• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Indeks Eritrosit Kelinci New Zealand White pada Persembuhan Tulang dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Indeks Eritrosit Kelinci New Zealand White pada Persembuhan Tulang dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI INDEKS ERITROSIT KELINCI

NEW

ZEALAND WHITE

PADA PERSEMBUHAN TULANG

DENGAN IMPLANTASI BIFASIK KALSIUM FOSFAT

ZULFI NADHIRUL HIKMAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Evaluasi Indeks Eritrosit Kelinci New Zealand White pada Persembuhan Tulang dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ZULFI NADHIRUL HIKMAH. Evaluasi Indeks Eritrosit Kelinci New Zealand White pada Persembuhan Tulang dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat. Dibimbing oleh RIKI SISWANDI dan GUNANTI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi indeks eritrosit kelinci New Zealand White (NZW) yang menerima implan tulang dengan bifasik kalsium fosfat (BKF). Material BKF merupakan kombinasi dari hidroksiapatit (HA) dan beta- trikalsium fosfat (β-TKF). Sebanyak delapan belas ekor kelinci NZW dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama (BKF1) menerima implan tulang dengan perbandingan 70% HA: 30% β-TKF. Kelompok kedua (BKF2) menerima implan dengan perbandingan 60% HA: 40% β-TKF. Operasi penanaman implan dilakukan secara aseptik pada bagian medial diafise os tibia. Pengambilan sampel darah dilakukan pada saat sebelum operasi implantasi, yaitu hari ke-0 (H0) dan pascaoperasi yaitu pada hari ke-7, 30, 60, dan 90. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan bahwa kelinci mengalami anemia megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12. Selain itu, kedua implan BKF tidak berpengaruh nyata terhadap indeks eritrosit kelinci. Hal ini menunjukkan bahwa material BKF dapat diterima oleh tubuh.

(5)

ABSTRACT

ZULFI NADHIRUL HIKMAH. Erythrocytes Indices Evaluation of New Zealand White Rabbits in Bone Healing with Biphasic Calcium Phosphate Bone Graft Implantation. Under the supervision of RIKI SISWANDI and GUNANTI.

This study was conducted to evaluate erythrocytes indices of New Zealand White (NZW) rabbits after biphasic calcium phosphate (BCP) bone graft implantation. The BCP bone graft were composed from combination of beta-

tricalcium phosphate (β-TCP) and hydroxyapatite (HA). Eighteen NZW rabbits were divided into two groups. First group (BCP1) received a combination bone implants with a ratio of 70% HA:30% β-TCP. Second group (BCP2) received a combination bone implants of 60% HA:40% β-TCP. Implantion surgery performed aseptically in the medial diafise of os tibia. Blood sampling was performed at the time of preoperative implantation, on day 0 (H0) and postoperatively on day 7, 30, 60, and 90. The result showed that the rabbit suffered megaloblastic anemia caused by vitamin B12 deficiencies. Moreover, both of BCP implantion were not significantly impaired erythrocyte indices of the rabbits. This indicates that BCP material can be accepted by the body.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

EVALUASI INDEKS ERITROSIT KELINCI

NEW

ZEALAND WHITE

PADA PERSEMBUHAN TULANG

DENGAN IMPLANTASI BIFASIK KALSIUM FOSFAT

ZULFI NADHIRUL HIKMAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Evaluasi Indeks Eritrosit Kelinci New Zealand White pada Persembuhan Tulang dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat Nama : Zulfi Nadhirul Hikmah

NIM : B04100161

Disetujui oleh

Drh Riki Siswandi, MSi Pembimbing I

Dr Drh Gunanti, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, Ph D, APVet Wakil Dekan

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian dilakukan pada Juli hingga November 2013. Penelitian ini tergabung dalam penelitian payung Hibah Lintas Departemen IPB tahun 2013 dengan judul “Penggunaan Bahan Tandur Tulang Kombinasi Beta-trikalsium Fosfat dan Bifasik Kalsium Fosfat sebagai Materi Substitusi pada Kerusakan Segmental Tulang” yang didanai oleh Hibah BOPTN dengan peneliti utama Dr Drh Gunanti, MS. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Drh Riki Siswandi, MSi dan ibu Dr Drh Gunanti, MS selaku pembimbing atas saran, masukan, ilmu, perhatian dan kesabarannya dalam membimbing penulis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman Departemen Fisika yang telah bersedia membantu dalam melakukan penelitian. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pada rekan-rekan sepenelitian dan keluarga besar IKALUM, CSS MORA 47 serta ACROMION atas segala bantuan serta dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada abi, umi, serta kakak-kakak tercinta, atas segala doa dan semangat yang telah diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA

Kelinci sebagai Hewan Percobaan 2

Tulang 2

Hidroksiapatit, Trikalsium Fosfat, Bifasik Kalsium Fosfat 3 METODE

Tempat dan Waktu Penelitian 3

Alat dan Bahan 4

Tahap Persiapan 4

Tahap Pengambilan Darah 4

Tahap Operasi Penanaman Pelet Semen Tulang 5

Prosedur Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Eritrosit 6

Nilai Hemoglobin 7

Nilai Hematokrit 8

Volume Eritrosit Rata-rata 9

Hemoglobin Eritrosit Rata-rata 10

Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata 11

Pembahasan Umum 12 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 13

(12)

DAFTAR TABEL

1. Pembagian kelompok perlakuan pada kelinci NZW yang diimplan dengan BKF1 dan BKF2 pada hari ke-30, 60, dan 90 pascaoperasi 4 2. Rata-rata dan simpangan baku jumlah total eritrosit kelinci NZW

praoperasi dan pascaoperasi 7

3. Rata-rata dan simpangan baku nilai hemoglobin kelinci NZW

praoperasi dan pascaoperasi 8

4. Rata-rata dan simpangan baku nilai hematokrit kelinci NZW praoperasi

dan pascaoperasi 9

5. Rata-rata dan simpangan baku nilai VER kelinci NZW praoperasi dan

pascaoperasi 10

6. Rata-rata dan simpangan baku nilai HER kelinci NZW praoperasi dan

pascaoperasi 11

7. Rata-rata dan simpangan baku nilai KHER kelinci NZW praoperasi dan

pascaoperasi 11

DAFTAR GAMBAR

1. Kelinci New Zealand White 2

2. Pengambilan darah kelinci 5

3. Operasi penanaman implan tulang 5

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap tahun ribuan orang menderita berbagai penyakit tulang yang diakibatkan oleh trauma, tumor, ataupun patah tulang, akibatnya kebutuhan implan tulang untuk menggantikan jaringan tulang yang hilang atau rusak semakin meningkat. Implan tulang atau bone graft merupakan peletakan tulang baru atau material pengganti ke dalam ruang di sekitar tulang rusak atau fraktur yang membantu dalam penyembuhan tulang (Andrew 2008). Implan tulang digunakan untuk memperbaiki fraktur tulang komplek yang membahayakan kesehatan serta memperbaiki tulang yang gagal sembuh dengan baik. Selain itu implan tulang juga dapat memperbaiki kerusakan tulang oleh penyakit kongenital, cedera traumatis, operasi kanker tulang maupun rekonstruksi wajah (Cato 2009).

Salah satu alternatif yang banyak digunakan untuk jenis dan sumber jaringan pada implan tulang adalah kalsium fosfat. Fase kalsium fosfat yang paling stabil adalah hidroksiapatit (HA) yang dapat ditemukan dalam tulang dan gigi manusia. Sifat biokompatibel yang baik pada material HA membuatnya dapat langsung berikatan dengan tulang (Kano et al. 1994). Penggunaan HA sering dikombinasikan dengan material lain, salah satunya adalah dengan beta-trikalsiumfosfat (β-TKF) yang kemudian disebut sebagai bifasik kalsium fosfat (BKF). Material β-TKF memiliki laju degradasi yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan tulang yang baru (Stahli et al. 2010). Kombinasi HA dan β-TKF diharapkan dapat menjadi material yang lebih baik untuk implan tulang. Dalam mengetahui potensi BKF, perlu dilakukan pengujian baik secara in vitro maupun in vivo. Material BKF diharapkan dapat digunakan sebagai bahan substitusi tulang untuk menutup kerusakan tulang maupun dipergunakan dalam pemasangan implan tulang.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara in vivo material BKF sebagai implan tulang. Proses implantasi dapat mengakibatkan pendarahan, lisisnya eritrosit, serta mempengaruhi proses eritropoiesis karena gangguan pada sumsum tulang. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh proses implantasi digunakan parameter. Indeks eritrosit bermanfaat untuk menyatakan status perdarahan secara langsung, namun tidak menutup kemungkinan adanya faktor lain yang mempengaruhi misalnya dalam kasus defisiensi zat besi.

Hewan model seperti anjing, domba, kambing, babi atau kelinci adalah spesies yang cocok untuk pengujian bahan implantasi tulang (Ravaglioli et al. 1996). Pada penelitian ini penggunaaan kelinci sebagai hewan model selain karena kemudahan penanganan dan ukuran, tulang kelinci dengan tulang manusia memiliki kesamaan kepadatan mineral tulang (Wang et al. 1998).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

(14)

2

Gambar 1 Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus)

2. Bagaimana pengaruh penanaman material BKF dalam hal biokompatibilitas pada kelinci?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati indeks eritrosit (jumlah total eritrosit, hemoglobin, hematokrit, volume eritrosit rata-rata, hemoglobin eritrosit rata-rata, dan konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata) pada kelinci yang diimplantasi dengan material implan tulang BKF.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai biokompatibilitas material BKF pada kelinci melalui parameter indeks eritrosit.

TINJAUAN PUSTAKA

Kelinci

Kelinci adalah salah satu hewan yang paling umum digunakan untuk penelitian biomedis. Sekitar 35% pada studi penelitian muskuloskeletal menggunakan kelinci sebagai hewan modelnya (Neyt et al.1998). Pemilihan spesies ini antara lain karena mudah dalam hal penanganan dan ukuran. Walaupun tidak banyak memiliki kesamaan dengan karakter tulang manusia, beberapa persamaan yang dilaporkan adalah kepadatan mineral tulang dan kekuatan bagian pertengahan diafise tulang terhadap kepatahan antara kelinci dan manusia (Wang et al. 1998).

Tulang

(15)

3 hidroksiapatit. Mineralisasi tersebut menyebabkan tulang menjadi jaringan yang keras sehingga mampu menjadi penunjang dan pelindung (Astawan 2002). Sel-sel tulang terdiri dari empat jenis, yaitu:

1. Osteoprogenitor, dapat tumbuh dan berkembang menjadi osteoblast. 2. Osteoblast, mensintesis matriks tulang.

3. Osteosit, merupakan perkembangan dari osteoblast yang sudah dikelilingi oleh matriks hasil sekretanya.

4. Osteoklas, adalah sel yang mampu menyerap tulang (fagositosis) pada proses pertumbuhan tulang, bisa terletak pada permukaan tulang. Sel osteoklas tumbuh dari sumsum tulang (Astawan 2002).

Komponen anorganik tulang terdiri dari kalsium fosfat dan kalsium karbonat, dengan sedikit magnesium, fluorid dan sodium. Kalsifikasi osteosit awal biasanya terjadi dalam beberapa hari dari sekresi tetapi lengkap setelah beberapa bulan (Kalfas 2001).

Hidroksiapatit, Trikalsium Fosfat, Bifasik Kalsium Fosfat

Hidroksiapatit (HA) merupakan komponen yang dapat ditemukan dalam tulang dan gigi manusia. Material HA umum digunakan dalam mengisi kekosongan tulang akibat amputasi atau untuk mempromosikan pertumbuhan tulang pada pemasangan implan. Material HA memiliki kandungan kimia yang mirip dengan kandungan kimia tulang yang telah termineralisasi sehingga bersifat osteokonduktif dan biokompatibel (Nandi et al. 2008). Berbagai studi menyebutkan bahwa hidroksiapatit bersifat osteoinduktif dan menyokong osteointegrasi (Hua et al. 2005).

Keramik kalsium fosfat merupakan salah satu keramik bioaktif yang banyak digunakan untuk perbaikan tulang, termasuk diantaranya beta-trikalsium fosfat (β-TKF), hidroksiapatit (HA), dan bifasik kalsium fosfat (BKF) yang terdiri dari campuran intim HA dan β-TKF dari berbagai HA / β-TKF rasio.

Melalui kombinasi antara tahap yang lebih stabil (HA) dan yang lebih mudah larut (β-TKF), kombinasi BKF memungkinkan terjadinya laju disolusi terkontrol dan sifat mekanik yang berbeda (LeGeros dan Daculsi 1997). Sifat kimia dan fisik, yang dihasilkan bervariasi ditentukan oleh pH, suhu, dan lama proses sintesis sehingga mengakibatkan respon jaringan yang berbeda (Daculsi 2003) oleh karena itu pengujian secara in vitro dan in vivo perlu dilakukan.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

(16)

4

bulan Juli hingga November 2013. Kelinci diaklimatisasi selama 1 minggu di kandang Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) FKH-IPB.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan hewan coba kelinci New Zealand white. Alat dan bahan yang digunakan selama operasi penanaman implan dan pascaoperasi adalah ketamin 10% (Ilium ketamil®, Troy), xylazin 2% (Ilium xylazil®, Troy), atropine sulfat (Atropine®), alat bedah minor, bor tulang, meja operasi, material implan BKF1 dan BKF2 berbentuk silinder dengan diameter 2 mm dan tinggi 4 mm,povidone iodine, alkohol 70%, hypafix, benang jahit Catgut (Catgut chrom® 3-0, Bbraun) dan Polygactin (Vicryl® 6-0, Ethicon), enrofloksasin (Roxine®-100, Sanbe Farma), Flunixin®-50, Vet Tek.

Peralatan yang digunakan dalam pengambilan darah adalah disposable syringe 3 ml dan 1 ml, vacuum tube EDTA 3 ml, cool box, pemeriksaan darah menggunakan particle counter (ERMA Inc., Jepang).

Tahap Persiapan

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 ekor kelinci New Zealand White jantan dewasa dengan berat badan 3-4 kg. Selama percobaan dilakukan, hewan dipelihara di dalam kandang yang memiliki pencahayaan yang cukup dan temperatur yang relatif stabil. Pemeliharaan kelinci dilakukan selama 7 hari sebelum perlakuan hingga 90 hari setelah pemasangan implan tulang untuk keperluan pengamatan penelitian.

Hewan kemudian dipilih secara acak dan dibagi dalam dua kelompok perlakuan (Tabel 1). Kelompok pertama (BKF1) menerima implan tulang dengan perbandingan 70% HA: 30% β-TKF. Kelompok kedua (BKF2) menerima implan dengan perbandingan 60% HA: 40% β-TKF. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri dari 9 ekor kelinci.

Tahap Pengambilan Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan pada saat praoperasi implantasi, yaitu praoperasi (H0), serta beberapa hari pascaoperasi, yaitu pada hari ke-7 (H7),

Tabel 1 Pembagian kelompok perlakuan pada kelinci NZW yang diimplan dengan BKF1 dan BKF2 pada hari ke-30, 60, dan 90 pascaoperasi

Hari Perlakuan

BKF1 BKF2

30 3 ekor 3 ekor

60 3 ekor 3 ekor

(17)

5 30 (H30), 60 (H60), dan 90 (H90). Sebanyak 3 ekor kelinci dipilih secara acak untuk pengambilan sampel pada setiap perlakuan.

Darah diambil melalui vena auricularis dengan menggunakan disposable syringe 3 ml sebanyak ± 3 ml (Gambar 2). Selanjutnya darah dimasukkan ke dalam tabung EDTA vacuum tube dan dihomogenkan. Darah kemudian diperiksa menggunakan particle counter (ERMA Inc., Jepang).

Tahap Operasi Penanaman Semen Tulang

Penanaman semen tulang pada kelinci dilakukan dengan operasi secara aseptik. Kelinci diberi premedikasi atropin lalu dibius dengan kombinasi xylazin 2% dan ketamin 10% yang dinjeksikan secara intramuskular. Penanaman semen tulang dilakukan pada bagian medial dari diafise os tibia dekstra dengan menggunakan bor tulang untuk membuat lubang sesuai dengan ukuran pelet semen tulang (Gambar 3). Implan yang ditanamkan berbentuk silinder dengan diameter 2 mm dan tinggi 4 mm (Gambar 4).

Setelah penanaman material implan, tulang kemudian ditutup dengan urutan penjahitan periosteum, otot, jaringan subkutan, dan kulit. Operasi dilakukan oleh operator yang sama untuk mencegah variasi operasi. Perawatan pascaoperasi dilakukan dengan pemberian antibiotik enrofloksasin (5 mg/kg BB). Luka akibat operasi kemudian dibersihkan setiap hari dengan povidone iodine selama 5 hari pascaoperasi.

Gambar 3 Operasi penanaman implan: a) Pengeboran os tibia, b) penyisipan material implan BKF pada kelinci NZW

(18)

6

Prosedur Analisis Data

Data hasil pemeriksaan darah diolah menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan kemudian dianalisis menggunakan One Way Analysis of Variance (One Way ANOVA). Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis pada taraf nyata (p< 0.05) dengan menggunakan uji lanjutan yaitu uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Eritrosit

Data total eritrosit yang diperoleh, disajikan dalam bentuk tabel (Tabel 2). Berdasarkan uji statistik hasil yang didapatkan untuk setiap kelompok tidak berbeda nyata. Nilai normal jumlah total eritrosit kelinci yaitu 4-7x106/μL (Harcourt 2002). Pada praoperasi (H0) jumlah eritrosit kedua kelompok perlakuan sudah berada di bawah normal. Rendahnya jumlah eritrosit hingga di bawah normal menunjukan kelinci mengalami anemia. Menurut Bakta et al. (2007) pada dasarnya penyebab anemia ada 3 hal, yaitu gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah (pendarahan) serta proses kerusakan eritrosit sebelum waktunya (hemolisis).

Penurunan eritrosit pada hari ke-7 (H7) disebabkan trauma pascaoperasi yang terjadi. Selama operasi kelinci tidak mengalami banyak pendarahan. Pada minggu pertama terjadi hematoma di sekitar kerusakan tulang akibat pembuluh darah yang robek. Bekuan darah kemudian membentuk granulasi berupa jaringan ikat fibroblastik sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru pada persembuhan luka (Liebermen dan Friedlaender 2005). Komponen vaskular merespon dengan terjadinya hipertropi, peningkatan diameter, dan jumlah eritrosit (Piermatteii et al. 2006). Pada kondisi ini, vaskularisasi yang sangat diperlukan terjadi pada saat kelinci yang anemia, sehingga terjadi penurunan sirkulasi eritrosit.

Peningkatan eritrosit pada hari ke-30 (H30) yang terjadi pada kedua kelompok sebagai respon penurunan eritrosit yang terjadi pada hari ke-7 (H7). Sumsum tulang merespon rendahnya eritrosit dengan memproduksi eritrosit untuk mengembalikan kondisi normal. Peningkatan jumlah eritrosit terjadi karena kondisi hipoksia pada proses persembuhan tulang. Saat jaringan kekurangan kadar oksigen, eritropoeitin sehingga eritropoiesis bias terjadi (Guyton dan Hall 2006).

(19)

7 Pemberian vitamin B12 yang dilakukan dengan rutin dan perbaikan nutrisi dari pakan membuat produksi eritrosit bisa mencapai homeostasis. Peningkatan eritrosit dilakukan dengan cara memperbanyak pembentukan retikulosit dalam sumsum tulang dan dilepaskan ke dalam darah untuk segera memperbaiki fisiologis tubuh (Rodak 2002).

Tabel 2 Rata-rata dan simpangan baku jumlah total eritrosit kelinci NZW praoperasi dan pascaoperasi

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Pada hari ke-60 (H60) dan hari ke-90 (H90) jumlah eritrosit mengalami penurunan. Penurunan kemungkinan disebabkan kelinci mengalami stres sehingga berpengaruh terhadap nafsu makan. Asupan pakan yang tidak mencukupi membuat beberapa bahan pembentuk eritrosit seperti zat besi tidak tercukupi. Bentuk dan jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh spesies, umur, kondisi tubuh, jenis kelamin, asupan makanan, dan lingkungan (Gottrup 2004). Fungsi utama dari eritrosit adalah mengangkut hemoglobin yang membawa oksigen ke jaringan. Terjadinya anemia dapat berpengaruh terhadap proses persembuhan luka karena kurangnya oksigen pada jaringan. Kurangnya aliran darah dapat menyebabkan morbiditas lanjutan misalnya, terjadi luka kronis yang menyebabkan penyembuhan luka pascaoperasi yang lebih lama serta terjadi infeksi sekunder.

Nilai Hemoglobin

Rataan nilai hemoglobin kelinci (Tabel 3) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan. Secara umum kedua kelompok perlakuan memiliki kadar hemoglobin yang masih berada dalam kisaran normal yaitu 10.4-17.4 g/dL (Zimmerman et al. 2010). Pengukuran konsentrasi hemoglobin merupakan salah satu bagian yang umum dilakukan sebagai bagian pemeriksaan darah, tingkat dehidrasi, maupun hiperhidrasi (Holsworth et al. 2013). Selain itu konsentrasi hemoglobin menunjukkan berat ringannya anemia yang terjadi.

Hemoglobin berfungsi mengikat oksigen sehingga dapat disalurkan ke semua jaringan. Oksigen sangat diperlukan untuk proses persembuhan luka

(20)

8

sehingga kadar hemoglobin yang kurang dari normal akan memperlambat proses tersebut. Peningkatan signifikan kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-30 (H30) baik pada kelinci BKF1 maupun BKF2. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan jumlah eritrosit. Tubuh berhasil merespon kurangnya oksigen untuk kebutuhan jaringan dengan meningkatkan jumlah eritrosit sehingga kadar hemoglobin meningkat. Pada hari ke-60 (H60) dan hari ke-90 (H90) kadar hemoglobin mengalami penurunan seperti yang terjadi pada jumlah eritrosit.

Tabel 3 Rata-rata dan simpangan baku nilai hemoglobin kelinci NZW praoperasi dan pascaoperasi

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Kadar hemoglobin yang rendah dapat meningkatkan komplikasi pascaoperasi akibat kurangnya asupan oksigen (hipoksia) yang menyebabkan kematian jaringan. Kematian jaringan dapat menyebabkan gangguan dan memperpanjang proses persembuhan luka (Kuriyan dan Carson 2005) serta meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pascaoperasi (Lindholm et al. 2011).

Nilai Hematokrit

Rataan nilai hematokrit pada kedua kelompok perlakuan (Tabel 4) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Nilai hematokrit digunakan untuk mengetahui derajat hemokonsentrasi pada syok yang berhubungan dengan kesehatan, trauma, luka bakar, dan pendarahan (Zimmerman et al. 2010).

Nilai normal hematokrit kelinci menurut Zimmerman et al. (2010) berkisar 33-50%. Sejak praoperasi (H0) nilai hematokrit pada kedua kelompok perlakuan berada dibawah normal yaitu BKF1 32% dan BKF2 32.3%. Pada hari ke-7 (H7) terlihat penurunan pada kedua kelompok perlakuan sama seperti penurunan pada jumlah total eritrosit hingga nilainya berada di bawah kisaran normal. Pada hewan normal hematokrit sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Fisiologis tubuh menurun akibat trauma pascaoperasi dan defisiensi nutrisi, serta kehilangan jumlah darah, dan gagalnya respon sumsum tulang merupakan faktor-faktor penyebab turunnya hematokrit. Hematokrit dapat juga digunakan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat dehidrasi (Thrall 2004).

(21)

9 Tabel 4 Rata-rata dan simpangan baku nilai hematokrit kelinci NZW praoperasi

dan pascaoperasi

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Hari ke-30 (H30) nilai hematokrit pada BKF1 dan BKF2 mengalami peningkatan sehingga berada dalam rentang normal. Namun pada hari selanjutnya yaitu hari ke-60 (H60) dan hari ke-90 (H90), penurunan kembali terjadi. Meskipun demikian, penurunan tidak terlihat signifikan sehingga hemolisis tidak terjadi dalam hal ini. Menurut Waterbury (2000), penghentian total produksi sumsum tulang tanpa adanya hemolisis akan menyebabkan penurunan hematokrit tidak lebih dari 3-4 angka per minggu. Penurunan hematokrit yang lebih cepat tanpa adanya perubahan volume yang nyata mengindikasikan adanya hemolisis. Dengan demikian anemia yang terjadi pada kelinci disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang. Menurut Bakta et al. (2007) anemia ini dapat terjadi karena kurangnya bahan esensial pembentuk eritrosit, gangguan penggunaan zat besi dan kerusakan sumsum tulang.

Kadar hemoglobin dan hematokrit secara umum berada dalam kisaran normal. Bila kadar hemoglobin dan hematokrit cukup, maka asupan oksigen ke jaringan menjadi tercukupi. Oksigen merupakan kebutuhan yang penting dalam proses persembuhan luka selain juga menghindari infeksi pascaoperasi (Gottrup 2004).

Volume Eritrosit Rata-rata (VER)

Volume eritrosit rata-rata menggambarkan volume rata-rata satu sel eritrosit dalam satuan femtoliter (Meyer dan Harvey 2004). Rataan nilai VER pada kedua kelompok perlakuan (Tabel 5) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok dan waktu.

(22)

10

interval normal. Hal ini berarti penyebab anemia bukan akibat kerusakan sumsum tulang dan merupakan anemia makrositik berdasarkan morfologinya.

Peningkatan retikulosit pada kadar hemoglobin yang normal menunjukkan eritrosit mengalami kerusakan tetapi sumsum tulang meningkatkan produksi eritrositnya sebagai kompensasi, sehingga saat eritrosit mengalami peningkatan pada hari ke-30 (H30), nilai VER menurun. Pada hari ke-90 (H90) terjadi peningkatan nilai VER pada kelompok BKF2 sedangkan kelompok BKF1 nilai VER mengalami penurunan namun masih berada di atas normal.

Tabel 5 Rata-rata dan simpangan baku nilai VER kelinci NZW praoperasi dan pascaoperasi

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (HER)

Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) adalah konsentrasi atau kandungan hemoglobin rataan dari setiap eritrosit dalam satuan pikogram (pg). Nilai HER bertujuan untuk mengetahui nilai rataan hemoglobin dalam setiap eritrosit. Rataan nilai HER pada kedua kelompok perlakuan (Tabel 6), menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok dan waktu. Nilai HER pada kedua kelompok perlakuan sejak awal praoperasi (H0) memiliki nilai di atas normal yaitu 18.7-22.7 pg (Zimmerman et al. 2010).

Pada beberapa jenis anemia, tinggi atau rendahnya ukuran eritrosit (VER) berhubungan dengan tinggi atau rendahnya jumlah hemoglobin dalam sel (HER) (Meyer dan Hervey 2004). Volume eritrosit yang lebih besar (makrositik) biasanya memiliki nilai HER yang lebih tinggi. Sebaliknya, volume eritrosit yang lebih kecil (mikrositik) akan memiliki nilai HER yang lebih rendah. Nilai HER bukan yang mempengaruhi ukuran eritrosit, sehingga nilai HER tidak bisa diinterpresentasikan tanpa mempertimbangkan dengan nilai VER.

(23)

11 Tabel 6 Rata-rata dan simpangan baku nilai HER kelinci NZW praoperasi dan

pascaoperasi

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)

Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) merupakan nilai konsentrasi hemoglobin di dalam satu desiliter eritrosit (Cunningham 2002). Nilai KHER mengindikasi konsentrasi hemoglobin per unit satuan volume. Rataan nilai KHER pada kedua kelompok perlakuan (Tabel 7) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada kedua kelompok perlakuan, sejak H0 hingga H90 nilai KHER berada pada kisaran normal yaitu 33-50 % (Zimmerman et al. 2010).

Tabel 7 Rata-rata dan simpangan baku nilai KHER kelinci NZW praoperasi dan pascaoperasi

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Peningkatan KHER (hiperkromik) terdapat pada keadaan dimana hemoglobin yang abnormal terkonsentrasi di dalam eritrosit. Nilai KHER yang lebih rendah dari rentang normalnya (hipokromik) dapat menyebabkan warna eritrosit pucat. Apabila KHER meningkat di atas kisaran normalnya (hiperkromik) dapat menyebabkan warna eritrosit lebih gelap (Meyer dan Harvey 2004).

(24)

12

Berdasarkan hasil gambaran eritrosit yang ada, kelinci mengalami anemia makrositik bentuk megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12. Menurut Corwin (2009) anemia megaloblastik terjadi ketika nilai HER meningkat karena volume sel yang membesar (VER meningkat) namun nilai KHER normal. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat pada pakan merupakan penyebab kegagalan eritrosit untuk berkembang menjadi dewasa. Vitamin B12 berperan dalam metabolisme intraseluler sehingga meskipun sumsum tulang tetap dapat memproduksi eritrosit namun eritrosit muda tidak berkembang dimana hal ini meningkatkan nilai VER (Bakta et al. 2007).

Pembahasan umum

Kombinasi implan BKF merupakan kombinasi dua biomaterial yaitu HA dan β-TKF. Material HA yang memiliki sifat stabil namun kemampuan penyerapannya kecil, diimbangi dengan β-TKF yang memiliki daya penyerapan yang lebih tinggi. Kedua kombinasi biomaterial ini telah sering digunakan sebagai bahan implan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa HA dan β-TKF memiliki sifat biokompatibel, bioresorbable, dan osteoconductive (Oryan et al. 2014).

Pada penelitian ini, biokompatibilitas implan dinilai melalui parameter indeks eritrosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implan kombinasi BKF tidak berpengaruh nyata pada jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit, VER, HER, dan KHER. Namun nilai VER dan HER pada kedua kelompok perlakuan berada di atas normal dengan hemoglobin dan nilai KHER normal. Hal ini menunjukkan kelinci mengalami anemia makrositik akibat defisiensi vitamin B12. Vitamin B12 berperan dalam metabolisme intraseluler. Sel-sel muda pada awal hematopoietik mengalami gangguan akibat sintesis DNA yang tidak sempurna. Pembelahan sel terjadi lambat, namun perkembangan sitoplasma tetap berjalan normal sehingga sel cenderung menjadi besar. Sel-sel awal cenderung dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang cenderung meningkat tetapi produksi eritrosit berkurang (Bakta et al. 2007).

Kematian intraoperatif dalam hal implantasi jarang terjadi, namun hampir secara umum terkait dengan penanaman semen tulang. Kematian biasanya hasil dari kardiopulmonal seperti infark miokard dan emboli. Embolisasi dalam hal ini mengakibatkan terjadinya bone cement implantation syndrome (BCIS). Menurut Donaldson et al. (2009) adanya peningkatan tekanan intramedula saat penanaman semen tulang menyebabkan embolisasi. Semen tulang mengalami reaksi eksotermik (Frost 1970) dan mengembang pada ruang di antara semen dan tulang sehingga menyebabkan udara dan isi medula tertekan dan terdesak ke dalam sirkulasi (Michel 1980). Emboli dapat menyebar menuju ke bagian tubuh lain seperti jantung dan paru-paru (Koessler et al. 2001). Sindroma implantasi semen tulang ditandai dengan hipotensi sistemik, hipoksemia, hipertensi pulmonal, aritmia jantung, atau serangan jantung (David et al. 2013).

(25)

13

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penanaman material implan BKF1 dan BKF2 tidak berpengaruh nyata pada hasil gambaran eritrosit. Secara umum, jumlah total eritrosit pada kedua kelompok perlakuan berada di bawah normal, hemoglobin, hematokrit, dan KHER berada dalam kisaran normal, sedangkan nilai VER dan HER berada di atas normal.

Saran

Saran yang dapat diberikan adalah perlu penambahan perhitungan retikulosit pada pemeriksaan darah untuk lebih memudahkan dalam menduga jenis anemia dan kemungkinan penyebabnya. Selain itu juga, perlu dilakukan pemeriksaan darah beberapa hari atau minggu sebelum dilakukan penanaman implan.

DAFTAR PUSTAKA

Andrew LC. 2008. Orthopedist. The Alpine Clinic. NH (USA): Littleton. Astawan TW. 2002. Jaringan Tulang. Bogor (ID): IPB Pr.

Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed ke-4. Jakarta (ID): IPD FKUI

Cato TL. 2009. Bone Graft Substitutes. West Conshohocken, PA: American Society for Testing and Materials.

Corwin EJ. 2009. Handbook of Pathophysiology. Ed ke-3. Philadelphia (USA): Lippincott Williams & Wilkins.

Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Ed ke-3. London (GB): Saunders Company.

Daculsi G. 2003. Current state of the art of biphasic calcium phosphate bioceramics. J Mater Sci. 14(3):195-200.

David L, Rothberg, Erik N, Kubiak R, Chris LP, Lor R, Stephen K, Aoki. 2013. Reducing the risk of bone cement implantation syndrome during femoral arthroplasty. Orthopedics. 36(4):e463-e467.

Donaldson AJ, Thomson HE, Harper NJ, Kenny NW. 2009. Bone cement implantation syndrome. Br J Anaesth. 102(1):12-22.

Frost PM. 1970. Cardiac arrest and bone cement. Br Med J. 3:524

Gottrup F. 2004. Oxygen in wound healing and infection. World J Surg. 28(3):312-315.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia (USA): Elsevier.

(26)

14

Holsworth RE, Jr YI Cho, Weidman J. 2013. Effect of hydration on whole blood viscosity in firefighters. Altern TherHealth Med. 19(4):44-49.

Hua Y, Ning C, Xiaoying L, Buzhong Z, Wei C, Xiaoling S. 2005. Natural hydroxyapatite/chitosan composite for bone substitute materials. Med Biol Soc. 5:4888-91.

Kalfas IH. 2001. Principles of bone healing. Neurosurgery Focus.10:7-10.

Kano S, Yamazaki A, Otsuka R, Ohgaki M, Akao M, Aoki H. 1994. Application of hydroxyapatite-sol as drug carrier. Bio-Med. Mater. Eng. 4(4):283-290. Koessler MJ, Fabiani R, Hamer H, Pitto RP. 2001. The clinical relevance of

embolic events detected by transesophageal echocardiography during cemented total hip arthroplasty: a randomized clinical trial. Anesth Analg. 92:49-55

Kosasih EN, Kosasih AS. 2002. Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Ed ke-2. Tangerang (ID): Karisma.

Kuriyan M, Carson JL. 2005. Anemia and clinical outcomes. Anesthesiol Clin North Am. 23(2):315-325.

LeGeros RZ, Daculsi G. 1997. In vivo transformation of biphasic calcium phosphate ceramics: ultrastructural and physico-chemical characterizations. Di dalam: Yamamuro T, Wilson-Hench J, editor. Handbook of Bioactive Ceramics. Florida (USA): CRC Press. 11:17-28. Lieberman JR, Friedlaender GE. 2005. Bone Regeneration and Repair. Biology

and clinical applications. New Jersey (USA): Humana Press. 57-65.

Lindholm PF, Annen K, Ramsey G. 2011. Approaches to minimize infection risk in blood banking and transfusion practice. Infect Disord Drug Targets. 11(1):45-56.

Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis. Missouri (USA): Saunders Company.

Michel R. 1980. Air embolism in hip surgery. Anaesth. 35:858-862

Nandi SK, Kundu B, Ghosh SK, De DK, Basu D. 2008. Efficacy of nano-hydroxyapatite prepared by an aqueous solution combustion technique in healing bone defects of goat. J Vet Sci. 9(2):183-189.

Neyt JG, Buckwalter JA, Carroll NC. 1998. Use of animal models in musculoskeletal research. Iowa Orthop. J. 18:118-123.

Oryan A, Alidadi S, Moshiri A, Maffulli N. 2014. Bone regenerative medicine:

Ravaglioli A, Krajewski A, Celotti GC, Piancastelli A, Bacchini B, Montanari L, Zama G, Piombi L. 1996. Mineral evolution of bone. Biomaterials. 17:617-622.

(27)

15 Stahli C, Bohner M, Zadeh MB, Doebelin N, Baroud G. 2010. Aqueous impregnation of porous β-tricalcium phosphate scaffolds. Acta Biomater.6(7): 2760-2772.

Thrall MA. 2004. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Maryland (USA): Lippincott Williams and Wilkins.

Wang X, Mabrey JD, Agrawal CM. 1998. An interspecies comparison of bone fracture properties. Biomed Mater Eng. 8:1-9.

Waterbury I. 2000. Keadaan-keadaan yang Berhubungan Dengan Abnormalitas Pembekuan dan Trombosis. Dalam Hematology Ed ke-3. Jakarta (ID): ECG. Zimmerman KL, Moore DM, Smith SA. 2010. Hematology of Laboratory Rabbits

Gambar

Gambar 1 Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus)
Tabel 1  Pembagian kelompok perlakuan pada kelinci NZW yang diimplan
Gambar 3  Operasi penanaman implan: a) Pengeboran os tibia, b) penyisipan    material implan BKF pada kelinci NZW
Tabel 2  Rata-rata dan simpangan baku jumlah total eritrosit kelinci NZW
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai faktor yang berhubungan dengan faktor yang berhubungan dengan kinerja kader dalam kegiatan

Pokja Pengadaan Barang II Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Provinsi Bali akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan

Pembentukan karakter ini dapat dilakukan dengan menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan anak melalui dua cara seperti yang akan dikemukakan berikut ini (dimulai

4.1 Hasil Wawancara Peneliti Terhadap Konselor Kelas VIII H Pra Penelitian Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Sosiodrama 106 4.2 Hasil Observasi Peneliti Terhadap

Menurut Eropa Position Paper on Rhinosinusitis dan Polip (EPOS 2007) kronis Rhinosinusitis kronik didefinisikan sebagai peradangan hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwasannya kandungan partikel Total Suspended Solid (TSS) pada perairan Muara Sungai Kampar terendah pada stasiun 2 saat

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan pengeluaran perkapita dan status gizi buruk terhadap kemiskinan sehingga dapat terlihat kantong kemiskinan dan masalah

Menurut Mubyarto (2000), analisis pemasaran dianggap efisien apabiladianggap mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan biaya wajar serta