• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Hematologis pada Kehamilan

Adaptasi anatomis, fisiologis, dan biokimiawi terhadap kehamilan sangat besar. Banyak dari perubahan-perubahan tersebut segera terjadi setelah fertilisasi dan berlanjut selama kehamilan. Sebagian besar adaptasi pada kehamilan terjadi sebagai respons terhadap rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh janin. Salah satu perubahan yang terjadi selama kehamilan adalah perubahan hematologis. Perubahan pada sistem ini berupa peningkatan volume darah ibu, penurunan hemoglobin dan hematokrit, peningkatan kebutuhan besi, perubahan pada leukosit dan sistem imunologis, serta kehilangan darah yang terjadi selama proses kelahiran (Cunningham dkk., 2006).

2.1.1. Volume Darah

Volume darah ibu meningkat secara nyata selama kehamilan. Tingkat ekspansi sangat bervariasi, di mana pada beberapa wanita hanya terjadi peningkatan sedang dan pada wanita lain peningkatan hampir berlipat ganda. Peningkatan volume darah disebabkan oleh meningkatnya plasma dan eritrosit. Peningkatan plasma biasanya lebih banyak daripada eritrosit pada sirkulasi ibu. Menurut Harstad dkk. (1992), peningkatan kadar eritropoietin plasma ibu dan produksi tertinggi eritrosit setelah usia gestasi 20 minggu menyebabkan hiperplasia eritroid sedang dalam sumsum tulang belakang, dan hitung retikulosit sedikit meningkat pada kehamilan normal. Pritchard (1965) menyatakan janin tidak berperan penting dalam hipervolemia, sebab keadaan ini juga

(2)

dapat terjadi pada beberapa wanita dengan mola hidatidosa (Cunningham dkk., 2006).

Pada wanita normal, volume darah saat aterm meningkat kira-kira 40-45% di atas volume saat tidak hamil. Volume darah ibu mulai meningkat pada trimester pertama, bertambah cepat pada trimester kedua, kemudian naik dengan kecepatan yang lebih pelan pada trimester ketiga untuk mencapai kecepatan konstan (kondisi plateau) pada beberapa minggu akhir kehamilan. Peningkatan progresif volume darah terjadi pada minggu ke-6 sampai ke-8, dan mencapai puncak pada minggu ke-32 sampai ke-34. Volume darah akan kembali seperti semula pada 2-6 minggu setelah persalinan (Cunningham dkk., 2006; Sulin, 2009).

Menurut Cunningham dkk. (2006) dan Sulin (2009), hipervolemia yang diinduksi oleh kehamilan mempunyai beberapa fungsi penting sebagai berikut:

1. Untuk memenuhi kebutuhan uterus yang membesar dan sistem vaskuler yang hipertrofi.

2. Untuk melindungi ibu dan janin terhadap efek merusak dari gangguan aliran balik vena pada posisi telentang dan berdiri tegak. 3. Untuk menjaga ibu dari efek samping kehilangan darah selama

persalinan.

2.1.2. Konsentrasi Hemoglobin dan Hematokrit

Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit sedikit menurun selama kehamilan normal walaupun terdapat peningkatan eritropoiesis. Jika dibandingkan dengan peningkatan volume plasma, peningkatan volume eritrosit sirkulasi tidak begitu banyak, sekitar 450 ml atau 33%.

(3)

Akibatnya, viskositas darah secara keseluruhan menurun (Cunningham dkk., 2006).

Konsentrasi hemoglobin tertinggi terdapat pada trimester pertama, mencapai nilai terendah pada trimester kedua, dan mulai meningkat kembali pada trimester ketiga. Konsentrasi hemoglobin rata-rata adalah 12,73 ± 1,14 g/dl pada trimester pertama, 11,41 ± 1,16 g/dl pada trimester kedua, dan 11,67 ± 1,18 g/dl pada trimester ketiga (James dkk., 2008).

Pada sebagian besar wanita, konsentrasi hemoglobin di bawah 11,0 g/dl, terutama di akhir kehamilan, dianggap abnormal dan biasanya lebih berhubungan dengan defisiensi besi daripada hipervolemia gravidarum (Sulin, 2009).

2.1.3. Metabolisme Besi

Peningkatan volume eritrosit dan massa hemoglobin selama kehamilan berhubungan dengan jumlah besi yang tersedia dari cadangan besi dalam tubuh ibu hamil. Rata-rata volume total eritrosit meningkat sekitar 450 ml dalam sirkulasi, di mana dalam 1 ml eritrosit normal terkandung 1,1 mg besi. Dari 1000 mg kebutuhan besi pada kehamilan, sekitar 300 mg ditransfer secara aktif ke janin dan plasenta, serta sekitar 200 mg hilang di sepanjang jalur ekskresi normal. Keadaan ini tetap terjadi walaupun ibu kekurangan zat besi. Bila zat besi tersebut tersedia, 500 mg besi lainnya akan digunakan dalam eritrosit. Akibatnya, semua zat besi akan terpakai selama paruh akhir kehamilan dan dibutuhkan zat besi yang cukup besar selama paruh kedua kehamilan. Pritchard dan Scott (1970) menuliskan kebutuhan zat besi selama paruh kedua kehamilan tersebut sekitar 6-7 mg/hari. Dalam keadaan tidak ada zat besi suplemental, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit turun cukup besar saat volume

(4)

darah ibu bertambah, meskipun absorpsi zat besi dari traktus gastrointestinal tampak meningkat. Pada ibu dengan anemia defisiensi berat, produksi hemoglobin dalam janin tidak akan terganggu. Hal ini disebabkan perolehan besi dari plasenta ibu cukup untuk menghasilkan kadar hemoglobin normal untuk janin (Cunningham dkk., 2006).

2.1.4. Fungsi Leukosit dan Sistem Imunologis

Selama kehamilan, jumlah leukosit akan meningkat sekitar 5.000-12.000/µl. Pada saat kelahiran dan masa nifas, jumlah leukosit mencapai puncak, yaitu antara 14.000-16.000/µl. Distribusi tipe sel juga berubah selama kehamilan. Pada awal kehamilan, aktivitas leukosit alkalin fosfatase dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat. Selain itu, reaktan serum akut dan Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) meningkat akibat dari peningkatan plasma globulin dan fibrinogen. Pada trimester ketiga kehamilan, jumlah granulosit dan limfosit CD8 T meningkat, tetapi limfosit dan monosit CD4 T menurun (Sulin, 2009).

2.1.5. Kehilangan Darah

Pada mayoritas wanita, separuh dari eritrosit yang ditambahkan ke sirkulasi ibu selama masa kehamilan akan hilang saat pelahiran per vaginam normal sampai beberapa hari setelahnya. Kehilangan ini terjadi melalui tempat implantasi plasenta, plasenta, episiotomi atau laserasi, dan lokia. Pritchard (1965) dan Ueland (1976) menyatakan sekitar 500-600 ml darah prapelahiran akan hilang saat kelahiran per vaginam bayi tunggal sampai setelahnya. Sedangkan, sekitar 1000 ml darah hilang pada seksio sesarea dan pelahiran per vaginam bayi kembar (Cunningham dkk., 2006).

(5)

2.2. Anemia pada Kehamilan

2.2.1. Definisi dan Kriteria Anemia

Secara fungsional, anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsi untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia bukan suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi gejala dari berbagai jenis penyakit yang mendasari (Bakta, 2007).

Parameter penurunan jumlah massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, hematokrit, dan hitung retikulosit. Umumnya, ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Kadar hematokrit dan hemoglobin adalah parameter yang paling lazim dipakai (Bakta, 2007).

Umumnya, ibu hamil dinyatakan anemia jika kadar hemoglobin < 11,0 g/dl atau hematokrit < 33% (World Health Organization, 2008; Abdulmuthalib, 2009).

CDC membuat nilai batas hemoglobin dan hematokrit khusus berdasarkan trimester kehamilan (Abdulmuthalib, 2009).

Tabel 2.1. Nilai Batas Anemia Berdasarkan Trimester Kehamilan Status Kehamilan Hemoglobin (g/dl) Hematokrit (%)

Tidak hamil 12,0 36

Kehamilan Trimester I 11,0 33

Kehamilan Trimester II 10,5 32

Kehamilan Trimester III 11,0 33

(6)

2.2.2. Epidemiologi Anemia

Anemia terdapat pada 1,62 juta jiwa di dunia (95% CI: 1,50-1,74 juta), yaitu mencapai 24,8% populasi dunia (95% CI: 22,9-26,7%). Anak-anak yang belum bersekolah, ibu hamil, dan wanita tanpa kehamilan di Asia Tenggara merupakan kelompok yang paling banyak mengalami anemia, sebanyak 315 juta jiwa (95% CI: 291-340 juta). Prevalensi anemia saat kehamilan tahun 1993-2005 mencakup 41,8% populasi penderita anemia di dunia (95% CI: 39,9-43,8%), yaitu sebanyak 56 juta jiwa penduduk dunia (95% CI: 54-59 juta). Lebih dari 80% negara di dunia mengalami masalah kesehatan masyarakat sedang ke berat akibat anemia pada ibu hamil (World Health Organization, 2008).

2.2.3. Etiologi Anemia

Pada dasarnya, anemia dapat disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang belakang, kehilangan darah dari tubuh (perdarahan), ataupun proses penghancuran eritrosit sebelum waktunya (hemolisis). Anemia juga terdapat pada penyakit yang mendasarinya, seperti: infeksi parasit, malaria, keganasan, tuberkulosis, HIV, dan sebagainya (Bakta, 2007; World Health Organization, 2008).

Pada kehamilan, penyebab tersering anemia adalah defisiensi zat-zat nutrisi. Penyebab mendasar anemia nutrisional berupa asupan gizi tidak terpenuhi, absorpsi tidak adekuat, peningkatan kehilangan zat gizi, peningkatan kebutuhan, dan utilisasi nutrisi hemopoietik berkurang. Sekitar 75% anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi. Selain itu, defisiensi asam folat dan vitamin B12 juga merupakan penyebab yang sering ditemui. Walaupun begitu, defisiensi nutrisi juga dapat terjadi multipel dengan infeksi, gizi buruk, ataupun kelainan herediter (Abdulmuthalib, 2009).

(7)

2.2.4. Klasifikasi Anemia

Abdulmuthalib (2009) menuliskan klasifikasi anemia sebagai berikut: 1. Anemia defisiensi besi

Gambaran anemia defisiensi besi berupa eritrosit mikrositik hipokrom, serta ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, saturasi transferin, dan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit.

2. Anemia defisiensi asam folat

Pada kehamilan, defisiensi asam folat dan vitamin B12 merupakan penyebab anemia megaloblastik. Gangguan sintesis DNA juga menyebabkan anemia megaloblastik.

3. Anemia aplastik

Anemia aplastik dapat terjadi berulang pada beberapa kasus kehamilan dan eksaserbasi membaik setelah terminasi kehamilan pada kasus lainnya.

4. Anemia penyakit sel sabit

Selama kehamilan, anemia sel sabit disertai dengan peningkatan insidens pielonefritis, infark pulmonal, pneumonia, perdarahan ante partum, prematuritas, dan kematian janin.

2.2.5. Dampak Anemia pada Kehamilan

Anemia pada kehamilan dapat memberikan dampak yang buruk pada ibu dan janin, antara lain:

(8)

1. Infeksi maternal

Menurut Hooton dkk. (1996), anemia pada kehamilan memperburuk fungsi imunitas dengan mempengaruhi proliferasi limfosit T dan B, yang menyebabkan penurunan aktivitas fagosit, neutrofil, bakterisidal, dan sel NK (Natural Killer). Stamey dkk. (1975) menyatakan indeks stimulasi limfosit mengalami penurunan pada wanita anemia (Lone dkk., 2004).

Amici dkk. (1999) dalam Lone dkk. (2004) menyatakan infeksi maternal selama kehamilan merupakan faktor risiko bayi lahir prematur. Lin dkk. (1998) dan Vandenbosche dkk. (1998) dalam Haram dkk. (2007) menyatakan infeksi maternal menyebabkan 5-10% IUGR (Intrauterine Growth Retardation).

2. Prematuritas

Anemia dapat menyebabkan kelahiran prematur secara langsung ataupun tidak langsung, yang berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi. Kurki dkk. (1992) menyatakan efek langsung anemia berhubungan dengan peningkatan sintesis CRH (Corticotrophin-Releasing Hormone) sebagai akibat dari hipoksia jaringan. Menurut Mikhail dkk. (1995), peningkatan CRH (Corticotrophin-Releasing Hormone) menginduksi stress maternal dan janin, yang merupakan faktor risiko kelahiran prematur dan hipertensi diinduksi kehamilan (Lone dkk., 2004).

3. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

Steer dkk. (1995) dalam Lone dkk. (2004) menuliskan anemia berat (< 8 g/dl) berhubungan dengan penurunan berat lahir bayi, di mana

(9)

lebih rendah 200-400 g daripada ibu hamil dengan kadar hemoglobin lebih tinggi (> 10 g/dl).

Scholl dkk. (1992) dalam Haram dkk. (2007) menyatakan anemia defisiensi besi meningkatkan insidensi BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) sebanyak tiga kali. Lone dkk. (2004) menyatakan defisiensi besi menstimulasi produksi CRH (Corticotrophin-Releasing Hormone).

Menurut Allen (2001) dalam Haram dkk. (2007) CRH (Corticotrophin-Releasing Hormone) janin meningkatkan produksi kortisol dan kerusakan oksidatif pada eritrosit, yang dapat menghambat pertumbuhan janin.

4. Mortalitas

Anemia selama kehamilan meningkatkan risiko mortalitas pada intrauterin dan perinatal. Umumnya, keadaan ini berhubungan dengan prematuritas dan sepsis (Lone dkk., 2004).

2.3. Embriologi Tengkorak

2.3.1. Proses Pembentukan Tengkorak

Menurut Sadler (2000), tengkorak terbagi atas dua bagian, yaitu: 1. Neokranium

Neokranium adalah bagian pembentuk batok pelindung di sekitar otak. Neokranium terdiri atas dua bagian, meliputi:

a. Neokranium membranosa

Neokranium membranosa terdiri atas tulang-tulang pipih yang mengelilingi otak sebagai suatu kubah. Perkembangan atap dan sebagian besar sisi tulang tengkorak berasal dari sel-sel krista

(10)

neuralis, sedangkan daerah oksipital dan bagian posterior rongga mata berasal dari mesoderm paraksial. Kedua sumber ini memiliki mesenkim yang membungkus otak dan mengalami penulangan membranosa. Akibatnya, terbentuk sejumlah tulang pipih membranosa yang ditandai dengan spikula-spikula tulang berbentuk seperti jarum. Spikula menyebar dari pusat penulangan primer ke arah tepi secara progresif.

Pada pertumbuhan masa janin dan setelah kelahiran, tulang membranosa membesar dengan perlekatan lapisan-lapisan baru pada permukaan luar yang diikuti oleh resorpsi osteoklastik dari arah dalam.

b. Neokranium kartilaginosa atau kondrokranium

Neokranium kartilaginosa/kondrokranium merupakan bagian yang membentuk tulang-tulang dasar tengkorak. Awalnya, bagian ini terdiri dari beberapa kartilago yang terpisah-pisah. Kartilago yang terletak di depan batas rostral korda dorsalis dan berakhir setinggi kelenjar hipofisis di tengah sella tursika, berasal dari sel-sel krista neuralis dan membentuk kondrokranium parakordal. Kartilago yang terletak di sebelah posterior batas tersebut berasal dari mesoderm paraksial dan membentuk kondrokranium kordal. Apabila kartilago-kartilago ini menyatu dan mengalami penulangan endokondral, maka terbentuk dasar tengkorak.

Dasar tulang oksipital terbentuk oleh kartilago parakordal dan korpus tiga sklerotom oksipital. Pada bagian rostal lempeng dasar oksipital, terdapat kartilago hipofisis dan trabekula kranii. Kartilago-kartilago ini segera menyatu untuk membentuk korpus

(11)

tulang sfenoid dan ethmoid. Akibatnya, terbentuk suatu lempeng kartilago median yang berjalan dari daerah nasal sampai tepi depan foramen magnum.

Lempeng kartilago median tersebut mengalami sejumlah kondensasi mesenkim di bagian kanan dan kiri. Bagian paling rostral, ala orbitalis, membentuk ala minor tulang sfenoid. Ala minor tulang sfenoid diikuti oleh ala temporalis ke arah kaudal, dan membentuk ala magna tulang sfenoid. Terdapat juga kapsula periotik yang membentuk pars petrosa dan pars mastoidea ossis temporalis. Bagian-bagian ini menyatu dengan lempeng median satu sama lain, kecuali bagian lubang tempat saraf otak meninggalkan tengkorak.

2. Viserokranium

Viserokranium adalah bagian pembentuk kerangka wajah. Mesenkim untuk pembentukan tulang-tulang wajah, termasuk tulang hidung dan tulang mata (os. lakrimalis), berasal dari sel-sel krista neuralis.

Viserokranium terutama dibentuk oleh dua lengkung faring pertama. Salah satu lengkung tersebut membentuk bagian dorsal, yaitu prosesus maksillaris. Prosesus maksillaris berjalan ke depan, di bawah daerah mata, dan membentuk os. maksilaris, os. zigomatikum, dan sebagian os. temporalis. Sedangkan, lengkung lainnya membentuk bagian ventral, yaitu prosesus mandibularis. Bagian ini mengandung kartilago Meckel. Mesenkim di sekitar kartilago Meckel memadat, menghilang, dan mengalami penulangan membranosa sehingga membentuk mandibula. Kartilago Meckel tidak menghilang pada ligamentum sfenomandibularis. Ujung dorsal

(12)

prosesus mandibularis dan lengkung faring kedua membentuk inkus, malleus, dan stapes.

2.3.2. Tengkorak Bayi Baru Lahir

Tengkorak bayi baru lahir memiliki besar kranium yang relatif tidak seimbang dengan wajah, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tulang-tulang tengkorak bersifat licin dan unilaminar. Hampir semua tulang mengalami proses osifikasi yang belum selesai pada saat kelahiran (Snell, 2006).

Pada waktu lahir, tulang-tulang pipih tengkorak dipisahkan satu sama lain oleh sutura. Sutura merupakan perekat tipis dari jaringan ikat, yang berasal dari krista neuralis. Tempat pertemuan lebih dari dua tulang sutura yang lebar dikenal sebagai ubun-ubun (fontanella). Ubun-ubun yang paling tampak adalah ubun-ubun besar (fontanella anterior). Ubun-ubun ini terdapat pada pertemuan dua tulang parietal di belakang dan dua tulang frontalis di depan (Sadler, 2000). Menurut Snell (2006), membran fibrosa membentuk dasar fontanella anterior dan akan digantikan oleh tulang. Pada usia 18 tahun, fontanella anterior akan menutup.

Selain fontanella anterior, terdapat fontanella posterior di antara dua tulang parietal di depan dan tulang oksipitalis di belakang. Pada akhir tahun pertama, fontanella posterior biasanya menutup dan tidak dapat dipalpasi lagi (Snell, 2006).

Sutura dan ubun-ubun memungkinkan tulang-tulang tengkorak saling bertumpang tindih (proses molase) selama kelahiran bayi. Setelah bayi lahir, tulang-tulang membranosa segera bergerak kembali ke posisi asal sehingga tengkorak tampak besar dan bulat. Namun, beberapa sutura dan ubun-ubun tetap tampak seperti membran setelah kelahiran.

(13)

Pertumbuhan tulang-tulang kubah yang berlangsung setelah bayi lahir terutama diakibatkan oleh pertumbuhan otak (Sadler, 2000).

2.4. Pemeriksaan Antropometri Lingkar Kepala

Lingkar kepala diukur secara rutin pada bayi dengan usia kurang dari 2 tahun. Pengukuran rutin dilakukan untuk mengetahui kemungkinan penyebab yang mempengaruhi pertumbuhan otak. Pengukuran lingkar kepala berkala lebih bermakna daripada pengukuran sewaktu (Matondang dkk., 2009).

Menurut Soetjiningsih (1995), lingkar kepala dapat mencerminkan volume intrakranial. Menurut Bhushan dan Paneth (1991) serta Martins dan Lyons-Jones (1994) dalam Miles dkk. (2000), lingkar kepala merupakan indeks yang berperan dalam menilai tumbuh-kembang otak dan inteligensi, serta untuk mengetahui kelainan yang diderita seseorang.

Dalam mendiagnosis, pemeriksaan lingkar kepala harus diikuti dengan memperhatikan gejala-gejala klinis yang menyertai (Soetjiningsih, 1995).

2.4.1. Pertumbuhan Lingkar Kepala Bayi dan Anak

Saat lahir, lingkar kepala bayi sekitar 34-35 cm. Pada 6 bulan pertama kehidupan, terjadi pertumbuhan lingkar kepala terbesar sehingga mencapai 43-45 cm. Ukuran lingkar kepala sekitar 47 cm pada usia 1 tahun dan sekitar 49 cm pada usia 2 tahun. Pada usia 6 tahun, lingkar kepala bertambah sekitar 6 cm dari ukuran lingkar kepala saat usia 2 tahun. Semakin lama, pertambahan ukuran lingkar kepala semakin sedikit. Saat dewasa, ukuran lingkar kepala mencapai 54-55 cm (Soetjiningsih, 1995; Matondang dkk., 2009).

(14)

2.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Lingkar Kepala

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi lingkar kepala bayi dan anak, meliputi:

1. Tumbuh-kembang otak

Pertumbuhan tulang kepala bergantung pada pertumbuhan otak. Apabila otak tidak berkembang dengan normal, maka kepala akan lebih kecil dari normal. Keadaan ini disebut dengan mikrosefal. Mikrosefal merupakan tanda retardasi mental. Namun, apabila terdapat sumbatan pada aliran cairan serebrospinal, maka volume kepala meningkat dan lingkar kepala akan lebih besar dari normal. Keadaan ini disebut dengan makrosefal (Soetjiningsih, 1995; Hidayat, 2009).

2. Faktor maternal

Pada penelitian terhadap BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah), albumin maternal memiliki korelasi positif terhadap lingkar kepala bayi baru lahir. Sebaliknya, berat badan, IMT (Indeks Massa Tubuh), dan fibronektin maternal memiliki korelasi negatif dengan lingkar kepala bayi baru lahir (Mohsen dan Wafay, 2007).

3. Status gizi

Lingkar kepala dipengaruhi oleh status gizi anak sampai pada usia 36 bulan (Matondang dkk., 2009).

2.4.3. Cara Pengukuran Lingkar Kepala

Lingkar kepala diukur dengan menggunakan pita metal fleksibel. Pengukuran tidak menggunakan pita kain karena mudah meregang dan memberi nilai yang salah (Matondang dkk., 2009).

(15)

Pengukuran dilakukan pada lingkar kepala terbesar dengan meletakkan pita melingkari kepala secara kencang, melalui glabela pada dahi, bagian atas alis mata, bagian atas kedua telinga, dan protuberansia oksipitalis. Protuberansia oksipitalis merupakan bagian belakang kepala yang paling menonjol (Matondang dkk., 2009).

2.4.4. Penilaian dan Interpretasi Lingkar Kepala

Menurut Matondang dkk. (2009), penilaian lingkar kepala dilakukan dengan memetakan hasil pengukuran pada grafik lingkar kepala Nellhaus (1968).

Interpretasi lingkar kepala berdasarkan grafik lingkar kepala Nellhaus (1968) adalah:

a. Lingkar kepala < -2 SD menunjukkan mikrosefal. b. Lingkar kepala > +2 SD menunjukkan makrosefal.

(16)

Gambar 1. Grafik Lingkar Kepala Nellhaus pada Anak Laki-Laki Dikutip dari Matondang dkk., 2009

Gambar

Tabel 2.1. Nilai Batas Anemia Berdasarkan Trimester Kehamilan  Status Kehamilan  Hemoglobin (g/dl)  Hematokrit (%)
Gambar 1. Grafik Lingkar Kepala Nellhaus pada Anak Laki-Laki  Dikutip dari Matondang dkk., 2009

Referensi

Dokumen terkait

Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian meliputi identifikasi sejauh mana tingkat kepuasan kerja pegawai dan faktor-faktor pentingldominan apa saja yang menyebabkan kepuasan

Maka masalah yang dihadapi adalah bagaimana menganalisis data mahasiswa periode 2014/2015 di Universitas Siliwangi untuk menentukan pengelompokan UKT dengan menggunakan

Setelah itu data-data yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan metode Regresi Berganda dengan software SPSS 20 yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh

Komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap organizational citizenship behavior ( OCB), semakin kuat komitmen organisasi karyawan maka semakin

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis bagi pemangku keputusan di Perguruan Tinggi dalam merencanakan pengembangan arsitektur sistem informasi

Considering the temperature, rest period ratio, traffic volume, and load- ing time effect on resilient modulus showed that BRA mod- ified asphalt mixtures with 20% BRA modifier

Title : Meaning and Function of Pakkio Bunting in Wedding Ceremony of Makassar Culture (case Study at Bontonompo District of Gowa Regency).. Supervisor I : Abd Muin

Pengelolaan kelas adalah proses pemberdayaan sumber daya baik material element maupun human element yang di lakukan oleh guru untuk mendukung kegiatan belajar mengajar