DI
INTENSIVE CARE UNIT
SKRIPSI
“Untuk memenuhi Persyaratan mencapai Sarjana Keperawatan”
Oleh
TRIARINI WARAWIRASMI NIM 22020110120041
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
DI
INTENSIVE CARE UNIT
SKRIPSI
“Untuk memenuhi Persyaratan mencapai Sarjana Keperawatan”
Oleh
TRIARINI WARAWIRASMI NIM 22020110120041
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG, JULI 2014
karya sendiri. Tidak ada karya ilmiah atau sejenisnya yang diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan atau sejenisnya di Perguruan Tinggi manapun
seperti karya ilmiah yang saya susun.
Sepengetahuan saya juga, tidak terdapat karya ilmiah atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah karya ilmiah yang saya susun ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila pernyataan tersebut terbukti tidak benar maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan ketentuan akademik yang berlaku.
` Semarang, Juli 2014
Triarini Warawirasmi
NIM 22020110120041
Nama : Triarini Warawirasmi
NIM : 22020110120041
Fakultas/Jurusan : Kedokteran / Ilmu Keperawatan
Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infections di Intensive Care Unit
Dengan ini menyatakan bahwa saya menyutujui untuk :
1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan Jurusan Keperawatan Undip atas penulisan karya ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), mendistribusikannya, serta menampilkannya dalam bentuk soft copy untuk kepentingan akademik kepada Perpustakaan Jurusan Keperawatan Undip, tanpa perlu minta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.
3. Bersedia dan menjamin untuk mananggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak Perpustakaan Jurusan Keperawatan Undip dari semua bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat digunakan sebagaimana semestinya.
Semarang, 17 September 2014 Yang Menyatakan,
Triarini Warawirasmi
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:
Nama : Triarini Warawirasmi
NIM : 22020110120041
Fakultas/Jurusan : Kedokteran / Jurusan Keperawatan
No. HP/Telephone : 08562621739
Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Pengetahuan Perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infections di Intensive Care Unit
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian saya yang berjudul " Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infections di Intensive Care Unit " bebas dari plagiarisme dan bukan hasil karya orang lain.
Apablia dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian dari penelitian dan karya ilmiah dari hasil-hasil tersebut terdapat indikasi plagiarisme, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa unsur paksaan dari siapapun.
Semarang, 17 September 2014 Yang membuat peryataan,
Triarini Warawirasmi
HALAMAN PERSETUJUAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGETAHUAN
PERAWAT TENTANG CATHETER-ASSOCIATED URINARY TRACT
INFECTIONS DI INTENSIVE CARE UNIT
Dipersiapkan dan disusun oleh :
Nama : Triarini Warawirasmi
NIM : 22020110120041
Telah disetujui untuk dapat dipertahankan dihadapan Tim Penguji
Pembimbing,
Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep. M.Sc NIP 198212312008122001
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGETAHUAN
PERAWAT TENTANG CATHETER-ASSOCIATED URINARY TRACT
INFECTIONS DI INTENSIVE CARE UNIT
Dipersiapkan dan disusun oleh : Nama : Triarini Warawirasmi
NIM : 22020110120041
Telah diuji pada tanggal 4 Juli 2014 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana keperawatan
Penguji 1
Ns. Nana Rochana, S.Kep.,MN NIK 201307111040
Penguji 2
Ns. Henni Kusuma, S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kep.M.B NIK 201209111039
Penguji 3
Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep.,M.Sc NIP 198212312008122001
karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Pegetahuan Perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract
Infections di Intensive Care Unit” ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa
penulis sampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan dan perhatian baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses penyelesaian skripsi ini. Secara khusus, penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Ibu Wahyu Hidayati, S.Kp., M.Kep., Sp. KMB selaku ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro.
2. Ibu Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep., MSc., sebagai pembimbing, atas segala bimbingan, saran, dan semangat yang diberikan selama proses penyusunan
proposal penelitian ini.
3. Ibu Ns. Nana Rochana, S.Kep., MN dan Ibu Ns. Henni Kusuma, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.M.B selaku penguji skripsi.
4. Orang tua saya, Bapak Munhamir dan Ibu Yekti Puspalanti atas doa yang tulus dan sebagai motivasi terbesar saya untuk terus belajar.
5. Kakak-kakak dan adik tercinta, Werdha Candratrilaksita, Dwisa Wukir Hernusada, dan Acha Nadifah Azzahra atas perhatian, doa, dan dukungan yang
tidak ternilai harganya.
6. Rahmat Hidayat atas dukungan dan perhatian yang selalu diberikan.
8. Sahabat penghuni “Wisma L”, Ela, Indah, Eno, Danny, Intan, Dini, Dian, Cindy, Ricka yang selalu memberikan semangat positif setiap harinya.
9. Farida Maera Rosita, Anita N. Fauziah, Norma Anggelina, Layar Mutiara, dan Arniati Dwikatsari atas diskusi dan kebersamaan selama proses
pembimbingan dan penyusunan skripsi.
10.Sahabat Alifah Anggun Pratiwi atas bantuan yang diberikan selama penelitian.
11. Teman-teman seperjuangan A.10.1 yang banyak memberi semangat dan tawa. Penulis menyadari karena keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, masih
terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik
dan saran serta masukan berbagai pihak sangat diharapkan. Peneliti berharap
semoga penelitian ini kelak dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semarang, Juli 2014
Penulis
SAMPUL...
HALAMAN JUDUL...
SURAT PERNYATAAN...
SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...
Masalah...
1. Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI)
B. Kerangka Teori...
C. Kerangka Konsep...
D. Hipotesis……….………..
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...
A. Jenis dan Rancangan Penelitian...
B. Populasi Penelitian...
C. Sampel Penelitian...
D. Tempat dan Waktu Penelitian...
E. Variabel Penelitian………...………...
F. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data... 39
2. Uji Validitas dan Reliabilitas...
3. Metode Pengumpulan
Data...
G. Teknik Pengolahan dan Analisa Data...
H. Etika
Penelitian...
BAB IV HASIL
PENELITIAN………..
A. Analisa Univariat……….………….
B. Analisa Bivariat………..
A. Gambaran Karakteristik Demografi Responden……….
Pengetahuan tentang CAUTI………...
………...
E. Hubungan Antara Lama Bekerja dengan Tingkat Pengetahuan
tentang CAUTI…….
……….
F. Hubungan Antara Kepemilikan Sertifikat dengan Tingkat
Pengetahuan tentang CAUTI…...………
G. Keterbatasan Penelitian……….………...
BAB VI KESIMPULAN DAN
SARAN……….
A. Kesimpulan………...………
B. Saran……….………
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Gambar
1 Kerangka Teori 38
2 Kerangka Konsep 39
Tabel
Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Nilai Alpha
Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di
ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Distribusi Frekuensi Usia Responden di ICU dan
ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden
di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Distribusi Frekuensi Lama Bekerja Responden di
ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Distribusi Frekuensi Jabatan Responden di ICU dan
ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Distribusi Frekuensi Kepemilikan Sertifikat terkait
Infeksi Nosokomial maupun Perawatan Intensif
Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr.
Moewardi Surakarta
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat
4.9
4.10
4.11
4.12
Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr.
Moewardi Surakarta
Hubungan antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan
Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD
Dr. Moewardi Surakarta
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan
Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di
ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Hubungan antara Lama Bekerja dengan Tingkat
Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan
ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Hubungan antara Kepemilikan Sertifikat terkait
Infeksi Nosokomial maupun Perawatan Intensif
dengan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang
CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
66
67
67
68
DAFTAR SINGKATAN
ILO Infeksi Luka Operasi
IN Infeksi Nosokomial
INICC International Nosocomial Infection Control Consortium
ISK Infeksi Saluran Kemih UTI Urinary Tract Infection
VAP Ventilator-Associated Pneumonia
WHO World Health Organization
Lampiran
1 Waktu Pelaksanaan Penelitian
2 Permohonan Ijin Pengkajian Data Awal Proposal
Penelitian
Permohonan Uji Expert Kuesioner Penelitian
Permohonan Uji Validitas dan Reliabilitas
Kuesioner Penelitian
Perijinan Uji Validitas Kuesioner Penelitian
Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian
ABSTRAK Triarini Warawirasmi
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang
Catheter-Associated Urinary Tract Infections di Intensive Care Unit
Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI) merupakan salah satu bentuk infeksi yang berkaitan dengan pemakaian kateter yang dapat meningkatkan angka kematian, perpanjangan waktu rawat di rumah sakit, dan peningkatan biaya yang dikeluarkan selama perawatan. Tingkat pengetahuan perawat terkait CAUTI dapat mempengaruhi sikap perawat dalam pencegahan CAUTI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI). Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dan teknik pengambilan sampel dengan total sampling. Total responden berjumlah 52 perawat.
Hasil penelitian menunjukkan prosentase terbanyak adalah responden berjenis kelamin wanita (73,1%), memasuki usia dewasa awal (71,2%), berpendidikan DIII Keperawatan (53,8%), memiliki masa kerja >10 tahun (38,5%), bekerja sebagai perawat pelaksana (73,1%), dan memiliki sertifikat pelatihan (51,9%). Responden yang memiliki pengetahuan baik yaitu sebanyak 27 responden (51,9%) dan 25 responden (48,1%) memiliki pengetahuan kurang. Hasil uji chi square diperoleh faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI adalah lama bekerja (p value=0,003). Sedangkan, faktor yang tidak memiliki pengaruh adalah usia (p value=0,020), tingkat pendidikan (p value=0,416), dan kepemilikan sertifikat (p value=0,262).
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik tentang CAUTI. Lama bekerja dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan responden tentang CAUTI. Berdasarkan hasil tersebut diharapkan setiap perawat untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan tentang CAUTI, baik melalui pelatihan, workshop, atau seminar.
Kata Kunci: CAUTI, pengetahuan perawat, faktor yang mempengaruhi
ABSTRACT Triarini Warawirasmi
Factors Affecting Nurses Knowledge Level about Catheter-Associated Urinary Tract Infections in Intensive Care Units
Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI) is one form of infection associated with the use of catheters that can increase mortality, extra time of hospital stay, and costs incurred during treatment. Therefore, the level of nurses' knowledge related to CAUTI may affect attitudes of nurses in the prevention of CAUTI.
This study aims to determine the factors that may affect the level of nurses' knowledge about Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI). This study uses cross-sectional method and total sampling techniques. Total of respondent are 52 nurses.
The results showed that the highest percentage of respondents were female (73.1%), early adulthood (71.2%), Diploma degree (53.8%), have length of work > 10 years (38.5%), working as nurses associate (73.1%), and have a certificate of training (51.9%). There were 27 respondents (51.9%) who have a good knowledge and 25 respondents (48.1%) have less knowledge. Factors that affect the level of nurses' knowledge is working experience (p value = 0.003). Meanwhile, there is no influence of age (p value = 0.020), education level (p value = 0.416), and a certificate of ownership (p value = 0.262) with the level of nurses' knowledge about CAUTI.
In conclusion, the majority of critical nurse in Moewardi Hospital had a good knowledge of CAUTI. Working experience affect the level of knowledge. It is recommended for nurses to continuously increase the knowledge of CAUTI for the better, either through training, workshops, or seminars.
Keywords: CAUTI, nurses' knowledge, factors that affect
A. Latar Belakang
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
mandiri, dengan staf dan perlengkapan yang khusus ditujukan untuk
observasi perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut,
cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih
reversible.1Pasien-pasien kritis dengan sakit berat atau dengan kondisi medis
tidak stabil yang memerlukan pemantauan kontinu serta pengelolaan fungsi
sistem organ tubuh secara terkoordinasi akan mendapatkan perawatan total di
ICU.1,2
Kelompok pasien dalam ICU perlu dipantau secara khusus untuk
mengevaluasi dan menjaga kestabilan kondisi kesehatannya secara periodik,
dimana pemantauan tersebut harus didasarkan pada pelayanan yang
profesional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien,
sehingga setiap perawatan yang diberikan harus menjunjung tinggi
prinsip-prinsip sterilitas.1 Pemantauan yang dilakukan antara lain adalah pemantauan
dari fungsi miksi, yaitu memantau pengeluaran urin setiap jam serta
menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien
buang air kecil. Pemantauan fungsi miksi tersebut dilakukan dengan
menggunakan kateter mengingat kondisi pasien ICU dengan bedrest total.3
Kateterisasi perkemihan adalah tindakan memasukkan selang karet atau
plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air
kemih yang terdapat di dalamnya.4 Tindakan ini harus dilakukan
menggunakan prinsip steril karena terdapat resiko bahaya masuknya
mikroorganisme ke dalam kandung kemih.5 Pemasangan kateter akan
menurunkan sebagian besar daya tahan pada saluran kemih bagian bawah
dengan menyumbat saluran di sekeliling uretra, mengiritasi mukosa kandung
kemih dan menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih
yang dapat menyebabkan urinary tract infection (UTI).3
Urinary tract infection pasca kateterisasi merupakan salah satu bentuk
infeksi nosokomial yang berkaitan dengan pemakaian kateter dan sistem
drainase kemih atau prosedur atau peralatan urologis lainnya. Kurang lebih
80% UTI nosokomial disebabkan oleh penggunaan kateter uretra.6,7 Hal ini
dapat menimbulkan tanda dan gejala pada pasien, seperti demam, nafsu
makan menurun, kencing tidak lancar, jumlah koloni bakteri dalam kultur
urin menunjukkan 100.000 CFU /mL atau lebih, adanya leukosit, yeast, dan
pertumbuhan jamur pada preparat sampel urin.8–10 Kejadian UTI terkait
kateterisasi pada pasien rawat inap tersebut juga dapat meningkatkan angka
kematian secara substansial, hal ini terkait dengan terjadinya urosepsis.7,11,12
waktu rawat di rumah sakit, dimana hal tersebut berkaitan dengan
peningkatan biaya yang dikeluarkan selama perawatan.9,11,13
Infeksi saluran kemih masih merupakan masalah umum di dalam
praktik pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit.
International Nosocomial Infection Control Consortium (INICC) melaporkan
bahwa pada tahun 2004-2009, tingkat infeksi saluran kemih terkait dengan
penggunaan kateter (CAUTI) adalah 6,3% dalam 1000 penggunaan kateter
per hari. Tingkat terjadinya UTI tersebut merupakan urutan ketiga setelah
tingkat terjadinya pneumonia terkait ventilator (VAP) dan infeksi aliran darah
(CLAB) di 36 negara di benua Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Eropa.14
Tingginya infeksi setelah pemasangan kateter dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu lamanya penggunaan kateter; jenis kelamin, pada wanita
mempunyai resiko yang lebih besar daripada pria karena uretra wanita lebih
pendek dan lebih dekat dengan rektal; usia, lansia dan anak-anak beresiko
lebih besar; penyakit yang telah ada; dan penggunaan antibiotik dalam jangka
waktu panjang. Hal tersebut juga dapat sebagai akibat dari kurangnya
pengontrolan dan praktik perawatan dalam pemeliharaan kateter pada
penderita yang memerlukan pemasangan kateter yang lama.6,15–18 Prosentase
kejadian infeksi nosokomial saluran kemih pada responden yang terpasang
dower kateter dan dilakukan perawatan kateter yang kurang, lebih besar
dibandingkan dengan responden yang dilakukan perawatan dengan kualitas
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Kota
Semarang, diperoleh hasil bahwa kejadian infeksi nosokomial saluran kemih
masih ditemukan pada kualitas perawatan kateter yang baik, yaitu sebesar
22,22%. Sedangkan, pada tingkat kualitas perawatan kateter cukup, angka
kejadian infeksi sedikit lebih tinggi 4,45%, yaitu sebesar 26,67%. Angka ini
semakin meningkat mencapai tiga kali lipat (83,33%) pada tingkat kualitas
perawatan kateter yang kurang.19 Dari hasil penelitian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kualitas perawatan kateter berpengaruh terhadap kejadian
infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter. Data PPI sebuah
rumah sakit di Kota Semarang pada tahun 2012 juga menunjukkan angka
kejadian UTI berada pada urutan kedua terbanyak setelah infeksi luka operasi
(7,56%), yaitu sebesar 6,25%.
Peran perawat dalam pencegahan CAUTI sangat penting, karena
rata-rata setiap harinya 7-8 jam perawat melakukan kontak dengan pasien,
sehingga peluang CAUTI yang terjadi akibat kontak pasien dengan perawat
cukup besar. Peran perawat dalam mengikuti pelatihan dan pendidikan terkait
CAUTI dapat meningkatkan pengetahuan perawat yang juga akan
meningkatkan kinerja dan sikap perawat.20,21 Hal ini selaras dengan hasil
sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dapat
mempengaruhi sikap.22,23 Jadi, pengetahuan dan pemahaman perawat yang
cukup terkait CAUTI serta pencegahan CAUTI akan mempengaruhi sikap
terdapat penelitian yang terkait dengan pengetahuan perawat tentang CAUTI
yang dapat mempengaruhi sikap.
Berdasarkan teori Notoatmodjo disebutkan bahwa tingkat pengetahuan
seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti pendidikan, pengalaman,
sumber informasi, lingkungan, dan usia. Hal ini didukung oleh penelitian
yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
(pendidikan, pengalaman, dan sumber informasi) berhubungan secara
keseluruhan dengan tingkat pengetahuan.24
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, menjelaskan bahwa semua pasien ICU wajib terpasang kateter
karena kaitannya dengan pemantauan balance cairan pasien, kecuali pada
pasien sadar yang menolak untuk terpasang kateter. Perawat menjelaskan
bahwa perawatan kateter pada pasien di ICU masih kurang. Menurut
beberapat perawat di ICU dan ICVCU, perawatan kateter hanya dilakukan
dengan mengganti kateter setiap tujuh hari sekali tanpa ada perawatan yang
lain. Disamping itu, terdapat perawat yang menyatakan bahwa terdapat protap
(SOP) perawatan kateter, namun jarang ada perawat yang melaksanakan
prosedur sesuai SOP yang ada. Pendidikan perawat terendah di ICU dan
ICVCU RSUD Dr. Moewardi adalah DIII Keperawatan.
B. Perumusan Masalah
Angka kejadian UTI akibat dari pemasangan kateter banyak terjadi pada
Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya tindakan, baik dalam prosedur
pemasangan kateter yang benar maupun tindakan perawatan kateter yang
dilakukan oleh perawat dalam pencegahan terjadinya CAUTI. Sikap dan
kinerja perawat yang kurang dalam perawatan kateter tersebut, dapat
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh perawat.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa pendidikan,
pengalaman, dan sumber informasi mempengaruhi tingkat pengetahuan. Studi
pendahuluan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta didapatkan
fenomena bahwa terdapat tingkat pendidikan yang beragam pada perawat
ICU dan ICVCU, dan tingkat pendidikan terendah adalah DIII Keperawatan.
Mengingat adanya berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang, maka rumusan masalah yang dapat diambil
dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana tingkat pengetahuan perawat dan apa
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat tentang
Catheter-Associated Urinary Tract Infections di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
pengetahuan perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik perawat yang meliputi jenis kelamin,
usia, tingkat pendidikan, lama bekerja menjadi perawat, jabatan
struktural, dan kepemilikan sertifikat terkait pelatihan infeksi
nosokomial maupun sertifikat perawatan intensif.
b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.
c. Mengidentifikasi hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan
perawat tentang CAUTI.
d. Mengidentifikasi hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat
pengetahuan perawat tentang CAUTI.
e. Mengidentifikasi hubungan antara lama bekerja dengan tingkat
pengetahuan perawat tentang CAUTI.
f. Mengidentifikasi hubungan antara kepemilikan sertifikat terkait
pelatihan infeksi nosokomial maupun perawatan intensif dengan
tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi:
1. Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi pada rumah sakit
tentang tingkat pengetahuan perawat dan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai CAUTI. Sehingga, dapat
2. Perawat
Sebagai bahan masukan, khususnya bagi perawat dalam
mengevaluasi tingkat pengetahuan terkait CAUTI dan praktik
pencegahan terjadinya CAUTI pada pasien yang terpasang kateter.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan informasi mengenai tingkat pengetahuan perawat di
rumah sakit terkait CAUTI dan faktor-faktor yang berpengaruh. Hal ini
berfungsi agar institusi pendidikan mempunyai fokus dalam memperkaya
khasanah teori peserta didik khususnya dalam hal CAUTI, sehingga dapat
menghasilkan perawat yang professional nantinya.
4. Bagi Peneliti
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah wawasan di
bidang keperawatan dan memberikan gambaran mengenai tingkat
pengetahuan perawat tentang CAUTI serta sebagai data awal untuk
penelitian selanjutnya, misalnya sebagai data awal untuk penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui keefektifan seminar dalam meningkatkan
A. Tinjauan Teori
Tinjauan teori berisi mengenai teori-teori yang berkaitan dengan
topik/masalah penelitian. Tinjauan teori dalam penelitian ini meliputi teori
mengenai CAUTI dan pengetahuan yang diambil dari berbagai literatur.
Buku, artikel penelitian, dan hasil riset keperawatan dijadikan sebagai
literatur dalam penelitian ini.
1. Catheter-Associated Urinary Tract Infection (CAUTI)
Seorang pasien yang masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan
tentu berharap mendapat kesembuhan atau perbaikan penyakitnya,
setidaknya mendapat keringanan keluhannya. Namun, ada kalanya,
terutama pada pengidap penyakit kronik atau yang keadaan umumnya
buruk, justru seorang pasien acap terkena infeksi baru yang menyebabkan
penyakitnya bertambah berat dan mungkin menyebabkan kematian.
Infeksi yang didapat di rumah sakit tersebut dikenal sebagai Infeksi
Nosokomial (IN).25
Angka infeksi nosokomial pada suatu rumah sakit yang mempunyai
ICU akan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah sakit yang tidak
mempunyai ICU. Kejadian infeksi nosokomial juga lebih tinggi di rumah
sakit pendidikan oleh karena lebih banyak dilakukan tindakan
pemeriksaan (diagnostik) dan pengobatan yang bersifat invasif.25–27
Dari penelitian klinis, IN terjadi terutama disebabkan karena infeksi
dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran napas, infeksi kulit,
infeksi luka operasi, dan septikemia. Infeksi nosokomial merupakan suatu
problem besar yang banyak terjadi di ruang perawatan intensif pada kasus
pasca bedah dan kasus dengan pemakaian/pemasangan infus dan kateter
lama.25
Lebih dari 25% dari pasien rawat inap di rumah sakit menggunakan
kateter uretra dan hampir 100% dari pasien yang mendapat perawatan di
Critical Care Unit atau Intensive Care Unit terpasang kateter selama
perawatannya, meskipun terkadang pasien terpasang kateter tanpa
indikasi yang tepat. Hal ini merupakan penyebab hingga 80% dari infeksi
saluran kemih berhubungan dengan penggunaan kateter jangka
panjang.14,28,29 Infeksi saluran kemih terkait kateter (CAUTI) yang dapat
meningkatkan pengeluaran biaya rumah sakit dan berhubungan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, merupakan kejadian infeksi
nosokomial tertinggi ketiga setelah ventilator-associated pneumonia
(VAP) dan central line-associated bloodstream infection (CLAB).14,28
Pemasangan kateter jangka panjang pada pasien merupakan faktor
risiko utama untuk CAUTI. Penggunaan kateter indwelling yang lama
memungkinkan akses berkelanjutan organisme ke dalam kandung kemih.
Analisis multivariat telah menekankan bahwa durasi kateterisasi
merupakan faktor risiko yang paling penting dalam menimbulkan
a. Definisi
Spesimen urin yang memperlihatkan bakteri >105 CFU/mL
ditetapkan sebagai kriteria bakteriuria pada pasien yang terpasang
kateter uretra.10,19 Diagnosis UTI yang disebabkan oleh penggunaan
kateter uretra ditegakkan apabila dalam kultur urin terdapat 100
CFU/mL kuman atau lebih. Mikroorganisme yang diidentifikasi
dalam urin pada pasien yang menggunakan kateter uretra dapat
berkembang cepat dengan konsentrasi kuman >105 CFU/mL dalam
waktu 72 jam jika tidak menggunakan antibiotik.7,28,30
Mikroorganisme patogen yang menyebabkan infeksi traktus
urinarius yang berkaitan dengan kateter mencakup: Escherichia coli,
Klebsiella, Proteus, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter,
Serratia, Candida spp, dan Enterococcus spp.3,31,32 Banyak
mikroorganisme ini merupakan bagian dari flora endogenus atau flora
usus normal, atau didapat melalui kontaminasi silang oleh pasien atau
petugas rumah sakit atau melalui kontak dengan peralatan yang tidak
steril.3
b. Patogenesis
Terbentuknya UTI yang disebabkan oleh penggunaan kateter
uretra terjadi secara bertahap. Pemasangan kateter akan menurunkan
sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior
dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung
dalam kandung kemih. Pada pasien yang menggunakan kateter,
mikroorganisme dapat menjangkau traktus urinarius melalui tiga
lintasan utama, yaitu: 1) dari uretra ke dalam kandung kemih pada
saat kateterisasi; 2) melalui jalur dalam lapisan tipis cairan uretra
yang berada di luar kateter ketika kateter dan membran mukosa
bersentuhan; 3) cara yang paling sering, melalui migrasi ke dalam
kandung kemih di sepanjang lumen internal kateter setelah kateter
terkontaminasi.3
Kateter uretra juga dapat menghambat atau memotong
mekanisme pertahanan tertentu yang biasanya akan mencegah atau
meminimalkan interaksi sel bakteri-epitel, misalnya lapisan
glikosaminoglikan (GAG) dan pembentukan biofilm. Biofilm
merupakan kumpulan mikroorganisme pada suatu permukaan yang
dikelilingi matrik ekstraseluler terbuat dari material terutama
polisakarida. Biofilm menyebabkan mikroorganisme melekat pada
permukaan kateter uretra.30,33
Bakteri dapat masuk ke saluran kemih pada pasien yang
terpasang kateter secara ekstraluminer dengan inokulasi langsung
pada saat pemasangan kateter atau dengan migrasi pada selubung
seperti lendir di sekeliling permukaan luar kateter uretra. Hal ini,
terutama sering terjadi pada pasien dengan kebersihan perineum dan
uretra distal yang kurang. Koloni bakteri perineum akan naik ke
Bakteri juga dapat masuk pada kateter uretra melalui jalan
intraluminer yang terjadi karena kegagalan sistem drainase tertutup
atau kontaminasi kantong penampung urin. Bakteri yang masuk
seringkali merupakan hasil transmisi silang dari tangan orang yang
merawat. Jalan intraluminer menunjukkan pendakian bakteri yang
lebih cepat (32-48 jam) daripada ekstraluminal (72-168 jam).
Kantong drainase urin umumnya menjadi terkontaminasi saat
dilakukan pembukaan reguler saat mengalirkan urin maupun
penempatan kantong drainase yang tidak tepat. Bakteri yang terdapat
pada kantong drainase urine tersebut dapat bermigrasi pada kateter,
kemudian dapat masuk ke dalam kandung kemih. Pemutusan kateter
dari tabung drainase juga telah terbukti menyebabkan kontaminasi
dari sistem.33
c. Manifestasi Klinis
Pasien yang mengalami CAUTI akan mengalami demam (suhu >
38oC), menggigil, perubahan status mental, malaise atau kelesuan
yang terjadi ketika infeksi memburuk, nyeri pinggang, nyeri
suprapubik, dan rasa terbakar selama berkemih (disuria) ketika urin
mengalir melalui jaringan yang meradang setelah kateter dilepas.
Kandung kemih yang teriritasi menyebabkan timbulnya sensasi ingin
berkemih yang mendesak dan sering. Iritasi pada kandung kemih dan
(hematuria). Urin tampak pekat dan keruh (lekosituria) karena adanya
sel darah putih atau bakteri.4,9,34,35
Tanda dan gejala yang lainnya yaitu terdapat perasaan nikuria
(anyang-anyangan), biakan urin porsi tengah (midstream) > 105
kuman per ml urin dengan jenis kuman tidak lebih dari 2 spesies,
analisis dipstick positif atau leukosit esterase (leukosit ≥ 3/LPB atau
≥ 10 leukosit per ml.26
d. Faktor Resiko
Diketahui terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan
kejadian infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter,
yaitu faktor yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, lama
pemasangan, diagnosa penyakit, prosedur pemasangan dan perawatan
kateter, ukuran kateter, dan kebersihan ruangan.3,4,15–18,25,33,36
1) Usia
UTI dapat terjadi pada semua kalangan, baik pada bayi,
anak-anak, remaja, dewasa, maupun pada usia lanjut. Namun, pada
pasien bayi dan pasien dengan karakteristik usia lanjut merupakan
pasien yang beresiko tinggi, karena berhubungan dengan
kerentanan terhadap infeksi.
2) Jenis kelamin
Dari kedua jenis kelamin antara wanita dan pria, ternyata
wanita lebih sering dari pria dengan angka populasi umum kurang
uretra wanita lebih pendek dan terletak lebih dekat pada anus dan
perubahan hormonal yang mempengaruhi pelekatan bakteri pada
mukosa. Sedangkan, uretra laki-laki bermuara saluran kelenjar
prostat dan sekret prostat dikenal sebagai anti bakteri yang kuat.
3) Lamanya terpasang kateter
Lamanya pasien terpasang kateter sangat berpengaruh
terhadap timbulnya UTI. Apalagi apabila kateter dipasang tanpa
alasan yang tepat dan pelepasan kateter yang tidak dilakukan
meskipun indikasi berakhir. Hal ini dikarenakan kateter dapat
menimbulkan terjadinya iritasi mukosa uretra dan sebagai pintu
masuk mikroorganisme, sehingga semakin lama kateter terpasang
menetap, akan semakin tinggi resiko terjadinya UTI.
4) Diagnosa penyakit
Pasien dengan diagnosa penyakit infeksi juga beresiko tinggi
terjadinya infeksi saluran kemih pada pemasangan kateter. Begitu
juga pada pasien dengan penyakit kronis, daya tahan tubuh yang
menurun, dan penggunaan imunosupresan. Pasien diabetes sangat
beresiko karena peningkatan kadar glukosa dalam urin
menyebabkan suatu infeksi akibat lingkungan pada traktus
urinarius. Kehamilan dan gangguan neurologi juga meningkatkan
resiko UTI karena kondisi ini menyebabkan pengosongan
5) Prosedur pemasangan dan perawatan kateter
Prosedur pemasangan dan perawatan kateter harus sesuai
dengan standar yang telah ditentukan. Resiko terjadinya UTI akan
semakin tinggi apabila prosedur pemasangan kateter dan
perawatan kateter menetap tidak dilakukan sesuai dengan standar.
6) Ukuran kateter
Trauma uretra harus diminimalkan dengan menggunakan
pelumas yang adekuat dan menggunakan kateter yang paling
kecil. Ukuran kateter yang terlalu besar dan ketat dalam meatus
dapat menyebabkan nekrosis pada meatus, sehingga dianjurkan
menggunakan ukuran kateter sekecil mungkin tetapi aliran tetap
lancar dan tidak ada kebocoran dari samping. Semakin besar
ukuran kateter dan semakin ketat kateter terpasang dalam meatus
semakin meningkatkan resiko terjadinya UTI.
7) Kebersihan ruangan
Kejadian infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh kuman
yang berasal dari benda atau bahan tidak bernyawa yang berada di
ruangan perawatan. Semakin bersih kondisi ruangan akan semakin
kecil resiko terjadinya infeksi nosokomial, termasuk UTI.
e. Pencegahan CAUTI
Tingkat CAUTI yang tinggi dapat dicegah dengan
memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pemasangan dan
1) Peningkatan fokus pada CAUTI
Penelitian terbaru menunjukkan pencegahan CAUTI telah
menjadi prioritas rendah dibandingkan dengan jenis infeksi lain
yang didapat di rumah sakit. Hal ini ditunjukkan dengan banyak
rumah sakit yang belum mempunyai strategi dasar dalam
pencegahan CAUTI. Peningkatan perhatian pada infeksi saluran
kemih terkait kateter (CAUTI) dan pencegahannya akan
meningkatkan perawatan pasien, sehingga akan mengurangi
resiko terjadinya CAUTI. Salah satu upaya dalam meningkatkan
fokus terkait CAUTI adalah dengan meningkatkan kinerja para
pemberi perawatan, yaitu:28,38
a) Kepatuhan terhadap program pendidikan maupun pelatihan
terkait kateter.
b) Kepatuhan dalam mendokumentasikan tanggal pemasangan
dan pelepasan kateter.
c) Kepatuhan terhadap dokumentasi indikasi untuk pemasangan
kateter.
2) Mengurangi pemasangan/penggunaan kateter yang tidak perlu
Kateterisasi dapat diindikasikan untuk berbagai alasan.
Apabila waktu kateterisasi pendek dan upaya meminimalkan
infeksi merupakan suatu prioritas, maka metode kateterisasi
digunakan jika diperlukan pengosongan kandung kemih dalam
jangka panjang.39
Indikasi pemasangan kateter, yaitu:39,40
a) Indikasi kateterisasi intermiten
(1) Tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi.
(2) Retensi akut setelah trauma uretra.
(3) Tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau
analgesik.
(4) Cedera tulang belakang.
(5) Degenerasi neuromuskular secara progresif.
(6) Untuk mengeluarkan urine residual.
b) Indikasi kateterisasi indwelling
(1) Pasien memiliki retensi urin akut atau obstruksi kandung
kemih.
(2) Penggunaan perioperatif untuk prosedur bedah yang
dipilih:
(a) Pasien yang menjalani operasi urologi atau lainnya
pada struktur yang berdekatan saluran genitourinari.
(b) Diduga durasi operasi berkepanjangan, kateter
dimasukkan karena alasan ini harus dihapus dalam
unit perawatan post anesthesia.
(c) Pasien diantisipasi untuk menerima infus volume
(d) Perlu untuk pemantauan intraoperatif output urin.
(3) Obstruksi uretra.
(4) Inkontinensia dan disorientasi berat.
(5) Perlu untuk pengukuran yang akurat dari output urin pada
pasien kritis.
(6) Untuk membantu penyembuhan luka terbuka sakral atau
perineal pada pasien inkontinensia.
(7) Pasien memerlukan imobilisasi lama (misalnya, toraks
atau lumbar tulang belakang berpotensi tidak stabil,
beberapa luka-luka traumatis seperti patah tulang
panggul).
(8) Untuk meningkatkan kenyamanan bagi perawatan pasien
end of life jika diperlukan.
CAUTI dapat dikurangi dengan intervensi yang memfasilitasi
penghapusan pemasangan kateter yang tidak perlu. Penggunaan
kateter yang sesuai:28,38,40–42
a) Penggunaan kateter hanya untuk indikasi yang tepat.
(1) Meminimalkan penggunaan kateter urin dan jangka
waktu penggunaan pada semua pasien, terutama pasien
yang berisiko tinggi untuk terkena CAUTI atau kematian
akibat kateterisasi seperti perempuan, orang tua, dan
(2) Menghindari penggunaan kateter urin pada pasien usia
lanjut untuk manajemen inkontinensia.
(3) Menggunakan kateter urin pada pasien operasi hanya
seperlunya, tidak secara rutin.
(4) Untuk pasien operasi yang diindikasikan terpasang
kateter, pelepasan kateter sesegera mungkin pasca operasi
dalam waktu 24 jam dianjurkan, kecuali terdapat indikasi
yang tepat untuk penggunaan kateter jangka panjang.
b) Mempertimbangkan untuk menggunakan alternatif untuk
kateterisasi indwelling pada pasien tertentu pada saat yang
tepat.
(1) Mempertimbangkan untuk menggunakan kateter
eksternal sebagai alternatif pada pasien laki-laki tanpa
retensi urin atau obstruksi kandung kemih.
(2) Mempertimbangkan alternatif untuk kateter indwelling
kronis, seperti kateter kondom, kateter suprapublik, dan
kateterisasi intermiten (pada pasien cedera tulang
belakang).
(3) Kateterisasi intermiten lebih baik digunakan pada pasien
dengan disfungsi dalam mengosongkan kandung kemih.
(4) Mempertimbangkan kateterisasi intermiten pada
neurogenik untuk mengurangi risiko kerusakan saluran
kemih.
Sistem drainase tertutup merupakan tindakan yang esensial
dilakukan apabila pemasangan kateter indwelling tidak bisa
dihindari. Sistem drainase ini harus dirancang untuk mencegah
agar kateter yang sudah terpasang tidak lepas dan dengan
demikian akan mengurangi resiko kontaminasi. Sistem seperti ini
dapat terdiri atas kateter indwelling, saluran konektor, dan
kantong penampung urin yang dikosongkan melalui katup
drainase, atau kateter indwelling triple-lumen yang dihubungkan
dengan sistem drainase tertutup yang steril. Pada kateter triple
-lumen, drainase urin terjadi melalui satu saluran, balon untuk
menahan kateter dikembangkan dengan menyemprotkan air steril
atau udara lewat saluran kedua, dan kandung kemih secara
kontinyu diirigasi dengan larutan antibakteri melalui saluran
ketiga.3,4
3) Penggunaan teknik yang tepat dalam pemasangan kateter33,41
a) Cuci tangan sebelum dan segera setelah insersi atau
manipulasi perangkat kateter.
b) Pemasangan kateter hanya dikerjakan oleh tenaga yang
betul-betul memahami dan terampil dalam teknik pemasangan
c) Melakukan pemasangan kateter urin menggunakan teknik
aseptik dan peralatan steril.
(1) Menggunakan sarung tangan steril, tirai, spons, cairan
steril atau antiseptik yang tepat untuk pembersihan
periuretral, dan penggunaan pelumas jelly untuk
pemasangan.
(2) Penggunaan rutin pelumas antiseptik tidak diperlukan.
d) Menjaga kateter indwelling dengan benar untuk mencegah
gerakan dan traksi uretra dengan memfiksasi kateter.
e) Melakukan kateterisasi secara berkala untuk mencegah
kelebihan distensi kandung kemih apabila menggunakan
kateterisasi intermiten.
f) Mempertimbangkan dalam menggunakan perangkat
ultrasound portabel untuk menilai volume urin dan
mengurangi insersi kateter yang tidak perlu pada pasien yang
menjalani kateterisasi intermiten.
4) Perawatan kateter yang tepat
Kateter urin antimikroba dapat mencegah bakteriuria pada
pasien rawat inap selama kateterisasi jangka pendek, tergantung
pada lapisan antimikroba dan beberapa variabel lain dibandingkan
dengan kateter standar.42 Kateterisasi urin dilakukan dengan
memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam
dalamnya.4Kateterisasi dapat menjadi tindakan yang
menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat
atau pasien tidak mampu melakukan urinasi maupun apabila
pasien tidak mampu mengontrol perkemihan. Kateter juga
menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada pasien
yang status hemodinamiknya tidak stabil.3,4
Teknik yang tepat dalam perawatan kateter urin adalah:26,33,41
a) Setelah pemasangan kateter dengan sistem aseptik,
pertahankan sistem drainase tertutup. Jika dalam penggunaan
teknik aseptik terhenti atau kebocoran terjadi, ganti kateter
dan kumpulkan semua peralatan dengan menggunakan teknik
aseptik dan peralatan steril.
b) Mempertahankan aliran urin agar tidak terhalang.
(1) Menjauhkan urine bag di bawah tingkat kandung kemih
setiap saat. Jangan meletakkan urine bag di lantai.
(2) Mengosongkan urine bag secara teratur menggunakan
wadah terpisah, membersihkan wadah pengumpul urin
untuk setiap pasien, menghindari cipratan, dan mencegah
kontak keran kantong drainase (urine bag) dengan wadah
pengumpul urin non steril.
c) Menggunakan standar kewaspadaan, termasuk penggunaan
sarung tangan dan celemek yang sesuai dalam setiap
d) Sistem drainase kemih Complex (memanfaatkan mekanisme
untuk mengurangi masuknya bakteri seperti katrid rilis
antiseptik di drainase urin) tidak diperlukan untuk penggunaan
rutin.
e) Mengganti kateter atau urin bag secara rutin. Interval yang
tetap tidak dianjurkan. Sebaliknya, disarankan untuk
mengganti kateter dan urin bag berdasarkan indikasi klinis,
seperti infeksi, obstruksi, atau ketika sistem tertutup
dikompromikan.
f) Kecuali ada indikasi klinis (misalnya, pada pasien dengan
bakteriuria atas penghapusan pasca bedah urologi kateter),
penggunaan antimikroba sistemik secara rutin untuk
mencegah CAUTI pada pasien yang membutuhkan
kateterisasi, baik jangka panjang maupun pendek tidak
diperlukan.
g) Membersihkan daerah periuretral dengan antiseptik untuk
mencegah CAUTI selama terpasang kateter tidak dianjurkan.
Kebersihan rutin (misalnya, pembersihan permukaan meatus
saat mandi) menggunakan sabun dan air adalah cara yang
tepat untuk membersihkan daerah periuretral.
h) Kecuali obstruksi diantisipasi (misalnya, yang mungkin terjadi
dengan perdarahan setelah operasi prostat atau kandung
diantisipasi, irigasi terus menerus tertutup disarankan untuk
mencegah obstruksi.
i) Irigasi rutin kandung kemih dengan antimikroba tidak
dianjurkan. Irigasi hanya dilakukan apabila diperkirakan
terdapat sumbatan aliran misalnya karena bekuan darah pada
operasi prostat atau kandung kemih. Gunakan semprit besar
steril untuk irigasi dan setelah irigasi selesai semprit dibuang
secara aseptik. Jika keteter sering tersumbat dan harus sering
diirigasi, maka kateter harus diganti.
j) Penggunaan rutin solusi antiseptik atau antimikroba ke dalam
urine bag tidak dianjurkan.
k) Klem kateter sebelum melepas kateter tidak diperlukan.
5) Memperhatikan penggunaan bahan kateter
Pemilihan kateter yang berbahan tepat bertujuan untuk
menunda timbulnya bakteriuria dan untuk mencegah perlekatan
dan pertumbuhan bakteri.
a) Mempertimbangkan untuk menggunakan antimikroba/
antiseptik kateter.
b) Hidrofilik kateter mungkin lebih baik daripada kateter standar
untuk pasien yang memerlukan kateterisasi intermiten.
c) Kateter berbahan silicone lebih baik digunakan pada pasien
yang memerlukan kateterisasi jangka panjang untuk
6) Manajemen Obstruksi
Tidak ada konsensus mengenai waktu di mana perubahan
kateter rutin harus dilakukan. Periode yang lebih pendek mungkin
diperlukan jika ada kerusakan atau kebocoran kateter. Secara
umum, kateter jangka panjang harus diganti sebelum
penyumbatan terjadi atau mungkin terjadi. Waktu penggunaan
kateter indwelling berbeda pada setiap pasien. Beberapa pasien
membentuk deposito di lumen kateter sangat cepat. Orang-orang
ini ('blocker') perlu memiliki kateter perubahan lebih sering
daripada 'non-blocker', yaitu mingguan atau bahkan dua kali
seminggu.
7) Specimen Collection
a) Mendapatkan sampel urin secara aseptik.
b) Bahan pemeriksaan urin segar dalam jumlah kecil dapat
diambil dari bagian distal kateter, atau jika lebih baik dari
tempat pengambilan bahan yang tersedia, dan sebelum urin
diaspirasi dengan jarum dan semprit yang steril, tempat
pengambilan harus didesinfektasi.
c) Bila diperlukan volume besar urin untuk analisis khusus, maka
urin harus diambil secara aseptik dari kantong drainase.
d) Kultur urin rutin pada pasien dengan kateter asimtomatik tidak
f. Peran perawat
Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan
layanan konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan
pengendalian infeksi dengan menggunakan metode yang berdasarkan
bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan biaya.43 Pelaksanaan praktik
asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi nosokomial adalah
bagian dari peran perawat.44
WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired
Infection menyatakan bahwa peran perawat pelaksana dalam
pengendalian infeksi nosokomial yaitu: (1) menjaga kebersihan
rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan
praktik keperawatan; (2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci
tangan dan penggunaan isolasi; (3) melapor kepada dokter jika ada
masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian
layanan kesehatan; (4) melakukan isolasi jika pasien menunjukkan
tanda-tanda dari penyakit menular; (5) membatasi paparan pasien
terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf rumah sakit,
pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau
asuhan keperawatan; (6) mempertahankan keamanan peralatan,
obat-obatan, dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi
nosokomial.44
a. Definisi
Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan
yang dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia.45 Pengetahuan adalah
hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia
untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia
untuk memahami suatu objek tertentu.46
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yaitu indera
penglihatan, pendengaran, penghidu, perasa, dan peraba. Tetapi,
sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).47
b. Proses Adopsi Perilaku
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum seseorang mengadopsi
perilaku yang baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yaitu:47
1) Timbul kesadaran (awareness), yakni orang tersebut menyadari
2) Ketertarikan (interest), yakni orang tersebut mulai tertarik kepada
stimulus.
3) Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation), yakni
sikap orang tersebut sudah lebih baik lagi.
4) Mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan untuk
mulai mencoba perilaku baru.
5) Mengadaptasi (adoption), yakni orang tersebut telah berperilaku
baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya
terhadap stimulus.
Apabila penerimaan baru atau adopsi perilaku melalui proses
seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang
positif, maka perilaku tersebut akan bertahan lama (long lasting).
Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran, maka tidak akan berlangsung lama.
c. Tingkatan Pengetahuan
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan sebagai berikut:47,48
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat akan suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan
tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
pengetahuan paling rendah. Ukuran bahwa seseorang tahu tentang
apa yang dipelajari, adalah ia dapat: menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, dan menyatakan. Contohnya, seorang perawat
dapat menyebutkan cara pencegahan CAUTI.
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang
telah paham terhadap objek atau materi tersebut harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, dan menyimpulkan objek
yang dipelajari. Contohnya, seorang perawat dapat menjelaskan
kepada pasien mengapa harus makan makanan yang bergizi pada
masa postpartum.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam konteks atau
situasi yang lain. Contohnya, seorang peneliti dapat menggunakan
rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian.
4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
dalam satu struktur objek tersebut dan masih ada kaitannya satu
sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari ukuran
kemampuan, seperti dapat menggambarkan, membuat bagan,
membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan.
5) Sintesis (synthetic)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang telah ada. Pada tingkatan ini, seseorang dapat
menyusun, merencanakan, meringkaskan, dan menyesuaikan
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
Contohnya, seorang mahasiswa dapat meringkas materi kuliah
menjadi intisarinya.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada. Contohnya, seorang mahasiswa keperawatan dapat
membedakan asuhan keperawatan yang baik dan benar pada
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan, antara lain:24,49–51
1) Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha untuk mempengaruhi orang lain
melalui kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan yang berlangsung seumur hidup sehingga mereka
dapat melakukan apa yang diharapkan. Dari batasan ini, terdapat
unsur-unsur pendidikan yakni: input yang meliputi obyek
pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik
(subyek pendidikan); proses (upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain); dan output (meningkatknya
pengetahuan). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
akan semakin tinggi pula tingkat kemampuan orang tersebut
menangkap informasi.
2) Pengalaman
Pengetahuan dapat terbentuk dari pengalaman dan ingatan
yang didapat sebelumnya. Seorang anak akan memperoleh
pengetahuan bahwa apa itu panas adalah setelah memperoleh
pengalaman tangan atau kakinya terkena panas. Seorang perawat
akan melakukan upaya pencegahan terhadap suatu penyakit
3) Sumber informasi
Sumber informasi selalu berkaitan dengan pengetahuan, baik
dari orang yang menerima maupun media yang digunakan dalam
menyampaikan. Sumber informasi dari seseorang akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang, yang dipengaruhi antara
lain: masyarakat, baik teman bergaul maupun tenaga kesehatan.
Kemajuan teknologi yang ada saat ini juga sangat
memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi yang ada.
Masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan informasi melalui
media massa, seperti televisi, koran, radio, maupun internet.
Sumber informasi ini akan mampu meningkatkan tingkat
pengetahuan seseorang dalam upaya peningkatan pengetahuan.
4) Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial.
Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan
ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini
terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang
akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
5) Usia
Usia berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir
pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang
diperolehnya semakin membaik.
e. Sumber Pengetahuan Keperawatan
Menurut Moule dan Goodman, pengetahuan dalam ilmu
keperawatan bersumber pada berbagai sumber yang melakukan
pengembangan bidang keperawatan, seperti pengetahuan ilmiah dari
penelitian para ahli, pengalaman perawat, serta pemahaman individu
dari seorang profesi perawat.
Pengalaman kerja perawat dapat berasal dari intuisi atau trik
yang dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan praktik sehari-hari.
Pengetahuan yang berasal dari pengalaman intuisi dan trik dapat
dibangun melalui pengetahuan personal (personal knowledge).
Pengetahuan personal merupakan pengetahuan yang berasal dari
intuisi dan pengalaman pribadi terkait dengan berbagai situasi dan
kejadian-kejadian tertentu dalam praktik keperawatan.
3. Penelitian Terkait
a. Preventing Catheter-Associated Urinary Tract Infection in the Zero-Tolerance Era52
Penelitian yang dilakukan oleh Alexandre R. Marra, MD, Thiago
Zinsly Sampaio Camargo MD, et.al ini bertujuan untuk menguji
pengaruh dari serangkaian intervensi yang diimplementasikan dalam
ICU dan SDU untuk mengurangi kejadian CAUTI dan untuk
penyebab CAUTI dalam 2 tahap studi. Penelitian ini dilakukan ke
dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan antara Juni 2005 dan
Desember 2007 dengan menerapkan beberapa Centers for Disease
Control dan praktek berbasis bukti pencegahan yang disarankan.
Sedangkan, tahap kedua dilakukan antara Januari 2008 dan Juli 2010
dengan melakukan intervensi untuk meningkatkan kepatuhan dengan
praktek intervensi dan peneliti menerapkan bundle kandung kemih
untuk semua ICU dan pasien SDU yang membutuhkan kateter urin.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya penurunan yang
signifikan secara statistik pada tingkat CAUTI di ICU, dari 7,6 per
1.000 hari sebelum intervensi menjadi 5,0 per 1.000
kateter-hari setelah intervensi dan juga terdapat penurunan yang signifikan
secara statistik pada tingkat CAUTI di SDU, dari 15,3 per 1.000
kateter-hari sebelum intervensi menjadi 12,9 per 1.000 kateter-hari
setelah intervensi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
mengurangi tingkat CAUTI dalam ICU dan SDU merupakan proses
yang kompleks yang melibatkan beberapa ukuran kinerja dan
intervensi yang dapat diterapkan.
b. Indwelling urinary catheter management and catheter-associated urinary tract infection prevention practices in Nurses Improving Care
for Healthsystem Elders hospitals53
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kepatuhan perawat
intervensi keperawatan, termasuk manajemen kandung kemih,
perawatan dan pengawasan kateter menetap (IUC). Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan survei elektronik untuk memeriksa
praktek-praktek perawatan IUC untuk pencegahan CAUTI di 3
bidang: (1) peralatan, alternative, penyisipan, dan pemeliharaan
teknik; (2) personil, kebijakan, pelatihan, dan pendidikan; dan (3)
dokumentasi, pengawasan, dan pengingat penghapusan pada 75
rumah sakit perawatan akut dalam sistem Nurses Improving Care for
Healthsystem Elders (NICHE).
Praktek-praktek pencegahan CAUTI yang dilakukan adalah
mengenakan sarung tangan, mencuci tangan, mempertahankan
penghalang steril, dan menggunakan teknik steril (no-touch) dalam
penyisipan kateter. Perawatan meatus uretra diberikan setiap hari oleh
43% dari rumah sakit dan lebih sering diberikan oleh 41% dari rumah
sakit.
Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat
praktik-praktik dalam upaya pencegahan CAUTI yang ditekankan di
rumah sakit yang didasarkan pada bukti-bukti klinis. Namun, masih
adanya hambatan-hambatan dalam menerapkan praktik-praktik
pencegahan tersebut. Sehingga, diperlukan penelitian lebih lanjut
c. Hubungan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan dengan Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Perubahan Fisik dan
Psikososial Pada Masa Pubertas Di SMU Negeri 2 Medan24
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan faktor-faktor
yang mempengaruhi pengetahuan dengan tingkat pengetahuan remaja
tentang perubahan fisik dan psikososial pada masa pubertas di SMU
Negeri 2 Medan dengan menggunakan desain deskripsi korelasi.
Sampel penelitian diambil dari siswa siswi SMU Negeri 2 Medan
sebanyak 102 orang dimana sampel dibagi menjadi tiga tingkatan
yaitu kelas 1, 2 dan 3 dengan masing-masing 34 orang. Untuk
menganalisa hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan dengan tingkat pengetahuan remaja tentang perubahan
fisik dan psikososial pada masa pubertas digunakan metode analisis
korelasi regresi linear ganda.
Hasil analisis regresi linier ganda dengan metode backward
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan (pendidikan, pengalaman, dan sumber
informasi) berhubungan secara keseluruhan dengan tingkat
B. Kerangka Teori
Gambar 1: Kerangka Teori3,4,11,20,24
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dibuat berdasarkan kerangka teori dengan variabel
penelitian dan hubungan yang akan diteliti sebagai acuan penyusunan metode
penelitian. Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2: Kerangka Konsep
D. Hipotesis
1. Ada hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan perawat tentang
CAUTI.
2. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan
perawat tentang CAUTI.
3. Ada hubungan antara lama bekerja dengan tingkat pengetahuan perawat
tentang CAUTI.
4. Ada hubungan antara kepemilikan sertifikat terkait pelatihan infeksi
nosokomial maupun pelatihan perawatan intensif dengan tingkat
pengetahuan perawat tentang CAUTI.
Tingkat pengetahuan perawat ICU tentang
Catheter-Associated Urinary Tract Infection
(CAUTI) Karakteristik
Responden
Usia
Tingkat pendidikan Lama bekerja
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif non eksperimental.
Sedangkan, desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian
deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik adalah penelitian yang
bertujuan untuk menjelaskan pengaruh antara variabel independen dengan
variabel dependen dengan pendekatan yang telah dirumuskan.55,56 Metode
penelitian ini perlu dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan,
seberapa besar hubungan dan pengaruh antar variabel yang ada. Oleh karena
itu, pada penelitian ini perlu adanya hipotesis.57
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan
pendekatan cross-sectional study. Pendekatan cross-sectional adalah
pendekatan dimana variabel-variabelnya diobservasi sekaligus pada waktu
yang sama pada sampel penelitian yang merupakan bagian dari populasi.55,58
Sedangkan, jenis penelitian yang digunakan adalah non experimental dengan
explanatory research design, yaitu memantau dan mengamati objek yang
diteliti dengan menggunakan instrumen penelitian yang berupa
kuesioner.55,56,59
B. Populasi Penelitian
Populasi adalah setiap subjek yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan.60 Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari subjek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh