• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tren Konsentrasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tren Konsentrasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat"

Copied!
295
0
0

Teks penuh

(1)

BESAR SEDANG DI JAWA BARAT

PURWANINGSIH

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

BESAR SEDANG DI JAWA BARAT

PURWANINGSIH

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tren Konsentrasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(5)
(6)

PURWANINGSIH. Concentration Trend and The Factors that Influence Large Medium Scale Manufacture Industry Agglomeration in West Java. Under the Supervision of ARIEF DARYANTO and WIWIEK RINDAYANTI.

The mean value of West Java’s economic growth in period 2001-2008 is higher than the national economic growth mean value (5,58% for West Java, while national economic growth mean value is 4,79%). This high economic growth is underpinned by the manufacturing industry as a major component of GRDP. But on the other hand, there is still disparities problem between region in West Java. The purpose of this study is to analyze the regional inequalities, the concentration of industry and the factors that influence agglomeration of manufacturing industries. This study was using secondary data from BPS including GRDP and large/ medium scale industry raw data. Using the descriptive analysis (Theils, Harfindahl and Elisson Glaeser Index) and also panel data method, the result shows that the concentration of industry is concentrated in Bekasi, Bogor and Bandung regency, and there are areas of concentration expansion of Karawang and Purwakarta. Factors that influence the agglomeration of manufacturing industries in Indonesia, are firm size, economies of scale, diversity of industry, ownership of foreign capital, wages, size of market and road infrastructure.

(7)
(8)

Industri Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO dan WIWIEK RINDAYATI.

Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah (Sjafrizal, 2008). Data PDRB menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa. Ketimpangan daerah juga terjadi di Jawa Barat. Jawa Barat bagian utara relatif lebih maju daripada bagian selatan. Disparitas pembangunan ekonomi antar daerah juga merupakan akibat dari persebaran sumber daya yang tidak merata. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Kegiatan ekonomi yang paling banyak mendapatkan manfaat dari aglomerasi yaitu industri manufaktur. Proses industrialisasi di Indonesia belum selesai, begitupun juga dengan industrialisasi di Jawa Barat. Oleh karena itu perlu kita menelaah lebih lanjut bagaimankah trend perkembangan konsentrasi industri manufaktur tersebut selama proses industrialisasi yang masih terus berlangsung.

Kontribusi terbesar dalam pembangunan ekonomi di Jawa Barat secara makro didominasi oleh sektor industri pengolahan. Bahkan sektor industri pengolahan, merupakan lapangan usaha terbesar kedua yang menyerap tenaga kerja setelah pertanian. Untuk itu, kajian kebijakan pembangunan dalam pengembangan sektor ini, sangatlah diperlukan, apalagi saat ini sektor industri pengolahan dalam masa recovery setelah terhempas oleh krisis ekonomi yang melanda perekonomian nasional. Selain itu, Jawa Barat merupakan daerah yang dinyatakan sebagai lokasi investasi asing yang sangat progresif.

Perkembangan industri manufaktur hampir selalu mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan negara-negara sedang berkembang, karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai leading sektor yang mendorong sektor lainnya. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur perlu dilakukan penciptaan aglomerasi industri manufaktur agar efisiensi dan penghematan ekonomi dapat dicapai. Penciptaan aglomerasi industri manufaktur memerlukan strategi yang tepat agar aglomerasi tersebut dapat bertahan dan memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian, dengan meminimalkan efek disparitas ekonomi.

Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis ketimpangan ekonomi Jawa Barat.

2. Menganalisis dinamika konsentrasi industri manufaktur di Jawa Barat.

(9)

adalah melalui pembentukan WKPP. Dalam setiap WKPP terdapat satu pusat pertumbuhan, dan beberapa daerah pendukung. Pusat pertumbuhan tersebut biasanya mempunyai aktifitas industri dan ekonomi yang padat. Konsentrasi indusri tersebut seharusnya mampu menggerakkan aktifitas ekonomi di daerah konsentrasi dan juga menggairahkan perekonomian di daerah daerah pendukungnya sehingga pada akhirnya kesejahteraan dapat merata.

Penemuan menarik, Indeks entropi antar WKPP meningkat terus selama 2001-2008. Ini mencerminkan bahwa terdapat tren kenaikan konsentrasi industri manufaktur secara spasial. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan pembentukan wilayah koordinasi pembangunan lebih berperan dalam menurunkan tingkat ketimpangan dalam satu WKPP. Tendensi terjadinya penyebaran industri manufaktur secara gamblang ditunjukkan oleh tren penurunan kesenjangan dalam satu wilayah koordinasi pembangunan. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena besaran ketimpangan antar WKPP relatif kecil jika dibandingkan dengan ketimpangan dalam satu WKPP.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Jawa Barat lebih disebabkan oleh ketimpangan antar kabupaten/kota dalam satu WKPP, namun ketimpangan tersebut bersifat konvergen. Wilayah WKPP yang ketimpangannya relatif tinggi berangsur menurun, sementara daerah yang relatif rendah ketimpanganya justru mengalami kenaikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelompokkan wilayah dengan adanya pusat pertumbuhan dalam setiap WKPP sudah menunjukkan peran yang tepat. Daerah pusat pertumbuhan mampu menyebarkan hasil pembangunan dan mendorong daerah pendukung untuk berkembang, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pusat pertumbuhan yang telah mapan tumbuh dengan cepat relatif lebih sulit untuk dikejar daerah pendukungnya.

Hasil analisis sebelumnya menyatakan bahwa konsentrasi industri yang semakin meningkat (terkonsentrasi) kurang sejalan dengan ketimpangan ekonomi antar wilayah di Jawa Barat. Banyak terdapat daerah konsentrasi industri, namun dampak yang muncul adalah adanya ketimpangan antar daerah yang tinggi, hal ini mengindikasikan adanya interkoneksi antar daerah yang kurang bagus. Sesuatu hal yang sangat memegang peranan untuk menghubungkan antara pusat pertumbuhan dan daerah pendukung adalah adanya infrastruktur. Permasalahan disparitas regional dan konsentrasi industri tidak akan terlalu menonjol apabila interkoneksi antar daerah sudah bagus.

Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model, estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri dilakukan dengan metode metode fixed effect GLS dengan memberikan weights: Cross Section SUR (Seemingly Unrelated Regression). Berdasarkan hasil estimasi, faktor-faktor yang secara positip mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur Jawa Barat yaitu ukuran perusahaan, keanekaragaman industri, kepemilikan modal asing, besarnya pasar dan infrastruktur jalan. Tingkat upah dan kebijakan kenaikan BBM mempengaruhi aglomerasi secara negatif, terdapat tiga variabel bebas yang tidak signifikan mempengaruhi aglomerasi industri yaitu Indeks Persaingan Industri, Orientasi ekspor dan Impor dan Infrastruktur Listrik.

(10)

konsentrasi industri sebesar 0,02 persen. Variabel kepemilikan modal asing (FDI) mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,007, hal ini berarti peningkatan kepemilikan modal asing sebesar satu persen akan meningkatkan konsentrasi industri sebesar 0,007 persen. Variabel Upah Minimum Regional yang digunakan untuk mengkaji kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan biaya tenaga kerja dan aglomerasi industri di suatu daerah menghasilkan nilai elastisitas -0,000002. Hasil yang diperoleh juga sesuai dengan teori lokasi, yang menyatakan bahwa sebuah pabrik akan memilih berlokasi di daerah dengan tingkat upah yang rendah untuk meminimumkan biaya produksi. Variabel pendapataan daerah digunakan untuk mendekati besarnya pasar. Asumsinya semakin besar PDRB suatu daerah maka semakin besar pula aktivitas ekonomi di daerah tersebut. Variabel ini mempunyai elastisitas sebesar 0,32 yang berarti setiap kenaikan pendapatan di suatu daerah sebesar 1 persen maka akan meningkatkan indeks spesialisasi sebesar 0,32 persen.

Variabel orientasi ekspor dan impor yang digunakan untuk mengukur hubungan dengan internasional (oppeness), variabel ini tidak signifikan mempengaruhi terkonsentrasinya suatu industri di Jawa Barat. Hasil ini kurang sesuai dengan teori NEG dan NTT. Kenyataan ini disebabkan subsektor industri manufaktur memang masih menggunakan bahan baku impor, tetapi pemasaran hasilnya sebagian besar di dalam negeri. Variabel indeks persaingan yang digunakan untuk mendekati struktur pasar juga tidak signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa semakin rendah indeks persaingan yang berarti semakin monopolistik dapat membantu dalam menjelaskan konsentrasi geografis industri manufaktur. Variabel infrastruktur listrik hasilnya tidak signifikan mempengaruhi aglomerasi. Hal ini bisa diakibatkan oleh industri pengolahan terutama industri tekstil, pengolahan makanan, dan minuman, industri kertas dan barang dari kertas mempunyai konsumsi BBM yang jauh lebih dominan daripada konsumsi listrik, sementra fakta di lapangan menunjukkan bahwa industri itersebut adalah industri dominan di Jawa Barat.

Tanda yang negatif variabel dummy kenaikan harga BBM mengindikasikan bahwa proses konsentrasi industri manufaktur terhambat oleh meningkatnya harga beli BBM. Kebijakan kenaikan BBM pada tahun 2005 mengakibatkan menurunnya konsentrasi industri manufaktur di daerah-daerah aglomerasi. Hal ini disebabkan industri manufaktur banyak menggunakan bahan bakar minyak sehinggga mengakibatkan dampak yang cukup besar. Aglomerasi industri manufaktur di Jawa Barat masih terkonsentrasi di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi dan yang menjadi daerah perluasan aglomerasi yaitu Karawang dan Purwakarta. Sementara secara sektoral industri yang paling dominan di Jawa Barat adalah industri tekstil, dan pakaian jadi yang banyak terdapat di daerah Bandung. Dinyatakan dengan besarnya indeks Harfindahl yang mencapai 1,912 yang berati bahwa konsentrasi industri tekstil mencapai tingkat pekat.

(11)
(12)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(13)
(14)

BESAR SEDANG DI JAWA BARAT

PURWANINGSIH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)
(16)

Nama : Purwaningsih NRP : H 151 090 124 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(17)
(18)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Tren Konsentrasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Hariadi Hadisuwarno, SE, M.Sc, Ph.D atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si dan Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D selaku Ketua dan Sektretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana IPB. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS Kabupaten Parigi Moutong, BPS Propinsi Sulawesi Tengah maupun BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada yang penuh kesabaran, ketabahan dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan semangat, Sutrisno suami tersayang, semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dazky Unggul Widyadhana (putra pertama penulis) atas kesabarannya menemani penulis menjalani perkuliahan.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Agustus 2011

(19)
(20)

Penulis bernama Purwaningsih lahir pada tanggal 16 Oktober 1978, di Kulon Progo (DI. Yogyakarta). Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Martono dan Ibu Karmilah. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Kemendung, Kulon Progo pada tahun 1991, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 1 Wates pada tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 1 Wates, Yogyakarta dan lulus pada tahun 1997.

Setelah tamat SMU, pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2001 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Setelah itu bekerja pada Badan Pusat Statistik Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah selama lebih kurang 4 tahun, pada tahun 2006 penulis dipindah tugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah.

(21)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 11

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Tinjauan Teori ... 13

2.1.1 Pengertian Konsentrasi Spasial ... 13

2.1.2 Aglomerasi ... 15

2.1.3 Spesialisasi Industri ... 18

2.1.4 Teori Ekonomi Geografi Baru ... 19

2.1.5 Teori Perdagangan Baru ... 21

2.1.6 Infrastruktur ... 20

2.1.7 Ketimpangan Wilayah dan Pertumbuhan Ekonomi ... 23

2.2 Penelitian Terdahulu ... 26

2.2.1 Pengukuran Konsentrasi Spasial ... 26

2.2.2 Pengaruh Aglomerasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi .... 26

2.2.3 Faktor faktor yang Memengaruhi Industri Manufaktur ... 27

2.3 Kerangka Pemikiran ... 29

2.4 Hipotesis Penelitian ... 30

3 METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 31

3.2 Metode Analisis Data ... 32

3.2.1 Analisis Deskriptif ... 32

3.2.2 Indeks Entropi Theils ... 33

3.2.3 Indeks Hoover Balassa ... 34

3.2.4 Regresi Data Panel ... 36

(22)

3.4 Software Analisis yang Digunakan ... 44

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 45 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 45 4.1.1 Kondisi Geografi ... 45 4.1.2 Kewilayahan Pembangunan... 47

4.1.3 Penduduk dan Kepadatannya ... 51 4.1.4 Kondisi Perekonomian Jawa Barat ... 53 4.2 Dinamika Pembangunan Infrastruktur ... 60 4.2.1 Infrastruktur Jalan ... 60 4.2.2 Infrastruktur Listrik ... 63 4.2.3 Aglomerasi Industri Manufaktur ... 65

5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT ... 71 5.1 Dinamika Ketimpangan Pembangunan ... 71 5.2 Dinamika Konsentrasi Industri Manufaktur. ... 77 5.2.1 Kesenjangan Total Jawa Barat ... 77 5.2.2 Kesenjangan antar WKPP ... 79 5.2.3 Kesenjangan dalam WKPP ... 80 5.2.4 Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur ... 81 5.3 Kaitan Ketimpangan Ekonomi Regional dan Konsentrasi Industri

Manufaktur dalam Hubungannya dengan WKPP ... 87

6 FAKTOR FAKTOR YANG MEMENGARUHI AGLOMERASI

INDUSTRI MANUFAKTUR ... 91 6.1 Pemilihan Metode Regresi Data Panel ... 91 6.2 Hasil Estimasi Regresi Data Panel ... 93 6.2 Implikasi Kebijakan ... 98

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 103 7.1 Kesimpulan ... 103 7.2 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(23)

xiv

Halaman

1 Realisasi pendapatan asli daerah menurut kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2006-2008 (ribuan rupiah) ... 5

2 Laju pertumbuhan ekonomi daerah konsentrasi industri di Jawa Barat

tahun 2006-2008 ... 9

3 Luas area, jumlah kecamatan, desa dan kelurahan di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2008 ... 47

4 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2008 ... 52

5 Nilai dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 ... 54

6 PDRB atas dasar harga berlaku di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 ... 56

7 Kontribusi sektor terhadap PDRB menurut kabupaten/kota tahun 2008 .. 59

8 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2008 ... 62

9 Energi listrik PLN yang terjual di Jawa Barat menurut lokasi tahun 2005 dan 2008 ... 64

10 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 ... 68

11 Persentase tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut Wilayah Pengembangan di Jawa Barat tahun 2001-2008 ... 69

12 Jumlah penduduk, luas area dan kepadatan di Jawa Barat menurut kawasan tahun 2007 ... 74

(24)

I4 Indeks Entropi Jawa Barat menurut WKPP ... 78

15 Kesenjangan spasial dalam satu WKPP ... 80

16 Pengukuran konsentrasi spasial; perbandingan Ellison Glaeser Indeks tahun 2008 dan 2008 ... 82 17 Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi

(25)

xvi

Halaman

1 Kontribusi sektor pertanian, manufaktur dan sektor jasa di Indonesia tahun 2001-2009 ... 2

2 Kontribusi sektor pertanian, manufaktur dan sektor jasa di Jawa Barat tahun 2001-2008 ... 7

3 Hipotesa Neo-klasik ... 24

4 Kerangka pikir penelitian ... 28

5 Peta wilayah Jawa Barat menurut daerah administratif 26 kabupaten/kota ... 46

6 Pertumbuhan ekonomi menurut kabupaten tahun 2002-2008... 55

7 Kontribusi sektor terhadap PDRB Jawa Barat tahun 2000 – 2008 ... 58

8 Persentase Panjang jalan menurut jenis permukaannya dan kualitas jalan di Jawa Barat tahun 2008 ... 60

9 Persentase pelanggan dan energi jual menurut kelompok pelanggan tahun 2008 ... 63

10 Kontribusi sektor pertanian, pertambangan dan perdagangan hotel dan restoran, dan industri manufaktur terhadap PDB Jawa Barat tahun 2000-2008 ... 66

11 Jumlah perusahaan Industri Besar Sedang (IBS) tahun 2001-2008 ... 66

12 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) tahun 2001-2008 ... 67

13 Tingkat disparitas di Jawa Barat ... 72

14 Peta wilayah Jawa Barat menurut WKPP ... 73

(26)

16 Tingkat ketimpangan antar kabupaten /kota menurut WKPP di Jawa Barat Tahun 2002-2008 ... 76

17 Tingkat disparitas dalam propinsi tahun 2002 – 2008 ... 77

18 Total Entropi dan trennya di Jawa Barat, 2001-2008 ... 79

19 Entropi antar WKPP dan trennya di Jawa Barat, 2001-2008 ... 80

(27)

xviii

Halaman

1 Kontribusi tenaga kerja kabupaten terhadap tenaga kerja subsektor (%) tahun 2008 ... 111

2 Kontribusi tenaga kerja kabupaten terhadap tenaga kerja subsektor (%) tahun 2001 ... 113

3 Kontribusi tenaga kerja subsektor terhadap tenaga kerja kabupaten/kota (%) tahun 2008 ... 115

4 Kontribusi tenaga kerja subsektor terhadap tenaga kerja kabupaten/kota (%) tahun 2001 ... 117

5 Analisis LQ industri manufaktur Jawa Barat tahun 2008 ... 119

6 Analisis LQ industri manufaktur Jawa Barat tahun 2001 ... 121

7 Pengukuran konsentrasi spasial perbandingan Ellison Glaeser dan

Maurel Sedillot Indeks tahun 2008 ... 123

8 Pengukuran konsentrasi spasial perbandingan Ellison Glaeser dan

Maurel Sedillot Indeks tahun 2008 ... 125

(28)
(29)

1.1 Latar Belakang

Salah satu realita pembangunan ekonomi yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan antar daerah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah. Indikasi disparitas antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian, mempunyai pengaruh yang besar dalam memberikan pengaruh yang positif berupa pertumbuhan ekonomi yang penting untuk daerah sekitarnya, baik teknologi dan informasi, ilmu pengetahuan, kemampuan dan skill dalam hal entrepreneurship serta kemudahan akses terhadap produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Adanya perusahaan-perusahaan yang dominan yang berkumpul di suatu wilyah dapat mengubah pola perekonomian. Pusat pertumbuhan dapat memberikan dampak yang positif bagi daerah-daerah di sekitarnya, namun di sisi lain juga terjadi pengurasan sumber daya.

Persebaran sumber daya yang tidak merata dapat menimbulkan disparitas pembangunan ekonomi antar daerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah di mana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan penghematan aglomerasi (agglomeration economies). Ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan oleh kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Adanya penghematan aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Daerah aglomerasi biasanya didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai, akibatnya daerah tersebut pada umumnya mempunyai laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan aglomerasi.

(30)

mereka, dan mereka mendap berdekatan. Kota umumnya produktivitas dan pendapatan teknologi baru, pekerja terdi dibandingkan pedesaan (Malec

Industri manufaktur a dalam pembentukan Produk D tahun 2004 sampai tahun 2009 paling besar dibandingkan s industri manufaktur sebesar 2 26,4 persen. Meningkatnya pe baik domestik maupun inter manufaktur menduduki pering Bruto (PDB) Indonesia.

50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00

Sumber: BPS, 2001 - 2009 (diolah)

Gambar 1 Kontribusi sek Indonesia tahun Sektor industri manuf para investor, baik investor Indonsia baik dalam negeri ma manufaktur, sehingga relevan dalam pembentukan PDB. I

apat manfaat akibat lokasi perusahaan yang sa a menawarkan berbagai kelebihan dalam be tan yang lebih tinggi, yang menarik investasi b

didik dan terampil dalam jumlah yang lebih ti lecki 1991).

adalah sektor yang memberikan kontribusi terb Domestik Bruto Indonesia saat ini (Gambar 1). S 09 sektor industri manufaktur memiliki peranan y sektor-sektor lainnya. Tahun 2004 peranan se

28,1 persen kemudian tahun 2009 menurun men permintaan akan produk barang jadi atau setengah ternasional, telah mendorong peranan sektor ind ingkat pertama dalam pembentukan Produk Dome

ktor pertanian, manufaktur dan sektor jasa un 2001-2009

ufaktur merupakan sektor yang paling menarik r asing maupun investor dalam negeri. Investa i maupun modal asing tertumpuk di sektor ind

an jika sektor ini memberikan kontribusi terb Industri manufaktur sering disebut sebagai se

saling bentuk i baru, tinggi erbesar . Sejak n yang sektor enjadi ah jadi ndustri mestik

asa di

(31)

pemimpin (leading sector), karena peranannya yang cukup besar dalam perekonomian. Hal ini berarti perkembangan industri manufaktur merupakan faktor dominan dalam memacu dan mengangkat pembangunan sektor lainnya. Peningkatan produktifitas industri manufaktur diharapkan dapat memacu produktifitas dari sektor sektor yang lain sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Umumnya usaha yang sama cenderung beraglomerasi dan membentuk kelompok usaha dengan karakter yang sama serta tipe tenaga kerja yang sama. Produk dan jasa yang dihasilkan juga satu tipe. Sumber daya alam dan industri pertanian biasanya berada di tahap awal pembangunan wilayah dan menciptakan kesempatan yang potensial untuk perkembangan wilayah. Pengelompokan usaha (aglomerasi) berarti semua industri yang ada saling berkaitan dan saling membagi hasil produk dan keuntungan. Pengelompokan itu juga menciptakan potensi untuk menciptakan jaringan kerjasama yang dapat membangun kegiatan pemasaran bersama dan untuk menarik kegiatan lainnya yang berkaitan ke depan atau ke belakang.

(32)

Perkembangan sektor industri manufaktur hampir selalu mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan negara-negara sedang berkembang, hal ini karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai sektor pemimpin (leading sektor) yang mendorong sektor lainnya. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur perlu dilakukan penciptaan aglomerasi industri manufaktur agar efisiensi dan penghematan ekonomi dapat dicapai. Penciptaan aglomerasi industri manufaktur memerlukan strategi yang tepat agar aglomerasi tersebut dapat bertahan dan memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian, dengan meminimalkan efek ketimpangan.

Salah satu strategi pembangunan industri di Indonesia yang ditetapkan Kementrian Perindustrian mengutamakan keserasian peran dalam pembangunan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat luas, sehingga terwujud kekuatan bersama yang saling mendukung. Pembangunan industri menempatkan dunia usaha dan masyarakat sebagai pelaku utamanya sedangkan pemerintah berperan sebagai perumus kebijakan dan fasilitator bagi pertumbuhan dan perkembangan industri. Kebijakan pemerintah mencakup penetapan arah pembangunan dan penciptaan iklim usaha/investasi yang kondusif guna memberikan kesempatan yang sama bagi masyarakat untuk berperan dalam pembangunan industri. Sedangkan fasilitas yang diberikan pemerintah mencakup dukungan bagi dunia usaha dan masyarakat yang relatif kurang mampu bersaing, untuk melindungi kepentingannya baik sebagai produsen, pedagang maupun konsumen.

Strategi yang lain adalah pentingnya pemanfaatan keunggulan komparatif dan penciptaan keunggulan kompetitif dalam rangka menghadapi persaingan global. Keunggulan kompetitif industri manufaktur suatu bangsa dapat tercipta dengan adanya peningkatan output yang disertai peningkatan produktifitas dan efisiensi. Hal ini dapat dikembangkan dengan adanya peran pemerintah ikut campur dalam meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kapabilitas industri nasional. Selain itu pemerintah harus berperan dalam meningkatkan daya saing indusri nasional terhadap pasar global.

(33)
[image:33.612.135.505.231.584.2]

kebijakan pembangunan dari kebijakan pembangunan sektoral yang menjadi wewenang pemerintah pusat menjadi kebijakan pembangunan yang berorientasi spasial dan regional (Kuncoro, 2007). Perubahan orientasi pembangunan tersebut disertai meningkatnya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah berdasar aspirasi masyarakat. Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur keuangannya sendiri.

Tabel 1 Realisasi pendapatan asli daerah menurut kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2006-2008 (ribuan rupiah)

Kabupaten/Kota PAD

2006 2007 2008

01. Bogor 02. Sukabumi 03. Cianjur 04. Bandung 05. G a r u t 06. Tasikmalaya 07. C i a m i s 08. Kuningan 09. Cirebon 10. Majalengka 11. Sumedang 12. Indramayu 13. Subang 14. Purwakarta 15. Karawang 16. B e k a s i 17. Kota Bogor

18. Kota Sukabumi 19. Kota Bandung 20. Kota Cirebon 21. Kota Bekasi 22. Kota Depok 23. Kota Cimahi

226.830.346 53.645.187 65.780.144 137.532.496 62.952.613 86.270.415 49.774.161 35.729.686 92.300.035 50.043.010 71.954.644 51.147.530 51.753.385 51.781.131 110.660.632 172.659.681 92.935.697 43.564.079 245.367.734 56.405.520 145.730.557 67.218.269 50.243.323 265.371.124 67.594.424 69.388.785 352.407.266 79.096.666 93.330.462 77.319.511 43.507.886 100.692.757 46.020.646 69.493.500 47.704.563 30.055.414 50.324.496 121.414.897 196.320.104 79.819.169 49.464.332 287.249.534 57.002.328 171.045.088 86.345.667 55.813.859 311.981.538 87.402.425 77.905.506 144.138.083 83.306.425 109.800.295 70.483.864 42.825.180 101.512.670 45.670.008 87.633.522 56.770.811 28.520.934 59.429.025 131.785.039 249.063.807 97.767.320 65.263.021 314.627.155 67.683.578 189.492.859 112.763.186 64.964.961

Sumber : BPS Jawa Barat, 2007-2009

(34)

empiris menunjukkan bahwa kabupaten/kota di Jawa Barat yang merupakan pusat konsentrasi industri mempunyai PAD yang lebih besar jika dibandingkan dengan daerah lain (Tabel 1). Daerah konsentrasi industri manufaktur mempunyai PAD yang besar, sehingga setiap daerah berusaha untuk menumbuhkan industri sesuai dengan potensi lokal yang ada.

Pada pembangunan sektor industri manufaktur, kebijakan yang berorientasi spasial dan regional merupakan salah satu faktor kunci yang dapat mendukung pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan (Kuncoro, 2002). Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian pada perspektif dan pendekatan kluster atau pendekatan konsentrasi spasial dalam kebijakan nasional dan regional sektor industri manufaktur untuk mendorong spesialisasi produk dan mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif.

Strategi pembangunan industri berbasis kluster diwujudkan dengan penciptaan nilai tambah, perluasan kesempatan kerja, dan perolehan devisa yang optimal dengan menempatkan keunggulan komparatif sumber daya alam leading sector, yang didukung oleh industri-industri penunjangnya, serta terus menerus mengembangkan keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan global. Berhubung sumber daya yang ada jumlahnya terbatas, maka perlu ditentukan industri-industri penghasil produk unggulan nasional maupun penghasil produk andalan daerah. Suksesnya strategi tersebut memerlukan pendekatan prioritas yang diharapkan menciptakan pola keterkaitan antar kegiatan baik di dalam sektor industri sendiri (keterkaitan horizontal) maupun antara sektor industri dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi terkait (keterkaitan vertikal).

(35)

manufaktur berbasis kluster (konsentrasi spasial). Berdasarkan uraian diatas maka dirasa penting untuk menganalisis konsentrasi spasial industri manufaktur dalam mengenali potensi daerah.

Pengamatan dibatasi pada wilayah Jawa Barat karena Jawa Barat memiliki peranan yang penting dalam sektor industri manufaktur di Indonesia. Dalam konteks nasional, sampai pada tahun 2008 Jawa Barat menyumbang 23,16% dari nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor industri manufaktur di Indonesia dan 25% tenaga kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur Indonesia berada di Jawa Barat. Sementara, kontribusi terbesar dalam pembangunan ekonomi di Jawa Barat secara makro didominasi oleh sektor industri pengolahan (Gambar 2). Bahkan sektor industri pengolahan, merupakan lapangan usaha terbesar kedua yang menyerap tenaga kerja setelah pertanian. Untuk itu, kajian kebijakan pembangunan dalam pengembangan sektor ini, sangatlah diperlukan, apalagi saat ini sektor industri pengolahan dalam masa recovery setelah terhempas oleh krisis ekonomi yang melanda perekonomian nasional.

[image:35.612.121.509.381.595.2]

Sumber: BPS, 2001 - 2008 (diolah)

Gambar 2 Kontribusi sektor pertanian, manufaktur dan sektor jasa di Jawa Barat tahun 2001-2008

Kondisi tahun 2008, industri besar di Jawa Barat sebanyak 3.309 yang menyerap tenaga kerja 1.826.749 orang, dengan jumlah investasi sebesar 3.016.397 juta rupiah. Perbandingan tersebut menunjukkan dengan total 1,65 persen unit usaha, industri besar dapat menyerap 45,83 persen tenaga kerja dan

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50% 55% 60%

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

(36)

23,1 persen investasi pada sektor industri. Upah tenaga kerja di sektor industri selama tahun 2007 mencapai 19.171.816 juta rupiah mengalami penurunan sebesar 906.638 juta rupiah atau sebesar 4,5 % dibandingkan dengan tahun 2006. Nilai output perusahaan industri besar sedang pada tahun 2007 mencapai 337.392.587 juta rupiah mengalami kenaikan sebesar 40.998.902 juta atau 13,83 %. Sedangkan untuk nilai inputnya sebesar 204.551.180 mengalami kenaikan sebesar 10,66 % atau sebesar 19.697.818 juta. Dengan demikian nilai tambah yang dihasilkan oleh sector ini mencapai kenaikan sebesar 21.301.083 juta rupiah atau sebesar 19,1 % ( BPS, 2009).

Jawa Barat merupakan pusat industri perangkat tehnologi dan industri tekstil serta lokasi terkonsentrasinya industri kreatif. Hal tersebut didukung oleh letak geografis Jawa Barat yang mengelilingi Jakarta sebagai pusat ekonomi Indonesia. Industri manufaktur Jawa Barat terkonsentrasi di Koridor Bekasi Bogor (Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor) sebagai daerah penyokong bagi ibukota Jakarta serta daerah konsentrasi Bandung Raya di mana koridor Bekasi Bogor memberikan kontribusi lebih dari 50% dari output sektor industri manufaktur Jawa Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB kabupaten/kota yang bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi terus mengalami peningkatan dan merata di seluruh wilayah Jawa Barat, oleh karena itu perlu kita menelaah lebih lanjut bagaimanakah tren perkembangan disparitas ekonomi di wilayah Jawa Barat

(37)

penciptaan konsentrasi kegiatan ekonomi. Seiring dengan program pemerintah dalam rangka peningkatan daya saing industri manufaktur, maka perlu adanya penciptaan konsentrasi kegiatan ekonomi di bidang industri manufaktur. Aglomerasi industri manufaktur yang terjadi di suatu daerah diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hubungan positif antara aglomerasi dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan pertumbuhan telah banyak dibuktikan (Martin dan Octavianno, 2001).

Aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan. Semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya. Daerah-daerah yang banyak industri manufaktur tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri manufaktur (Tabel 2). Alasannya adalah daerah-daerah yang mempunyai industri manufaktur lebih banyak mempunyai akumulasi modal.

Tabel 2 Laju pertumbuhan ekonomi daerah konsentrasi industri di Jawa Barat tahun 2005-2008 (%)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008

Kab. Bogor 5.85 5.95 6.09 4.14

Kota Bogor 6.12 6.03 6.05 5.98

Kab. Karawang 15.67 7.52 6.36 10.84

Kab. Bekasi 6.01 5.99 6.14 6.07

Kota Bekasi 5.65 6.07 6.44 5.94

Kota Bandung 7.53 7.83 8.24 8.17

Kab. Bandung 5.32 5.85 5.92 4.34

Jawa Barat 5.31 5.46 5.80 5.80

Sumber : BPS 2005-2008

Strategi untuk mencipakan keunggulan kompetitif dapat dicapai dengan kebijakan pembangunan industri manufaktur berbasis cluster (konsentrasi spasial). Jawa Barat sebagai salah satu pusat industri nasional mempunyai beberapa daerah konsentrasi industri, sehingga analisis konsentrasi spasial industri manufaktur dengan studi kasus Jawa Barat sangat diperlukan bagi penyusunan kebijakan.

(38)

hal ini karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai leading sector yang mendorong sektor lainnya. Daya saing industri manufaktur lebih mudah ditingkatkan bila industri dapat mengelompok sehingga tercapai suatu penghematan. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur perlu dilakukan penciptaan aglomerasi industri manufaktur. Penciptaan aglomerasi industri manufaktur memerlukan strategi yang tepat agar aglomerasi tersebut dapat bertahan dan memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian daerah tersebut. Melalui penelitian ini juga akan dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur.

Berdasarkan paparan diatas maka dirumuskan beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah kondisi ketimpangan ekonomi di Jawa Barat?

2. Pada subsektor apa industri manufaktur di Jawa Barat terspesialisasi, dan dimanakah terkonsentrasi secara spasial serta bagaimana dinamikanya? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur di

Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah sesuai dengan perumusan masalahnya, yaitu:

1. Menganalisis dinamika ketimpangan wilayah di Jawa Barat.

2. Menganalisis dinamika konsentrasi spasial industri manufaktur di Jawa Barat. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri

manufaktur di Jawa Barat.

1.4 Kegunaan Penelitian

(39)

informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(40)
(41)

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Pengertian Konsentrasi Spasial

Konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses yang selektif dan hanya terjadi pada kasus tertentu bila dipandang dari segi geografis. Sebagai contoh: di Amerika Serikat, mayoritas industri manufaktur telah sekian lama terkonsentrasi pada suatu lokasi yang disebut sabuk manufaktur. Konsentrasi spasial yang serupa juga ditemukan di kawasan industri Axial belt di Inggris (Kuncoro, 2007).

Konsentrasi spasial telah menjadi kajian yang menarik yang populer. Pada kebanyakan negara berkembang, distribusi penduduk dan konsentrasi industri terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Bangkok, New Delhi, Sao Paulo, dan Jakarta, yang menandai suatu sistem spasial berdasarkan akumulasi modal dan tenaga kerja dalam aglomerasi perkotaan (Kuncoro, 2002). Fenomena serupa juga ditemukan di Jawa Barat, di mana terjadi konsentrasi spasial industri manufaktur di Bandung Raya dan daerah sekitar Jakarta.

Konsentrasi spasial menunjukkan share suatu wilayah dan distribusi lokasi dari suatu industri. Apabila suatu distribusi spasial suatu industri tidak merata, dan ada wilayah yang mendominasi berlokasinya industri, maka menunjukkan bahwa industri terkonsentrasi secara spasial di wilayah tersebut. Konsentrasi spasial menunjukkan bahwa industri tidak berlokasi secara merata pada seluruh wilayah, akan tetapi mengelompok secara berdekatan pada bagian tertentu pada wilayah tersebut.

(42)

perusahaan cenderung berlokasi pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar untuk meminimalisasi biaya transportasi, akan tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya aktivitas ekonomi, seperti kawasan industri maupun perkotaan (Krugman, 1991).

2.1.2 Aglomerasi

Terdapat beberapa teori yang berusaha mengupas tentang konsep aglomerasi. Istilah aglomerasi muncul pada dasarnya berawal dari ide Marshall tentang penghematan aglomerasi (agglomeration economies) atau dalam istilah Marshall disebut sebagai industri yang terlokalisir (localized industries). Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut.

(43)

jasa komersial, aktivitas yang berorientasi pasar dan konsentrasi spasial dari organisasi yang konsisten dalam pencarian dan pengembangan produk baru.

Selanjutnya menurut McCann (2006) jenis sumber aglomerasi ekonomi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Information Spillovers.

Jika banyak perusahaan pada industri yang sejenis beraglomerasi pada lokasi yang sama maka pekerja pada perusahaan tertentu secara relatif mudah berhubungan dengan pekerja-pekerja dari perusahaan lokal lain. Dengan demikian, pertukaran informasi baik antar pekerja maupun antar perusahaan akan berlangsung setiap saat.

2. Non-traded local inputs.

Pada situasi dimana perusahaan-perusahaan dalam industri yang sejenis mengelompok di satu tempat maka ada beberapa input tertentu yang menjadi lebih efisien jika digunakan secara bersama-sama oleh pekerja di perusahaan-perusahaan tersebut dibandingkan jika input tersebut dibeli secara individu oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

3. Local skilled-labour pool.

Ketersediaan tenaga kerja terampil di wilayah tersebut akan menyebabkan turunnya biaya tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan di lokasi tersebut. Keuntungan atau penghematan yang diperoleh dari perusahaan-perusahan yang berkumpul pada lokasi yang terkonsentrasi dapat dikategorikan sebagai berikut (Capello, 2007):

1. Keuntungan internal untuk perusahaan, juga disebut economies of scale. Keuntungan ini disebabkan adanya proses produksi dalam skala besar sehingga berdampak menurunkan biaya per unit output (menurunkan average cost). Untuk mendapatkan keuntungan dari produksi skala besar, perusahaan berkonsentrasi pada semua pabrik di suatu lokasi yang sama. Keuntungan dalam kategori ini berasal bukan dari kedekatannya dengan perusahaan lain, tetapi murni dari konsentrasi aktivitas di lokasi tersebut. 2. Keuntungan eksternal untuk perusahaan tetapi internal untuk sektor, atau

(44)

Keuntungan ini diperoleh karena di daerah padat penduduk perusahaan-perusahaan beroperasi pada sektor yang sama. Sedangkan skala ekonomis bergantung pada ukuran dari perusahaan atau pabrik-pabrik tersebut, localization economies ditentukan oleh ukuran dari sektor di wilayah tersebut, dengan berbagai pilihan terhadap tenaga kerja yang terampil dan specific managerial serta keahlian teknis yang tersedia.

3. Penghematan eksternal untuk perusahaan dan eksternal untuk sektor, atau disebut juga urbanization economies.

Penghematan ini disebabkan oleh kepadatan yang tinggi dan berbagai kegiatan produktif dan pemukiman di suatu daerah, kondisi yang melambangkan daerah perkotaan. Keuntungan dalam kategori ini bertambah lagi dengan adanya modal tetap sosial dalam skala besar (infrastruktur transportasi perkotaan, sistem telekomunikasi canggih) dan luas, intermediate diversifikasi dan pasar barang. Keuntungan ini meningkat seiring peningkatan ukuran fisik kota.

Aglomerasi merupakan proses yang lebih kompleks jika dibandingkan kluster industri. Tiga jenis ukuran yang membedakannya yaitu: skala (size), spesialisasi (specialisation) dan keanekaragaman (diversity) (Kuncoro, 2002). Skala dan keanekaragaman memainkan peran penting dalam pembentukan dan pertumbuhan aglomerasi. Sedangkan berbagai literatur mengenai kluster industri menegaskan bahwa ciri utama dari suatu kluster adalah spesialisasi sektoral dalam daerah yang berdekatan.

(45)

perusahaan-perusahaan lndustri Besar Sedang (IBS) cenderung untuk mengelompok di dalam dan di sekitar wilayah kota metropolitan (Kuncoro, 2002).

Ukuran yang kedua yaitu spesialisasi. Variabel yang dapat digunakan sebagai ukuran spesialisasi industri manufaktur yaitu indeks spesialisasi. Indeks spesialisasi ini merupakan ukuran untuk menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi pada suatu wilayah (propinsi) dibanding industri yang sama di Indonesia. Indeks ini berdasarkan koefisien lokalisasi Hoover dan populer disebut location quotient (Hayter dalam Kuncoro, 2002). Peningkatan indeks untuk suatu daerah industri menunjukkan peningkatan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Sebaliknya penurunan indeks untuk suatu daerah industri menunjukkan penurunan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Diyakini bahwa spesialisasi yang tinggi pada suatu industri di daerah tertentu dapat mempercepat pertumbuhan industri itu dalam wilayah tersebut. Hal ini berpangkal dari kenyataan bahwa pengetahuan yang diperoleh sebuah perusahaan dapat menguntungkan perusahaan lainnya, khususnya perusahaan yang masih dalam satu industri yang sarna. Sepanjang menyangkut perspektif regional, indeks spesialisasi dapat menyediakan:

1. Dasar pertimbangan awal dan bersifat sementara untuk mencari dan mendorong industri lebih lanjut.

2. Indikator apakah suatu daerah memenuhi kebutuhannya sendiri, mengimpor, atau mengekspor produk.

(46)

2.1.3 Spesialisasi Industri

Terdapat perbedaan makna antara spesialisasi dan konsentrasi. Spesialisasi dapat didefinisikan sebagai distribusi share industri dari suatu wilayah. Sedangkan konsentrasi dapat didefinisikan sebagai regional share yang menunjukkan distribusi lokasional dari suatu industri. Pada wilayah yang terspesialisasi, konsentrasi menunjukkan tingkatan aktivitas dan distribusi lokasional dari industri pada wilayah tersebut, dimana pada umumnya aktivitas ekonomi lebih terkonsentrasi wilayah core daripada periphery. Dengan adanya spesialisasi, share wilayah yang merupakan lokasi industri diluar industri utama relatif lebih rendah daripada share wilayah yang marupakan lokasi industri utama yang merupakan spesialisasi wilayah tersebut. Dengan adanya hal tersebut, kontribusi industri utama pada suatu wilayah yang terspesialisasi akan lebih besar daripada kontribusi industri tersebut pada wilayah yang lain. Hal tersebut akan menimbulkan distribusi spasial dari industri dimana industri tersebut cenderung terkonsentrasi pada wilayah tertentu (wilayah yang terspesialisasi pada industri tersebut). Dapat disimpulkan bahwa suatu industri akan cenderung terkonsentrasi pada wilayah yang terspesialisasi pada industri tersebut.

Terbentuknya kluster industri di suatu wilayah yang terjadi akibat proses aglomerasi menyebabkan wilayah tersebut menjadi terspesialisasi pada suatu industri. Spesialisasi industri menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi pada suatu wilayah dikuasai oleh beberapa industri tertentu. Suatu wilayah dapat diartikan sebagai wilayah yang terspesialisasi apabila dalam sebagian kecil industri pada wilayah tersebut memiliki pangsa yang besar terhadap keseluruhan industri. Struktur industri yang terspesialisasi pada industri tertentu menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki keunggulan berupa daya saing pada industri tersebut.

2.1.4 Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography)

(47)

menekankan pada adanya mekanisme kausalitas sirkular untuk menjelaskan konsentrasi spasial dari kegiatan ekonomi (Krugman, 1998). Dalam model tersebut kekuatan sentripetal berasal dari adanya variasi konsumsi atau beragamnya intermediate good pada sisi produksi. Kekuatan sentrifugal berasal dari tekanan yang dimiliki oleh konsentrasi geografis dari pasar input lokal yang menawarkan harga lebih tinggi dan menyebarnya permintaan. Jika biaya transportasi cukup rendah maka akan terjadi aglomerasi.

Krugman (1998) berasumsi bahwa jika ada barang berbeda sejumlah n dan komsumen menyenangi produk yang bervariasi, dapat dirumuskan dalam fungsi:

n

U = ∑ v (ci) …..(2.1)

i=1

Dari fungsi ini, Krugman menjelaskan bahwa perbedaan harga antar barang membuat konsumen lebih memilih untuk mengkonsumsi lebih dari satu jenis barang. Semakin banyak barang diproduksi di satu pabrik yang sama, biaya produksi yang harus dikeluarkan akan semakin rendah. Akibatnya, pabrik baru akan memasuki pasar dengan menambah variasi produknya. Dengan kata lain, biaya produksi dapat ditekan jika unit produksi mencapai jumlah tertentu. Meski demikian, biaya produksi juga dapat kembali meningkat jika jumlah barang produksi naik atau skala ekonomi tidak lagi tercapai.

Agar skala ekonomi meningkat, sebuah pabrik baru akan mencari negara lain yang mampu mendukung keberadaan unit produksi dalam jumlah yang besar. Dengan dukungan kemajuan teknologi, transportasi, dan informasi, pabrik tersebut akan memindahkan proses produksinya dengan mudah. Inilah yang akan mendorong migrasi tenaga kerja.

(48)

kedekatan lokasi dengan pasar akan meminimalisasi biaya transportasi ( home-market effect).

Dalam model eksternalitas teknologi, transfer pengetahuan antar perusahaan memberikan insentif bagi aglomerasi kegiatan ekonomi. Informasi diperlakukan sebagai barang publik dengan kata lain tidak ada persaingan dalam memperolehnya. Difusi informasi ini kemudian menghasilkan manfaat bagi masing-masing perusahaan. Dengan mengasumsikan bahwa masing-masing perusahaan menghasilkan informasi yang berbeda-beda, manfaat interaksi meningkat seiring dengan jumlah perusahaan. Karena interaksi ini informal, perluasan pertukaran informasi menurun dengan meningkatnya jarak. Hal ini memberikan insentif bagi pengusaha untuk berlokasi dekat dengan perusahaan lain sehingga menghasilkan aglomerasi.

Studi empiris tentang aglomerasi dan ekonomi aglomerasi telah banyak menarik perhatian peneliti. Pada umumnya berbagai studi mengkaitkan aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi dalam pengertian pertumbuhan nilai tambah industri, pertumbuhan kesempatan kerja, pertumbuhan produkstivitas tenaga kerja. Adanya berbagai konsep tentang ekonomi aglomerasi dan teori yang mendasari berdampak terhadap perbedaan ukuran aglomerasi dan ekonomi aglomerasi yang digunakan dengan asumsi yang berbeda-beda.

2.1.5 Teori Perdagangan Baru (New Trade Theory)

Teori perdagangan baru menawarkan perspektif yang berbeda dengan yang ditawarkan teori ekonomi geografi baru dan teori neo-klasik. Teori perdagangan baru percaya bahwa sifat dasar dan karakter transaksi internasional telah sangat berubah dewasa ini di mana aliran barang, jasa, dan aset yang menembus batas wilayah antarnegara tidak begitu dipahami oleh teori-teori perdagangan tradisional. Perbedaan utama teori perdagangan baru dengan teori perdagangan yang “lama” yaitu mengenai asumsi persaingan tidak sempurna, constans returns to scale, pendapatan konstan, dan barang yang homogen berubah menjadi persaingan sempurna, increasing returns to scale dan perbedaan produk.

(49)

negara, dan tenaga kerja pada dasarnya tidak mudah berpindah lintas negara. Mereka percaya bahwa penentu utama lokasi adalah derajat tingkat pendapatan yang meningkat dari suatu pabrik, tingkat substitusi antar produk yang berbeda, dan ukuran pasar domestik. Dengan berkurangnya hambatan-hambatan perdagangan secara substansial, diperkirakan bahwa hasil industri yang meningkat akan terkonsentrasi dalam pasar yang besar. Krugman dan Venables (1990) menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berlokasi di dalam pasar yang lebih besar ternyata lebih kuat apabila biaya perdagangan tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah.

Meskipun memiliki daya tarik, teori perdagangan baru juga memiliki beberapa kelemahan. Ottaviano dan Puga (1998) mengidentifikasi tiga kelemahan utama. Pertama, teori perdagangan baru sebagai mana teori tradisional, menjelaskan perbedaan struktur produksi melalui perbedaan karakteristik yang mendasari. Kedua, teori ini tidak menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan dalam sektor tertentu cenderung untuk berlokasi saling berdekatan, yang mendorong terjadinya spesialisasi regional. Ketiga, teori ini menunjukkan perkembangan industri secara bertahap dan bersama-sama di semua negara berkembang. Padahal dalam kenyataannya, industrialisasi sering kali berupa gelombang industrialisasi yang sangat cepat, di mana industri menyebar secara berturutan dari negara yang satu ke negara lain.

2.1.6 Infrastruktur

(50)

Infrastruktur merupakan komponen penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi. Peningkatan fasilitas infrastruktur dapat mendorong perkembangan teknologi sehingga dapat dicapai efisiensi dalam kegiatan produksi. Efisiensi akan menciptakan output dan kesempatan kerja lebih besar. Disisi lain, ketersediaan infrastruktur yang memadai dapat meningkatkan investasi daerah. Menurut Dornbusch et al (2004) investasi merupakan komponen penting permintaan agregat. Investasi juga meningkatkan modal dan meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Pada akhirnya pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis infrasturktur yang penyediaannya diatur pemerintah, yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas penyediaannya perlu diatur oleh pemerintah.

Dengan melihat jenis-jenis infrastruktur yang banyak berhubungan dengan masyarakat, peranan pemerintah sangat penting dalam penyediaannya. Walaupun pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar.

2.1.7 Ketimpangan Wilayah dan Pertumbuhan Ekonomi

(51)

Sjafrizal (2008) menyatakan bahwa disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga meempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah yaitu:

1. Penyebaran pembangunan prasarana perhubungan 2. Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan 3. Pengembangan pusat pertumbuhan

4. Pelaksanaan otonomi daerah

Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis klasik. Dalam hipotesis neo-klasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Kurva ketimpangan pembangunan berbentuk U terbalik, seperti pada Gambar 3.

(52)

tingkat ketimpangan

serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Pada negara yang sudah maju di mana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Sumber : Sjafrizal (2008)

Gambar 3 Hipotesa Neo-klasik

Penelitian tentang hipotesis neo-klasik dilakukan oleh Williamson (1965) melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hipotesis neo-klasik ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural di seluruh negara.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya ketimpangan adalah indeks Williamson. Secara ilmu statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan mengukur suatu perbedaan. Semakin kecil indeks Williamson menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil pula atau dapat dikatakan semakin merata. Angka indeks Wiliamson yang besar menunjukkan bahwa tingkat

kurva ketimpangan regional

(53)

ketimpangannya semakin melebar. Formulasi indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan di Jawa Barat adalah sebagai berikut:

(2.2)

dimana :

IW = Indeks Williamson

yi = PDRB per kapita di kabupaten/kota i = PDRB per kapita rata-rata di Jawa Barat fi = Jumlah penduduk di kabupaten/kota i n = Jumlah penduduk di Jawa Barat

2.2 Penelitian terdahulu

2.2.1 Pengukuran Konsentrasi Spasial

Konsentrasi spasial menurut penelitian terdahulu dan menurut teori-teori regional dapat diukur dengan menggunakan indikator- indikator antara lain : 1. Persebaran tenaga kerja industri manufaktur, hal ini dikemukakan oleh Arifin

dan Kuncoro (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Konsentrasi Spasial dan Dinamika Pertumbuhan Industri Manufaktur di Jawa Timur.

2. Location Quotient (LQ), dikemukakan oleh Kuncoro (2002) dimana LQ merupakan indikator dalam mengukur besarnya angka spesialisasi sektor suatu daerah yang apabila besarnya lebih besar dari satu (LQ>1 ) maka sektor tertentu pada daerah tersebut memiliki potensi ekspor ke luar daerah. Kuncoro menggunakan indeks ini untuk menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi pada suatu kabupaten/kota dibanding industri yang sama di seluruh Indonesia. Pengukuran LQ ini dengan menggunakan data tenaga kerja industri manufaktur.

3. Konsentrasi Spasial KSPEC dikemukakan oleh Landiyanto (2005) yang mengambil wilayah observasi di Jawa Timur. Indeks tersebut merupakan indeks konsentrasi spasial industri di Jawa Timur. Pengukuran konsentrasi spasial dilakukan dengan menggunakan variabel share dari sektor manufaktur terhadap PDRB Jawa Timur

y

n

f

y

y

I

i

i i

W

×

=

(54)

2.2.2 Pengaruh Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Krugman dan Venables (1991) melakukan studi pada 106 industri di berbagai daerah di Amerika Serikat dengan menggunakan indikator Gini Lokasional. Metode yang dilakukan yaitu dengan menghitung pangsa total tenaga kerja manufaktur USA dan pangsa tenaga kerja nasional dalam suatu industri di tiap daerah, menyusun peringkat unit lokasi menurut rasio kedua angka dan yang terakhir dengan menyusun peringkat dari yang tertinggi hingga terendah dan mempertahankan nilai total kumulatif, baik jumlah tenaga kerja maupun jumlah pangsa tenaga kerja dalam industri. Hasil studi menunjukkan bahwa perekonomian Amerika Serikat menjadi kurang begitu terspesialisasi secara regional sejak tahun 1947-1985 dan industri tradisional yang berteknologi rendah cenderung merupakan industri yang paling kuat lokalisasinya.

Sjoholm (1999) melakukan studi tentang peran karakteristik regional dan investasi langsung terhadap pertumbuhan produktivitas industri manufaktur di Indonesia. Studi tersebut menyimpulkan bahwa karateristik pada tingkat kabupaten tampaknya lebih mampu menjelaskan pertumbuhan produktivitas daripada tingkat propinsi. Pada tingkat kabupaten struktur industri yang terdiversifikasi lebih dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas secara berarti. Studi ini tidak menemukan perusahaan atau industri di tingkat kabupaten yang terspesialisasi atau yang kompetisinya tinggi mewujudkan pertumbuhan produktivitas yang tinggi.

(55)

2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri

Kim (1995) menguji sejauh mana lokalisasi industri terkonsentrasi, dapat dijelaskan melalui regresi lokalisasi yang diukur dengan skala ekonomi dan faktor-faktor produksi. Ukuran yang digunakan untuk mengukur pentingnya faktor-faktor produksi yaitu intensitas bahan baku yang merupakan biaya bahan baku dibagi dengan nilai tambah pada industri manufaktur. Sedangkan ukuran skala (ukuran pabrik) dihitung dengan pendekatan rata-rata pekerja produksi, sebagaimana dalam model Heckscher-Ohlin. Hasil analisis menunjukkan dukungan terhadap model empiris dimana spesialisasi regional dapat dijelaskan oleh skala ekonomi (plant size), intensitas bahan baku yang digunakan, dummy industri, dan dummy waktu.

Kuncoro dan Wahyuni (2009) dalam penelitiannya yang bertujuan menganalisis dampak dari investasi asing terhadap terjadinya konsentrasi industri dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi terjadinya aglomerasi industri manufaktur. Metodologi yang digunakan yaitu regresi data panel dengan menggunakan unit data kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 1991-2002. Variabel aglomerasi yang merupakan variabel tidak bebas dalam penelitian ini didekati dengan indeks spesialisasi regional. Hasil yang diperoleh dari penelitiannya yaitu variabel-variabel spesifik industri (skala ekonomi, kandungan import, biaya tenaga kerja, orientasi ekspor) memengaruhi spesialisasi regional secara signifikan. Demikian juga variabel pendapatan regional per kapita sebagai variabel spesifik regional mampu menjelaskan spesialisasi regional dengan baik. Variabel kepemilikan modal asing dan indeks persaingan dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara statistik.

(56)

Indeks konsentrasi spasial industri

manufaktur

Strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan disparitas regional terkait dengan penciptaan aglomerasi industri

Permasalahan:

konsentrasi industri manufaktur meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sisi lain menimbulkan masalah disparitas regional

Indeks Ketimpangan

Ekonomi

Faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi Gambaran Disparitas

Jawa Barat

Jawa Barat : Daerah investasi terbaik di Indonesia

Penyumbang 23,16% nilai tambah industri manufaktur Penyerap 40% tenaga kerja industri manufaktur Penyangga Ibukota

Karakteristik Spesifik Regional Karakteristik Spesifik

Industri

1. upah minimum kabupaten/kota 2. pendapatan daerah 3. ketersediaan listrik 4. infrastruktur jalan 1. skala ekonomi

2. keanekaragaman industri 3. orientasi ekspor & impor 4. investasi asing

5. indeks persaingan

Peningkatan pendapatan per kapita suatu daerah akan mendorong terkonsentrasinya industri manufaktur pada daerah tersebut khususnya industri yang berorientasi pada pasar.

2.2.4 Kerangka Pemikiran

Industri manufaktur sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Jawa Barat, karena industri manufaktur merupakan salah satu penarik nilai tambah dan pengguna tenaga kerja. Hal tersebut akan memunculkan aktifitas ekonomi lainnya, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan ekonomi. Kondisi tersebut mengakibatkan perlunya perhatian yang serius terhadap pembangunan industri manufaktur.

(57)

Aglomerasi industri adalah salah satu indikator berkembangnya peranan industri manufaktur di suatu wilayah. Aglomerasi industri manufaktur akan memberikan banyak manfaat bagi industri terutama adanya penghematan aglomerasi yang akan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya meningkatkan daya saing dari industri manufaktur tersebut. Peningkatan daya saing industri manufaktur akan meningkatkan output dan nilai tambah sehingga kesejahteraan di wilayah tersebut meningkat. Strategi untuk meningkatkan aglomerasi industri manufaktur secara efektif adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tumbuhnya aglomerasi industri manufaktur, sehingga bisa dijadikan faktor penting dalam menentukan kebijakan. Secara keseluruhan kerangka pemikiran penelitian ini seperti pada Gambar 4.

2.3 Hipotesis Penelitian.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Pemulihan krisis ekonomi menurunkan tren kesenjangan ekonomi di Jawa Barat.

2. Pemulihan krisis ekonomi meningkatkan tren konsentrasi spasial industri manufaktur di Jawa Barat.

3. Pembangunan infrastruktur akan berdampak positif pada aglomerasi industri. 4. Investasi asing akan berdampak positif pada aglomerasi industri.

5. Upah minimum kabupaten/kota akan berdampak negatif pada aglomerasi industri.

(58)

Gambar

Tabel 1     Realisasi pendapatan asli daerah menurut kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2006-2008 (ribuan rupiah)
Gambar 2 Kontribusi sektor pertanian, manufaktur dan sektor jasa di Jawa
Tabel 3 Luas area jumlah kecamatan, desa dan kelurahan di Jawa Barat menurut kabupaten tahun 2008
Tabel  4 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data dan pengujian yang dilakukan mengenai pengaruh kejelasan sasaran anggaran, pengendalian akuntansi, dan sistem pelaporan terhadap akuntabilitas

[r]

Dari hasil yang telah diperoleh dalam penelitian bimbingan kelompok berbasis lalaran dapat mengatasi kecemasan terhadap hafalan kelas sabrowi C pondok pesantren roudlotut

Faktor-faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya sistem agribisnis kelapa di Indragiri Hilir, antara lain adalah: (1) sebagian besar teknologi belum dapat digunakan petani, (2)

Kalian sudah mengetahui nama dan lokasi tempat tersebut. Bisa kalian lihat pada gambar, bahwa sumber daya alam di tempat tersebut sangat beragam, seperti gunung bromo selain sebagai

Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai. arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itu

Apakah ada pengaruh model pembelajaran reciprocal teaching (terbalik) terhadap motivasi dan hasil belajar matematika siswa pada materi turunan fungsi atau

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kriteria utama pemilihan petani, evaluasi kinerja petani, dan efisiensi kinerja penyuling minyak akar wangi