• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

41 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hambatan Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia

1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa sengketa (konflik) hanya bisa diselesaikan melalui jalur Pengadilan, bahkan kalangan professional hukumpun berpandangan yang sama. Sampai saat ini banyak dari kalangan mereka hanya terpaku memilih jalur litigasi dan melupakan serta mengabaikan cara-cara penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, padahal penyelesaian sengketa melalui jalur non-ajudikasi seperti negosiasi, mediasi atau konsiliasi memiliki banyak keuntungan-keuntungan dibandingkan dengan proses ajudikasi.

Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi merupakan penyelesaian sengketa yang bersifat ajudikasi di luar peradilan umum (litigasi) dan dilakukan melalui mekanisme arbitrase baik yang bersifat ad hoc maupun lembaga arbitrase. Dalam tulisan ini penulis dalam rumusan masalah pertama akan membahas pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terbagi mejadi 3 tahap, yaitu

a) Tahap Pra Persidangan

Tahap Pra Persidangan ini diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“(1) Dalam waktu paling lama 30(tiga puluh) hari terhitung sejak putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

(2)

42

(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri atau arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.

(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. (5) Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.”

b) Tahap Sidang sampai tahap Putusan Pengadilan

Tahap Sidang sampai tahap Putusan Pengadilan ini diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”

Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:

“(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.

(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.

(3)

43

(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase yang dikeluarkan.” Pasal 63 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:

“Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan”

c) Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan ini diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunya kekuatan hukum tetap.”

Sesuai dengan peraturan prosedur BANI dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, rangkaian dari suatu proses arbitrase dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1) Pra Persidangan

Pra persidangan adalah proses yang bersifat teknis administratif sebelum persidangan bisa dimulai, seperti pengajuan permohonan arbitrase dan penunjukan arbiter oleh pemohon, pembayaran biaya pendaftaran dan biaya arbitrase oleh pemohon (para pihak), tanggapan/jawaban termohon atas permohonan arbitrase dan penunjukan arbiter oleh termohon, penunukan sekretaris oleh Ketua BANI dan penetapan majelis arbitrase oleh Ketua BANI.

a) Pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase oleh Pemohon.

Surat permohonan Arbitrase yang memuat dalil-dalil permohonan dan tuntutan dari Pemohon disampaikan kepada BANI Arbitration Center/BANI Perwakilan. Penyampaian Surat Permohonan Arbitrase dilakukan dengan mendaftarkan

(4)

44

kasus/perkara yang bersangkutan kepada Sekretariat BANI. Selanjutnya pihak sekretariat akan memeriksa, apakah permohonan arbitrase tersebut sudah mengacu atau berdasarkan pada suatu perjanjian arbitrase yang merupakan syarat untuk menyelesaikan suatu sengketa atau beda pendapat melalui forum arbitrase BANI, maka permohonan tersebut ditolak atau meminta kepada para pihak untuk membuat kesepakatan tertulis yang intinya agar perjanjian tersebut merujuk kepada BANI sebagai forum penyelesaian sengketanya.

Surat Permohonan Arbitrase harus memuat identitas para pihak, sekurang-kurangnya:

1) Nama lengkap dan alamat atau tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak;

2) Uraian singkat tentang duduknya perkara/sengketa yang memuat dalil-dalil permohonan disertai dengan lampiran bukti-bukti yang mendukung dalil-dalil tersebut;

3) Isi tuntutan yang jelas.

Pada umumnya, Pemohon merupakan pihak sebagaimana tercantum dalam suatu perjanjian atau kontrak. Tetapi ada kalanya meskipun tidak tercantum dalam suatu perjanjian atau kontrak, seseorang bisa menjadi Pemohon apabila:

1) Pemohon merupakan penerus atas dasar ketetapan hukum (“by operation of law”) terhadap hak dan kewajiban pihak yang namanya dicantumkan di dalam perjanjian.

2) Pemohon menjadi pihak dalam suatu perjanjian akibat adanya substitusi dari pihak yang namanya dicantumkan di dalam perjanjian karena akibat suatu ketentuan hukum atau adanya konsensus untuk novasi.

(5)

45

3) Pihak asal (pertama) menyerahkan hak dan kewajiban sesuai perjanjian kepada pihak lain termasuk didalamnya perjanjian arbitrase, dan hak-hak lainnya yang timbul dari perjanjian asal tersebut

b) Pembayaran biaya pendaftaran dan biaya arbitrase (perkara)

Selanjutnya pemohon (para pihak) harus menyelesaikan aspek administrasinya yaitu membayar biaya pendaftaran dan melunasi biaya arbitrase sesuai ketentuan yang berlaku. Setelah ketentuan administratif dipenuhi dan Majelis Arbitrase yang akan menyidangkan perkara tersebut terbentuk maka permohonan itu disampaikan kepada ketua dan anggota majelis dan pihak lainnya.

Biaya pendaftaran harus dibayar oleh Pemohon saat menyampaikan permohonannya ke BANI. Biaya arbitrase dapat ditanggulangi bersama oleh Pemohon dan Termohon (para pihak) bila dicantumkan secara tegas dalam perjanjian yang dibuat. Apabila tidak ada ketentuan demikian, semua biaya harus ditalangi dan dibayar terlebih dahulu oleh Pemohon, agar sidang arbitrase dapat segera dimulai. Selama biaya (perkara) arbitrase belum dilunasi, penyelenggaraan sidang-sidang tidak akan diadakan.

c) Pendaftaran permohonan dan pemberian nomor register oleh Sekretaris BANI.

Apabila dipandang telah memenuhi syarat untuk diperiksa oleh BANI, permohonan tersebut selanjutnya didaftarkan dan diberi nomor register.

(6)

46

d) Ketua BANI menunjuk seorang atau lebih Sekretaris (Panitera).

Untuk memperlancar tugas-tugas, seperti penyampaian permohonan arbitrase, jawaban/tanggapan atas permohonan arbitrase dan dokumen-dokumen lainnya kepada para pihak, Ketua BANI menunjuk Sekretaris (Panitera) yang jumlahnya bisa lebih dari seorang tergantung keperluan.

e) Tanggapan Termohon

Dalam memberikan tanggapan, Termohon disediakan waktu paling lama 30 hari sejak dia menerima permohonan dari Pemohon. Bila dalam waktu 30 hari Termohon belum siap memberikan jawaban atau tanggapannya, Termohon dapat mohon perpanjangan waktu kepada Ketua BANI yang dapat memperpanjangnya paling lama lagi 14 hari. Sama dengan Permohonan Arbitrase, tanggapan/Surat Jawaban Termohon juga harus memuat identitas para pihak, sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Nama lengkap dan alamat atau tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak;

2) Tanggapan terhadap dalil-dalil dari Pemohon disertai dengan lampiran bukti-bukti yang mendukung dalil-dalil tanggapannya tersebut;

3) Isi tuntutan yang jelas.

Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi), maka tuntutan balik tersebut disampaikan bersama-sama dengan Surat Jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama. Atas tuntutan balik itu, Termohon harus membayar biaya arbitrase tersendiri sesuai perhitungan dalam perkara pokok (konvensi) berdasarkan ketentuan Peraturan

(7)

47

Prosedur BANI dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI.

Kelalaian Termohon membayar biaya tuntutan balik, tidak menghalangi atau menunda kelanjutan penyelenggaraan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi dan biaya arbitrase dalam konvensi tersebut telah dibayar lunas.

Perlu dikemukakan disini, bahwa tidak jarang penyelesaian administratif, yaitu penyelesaian pembayaran biaya untuk tuntutan rekonvensi dimintakan pengunduran waktu, maka agar tidak menghambat penyelesaian perkara secara keseluruhan, berdasarkan Surat Edaran Ketua BANI No. SE/001/XI/BANI/PA tanggal 18 November 2010 ditetapkan bahwa Dewan Pengurus BANI menegaskan batas waktu terakhir bagi pengajuan Tuntutan Balik (Rekonvensi) adalah 7 (tujuh) hari terhitung sejak sidang pertama yang dihadiri para pihak.

Apabila jangka waktu tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon Rekonvensi (Termohon Konvensi) maka Majelis harus menyatakan dengan tegas bahwa Tuntutan Balik (Rekonvensi) yang diajukan tidak dapat diterima. Terhadap Tuntutan Balik dari Termohon Pemohon Rekonvensi), Termohon Rekonvensi (Pemohon dalam Konvensi) berhak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis untuk mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut (Pasal 17 ayat (4) Peraturan Prosedur BANI. Seperti halnya Pemohon, Termohon ada kalanya juga tidak tercantum dalam perjanjian atau kontrak. Ada tiga hal harus

(8)

48

diperhatikan, bila pihak tertentu dianggap merupakan termohon yang sama sekali tidak disebut-sebut sebagai pihak dalam perjanjian, yakni:

i. Pihak yang dalam kenyataannya tidak selalu merupakan pihak disebut dalam perjanjian, dan namanya tidak dicantumkan.

ii. Pihak tersebut melanjutkan karena memperoleh hak dan kewajiban pihak dalam perjanjian karena akibat hukum.

iii. Pihak dibebani tanggung jawab yang merupakan “addendum” (“secondary”) atas tanggung jawab pihak asal.

f) Replik

Terhadap tanggapan yang diberikan oleh Termohon, Pemohon dapat memberikan replik dalam waktu paling lama 30 hari setelah menerima tanggapan.

g) Duplik

Demikian juga terhadap replik dari Pemohon, Termohon dapat memberikan tanggapan lagi yang dinamakan duplik, dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak menerima replik dari Termohon.

2) Masa persidangan

Masa persidangan adalah proses penyelenggaraan sidang-sidang oleh Mejelis Arbitrase sesuai Peraturan Prosedur BANI dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sampai diucapkannya putusan. Proses persidangan mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a) Sifat Pemeriksaan Tertutup

Seluruh persidangan dilakukan tertutup untuk umum, dan segala hal yang berkaitan dengan penunjukan arbiter, termasuk

(9)

49

dokumen-dokumen, laporan/catatan sidang-sidang, keterangan-keterangan saksi dan putusan-putusan, harus dijaga kerahasiaannya diantara para pihak, para arbiter dan BANI, kecuali oleh peraturan perundang-undangan hal tersebut tidak diperlukan atau disetujui oleh semua pihak yang bersengketa.

Sifat tertutupnya sidang arbitrase dimaksudkan untuk menjaga nama dan hubungan baik para pihak yang bersengketa, karena apabila disebar luaskan bahwa mereka mempunyai sengketa, mungkin akan dapat merugikan nama baik, kehormatan dan “goodwill” mereka dalam dunia bisnis dan hubungan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Jadi, persidangan yang tertutup bertujuan untuk melindungi kepentingan bisnis pihak-pihak bersengketa. Hal lain yang berkaitan dengan persidangan yang tertutup untuk umum adalah sifat rahasia dari keputusan arbitrase.

Keputusan arbitrase tidak dibacakan dimuka umum dan tidak disebarluaskan, secara terperinci, seperti yang dilakukan dengan keputusan-keputusan Pengadilan, yang dapat dikumpulkan dan dibukukan dengan lengkap. Sifat rahasia ini juga bertujuan untuk menjaga kepentingan bisnis dan nama baik para pihak yang bersengketa.Sifat tertutup pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau mejelis arbitrase, diatur dalam Pasal 27 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penjelasan dari pasal ini menyebutkan: “Ketentuan bahwa pemeriksan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase”.

(10)

50 b) Bahasa yang Digunakan

Bahasa yang digunakan dalam proses pemeriksaan adalah Bahasa Indonesia, kecuali para pihak menyatakan sebaliknya. Dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti adanya pihak-pihak asing dan/atau arbiter-arbiter asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia, dan/atau dimana transaksi yang menimbulkan sengketa dilaksanakan dalam bahasa lain, Majelis dapat memutuskan untuk menggunakan bahasa Inggris atau bahasa lain. Apabila dokumen asli yang diajukan atau dijadikan dasar oleh para pihak dalam pengajuan kasus yang bersangkutan dalam bahasa selain Indonesia, maka Majelis berhak untuk menentukan dokumen-dokumen asli tersebut apakah harus disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia, atau dari bahasa Indonesia ke bahasa lain.

Namun demikian, apabila para pihak setuju, atau Majelis menentukan, bahwa bahasa yang dipergunakan dalam perkara adalah bahasa selain bahasa Indonesia, maka Majelis dapat meminta agar dokumen-dokumen diajukan dalam bahasa Indonesia dengan disertai terjemahan otentik dari penerjemah tersumpah dalam bahasa Inggris atau bahasa lain yang digunakan. Apabila Majelis dan/atau masing-masing pihak memerlukan bantuan penerjemah selama persidangan, hal tersebut harus disediakan oleh BANI atas permintaan Majelis, dan biaya penerjemah harus ditanggung oleh para pihak yang berperkara sesuai yang ditetapkan oleh Majelis.

Bahasa yang digunakan dalam putusan, harus dibuat dalam bahasa Indonesia, dan apabila diminta oleh suatu pihak atau sebaliknya dianggap perlu oleh Majelis, dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Dalam hal bahwa naskah asli putusan dibuat dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya, suatu terjemahan resmi harus disediakan oleh BANI untuk maksud

(11)

51

pendaftaran dan biaya untuk itu harus ditanggung oleh para pihak berdasarkan penetapan Majelis.

c) Hari sidang I (Pertama), Mendamaikan Para Pihak.

Pada hari sidang I (pertama), Ketua Majelis Arbitrase meminta Para Pihak yang berperkara untuk melakukan mediasi sesuai dengan Surat Keputusan Ketua BANI No. 06.054/X/SK-BANI/PA tanggal 10 Oktober 2006 tentang Prosedur Mediasi/Konsiliasi terkait Arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Selanjutnya oleh Ketua Majelis sidang lalu ditunda untuk memberi kesempatan kepada para pihak melakukan dan menempuh proses mediasi yang hasilnya akan dilaporkan pada sidang berikutnya.

Apabila mediasi tersebut berhasil mencapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dilaporkan pada sidang berikutnya untuk ditetapkan sebagai Penetapan/Putusan Majelis. Penyelesaian sengketa arbitrase yang dapat diselesaikan melalui mediasi dan hasilnya ditetapkan sebagai putusan arbitrase, lazim disebut “hybrid arbitration”. Bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka sidang dilanjutkan untuk memeriksa perkara arbitrase tersebut.

Mediasi adalah salah satu tahapan proses persidangan yang sangat penting, oleh karena itu di dalam tahap ini hendaknya benar-benar dan bersungguh-sungguh dicarikan jalan keluar bagi kedua belah pihak oleh Mediator/Arbiter yang menangani perkara, yang ditunjuk oleh para pihak. Mediator inilah yang menyingsingkan lengan bajunya, mengerahkan segala kemampuan, tenaga dan pikirannya membantu kedua belah pihak didalam menegosiasikan suatu sengketa. Namun demikian, peranan kedua pihak sangat menentukan untuk mengambil suatu keputusan. Merekalah “arsitek” yang

(12)

52

sebenarnya untuk menyelesaikan sengketanya sampai mencapai suatu kesepakatan. Mediator tidak mengambil suatu keputusan.

Hal ini perlu diusahakan, karena apabila mereka mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan sengketanya, maka kesepakatannya tersebut bisa dimohonkan untuk ditetapkan sebagai putusan Majelis Arbitrase. Dan Majelis Arbitrase di dalam putusannya itu, antara lain akan memutuskan atau menetapkan, menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan melaksanakan apa yang telah disepakati tersebut.

Apabila hal ini bisa dicapai, sudah dapat dipastikan para pihak akan mentaati putusan tersebut dan tidak mencari daya upaya untuk mementahkan putusan arbitrase yang bersifat final and binding, dengan menggugatnya ke pengadilan negeri yang sering terjadi selama ini.

d) Mendengarkan Para Pihak

Para pihak yang bersengketa mempunyai hak yang sama dan juga mendapat kesempatan yang sama untuk didengar oleh pihak arbiter atau majelis, termasuk menyampaikan replik oleh pemohon dan duplik oleh termohon. Dalam hal ada keterlibatan pihak ketiga, maka pihak ketiga juga harus diberi kesempatan yang sama untuk didengar.

Keterlibatan pihak ketiga dimungkinkan apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait, keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan dimana sesuai dengan pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

(13)

53 e) Pembuktian Tertulis

Setelah mendengar keterangan pihak-pihak yang bersengketa, termasuk pihak ketiga bilamana ada, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan meneliti alat-alat bukti tertulis yang diajukan oleh para pihak. Alat-alat bukti tertulis tersebut sebelumnya harus sudah dilegalisasi dengan meterai secukupnya.

Alat-alat bukti yang sah dalam prosedur arbitrase dapat berupa alat-alat bukti yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, atau alat bukti yang sah berdasarkan atas kesepakatan para pihak.

Apabila para pihak memilih hukum Indonesia, alat-alat bukti yang sah menurut peraturan perundang-undangan adalah yang diatur dalam ketentuan Pasal 164 HIR, yaitu: surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedang apabila para pihak memilih Peraturan Prosedur BANI maka alat-alat bukti yang sah adalah yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 yaitu dokumen-dokumen yang mendukung fakta-fakta, saksi-saksi/saksi ahli dan bukti lain yang telah dan/atau akan diajukan oleh para pihak. Dengan demikian, maka majelis arbitrase dalam memeriksa sengketa yang dihadapinya akan berpedoman kepada ketentuan tersebut. Sebaliknya, apabila para pihak memilih alat-alat bukti tertentu (misalnya surat/dokumen, saksi dan keterangan para pihak) berdasarkan atas kesepakatan atau klausula arbitrase yang mereka buat bersama (baik dalam pactum de compromittendo atau akta kompromis), maka majelis arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa yang dihadapinya memiliki keterbatasan untuk menerapkan alat-alat bukti yaitu hanya terbatas pada yang tercantum dalam klausula arbitrase tersebut.

(14)

54

Ini berarti, bahwa para pihak sengaja membatasi penggunaan alat-alat bukti seperti yang diatur dalam undang-undang.

f) Mendengar para Saksi/Saksi Ahli.

Apabila Majelis menganggap perlu dan/atau atas permintaan masing-masing pihak, saksi ahli atau saksi-saksi yang berkaitan fakta-fakta dapat dipanggil. Saksi-saksi-saksi tersebut oleh Majelis dapat diminta untuk memberikan kesaksian mereka dalam bentuk tertulis.

Majelis dapat menentukan atas pertimbangannya sendiri atau atas permintaan masing-masing pihak, apakah perlu mendengan kesaksian lisan saksi-saksi tersebut.

Biaya pemanggilan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang mengajukan saksi atau saksi ahli tersebut. Untuk maksud itu Majelis dapat meminta agar terlebih dahulu disetorkan suatu deposit kepada BANI. Para saksi atau saksi ahli, sebelum memberikan keterangan, terlebih dahulu disumpah menurut agama atau kepercayaannya atau dengan mengucapkan janji.

g) Penyampaian Kesimpulan oleh Para Pihak dan Penutupan Sidang Arbitrase.

Jika pengajuan bukti, kesaksian dan persidangan telah dianggap cukup oleh Majelis, para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan kesimpulannya masing-masing. Setelah para pihak menyampaikan kesimpulannya, lalu Ketua Majelis menutup persidangan pada hari itu dengan menetapkan hari dan tanggal tertentu untuk menyampaikan/mengucapkan putusan yang akan diambilnya.

(15)

55

Apabila tidak ditentukan hari dan tanggal pembacaan putusan, maka berlaku ketentuan Pasal 57 Undang-undang No. 30 tahun 1999 dan Rules and Procidures BANI Pasal 26.

h) Putusan Akhir.

Putusan diucapkan pada hari yang telah ditetapkan sebelumnya atau apabila tidak, maka putusan akan dibacakan dalam kurun waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan dinyatakan ditutup sesuai dengan Pasal 57 Undang Undang No. 30/1999 dan Rules and Procedures BANI Pasal 25.

i) Penyelenggaraan Arbitrase dengan Prosedur Singkat.

Di samping proses penyelenggaraan arbitrase dengan prosedur biasa seperti diuraikan di atas, penulis juga memberi kesempatan atau peluang kepada para pihak untuk menyelesaikan kasus/perkaranya melalui Penyelenggaraan Arbitrase Dengan Prosedur Singkat. Yang dimaksud dengan penyelenggaraan arbitrase dengan prosedur singkat adalah penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase yang menyangkut jumlah klaim tertentu, terutama mengenai sengketa antara perusahaan kecil menengah (UKM), yang bersifat sederhana, cepat dengan biaya yang relatif ringan/rendah.

Tujuannya adalah untuk menghilangkan kesan seolah-olah penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dikenal selama ini hanya berlaku untuk perusahaan-perusahaan besar saja. Perusahaan-perusahaan kecil menengah belum ada yang berani mencoba menyelesaikan sengketa bisnis mereka melalui arbitrase. Hal ini mungkin karena mereka khawatir akan dikenai biaya yang tinggi pada hal objek perkaranya adalah kecil, atau mungkin juga karena ketidaktahuan mereka tentang tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Untuk megatasi kekhawatiran tersebut, BANI telah siap membantu para

(16)

56

pengusaha kecil menengah untuk memfasilitasi perselisihan atau beda pendapat yang mungkin timbul di antara mereka dengan mengintrodusir suatu penyelenggaraan abitrase dengan prosedur singkat melalui Surat Keputusan Ketua BANI No. 06.055/X/SK-BANI/PA tanggal 10 Oktober 2006 tentang Peraturan Penyelenggaraan Arbitrase dengan Prosedur Singkat. Dalam penyelenggaraan arbitrase dengan prosedur singkat, jumlah tuntutan dari masing-masing pihak tidak melebihi Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), jumlah mana tidak termasuk bunga atas jumlah tuntutan, biaya yang berhubungan dengan arbitrase dan biaya-biaya hukum lainnya. Terhadap besarnya jumlah tuntutan yang ditentukan ini, Ketua BANI dapat menentukan lain disesuaikan dengan perkembangan keadaan perekonomian pada umumnya dan sifat/kompleksitas kasus sengketa yang bersangkutan.

Proses penyelenggaraan arbitrase dengan prosedur singkat ini tetap mengacu pada Rules and Procedures BANI, dalam hal-hal sebagai berikut:

a) Pendaftaran dan penyampaian permohonan arbitrase oleh Pemohon. Prosesnya sama dengan penyelenggaraan arbitrase dengan prosedur biasa.

b) Pembayaran biaya pendaftaran dan biaya arbitrase (biaya perkara). Biaya pendaftaran ini harus dibayar oleh Pemohon pada saat menyampaikan permohonannya ke BANI atau ditanggung bersama oleh Pemohon dan Termohon apabila hal itu dicantumkan secara tegas dalam perjanjian yang mereka buat. Selama biaya (perkara) arbitrase belum dilunasi, penyelenggaraan sidang-sidang tidak akan diadakan.

c) Pendaftaran permohonan dan pemberian nomor register oleh Sekretariat BANI. Setelah memenuhi syarat imtuk

(17)

57

diperiksa oleh BANI, permohonan tersebut selanjutnya didaftarkan dan diberi nomor register.

d) Ketua BANI menunjuk seorang Sekretaris (Panitera), untuk memperlancar tugas-tugas penyelenggaraan arbitrase.

e) Tanggapan Termohon. Mengenai format dan isi tanggapan Termohon, sama seperti bentuk dan isi permohonan. Didalam tanggapannya ini Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekonvensi).

f) Selanjutnya para pihak dapat mengajukan replik dan duplik sebagaimana diatur di dalam Peraturan Prosedur BANI terutama apabila para pihak sepakat perkaranya tidak diperiksa dalam persidangan sebagaimana lazimnya, tetapi diserahkan pada arbiter tunggal untuk memutus hanya berdasarkan dokumen-dokumen yang diajukan.

Dalam Keputusan Ketua BANI tentang Peraturan Penyelenggaraan Arbitrase dengan Prosedur Singkat, para pihak dianjurkan bersepakat untuk menunjuk arbiter tunggal. Dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak diterimanya permohonan arbitrase dan usul penunjukan arbiter oleh Pemohon, Termohon harus menyampaikan persetujuan atau penolakan atau mengajukan calon arbiter lainnya untuk dipertimbangkan oleh Pemohon.

Apabila tidak diperoleh kesepakatan tentang penunjukan arbiter oleh masing-masing pihak, maka arbiter tunggal akan ditetapkan oleh Ketua BANI. Dalam waktu 15 (lima belas) hari sejak disepakatinya/ditetapkannya penunjuk kan arbiter tunggal tersebut, arbiter tunggal segera menentukan jadwal untuk memeriksa perkara yang bersangkutan berdasarkan dokumen-dokumen yang diajukan para pihak.

(18)

58

Pada sidang/acara pemeriksaan para pihak dapat menyampaikan keterangan lisan untuk melengkapi dokumen tertulis yang telah diajukan dan/atau untuk menjawab hal-hal yang dikemukakan pihak lawan. Apabila disetujui oleh para pihak, dapat tidak diajukan saksi-saksi yang didengar dalam persidangan arbitrase. Dalam keadaan luar biasa dan/atau atas pertimbangan arbiter tunggal, para pihak dapat mengajukan permohonan untuk menunda sidang namun tidak boleh lebih dari 10 (sepuluh) hari.

Maksudnya adalah agar proses pemeriksaan perkara arbitrase dapat cepat diselesaikan sesuai dengan namanya yaitu prosedur singkat. Dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak penyampaian bukti-bukti, masing-masing pihak dapat menyampaikan kesimpulan, setelah mana pemeriksaan perkara oleh arbiter tunggal dinyatakan ditutup. Apabila disepakati oleh para pihak pemeriksaan perkara oleh arbiter tunggal dan pengambilan putusan dapat dilakukan hanya berdasarkan dokumen-dokumen yang diajukan para pihak tanpa mengadakan pemeriksaan pada persidangan. Jadi, arbiter hanya memeriksa berkas dan dokumen-dokumen yang diajukan oleh para pihak untuk mengambil putusannya.

Putusan akan ditetapkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penutupan pemeriksaan. Putusan disusun secara singkat dan praktis dan apabila disepakati oleh para pihak tidak dibacakan di muka sidang, tetapi dikirimkan langsung kepada para pihak. Di dalam prosedur singkat ini, proses mediasi sebagaimana diatur dalam Surat keputusan Ketua BANI No.06.054/X/SK-BANI/PA tanggal 10 Oktober 2006 tentang Prosedur Mediasi/Konsiliasi Terkait Arbitrase Pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia tetap harus diikuti. Jadi, proses mediasi pada hari sidang pertama wajib ditawarkan oleh

(19)

59

arbiter tunggal yang menangani kasus tersebut. Para pihak dapat menunjuk langsung arbiter yang memeriksa perkara tersebut sebagai mediator.

Sidang-sidang baru akan dilanjutkan apabila para pihak yang difasilitasi oleh mediator/arbiter tunggal yang menangani perkara tersebut tidak berhasil mencapai kata sepakat. Apabila para pihak sepakat menyerahkan perkaranya untuk diselesaikan oleh arbiter tunggal tanpa melalui sidang-sidang, maka setelah proses mediasi yang difasilitasi oleh mediator/arbiter yang memeriksa perkara tersebut tidak berhasil mencapai kata sepakat, maka perkara tersebut akan diperiksa dan diputus hanya berdasarkan dokumen-dokumen yang disampaikan oleh para pihak. Ini berarti, meskipun para pihak telah sepakat untuk menyerahkan kepada arbiter tunggal untuk memutus sengketanya tanpa melalui persidangan sebagaimana lazimnya, proses mediasi tersebut harus tetap ditempuh.

3) Pasca Persidangan (Tindak Lanjut Setelah Putusan Diucapkan) Pasca persidangan adalah proses pemberian kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan koreksi yang bersifat administratif, penyimpanan putusan di kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat termohon, dan pelaksanaan putusan.

Berbeda dengan tata cara di Pengadilan Negeri, dalam proses arbitrase setelah putusan diucapkan, akan ditindak lanjuti dengan kegiatan sebagai berikut:

a) Para Pihak diberi kesempatan untuk mengadakan pembetulan-pembetulan terhadap kesalahan administratif pada Putusan yang dapat dilakukan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan diterima, seperti: kesalahan dalam perhitungan, kesalahan dalam pengetikan (pasal 58

(20)

60

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

b) Pendaftaran (pendeponiran, penyimpanan) lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase ke Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Pada saat itu juga harus diserahkan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya. Bilamana hal tersebut tidak dilakukan, akan berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan (pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

c) Pelaksanaan Putusan.

1) Semestinya dilaksanakan secara sukarela dengan itikad baik.

2) Dalam hal para pihak, biasanya pihak yang kalah, tidak melaksanakan putusan arbitrase, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Pihak yang menang harus mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri setempat dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

3) Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase (Pasal 63 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Putusan

(21)

61

arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Ketiga proses arbitrase tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya merupakan suatu rangkaian proses yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

2. Hambatan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia

Putusan Arbitrase Asing yang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebut dengan Putusan Arbitrase Internasional, terkadang tidak mudah diterima dan dilaksanakan, terutama di Negara dimana pihak yang dikalahkan berada. Berbagai alasan akan diajukan untuk menolak suatu pelaksanaan putusan arbitrase internasional karena adanya beberapa persepsi hakim. Seperti yang diungkapkan oleh Kasianus Telaumbanua, SH., M.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Bandung yang dimana merupakan narasumber penulis dengan cara melakukan wawancara secara langsung pada tanggal 9 Maret 2016 di Pengadilan Negeri Bandung mengklasifikasikan hambatan pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia menjadi 3 (tiga). Beberapa persepsi Hakim di Pengadilan yang menjadi hambatan dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

a) Persepsi Hakim mengenai Ketertiban Umum (Public Policy) Ketertiban umum adalah lembaga hukum yang paling sering dipakai oleh kebanyakan negara untuk menolak berlakunya hukum asing. Hingga saat ini belum ada batasan yang pasti mengenai apa itu ketertiban umum (public policy). Setiap negara, bahkan setiap orang akan menafsirkan ketertiban umum secara berbeda. Dalam konteks

(22)

62

negara ketertiban umum sangat terkait erat dengan ideologi yang dianutnya, serta konfigurasi politik yang ada pada saat itu.

Lembaga ketertiban umum ini juga diterima dalam New York Convention dan UNCITRAL model law, dimana ketertiban umum adalah salah satu alasan untuk menolak suatu putusan arbitrase internasional. Berdasarkan Pasal V (2) huruf b Konvensi New York ditafsirkan sebagai clearly incompatible with public policy or with fundamentak principles of thelaw (public order) of the country in which the award is sought to be relied upon.

Putusan arbitrase internasional menyatakan bahwa luasnya ketertiban umum menurut Konvensi New York 1958 ditafsirkan mencakup antara lain hak-hak untuk membela diri, sengketa-sengketa yang boleh diarbitrase, netralitas arbiter, dan batal demi hukumnya suatu putusan arbitrase.

Menggunakan argumentasi ketertiban umum untuk melawan sebuah putusan arbitrase internasional adalah langkah paling efektif bagi negara tuan rumah (host state), khususnya negara berkembang (developing country) selaku pihak yang dikalahkan untuk menolak putusan arbitrase internasional tersebut. Hal ini terjadi karena pengadilan lokal dimana putusan arbitrase internasional hendak dilaksanakan secara relatif lebih bebas memberi penafsiran terhadap istilah ketertiban umum dimaksud. Dengan demikian lembaga ketertiban umum di satu sisi dapat memberikan perlindungan hukum bagi suatu negara dari putusan arbitrase internasional/arbitrase asing yang mungkin merugikan kepentingan negara yang bersangkutan, akan tetapi di sisi lain seringkali bisa dijadikan alat bagi negara yang dikalahkan untuk secara sengaja mencegah putusan arbitrase internasional tersebut walaupun secara material pada dasarnya putusan dimaksud dapat dilaksanakan. Penulis sepakat dengan pendapat Sudargo Gautama yang

(23)

63

menyatakan bahwa lembaga ketertiban umum hendaknya digunakan seminimal mungkin.

b) Persepsi Hakim mengenai Kepentingan Nasional (National Interest)

Alasan lain yang seringkali digunakan untuk mencegah atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah alasan kepentingan nasional (national interest). Ada persyaratan bahwa hukum yang berlaku harus mendukung terhadap kepentingan nasional, sehingga setiap putusan pengadilan, termasuk juga putusan arbitrase pun hendaknya sesuai atau sejalan dengan kepentingan nasional.

Sama dengan ketertiban umum, lembaga kepentingan nasional inipun tidak terdapat definisi yang pasti. Setiap negara dapat mendefinisikan sesuai dengan sudut pandang (point of view) masing-masing.

Dampak negatif penggunaan alasan kepentingan nasional untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah dapat mengurangi kepastian hukum (legal certainty). Hal ini akan membuat Indonesia semakin di cap sebagai negara yang tidak menjunjung tinggi asas kepastian hukum, baik dalam regulasi maupun dalam pelaksanaan kebijakannya terkait dengan Penanaman Modal Asing.

c) Adanya Gerakan Anti Investor Asing (Anti Foreign Investor Movement)

Ada sebuah kepercayaan bahwa krisis moneter yang terjadi di Asia disebabkan oleh adanya investasi asing. Krisis ekonomi tidak hanya menyebabkan adanya dampak negatif bagi perekonomian negara-negara Asia tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan kondisi politik. Kondisi inilah yang menyebabkan beberapa Non Governmental Organisation (NGO) atau dikenal dengan Lembaga

(24)

64

Swadaya Masyarakat (LSM) berargumentasi bahwa agen asing telah mengorbankan hak moral menentukan kebijakan antikorupsi di Indonesia. Hal ini ternyata juga berdampak bagi Pengadilan Indonesia untuk menjadikannya sebagai bukti dalam menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Ketiga hal tersebut seringkali menjadi hambatan secara umum bagi pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Bahwa pada dasarnya sebuah putusan arbitrase secara umum bersifat final and binding. Adanya klusula arbitrase (arbitration clause) dalam konteks hukum di Indonesia merupakan dasar kompetensi absolut bagi lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara para pihak. Putusan yang dihasilkan oleh lembaga arbitrase setelah didaftarkan ke Pengadilan Negeri atau untuk Putusan Arbitrase Internasional didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka putusan dimaksud seharusnya sudah dapat dilaksanakan oleh para pihak secara sukarela.

Namun pada kenyataannya banyak celah (loop hole) yang secara legal dapat dijadikan alasan untuk menolak pelaksanaan suatu putusan arbitase internasional tersebut. Alasan ketertiban umum (public policy), alasan kepentingan nasional (national interest), dan banyaknya gerakan anti investor asing merupakan alasan yang paling sering dipakai untuk mengelak dari pelaksanaan putusan yang arbitrase internasional.

Hambatan dari segi Undang-Undang adalah mengenai ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang aturannya terdapat dalam Bab VI Pasal 65 sampai dengan Pasal 69. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958.

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dari pelaksanaan

(25)

65

Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya Pasal 66 mengatur hal-hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.

3. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 4) Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia

setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

5) Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selanjutnya Pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Walaupun telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dibandingkan dengan

(26)

66

masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut (yaitu sebelum adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa), Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan arbtirase internasional.

Kesan umum di dunia internasional adalah bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration unfriendly country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional.

Masalah utama yang sering dipersoalkan oleh dunia internasional bahwa pengadilan Indonesia enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan bahwa putusan yang bertentangan dengan public policy atau ketertiban umum. Seperti diketahui, walaupun public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi-sendi pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, dalam hal ini Indonesia, namun penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalu jelas, sehingga keadaan demikian dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum.

Sangat penting untuk dicacatat bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya mencantumkan public policy sebagai alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing (internasional), padahal Konvensi New York dalam Pasal 5 mencantumkan pula sejumlah ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat merupakan alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal yang menyangkut due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) apakah hakim pengadilan Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia adalah anggota Konvensi New York.

(27)

67

Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan berbagai permasalahan dilapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui, prosedur pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan hal mana berarti dapat berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang bersangkutan.

Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam hukum arbitrase di Indonesia adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti diketahui, pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merumuskan putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Dengan adanya rumusan seperti demikian dapat diartikan bahwa putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesia adalah bukan putusan arbitrase asing (internasional), atau putusan arbitrase domestik (nasional).

Hal ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya dengan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.

Ditegaskan pula bahwa Konvensi New York juga berlaku atas putusan yang oleh Negara dimana putusan tersebut diakui dan akan dilaksanakan tidak dianggap sebagai putusan arbitrase domestik. Seperti diketahui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase International di Indonesia,

(28)

68

tetapi tidak mengatur sama sekali tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan mudah orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan diputus di dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti diketahui mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di Indonesia dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat perbedaan dalam prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.

Sedangkan UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 menegaskan bahwa arbitrase adalah internasional apabila:

1. Dari segi para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;

2. Dari segit tempat melaksanakan arbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan menyangkut lebih dari satu negara.

Pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur-unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), dimana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (Pasal 59 dan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Namun apabila dilihat dari Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anggota Konvensi New York.

Hal-hal lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya

(29)

69

I.C.C menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang menyangkut prosedur pelaksanaan. Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang menimbulkan masalah yang berlarut-larut.

Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara-negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan “Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar.

Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum internasional. Maka dari itu hampir semua sengketa arbritase asing yang dieksekusi di Indonesia akan ditolak oleh Hakim Ketua di Indonesia.

3. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Negeri (Nasional) di Indonesia Sebenarnya pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam negeri di Indonesia hampir tidak ada hambatan. Hanya kendala kecil yang sering menjadi permasalahan yang mengakibatkan pelaksanaan putusan arbitrase dalam negeri di Indonesia jadi dibatalkan oleh hakim. Pembatalan putusan arbitrase seperti yang tercantum dalam Bab VII Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menegaskan bahwa:

(30)

70

a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh

salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Tidak dapat dipungkiri juga apabila yang telah tertera pada Bab VI tentang pelaksanaan putusan arbitrase nasional dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan beberapa syarat seperti pada Pasal 59 yang harus dipenuhi agar pelaksanaan putusan arbitrase dapat dilaksanakan. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

A. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

B. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.

C. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

D. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. E. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta

(31)

71

Bunyi pasal diatas sudah ditegaskan secara jelas tetapi sering mendapati Hakim menolak pelaksanaan putusan arbitrase karena syarat tidak dipenuhi dan tidak sesuai dengan Undang-Undang.

Pasal 62 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menegaskan bahwa:

“dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun”

Telah dijelaskan secara jelas dalam pasal diatas bahwa seringkali terjadi hambatan dalam pelaksanaan adalah 3 (tiga) hal yang telah dituliskan diatas. Hal kecil yang menjadi permasalahan hambatan pelaksanaan putusan arbitrase nasional selama ini hanya dikarenakan pihak-pihaknya sendiri yang sedang bersengketa melupakan apa yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Seperti kasus antara PT. Nikko Securities Indonesia melawan PT. Bank Permata, dkk yang dimana penulis melakukan wawancara langsung dengan Hakim Ketua yang membatalkan pelaksanaan putusan arbitrase dikarenakan pada pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak terpenuhi seluruhnya. Sehingga Hakim Ketua yang diketuai oleh Kasianus Telaumbanua, SH., M.H. selaku narasumber penelitian ini membatalkan pelaksanaan putusan arbitrase nasional tersebut.

Hal-hal seperti inilah yang menjadi hambatan selama ini dalam pelaksanaan Putusan Arbitrase nasional di Indonesia.

B. Alasan Putusan Arbitrase di Indonesia tidak Mempunyai Kekuatan Eksekutorial secara Langsung

Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang dikeluarkan oleh arbiter atau majelis arbitrase mengenai suatu sengketa antara beberapa pihak yang sedang bersengketa. Dalam putusan arbitrase harus memuat beberapa

(32)

72

hal seperti yang tercantum secara jelas pada Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdiri dari:

1. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

2. Nama lengkap dan alamat para pihak; 3. Uraian singkat sengketa;

4. Pendirian para pihak;

5. Nama lengkap dan alamat arbiter;

6. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa;

7. Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase;

8. Amar putusan;

9. Tempat dan tanggal putusan; dan

10. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

Beberapa literatur dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini menegaskan bahwa pada putusan arbitrase pada suatu sengketa yang terjadi di dalam negeri harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Dalam artian putusan arbitrase yang telah diucapkan dan diputuskan harus didaftarkan dan diserahkan oleh pihak arbiter atau kuasanya ke Pengadilan Negeri melalui Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan arbitrase diucapkan. Seperti halnya yang telah ditegaskan dalam BAB VI Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 59 ayat (1) yang berbunyi:

“Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri”. Tata cara pelaksanaan putusan arbitrase ini juga diatur dalam Pasal 59 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) yang berbunyi:

(33)

73 Pasal 59 ayat (2):

“Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran”.

Pasal 59 ayat (3):

“Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri”.

Pasal 59 ayat (4):

“Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan”

Pasal 59 ayat (5):

“Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak”

Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatas menerangkan bahwa apabila menginginkan putusan arbitrase setara dengan putusan di Pengadilan Negeri maka putusan arbitrase setelah diucapkan harus diserahkan dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri melalui Panitera Pengadilan Negeri oleh arbiter atau kuasanya sesuai dengan tata cara yang telah tercantum dalam pasal tersebut. Dimana setelah melakukan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri melalui Panitera Pengadilan Negeri oleh arbiter atau kuasanya maka putusan arbitrase tersebut telah memiliki kekuatan eksekutorial/kekuatan untuk mengeksekusi dimana setara dengan putusan di Pengadilan yang sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan

(34)

74

pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Bunyi Pasal 64 diatas menegaskan putusan arbitrase akan memiliki kekuatan eksekutorial setara dengan putusan di Pengadilan setalah didaftarkan dan diterima oleh Hakim Ketua di Pengadilan Negeri selama tidak bertentangan dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:

1. Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.

2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalan ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

3. Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:

1. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangan-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

2. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

(35)

75

Apabila syarat yang dimaksudkan pada Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebeleum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”, Sudah terpenuhi maka putusan arbitrase tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksana putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap dimana sesuai bunyi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Upaya yang harus dilakukan agar putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial yang setara dengan putusan di Pengadilan dengan cara mendaftarkannya ke Pengadilan melalui Panitera Pengadilan Negeri oleh arbiter atau kuasanya.

Pada kenyataannya di Indonesia yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya demi hukum kekuatan eksekutorial pada Putusan Arbitrase di Indonesia yang dimana sebenarnya mengikat para pihak yang bersengketa. Banyak permasalah arbitrase yang berawal hanya diselesaikan di ranah arbitrase atau non litigasi berakhir di Pengadilan negeri. Oleh sebab itu, penulis telah mengklasifikasikan beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Putusan Arbitrase tidak demi hukum mempunyai Kekuatan Eksekutorial secara langsung, antara lain:

1. Salah satu pihak yang bersengketa terutama pihak yang kalah dalam Putusan Arbitrase

Hal ini penulis cantumkan karena salah satu pihak khususnya pihak yang kalah dalam Putusan Arbitrase ini salah satu faktor alasan

(36)

76

Putusan Arbitrase tidak demi hukum mempunyai Kekuatan Eksekutorial secara langsung. Dikarenakan salah satu pihak yang kalah dalam sengketa arbitrase merasa tidak terima dengan kekalahannya sehingga mengajukan permasalahan ini kedalam ranah Pengadilan Negeri. Hal ini yang menyebabkan Putusan Arbitrase tidak demi hukum mempunyai Kekuatan Eksekutorial secara langsung karena Putusan Arbitrase yang telah diucapkan oleh pihak arbiter yang telah mengikat kedua belah pihak yang bersengketa akhirnya tidak memiliki Kekuatan Eksekutorial secara langsung tersebut telah beralih ke ranah Pengadilan Negeri.

Penulis juga melakukan peneilitian di Indonesia ini banyak sekali permasalahan yang terjadi antara para pihak yang bersengketa yang mengambil jalur non litigasi / arbitrase berakhir pada tidak puasnya terhadap putusan arbiter. Hal ini sering terjadi pada pihak yang kalah dalam Putusan Arbitrase tersebut yang dimana seharusnya arbitrase selesai dengan mengutamakan asas win-win solution. Pihak yang kalah dalam bersengketa mengajukan keberatannya ke ranah Pengadilan dengan mendaftarkan melalui arbiter atau kuasanya ke Pengadilan Negeri oleh Panitera Pengadilan Negeri. Seperti yang tercantum pada Pasal 59 ayat (2) yang berbunyi:

“Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.”

Padahal yang sebenarnya telah tercantum secara jelas dan nyata pada Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”

(37)

77

Bunyi dari Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatas menyatakan bahwa para pihak tidak dapat mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Seringkali para pihak khususnya pihak yang kalah dalam bersengketa mendaftarkan beda pendapatnya atau keberatannya ke ranah Pengadilan Negeri. Hal ini jelas menyimpang dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Apabila salah satu pihak mendaftarkan Putusan Arbitrase ke Pengadilan Negeri tersebut diatas menjadikan Putusan Arbitrase tersebut tidak demi hukum memiliki Kekuatan Eksekutorial secara langsung. Itulah mengapa penulis memasukkan pihak yang kalah dalam sengketa arbitrase menjadi salah satu penyebab Putusan Arbitrase tidak demi hukum mempunyai Kekuatan Eksekutorial secara langsung.

2. Tidak adanya iktikad baik dari Hakim di Pengadilan Negeri untuk menolak mengadili sengketa yang berdasarkan klausul arbitrase

Tidak adanya iktikad baik dari Hakim di Pengadilan Negeri juga merupakan salah satu alasan penulis tulis mengapa Putusan Arbitrase tidak demi hukum mempunyai Kekuatan Eksekutorial secara langsung. Hal ini dikarenakan seringkali permasalah arbitrase yang dimana telah penulis sampaikan di poin nomor 1 diatas yaitu salah satu pihak khususnya pihak yang kalah dalam bersengketa seringkali mengajukan Putusan Arbitrase ke ranah Pengadilan Negeri.

Pengajuan Putusan Arbitrase benar adanya dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tantang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa didalam Bab VI secara jelas tertulis. Akan tetapi mengapa harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri apabila Putusan Arbitrase tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak seperti yang pada Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

(38)

78

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.”

Pengajuan Putusan Arbitrase ke Pengadilan Negeri sering diterima oleh pihak Pengadilan baik pihak Pengadilan Negeri maupun Hakim di Pengadilan Negeri tersebut. Dimana penulis membaca pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dituliskan secara jelas dan nyata bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. seperti yang tertera pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”

Pada kenyataannya Pengadilan Negeri tetap menerima permasalahan antara kedua belah pihak yang saling bersengketa tersebut. Padahal pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut jelas dikatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terdapat didalamnya perjanjian arbitrase.

Penulis juga menambahkan lagi untuk menguatkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berhak mengadili sengketa para pihak yang terdapat didalamnya perjanjian arbitrase yaitu tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dimana di Indonesia ini khususnya di Pengadilan Negeri tetap menerima dan mengadili permasalahan antara para pihak yang didalamnya terdapat perjanjian arbitrase dengan mengutamakan iktikad baik Pengadilan Negeri dan Hakim di Pengadilan Negeri. Iktikad baik dari Pengadilan Negeri dan Hakim di Pengadilan Negeri ini secara

(39)

79

nyata dan jelas menyalahi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tantang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berbunyi:

“(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”

“(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam sautau penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.” Tidak adanya iktikad baik dari Hakim di Pengadilan Negeri inilah yang menjadikan dalah satu penyebab alasan mengapa Putusan Arbitrase tidak demi hukum mempunyai Kekuatan Eksekutorial secara langsung. Tidak adanya ktikad baik dari Hakim di Pengadilan Negeri ini juga menyimpang dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya pada Pasal 3 dan Pasal 11 dan akhirnya walau diajukan banding ke Mahkamah Agung maka Pengadilan Negeri dinyatakan bersalah karena telah mengadili.

Beberapa contoh kasus yang sama seperti penulis sampaikan dan paparkan diatas antara lain:

a. Kasus PT. Nikko Securities Indonesia melawan PT. Bank Permata dkk.

b. PT. Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk melawan PT. Santoso Abdi Insani.

c. PT. Asuransi Purna Artanugraha melawan PT. Proton Liftindo Perkasa, Asuransi Wahana Tata

d. Kasus Pertamina (Persero) dan Pertamina EP melawan PT Lirik Petrolium.

e. Kasus Karaha Bodas Company (KBC) melawan Pertamina f. Kasus Bankers Trust Company

(40)

80

g. Kasus Bankers Trust International dan PT. BT. Prima Securities Indonesia dengan PT. Mayora Indah Tbk.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mempertahankan dan tidak mempertahankan lahan sawah, menaksir proyeksi luas

Berdasarkan kepada ini, kedua-dua model tersebut dikatakan antara model yang wujud khususnya dalam melihat perkembangan Malaysia ke arah prospek negara kebajikan di

(Untuk langkah-langkah perhitungan ketuntasan hasil belajar siswa kelas X-5 lihat Lampiran 23). Berdasarkan kriteria efektivitas pembelajaran yang digunakan pada penelitian

Rapat Permusyawaratan Hakim Sidang Pleno; Memeriksa Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait, dan Keterangan Bawaslu; Mengesahkan alat bukti; Memeriksa alat bukti,

Pelayanan yang biasanya dilakukan dengan pemesanan nomor antrean bisa dilakukan juga dengan cara walk in namun tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ditetapkan

(1) Kepada dokter/dokter gigi/apoteker yang memiliki surat keterangan ijazah terdaftar yang dimaksudkan dalam pasal 4 dan surat izin menjalankan pekerjaan dokter/dokter

 putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Namun dalam

Universitas Sumatera Utara Lampiran 3: Waktu