• Tidak ada hasil yang ditemukan

qasd (adanya kehendak). Dengan demikian seorang yang mabuk dan hilang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "qasd (adanya kehendak). Dengan demikian seorang yang mabuk dan hilang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

85

BAB IV

ANALISIS SADD AL-DHARI@’AH TERHADAP QAWL QADI@M SHA@FI’I@YAH TENTANG TALAK DALAM

KEADAAN MABUK

A. Pendapat Sha@fi’i@yah tentang Talak dalam Keadaan Mabuk

Di antara rukun dan syarat sahnya talak adalah orang yang berakal dan qasd (adanya kehendak). Dengan demikian seorang yang mabuk dan hilang akalnya tidak termasuk orang yang bisa menjatuhkan talak, dikarenakan ia tidak menyadari apa yang telah ia lakukan dan tidak ada niat untuk melakukanya. Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama madhab, apakah talaknya jatuh atau tidak. Hal ini disebabkan adanya

pemahaman yang berbeda terhadap nas{ yang ada. Salah satunya madhab

Sha@fi’i@.

Ulama Sha@fi’i@yah berbeda pendapat tentang kriteria pemabuk. Imam Sha@fi’i@ menjelaskan, ukuran mabuk adalah ngigau, tidak runtut apa yang diucapkan, dan membuka rahasia yang seharusnya tertutup. Sedangkan Muzani@ mengatakan yaitu jika seseorang tidak bisa membedakan antara langit dan bumi dan antara isteri dan ibunya. Sebagian ulama mengembalikan masalah ini

kepada ‘Urf (kebiasaan) masyarakat setempat, yaitu ketika pemabuk dalam

(2)

86

Secara garis besar talak dalam keadaan mabuk ada dua macam menurut Sha@fi’i@yah yaitu mabuk disebabkan barang yang dibolehkan dan mabuk disebabkan barang yang haram. Mabuk disebabkan barang yang dibolehkan menurut jumhur bersama Sha@fi’i@yah tidak jatuh talaknya, seperti mabuk karena daru@rat, terpaksa, minum obat bius dan sebagainya, sekalipun tidak ada hajat menurut Hana@bilah. Hal ini dikarenakan ia tidak menikmati dan bukan kehendak dirinya, ini disamakan dengan orang yang tidur.

Yahya@ bin Abi@ al-Khair, salah satu ulama Sha@fi’i@yah mengatakan bahwa

jika ia meminum minuman selain khama@r, nabi@dh dan obat lalu mabuk, akan

tetapi minumnya karena ada hajat maka hukumnya disamakan dengan orang gila. Adapun mabuk disebabkan barang yang haram terdapat dua pendapat menurut Sha@fi’i@yah. Sebagian ulama Sha@fi’i@yah mengatakan talaknya tidak sah, sebagian lagi mengatakan sah.

Ulama yang mengatakan tidak sah talak dalam keadaan mabuk sebab barang haram di antaranya Imam Muzani@ mengutip salah satu pendapat Imam

Sha@fi’i@ dari qawl qadi@mnya, Rabi@’ah, al-Laith dan Abu@ Thawr. Hal ini

dikarenakan mabuk disamakan dengan orang tidur, gila dan talak dalam keadaan terpaksa. Oleh karea itu, talaknya sia-sia dan tidak diterima. Pemabuk tidak berakal, sedangkan akal menjadi sebagian syarat bagi perlakuan seseorang, serta pemabuk tidak paham, dan tidak mempunyai tujuan yang benar.

(3)

87

Ulama Sha@fi’i@yah bersama Ibn Qayyi@m al-Zawji@yah mengatakan tidak jatuh talak dalam keadaan mabuk berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surah an-Nisa@’ ayat 43 sebagai berikut:

           

Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan‛

Perkataan mabuk tidak diperhitungkan karena ia tidak mengetahui apa

yang ia katakan. Orang yang mabuk juga dikatakan tidak mukallaf, karena

syarat orang mukallaf adalah berakal dan paham terhadap apa yang

dikhitabkan kepadanya. Oleh karena itu talaknya tidak diterima.

Alasan mengapa talak orang yang mabuk sebab haram tidak diterima, seperti yang telah disebutkan Imam Sawka@ni bahwa mabuk tidak berakal, tidak ada talak baginya karena tidak ada hubungan pada putaran hukum. Allah SWT telah menentukan hukuman baginya dan kita tidak bisa kami melewatinya dengan pendapat saja dan mengatakan jatuh talaknya sebagai hukuman, kemudian terkumpul dua sanksi hukuman. Dengan demikian perempuan yang ditalak suaminya dalam keadaan mabuk hanya dijatuhi hukuman dera dan tidak jatuh talaknya.

Pendapat ulama Sha@fi’i@yah didukung oleh Ibn Qayyi@m mengatakan dalam

(4)

88

Hal ini berdasarkan perkataan ‘Uthma@n bin ‘Affa@n dan Ibnu ‘Abba@s, dan tidak ada sahabat lain yang membantah pendapat mereka. Sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Imam Bukha@ri dalam kitab shahi@hnya bahwa ‘Uthma@n bin

‘Affa@n berkata:

Artinya : ‚Tidak jatuh talak orang gila dan pemabuk‛

Artinya : ‚ Talak pemabuk dan orang yang terpaksa tidak jatuh‛

Talak dalam keadaan mabuk disebabkan barang haram jatuh disebabkan hilang akal sama halnya dengan orang gila, tidur, tidak ada maksud, dan

terpaksa. Hal ini dikarenakan akal adalah syarat seorang mukallaf untuk

melakukan Khita@b baik perintah atau larangan, tidak bisa diambil patokan jika dia tidak bisa memahaminya dan tidak ada bedanya antara dia melakukan maksiat atau tidak, seperti seorang yang melukai kakinya lalu ia diperbolehkan shalat berduduk. Pendapat tersebut berdasarkan pendapat Ibnu Quda@mah.

Selain itu, terdapat khabar yang s{ah{ih dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi@z

menyebutkan ‚bahwa ia didatangi seorang pemabuk yang telah mencerai isterinya, kemudian ia dituntut sumpah demi Allah tidak ada Tuhan selain Dia, bahwa ia telah menalak isteri, sedangkan ia dalam keadaan tidak berakal. Ia pun bersumpah, maka isterinya dikembalikan kepadanya dan ia dihukum dera.‛

(5)

89

Hal ini berdasarkan pendapat Yahya@ bin Sa’i@d Ans{a@ri, Humaid bin ‘Abd al-Rahma@n, Rabi@’ah dan lain sebagainya.

Sedangkan ulama yang mengatakan sah talak dalam keadaan mabuk sebab barang haram yaitu mayoritas mazhab Sha@fi’i@ dalam Qawl Jadi@d. Imam Sha@fi’i@ mengatakan jatuh talak dalam keadaan mabuk karena ia sendiri yang menjadikan penyebabnya, yakni memasukkan barang haram yang merusak akal

dengan sengaja. Imam Sha@fi’i@ berhujjah dengan hadith Nabi SAW yang

diriwayatkan dari ‘Ali dan ’Umar oleh Ahmad dan Abu@ Dau@d yang berbunyi:

Artinya: ‚Diangkat hukum dari tiga golongan: orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia dewasa dan dari orang gila sampai ia

sembuh.‛1

Menurutnya, pemabuk dengan mereka tidak semakna dan ia wajib mengqad{a shalat, puasa dan lain-lain. Dan tidak terangkat pena darinya. Inilah menurut mutti yang ia temui. Pendapat di atas disepakati antara Sha@fi’i@yah

dan mayoritas fuqaha@’, yakni jatuhnya talak dalam keadaan mabuk,

berdasarkan khabar yang diriwayatkan dari Ali berkata: Engkau melihat jika ia mabuk ngacau bicaranya dan jika seorang ngacau. Ia beerdusta dan hukuman orang berdusta 80 kali dera.

(6)

90

Pemabuk disamakan dengan orang yang pelupa karena mabuknya berasal dari dirinya sendiri dan dan dituduh karena kefasikannya. Dengan demikian talak jatuh sebagai hukuman pemberat baginya karena kemaksiatan yang dilakukannya. Ketika mabuknya sebab maksiat, maka menggugurkan hukumannya, seperti orang yang waras dan sadar.

Jumhur bersama ulama Sha@fi’i@yah berpendapat, yang pertama yaitu bahwa pemabuk mukallaf dan wajib kena hukuman, jatuhnya talak sebagai hukuman atas perbuatannya. Mereka membantah pendapat yang mengatakan pemabuk bukan mukallaf, seperti yang disebutkan oleh ulama yang berdalil dalam surah an-Nisa@’ ayat 43 di atas.

Talak dalam keadaan mabuk tidak direalisasikan di Indonesia, namun mabuk bisa dijadikan sebagai alasan perceraian bagi isteri yang akan melakukan khulu’. Hal ini sesuai dengan Pasal 116 KHI (kompilasi hukum Islam) bagian (a) ‚perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan di antaranya salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan‛.

B. Analisis Sadd al-Dhari@’ah terhadap Qawl Qadi@m Sha@fi’i@yah tentang Talak

dalam Keadaan Mabuk

Setelah penulis jelaskan mengenai pendapat Sha@fi’i@yah tentang talak dalam keadaan mabuk yang di dalamnya terbagi dua pandangan yaitu talak

(7)

91

dalam keadaan mabuk sebab haram sah dan tidak sah. Seperti kita ketahui

bahwa khamr bisa menyebabkan seseorang menjadi mabuk dan akan sangat

berbahaya terhadap pribadi seseorang, baik akal, tubuh, agama, maupun dunianya.

Seorang yang meminum khamr juga akan hilang kesadarannya sehingga

ucapannya tidak terkontrol dan pada saat mabuk tersebut ia tidak sadar atas apa yang telah ia lakukan. Mengenai minuman khamr, fuqaha telah sependapat tentang keharamannya, baik sedikit maupun banyak, yakni yang terbuat dari

perasan anggur, khamr disebut ‚khamr‛ tidak lain karena ia menutupi akal

pikiran.

Walaupun mabuk ada manfaatnya di antaranya mengahangatkan tubuh, menghilangkan setres atau sebagainya namun bahaya yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya sebagaimana firman Allah SWT Qur’an Surah al-Baqarah ayat 219:                

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi

manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".2

Pemabuk dilarang mengerjakan shalat sebab ia tidak mengetahui apa yang diucapkan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah an-Nisa@’ ayat

(8)

92

43 yang telah dijelaskan di atas. Sebab turun ayat ini adalah kasus seorang muslim yang mengerjakan shalat padahal ia dalam keadaan mabuk, sehingga ia

mengucapkan : نودبعت ام دبعأ .نورفاكلا اهيأي لق tanpa menyebut kata لا dalam ayat

. لا

نودبعت ام دبعأ Namun dalam hal ini, ia masih dikatakan mukallaf dan wajib mengqad{a shalatnya setelah ia sadar karena hukum masih berlaku baginya.

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, talak jatuh dalam keadaan mabuk sebab barang haram menurut pendapat mayoritas ulama Sha@fi’i@yah dalam qawl jadi@d Imam Shafi’i sedangkan dalam qawl qadi@m Imam Sha@fi’i@ yang dipegang Imam Muzan@i, ‘Abu Thawr, al-Laith, dan Rabi@’ah mengatakan tidak jatuh. Hal ini disebabkan adanya ijtihad yang berbeda antara ulama.

Dalam ijtihad Imam Sha@fi’i@ terdapat keunikan yang khas yaitu qawl qadi@m

dan qawl jadi@dnya yang dibedakan atas masa dan wilayah. Fatwa-fatwanya

selama berada di Baghdad disebut qawl qadi@m dan setelah berdomisili di Mesir

dinamakan qawl jadid. Fatwa qadi@m bercorak ra’yu sedangkan fatwa jadi@d

lebih bercorak hadith.

Talak dalam keadaan mabuk pada qawl qadi@m, harus ditutup/dilarang

karena menimbulkan banyak kerusakan dan aspek mad{ara@t yang akan terjadi di antaranya berakibat buruk bagi pelaku dan isterinya, salah satunya adalah mereka mabuk-mabukan dan sering menjatuhkan talak kepada istrinya serta menggantungkan status isteri. Dengan demikian talaknya tetap sah.

(9)

93

Hal ini sesuai dengan penjelasan ‘Abd al-Qa@dir Ibn Badrah sadd

al-dhari@’ah ialah:

‚Apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang

mengandung kerusakan.‛3

Selain itu mabuk juga telah memenuhi salah satu kriteria perbuatan yang dilarang, yang telah diungkapkan oleh Imam al-Sha@t{ibi@ yaitu:

a. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kemafsadatan.

b. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.

c. Perbuatan yang diperbolehkan shara’ tapi mengandung lebih banyak unsur

kemafsadatannya.

Dalam hal ini, sekalipun mabuk itu ada manfaat atau maslahatnya seperti

yang dijelaskan di atas. Namun, mafsadahnya lebih besar dari manfaatnya.

Seperti firman Allah SWT al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 219 di atas. Hal ini juga sesuai dengan kaidah :

‚Bila bercampur yang halal dengan yang haram yang diperhatikan adalah

haram.‛4

3 Amir Syarifuddin, Us{u@l Fikih, Jilid 2..., 397.

(10)

94

Dengan demikian, fatwa qawl qadi@@m yang mengatakan talak dalam

keadaan mabuk tidak jatuh akan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku serta istrinya.

Menurut al-Qara@fi@, al-dhari@ah adalah wasi@lah (perantara) untuk mencapai

tujuan tertentu, sebagaimana wasi@lah kepada yang haram adalah haram dan

wasi@lah kepada yang wajib adalah wajib. Mabuk adalah perbuatan haram maka jelas akan menimbulkan perbuatan haram pula. Hal ini berlaku kaidah:

‚Apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut juga haram

hukumnya.‛5

Di antara maqasi@d al-shari@’ah (tujuan agama) yaitu h{ifz{ aql (memelihara

akal) salah satu bentuk kebutuhan primer (d{aruriyat). Dalam hal ini, mabuk sengaja menghilangkan akalnya dengan memasukkan barang haram. Dalam

rangka daf’u mudharrah Allah melarang segala usaha yang menyebabkan

kerusakan dan menurunnya fungsi akal, seperti meminum minuman yang

memabukkan.6 Larangan Allah SWT meminum khamr dijelaskan dalam firman

Allah dalam surat al-Ma@’idah ayat 90:

          5 Ibid., 64.

(11)

95

‚Sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berhala dan bertenung adalah

suatu yang keji dari perbuatan setan, oleh karena itu jauhilah‛7

Jika talak dalam kedaan mabuk tidak jatuh, hal ini juga bertentangan

dengan maqa@s{i@d al-shari@’ah yaitu hifz al-nasl (memelihara keturunan). Yang

dimaksud di sini adalah memelihara keturunan dan lembaga keluarga terutama isteri, karena hal ini akan menggantungkan status isetri. Suami mempermainkan isteri dan menyakiti hatinya, bahkan terjadi tekanan batin terhadapnya dengan mengulang-ngulang menjatuhkan talak serta berakibat tidak harmonisnya rumah tangga. Hal ini shara’ melarangnya sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-T{ala@q ayat 6:

  



Artinya: ‚Janganlah kamu memudharatkan mereka (isteri) untuk

menyempitkan (hati) mereka.‛8

Dalam hal ini, fatwa yang mengatakan talak dalam keadaan mabuk tidak jatuh dilarang/dicegah. Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Qayyi@m al-Zawji@yah

bahwa mabuk termasuk dalam kriteria yang pertama yaitu wasi@lah yang

memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan/mafsadah, seperti meminum menuman keras yang menimbulkan mabuk sedang mabuk adalah perbuatan yang mafsadah dan akan menimbulkan berbagai macam kerusakan.

Perbuatan yang ia lakukan memang sengaja, dan hal itu dilarang shara’ dan

7 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: PT. Hati Emas, 2014), 123. 8 Ibid., 559.

(12)

96

harus dicegah bahkan dihilangkan sesuai dengan firman Allah SWT surah al-A’ra@f ayat 56 berikut:

       ...

Artinya: ‚Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah

(Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut.9

Mengenai hadith ‘Uthma@n bin ‘Affa@n berkata:

Artinya : ‚Tidak jatuh talak orang gila dan pemabuk‛ 10

Hadith di sini masih dikatakan umum, karena lafaz{ mengandung dua

arti yaitu mabuk sebab yang haram atas keinginannya sendiri seperti meminum khamr dan mabuk sebab barang yang dibolehkan seperti memakan nabi@dh, meminum obat dan lainnya tanpa adanya unsur kesengajaan. Dengan demikian, hadith ini tidak bisa menjadi patokan sampai ada dalil pengkhususannya. Jika mabuknya bukan atas kehendak dirinya sendiri, jelas hadith ini sesuai dengan tujuan shara’ yaitu tidak jatuh talaknya. Namun jika mabuknya atas kehendak dirinya, dan ia tahu atas akibat yang ditimbulkan

maka dia dihukumi seperti orang mukallaf yang cakap melakukan hukum.

(13)

97

Talak jatuh baginya sebagai pemberat hukuman atas kemaksiatan yang dilakukannya.

Mabuk karena khama@r adalah satu satu dari halangan takli@f yaitu ‘awarid{ al-muktasabah. ‘Awarid{ al-muktasabah adalah halangan yang menimpa seseorang dalam menghadapi beban hukum yang timbulnya dari dirinya sendiri. Berbeda dengan orang gila, lupa, tertidur dan sebagainya yang

termasuk dalam golongan ‘awarid{ al-sama@wiyah yang berasal di luar dirinya

atau berasal dari Allah.11

Mabuk berdosa atas perbuatannya dan dijatuhi hukuman yaitu 40 kali dera. Adapun mengenai hukum yang berlaku terhadap akibat dari perbuatan mabuknya itu terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ada yang mengatakan ia dituntut secara sempurna atas perbuatannya dan sebagian mengatakan akadnya tidak sah. Namun, di sini penulis lebih sepakat dengan ulama yang mengatakan ia dituntut secara sempurna atas perbuatannya. Dalam ini mabuknya itu tidak menggugurkan sama sekali dari beban hukum. Segala tindakan dan ucapannya disamakan dengan orang yang sehat dan dikenai sanksi atas perbuatannya sebagaimana sanksi yang dibebankan atau orang

sehat.12

Akad yang dilakukan orang mabuk ini terlaksana dan seperti talak yang diucapkannya dalam keadaan mabuk jatuh sesuai apa yang diucapkannya,

11 Amir Syarifuddin,Us{ul Fiqh, Jilid 1..., 164. 12 Ibid., 165.

(14)

98

perbuatannya harus dipertanggungjawabkan secara penuh. Ia dihukum atas perbuatannya baik hukuman dera maupun talaknya jatuh sebagai pemberat baginya. Dapat disimpulkan, bahwa tuntutan hukum yang dibebankan kepada orang sehat, juga dibebankan bagi orang mabuk yang melakukannya. Karena mabuk itu bila menjadi sebab untuk suatu kejahatan, berarti ia sudah melakukan sebab yang ia sudah tahu akibatnya. Melakukan sebab secara sadar, berarti ia telah melakukan akibat secara sadar selama sebab itu masih dalam batas-batas ikhtiyarnya. Maksiat yang dilakukan seseorang tidak pantas untuk

dijadikan alasan diberikan keringanan.13

Pemabuk disamakan dengan orang yang pelupa karena mabuknya berasal dari dirinya sendiri dan dan dituduh karena kefasikannya. Dengan demikian talak jatuh sebagai hukuman pemberat baginya karena kemaksiatan yang dilakukannya. Ketika mabuknya sebab maksiat, maka menggugurkan hukumannya, seperti orang yang waras dan sadar. Hal ini senada dengan

pendapat jumhur bersama mayoritas ulama Sha@fi’i@yah yang mengikuti qawl

jadid bahwa pemabuk mukallaf dan wajib kena hukuman, jatuhnya talak sebagai hukuman atas perbuatannya. Mereka membantah pendapat yang

mengatakan pemabuk bukan mukallaf, seperti yang disebutkan oleh ulama

Sha@fi’i@yah dalam Qawl Jadi@d Imam Sha@fi’i@ yang menjadi alasan mabuk

dijatuhkan talaknya di antaranya yaitu:

(15)

99

a. Dalam perkataan Ibnu ‘Abba@s bahwa jika mabuknya hanya ia yang

mengtahui, maka ia dituduh karena kepasikannya, dalam hal ini talaknya jatuh.

b. Talaknya jatuh untuk memberatkan hukuman baginya karena

kemaksiatannya dan ia wajib diberi hukuman dera. Ia tidak pantas mendapat keringanan.

c. Ketika mabuknya disebabkan maksiat, maka ia dihukumi seperti orang

yang sadar. Oleh karena segala perbuatannya dianggap sah, inilah pendapat yang s{ahih. Karena imam Sha@fi’i@ telah menjelaskan hal ini di

dalam pendapatnya, dan menurutnya ini yang paling s{ahih.14

Imam Sha@fi’i@ berpendapat bahwa orang yang meminum khamr dan nabi@dh kemudian ia mabuk, maka talaknya jatuh dan hukuman dijatuhkan sepenuhnya

bahkan dalam fara@’id{, karena tidak gugur maksiat atasnya. Ada yang

berpendapat bahwa karena mabuk tertutup akalnya begitupun orang sakit dan orang gila. Namun orang sakit ia diberi pahala atas penyakitnya serta tidak berlaku hukum baginya jika hilang akalnya, berbeda dengan orang mabuk yang berdosa, ia dihukum dengan tetap berlakunya hukuman baginya. Bagaimana bisa dikiaskan orang yang berdosa dan yang mendapat pahala.

Di sini penulis sepakat dengan pendapat yang mengatakan jatuhnya talak dalam keadaan mabuk. Seperti yang dikatakan oleh mayoritas ulama

(16)

100

khususnya ulama Sha@fi’i@yah yang bermazhab jadi@d di atas yaitu untuk

memberatkan hukuman baginya karena telah menghilangkan akal yang telah dikaruniakan Allah kepadanya dengan sengaja dan atas kehendaknya sendiri.

Hal ini sesuai dengan metode sadd al-dhari@’ah yaitu menutup jalan untuk

terjadinya kerusakan. Dalam hal ini akan menimbulkan kerusakan akal baginya dan ia akan mengulang-ngulang mentalak isterinya seperti yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian kemudharatnnya harus dihilangkan sesuai dengan kaidah fiqh sebagai berikut:

‚Bahaya (kemudharatan) itu harus dihilangkan‛.15

Seperti yang dikatakan oleh Izzaddudin Ibn ‘Abd al-Sala@m bahwa tujuan shariah itu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. apabila diturunkan kepada yang lebih konkrit maka maslahat membawa manfaat

sedangkan mafsadat membawa kemudharatan. Dengan demikian, sudah jelas

mabuk itu akan menimbulkan kemudharatan.

Kaidah di atas sering diungkapkan dengan hadith sebagai berikut:

‚Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudharatkan‛ (HR. Hakim

dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudari, HR. Ibn Majah dari Ibn ‘Abbas)‛.16

(17)

101

Sekalipun talak dalam keadaan mabuk tidak direalisasikan di Indonesia. Karena talak harus disaksikan dan di hadapan Pengadilan. Namun hal ini akan berdampak pada isteri. Tidak hanya ucapan talak yang sering dilakukan bahkan penganiayaan disebabkan suami mabuk. Talak dalam keadaan mabuk bisa dijadikan sebagai alasan perceraian bagi isteri yang akan melakukan khulu’. Hal ini sesuai dengan Pasal 116 KHI (kompilasi hukum Islam) bagian (a) ‚perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan diantaranya salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan‛.

Walaupun sebagian ulama di antaranya Z{a@hiriyah menentang metode sadd dhari@’ah ini, karena hanya berdasarkan ra’yu (pikiran ) ataupun ghalabah al-z{ann (dugaan yang kuat). Namun ulama madhab empat sering mengamalkanya metode ini dalam berijtihad, di antaranya ulama Ma@likiyah dan Hana@bilah yang mayoritas, serta kehujjahan sadd al-dhari@’ah sudah jelas dalam al-Qur’an dan Hadi@th.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan penelitian Nurjanah (2016) media yang paling baik dalam pertumbuhan bibit F0 pada berat 200 g, karena mungkin pada berat 200 g terdapat kandungan

Disini di Perumahan Grha Revata Tulungagung pemberian upah atau gaji masih menggunakan sistem pemberian upah profesionalitas pekerja, jadi sistem ini sering

beberapa alternatif solusi yang dapat ditawarkan adalah sebagai berikut. Pembinaan MGMP/KKG guru di Kecamatan Tamansari, yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan

AHP Result – Alternatif Strategi Memperbaiki Kualitas Lemdiklat MSDM yang Selaras denganStandar Kompetensi MSDM (0.211) Memperbanyak Jumlah Lemdiklat di Daerah-daerah dan

Diameter lumen arteri koroner kelompok tikus putih yang diberi pakan lemak tinggi + chitosan setelah satu bulan perlakuan (KIV) lebih kecil dibandingkan kelompok III.. Hal

17.00, pada misa sore, telah diteguhkan juga melalui Upacara Inisiasi Tahap II, dari Katekumen menjadi Calon Baptis sebanyak 18 (delapan belas) orang yang akan dibaptis

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah yang menjadi persoalan utama dan akan di bahas lebih lanjut dalam penelitian ini ialah bagaimana analisis