• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Univariat

Dalam dokumen FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT (Halaman 76-151)

BAB IV HASIL

A. Analisa Univariat

Analisa univariat menganalisis variabel-variabel yang ada secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi dan prosentase variabel, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, jabatan, kepemilikan sertifikat terkait pelatihan infeksi nosokomial maupun perawatan intensif, dan tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dengan menganalisa variabel yang diteliti.

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang meliputi variabel independen dan variabel dependen.51 Dalam penelitian, analisa bivariat digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan hubungan variabel independen yang terdiri atas usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, jabatan, dan kepemilikan sertifikat dengan variabel dependen yaitu tingkat pengetahuan perawat ICU tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infection (CAUTI).

Analisa bivariat dengan uji statistik chi-square untuk data penelitian yang berupa data ordinal dengan ordinal, nominal dengan nominal, maupun ordinal dengan nominal dengan rumus sebagai berikut:62

x2=

(fo−fh)2 fh

Keterangan:

x2 = Chi kuadrat

fh = frekuensi yang diharapkan di bawah Ho dalam kategori ke-1

Untuk mengetahui apakah terjadi hubungan yang signifikan antara variabel independen dan variabel dependen, maka p value

dibandingkan dengan tingkat kesalahan yang digunakan yaitu 5% atau 0,05. Apabila p value < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti ada hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Sebaliknya, apabila p value > 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang berarti tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

H. Etika Penelitian

Peneliti menerapkan etika penelitian dalam melakukan pengambilan data, karena penelitian yang dilakukan berhubungan langsung dengan manusia, maka etika penelitian harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitan. Etika penelitian tersebut meliputi:

1. Autonomy

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan cara peneliti memberikan lembar persetujuan (informed consent) kepada responden sebelum penelitian dilakukan. Tujuan

informed consent adalah agar partisipan mengerti maksud dan tujuan dari penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika partisipan bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak partisipan. Semua partisipan dalam penelitian ini seluruhnya bersedia untuk dijadikan responden dalam penelitian.

2. Anonimity (tanpa nama)

Penelitian ini menerapkan masalah etika dalam penelitian keperawatan dengan cara tidak menuliskan nama ataupun inisial partisipan pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode yang hanya dimengerti oleh peneliti pada lembar pengumpulan data.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti memberikan jaminan kepada partisipan mengenai kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun masalah- masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai tanggal 30 Mei 2014 sampai dengan 4 Juni 2014. Sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang berjumlah 52 orang. Hasil penelitian yang disajikan pada bab ini berupa: karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, lama bekerja sebagai perawat, jabatan dalam ICU maupun ICVCU, dan kepemilikan sertifikat terkait infeksi nosokomial maupun perawatan intensif. Pada bab ini juga akan disajikan tingkat pengetahuan responden tentang CAUTI serta hubungan karakteristik responden dengan tingkat pengetahuan.

A. Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden

a. Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Jenis Kelamin Frekuensi(n) Prosentase(%)

Pria Wanita 14 38 26,9 73,1 Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin wanita, yaitu sebanyak 38 responden (73,1%), sedangkan 14 responden (26,9%) berjenis kelamin pria.

b. Usia

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Usia Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Usia Frekuensi (n) Prosentase (%) Dewasa Awal Dewasa Tengah 37 15 71,2 28,8 Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh dari jumlah responden memasuki usia antara 21 sampai 35 tahun (dewasa awal), yaitu berjumlah 37 responden (71,2%), sisanya memasuki usia dewasa tengah (36-55 tahun) yaitu 15 responden (28,8%).

c. Tingkat Pendidikan

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014

(N=52)

Tingkat

Pendidikan Frekuensi(n) Prosentase(%)

DIII Keperawatan DIV Keperawatan S1 Keperawatan Ners 28 4 13 7 53,8 7,7 25,0 13,5 Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa lebih dari separuh responden berpendidikan diploma III Keperawatan, yaitu sebanyak 28 responden (53,8%). Kemudian, terdapat 4 responden (7,7%) berpendidikan DIV Keperawatan, 13 responden (25%) berpendidikan Sarjana Keperawatan, dan berpendidikan Ners berjumlah 7 responden (13,5%).

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Lama Bekerja Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Lama Bekerja Frekuensi(n) Prosentase(%)

<5 Tahun 5-10 Tahun >10 Tahun 18 14 20 34,6 26,9 38,5 Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa hampir separuh dari responden memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun, yaitu berjumlah 20 responden (38,5%). Kemudian, diikuti dengan responden dengan masa kerja kurang dari 5 tahun yang berjumlah 18 responden (34,6%) dan sisanya memiliki masa kerja antara 5-10 tahun (26,9%).

e. Jabatan Struktural

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Jabatan Struktural Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014

(N=52) Jabatan Frekuensi (n) Prosentase (%) Kepala Ruang Ketua Tim Perawat Pelaksana 2 12 38 3,8 23,1 73,1 Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa mayoritas responden bekerja sebagai perawat pelaksana, yaitu sebanyak 38 responden (73,1%). Sedangkan, 12 responden (23,1%) memiliki

jabatan sebagai ketua tim dan sisanya merupakan kepala ruang dari ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang berjumlah 2 responden (3,8%).

f. Kepemilikan Sertifikat

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kepemilikan Sertifikat terkait Pelatihan Infeksi Nosokomial maupun Perawatan Intensif Responden

di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52) Kepemilikan Sertifikat Frekuensi (n) Prosentase (%) Ya Tidak 2725 51,948,1 Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan bahwa lebih dari separuh jumlah responden yang berpartisipasi dalam penelitian telah memiliki sertifikat terkait infeksi nosokomial maupun perawatan intensif, yaitu sebanyak 27 responden (51,9%). Sedangkan, sisanya tidak memiliki sertifikat berjumlah 25 responden (48,1%).

2. Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4

Juni 2014 (N=52)

Tingkat Pengetahuan Frekuensi(n) Prosentase(%)

Baik Kurang 27 25 51,9 48,1 Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan bahwa lebih dari separuh responden memiliki tingkat pengetahuan pada kategori baik yaitu sebanyak 27 responden (51,9%). Sedangkan, responden dalam kategori pengetahuan yang kurang sebanyak 25 responden (48,1%).

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI Berdasarkan Karakteristik Responden di ICU dan ICVCU RSUD

Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Komponen Jumla h (n) Tingkat Pengetahuan Baik n (%) Kurang n (%) Jenis Kelamin Pria Wanita 14 38 5 (9,6) 22 (42,3) 9 (17,3) 16 (30,8)

Usia Dewasa Awal

Dewasa Tengah 37 15 23 (44,2) 4 (7,7) 14 (26,9) 11 (21,2) Tingkat Pendidikan DIII Kep DIV Kep S1 Kep Ners 28 4 13 7 13 (25) 2 (3,8) 6 (11,5) 5 (9,6) 15 (28,8) 2 (3,8) 7 (13,5) 2 (3,8) Lama Bekerja <5 tahun 5-10 tahun >10 tahun 18 14 20 15 (28,8) 6 (11,5) 6 (11,5) 3 (5,8) 8 (15,4) 14 (26,9) Jabatan Struktural Kepala Ruang Ketua Tim Perawat Pelaksana 2 12 38 2 (3,8) 2 (3,8) 23 (44,2) 0 10 (19,2) 15 (28,8) Kepemilikan Sertifikat YaTidak 2725 15 (28,8)12 (23,1) 15 (28,8)10 (19,2) Tabel 4.8 diatas merupakan tabel tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI berdasarkan dengan jenis kelamin, usia, tingkat

pendidikan, lama bekerja, jabatan struktural, dan kepemilikan sertifikat terkait pelatihan infeksi nosokomial maupun perawatan intensif. Dari 27 responden (51,9%) yang berpengetahuan baik, semua kepala ruang atau 2 responden (3,8%) termasuk ke dalam kategori tingkat pengetahuan yang baik. Selain itu, 23 responden (44,2%) yang berpengetahuan baik diantaranya merupakan perawat dengan jabatan sebagai perawat pelaksana dan 2 responden (3,8%) adalah ketua tim.

Sedangkan, dari 25 responden (48,1%) yang berpengetahuan kurang 15 responden (28,8%) merupakan perawat pelaksana dan 10 responden (19,2%) adalah perawat dengan jabatan sebagai ketua tim.

B. Analisa Bivariat

Pengujian hubungan dilakukan dengan menggunakan uji chi-square

dengan menghubungan karakteristik responden yang meliputi usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, dan kepemilikan sertifikat dengan tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.

1. Hubungan antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan

Tabel 4.9 Hubungan antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30

Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Usia

Tingkat Pengetahuan

Baik Kurang Total P

n % n % n % 0,020

Dewasa Awal 23 44,2 14 26,9 37 71,2

Dewasa Tengah 4 7,7 11 21,2 15 28,8

Hasil uji chi-square pada tabel 4.9 didapatkan hasil P 0,020 < α 0,05, maka ho diterima dan ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.

2. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan Tabel 4.10 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr.

Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Tingkat Pendidikan

Tingkat Pengetahuan

Baik Kurang Total P

n % n % n % 0,416

Diploma 16 30,7 12 23,1 28 53,8

Sarjana 11 21,2 13 25,0 24 46,2

Total 26 51,9 26 48,1 52 100

Hasil uji chi-square pada tabel 4.10 didapatkan hasil P 0,416 > α 0,05, maka ho diterima dan ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.

3. Hubungan antara Lama Bekerja dengan Tingkat Pengetahuan

Tabel 4.11 Hubungan antara Lama Bekerja dengan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi

Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Lama Bekerja

Tingkat Pengetahuan

Baik Kurang Total P

n % n % N % 0,003

<5 Tahun 15 28,3 3 38,5 18 34,6

5-10 Tahun 6 11,5 8 15,4 14 26,9

>10 Tahun 6 11,5 14 26,9 20 38,5

Total 27 51,9 25 48,1 52 100

Hasil uji chi-square pada tabel 4.11 didapatkan hasil P 0,003 < α 0,05, maka ho ditolak dan ha diterima, sehingga dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara lama bekerja dengan tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.

4. Hubungan antara Kepemilikan Sertifikat dengan Tingkat Pengetahuan Tabel 4.12 Hubungan antara Kepemilikan Sertifikat terkait Pelatihan

Infeksi Nosokomial maupun Perawatan Intensif dengan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr.

Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Kepemilikan

Sertifikat Baik Tingkat PengetahuanKurang Total P

n % n % n % 0,262

Ya 12 23,1 15 28,8 27 51,9

Tidak 15 46,2 10 46,2 25 48,1

Total 27 51,9 25 48,1 52 100

Hasil uji chi-square pada tabel 4.13 didapatkan hasil P 0,262 > α 0,05, maka ho diterima dan ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kepemilikan sertifikat dengan tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.

1. Jenis Kelamin

Pada penelitian ini didapatkan data proporsi distribusi jenis kelamin responden yang tidak seimbang, yaitu jumlah responden wanita yang lebih banyak daripada responden pria. Ketidakseimbangan proporsi tersebut dapat terjadi dikarenakan perawat di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta didominasi oleh wanita.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fitrianasari65 di Rumah Sakit Umum Darmayu Ponorogo juga didapatkan proporsi responden berjenis kelamin wanita yang lebih besar daripada pria, yaitu responden wanita dengan jumlah 54 responden (60,7%), sedangkan pria berjumlah 35 responden (39,3%). Penelitian tersebut menyebutkan bahwa banyaknya perawat berjenis kelamin wanita dikarenakan pekerjaan di rumah sakit membutuhkan kecermatan dan ketelatenan yang besar, keberanian dan keterampilan yang tinggi karena aktifitas merawat orang sakit lebih banyak membutuhkan perhatian besar dari petugas perawat.65

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rajagukguk di ICU dan IMC RSUD Cengkareng Jakarta Barat juga menyebutkan proporsi jumlah perawat berjenis kelamin perempuan yang lebih besar daripada perawat pria.66 Menurut peneliti, lebih banyaknya perawat berjenis kelamin wanita

daripada pria dapat terjadi karena lebih banyak wanita yang tertarik untuk menjadi seorang perawat dibandingkan pria.

2. Usia

Berdasarkan usia responden didapatkan bahwa lebih dari separuh dari jumlah responden memasuki usia antara 21-35 tahun, yaitu sebanyak 37 responden (71,2%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden termasuk ke dalam kategori usia dewasa awal. Sedangkan, sisanya memasuki usia dewasa tengah (36-55 tahun) sebanyak 15 responden (28,8%) dan tidak ada responden yang termasuk dalam kategori usia dewasa akhir (>55 tahun).

Usia akan sangat berpengaruh terhadap kematangan berpikir seseorang, semakin tinggi usia seharusnya akan semakin tinggi pula kematangan dalam berpikir. Menurut Notoadmojo,50 semakin cukup usia, maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dan logis dalam berpikir. Seperti yang dikatakan Hurlock yang dikutip oleh Nursalam,67 bahwa semakin cukup usia seseorang, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih dipercaya dari orang-orang yang belum cukup tinggi dewasanya. Semakin tua usia seseorang, semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Selain itu, Hurlock mengatakan bahwa pengalaman dan kematangan jiwa seseorang disebabkan semakin cukupnya usia dan kedewasaan dalam berpikir dan bekerja.

Berdasarkan konsep tersebut, peneliti berpendapat bahwa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hanya 28,8% responden memasuki usia dewasa tengah dikaitkan dengan kemampuan berpikir responden yang sudah semakin matang untuk menerima informasi tentang CAUTI. Apabila dibandingkan dengan usia dewasa awal, kemampuan berpikir dewasa awal masih dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kemampuan adaptasi yang masih labil, idealisme yang masih melekat kuat, serta sifat ego yang masih kuat. Namun menurut Nugroho,68

responden yang memasuki usia dewasa awal sangat menguntungkan dalam hal dukungan sumber daya manusia mengingat dalam usia < 30 tahun kemampuan tenaga perawat dalam kondisi yang optimal dan produktif sehingga ini adalah modal yang baik untuk pengembangan sumber daya perawat ke arah yang lebih baik.

Pada penelitian ini mayoritas responden merupakan kategori usia dewasa awal dan dewasa tengah, hal ini dikarenakan beban kerja di ICU dan ICVCU yang lebih berat daripada bagian rawat inap maupun rawat jalan, sehingga dibutuhkan tenaga perawat yang masih optimal.

3. Tingkat Pendidikan

Data penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh jumlah responden berpendidikan diploma III Keperawatan, yaitu sebanyak 53,8% atau 28 responden. Kemudian, seperempat dari jumlah responden berpendidikan S1 Keperawatan, yaitu berjumlah 13 responden serta sisanya 13,5% berpendidikan Ners dan berpendidikan diploma IV

Keperawatan sebesar 7,7%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak perawat yang berpendidikan DIII Keperawatan.

Standar pendidikan keperawatan di Indonesia sendiri terdiri atas pendidikan DIII Keperawatan, pendidikan S1/Ners, pendidikan Magister Keperawatan, pendidikan Spesialis Keperawatan, dan pendidikan Doktor Keperawatan. Meskipun pendidikan minimal bagi perawat di Indonesia adalah DIII, namun diharapkan perawat yang bekerja di Indonesia mampu memberikan asuhan keperawatan yang profesional sesuai dengan standar praktik keperawatan.69

Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Wardani70 di RSU PKU Muhammadiyah Bantul tentang analisis kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial didapatkan mayoritas responden berpendidikan diploma III Keperawatan, yaitu sebanyak 48 responden (96%) dari total 50 responden. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyaknya perawat di Indonesia yang berpendidikan DIII Keperawatan, meskipun terdapat jenjang pendidikan keperawatan yang lebih tinggi.

Menurut peneliti sudah seharusnya setiap perawat memiliki kesadaran untuk meningkatkan jenjang pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, dalam hal ini pendidikan Ners. Seperti yang tersurat dalam Undang Undang No. 20 tahun 2003 yaitu tentang pendidikan profesi setelah pendidikan sarjana. Pertimbangan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan pada klien dan masyarakat melalui kinerja Ners yang memperlihatkan penguasaan keilmuan dan

pengetahuan keperawatan yang tinggi dan kemampuan kritikal dalam menetapkan tindakan dengan justifikasi ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping itu, pola terintegrasi antara tahap akademik dan profesi ini diperlukan untuk mengakomodasi upaya pengembangan profesi keperawatan di Indonesia dan menyesuaikan dengan kondisi ketenagaan keperawatan di dunia internasional.71

4. Lama Bekerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh dari jumlah responden berada pada masa kerja lebih dari 10 tahun, yaitu sebanyak 20 responden (38,5%), diikuti perawat dengan masa kerja kurang dari 5 tahun sebanyak 18 responden (34,6%). Kemudian, lebih dari seperempat jumlah responden mempunyai masa kerja antara 5-10 tahun, yaitu sebanyak 14 responden.

Menurut Notoatmodjo,50 tingkat pengetahuan dapat terbentuk dari pengalaman dan ingatan yang didapat sebelumnya. Menurut peneliti, pengalaman seorang perawat dapat didapatkan selama ia bekerja menjadi seorang perawat. Lama bekerja seorang perawat dapat dijadikan ukuran tingkat pengalaman perawat dalam menghadapi kasus-kasus pasien. Semakin lama seorang perawat dalam bekerja akan semakin banyak pengalaman yang didapatkan sehingga tingkat pengetahuan juga akan meningkat.

Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wardani70 yang menunjukkan bahwa responden dengan masa kerja > 5

tahun sebanyak 39 responden (78%) dan hampir 75% dari jumlah responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi.70 Penelitian yang dilakukan oleh Sumarni., dkk juga menyebutkan lebih dari 75% responden memiliki masa kerja > 2 tahun dan 75,9% responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi.72 Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masa kerja berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan.

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan lebih dari setengah responden berada pada masa kerja 6-10 tahun dan > 10 tahun, menurut peneliti seharusnya pengetahuan responden sangat baik tentang CAUTI karena hubungannya dengan kompetensi responden dalam melakukan pencegahan CAUTI terhadap pasien merupakan salah satu standar kompetensi yang harus dikuasai.

5. Jabatan

Data penelitian menunjukkan jumlah perawat pelaksana lebih dari 50%, yaitu sebanyak 38 responden dan hampir seperempat dari jumlah responden menjabat sebagai ketua tim di ICU dan ICVCU, yaitu sebanyak 12 responden. Selain itu, untuk masing-masing ICU dan ICVCU mempunyai kepala ruang yang bertugas menjadi perawat manajer untuk tiap-tiap ruangan.

Menurut peneliti, untuk menjadi seorang kepala ruang, seseorang harus mempunyai kompetensi yang lebih dari yang lain. Karena jenjang karir yang dilalui seorang perawat manajer sudah melalui jenjang karir sebagai perawat klinik. Level klinik keperawatan dapat menunjukkan

level kompetensi seorang perawat, semakin tinggi level klinik perawat maka semakin tinggi pula kompetensi yang harus dikuasai.

Konsep secara luas dari kompetensi menitikberatkan pada kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas dengan standar kinerja (performance) yang ditetapkan di tempat kerja. Kompetensi menuntut penerapan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang relevan terhadap partisipasi efektif dalam suatu lembaga tertentu.73 Kompetensi perawat didapat secara berjenjang dan melalui uji kompetensi, mulai dari pra perawat klinik, kemudian perawat klinik I dan seterusnya. Hal ini menjelaskan bahwa seorang perawat dengan jenjang karir yang tinggi seharusnya lebih kompeten, dalam penelitian ini lebih tinggi tingkat pengetahuannya bila dibandingkan dengan perawat dengan jenjang karir yang masih rendah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saint, et.al,74

menjelaskan bahwa kepemimpinan memainkan peran penting dalam kegiatan pencegahan infeksi di rumah sakit. Perilaku seorang pemimpin yang sukses dapat menjadi contoh bagi orang lain dalam pencegahan

Healthcare-Associated Infection (HAI). Sedangkan, seorang pemimpin yang sukses terlihat dari: (1) mengembangkan keunggulan tindakan klinis dan mengkomunikasikan secara efektif kepada staf; (2) fokus dalam mengatasi hambatan yang ada dan menangani hambatan atau masalah yang menghambat proses pencegahan HAI secara langsung dengan staf; (3) dapat menginspirasi staf; dan (4) berpikir strategis dan bertindak

sesuai keadaan. Oleh sebab itu, menurut peneliti seorang pemimpin, dalam penelitian ini adalah seorang kepala ruang maupun ketua tim biasanya mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dari perawat pelaksana.

6. Kepemilikan Sertifikat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mempunyai sertifikat terkait infeksi nosokomial maupun perawatan intensif, yaitu sebanyak 27 responden. Hal ini dikarenakan RSUD Dr. Moewardi telah mengadakan pelatihan pencegahan infeksi nosokomial dan pelatihan perawatan intensif.

Penelitian yang dilakukan oleh Liaw, et.al,75 menjelaskan bahwa pendidikan dibutuhkan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam mengenali, melaporkan, dan menanggapi masalah pasien. Strategi dalam peningkatan pendidikan ini dapat dilakukan diantaranya dengan menggabungkan pelatihan dalam masalah-masalah klinis sebagai kompetensi inti dari pendidikan keperawatan, memberikan pelatihan pemeriksaan tanda-tanda vital kepada asistan perawat, dan melakukan pembelajaran lebih ketat untuk mengevaluasi efektivitas program pendidikan. Jadi, adanya pelatihan-pelatihan atau pendidikan tentang teknik-teknik pencegahan infeksi nosokomial maupun CAUTI dapat meningkatkan tingkat pengetahuan perawat tentang upaya pencegahannya.

B. Gambaran Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI

Secara umum, tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI berada pada kategori baik dan kurang. Data hasil penelitian terkait pengetahuan perawat tentang CAUTI menunjukkan bahwa 51,9% dari jumlah responden memiliki pengetahuan baik, yaitu sebanyak 27 responden dan 48,1% responden yang lain atau 25 responden memiliki pengetahuan kurang.

Menurut Azwar,76 pengetahuan memberi informasi kepada seseorang yang mempelajarinya sehingga jika diterapkan dalam kehidupannya akan bisa mendatangkan perubahan perilaku atau tingkah laku. Selain pengetahuan, perilaku atau tingkah laku juga didukung dengan sikap positif dan dukungan dari pihak lain, orang dapat mengambil keputusan dalam menentukan pilihan untuk mempermudah menyelesaikan permasalahannya. Pengetahuan akan membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang akan berperilaku sesuai dengan keyakinan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Wardani di RSU PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dengan kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial. Pada penelitian tersebut diperoleh nilai RP = 7,115 (95 % CI 2,691-18,812) yang menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pengetahuan rendah berpeluang untuk tidak mengendalikan infeksi nosokomial sebesar 7,115 kali.70

Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh teori Notoatmodjo,50 yaitu sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu: 1) awareness (kesadaran), 2) interest

(merasa tertarik), 3) evaluation (menimbang-nimbang), 4) trial (mencoba), dan 5) adoption (adopsi). Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses tersebut, didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting).

Tingkat pengetahuan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan antara lain: pendidikan, pengalaman, sumber informasi, lingkungan, dan usia.24,49–51 Dalam penelitian ini, pengalaman perawat identik dengan lama bekerja responden (masa kerja) yang memberikan dampak pada kemampuan berpikir kritis. Selain itu, sumber informasi didapat dengan adanya pelatihan-pelatihan terkait infeksi nosokomial maupun perawatan intensif yang diikuti oleh perawat yang dilegalkan dengan adanya suatu sertifikat yang diterbitkan oleh suatu lembaga yang berwenang.

Berdasarkan data persebaran jawaban reponden, didapatkan informasi bahwa terdapat beberapa pertanyaan dengan hasil pengetahuan rendah. Kurang dari 20% responden yang hanya dapat menjawab pertanyaan dengan benar, yaitu pada pertanyaan nomor 6 terkait dengan mikroorganisme gram

Dalam dokumen FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT (Halaman 76-151)

Dokumen terkait