• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengetahuan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi"

Copied!
221
0
0

Teks penuh

(1)

PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS

KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI

(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)

Oleh :

KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

This research examines knowledge and factors affecting the access of migrants population in squatter dwellings to free or subsidized health services from the government. Most migrants live in this squatter dwellings came from villages around Java Island. Their migrants status will be an interesting topic related to their legal community status. There is a significant relation between the community legal status and their access to free or subsidized health services from the governmnet. The ownnership of a local ID Card or KTP (Kartu Tanda Penduduk) is very important for accessing the free or subsidized health services. Only minor of the respondents own DKI Jakarta ID Card, the majority of them still hold their origin village ID Card. Some respondents hold free or subsidized health services cards from their origin villages and only can use them in their origin villages.

(3)

YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI

PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS

KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI. Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI).

Ketimpangan pendistribusian hasil pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan menimbulkan kesenjangan sosial tersendiri antara penduduk yang tinggal di desa dengan penduduk yang tinggal di kota. Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di desa memutuskan untuk pindah ke kota (migrasi) dengan harapan dapat menikmati hasil pembangunan yang telah dicapai tersebut sehingga kesejahteraan hidup mereka juga dapat meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk di kota menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman juga mengalami peningkatan sedangkan jumlah lahan yang ada jumlahnya tetap. Tetapi pekerjaan di sektor informal dengan upah rendah yang dijalani oleh migran akan mempersulit mereka memiliki lahan untuk dijadikan permukiman. Pada akhirnya mereka memilih mendirikan gubuk dengan triplek dan seng bekas di lahan kosong yang biasa dikenal dengan istilah permukiman liar. Melihat status kependudukan yang mereka miliki, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta, maka para migran tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses fasilitas dan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang kesehatan

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (2) menganalisis kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (3) menganalisis pengaruh status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman liar di Jakarta terhadap akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat permukiman liar di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan yang ditentukan secara sengaja (Purposive). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2009.

Pemerintah memiliki program yang bertujuan untuk menunjang kesehatan masyarakatnya. Program tersebut memiliki berbagai macam nama antara lain adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang dulunya lebih dikenal dengan Askes, Gakin (Kartu Keluarga Miskin) dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Ketiganya memiliki fungsi untuk membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga miskin dalam bidang kesehatan. Akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kebanyakan, termasuk di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung.

(4)

api dan sungai Ciliwung. Permukiman liar tersebut terbagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah permukiman liar yang berdiri di atas tanah milik pribadi dan tanah milik PJKAI serta Dinas Perairan DKI Jakarta. Seluruh penghuninya adalah pendatang yang sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di pulau jawa seperti Karawang, Pati, Tegal, Cikarang, Rangkas, Bogor, Banten, Ponorogo, Aceh, Ngawi, Riau, Ciledug, Bekasi, Surabaya dan Madura. Pekerjaan yang dilakukan oleh pendatang yang tinggal diwilayah tersebut semuanya bergerak di sektor informal seperti pengumpul barang rongsokan.

Sebanyak sembilan orang responden memiliki pendapatan per bulan antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.500.000,00. Akan tetapi masih ada juga responden yang berpenghasilan dibawah Rp 1.000.000,00 yaitu sebanyak 21 orang responden. Pendapatan yang dimiliki oleh responden sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi makanan sehari-hari. Responden merasa bahwa cukup dengan makan saja tubuh mereka sudah sehat sehingga dianggap tidak perlu mengeluarkan uang untuk investasi kesehatan.

Akses migran di permukiman liar terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi masih sangat kurang. Hal tersebut ditunjukkan dari kepemilikan responden terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden hanya terdapat empat orang atau sebesar 13,33 persen yang mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan yang dapat meringankan responden saat responden memerlukan bantuan kesehatan.

Kurangnya pengetahuan penghuni di permukiman liar mengenai adanya bantuan dari pemerintah menjadi salah satu faktor rendahnya akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Disebabkan antara lain tidak adanya sosialisasi yang dilakukan oleh aparat desa baik dari pihak kelurahan atau kecamatan dan dari RT atau RW. Tingkat pendidikan responden tidak menunjukkan bahwa adanya hubungan dengan kepemilikan terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Responden dengan tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu dapat dengan mudah memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi.

(5)

PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS

KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI

(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)

Oleh :

KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807

Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Judul : Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi

(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)

Nama Mahasiswa : Khoerini Rifki Saputri Nomor Mahasiswa : I34051807

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS NIP. 19600827 198603 2 002

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001

(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI (KASUS: KELURAHAN LENTENG AGUNG, KECAMATAN

JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, September 2009

(8)

Penulis bernama Khoerini Rifki Saputri yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 1987. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan suami isteri H. Sakimo dan Hj. Ulfah Mundiastri. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman Kanak-Kanak Borobudur pada tahun 1992-1993. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Negeri 03 Jagakarsa Jakarta Selatan pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 41 Jakarta pada tahun 1999-2002, dan SMA 49 Jakarta pada tahun 2002-2005.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa

memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses

Masyarakat Migran di Permukiman Liar di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan

Gratis atau Bersubsidi (Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa,

Jakarta Selatan)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi

Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini menjelaskan mengenai pengetahuan tentang fasilitas kesehatan

gratis atau bersubsidi dari pemerintah yang dimiliki migran di permukiman liar.

Selain itu juga mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi akses

migran tersebut dalam memanfaatkan bantuan pemerintah tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas

segala bantuan, bimbingan dan arahan serta kesabarannya dalam

penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Ir. Said Rusli, MS selaku dosen penguji utama yang telah

meluangkan waktu dan memberi kritikan serta saran untuk perbaikan

skripsi ini.

3. Bapak Martua Sihaloho, SP, Msi selaku penguji dari Departemen Sains

KPM yang telah bersedia mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi

(10)

5. Bapak H. Sakimo dan Ibu Hj. Ulfah, Mas Tiar, Mbak Vivin dan Zahra

tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan

skripsi ini, terima kasih atas doanya.

6. Seluruh responden, atas kerjasamanya yang baik selama penelitian.

7. Bapak Haidin dan keluarga, Ibu Dokter Dewi dan Bapak Mustofa yang

telah membantu dalam proses penelitian di Kelurahan Lenteng Agung

Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, terima kasih atas bantuannya.

8. Sahabatku, Ema, Puty, Nits, Taye, Hesti, Lusi, Indah, Egi, Rofian, Nchie,

Tami, Riska, Achie, Yoe, Ufa, Ira, Novi, Merlin, Selvi, Sinta, Adilla,

Corry, Ria, Nia, Ani, Hendri dan Edo yang telah memberikan motivasi,

perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan cerita,

kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doanya.

9. Teman-teman KPM 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima

kasih atas kebersamaan, semangat, dan dukungannya.

10.Mas Gunawan, atas perhatian, semangat dan motivasinya.

11.Serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sebagai referensi skripsi

selanjutnya, khususnya yang menyangkut topik serupa.

Bogor, September 2009

(11)

PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS

KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI

(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)

Oleh :

KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(12)

This research examines knowledge and factors affecting the access of migrants population in squatter dwellings to free or subsidized health services from the government. Most migrants live in this squatter dwellings came from villages around Java Island. Their migrants status will be an interesting topic related to their legal community status. There is a significant relation between the community legal status and their access to free or subsidized health services from the governmnet. The ownnership of a local ID Card or KTP (Kartu Tanda Penduduk) is very important for accessing the free or subsidized health services. Only minor of the respondents own DKI Jakarta ID Card, the majority of them still hold their origin village ID Card. Some respondents hold free or subsidized health services cards from their origin villages and only can use them in their origin villages.

(13)

YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI

PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS

KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI. Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI).

Ketimpangan pendistribusian hasil pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan menimbulkan kesenjangan sosial tersendiri antara penduduk yang tinggal di desa dengan penduduk yang tinggal di kota. Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di desa memutuskan untuk pindah ke kota (migrasi) dengan harapan dapat menikmati hasil pembangunan yang telah dicapai tersebut sehingga kesejahteraan hidup mereka juga dapat meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk di kota menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman juga mengalami peningkatan sedangkan jumlah lahan yang ada jumlahnya tetap. Tetapi pekerjaan di sektor informal dengan upah rendah yang dijalani oleh migran akan mempersulit mereka memiliki lahan untuk dijadikan permukiman. Pada akhirnya mereka memilih mendirikan gubuk dengan triplek dan seng bekas di lahan kosong yang biasa dikenal dengan istilah permukiman liar. Melihat status kependudukan yang mereka miliki, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta, maka para migran tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses fasilitas dan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang kesehatan

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (2) menganalisis kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (3) menganalisis pengaruh status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman liar di Jakarta terhadap akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat permukiman liar di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan yang ditentukan secara sengaja (Purposive). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2009.

Pemerintah memiliki program yang bertujuan untuk menunjang kesehatan masyarakatnya. Program tersebut memiliki berbagai macam nama antara lain adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang dulunya lebih dikenal dengan Askes, Gakin (Kartu Keluarga Miskin) dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Ketiganya memiliki fungsi untuk membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga miskin dalam bidang kesehatan. Akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kebanyakan, termasuk di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung.

(14)

api dan sungai Ciliwung. Permukiman liar tersebut terbagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah permukiman liar yang berdiri di atas tanah milik pribadi dan tanah milik PJKAI serta Dinas Perairan DKI Jakarta. Seluruh penghuninya adalah pendatang yang sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di pulau jawa seperti Karawang, Pati, Tegal, Cikarang, Rangkas, Bogor, Banten, Ponorogo, Aceh, Ngawi, Riau, Ciledug, Bekasi, Surabaya dan Madura. Pekerjaan yang dilakukan oleh pendatang yang tinggal diwilayah tersebut semuanya bergerak di sektor informal seperti pengumpul barang rongsokan.

Sebanyak sembilan orang responden memiliki pendapatan per bulan antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.500.000,00. Akan tetapi masih ada juga responden yang berpenghasilan dibawah Rp 1.000.000,00 yaitu sebanyak 21 orang responden. Pendapatan yang dimiliki oleh responden sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi makanan sehari-hari. Responden merasa bahwa cukup dengan makan saja tubuh mereka sudah sehat sehingga dianggap tidak perlu mengeluarkan uang untuk investasi kesehatan.

Akses migran di permukiman liar terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi masih sangat kurang. Hal tersebut ditunjukkan dari kepemilikan responden terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden hanya terdapat empat orang atau sebesar 13,33 persen yang mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan yang dapat meringankan responden saat responden memerlukan bantuan kesehatan.

Kurangnya pengetahuan penghuni di permukiman liar mengenai adanya bantuan dari pemerintah menjadi salah satu faktor rendahnya akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Disebabkan antara lain tidak adanya sosialisasi yang dilakukan oleh aparat desa baik dari pihak kelurahan atau kecamatan dan dari RT atau RW. Tingkat pendidikan responden tidak menunjukkan bahwa adanya hubungan dengan kepemilikan terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Responden dengan tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu dapat dengan mudah memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi.

(15)

PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS

KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI

(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)

Oleh :

KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807

Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(16)

Judul : Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi

(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)

Nama Mahasiswa : Khoerini Rifki Saputri Nomor Mahasiswa : I34051807

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS NIP. 19600827 198603 2 002

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001

(17)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI (KASUS: KELURAHAN LENTENG AGUNG, KECAMATAN

JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, September 2009

(18)

Penulis bernama Khoerini Rifki Saputri yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 1987. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan suami isteri H. Sakimo dan Hj. Ulfah Mundiastri. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman Kanak-Kanak Borobudur pada tahun 1992-1993. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Negeri 03 Jagakarsa Jakarta Selatan pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 41 Jakarta pada tahun 1999-2002, dan SMA 49 Jakarta pada tahun 2002-2005.

(19)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa

memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses

Masyarakat Migran di Permukiman Liar di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan

Gratis atau Bersubsidi (Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa,

Jakarta Selatan)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi

Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini menjelaskan mengenai pengetahuan tentang fasilitas kesehatan

gratis atau bersubsidi dari pemerintah yang dimiliki migran di permukiman liar.

Selain itu juga mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi akses

migran tersebut dalam memanfaatkan bantuan pemerintah tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas

segala bantuan, bimbingan dan arahan serta kesabarannya dalam

penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Ir. Said Rusli, MS selaku dosen penguji utama yang telah

meluangkan waktu dan memberi kritikan serta saran untuk perbaikan

skripsi ini.

3. Bapak Martua Sihaloho, SP, Msi selaku penguji dari Departemen Sains

KPM yang telah bersedia mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi

(20)

5. Bapak H. Sakimo dan Ibu Hj. Ulfah, Mas Tiar, Mbak Vivin dan Zahra

tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan

skripsi ini, terima kasih atas doanya.

6. Seluruh responden, atas kerjasamanya yang baik selama penelitian.

7. Bapak Haidin dan keluarga, Ibu Dokter Dewi dan Bapak Mustofa yang

telah membantu dalam proses penelitian di Kelurahan Lenteng Agung

Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, terima kasih atas bantuannya.

8. Sahabatku, Ema, Puty, Nits, Taye, Hesti, Lusi, Indah, Egi, Rofian, Nchie,

Tami, Riska, Achie, Yoe, Ufa, Ira, Novi, Merlin, Selvi, Sinta, Adilla,

Corry, Ria, Nia, Ani, Hendri dan Edo yang telah memberikan motivasi,

perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan cerita,

kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doanya.

9. Teman-teman KPM 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima

kasih atas kebersamaan, semangat, dan dukungannya.

10.Mas Gunawan, atas perhatian, semangat dan motivasinya.

11.Serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sebagai referensi skripsi

selanjutnya, khususnya yang menyangkut topik serupa.

Bogor, September 2009

(21)

Halaman

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 8

2.1. Tinjauan Pustaka ... 8

2.1.1. Konsep Migrasi dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Migrasi Di Indonesia ... 8

2.1.2. Konsep Urbanisasi dan Tingkat Urbanisasi yang Terjadi Di Indonesia ... 11

2.1.3. Definisi Permukiman Liar dan Pertumbuhannya Di Daerah Perkotaan ... 14

2.1.4. Konsep Masyarakat Miskin ... 18

2.1.5. Fasilitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin ... 20

2.1.5.1. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) ... 20

2.1.5.2. Kartu Keluarga Miskin (Gakin) ... 23

2.1.5.3. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) ... 26

2.1.6. Sistem Pencatatan Penduduk di Indonesia ... 27

2.1.6.1. Registrasi Vital ... 27

2.1.6.2. Registrasi Penduduk ... 28

2.1.6.3. Statistik Migrasi Internasional ... 29

2.2. Kerangka Pemikiran ... 29

(22)

Halaman

2.4. Definisi Konseptual ... 32 2.5. Definisi Operasional... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Metode Penelitian... 36 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37 3.3. Teknik Pemilihan Responden dan Informan ... 38 3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 39 3.5. Teknik Analisis Data ... 40

BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN ... 43

4.1. Lokasi dan Keadaan Wilayah... 43 4.2. Fasilitas Umum ... 45

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN ... 49

5.1. Pembahasan Gambaran Umum Responden ... 49 5.2. Pendidikan Terakhir Responden ... 51 5.3. Daerah Asal Responden ... 52 5.4. Keberadaan Keluarga Responden ... 54 5.5. Pekerjaan Responden ... 55 5.6. Pendapatan Responden... 56 5.7. Akses Migran Di Permukiman Liar Terhadap Pelayanan Kesehatan

Gratis atau Bersubsidi ... 59 5.8. Ikhtisar ... 60

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

6.1. Pengetahuan Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Mengenai

Adanya Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi ... 62 6.2. Keterkaitan Antara Pengetahuan Responden dan Aksesnya Terhadap

(23)

Halaman

6.3. Kendala Dalam Memanfaatkan Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi Serta Keterkaitannya dengan Akses Responden Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi ... 69

6.3.1. Tingkat Pendidikan Responden ... 69 6.3.2. Pendapatan Responden ... 71 6.3.3. Faktor-faktor Lainnya ... 74 6.4. Status Kependudukan Responden ... 78 6.5. Ikhtisar ... 84

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

7.1. Kesimpulan ... 86 7.2. Saran ... 88

(24)

Halaman

Tabel 1. Pencari Kerja dan Kesempatan Kerja Yang Terdaftar Menurut Provinsi DKI Jakarta, 2002-2006 ... 3 Tabel 2. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir, di

Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 52 Tabel 3. Jumlah Responden Menurut Daerah Asalnya, di Kelurahan

Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 53 Tabel 4. Jumlah Responden Menurut Tempat Tinggal Keluraga, di

Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 55 Tabel 5. Jumlah Responden Menurut Pekerjaan, di Kelurahan Lenteng

Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 55 Tabel 6. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendapatan, di Kelurahan

Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 57 Tabel 7. Jumlah Responden Menurut Informasi Mengenai Fasilitas

Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 63 Tabel 8. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pengetahuan dan Aksesnya

Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi,

di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 66 Tabel 9. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir dan

Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 70 Tabel 10. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendapatan Individu Per

bulan dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan

(25)

Halaman

Tabel 11. Jumlah Responden Menurut Pengetahuan Cara Memperoleh Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 75 Tabel 12. Jumlah Responden Menurut Kepemilikan KTP dan Masa Berlaku

KTP, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa,

Juli 2009 ... 78 Tabel 13. Jumlah Responden Menurut Dimana KTP Terdaftar Terhadap

(26)

Halaman

(27)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konsep pembangunan yang berkembang disekitar kita antara lain konsep

pembangunan yang bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi dan konsep

pembangunan yang bertujuan untuk membangun kualitas sumberdaya manusia

(Sugianto, 2007). Pembangunan di Indonesia terlihat lebih mengarah pada

pembangunan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan hasil pembangunan yang

diharapkan dapat dirasakan oleh semua pihak tidak dapat diwujudkan. Hasil

pembangunan hanya tersentralisasi pada penduduk yang berada dekat dengan

pusat pemerintahan dan kota-kota besar saja.

Ketimpangan pendistribusian hasil pembangunan yang terjadi antara

daerah perkotaan dan pedesaan merupakan salah satu bentuk permasalahan yang

dihadapi oleh Indonesia dalam melaksanakan pembangunan (Sugianto, 2007).

Menurut Sugianto (2007) hal tersebut menimbulkan kesenjangan sosial tersendiri

antara penduduk yang tinggal di desa dengan penduduk yang tinggal di kota.

Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di desa memutuskan untuk pindah ke

kota (migrasi) dengan harapan dapat menikmati hasil pembangunan sehingga

kesejahteraan hidup mereka juga dapat meningkat. Setiap tahunnya jumlah

penduduk yang melakukan migrasi ke DKI Jakarta mengalami peningkatan

sehingga terjadi kepadatan penduduk di wilayah DKI Jakarta.

Jumlah penduduk DKI Jakarta berdasarkan estimasi Survei Sosial

(28)

jiwa dengan luas wilayahnya adalah 661,52 kilometer persegi (BPS, 2007).

Berdasarkan estimasi SUSENAS tersebut berarti kepadatan penduduknya

mencapai 13,5 ribu per kilometer persegi. Jika dilihat dari jumlah dan laju

pertumbuhan penduduk berdasarkan hasil SUSENAS pada tahun 1990, 2000 dan

2006 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1990 diketahui

jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 8.259.266 jiwa, tahun 2000 jumlahnya

mengalami peningkatan menjadi 8.385.639 jiwa, tahun 2006 jumlah penduduk

DKI Jakarta menjadi 8.961.680 jiwa (BPS, 2007). Berdasarkan hasil tersebut

dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan laju pertumbuhan penduduk antara

tahun 1990-2000 (0,16%) dan tahun 2000-2006 (1,11%).

Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk kota di negara berkembang,

termasuk DKI Jakarta, telah menimbulkan banyak masalah. Gejala paling nyata

dalam masalah ini adalah pertumbuhan yang tidak terkendali dari permukiman

migran dan juga semakin banyaknya daerah miskin di banyak kota. Menurut

Suyono (2003) saat ini tidak kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi

sangat miskin di negara-negara berkembang. Salah satu negara berkembang

adalah Indonesia dimana jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia

berjumlah 76,4 juta jiwa (Depkes, 2008).

Menurut Rusli (1995) keputusan melakukan migrasi ke kota yang

dilakukan oleh penduduk desa dipengaruhi oleh faktor pendorong yang berasal

dari daerah asal para migran (desa) dan faktor penarik yang berasal dari tempat

tujuan migrasi (kota). Faktor pendorong penduduk desa melakukan migrasi antara

lain adalah kurangnya lapangan pekerjaan yang terdapat di desa serta rendahnya

(29)

mahal. Faktor penarik penduduk desa melakukan migrasi adalah beragamnya jenis

pekerjaan yang tersedia di kota

Terkadang kedatangan para migran ke kota tidak diimbangi dengan

keterampilan yang mendukung dan tidak sedikit diantara mereka yang memiliki

tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut menjadi kendala bagi migran dalam

memperoleh pekerjaan. Selain itu persaingan dalam memperoleh pekerjaan di

kota juga dapat dilihat dari perbandingan jumlah penduduk pencari kerja dengan

jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Berdasarkan data yang diperoleh dari

BPS dapat diketahui bahwa di DKI Jakarta telah terjadi ketimpangan antara

jumlah pencari kerja dengan lapangan pekerjaan yang masih tersedia. Hal tersebut

dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Pencari Kerja dan Kesempatan Kerja Yang Terdaftar Menurut Provinsi DKI Jakarta, 2002-2006

Tahun 2002 2003 2004 2005 2006

Pencari Kerja 135.257 354.087 20.618 48.803 65.687

Lapangan Pekerjaan

yang Masih Tersedia

8.049 44.524 7.782 15.711 18.768

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007.

Data di atas menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang masih tersedia

yang ada di DKI Jakarta belum mampu menampung jumlah pencari kerja. Oleh

karena itu, banyak penduduk yang lebih memilih pekerjaan disektor informal,

tidak terkecuali para migran. Para migran dengan tingkat pendidikan dan

kemampuan yang rendah tidak mampu bersaing dengan pencari kerja lainnya

(30)

akhirnya mereka lebih memilih menggantungkan hidupnya dengan bekerja pada

sektor informal dengan upah yang rendah.

Meningkatnya jumlah penduduk di kota menyebabkan kebutuhan lahan

untuk permukiman juga mengalami peningkatan sedangkan jumlah lahan yang

ada jumlahnya tetap (Rindarjono, 2007). Harga lahan di kota semakin hari

semakin mengalami peningkatan. Tetapi dengan keadaan ekonomi yang dialami

oleh migran dengan upah rendah maka akan sulit memiliki lahan untuk dijadikan

permukiman. Pada akhirnya mereka memilih mendirikan gubuk dengan triplek

dan seng bekas di lahan kosong yang belum terpakai seperti di bantaran kali,

pinggir rel kereta api, tempat pembuangan sampah akhir bahkan di pemakaman

cina atau yang biasa dikenal dengan istilah permukiman liar. Keberadaan tempat

tinggal mereka di tempat tersebut tentu saja bersifat ilegal. Hal tersebut

berpengaruh terhadap status kependudukan yang dimiliki oleh migran.

Keberadaan mereka yang ilegal menyebabkan mereka sulit memperoleh KTP

kelurahan setempat.

Melihat status kependudukan yang mereka miliki, dimana sebagian besar

dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta, maka para migran tersebut

memiliki keterbatasan dalam mengakses fasilitas dan pelayanan yang disediakan

oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia.

Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang kesehatan.

Manusia sebagai makhluk biologis pada saat tertentu pasti mengalami

penurunan kekebalan tubuh sehingga kuman penyakit dapat masuk ke dalam

tubuh dan menyebabkan orang yang bersangkutan menderita sakit. Jika seseorang

(31)

untuk mengetahui penyakit apa yang diderita dan apa penyebabnya. Akan tetapi,

saat ini untuk dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan diperlukan biaya yang

tidak sedikit. Hal tersebut menjadi pertimbangan tersendiri bagi penduduk yang

berada di permukiman liar mengingat keadaan ekonomi mereka yang serba

kurang.

Pemerintah sebenarnya telah menyediakan beberapa pelayanan kesehatan

bagi masyarakat menengah kebawah. Salah satunya cara yang dilakukan

pemerintah antara lain menerbitkan kartu yang dapat digunakan untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis atau subsidi bagi masyarakat

miskin yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Surat Keluarga Miskin

(GAKIN) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Namun apakah semua masyarakat miskin yang menjadi sasaran program

tersebut sudah dapat memanfaatkannya dengan baik?. Kemungkinan terlewatinya

masyarakat migran di permukiman liar untuk dapat menikmati fasilitas kesehatan

yang disediakan pemerintah menjadi lebih besar karena mereka tidak mempunyai

catatan tempat tinggal yang pasti. Selain itu, masih menjadi pertanyaan

sejauhmana pengetahuan masyarakat yang menjadi target program tersebut

mengerti apa dan bagaiamana cara menggunakan fasilitas kesehatan tersebut.

Maka dalam penelitian ini akan dicoba untuk dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perumusan masalah penelitian.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa masalah yang menjadi

(32)

1. Sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta

mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi?

2. Apa kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta

dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi?

3. Apakah status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman liar di

Jakarta mempengaruhi akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan

gratis atau bersubsidi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar

di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.

2. Menganalisis kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di

Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.

3. Menganalisis pengaruh status kependudukan yang dimiliki migran di

permukiman liar di Jakarta terhadap akses mereka dalam memanfaatkan

fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

keterkaitan yang terjadi antara keberadaan tempat tinggal migran yang bersifat

ilegal dengan kemampuan mengakses pelayanan kesehatan yang telah disediakan

(33)

diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca maupun peminat studi yang

dijadikan topik penulisan untuk menambah informasi sekaligus dapat dijadikan

sebagai salah satu bahan rujukan bagi penulisan ilmiah terkait. Bagi pemerintah,

penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk lebih memperhatikan pola

pendistribusian fasilitas kesehatan yang diperuntuhkan untuk masyarakat miskin.

Bagi masyarakat, penelitian ini diharapakan dapat meningkatkan kesadaraan

mengenai pentingnya melakukan registrasi penduduk serta dapat meningkatkan

(34)

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Konsep Migrasi dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Migrasi di Indonesia

Migrasi merupakan salah satu istilah yang biasa dipakai dalam

menyatakan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya. Migrasi

adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara

unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari daerah asal ke

tempat tujuan (Rusli, 1995). Menurut Rusli (1995) migrasi merupakan dimensi

gerak penduduk permanen sedangkan dimensi gerak penduduk non-permanen

terdiri dari sirkulasi dan komutasi.

Zelinsky (1971) dalam Rusli (1995) menyatakan bahwa, istilah circulator

secara umum bermakna berbagai macam gerak penduduk yang biasanya berciri

jangka pendek, repetitif, atau siklikal dimana punya kesamaan dalam hal tak

nampak niat yang jelas untuk mengubah tempat tinggal yang permanen. Menurut

Rusli (1995) sirkulasi merupakan gerak berselang antara tempat tinggal dengan

tempat tujuan baik untuk bekerja maupun untuk tujuan lain pada periode waktu

tertentu dimana para sirkulator menginap ditempat tujuan sedangkan komutasi

adalah gerak berulang hampir setiap hari antara tempat tinggal dengan tempat

tujuan atau dengan kata lain komuter pada dasarnya tidak punya rencana untuk

(35)

Menurut Rusli (1995) secara umum terdapat dua jenis migrasi yaitu

migrasi internal dan migrasi internasional. Migrasi internasional adalah migrasi

yang terjadi antar negara dan seorang dikatakan melakukan emigrasi jika migrasi

internasional dipandang dari negara asal atau negara pengirim. Sementara imigrasi

bilamana migrasi tersebut dilihat dari negara penerima atau negara tujuan. Migrasi

internal adalah migrasi yang terjadi dalam batas-batas wilayah suatu negara.

Menurut Kartini (1995) dalam Pardede (2008) yang mengutip pendapat Safa dan Du Toit (1975), menyatakan bahwa migrasi tidak semata-mata sebagai proses

perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, tetapi proses migrasi

mencakup bagaimana penyesuaian warga yang melakukan migrasi terhadap

lingkungan sosial yang baru.

Proses migrasi pada umumnya terjadi karena adanya faktor pendorong dari

desa asal (push factor) dan faktor penarik dari kota tujuan (pull factor). Selain itu, Lee (1969) berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat

maupun jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan

daerah asal, daerah tujuan, pribadi dan rintangan-rintangan antara.1 Faktor

pendorong adalah faktor yang berasal dari daerah asal yang menjadi pertimbangan

migran dalam melakukan migrasi. Melihat alasan-alasan yang dikemukakan

responden maka dapat diketahui bahwa faktor pendorong yang melatarbelakangi

migran keluar dari daerah asal terutama didorong oleh alasan ekonomi, yaitu

untuk meningkatkan taraf hidupnya melalui pendapatan yang lebih baik.

Faktor penarik dalam penelitian ini adalah daya tarik kota bagi migran.

Migran merasa tidak dapat berkembang jika tetap tinggal di kampung karena

1

(36)

terbatasnya lapangan pekerjaan. Bayangan mengenai kota yang menawarkan lebih

banyak kesempatan dalam memperoleh pekerjaan serta jenis pekerjaan yang lebih

banyak telah menarik migran untuk bermigrasi ke kota. Jika dibandingkan antara

faktor penarik dengan faktor pendorong, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

migran yang bermigrasi sebagian besar memiliki alasan untuk mencari pekerjaan.

Penyebab utama perpindahan penduduk yang kebanyakan bersifat

ekonomi juga didukung pula oleh pendapat Keyfitz dan Nitisastro (1955).

Sebagian besar penduduk di desa menggantungkan hidup mereka pada sektor

pertanian. Padahal, penduduk desa dari tahun ke tahun akan terus bertambah

sehingga jumlah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan

pertanian juga akan terus meningkat. Hal tersebut tidak diimbangi dengan jumlah

lahan pertanian yang tersedia. Dengan demikian penduduk desa akan semakin

sulit memperoleh pekerjaan dan kalaupun ada pekerjaan biasanya upah yang

didapat sangat rendah. Hal tersebut juga didukung oleh Tangnga (1988) dimana

hasil penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa faktor dominan yang

mendorong meningkatnya arus migrasi di Kotamadya Ujung Pandang antara lain

kecilnya peluang untuk mendapatkan pekerjaan di daerah asal dan kecilnya

pendapatan yang diperoleh oleh pendatang di daerah asal.

Pendatang yang berasal dari desa juga mengemukakan alasan lain yang

melatarbelakangi keputusan mereka untuk melakukan migrasi yaitu banyaknya

pekerjaan di kota dibandingkan di desa. Selain itu adanya anggapan bahwa di kota

lebih mudah mendapatkan pekerjaan juga menarik minat para pendatang untuk

(37)

2.1.2. Konsep Urbanisasi dan Tingkat Urbanisasi yang Terjadi di Indonesia

Saat ini masih banyak orang memiliki persepsi yang salah mengenai

konsep urbanisasi. Banyak orang mengetahui bahwa urbanisasi adalah

perpindahan penduduk dari desa ke kota. Menurut Rusli (1995) urbanisasi

merupakan proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di daerah

perkotaan yang disebabkan migrasi desa-kota, pertambahan alami penduduk

perkotaan sendiri, dan adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah

perkotaan. Menurut Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia, pertambahan alami penduduk adalah pertambahan penduduk yang

disebabkan oleh selisih antara kelahiran dengan kematian dari suatu penduduk

dalam jangka waktu tertentu.

Watts (1992) dalam Nasution (2002) menyebut urbanisasi sebagai “worldwide phenomenon” merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Bahkan dalam batas tertentu, urbanisasi memberikan insentif bagi kemajuan

perekonomian kota, dalam wujud supply tenaga kerja yang dibutuhkan bagi

berbagai sektor ekonomi yang ada (Nasution, 2002). Urbanisasi berperan penting

dalam meningkatkan angka pengangguran terbuka di perkotaan, yaitu 5,8 persen

pada tahun 1992, meningkat menjadi 10,5 persen pada tahun 1999 (BPS, 2000).

Hal ini selaras dengan temuan McGee (1971) dalam Nasution (2002) yang

mengungkapkan bahwa dikebanyakan kota-kota negara dunia ketiga, yang pesat

perkembangan ekonominya, sering tidak diimbangi oleh kesempatan kerja.

Akibatnya selain memicu peningkatan pengangguran, luapan angkatan kerja

tersebut lalu tertampung disektor informal dengan produktifitas yang bersifat

(38)

Setiap tahunnya penduduk di daerah perkotaan selalu mengalami

peningkatan jumlah penduduk yang disebabkan oleh pertambahan penduduk

secara alami dan sebagian besar karena meningkatnya migrasi dari desa ke kota.

Berdasarkan hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa 30,9 persen

penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah perkotaan dimana angka ini terus

mengalami peningkatan dari 14,8 persen pada tahun 1961, 17,4 persen pada tahun

1971, dan 22,3 persen pada tahun 1980 (Rusli, 1995).

Sensus Penduduk 1980 memperlihatkan angka urbanisasi di Indonesia

sebesar 22,3 persen. Angka ini meningkat menjadi 30,9 persen di tahun 1990

(Chotib, 2000). Berdasarkan sensus penduduk yang telah dilakukan oleh Biro

Pusat Statistik (BPS) diperoleh data tingkat urbanisasi penduduk Indonesia pada

tahun 1990 sebesar 30,9 persen dan meningkat menjadi 42,0 persen pada tahun

2000 (BPS, 2007). Selama kurun waktu sepuluh tahun ini angka pertumbuhan

penduduk perkotaan diketahui sebesar 5,4 persen per tahun, yang berarti jauh

lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk secara nasional, yaitu 1,97

persen per tahun (Chotib, 2000).

Hal tersebut tidak berlangsung secara merata disetiap kota di Indonesia.

Sebagai contoh adalah Kota Depok dimana pada tahun 1982 jumlah penduduk

kota ini sebanyak 240.000 jiwa, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi

1.313.495 jiwa, dengan kepadatan rata-rata 5.818 jiwa per kilometer persegi dan

pertumbuhan penduduk 3,70 persen per tahun (Astuti, 2006). Berdasarkan hasil

perhitungan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS di Kota Jakarta pada

tahun 1961, 1971 dan 1980, penduduk DKI Jakarta pada waktu yang sama

(39)

jiwa. Dengan perkataan lain, penduduk Jakarta telah meningkat sebesar 4,46

persen dimana peningkatan setiap tahunnya sebesar 3,93 persen. Hasil sensus

penduduk pada tahun 2000 yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah

migran yang datang ke wilayah DKI Jakarta berjumlah 8.347.083 jiwa atau

sebesar (42,43%).

Tahun 2001 pertambahan penduduk DKI Jakarta sebanyak 135.186 jiwa,

tahun 2002 sebanyak 231.528 jiwa, tahun 2003 sebanyak 204.830, tahun 2004

sebanyak 190.356 jiwa dan pada tahun 2005 sebanyak 180.767 jiwa (Setiawan,

2006). Menurut Nafi (2006) laju penambahan penduduk DKI Jakarta selama lima

tahun terakhir rata-rata 188 ribu orang yang datang. Saat ini secara definitif

jumlah penduduk DKI Jakarta yang terregistrasi sebanyak 7,5 juta jiwa. Namun

hasil sensus pada 2004 menyebutkan berjumlah 8,6 juta jiwa pada saat malam

hari. Pada siang hari jumlah penduduk DKI Jakarta ada sekitar 12 juta jiwa (Nafi,

2006). Perbedaan jumlah penduduk yang ditunjukkan tersebut lantaran banyak

yang bekerja dari luar Jakarta.

Salah satu penyebab meningkatnya proporsi penduduk perkotaan adalah

adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah perkotaan. Surabaya

merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami hal tersebut. Pada tahun

1906 kota ini dengan cepat mengalami perkembangan yang sangat pesat

(Basundoro, 2004). Dalam beberapa segi terutama dalam sektor industri Surabaya

telah mengalami kemajuan yang luar biasa. Masa-masa rekonstruksi setelah

kota-kota dilanda peperangan hebat telah menjadikan kota-kota-kota-kota besar di Indonesia

berkembang menjadi tempat tujuan bagi masyarakat desa yang ingin mengadu

(40)

kemajuan-kemajuan pesat di kota, dimana bagi kaum pendatang tersedia lapangan kerja

yang luas.

2.1.3. Definisi Permukiman Liar dan Pertumbuhannya di Daerah Perkotaan

Distribusi penduduk berhubungan atau terkait dengan pola permukiman

dan persebaran penduduk di suatu negara atau daerah-daerah lain seperti kota dan

pedesaan. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia memiliki

kriteria yang dapat menentukan suatu daerah termasuk kota atau bukan yang pada

umumnya dipengaruhi oleh banyaknya penduduk, kepadatan penduduk, dan

persentasi angkatan kerja yang bekerja dibidang non pertanian. Proporsi atau

persentase penduduk yang bermukim di daerah perkotaan suatu wilayah atau

negara merupakan ukuran untuk mengetahui tingkat urbanisasi (Rusli, 1995).

Pesatnya pertumbuhan kota cenderung menimbulkan permasalahan

perumahan baru di kawasan sekitarnya seperti munculnya permukiman liar.

Mengingat bahwa perumahan merupakan bagian dari kebutuhan dasar (basic

need), yang harus dipenuhi oleh setiap orang untuk mempertahankan eksistensinya. Menurut Basundoro (2004) permukiman liar adalah suatu tempat

atau wilayah tertentu yang dijadikan tempat hunian oleh sekelompok orang secara

ilegal. Permukiman liar adalah suatu wilayah hunian yang telah berkembang tanpa

meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun; merupakam

permukiman yang tidak sah atau semi-legal status, infrastruktur dan jasa pada

umumnya tidak cukup (Suyogo, 2009). Permukiman liar berbeda dengan

(41)

ada di beberapa daerah dimana permukiman kumuh yang ada di wilayah tersebut

berdiri secara legal.

Menurut Suyogo (2009), terdapat tiga karakteristik yang bisa membantu

kita memahami permukiman liar

1. Physical ( Phisik )

Kurangnya pemaksimaksimalan fasilitas dan infrastruktur. Seperti halnya

rumah yang didirikan semipermanen atau hanya sekedar gubuk, kurang layak atau

tidak memiliki fasilitas kamar kecil, tidak memiliki RT dan RW yang jelas.

2. Social ( Sosial )

Kebanyakan penghuni liar mempunyai pendapatan tergolong lebih rendah,

diantaranya bekerja sebagai tenaga kerja upah atau dalam perusahaan sektor

informal. Kebanyakan mendapat gaji atau upah minimum atau dapat juga

pendapatan tinggi karena bekerja sambilan. Penghuni liar sebagian besar orang

pindah. Tetapi banyak juga penghuni liar dari generasi ke generasi secara turun -

temurun.

3. Legal ( undang – undang)

Penghuni liar adalah ketiadaan kepemilikan lahan padahal diatasnya

mereka sudah membangun rumah. Ini bisa jadi merupakan tanah pemerintah

lowong atau daratan publik, parcels tanah pinggiran seperti pinggiran rel kereta

api atau tanah kesultanan (sultan ground).

Permukiman liar di perkotaan menjadi masalah tersendiri bagi kota atau

wilayah yang bersangkutan. Keberadaan permukiman liar dianggap mengganggu

pemandangan kota yang berisi gedung-gedung megah. Keberadaan permukiman

(42)

wilayah tempat permukiman liar tersebut berada. Keberadaan mereka secara ilegal

diwilayah tempat tinggal mereka menyulitkan mereka untuk memperoleh KTP

yang nantinya akan berpengaruh terhadap proses regristrasi penduduk diwilayah

setempat. Registrasi penduduk adalah proses yang pelaporan dan pencatatan

kelahiran, kematian, dan migrasi (Rusli, 2005).

Kepadatan penduduk di desa-desa yang terus mengalami peningkatan

dapat menyebabkan banyak penduduk desa-desa yang bersangkutan mencari

nafkah ke kota. Hal tersebut lebih dikarenakan semakin besarnya persaingan

dalam memperoleh pekerjaan di desa dimana jumlah pekerjaan yang tersedia di

desa sangat terbatas. Dengan demikian banyak penduduk desa memutuskan

melakukan migrasi ke kota dimana pekerjaan yang tersedia lebih banyak. Akan

tetapi dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh pendatang yang

sebagian besar hanyalah lulusan Sekolah Rakyat (SR) menjadikan mereka sulit

mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapannya. Pada akhirnya para

pendatang hanya mampu bekerja pada sektor-sektor informal seperti buruh,

tukang becak, pemulung. Dengan pekerjaan sektor informal yang digeluti oleh

para pendatang tentunya upah yang diperoleh tidak sebanding dengan mereka

yang bekerja disektor formal. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh Sandyatma (2004) dimana penulis melakukan penelitian terhadap

tiga keluarga pendatang yang tinggal di permukiman liar sekitar tempat

pembuangan sampah di Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok.

Dalam penelitiannya disebutkan bahwa mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan

disektor formal karena mereka terganjal dengan tingkat pendidikan yang mereka

(43)

pendidikan lebih baik dari mereka. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk

menjadi pemulung disekitar tempat mereka tinggal.

Permasalahan lain yang harus dihadapi oleh pendatang adalah tempat

untuk mereka tinggal selama di kota. Di kota besar seperti Jakarta semakin hari

semakin sulit untuk memperoleh tempat tinggal. Hal tersebut dikarenakan

semakin berkurangnya lahan-lahan permukiman penduduk serta semakin

banyaknya penduduk kota yang tentunya juga membutuhkan semakin banyak

lahan untuk bermukim. Kalaupun masih ada lahan yang dapat digunakan sebagai

tempat tinggal, harga yang ditawarkan untuk mendapatkan lahan tersebut

sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh mereka yang bekerja pada sektor

informal dengan upah rendah.

Permasalahan harga lahan yang terus meningkat tersebut tidak

menyurutkan niat para pendatang untuk tetap tinggal dan mengadu nasib di kota.

Tentunya mereka masih tetap membutuhkan tempat tinggal yang dapat mereka

gunakan sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan. Oleh karena itu dengan

kemampuan terbatas yang mereka miliki maka mereka memutuskan untuk

memanfaatkan lahan-lahan kosong yang masih tersisa di kota tidak jarang lahan

tersebut adalah lahan milik negara. Mereka mulai menempati lahan-lahan tersebut

dan menjadikannya permukiman. Ada yang menyewa rumah semipermanen dan

ada pula yang mendirikan rumah-rumah dengan menggunakan peralatan seadanya

seperti triplek dan seng bekas yang mereka temukan. Semakin banyak pendatang

yang bernasib sama dengan mereka dan memiliki inisiatif untuk melakukan hal

serupa maka dapat kita lihat sekarang ini semakin banyak permukiman liar yang

(44)

2.1.4. Konsep Masyarakat Miskin

Menurut KBI Gemari (2003) penduduk miskin DKI Jakarta secara absolut

jumlahnya semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk miskin karena

adanya berbagai faktor seperti krisis ekonomi dan urbanisasi. Dari hasil survey

BPS DKI Jakarta menyatakan bahwa jumlah rumah tangga miskin ada 101.674

rumah tangga atau sebanyak 340.687 anggota rumah tangga (KBI Gemari, 2003).

Apabila dibandingkan dengan jumlah rumah tangga di DKI Jakarta yang

berjumlah 2.025.699 rumah tangga berarti rumah tangga miskin DKI Jakarta ada

5,02 persen atau dengan perkataan lain bila dibandingkan dengan jumlah

penduduk ada 16,82 persen penduduk DKI Jakarta yang tergolong miskin (KBI

Gemari, 2003). Tempat tinggal rumah tangga miskin pada umumnya bermasalah

dan tidak layak huni. Mereka tinggal di bantaran aliran sungai, pinggiran jalan

kereta api serta daerah kumuh lainnya. Pada umumnya mereka berada di lima

wilayah kota dari 43 kecamatan, walaupun tidak seluruh dari 265 kelurahan

dihuni oleh rumah tangga miskin (KBI Gemari, 2003).

Menurut BPS (2007), ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah

tangga miskin. Rumah tangga yang memenuhi minimal sembilan variabel, maka

dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Kriteria rumah tangga miskin yang

dimaksud yaitu:

1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per orang.

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

(45)

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah

tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air

hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak

tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10.Hanya sanggup makan hanya satu/dua kali dalam sehari.

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12.Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500

meter persegi, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan,

dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,00

per bulan.

13.Pendidikan tertinggi kepala keluarga: tidak bersekolah/tidak tamat

SD/hanya SD.

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal

Rp. 500.000,00 seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal

(46)

2.1.5. Fasilitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin 2.1.5.1. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)

Beberapa tahun terakhir telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam

penyelenggaraan pembangunan kesehatan baik dalam hal pemberdayaan

masyarakat, desentralisasi, upaya kesehatan, maupun lingkungan strategis

kesehatan, termasuk pengaruh globalisasi. Salah satu kebijakan penting yang perlu

menjadi acuan adalah Jamkesmas. Menurut Hambuako (2009) Jaminan Kesehatan

Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan

kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang diselenggarakan secara

nasional, agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan

kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Pelaksanaan kebijakan

Jamkesmas dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

125/Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan

Kesehatan Masyarakat (Hambuako, 2009).

Penamaan program Jamkesmas mengalami berbagai bentuk perubahan

(Hambuako, 2009). Awalnya, sebelum program ini menjadi regulasi yang

diamanatkan dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan menggunakan prinsip

asuransi telah dilakukan antara lain dengan program Dana Upaya Kesehatan

Masyarakat (DUKM). Konsep yang ditawarkan adalah secara perlahan

pembiayaan kesehatan harus ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan

lebih berfungsi sebagai regulator. Program DUKM secara operasional dijabarkan

(47)

Penjaminan akses untuk penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan

dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1998 saat melaksanakan berbagai upaya

pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Bermula dengan pengembangan

Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) Tahun 1998–2001,

Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001 dan Program

Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS–BBM) Tahun

2002–2004.

Tahun 2005 pemerintah meluncurkan program jaminan kesehatan bagi

masyarakat miskin dan tidak mampu yang dikenal dengan nama program

Asuransi Kesehatan Masyakat Miskin (Askeskin). Program ini merupakan

bantuan sosial yang diselenggarakan dalam skema asuransi kesehatan sosial yang

diselenggarakan oleh PT Askes (Persero). Setelah dilakukan evaluasi dan dalam

rangka efisiensi dan efektivitas, maka pada tahun 2008 dilakukan perubahan

dalam sistem penyelenggaraannya. Perubahan pengelolaan program tersebut

adalah dengan pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran, yang

didukung dengan penempatan tenaga verifikator disetiap rumah sakit. Nama

program tersebut juga berubah menjadi Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas).

Kegiatan verifikasi yang dilakukan pada pelaksanaan Jamkesmas meliputi

verifikasi pelayanan, keuangan dan administrasi akan dilakukan oleh verifikator

independen yang direkrut oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan di daerah

(Ariane, 2007). Dalam hal pendanaan, dana untuk program ini disalurkan

(48)

pemerintah. Sehingga benar-benar dana yang ada diharapkan akan langsung

diterima oleh penyelenggara pelayanan kesehatan.

Tujuan umum diselenggarakannya program Jamkesmas menurut

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007) adalah untuk meningkatkan

akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan

tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara

efektif dan efisien. Tujuan khusus program Jamkesmas, antara lain:

a. Meningkatnya cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat

pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan di Rumah Sakit

b. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin

c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel

Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu

di seluruh Indonesia yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapatkan

pelayanan kesehatan, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan

lainnya. Jumlah sasaran peserta sebesar 19,1 juta Rumah Tangga Miskin (RTM)

atau sekitar 76,4 juta jiwa (Hambuako, 2009). Jumlah tersebut berdasarkan data

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, yang dijadikan dasar penetapan jumlah

sasaran peserta secara nasional oleh Menkes. Berdasarkan Jumlah Sasaran

Nasional tersebut Menkes membagi alokasi sasaran kuota Kabupaten/Kota.

Bupati/Walikota wajib menetapkan peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota dalam

satuan jiwa berisi nomor, nama dan alamat peserta dalam bentuk Keputusan

Bupati/Walikota.

Administrasi kepesertaan Jamkesmas meliputi: registrasi, penerbitan dan

(49)

kepesertaan Departemen Kesehatan menunjuk PT Askes (Persero), dengan

kewajiban melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Data peserta yang telah ditetapkan Pemda, kemudian dilakukan entry oleh PT

Askes (Persero) untuk menjadi database kepesertaan di Kabupaten/Kota.

b. Entry data setiap peserta.

c. Berdasarkan database tersebut kemudian kartu diterbitkan dan didistribusikan

kepada peserta.

d. PT Askes (Persero) menyerahkan kartu peserta kepada yang berhak, mengacu

kepada penetapan Bupati/Walikota dengan tanda terima yang ditanda

tangani/cap jempol peserta atau anggota keluarga peserta.

e. PT Askes (Persero) melaporkan hasil pendistribusian kartu peserta kepada

Bupati/Walikota, Gubernur, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan

Propinsi dan Kabupaten/ Kota serta rumah sakit setempat.

Kartu Jamkesmas dapat digunakan di puskesmas, rumah sakit pemerintah

atau swasta yang sesuai kontrak di seluruh daerah di Indonesia. Hal tersebut

merupakan kelebihan yang dimiliki kartu Jamkesmas dibandingkan kartu Gakin

yang hanya dapat digunakan di wilayah DKI Jakarta.

2.1.5.2. Kartu Keluarga Miskin (Gakin)

Selain kartu Jamkesmas pemerintah kota DKI Jakarta juga mengeluarkan

kartu Gakin dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat

miskin. Akan tetapi kurangnya sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota DKI

Jakarta, membuat sebagian besar masyarakatnya belum mengetahui cara membuat

(50)

miskin untuk keperluan berobat gratis baik ke Puskesmas maupun rumah sakit

(Bian, 2008). Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang tidak mengerti tetap

dikenai biaya rumah sakit meski mereka tergolong tidak mampu.

Program Gakin adalah program jaminan pemeliharaan kesehatan untuk

keluarga miskin yang merupakan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah

Daerah DKI Jakarta (Badan Informasi Daerah, 2007). Masyarakat yang berhak

menerima kartu Gakin adalah yang memenuhi kriteria seperti tingkat ekonominya

rendah, keadaan rumahnya buruk, dan belum memiliki penghasilan tetap (Bian,

2008). Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang mengaku miskin dan mendaftar

sebagai keluarga miskin sehingga kartu gakin menyebar tak merata ke

masyarakat.

Peserta program Gakin adalah masyarakat DKI Jakarta yang mempunyai

Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta dan memenuhi kriteria miskin menurut

kriteria miskin yang dikeluarkan oleh BPS yaitu (Yayasan Ginjal Diatrans

Indonesia, 2008):

1. Luas huni < 8 M2 per kapita

2. Jenis lantai rumah terluas tanah atau papan

3. Tidak memiliki sumber air minum

4. Tidak memiliki fasilitas jamban

5. Tidak mampu mengkonsumsi makanan berprotein atau bervariasi

6. Tidak mampu membeli pakaian satu stel setahun sekali untuk setiap

anggota rumah

7. Tidak punya asset rumah tangga, seperti : tanah, motor, warung,

(51)

Dinas Kesehatan DKI mengeluarkan dua macam kategori miskin yaitu

pasien miskin (gakin) dan pasien kurang mampu (SKTM) (Ariane, 2007). Apabila

pasien dinyatakan miskin dan mempunyai kartu gakin atau surat pembebasan

biaya dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta maka yang bersangkutan berhak

mendapatkan pembebasan biaya. Bagi pasien yang dikategorikan kurang mampu,

maka yang bersangkutan akan dikenakan iur biaya (cost sharing) yang besarannya

ditentukan oleh Dinas Kesehatan DKI.

Masyarakat sebagai peserta Gakin sebelum mendapatkan kartu Gakin

maka harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur pengurusan kartu

Gakin, antara lain (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008):

1. Peserta Gakin memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta.

2. Peserta Gakin mengajukan Surat Keterangan Miskin (SKM) pada RT / RW.

3. Peserta Gakin ke Kelurahan dan Kecamatan dengan membawa SKM untuk

dilegalisir.

4. Peserta Gakin datang ke Puskesmas setempat dengan membawa SKM yang

telah dilegalisir. Pihak Puskesmas akan memverifikasi dengan melakukan

survey ke rumah pasien. Setelah survey dilakukan, akan ditentukan apabila

pasien berhak untuk mendapatkan surat Gakin.

5. Setelah mendapat Hasil Laporan Verifikasi yang menyatakan pasien berhak

mendapatkan surat Gakin, selanjutnya semua berkas diserahkan ke

Koordinator Gakin untuk dibuatkan Surat Keterangan.

6. Pasien datang ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta (Jl. Kesehatan No. 10 Jakarta

Pusat) dengan membawa seluruh berkas (KTP, KK, SKM, SKTM

Gambar

Tabel 1.  Pencari Kerja dan Kesempatan Kerja Yang Terdaftar Menurut Provinsi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 2.  Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir, di Kelurahan
Tabel 3. Jumlah Responden Menurut Daerah Asalnya, di Kelurahan Lenteng
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tren Konsentrasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur Besar Sedang di Jawa

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Auditor Switching (Studi

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian saya yang berjudul &#34; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul : “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul ” Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan material pengendalian internal pada

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “ Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Penyampaian

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Faktor-Faktor yang mempengaruhi independensi auditor dalam