• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku

2.1.1. Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku

Buku yang berjudul Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku (Haryadi dan Setiawan, 2010) menjelaskan bahwa ruang sebagai salah satu komponen arsitektur menjadi penting dalam pembahasan studi hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku karena fungsinya sebagai wadah kegiatan manusia. Dijelaskan juga oleh Haryadi dan Setiawan (2010) bahwa perilaku dioperasionalisasikan sebagai kegiatan manusia yang membutuhkan seting atau wadah kegiatan yang berupa ruang. Berbagai kegiatan manusia saling berkaitan dalam satu sistem kegiatan. Wadah-wadah berbagai kegiatan tersebut juga terkait dalam suatu sistem pula. Keterkaitan wadah-wadah inilah yang membentuk tata ruang yang merupakan bagian dari bentuk arsitektur.

Lingkungan dapat mempengaruhi manusia secara psikologi. Manusia tinggal atau hidup dalam suatu lingkungan sehingga manusia dan lingkungan saling berhubungan dan saling mempengaruhi (Anthonius, 2011). Hubungan antara lingkungan dan perilaku adalah sebagai berikut :

1. lingkungan dapat mempengaruhi perilaku – lingkungan fisik dapat membatasi apa yang dilakukan manusia.

(2)

3. lingkungan membentuk kepribadian. 4. lingkungan akan mempengaruhi citra diri.

Veitch dan Arkkelin (1995), menjelaskan bahwa psikologi lingkungan merupakan suatu area dari pencarian yang bercabang melalui beberapa disiplin ilmu. Berdasarkan ruang lingkupnya, psikologi lingkungan ternyata selain membahas seting-seting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya, juga melibatkan berbagai disiplin ilmu.

Secara tidak langsung terdapat hubungan antara perilaku dan ruang dalam dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang dalam memahami pola perilaku, termasuk keinginan, motivasi, dan perasaan, merupakan hal yang harus dipahami dalam suatu ruang dikarenakan ruang merupakan perwujudan fisik dari pola-pola tersebut. Kedua, sudut pandang terhadap ruang mempengaruhi perilaku dan jalannya kehidupan. Kedua aspek tersebut memiliki dampak yang besar dan menjadi perhatian khusus bagi arsitek dan semua yang terlibat didalamnya (Rapoport, 1969).

Kajian arsitektur lingkungan dan perilaku penting diperhatikan bahwa kita berhadapan dengan sekelompok orang atau kelompok yang mempunyai persepsi atau nilai-nilai yang sama atau mirip dan melakukan suatu rangkaian kegiatan atau perilaku tertentu untuk makna dan tujuan yang telah mereka sepakati. Setiap kelompok atau sekelompok manusia membentuk suatu behavior setting yang berbeda, tergantung nilai-nilai, kesempatan dan keputusan yang dibentuk oleh kelompok tersebut (Haryadi dan Setiawan, 2010).

(3)

Penelitian Rogers (1974) dalam Anthonius (2011) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

1. awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

2. interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

3. evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

5. adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Pendekatan perilaku menekankan keterkaitan dialektik antara ruang dengan manusia dan masyarakat yang memanfaatkan atau menghuni ruang tersebut. Pendekatan ini menekankan perlunya memahami perilaku manusia atau masyarakat (yang berbeda-beda di setiap daerah) dalam memanfaatkan ruang.Penekannya lebih pada interaksi antara manusia dan ruang.Pendekatan ini cenderung menggunakan istilah seting daripada ruang. Pendekatan ini di Amerika dipelopori salah satunya oleh Barker yang mengemukakan tentang seting perilaku (behavior setting) (Haryadi dan Setiawan, 2010).Ruang mempunyai arti dan nilai yang plural dan berbeda, tergantung tingkat apresiasi dan kognisi individu-individu yang menggunakan ruang tersebut (Rapoport,1977).

(4)

2.1.2 Seting Perilaku (Behavior Setting)

Behavioral setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat dan waktu yang spesifik. Dengan demikian, behavioral setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan, aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut dan tempat serta waktu dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Manusia dan obyek adalah komponen primer. Manusia adalah bagian yang paling utama bagi behavioral setting, tanpa keberadaan manusia sebagai pengguna, behavioral setting tidak akan terwujud. Meskipun demikian, hubungan antara manusia dan obyek fisik mewujudkan keberadaan behavioral setting. Contoh dari behavioral setting dapat kita temui di sekeliling kita dalam kehidupan sehari-hari(Haryadi dan Setiawan, 2010).

Menurut Barker (1968), dalam Laurens (2004), behavior setting disebut juga dengan “tatar perilaku” yaitu pola perilaku manusia yang berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya. Senada dengan Haviland (1967) dalam Laurens (2004) bahwa tatar perilaku sama dengan “ruang aktivitas” untuk menggambarkan suatu unit hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur.

Barker dan Wright (1968) dalam Laurens (2004) mengungkapkan ada kelengkapan kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah identitas, agar dapat dikatakan sebagai sebuah behavior setting yang merupakan suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dengan kriteria sebagai berikut:

terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku (standing pattern of behavior)

(5)

tata lingkungan tertentu (circumjacent milieu), milieu berkaitan dengan pola perilaku.

membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya (synomorphy) dilakukan pada periode waktu tertentu.

Rapoport (1977) dalam Utami (2003) mengatakan bahwa perilaku adalah aspek signifikan dari sebuah proses yang merupakan interaksi pendekatan dialektik antara manusia dan lingkungan dengan mempertimbangkan proses interaksi manusia dalam menetapkan konsepnya sendiri. Pendekatan perilaku memperhatikan hubungan manusia dengan lingkungan yang mempengaruhi apresiasi dan kesadaran manusia.

Lang (1987) mengatakan bahwa seting perilaku merupakan pemahaman tentang lingkungan binaan sebagai bagian perilaku. Jika tampilan lingkungan tidak mampu mengikuti pola perilaku maka manusia juga tidak akan dapat mengikuti tujuan.Jejak merupakan sesuatu yang tertinggal atau mereka sadar akan perubahan (Zeisel, 1980).

2.1.3 Batas Behavior Setting

Batas behavior setting adalah batas dimana suatu perilaku berhenti (tidak berlanjut) yang terdiri dari dua jenis (Laurens, 2004), yaitu:

Batas fisik/ physicalboundary

Batas perilaku yang dipengaruhi dan ditandai dengan elemen fisik lingkungan (batas fisik ruang) meliputi elemen dasar ruang (atas, bawah, vertikal). Batas yang ideal adalah batas yang jelas seperti dinding masif. Apabila batas dari

(6)

pemisah aktivitas, terutama apabila sebagian aspek dari pola perilaku harus dipisahkan dari lainnya. Beberapa objek berfungsi membentuk batas spasial dan objek lain berfungsi mendukung pola aktivitas yang terjadi di dalamnya. Objek pembatas mengelilingi perilaku, sedangkan jenis objek kedua, sebagai pendukung pola aktivitas, perilaku mengelilingi objek kedua.

Batas simbolis

Batas simbolis merupakan batas perilaku yang ditandai dengan simbol, misalnya melalui pola lantai atau warna lantai. Masalah yang muncul dalam batas ini apabila pemisah atau batas yang ada belum tentu dapat dikenali atau diketahui oleh setiap orang yang terlibat dalam aktivitas di daerah itu. Simbol-simbol yang dibuat menjadi tidak efektif dikarenakan hanya dapat dimengerti oleh sekelompok orang tertentu sebagai batas behavior setting.

Personalisasi dan penandaan, seperti memberi nama, tanda atau menempatkan di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran akan teritorialitas, seperti membuat pagar batas, memberi papan nama yang merupakan tanda kepemilikan. Perilaku personalisasi dapat juga dilakukan secara verbal. Penandaan juga dipakai seseorang untuk mempertahankan haknya di teritori publik, seperti kursi di ruang publik. Personalisasi dan penandaan kadang juga dibuat dengan sengaja dengan maksud tertentu, seperti tulisan “dilarang parkir di depan pintu” dan tulisan lainnya yang menandakan teritorialitas.

Altman (1975) dalam Burhanuddin (2010) memandang teritorialitas sebagai mekanisme untuk memperoleh privasi yang mendefinisikan perilaku teritorial sebagai berikut: Perilaku teritorial adalah sebuah mekanisme aturan batas diri

(7)

yang melibatkan personalisasi dari penandaan sebuah tempat atau obyek dan komunikasi yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang.

Haryadi dan Setiawan (2010), Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan keterlibatan personal (personal), involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari-hari individu atau kelompok, dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut adalah: primary, secondary, serta public territory.

Teritori utama (primary) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara ekslusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari penghuninya. Teritori sekunder (secondary) adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara ekslusif oleh seseorang atau sekelompok orang, mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala oleh kelompok yang menuntunnya. Teritori publik adalah suatu area yang dapat digunakan atau dimasuki oleh siapa pun, tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.

Altman (1973) dalam Hadinugroho (2002) menampilkan diagram yang dapat memberikan gambaran letak pokok bahasan personal space dan teritorial dalam kaitan dengan proses desain dan bidang garapan space, place and environment.

(8)

Gambar 2.1. Personal Space Dan Teritorial

Konsep privacy, personal space dan teritorial memang terkait erat. Definisi privacy ditekankan pada kemampuan individu atau kelompok untuk mengkontrol daya, auditory, dan olfactory dalam berinteraksi dengan sesamanya (Hadinugroho, 2002).

Altman dan Haytorn (1967) dalam Hadinugroho (2002) menunjukkan bahwa dalam teritori terjadi hubungan yang mutual antara dalam penggunaan area/ tempat dan benda sekitarnya oleh person ataupun kelompok. Exclusive use secara tersirat merupakan penegasan terhadap pemenuhan kebutuhan penunjukan status.

Sommer (1969) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mendefinisikan ruang privat (personal space) sebagai batas tak tampak disekitar seseorang, yang mana orang lain tidak boleh atau merasa enggan untuk memasukinya. Personal space, sebagai bagian yang elementer dari kajian arsitektur lingkungan dan perilaku,

(9)

menunjukkan secara jelas pengaruh psikologis individu atau kultural sekelompok individu terhadap kognisinya mengenai ruang.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi batas perilaku (Ardana, 2009), yaitu:

1. tingkat pengenalan batas: yaitu tingkat jelas tidaknya suatu elemen batas perilaku dapat dikenal oleh manusia. Maksudnya disini adalah seberapa jelasnya batas suatu elemen tersebut dilihat oleh setiap orang, baik batas tersebut fisik maupun simbolis. Biasanya semakin jelas visibilitas dari batas tersebut, membuat beberapa orang semakin jelas dalam mengenal dan mengintepretasikan batas-batas tersebut.

2. tingkat pemisahan batas: yaitu tingkat pembatasan elemen batas terhadap suatu perilaku (visual, aksesibilitas, bahan, elemen, indra, dll). Elemen batas terhadap suatu perilaku, baik fisik maupun simbolis memisahkan tiap-tiap perilaku pada suatu tempat tersebut, seperti contohnya pada tingkat pembatasan elemen visual yaitu apa yang kelihatan oleh mata manusia menjadi batas suatu aktivitas pada suatu ruang tertentu. Aksesibilitas juga demikian, seperti contohnya pintu masuk pada suatu ruang yang menunjukkan bahwa ruang tersebut memisahkan aktivitas luar dengan aktivitas yang ada pada ruang yang memiliki pintu masuk tersebut. Bahan, disini dimaksudkan bahan apa yang dipakai dalam membentuk suatu batas perilaku, biasanya semakin solid bahan yang dipakai maka batas tersebut secara visual akan semakin terlihat oleh manusia, seperti contohnya pembatas berupa dinding bata, kaca, sekat triplex, dsb.

(10)

2.1.4. Teori Physical Traces (Jejak Fisik)

Physical traces (jejak yang ditinggalkan) dapat diketahui dengan memperhatikan lingkungan fisik di sekitar untuk menemukan aktivitas sebelumnya. Secara tidak sadar manusia akan meninggalkan jejak pada setiap aktivitasnya, seperti tapak kaki di tanah atau bercak tangan di lantai. Disisi lain, physical traces dapat mengubah perilaku manusia di lingkungan, contohnya pada saat seseorang memasuki gedung baru tentu perilakunya akan berbeda dengan saat ia berada di gedung sebelumnya (Zeisel, 1980).

Physical Traces adalah suatu metode penelitian dalam perilaku manusia yang bertujuan untuk mengetahui jejak yang dapat menjadi acuan perbaikan rancangan. Physical traces juga dapat digunakan sebagai analilis pada rancangan suatu lingkungan dan menilai apakah lingkungan tersebut sudah berfungsi secara efektif (Utami, 2003).

2.2. Ruang Terbuka Publik

2.2.1. Pengertian Ruang Terbuka Publik

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/ jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.

Ruang terbuka didefinisikan sebagai landscape, hardscape (jalan, trotoar, dan sejenisnya), taman, dan ruang rekreasi diwilayah perkotaan. Unsur-unsur ruang terbuka meliputi taman-taman, ruang hijau perkotaan, pepohonan, bangku, perkebunan, air, pencahayaan, paving, kios, tempat sampah, air mancur, patung,

(11)

jam, dan seterusnya. Pedestrian, tanda-tanda, dan fasilitas yang juga mungkin dianggap sebagai elemen ruang terbuka yang dibahas secara terpisah (Shirvani, 1985). Ketersediaan ruang terbuka kota sangat penting dalam perencanaan kota (Darmawan, 2007).

Menurut Hakim (1991), ruang terbuka pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung kegiatan aktivitas tertentu dari warga lingkungan tersebut baik secara individu atau secara kelompok. Bentuk daripada ruang terbuka ini sangat tergantung pada pola susunan massa bangunan.

Secara garis besar, Krier (1979) dalam Deazaskia (2008) mengklasifikasikan ruang terbuka menjadi dua jenis:

1. ruang terbuka yang bentuknya memanjang (koridor) yang pada umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, misalnya bentuk ruang terbuka pada jalan.

2. ruang terbuka dengan bentuk bulat yang pada umumnya mempunyai batasan di sekelilingnya, misalnya ruang rekreasi dan lapangan upacara.

Menurut Urban Land Institute dalam Deazaskia (2008) pengertian umum ruang publik adalah ruang-ruang yang berorientasi manusia (people oriented speces). Ruang publik adalah suatu tempat atau ruang yang terbentuk karena adanya kebutuhan manusia akan tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi.

Carr (1992) dalam Niniek (2005), mendefinisikan ruang publik sebagai suatu area atau tempat yang mencerminkan pola kehidupan bermasyarakat. Ruang publik merupakan ruang yang dinamis dan diperlukan masyarakat sebagai

(12)

penyeimbang rutinitas kerja dan kehidupan di rumah, ruang pergerakan, pusat komunikasi, dan taman bermain dan relaksasi.

Peranan ruang publik sebagai salah satu elemen kota dapat memberikan karakter tersendiri, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya (Darmawan, 2007)

Menurut Rapuano (1994) dalam Suwandy (2015), ruang terbuka publik merupakan lahan yang tidak terbangun dengan penggunaan tertentu, ruang terbuka publik tidak ditempati oleh bangunan dan dapat dirasakan apabila mempunyai pembatas di sekitarnya. Ruang terbuka mempunyai fungsi dan kualitas yang terlihat dari komposisinya.

Sedangkan menurut Trancik (1986) dalam Suwandy (2015), ruang terbuka publik lebih ditekankan ke bentuk lorong linear yang berbentuk jalan menerus dengan elemen-elemen disepanjang jalan. Ruang terbuka tersebut berbentuk koridor dan berfungsi untuk sirkulasi yang menghubungkan dua atau lebih fungsi.

2.2.2. Fungsi Ruang Terbuka Publik

Menurut Hakim (1987) fungsi ruang terbuka publik antara lain:

1. fungsi umum, yaitu ruang terbuka sebagai tempat bersantai, bermain, berolahraga, sebagai pembatas atau jarak bangunan, sebagai sarana penghubung antar tempat, sebagai ruang terbuka untuk mendapat udara segar, sebagai tempat komunikasi sosial, tempat peralihan atau menunggu.

(13)

2. fungsi ekologis, yaitu ruang terbuka sebagai tempat penyerapan air hujan, penyegaran udara, tempat untuk memelihara ekosistem, pengendali banjir dan penghalus arsitektur pada bangunan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Ardiyanto (1998) dalam Kartika (2004), secara berurutan ruang terbuka publik tingkatan dan fungsinya terdiri atas:

1. pocket park, merupakan sebuah taman yang dikelilingi oleh sekelompok bangunan, dinikmati oleh penghuni lingkungan disekitarnya.

2. play-lot, merupakan ruang publik yang menghubungkan beberapa kelompok lingkungan, berfungsi untuk menampung kegiatan-kegiatan yang melibatkan penghuni dari blok lain.

3. play ground, merupakan ruang publik yang berfungsi sebagai tempat bermain, dengan fasilitas yang lebih lengkap dan sebagai pusat rekreasi bagi penghuni kawasan.

4. urban park, merupakan ruang publik yang terletak pada pusat kota, yang berfungsi untuk aktivitas-aktivitas yang melibatkan warga kota, dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai kawasan, baik di dalam kota yang sama maupun yang berasal dari kota lain.

2.2.3. Ragam Jenis Ruang Terbuka

Undang-undang Penataan Ruang mengatur ruang terbuka, yang terdiri atas ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau. Ruang terbuka hijau merupakan area memanjang/ jalur dan/ atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah

(14)

maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau dapat berupa ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.

Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, antara lain berupa taman kota, taman pemakaman umum dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, serta pantai.

Ruang terbuka hijau privat merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh swasta/ masyarakat, antara lain berupa kebun atau halaman rumah/ gedung milik masyarakat/ swasta yang ditanami tumbuhan. Menurut Peraturan Menteri PU no.12 tahun 2009 ruang terbuka privat terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH):

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/ jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Menteri PU no.12 tahun 2009).

Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) adalah ruang terbuka di bagian wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras atau yang berupa badan air, maupun kondisi permukaan tertentu yang tidak dapat ditumbuhi tanaman atau berpori (Peraturan Menteri PU no.12 tahun 2009).

(15)

2.3. Peraturan Ruang Terbuka Publik

Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Sedangkan ruang terbuka hijau privat merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki oleh masyarakat antara lain adalah kebun atau halaman rumah/ gedung milik masyarakat/ swasta yang ditanami tumbuhan.

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, khususnya pada pasal 29 ayat (2) mengamanatkan bahwa proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas bangunan gedung miliknya.

Ayat (3) menyebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat. Jika proporsi tersebut dibandingkan dengan luas wilayah Kota Medan

(16)

sebesar 26.510 Ha, maka idealnya luas ruang terbuka hijau yang harus ada di Kota Medan adalah sekitar 7.953 Ha.

2.4. Pemetaan Perilaku pada Ruang Terbuka Publik

Sebuah arsitektur dibangun untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dan sebaliknya, dari arsitektur tersebut muncul kebutuhan manusia yang baru kembali. Hal ini pernah dikemukakan oleh Winston Churchill (Hadinugroho, 2002):

We shape our buildings; then they shape us” – Winston Churchill (1943)

Hadinugroho (2002) menyimpulkan dari pernyataan Churchill (1943) diatas bahwa manusia membangun suatu bangunan sebagai kebutuhan, yang kemudian bangunan itu akan membentuk perilaku penghuni. Bangunan tersebut akan mempengaruhi cara manusia berinteraksi sosial dan mempelajari nilai-nilai dalam hidup. Hal ini menyangkut kestabilan hubungan antara arsitektur dan sosial dimana kedua hal tersebut hidup berdampingan dalam keselarasan lingkungan.

Rapoport (1997) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mengatakan bahwa seting merupakan suatu interaksi antara manusia dan lingkungannya. Seting mencakup lingkungan tempat komunitas berada (tanah, air, ruangan, udara, hawa, pemandangan) dan makhluk hidup yang ada (hewan, tumbuhan, manusia).

Manusia memikirkan lingkungan sebelum mereka membangunnya. Alam pikiran untuk menata ruang, waktu, kegiatan, status, peranan, dan perilaku. Namun terdapat sesuatu yang berharga jika memberikan penampilan fisik pada suatu gagasan. Mengkiaskan gagasan dapat memberi bantuan ingatan yang

(17)

bermanfaat, gagasan membantu perilaku dengan mengingatkan manusia tentang bagaimana mereka bertindak, bagaimana berperilaku, dan apa yang diharapkan dari mereka. Penting untuk ditekankan bahwa s

merupakan satu cara untuk menata dunia dengan membuat sistem tatanan yang dapat dilihat. Manusia hidup dalam waktu. Hal ini dapat bersifat temporal dan dapat dianggap sebagai pengaturan waktu atau yang mencerminkan dan mempengaruhi perilaku dalam waktu (Rapoport, 1977).

Menurut Sarwono (1992), ada dua jenis lingkungan antara manusia dengan kondisi fisik lingkungannya. Jenis pertama adalah lingkungan yang sudah akrab dengan manusia yang bersangkutan. Untuk manusia, lingkungan yang sudah diakrabinya ini memberi peluang lebih besar untuk tercapainya keadaan homeostasis (keseimbangan). Dengan demikian, lingkungan jenis ini cenderung dipertahankan atau kalau seseorang mau melakukan sesuatu ia cenderung mencari lingkungan yang akrab ini. Jenis kedua adalah lingkungan yang masih asing, kemungkinan timbulnya stress lebih besar. Manusia terpaksa melakukan penyesuaian diri dan proses penyesuain diri ini pun bisa menambah besarnya stress.

Haryadi dan Setiawan (2010) mengatakan bahwa teknik pemetaan perilaku akan didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai suatu fenomena (terutama perilaku individu dan sekelompok manusia) yang terkait dengan sistem spasialnya. Dengan kata lain pemetaan perilaku secara spesifik berhubungan dengan perilaku manusia di lingkungannya. Berdasarkan Ittelson, pemetaan

(18)

perilaku, secara umum, akan mengikuti prosedur yang terdiri dari lima unsur dasar yakni:

1. sketsa dasar area atau seting yang akan diobservasi

2. definisi yang jelas tentang bentuk-bentuk perilaku yang akan diamati, dihitung, dideskripsikan dan didiagramkan

3. satu rencana waktu yang jelas pada saat kapan pengamatan akan dilakukan 4. prosedur sistematis yang jelas harus diikuti selama observasi

5. serta sistem coding yang efisien untuk lebih mengefisienkan pekerjaan selama observasi

Haryadi dan Setiawan (2010) juga membagi jenis-jenis perilaku yang biasa dipetakan antara lain meliputi: pola perjalanan (trip pattern), migrasi (migration), perilaku konsumtif (consumptive behavior), kegiatan rumah tangga (households activities), hubungan ketetanggaan (neighbouring) serta penggunaan berbagai fasilitas publik (misalnya: pedestrian, lapangan terbuka dan lain-lain). Terdapat dua cara untuk melakukan pemetaan perilaku yakni:

1. pemetaan berdasarkan tempat (place-centered mapping)

Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau sekelompok manusia memanfaatkan, menggunakan, atau mengakomodasikan perilakunya dalam suatu situasi waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik ini adalah satu tempat yang spesifik, baik kecil maupun besar.

(19)

2. pemetaan berdasarkan pelaku (person-centered mapping)

Berbeda dengan teknik placed-centered mapping, teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan tidak hanya satu tempat atau lokasi akan tetapi dengan beberapa tempat atau lokasi. Apabila placed-centered mapping Peneliti berhadapan dengan banyak manusia, pada person-centered mapping peneliti berhadapan dengan seseorang yang khusus diamati.

2.5. Diagram Kepustakaan

Perilaku Manusia di Ruang Terbuka Publik

Perilaku

Haryadi dan B. Setiawan (2010), Laurens (2004), Rapoport

(1977), Lang (1987),

Ruang Terbuka Publik Shirvani (1985), Darmawan (2007), Hakim (1991), Krier (1979) Seting Perilaku: Haryadi dan B. Setiawan (2010) Physical Traces: Zeisel (1980), Utami (2003)

Physical Traces di Ruang Terbuka Publik: Zeisel (1980), Utami (2003)

(20)

2.6. Studi Kasus Sejenis

2.6.1. Children Physical Traces in Open Space (Studi Kasus: Taman Ahmad Yani, Medan) (Wahyu Utami), 2003

Taman Ahmad Yani adalah salah satu ruang terbuka publik yang terdapat di kota Medan. Taman ini menjadi tempat bermain anak-anak dan rekreasi. Terdapat empat zona pada taman ini. Dua zona menjadi bagian untuk rekreasi yang menyediakan beberapa tempat duduk, lampu taman, pohon-pohon, dan jalur jalan yang melingkar. Pada zona ini tidak terdapat fasilitas bermain untuk anak-anak. Dua zona lainnya adalah tempat bermain anak-anak seperti jungkat-jungkit, ayunan, panjatan besi dan tempat untuk anak-anak beristirahat atau hanya sekedar duduk dan mengobrol dengan teman-temannya (selain untuk anak-anak, zona ini juga menyediakan fasilitas untuk orang tua yang menemani anaknya).

Rapoport (1977) dalam Utami (2003) mengatakan bahwa aspek signifikan dalam proses desain dan interaksi dialektik bergantung pada hubungan antara manusia dan lingkungan yang menjadi proses interaksi individual manusia dalam konsep seting.

Zeisel (1980) dalam Utami (2003) mengatakan bahwa jejak adalah sesuatu yang ditinggalkan secara tidak sadar oleh manusia atau secara sadar jejak justru dapat mengubah perilaku manusia terhadap lingkungannya. Disisi lain Zeisel (1980) dalam Utami (2003) juga mengatakan bahwa pengamatan jejak dapat menjadi alat penelitian yang sangat berguna yang dapat menghasilkan data awal dari suatu proyek, uji hipotesis di pertengahan dan menjadi sebuah ide dan konsep baru diakhir penelitian. Akumulatif dari kegiatan pengguna dapat menjadi acuan

(21)

dalam perbaikan taman. Setelah mengamati semua anak-anak yang bermain di taman, terdapat 10 jalur yang sering digunakan.

Physical Traces dilihat dari kegiatan anak-anak melalui jalurnya, misalnya kerusakan pintu gerbang akibat anak-anak yang melompatinya atau merusaknya sebagai akses masuk yang lebih mudah, kerusakan rumput yang disebabkan oleh anak-anak yang selalu menginjak atau duduk, rusaknya tanah karena anak-anak yang suka menggunakannya sebagai tempat bermain yang nyaman, kerusakan pohon yang dilakukan anak-anak sebagai kemudahan mereka dalam bermain. Disekeliling permainan terdapat beberapa jalur untuk bermain yang sering digunakan. Jika kita ada melihat kerusakan rumput disekeliling permainan maka itu menunjukkan bahwa permainan tersebut sering digunakan. Sehingga terdapat jalur-jalur baru sebagai akses menuju permainan lainnya atau zona yang lain.

2.6.2. Faktor Penentu Setting Fisik Dalam Beraktivitas di Ruang Terbuka Publik (Studi Kasus Alun-alun Merdeka Kota Malang) (Muhammad Satya Adhitama), 2013

Fenomena yang terjadi pada kondisi alun – alun yang ada saat ini lebih berfungsi sebagai ruang terbuka hijau tempat resapan air di tengah kota meski terdapat ruang publik di dalamnya akan tetapi pemanfaatan kurang direspon oleh Malang sebagai tempat beraktivitas di pusat kota sehingga perlu mendapat perhatian bagaimana penataan setingfisik alun – alun yang dapat berfungsi sebagai ruang terbuka hijau sekaligus dimanfaatkan untuk mewadahi aktivitas publik. Hal ini menarik untuk dikaji, faktor setingfisik apa yang mempengaruhi

(22)

kenyamanan masyarakat Kota Malang dalam memanfaatkan dan beraktivitas di alun – alun Merdeka Kota Malang agar pemanfaatannya sebagai satu – satunya ruang terbuka publik di pusat kota dapat optimal.

Alun – alun penting keberadaannya untuk aktivitas sosial masyarakat karena saat ini semakin sedikitnya ruang terbuka publik di pusat – pusat kota, keberadaan alun – alun sebagai ruang terbuka publik dapat menjadi nafas dan bagian penting dari sebuah kehidupan kota ke depannya.

Behavior setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dan kriteria berikut, menurut Barker (1968) dalam Joyce (2005) dalam Adhitama (2013) :

1. terdapat suatu aktivitas yang berulang berupa suatu pola perilaku 2. dengan tata lingkungan tertentu

3. membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya 4. dilakukan pada periode waktu tertentu.

Setiap pelaku kegiatan akan menempati setting yang berbeda, sesuai dengan karakter kegiatannya. Batas behavior setting dapat berupa batas fisik, batas administrasi atau batas simbolik. Penentuan jenis batas ini tergantung dari pemisahan yang dibutuhkan antara beberapa behavior setting.

(23)

Berikut adalah tabel penelitian sejenis yang sudah pernah dilakukan (Tabel 2.1). Judul, Tahun, Wilayah, Nama Peneliti Tujuan Penelitian Metode Penelitian dan Pendekatan Teknik Analisis dan Bahan Penelitian Hasil Penelitian Children Physical Traces in Open Space (Studi Kasus: Taman Ahmad Yani, Medan), 2003, Medan, Wahyu Utami Untuk mengetahui dan menganalisa jejak fisik yang dihasilkan dari adanya aktivitas anak di ruang terbuka . Metode rasionalistik deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik observasi dengan pengamatan langsung. Menghidupkan kembali semua zona yang tersedia sesuai dengan kegiatan dan aktivitas anak di ruang terbuka. Studi Perilaku Pengguna Ruang Terbuka Publik Tepi Sungai Di Pusat Kota :: Studi Kasus Kawasan Alun-Alun Kapuas, Pontianak, 2005, Yogyakarta, Rodi dan Yupensius Melihat gambaran kondisi eksisting ruang terbuka publik yang berperan terhadap aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh pengguna ruang, serta mengidentifikasi perilaku manusia yang menghasilkan interaksi dari kebutuhan dan komponen-Metode rasionalistik dengan pendekatan kualitatif. Teknik observasi melalui pengamatan langsung selama 24 jam dengan membuat form time budget. Mengenai kelompok pengguna, jenis aktivitas/kegiata n dan masalah yang diakibatkan oleh interaksi antara manusia dengan seting fisiknya, serta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pemanfaatan ruang terbuka

(24)

pada ruang terbuka. ditinjau/ditindak lanjuti sebagai arahan desain. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Pada Kawasan Pusat Kota Ditinjau Dari Teori Hubungan Perilaku Dan Lingkungan Pada Ruang Terbuka Imam Bonjol Padang, 2003, Yogyakarta, Hariswan Merumuskan arahan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pengambil keputusan dalam mengembangkan ruang terbuka pada kawasan pusat kota, dengan kasus ruang terbuka Imam Bonjol – Padang. Metoda rasionalistik dengan pendekatan kualitatif. Teknik observasi dengan mengamati perubahan pemanfaatan ruang terbuka selama 18 jam. Mengenai kelompok pengguna ruang terbuka, antara lain pengguna yang sekadar lewat, pengguna yang dengan tujuan komsumtif, pengguna yang ingin memperoleh keuntungan, pengguna dengan kegiatan formal serta pengguna dengan kepentingan istirahat. Studi Aktivitas di Taman Sekitar Gedung Biro Pusat Administrasi Universitas Sumatera Utara, Mengidentifikasi-kan aktivitas apa saja yang terjadi dan melihat pola pergerakan aktivitas pengunjung di Metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik observasi dengan pengamatan langsung di lapangan dan penyebaran Elemen lansekap di taman sekitar Gedung Biro Pusat Administrasi Universitas

(25)

2015, Medan, Remi Afriani Harahap taman sekitar Gedung Biro Pusat Administrasi Universitas Sumatera Utara dan untuk mengetahui aktivitas apa yang dominan terjadi di taman sekitar Gedung Biro Pusat Administrasi Universitas Sumatera Utara. kuesioner kepada pengunjung taman sekitar Gedung Biro Pusat Administrasi Sumatera Utara Sumatera Utara cukup baik dengan beragam jenis aktivitas. Aktivitas yang paling mayotritas terjadi adalah bersantai, duduk-duduk, ataupun sekedar menikmati suasana taman dengan waktu paling tinggi pada sore hari di hari kerja maupun akhir pekan. Fasilitas-fasilitas seperti tong sampah dan keberadaan vegetasi masih kurang serta dibutuhkan petugas kebersihan untuk mengatasi masalah sampah.

(26)

Berikut adalah tabel penelitian dengan studi kasus Lapangan Merdeka (Tabel 2.2) Judul, Tahun, Wilayah, Nama Peneliti Tujuan Penelitian Metode Penelitian dan Pendekatan Teknik Analisis dan Bahan Penelitian Hasil Penelitian Efektivitas Ruang Pejalan Kaki Di Kawasan Lapangan Merdeka Medan, 2013, Yogyakarta, Afriliani Tri Lestari Untuk mengukur efektivitas ruang pejalan kaki yang dilihat dari tiga aspek yaitu aktivitas pemanfaatan ruang pejalan kaki, tingkat pelayanan jalur pejalan kaki dan tingkat kesesuaian pejalan kaki terhadap atribut ruang pejalan kaki. Metode deduktif kualitatif dengan perhitungan kuantitatif. Teknik observasi lapangan dan penyebaran kuesioner, dimana kuesioner diberikan pada pengguna jalur pejalan kaki yang melintas di lokasi penelitian ini. Efektivitas ruang pejalan kaki belum efektif, karena belum memenuhi ketiga aspek. Aspek tingkat pelayanan jalur pejalan kaki sudah sesuai standar tetapi belum memenuhi kriteria, sementara dua aspek lainnya seperti aktivitas pemanfaatan ruang pejalan kaki masih belum sesuai pedoman dan tingkat

(27)

kesesuaian pejalan kaki terhadap atribut ruang pejalan kaki menyatakan bahwa tingkat harapan pejalan kaki lebih tinggi daripada kepuasan pejalan kaki. Kajian Aksesibilitas Difabel Pada Ruang Publik Kota (Studi Kasus: Lapangan Merdeka), 2008, Hendra Arif K. H Lubis Mengidentifikasi dan mengevaluasi keadaan eksisting sarana aksesibilitas di kawasan Lapangan Merdeka, sebagai bentuk sosialisasi pentingnya memfasilitasi sarana aksesibilitas kaum difabel pada ruang publik kota dan sebagai usaha menuju Metoda kuantitatif dengan metoda survey dan membagikan kuesioner kepada responden dalam jumlah tertentu dan metoda kualitatif dengan metoda wawancara. Teknik observasi dengan penyebaran kuesioner kepada kaum difabel dan studi banding. Kawasan Lapangan Merdeka belum aksesibel untuk diakses oleh kaum difabel karna hanya 5 dari 25 elemen aksesibilitas yang dapat diakses oleh kaum difabel.

(28)

hukum (advokasi) yang

memungkinkan adanya aturan yang baku tentang aksesibilitas kaum difabel pada sarana aksesibilitas umum ruang publik kota.

Gambar

Gambar 2.1. Personal Space Dan Teritorial
Tabel 2.2 Studi kasus Lapangan Merdeka

Referensi

Dokumen terkait

Kita sebaiknya melihat dahulu apa tujuan auditor melakukan proses audit, bukankah tujuan auditor melakukan proses audit adalah untuk menyatakan pendapatnya

Dunia seni pertunjukan adalah dunia yang identik dengan praktis dan keilmuwan seni, tanpa ditunjang dengan bekal mata kuliaah umum lain, maka akan melahirkan individu yang hanya

Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS ANAK MURTAD (Studi Kasus Pembagian Waris Keluarga Alm. Bapak Salim di Dusun Pendem Kecamatan

Beberapa jenis fitoplankton telah digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh logam berat terhadap pertumbuhan fitoplankton, dan salah satu jenis fitoplankton yang

Kesimpulan penelitian adalah (1) pengembangan bahan ajar modul matematika materi Statistika dan Peluang dapat diterapkan dalam penelitian, (2) Modul efektif digunakan

Bahan baku untuk pembuatan deterjen bubuk terdiri dari beberapa jenis, yaitu bahan aktif, bahan pengisi, bahan penunjang, bahan tambahan, bahan pewangi dan antifoam.. Pada

Dari sisi pengeluaran, pada Triwulan II-2017, pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen konsumsi LNPRT yang tumbuh sebesar 7,41 persen, kemudian diikuti oleh