada dr. Sumanto, dr. Ganesha, dr. Novi Kurnia, dr. Aris serta pihak staff penelitian ilmu bedah mbak Dina, sekretaris divisi Bedah Anak bu Narti, dan sekretaris Kepala Departemen Ilmu Bedah mbak Ratih Jitowijaya yang telah banyak membantu saya dalam

menyelesaikan tesis ini. Dan banyak nama-nama lain yang saya tidak sebutkan satu-satu.

Akhir kata, saya berharapTuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi para pasien dan pengembangan ilmu bedah, khususnya ilmu bedah anak.

Jakarta, 30 April 2014

(7)
(8)

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : dr. Rico Darmayanto Simorangkir Program Studi : IlmuBedah

Judul : EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA POSTERIOR

SAGITTAL ANORECTOPLASTY (PSARP)

EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA

POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY

(PSARP)

Abstrak

Latar Belakang : Sejak diperkenalkan oleh Pena dan deVries, posterior sagittal anorectoplasty (PSARP) telah menjadi operasi standar pada tatalaksanan malformasi anorektal. Masalah kontinensia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kualitas hidup pasien-pasien malformasi anorektal. Saat ini tidak ditemukan kepustakaan Indonesia yang melakukan studi evaluasi fungsi kontinensia pasca tindakan PSARP dan kaitannya dengan usia saat operasi.

Metode: Dilakukan penelitian cross sectional pada 40 pasien pasca PSARP di RSCM pada periode 1 Januari 2006 – 31 Desember 2012. Evaluasi fungsi kontinensia pasca PSARP menggunakan skoring Rintala dan uji statistik menggunakan SPSS 20.

Hasil: Dari 40 pasien, 28 (70%) pasien perempuan dengan 26 pasien dengan fistel (17 rektovestibuler, 6 perineal, 2 rektovagina dan 1 kloaka. Pada pasien laki-laki 9 dengan fistel (7 rektouretra dan 2 perineal). Pada evaluasi kontinensia dengan skor Rintala didapatkan 47,5% pasien dengan kontinensia normal, dimana 73,7% diantaranya adalah pasien atresia ani letak rendah. Rata-rata Functional

Outcome Score (FOS) adalah 16,17.

Kesimpulan: Pasien PSARP di RSCM memiliki kemungkinan untuk mendapat fungsi kontinensia yang lebih baik. Tidak ada hubungan yang bermakna antara usia saat operasi dengan hasil kontinensia pasien.

(9)

viii Universitas Indonesia

EVALUATION OF CONTINENCE FUNCTION AFTER

POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY

(PSARP)

Abstract

Background: Since introduced by Pena and deVries, posterior sagittal anorectoplasty (PSARP) has became standard operation for management of anorektal malformation. Continens problem is the one of factors that impact the quality of life who had anorektal malformations. Until now, there is no discovered about references in Indonesia which is doing evaluation study about continence function after PSRAP operation and the correlation between age at procedure and continence result.

Method: The study used cross sectional study in 40 patients who had post PSRAP operation in RSCM from 1 January 2006 – 31 Desember 2012. Performing evaluation of continence function of after PSRAP Operation was using the Rintala score and the statistic test was using SPSS 20.

Result: from 40 patients, there were 28 (70%) female patients with 26 patients had fistula (17 rectovestibular, 6 perineal, 2 rectovagina and 1 cloaca). In 9 male patients had fistula (7 rectouretra, 2 perineal). Based on evaluation of continens with using the Rintala score, there is 45,% patients with normal continens, which is 73,7% is the patient who had atresia ani low location. The average of

Functional Outcome Score (FOS) is 16.17.

Conclusion: Patients who had PSRAP Operation in RSCM has probability to get better continence function. There is no significant correlation between age at operation and continence.

(10)

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 2 1.3 Pertanyaan Penelitian ... 2 1.4 Tujuan Penelitian ... 2 1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.5.1 Bagi Pasien dan Pelayanan ... 3

1.5.2 Bagi Bidang Keilmuan ... 3

1.5.3 Bagi Pengembangan Penelitian ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Sejarah ... 4

2.2 Insiden ... 4

2.3 Klasifikasi ... 5

2.4 Anatomi dan Patofisiologi Kontinensia ... 6

2.4.1 Mekanisme Sfingter ... 6

2.4.2 Sensasi dan Propriosepsi ... 8

2.4.3 Motilitas Kolon dan Rektosigmoid ... 8

2.5 Mekanisme Terjadinya Kontinensia dan Defekasi ... 9

2.6 Patofisiologi Inkontinensia ... 10

2.7 Rekosntruksi Anorektal ... 10

2.8 Penilaian Fungsi Pasca Rekonstruksi ... 12

2.9 Rekosntruksi Anorektal ... 12 3. Kerangka Konsep ... 16 3.1 Kerangka Teori ... 16 3.2 Kerangka Konsep ... 16 3.3 Definisi Operasional ... 17 3.4 Hipotesis ... 18

(11)

x Universitas Indonesia

4. Metodologi ... 19

4.1 Jenis Penelitian ... 19

4.2 Populasi dan Sampel ... 19

4.2.1 Populasi ... 19

4.2.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel ... 19

4.2.3 Cara Pengambilan Sampel ... 20

4.2.4 Besar Sampel ... 20

4.3 Metode Pengumpulan Data ... 20

4.3.1 Instrumen ... 20

4.3.2 Sumber Data ... 21

4.3.3 Cara Pengumpulan Data ... 21

4.4 Rencana Analisis Data ... 22

4.5 Alur Penelitian ... 23 5. Hasil ... 24 6. Diskusi ... 27 7. Penutup ... 28 7.1 Simpulan ... 28 7.2 Saran ... 28 8. Daftar Pustaka ... 30

(12)

xi Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Diagram dari otot-otot ekstrinsik kanalis anal ... 7

Gambar 2.2. Mekanisme kerja sfingter ... 9

Gambar 3.1. Kerangka Konsep ... 16

Gambar 4.1 Alur Penelitian ... 23

Gambar 5.1. Scatter plot hubungan usia saat operasi dengan skor Rintala sebelum usia 24 bulan ... 25

(13)

xii Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Malformasi Anorektal Menurut Wingspread... 5

Tabel 2.2 Klasifikasi Pena ... 5

Tabel 2.3 Malformasi Anorektal Klasifikasi Diagnostik Krickenbeck ... 6

Tabel 2.4 Metode Kelly untuk Menilai Kontinensia Fekal ... 12

Tabel 2.5 Sistem Skoring Rintala ... 14

Tabel 2.6 Klasifikasi Krickenbeck untuk Hasil Fungsional Pasca Operasi ... 15

Tabel 4.1 Kriteria inklusi dan eksklusi ... 19

Tabel 4.2 Parameter Pengukuran Variabel Terikat ... 21

Tabel 4.3 Parameter Pengukuran Variabel Independen ... 23

Tabel 5.1 Gambaran Umum Responden yang Masuk dalam Penelitian ... 24 Tabel 5.2 Analisa Korelasi Usia saat Prosedur PSARP dengan Skor Rintala 25

(14)

1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Malformasi anorektal merupakan anomali kongenital yang cukup sering ditemukan, dengan insiden 1:3.500 sampai 1:5.000 kelahiran hidup.1-5Anomali lain seperti kelainan urogenital sering ikut serta dalam malformasi anorectal. Defek yang ditimbulkan mulai dari bentuk minor dengan prognosis baik hingga defek kompleks dengan prognosis buruk1,2,5,6.

Sejak diperkenalkan tahun 1982 oleh Pena dan deVries, tatalaksana malformasi anorektal secara universal menggunakan posterior sagittal anorectoplasty (PSARP) sebagai operasi standar1,5,7,8. PSARP memudahkan paparan kompleks otot-otot sfingter ani lebih baik melalui insisi di bagian posterior dari garis tengah, sehingga rektum yang baru dapat diletakkan di tempat yang tepat5,6,9. Pasca diperkenalkannya PSARP, hasil operasi secara anatomis dan fungsional lebih baik dibandingkan teknik sebelumnya, namun pengendalian defekasi secara normal masih tidak dapat dilakukan oleh banyak pasien8.

Masalah tersering dan merupakan konsekuensi dari anak yang lahir dengan malformasi anorektal adalah masalah kontinensia10. Evaluasi hasil secara fungsional pasca perbaikan malformasi anorektal masih banyak terkendala karena kerancuan klasifikasi dan metode penilaian kontinensiasecara universal1. Goyal, dkk (2006) melakukan penelitian fungsional pasca operasi malformasi anorektal dengan menggunakan sistem skoring Rintala1. Pada penelitian tersebut functional outcome

score (FOS) rata-rata adalah 13,7 pada pasien laki laki dan 14 pada pasien

perempuan. FOS memburuk secara progresif seiring dengan beratnya malformasi anorektal1.

(15)

2

Universitas Indonesia

Masalah inkontinensia cenderung lebih buruk pada pasien dengan malformasi anorektal letak tinggi. Namun hal ini tidak berlaku untuk masalah konstipasi yang menjadi masalah pada seluruh jenis malformasi anorektal10.

Hingga saat ini penulis tidak menemukan data tentang evaluasi fungsi kontinensia yang dilakukan di Indonesia. Dengan perkiraan tindakan PSARP pertahun di RSCM sekitar 20-30 pasien, maka rasanya perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui fungsi kontinensia pasca tindakan PSARP. Penulis juga ingin mengetahui apakah usia saat prosedur PSARP memengaruhi hasil kontinensia.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Masalah kontinensia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kualitas hidup pasien-pasien malformasi anorektal. Namun hingga saat ini tidak ditemukan kepustakaan Indonesia yang melakukan studi evaluasi fungsi kontinensia pasca tindakan PSARP. Juga belum ada yang mengaitkan data usia saat operasi dengan fungsi kontinensia pasca PSARP.

1.3. PERTANYAAN PENELITIAN

• Bagaimana sebaran fungsi kontinensia pasien pasca PSARP di RSCM ? • Apakah ada hubungan usia saat operasi dengan fungsi kontinensia pasca

PSARP?

1.4. TUJUAN PENELITIAN

• Diketahuinya sebaran fungsi kontinensia pasien pasca PSARP di RSCM. • Diketahuinya hubungan usia saat operasi dengan fungsi kontinensia pasca

(16)

3

Universitas Indonesia

1.5. MANFAAT PENELITIAN 1.5.1. Bagi Pasien dan Pelayanan

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pelayanan PSARP dan dapat menjadi masukan untuk peningkatan pelayanan bedah bagi pasien pasca PSARP Divisi Bedah Anak RSCM.

1.5.2.Bagi Bidang Keilmuan

Untuk bidang Ilmu Bedah, dari penelitian ini dapat diketahui sebaran fungsi kontinensia pasien pasca PSARP di RSCM dan hubungan usia saat operasi dengan fungsi kontinensia pasca PSARP.

1.5.3. Bagi Pengembangan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber literatur bagi penelitian-penelitian berikutnya.

(17)

4 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SEJARAH

Upaya untuk menangani malformasi anorektal sudah lama dilakukan. Kolostomi inguinal pertama kali dilaporkan pada tahun 1783, kemudian pada tahun 1835 berhasil dilakukan prosedur anoplasti yang pertama. Pada pertengahan tahun 1900an, berkembang prosedur abdominoperineal satu tahap dengan reseksi rektosigmoid.4,5,11Sejak diperkenalkan Pena dan deVries pada tahun 1982, tatalaksana malformasi anorektal menggunakan posterior sagittal anorectoplasty (PSARP) telah menjadi standar.1,5,7,8,12 PSARP mengekspos kompleks otot-otot sfingter ani dengan lebih baik melalui insisi posterior di garis tengah, sehingga rektum baru dapat diposisikan di tempat yang tepat dengan bantuan stimulator otot.3,5,6,9,12Hasil operasi secara anatomi dan fungsional lebih baik daripada teknik sebelumnya, namun kendali defekasi normal masih belum dapat dicapai oleh banyak pasien.8

2.2. INSIDEN

Malformasi anorektal merupakan anomali kongenital yang cukup sering ditemukan, dengan insiden 1:3.500-5.000 kelahiran hidup.1-5Faktor predisposi termasuk faktor genetik (dengan atresia ani sebagai bagian dari suatu sindrom).Atresia ani lebih banyak ditemukan pada pasien laki-laki, dengan temuan tersering fistel rektouretra. Sedangkan pada pasien wanita yang tersering adalah fistel rektovestibuler.4,11

(18)

5

Universitas Indonesia

2.3. KLASIFIKASI

Klasifikasi yang umum dipakai adalah Wingspread (1984) International

Classification for Anorectal Malformation dan klasifikasi menurut Krickenbeck.7Klasifikasi menurut Wingspread (1984) membagi kelainan letak “tinggi”, “intermediate”, dan “rendah” berdasarkan letak ujung rektum dengan levator ani dengan memisahkan kategori laki-laki dan perempuan (tabel 2.1).2,3

Tabel 2.1. Klasifikasi malformasi anorektal menurut Wingspread (1984)

Letak Tinggi Letak

Intermediate Letak Rendah Kloaka

Malforasi Jarang Perempuan Agenesisanorectal a. Fistel rektovagina b. Tanpa fistel Atresia rekti • Fistel rektovestibuler • Fistel rektovagina • Agenesis anus tanpa fistel • Fistel anovestibuler • Fistel anokutan • Stenosis ani Kloaka Malformasi jarang

Laki laki Agenesis anorectal a. Fistel uretra rektoprostat b. Tanpa fistel Atresia rekti • Fistel uretra rektobulbar • Agensis anus tanpa fistel • Fistel anokutan • Stenosis ani Malformasi jarang

Di ambil dari Hassett S, et al. 10-Year outcome of children born with anorectal malformation, treated by posterior sagittal anorectoplasty,assessed according to the Krickenbeck classification. Journal of Pediatric Surgery 2009;44:399 - 403.2

Dengan pengalaman dari PSARP, Pena (1995) membuat klasifikasi berdasarkan posisi dan ada tidaknya fistel (tabel 2.2).2,6

Tabel 2.2. Klasifikasi Pena

Laki laki Perempuan Fistel perineal Fistel perineal Fistel rektouretra Fistel vestibular

a. Bulbar b. Prostatik

Fistel rektovesika Kloaka persisten

common channel <3 cm

cm common channel >3 Tanpa fistel Tanpa fistel

Atresia rekti Atresia rekti

Diambil dari kepustakaan nomor Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007;2:1 - 13.6

(19)

6

Universitas Indonesia

Karena banyak variasi dalam penilaian hasil fungsional dari tatalaksana malformasi anorektal, sebuah International Workshop mengeluarkan klasifikasi Krickenbeck yang terdiri atas kategori diagnostik, prosedur dan hasil (tabel 2.3).2

Tabel 2.3. Malformasi anorectal klasifikasi diagnostik Krickenbeck

Major clinical group Rare regional variants

Fistel perineal Pouch kolon

Fistel rektouretra Atresia/stenosis rekti a. Bulbar Fistel rektovaginal b. Prostatik H fistula

Fistel rektovesika Lain-lain Fistel vestibuler

Kloaka Tanpa fistel Stenosis ani

Diambil dari kepustakaan nomor Hassett S, et al. 10-Year outcome of children born with anorectal malformation, treated by posterior sagittal anorectoplasty,assessed according to the Krickenbeck classification. Journal of Pediatric Surgery 2009;44:399 - 403.2

2.4. ANATOMI DAN PATOFISIOLOGI KONTINENSIA 2.4.1. MEKANISME SFINGTER

Kontinensia diperankan oleh struktur-struktur otot pada dasar panggul, yang terdiri dari dua komponen yakni otot levator ani dan otot koksigeus (Gambar 2.1). Otot-otot yang termasuk sebagai kelompok levator ani terdiri atas otot puborektalis, pubokoksigeus dan ileokoksigeus.Selain kedua komponen otot tersebut, terdapat juga kanalis anal yang dikelilingi oleh otot sfingter interna dan eksterna. Sfingter ani interna merupakan suatu penebalan dari lapisan otot polos yang secara sirkuler mengelilingi kolon yang dipisahkan oleh septa-septa yang besar.13

(20)

7

Universitas Indonesia

Gambar 2.1. Diagram dari otot-otot ekstrinsik kanalis anal

1, Coccyx. 2, Pubis. 3, Levator ani muscle. 4, Puborektalis muscle. 5, Deep external sfingter. 6, Superficial external sfingter. 7, Subcutaneousexternal sfingter. 8, Anococcygeal ligament. 9, Anal verge. 10, Rektum.

Diambil dari Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Large Intestine and Anorektum In: Skandalakis JE, ed. Skandalakis' Surgical Anatomy2004.14

Sfingter ani eksterna tersusun atas 3 loop yang terdiri loop atas, intermediate dan dasar. Tiap loop memiliki tempat perlekatannya sendiri dan arah serabut dan persarafan sendiri.14Seluruh kelompok otot yang bekerja dalam mekanisme sfingter dipersarafi oleh nervus pudendus yang berasal dari pleksus sakralis S2-S4, baik

secara motorik pada otot lurik maupun sensorik pada kulit disekitar anus maupun kanalis anal dan secara otonom melalui nervus erigentes.5

Pada pendekatan posterosagital, otot-otot levator tampak sebagai serat otot lurik yang tersusun vertikal sampai anal dimple. Stimulasi listrik pada muscle

complex mengangkat anus dan stimulasi pada serat yang mengarah parasagital akan

menutup anus. Anak dengan malformasi anorektal mengalami variasi pertumbuhan otot lurik tersebut, mulai dari yang pertumbuhannya normal hingga yang hampir tidak berkembang sama sekali.5

Umumnya pasien dengan malformasi letak rendah masih memiliki refleks relaksasi rektoanal, sedang pada pasien dengan malformasi letak tinggi jarang. Insiden konstipasi pasca prosedur PSARP dilaporkan 10-73%, dan tampak lebih sering timbul ketika teknik preservasi sfingter interna digunakan.7

(21)

8

Universitas Indonesia

2.4.2. SENSASI DAN PROPRIOSEPSI

Jalur perjalanan serabut parasimpatis pada kolon memiliki komponen

excitatory dan inhibitory. Jalur excitatory memainkan peran penting dalam aktifitas

propulsi kolon, terutama saat defekasi. Jalur inhibitory memungkinkan adaptasi kolon terhadap isi, dan memediasi relaksasi kolon di proksimal dari bolus fekal.13Kanalis anal berespon terhadap distensi dan stimulasi gaya regang proksimal-distal dari mukosa karena terdapat banyak ujung saraf sehingga area ini sensitif terhadap sentuhan ringan, nyeri, perubahan suhu.13Respon kontraktilitas rektum membutuhkan kemampuan untuk menilai atau merasakan adanya feses dalam rektum atau kanalis anal. Sfingter ani juga dapat mengalami relaksasi secara independen terhadap distensi rektal, yang memungkinkan epitel pada anus menilai apakah isi dari rektum gas, cair ataupun kotoran padat.13Mekanisme diatas menggarisbawahi bahwa defekasi merupakan suatu proses terintegrasi dari propriosepsi.5

2.4.3. MOTILITAS KOLON DAN REKTOSIGMOID

Relaksasi anus yang diawali oleh distensi rektaldimediasi oleh saraf intrinsik. Refleks ini tidak ditemukan pada pasien dengan penyakit Hirschprung’s. Saraf ekstrinsik tidak berperan pada refleks ini, namun persarafan ekstrinsik dapat memodulasi refleks ini.13(Gambar 2.2.)

(22)

9

Universitas Indonesia

Gambar 2.2. Mekanisme kerja sfingter.

A.Saat istirahat, B. Saat defekasi, C. Saat sfingter ani eksterna di kontraksikan menyebabkan kegagalan kontraksi otot detrusor,D. Refleks relaksasi detrusor setelah voluntary inhibitor reflex Diambil dari Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Large Intestine and Anorektum In: Skandalakis JE, ed. Skandalakis' Surgical Anatomy2004.14

Anak dengan malformasi anorektal memiliki berbagai spektrum gangguan motilitas rektosigmoid. Pasien malformasi anorektal yang menjalani operasi dimana rektosigmoid dipertahankan, umumnya mengalami konstipasi. Hal ini mungkin karena hipomotilitas area rektosigmoid pada pasien malformasi anorektal, oleh karena itu konstipasi lebih sering timbul pada pasien atresia ani letak rendah, sedang pada anak atresia ani yang kehilangan rektosigmoid akan mengalami hal yang sebaliknya.5

2.5. MEKANISME TERJADINYA KONTINENSIA DAN DEFEKASI

Mekanisme untuk kontinensia tergantung dari faktor anatomi (pelvic barrier,

rectal curvature, transverse rektal folds), sensasi rekto-anal, dan rektal compliance.

Kontinensia merupakan fungsi gabungan dari sfingter ani eksterna dan interna. Sfingter ani eksterna bertanggung jawab dalam kontinensia secara volunter, dan sfingterani interna secara involunter. Saat terjadi relaksasi sfingter akibat distensi rektum, isi dari rektum akan terpapar di epitel anus yang memiliki reseptor untuk menilai apakan isi dari rektum gas, cair ataupun kotoran padat. Saat itu akan

C D

B A

(23)

10

Universitas Indonesia

diputuskan apakah akan mengeluarkan atau menahan isi rektum. Jika dirasa proses defekasi kurang nyaman, maka proses tersebut dapat ditunda, respon kontraktilitas rektum terhadap distensi kemudian menghilang saat rektum mengalami akomodasi. Mekanisme diatas menggarisbawahi bahwa defekasi merupakan suatu proses terintegrasi dari refleks somato-viseral.13

2.6. PATOFISIOLOGI INKONTINENSIA

Kemampuan mengendalikan defekasi dipengaruhi mekanisme sfingter yang baik, kemapuan untuk menampung dan menahan massa feses, volume dan konsistensi fekal, motilitas kolon, integritas struktur dasar panggul, kesadaran kortikal, fungsi kognitif, mobilitas dan kemampuan mencapai tempat defekasi. Defekasi yang normal merupakan suatu proses integrasi respon somato-visceral, yang melibatkan fungsi koordinasi dari kolo-rekto-anal. Inkontinensia timbul manakala satu atau lebih dari mekanisme tersebut terganggu dan tidak dapat dikompensasi tubuh.Aspek-aspek lain yang juga berperan adalah konsistensi dan volume fekal, waktu transit kolon, komplians dan sensasi rektal, sensasi anorektal dan refleks anorektal. Pada pasien malformasi anorektal, hal-hal tersebut terganggu4.Secara umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi disfungsi supra sfingter dan disfungsi sfingter.15

2.7. REKONSTRUKSI ANOREKTAL

Pada pemeriksaan awal pasien dengan malformasi anorektal, inspeksi lengkap pada perineum harus dilakukan untuk mencari adanya fistel dan memastikan jenis malformasi. Keputusan untuk melakukan kolostomi sebaiknya ditunda setelah 24 jam, karena dibutuhkan tekanan intraluminal yang cukup untuk memaksa mekonium keluar melalui fistula dan memberi informasi letak fistula. 4

(24)

11

Universitas Indonesia

Pemeriksaan radiologi baru dilakukan setelah anak berusia 24 jam. Selama masa observasi tersebut, hal-hal yang dapat membahayakan pasien harus diatasi terlebih dahulu. Juga dilakukan pemeriksaan untuk melihat ada tidaknya kelainan kongenital lain dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi tulang belakang, dan ultrasonografi abdomen. Endoskopi dilakukan pada pasien dengan kloaka untuk memastikan anatomi dan panjangnya common channel, agar dapat membantu perencanaan operasi definitif.4

Jika pasien dengan fistel perineal, dapat segera dilakukan anoplasti tanpa kolostomi pelindung, jika setelah 24 jam tidak juga ditemukan adanya mekonium, maka dilakukan pemeriksaan radiologis cross table untuk memastikan letak rektum.

Pemilihan tindakan anoplasti primer atau didahului kolostomi tergantung pada kemampuan dan pengalaman dari ahli bedah. Jika dilakukan kolostomi terlebih dahulu, maka tindakan definitif dapat dilakukan 1-3 bulan kemudian. Melakukan tindakan definitif pada usia 1-3 bulan memiliki keuntungan besar bagi pasien, termasuk penggunaan kolostomi yang lebih singkat, ukuran puntung distal dan proksimal saat penutupam kolostomi relatif tidak berbeda, lebih mudah untuk melakukan dilatasi anal, tidak terdapat sekuele psikologis pada anak akibat tindakan di daerah perineal, dan yang secara teoritis sulit dipastikan, penempatan rektum pada tempat yang semestinya pada usia dini memberikan keuntungan dalam hal potensi untuk mendapatkan sensasi lokal. 4-6,11

Seluruh tipe defek dapat di rekonstruksi dengan prosedur PSARP. Kurang lebih 10% pasien laki-laki (dengan fistel recto-bladder neck) dan 40% pasien dengan kloaka membutuhkan tambahan akses per abdominal baik secara terbuka ataupun laparoskopi.4,11

(25)

12

Universitas Indonesia

2.8. PENILAIAN FUNGSI PASCA REKONSTRUKSI

Untuk evaluasi fungsi pasca tindakan rekontruksi anorektal pada pasien atresia ani, terdapat beberapa sistem penilaian (tabel 2.5-2.7). Sistem skoring Rintala menggunakan sistem skoring multivariat dengan elemen kontrol volunter, sensasi, frekuensi defekasi, soiling, konstipasi serta dampak sosial dari inkontinensia (tabel 2.6).1,16 Metode deskriptif non skoring yang diajukan Pena merupakan dasar dari metode klasifikasi Krickenbeck (tabel 2.7.).Metode deskriptif non skoring juga diajukan oleh kelompok bedah anak Wingspread.2,7,17

Tabel 2.4. Metode Kelly Untuk Menilai Kontinensia Fekal

a Staining / smearing (terdapat bercak fekal pada celana dalam) Skor

Tidak ada staining / soiling, selalu bersih 2 Kadang – kadang terjadi soiling / staining 1 Selalu staining / soiling 0

b Ada atau tidaknya defekasi diluar kendali

Tidak pernah 2

Kadang – kadang, atau keluar feses / flatus diluar kendali 1

Selalu 0

c Kekuatan jepit sfingter (otot puborektalis) pada pemeriksaan colok dubur

Kuat dan efektif 2

Lemah dan parsial 1

Tidak ada kontraksi 0

d Total skor

Baik 5-6

Sedang 3-4

Buruk 0-2

Diambil dari Goyala A, Williamsa JM, Kennya SE, et al. Functional outcome and quality of life in anorectal malformations. Journal of Pediatric Surgery 2006;41:318 - 22.1

Untuk pengujian fungsi rektum secara obyektif dapat dilakukan dengan menggunakan balon manometri yang berisi cairan yang dimasukkan ke dalam saluran rektoanal dan dilakukan pengukuran statik, dan dilakukan penilaian korelasi antara refleks inhibitor rektoanal dan kontinensia secara klinis.7

Teknik rekonstruksi malformasi anorektal merupakan faktor prognostik yang penting menentukan fungsi kontinensia anak di masa selanjutnya. Holchscneider melaporkan kontinensia yang lebih baik pada pasien yang menjalani prosedur

(26)

13

Universitas Indonesia

PSARP dibandingkan dengan prosedur abdominoperineal pull through dengan atau tanpa reseksi submukosa rektal cara Rehbein. Sedangkan Mulder dkk menemukan tidak ada perbedaan antara kedua populasi pasien tersebut7. Untuk malformasi letak tinggi, De Vries tidak menemukan literatur yang mendukung suatu prosedur lebih superior dari PSARP.7

Penelitian terkait hasil kontinensia pada malformasi anorektal pada anak umumnya hanya memberi hasil “baik”, “sedang”, ataupun “buruk”7. Hasil yang baik bukan berarti fungsi defekasi baik, namun lebih ke arah kontinensia secara sosial. Pada era sebelum PSARP, pasien yang dinilai secara klinis “baik” berkisar antara 6-56% dengan 10-70% pasien dengan hasil yang “buruk” dalam hal kontinensia. Setelah era PSARP, Pena melaporkan sekitar sepertiga pasien dengan malformasi letak tinggi atau menengah dapat diperkirakan akan memiliki kontinensia yang total.Pada penelitian Rintala dkk, yang membandingkan fungsi defekasi anak sehat dengan umur dan distribusi kelamin yang sama dengan pasien malformasi anorektal, didapatkan 35% pasien memiliki fungsi defekasi sesuai usia. Seiring dengan peningkatan usia, kontinensia semakin membaik, hal ini mungkin dikarenakan proses adaptasi dari pasien.1,7,18 Rintala melaporkan hasil “baik” meningkat dari 35% pada usia 5-10 tahun menjadi 58% pada setelah pasien berusia antara 11-15 tahun. Pena dan Rintala juga melaporkan pada pasien dengan anatomi tertentu, fungsi defekasi normal dapat dicapai pada usia 3 tahun.7

(27)

14

Universitas Indonesia

Tabel 2.5. Sistem Skoring Rintala A.Kemampuan untuk menahan defekasi

Selalu dapat / tidak mempunyai masalah 3 Bermasalah kurang dari 1x dalam seminggu 2 Bermasalah paling tidak 1x dalam seminggu 1 Tidak dapat mengendalikan 0

B.Keinginan / kemampuan melaporkan rasa ingin defekasi

Selalu 3

Hampir selalu 2

Tidak pasti 1

Tidak dapat 0

C.Frekuensi defekasi

Setiap hari atau tiap dua hari 2

Lebih sering 1

Lebih jarang 1

D.Soiling (terdapat bercak di pakaian dalam)

Tidak pernah 3

Staining kurang dari 1x dalam 1 minggu, tidak membutuhkan pergantian celana dalam 2

Staining cukup sering, membutuhkan pergantuan celana dalam 1

Soiling setiap hari, membutuhkan alat bantu untuk menahannya 0

E.Accidents (kejadian bab tanpa disadari)

Tidak pernah 3

Kurang 1x dalam seminggu 2 Setiap minggu terjadi, seringkali memerlukan alat bantu 1 Setiap hari, membutuhkan alat batu siang dan malam 0

F.Konstipasi

Tidak mengalami konstipasi 3 Diatasi dengan pengaturan diet 2

Diatasi dengan laksatif 1

Diatasi dengan Emma 0

G.Masalah sosial

Tidak mengalami masalah sosial 3 Kadang kala (masalah bau) 2 Bermasalah yang membatasi kehidupan sosial 1 Gangguan sosial dan atau psikis berat 0

H.Penilaian

Normal 18-20

Baik 9-16

Sedang 7-11

Buruk 6-9

Diambil dari Ure BM, Rintala RJ, Holschneider AM. Scoring Postoperative Results. In: Holschneider AM, Hutson JM, eds. Anorectal Malformations in Children. Heidelberg: Springer-Verlag Berlin 2006:351 - 61.16

Ketinggian anomali merupakan faktor prognostik penting fungsi defekasi. Secara konvensional, malformasi anorektal letak rendah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik, dan hasil yang buruk dihubungkan dengan kerusakan neurologis atau retardasi mental. Hal ini sesuai dengan laporan dari Yeung dkk,Ong dkk.dan

(28)

15

Universitas Indonesia

penelitian Rintala7.Laki-laki dengan fistel bladder neck dan wanita dengan kloaka secara signifikan berprognosis buruk dibandingkan dengan pasien dengan fistel urogenital rendah.1 Penyebab prognosis buruk pada pasien malformasi letak tinggi adalah hipoplasia dari otot sfingter. Selain itu, adanya abnormalitas berat sakral, berhubungan dengan hipoplasia sfingter. Jika lebih dari dua vertebra sakralis hilang, atau pasien memiliki deformitas sakral lain seperti hemivertebra, fusi vertebra, hasil fungsional akan lebih buruk dibanding pasien dengan sakrum normal atau derajat kelainan sakrum yang lebih rendah7,13.

Tabel 2.6. Klasifikasi Krickenbeck untuk hasil fungsional pasca operasi

Gerakan usus sukarela Ya / Tidak

Soiling Ya / Tidak

Grade 1 Kadang kadang

Grade 2 Setiap hari, tidak menimbulkan gangguan sosial

Grade 3 Konstan, menimbulkan gangguan sosial

Konstipasi Ya / Tidak

Grade 1 Diatasi dengan pengaturan diet

Grade 2 Membutuhkan laksatif

Grade 3 Resisten terhadap laksatif

Memerlukan MACE (Malone Antegrade

Continence Enema)

Ya / Tidak

Diambil dari Hassett S, Snell S, Hughes-Thomas A, Holmes K. 10-Year outcome of children born with anorectal malformation, treated by posterior sagittal anorectoplasty,assessed according to the Krickenbeck classification. Journal of Pediatric Surgery 2009;44:399 - 403.

(29)

16 Universitas Indonesia

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3. 1. KERANGKA TEORI

Kerangka teori yang menjadi dasar dari penelitian ini diambil berdasarkan sistem skoring Rintala yang dihasilkan dari uji multivariat dengan memasukkan elemen kontrol volunter, sensasi, frekuensi defekasi, soiling, konstipasi serta dampak sosial dari inkontinensia1,16 Berdasarkan literatur dan penelitian-penelitian terdahulu juga telah diidentifikasi faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kontinensia setelah prosedur PSARP, yaitu usia saat dilakukan PSARP, letak/ketinggian defek dan jenis kelamin.

3. 2. KERANGKA KONSEP

Berdasarkan kerangka teori diatas maka dibuatlah kerangka konsep pada penilitian ini. Semua faktor yang telah di identifikasi berdasarkan skor Rintala maupun penelitian-penelitian sebelumnya diikutsertakan dalam penelitian ini.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

Variabel Bebas

• Usia saat dilakukan PSARP

Data kuesioner responden

• Kemampuan menahan defekasi

• Kemampuan menyampaikan keinginan untuk defekasi

• Frekuensi defekasi

Soiling

Accident

• Konstipasi

• Masalah sosial akibat gangguan fungsi kontinensia

Uji kontinensia dengan skoring Rintala / Variabel Terikat • Normal • Baik • Sedang • Buruk

(30)

17

Universitas Indonesia

3. 3. DEFINISI OPERASIONAL

• Kemampuan menahan defekasi adalah kemampuan pasien untuk menahan keinginan untuk defekasi hingga mendapatkan tempat yang layak untuk defekasi.

• Kemampuan menyampaikan keinginan untuk defekasi adalah kemampuan pasien merasakan keinginan defekasi dan menyampaikannya.

• Frekuensi defekasi adalah frekuensi defekasi pasien dalam sehari.

Soiling adalah kejadian terdapatnya bercak faeses pada pakaian dalam / popok

yang dipakai pasien atau terdapatnya faeses pada lipat bokong pasien yang tidak dapat dikendalikan pasien.

Accident adalah kejadian dimana pasien tidak dapat menahan keinginan buang

air besar hingga di tempat yang seharusnya / kejadian pasien BAB tanpa dapat ditahan.

• Konstipasi adalah frekuensi buang air besar yang kurang dari 3x dalam 1 minggu BAB yang memerlukan mengedan berat sebelum dapat mengevakuasi faeses, rasa tidak puas / merasa ada sisa setelah defekasi

• Masalah sosial akibat gangguan fungsi kontinensia adalah masalah yang mengganggu sehingga pasien mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya, seperti kesulitan mendapatkan teman bermain karena masalah soiling.

• Usia saat dilakukan PSARP adalah usia pasien saat dilakukannya prosedur PSARP.

(31)

18

Universitas Indonesia

3.4. HIPOTESIS

Terdapat korelasi antara usia saat operasi PSARP terhadap fungsi kontinensia anak dengan atresia ani. Dimana semakin muda usia anak saat dilakukan PSARP (1-3 bulan) maka akan semakin baik prognosis kontinensia yang didapatkan.

(32)

19 Universitas Indonesia

BAB 4 METODOLOGI

4.1. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik kategorikal dengan disain cross

sectional.Data pada penelitian ini berasal dari rekam medik pasien dan kuesioner.

Kuesioner dilakukan untuk mengetahui uji fungsi kontinensia pasca PSARP.

4.2. POPULASI DAN SAMPEL 4.2.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pasien pasca PSARP di RSCM pada periode 1 Januari 2006 – 31 Desember 2012.

4. 2. 2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan kriteria berikut ini :

Table 4.1 Kriteria inklusi dan eksklusi

Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi

• Pasien dengan diagnosa atresia ani

• Menjalani operasi PSARP di RSCM

• Memiliki data yang cukup dalam rekam medik

• Pasien masih dapat dihubungi

• Bersedia untuk diikutsertakan dalam penelitian

• Sudah berusia lebih dari 2 tahun saat penelitian berlangsung

• Pasien menjalani operasi ulangan untuk PSARP

• Atresia ani letak rendah yang dapat ditangani dengan mini PSARP/ cutback

• Atresia ani dengan fistel rektovesika

(33)

20

Universitas Indonesia

4. 2. 3. Cara Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah semua pasien atresia ani yang dilakukan PSARP di RSCM pada tahun 2006-2012.

4. 2. 4. Besar Sampel

1. Dilakukan penilaian pasien berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi 2. Pasien yang terseleksi diberikan penjelasan tentang tata cara penelitian,

pengisian kuesioner setelah menandatangani surat persetujuan penelitian 3. Penghitungan besar sampel

n = Zα2pq d2

n = 1,962.0,35.0,65 = 87 0,12

Jadi besar sampel yang dibutuhkan adalah 87 orang Keterangan :

n : Besar sampel Zα : 1,96

P : 35% (didapatkan dari penelitian sebelumnya)

d : 10%

4. 3. METODE PENGUMPULAN DATA 4.3.1 Instrumen

Insrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi komponen-komponen skoring kontinensia PSARP yang dapatkan berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Rintala, dkk. (2008).

(34)

21

Universitas Indonesia

4.3.2. Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan 2 jenis data yaitu data sekunder dari rekam medis untuk melengkapi kuesioner skoring yang ada dan data primer mengenai kontinensia pasca operasi yang diperoleh dari wawancara via telepon atau kunjungan pasien di poliklinik bedah anak RSCM.

4.3.3. Cara Pengumpulan Data

Pertama-tama peneliti mencari pasien-pasien yang dilakukan PSARP di buku registrasi pasien rawat bedah anak dan poliklinik RSCM tahun 2006-2012. Kemudian data pasien diambil dari rekam medik dan diisi berdasarkan kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini. Data fungsi kontinensia pasca operasi diperoleh dengan menelepon orang tua pasien yang bersangkutan . Bila terdapat data-data yang tidak lengkap dari rekam medis, peneliti juga melengkapi dengan melakukan wawancara melalui telepon.

Tabel 4.2 Parameter pengukuranvariabel terikat

Variabel Alat

Ukur

Cara

Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur Kemampuan menahan defekasi Kuesioner Diisi oleh peneliti

3 = Selalu dapat/tidak mempunyai masalah 2 = Bermasalah kurang dari 1x dalam seminggu

1 = Bermasalah paling tidak 1x dalam seminggu

0 = Tidak dapat mengendalikan

Ordinal Kemampuan menyampaikan keinginan untuk defekasi Kuesioner Diisi oleh peneliti 3 = Selalu 2 = Hampir selalu 1 = Tidak pasti 0 = Tidak dapat Ordinal

Frekuensi defekasi Kuesioner Diisi oleh peneliti

2 = Setiap hari atau setiap 2 hari 1 = Lebih sering

0 = Lebih jarang

Ordinal

Soiling Kuesioner Diisi

oleh peneliti

3 = Tidak pernah

2 = Staining < dari 1x dalam 1 minggu, tidak membutuhkan penggantian celana dalam

(35)

22

Universitas Indonesia

Accident Kuesioner Diisi

oleh peneliti

3 = Tidak pernah

2 = Kurang 1x dalam seminggu 1 = Setiap minggu terjadi, seringkali mememerlukan alat bantu

0 = Setiap hari, membutuhkan alat bantu siang dan malam

Ordinal

Konstipasi Kuesioner Diisi oleh peneliti

3 = Tidak mengalami konstipasi 2 = Diatasi dengan pengaturan diet 1 = Diatasi dengan laksatif 0 = Diatasi dengan enema

Ordinal Masalah sosial akibat gangguan fungsi kontinensia Kuesioner Diisi oleh peneliti

3 = Tidak mengalami masalah sosial 2 = Kadang kala (masalah baru) 1 = Bermasalah membatasi kehidupan sosial

0 = Gangguan sosial dan atau psikis berat

Ordinal

Table 4.3 Parameter pengukuran variabel independen

Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Usia saat dilakukan PSARP

Kuesioner Diisi oleh peneliti

3 = >diatas 24 bulan 2 = >12-24 bulan 1 = >3-12 bulan

0 = >kurang dari 3 bulan

Ordinal

Jenis kelamin Kuesioner Diisi oleh peneliti

0 = Laki-laki 1 = Perempuan

Nominal

4.4. RENCANA ANALISIS DATA

Analisis korelasi bivariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi (proporsi) dari karakteristik demografik, komponen skoring kontinensia dari reponden. Pengolahan data menggunakan SPSS 20.

(36)

23

Universitas Indonesia

4. 5. ALUR PENELITIAN

Gambar 4.1. Alur Penelitian

Uji Fungsional sesuai sistem skoring Rintala

Analisis Data Pre Operatif yang Memengaruhi Hasil

Uji Statistik

Hasil penelitian Normal

Pasien Atresia Ani yang menjalani operasi PSARP di RSCM dalam periode 1 Januari 2006 – 31Desember 2012

Memenuhi Kriteria Inklusi dan Eksklusi

(37)

24 Universitas Indonesia

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian potong lintang dengan penelusuran rekam medis pasien atresia ani dari Januari 2003 hingga Desember 2012, jumlah rekam medis yang ditemukan 208 buah, dan dari sejumlah itu yang dapat dihubungi untuk diikutsertakan dan sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 40 pasien. Distribusi lengkap dalam tabel 5.1

Tabel 5.1. Gambaran umum responden yang masuk dalam penelitian Normal

Skor (18-20)

Tidak Normal

Skor (6-16) Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Berdasarkan jenis kelamin

• Perempuan 15 53,6% 13 46,4% 28 70%

• Laki-laki 4 33,3% 8 66,7% 12 30% Berdasarkan usia saat operasi

• <3 bulan 1 100% 0 0% 1 2,5%

• 3-12 bulan 9 56,3% 7 43,7% 16 40%

• 13-24 bulan 4 30,7% 9 69,3% 13 32,5%

• >24 bulan 5 50% 5 50% 10 25% Berdasarkan letak atresia

• Letak tinggi 5 33,3% 10 66,7% 15 37,5%

• Letak rendah 14 56% 11 44% 25 62,5%

Usia termuda pasien saat menjalani prosedur PSARP dalam penelitian ini adalah 1 bulan dan usia tertua 15 tahun 8 bulan. Lebih dari separuh subyek penelitian berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar pasien menjalani prosedur PSARP sebelum usia 2 tahun (75%, n=30) dan sisanya setelah usia 2 tahun (25%, n=10) yang artinya operasi PSARP dilakukan setelah pasien melewati usia toilet training.

Tipe atresia ani pada penelitian ini didominasi oleh atresia ani letak rendah 62,5% (n=25), dimana 92% (n=23) diantaranya berjenis kelamin perempuan. Setelah dilakukan wawancara untuk melihat fungsi kontinens pasien menggunakan skor Rintala, didapatkan 47,5% pasien mencapai kontinensia normal dengan rerata FOS pada penelitian ini adalah 16,17 yang jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin:

(38)

25

Universitas Indonesia

16,78 untuk pasien perempuan dan 14,75 untuk pasien pria. Dari pasien yang mencapai kontinensia normal tersebut 73,7% diantaranya adalah pasien atresia ani letak rendah. Kemudian dilakukan uji korelasi Spearman’s antara skor Rintala dengan usia saat operasi. Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Analisa korelasi usia saat prosedur PSARP dengan skor Rintala Spearman’s Correlation

Coefficient P

Usia saat operasi -0,116 0,477

Peneliti melakukan analisa statistik dengan melihat korelasi antara usia saat prosedur dengan hasil skor Rintala dengan memisahkan pasien berdasarkan usia saat toilet training (2 tahun). Ditemukan korelasi terbalik, dimana semakin dini usia saat operasi akan didapatkan skor Rintala yang lebih tinggi hingga pasien berusia 2 tahun. Namun hasil tersebut tidak bermakna secara statistik; usia saat operasi (r=-0,116, p=0,477) Tren korelasi negatif ini tergambarkan dalam gambar 5.1.

(39)

26

Universitas Indonesia

Dari penelusuran rekam medik terhadap kelainan kongenital penyerta yang menyertai malformasi anorektal, hanya ditemukan satu pasien laki-laki dengan agenesis sacrum, yang saat wawancara didapatkan skor Rintala 9.

(40)

27 Universitas Indonesia

BAB 6 DISKUSI

Pada penelitian ini penulis terdapat beberapa kekurangan, diantaranya jumlah sampel yang didapatkan tidak memenuhi jumlah target sampel yang diharapkan sebelum penelitian dimulai. Pada penghitungan besar sampel minimal yang dibutuhkan sebesar 87 sampel, penelitian ini hanya mendapatkan 40 sampel yang dapat dimasukkan sebagai obyek penelitian. Hal ini dikarenakan kesulitan pencarian data pada rekam medik, ataupun pasien yang tidak dapat dihubungi lagi. Pada penelitian ini juga data didapatkan dari wawancara, sehingga masih terdapat bias yang cukup besar dikarenakan subyektifitas dari responden dan sebagian besar responden yang dihubungi adalah orang tua atau orang yang mengasuh pasien, bukan pasiennya langsung. Peneilitian ini menggunakan sistem skoring Rintala karena peneliti menyadari sulitnya mengumpulkan data dari pasien di RSCM, karena banyaknya pasien yang berdomisili jauh dari RSCM. Memang sistem yang terbaru dipakai adalah klasifikasi Krickenbeck yang sesuai dengan klasifikasi anatomi sebelum operasi. Tapi karena penelitian ini hanya berniat melihat seberapa normal kontinensia pasca PSARP di RSCM, maka peneliti memilih sistem skoring Rintala.

Empat puluh pasien yang masuk dalam penlitian ini, terdiri dari 28 perempuan (70%) dan 12 laki-laki (30%). Hal ini berbeda dengan literatur yang mengatakan atresia ani cenderung lebih banyak terjadi pada pasien laki laki. Tipe atresia pada pasien laki-laki di penelitian ini, terdiri dari 9 atresia ani dengan fistel (7 tipe rektouretra, 2 perineal), dan 3 atresia ani tanpa fistel 3 letak tinggi. Sementara pada pasien perempuan, terdiri dari 26 atresia ani dengan fistel (17 tipe rektovestibuler, 6 tipe perineal, 2 tipe rektovagina, 1 kloaka), dan 2 atresia ani tanpa fistel letak tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa untuk pasien laki-laki didominasi oleh tipe fistel rektouretra dan pada perempuan mayoritas tipe fistel rektovestibuler.Penilaian kontinensia pasca PSARP dilakukan dengan menggunakan sistem Skor Rintala.

(41)

28

Universitas Indonesia

Pada penelitian ini didapatkan 47,5% pasien dengan kontinensia normal, dengan 73,7% diantaranya adalah pasien atresia ani letak rendah. Hal ini lebih baik dari penelitian yang dilakukan oleh Rintala yaitu 35% pasien dengan kontinensia normal.

Perbedaan ini dapat terjadi karena pada penelitian ini dilakukan eksklusi pada sampel yang menjalani reoperasi PSARP walaupun pada penelitian Rintala tidak dijelaskan kriteria eksklusi penelitian.

Rata-rata Functional Outcome Score (FOS) dari seluruh pasien pada penelitian ini adalah 16,17 yang jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin: 16,78 untuk pasien perempuan dan 14,75 untuk pasien pria. Hal ini lebih baik dari penelitian Goyal, dkk (2006) yang melakukan penelitian pasca operasi malformasi anorektal dengan menggunakan sistem skoring Rintala dengan hasil rata-rata FOS adalah 14 pada pasien perempuan dan13,7 pada pasien laki laki. Selain karena eksklusi pasien reoperasi, hal ini dapat juga terjadi karena jumlah sampel yang tidak mencukupi jumlah sampel minimal secara statistik sehingga hasil penelitian ini tidak bisa menggambarkan FOS yang sebenarnya.

Pada penelitian ini, tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara fungsi kontinensia pasca PSARP yang diukur dengan sistem skor Rintala dengan usia saat prosedur PSARP dilakukan. Rata-rata usia saat operasi adalah 25,6 bulan dengan sebaran dari 1 bulan hingga 188 bulan. Pada kelompok usia operasi 1-24 bulan, terdapat korelasi terbalik, dimana semakin dini usia saat operasi didapatkan skor Rintala yang lebih tinggi. Namun hasil tersebut tidak bermakna secara statistik; usia saat operasi (r=-0,116, p=0,477). Peneliti mendapatkan bahwa semakin tua usia anak (mendekati usia toilet training), maka semakin rendah skor Rintala. Hal ini dapat juga terkait dengan pendeknya waktu adaptasi pasien terhadap anus yang baru dengan waktu untuk toilet training. Hal ini sesuai dengan pendapat Pena yang mengatakan sedini mungkin dilakukan penempatan anus yang baru pada tempat yang semestinya memungkinkan anak mendapatkan sensasi anal sesuai dengan yang seharusnya.

(42)

29 Universitas Indonesia

BAB 7 PENUTUP

7.1. SIMPULAN

Dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien pasien yang menjalani PSARP di RSCM memiliki kemungkinan untuk mendapat fungsi kontinensia yang lebih baik daripada yang dikatakan dalam literatur. Juga didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara usia saat operasi dengan hasil kontinensia pasien walaupun didapatkan kecenderungan bahwa semakin muda pasien maka akan didapatkan fungsi kontinensia yang lebih baik.

7.2 SARAN

Dikarenakan jumlah sampel yang didapatkan pada penelitian ini hanya sedikit, diperlukan penelitian selanjutnya dengan sampel yang lebih banyak agar data yang didapatkan lebih dapat menggambarkan hasil yang sebenarnya.

Dikarenakan penelitian dengan skor Rintala bersifat wawancara, maka ada baiknya jika didapat sampel yang cukup besar, dapat dibuat stratifikasi subyek yang diwawancara untuk mengurangi bias.

Karena didapatkan kecenderungan hasil kontinensia yang lebih baik jika pasien di operasi pada usia muda, ada baiknya dalam pelayanan pasien atresia ani di RSCM prosedur PSARP dilakukan sedini mungkin sesuai anjuran Pena dimana dilakukan anoplasti pada usia 1-3 bulan.

(43)

30 Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Goyala A, Williamsa JM, Kennya SE, et al. Functional outcome and quality of life in anorectal malformations. Journal of Pediatric Surgery 2006;41:318 - 22. 2. Hassett S, Snell S, Hughes-Thomas A, Holmes K. 10-Year outcome of children

born with anorectal malformation, treated by posterior sagittal anorectoplasty,assessed according to the Krickenbeck classification. Journal of Pediatric Surgery 2009;44:399 - 403.

3. Osifo O, Osagie T, Udefiagbon E. Outcome of primary posterior sagittal anorectoplasty of high anorectal malformation in well selected neonates. Nigerian Journal of Clinical Practice 2014;17:1 - 5.

4. Pena A, Levitt MA. Anorectal Malformation. In: Grosfeld JL, James A. O'Neill J, Fonkalsrud EW, Coran AG, eds. Pediatric Surgery. 6th ed. Philadelphia, PA: Mosby Elsevier; 2006:1566 - 89.

5. Levitt MA, Pena A. Anorectal Malformations. In: Coran AG, Adzick NS, Krummel TM, Laberge J-M, Shamberger RC, Caldamone AA, eds. Pediatric Surgery. 7th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2012:1289 - 309.

6. Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007;2:1 - 13.

7. Rintala RJ, Pakarinen MP. Imperforate anus: long- and short-term outcome. Seminars in Pediatric Surgery 2008;17:79 - 89.

8. Yoo SY, Bae KS, Kang SJ, Kim SY, Hwang EH. How Important Is the Role of the Internal Anal Sphincter in Fecal Continence? An Experimental Study in Dogs. Journal of Pediatric Surgery 1995;30:687 - 91.

9. Tsuji H, Okada A, Nakai H, Azuma T, Yagi M, Kubota A. Follow-Up Studies of Anorectal Malformations After Posterior Sagittal Anorectoplasty. Journal of Pediatric Surgery 2002;37:1529 - 33.

10. Kuyk EMv, Wissink-Essink M, Brugman-Boezeman ATM, et al. Multidisciplinary Behavioral Treatment of Defecation Problems: A Controlled Study in Children With Anorectal Malformations. Journal of Pediatric Surgery 2001;36:1350 - 6.

11. Levitt MA, Peña A. Imperforate Anus and Cloacal Malformations. In: III GWH, Murphy JP, eds. Aschraft Pediatric Surgery. 5th ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2010:468 - 90.

12. Akhter N, Ishaque N, Chaudhary A, et al. Posterior Sagittal Anorectoplasty in the treatment of Anorectal Malformation. Annals of Pakistan Institute for Medical Science 2008;4:156 - 8.

13. Bharucha AE, Blandon RE. Anatomy and Physiology of Continence. In: Ratto C, Doglietto GB, eds. Fecal Incontinence Diagnosis and Treatment. Milan, Italy:

(44)

Universitas Indonesia

14. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Large Intestine and Anorectum In: Skandalakis JE, ed. Skandalakis' Surgical Anatomy2004.

15. Zorcolo L, Bartolo DCC. Pathophysiology of Faecal Incontinence. In: Ratto C, Doglietto GB, eds. Fecal Incontinence Diagnosis and Treatment. Milan, Italy: Springer-Verlag; 2007:35 - 9.

16. Ure BM, Rintala RJ, Holschneider AM. Scoring Postoperative Results. In: Holschneider AM, Hutson JM, eds. Anorectal Malformations in Children. Heidelberg: Springer-Verlag Berlin 2006:351 - 61.

17. Wong KKY, Wu X, Chan IHY, Tam PKH. Evaluation of defecative function 5 years or longer after laparoscopic-assisted pull-through for imperforate anus. Journal of Pediatric Surgery 2006;46:2313 - 5.

18. Borg HC, Holmdahl G, Gustavsson K, Doroszkiewicz M, Sillén U. Longitudinal study of bowel function in children with anorectal malformations. Journal of Pediatric Surgery (2013) 48, 597–606 2013;48:597 - 606.

(45)

Universitas Indonesia

Kuesioner Penilaian fungsi kontinensia pasca PSARP

Nama Pasien : No RM : TanggalLahir : Alamat : Telpon/HP : TanggalOperasi PSARP :

Identitas penjawab kuesioner

Nama :

Hubungan dengan pasien :

Kemampuan untuk menahan keinginan Buang Air Besar (BAB)

• Apakah pasien mampu menahan keinginan untuk BAB jika sedang berada di tempat yang tidak tersedia / jauh dari kamar kecil?

Selalu dapat / tidak ada masalah

Bermasalah, namun tidak sampai 1x dalam 1 minggu Bermasalah paling tidak 1x dalam 1 minggu

Selalu ada masalah / tidak dapat menahan

Keinginan / kemampuan untuk melaporkan rasa ingin BAB • Apakah pasien dapat melaporkan keinginan untuk BAB?

Selalu

Hampir selalu

Tidak selalu / tidak pasti Tidak dapat

Frekuensi BAB

• Berapa kali dalam sehari pasien BAB? Setiap satu atau dua hari sekali

Lebih sering / lebih dari 1x dalam sehari

Lebih jarang / BAB kurang dari 1x dalam 2 hari

Soiling

• Apakah pasien sering cepirit / ada bercak kotoran / faeces di celana / pakaian / popok?

Tidak pernah

(46)

Universitas Indonesia

Kurang dari 1x dalam 1 minggu, tidak memerlukan penggantian pakaian dalam

Cukup sering dan membutuhkan penggantian pakaian dalam Selalu, dan membutuhkan alat untuk dapat menahannya

Accident

• Seberapa sering pasien BAB di celana / tidak bisa menahan BAB? Tidak pernah

Tidak sampai 1x dalam 1 minggu

Bermasalah paling tidak 1x dalam 1 minggu, seringkali membutuhkan alat bantu

Setiap hari dan membutuhkan alat bantu siang dan malam

Konstipasi

• Apakah pasien sulit untuk BAB / memerlukan perjuangan ekstra untuk dapat BAB?

Tidak ada masalah

Ya, namun dapat diatasi dengan pengaturan makanan Ya, dapat diatasi dengan obat obat pelancar BAB / laksatif Ya, diatasi dengan obat pencahar / enema

Masalah sosial

• Apakah pasien terganggu secara sosial dikarenakan ketidak mampuan untuk menahan BAB?

Tidak

Kadang – kadang, terganggu karena masalah bau Ya, pasien membatasi pergaulan sosial

Ya, pasien terganggu dalam hubungan sosial dan mengalami psikis

Jakarta,……….2014

(……….) Namalengkap

(47)

Universitas Indonesia

INFORMED CONSENT

EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY (PSARP)

Bapak/ibu yang terhormat

Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCMsaat ini sedang mengadakan penelitian mengenai evaluasi fungsi kontinensia pasca posterior sagittal anorectoplasty (PSARP) pada pasien-pasien dengan atresia ani yang telah menjalani prosedur PSARP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi kontinens pasca PSARP di RSCM setelah dilakukan operasi dan karakteristik pasien yang ada.

Penelitian ini bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan klinisi mengenai keluhan gangguan fungsi kontinens gejala yang mungkin timbul atau menetap setelah dilakukan PSARP dan sebagai data dasar dalam penelitian selanjutnya.

Pasien yang telah menjalani prosedur PSARP di RSCM periode 1 Januari 2006 sampai 31Desember 2012 serta memenuhi kriteria, setelah mendapatkan persetujuan, akan diberikan kuesioner yang dapat diisi sendiri oleh pasien ataupun dibantu oleh peneliti.

Anda bebas untuk menolak ikut dalam penelitian ini. Bila anda telah memutuskan untuk ikut, anda juga bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa menyebabkan berkurangnya mutu pelayanan. Semua data penelitian ini akan diberlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan untuk disalahgunakan oleh orang lain.

Anda memiliki kesempatan untuk menanyakan semua hal yang berhubungan dengan penelitian ini dengan cara menghubungi dr.Rico Darmayanto di Departemen Ilmu Bedah FKUI dengan nomor HP 0811 717 6465

Terima Kasih

dr. Rico Darmayanto

(48)

Universitas Indonesia

PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Dengan ini menyatakan sesungguhnya telah memberikan PERSETUJUAN untuk mengisi formulir kuesioner.

Yang tujuandan manfaat dari kuesioner ini telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.

Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan

...,...2014

Dokter /Peneliti Yang membuat pernyataan

(dr. Rico Darmayanto) ( )

(49)
(50)

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi malformasi anorektal menurut Wingspread (1984)
Tabel 2.3. Malformasi anorectal klasifikasi diagnostik Krickenbeck
Tabel 2.4. Metode Kelly Untuk Menilai Kontinensia Fekal
Tabel 2.6. Klasifikasi Krickenbeck untuk hasil fungsional pasca operasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Samsudin (2009: 33) menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode demonstrasi dalam pembelajaran menggambar geometri menjadi bentuk gambar, dapat meningkatkan

Penelitian mengenai pengaruh dewan komisaris independen, komite audit dan kepemilikan manajerial pada manajemen laba dilakukan oleh Anggraeni dan Hadiprajitno (2013)

Hasil percobaan yang didapat untuk sirkuit 1 dan sirkuit 2 tidak sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa semakin besar nilai Q (debit) maka semakin besar pula

menghidupkan perekomiannya. Perlu dibangun titik-titik suar karena titik koordinat yang baru. Untuk dimaklumi bahwa kondisi eksisting 3 pulau terluar yang ada di Riau,

Buat bayaran mengikut jumlah yang anda inginkan ke akaun berikut: Nama Bank : Public Gold Marketing Sdn Bhd. Bank : Maybank Bank :

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 1 desain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang dibuat oleh guru mata pelajaran Akuntansi kelas X Akuntansi di SMK N 1 Depok sudah

PENERAPAN COOPERATIVE LEARNING TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI SMK YPKK 2 SLEMAN Penelitian Tindakan

Sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999, yang dimaksud dengan PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri