1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan Penelitian dan Latar Belakangnya
Berbagai kajian tentang sejarah Indonesia menunjukan bahwa agama (Hindu, Islam, Kristen Katolik dan Protestan) datang dan berkembang secara
bergelombang ke Indonesia, menggantikan agama lokal/suku1 dan menanamkan
ajaran-ajaran agama “baru” yang dibawakan oleh bangsa asing secara silih berganti. Sejarah menunjukkan bahwa agama memberikan perubah lebih cepat,
sebelum unsur lain menglami perubahan.2 Sehingga kajian tentang agama selalu
akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Fenomena perubahan sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil kebudayaan, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama. Kajian tentang agama sebagai “motor” pengerak perubahan sosial merupakan tema yang banyak kita jumpai. Akan tetapi khususnya di Halmahera
1Penganut agama suku menghayati adanya yang ilahi melalui pengalaman
sehari-hari. Mereka memahami bahwa ada kuasa yang berada di luar kekuasaan mereka. Kuasa itu melampaui kuasa dan kemampuan manusia. J. W. M. Bakker, S. J, Agama Asli Indonesia (Jogyakarta: Pro Manuscripto, 1969), hlm. 70-71.
2 Dalam kenyataannya sistem mata-pencaharian hidup dan sistem
teknologi dan peralatan yang dikatakan oleh Koentjaraningrat sebagai unsur yang paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan sejak pra-Hindu sampai sekarang. Abdurrahman Wahid, “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang”, dalam Muh. Shaleh Isre ed., Prisma Pekikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 71.
2
bagian utara (Tobelo) terkait dengan kajian agama hanya terfokus pada kajian teologi semata. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji tentang proses perkenalan atau perjumpaan agama Kristen di Tobelo, atau dengan judul penelitian: “Sejarah Sosial Kristenisasi di Tobelo 1866-1942” di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.
Sejak kedatangan para penginjil Utrechtsche Zendings Vereeniging (selanjutnya UZV), pada 1866 untuk menyiarkan agama Kristen. Para penginjil juga turut memperkenalkan gaya hidup orang Belanda setelah orang Tobelo konversi ke agama Kristen. Kemajuan terlihat setelah diperkenalkan pendidikan, pelayanan medis, pengenalan cara berpakaian, sikap/ tingkah laku, penataan kampung, jalan serta kebersihan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berakibat pula timbulnya kesadaran baru tentang identitas mereka pada masa kolonial. Perubahan-perubahan dalam berbagai bidang kehidupan yang diperkenalkan oleh pihak penginjil UZV yang berasal dari Belanda yang mengarah pada kemajuan (modernitas).3
Inisiatif para penginjil UZV untuk mendirikan sekolah-sekolah Kristen merupakan awal dari pembaharuan modernisasi di wilayah Tobelo. Perubahan yang mengarah pada kemajuan yang berasal dari Belanda, mulai diperkenalkan kepada masyarakat Tobelo dengan tujuan agar hubungan baik masyarakat Tobelo
3Modernitas yaitu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga
masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutas zaman. Drs. Suharso dan Dra. Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Semarang; Widya Karya, 2008), hlm. 325.
3
dengan pihak Belanda dapat terwujud, terutama untuk penduduk Alfur (Tobelo pedalaman) yang masih menganut agama lokal/ suku.
Hal ini tentu saja dengan melihat kehidupan sosial-politik yang di alami
oleh masyarakat Tobelo. Sejak abad ke-17 Pulau Halmahera4 telah dimasukan
dalam kekuasaan Kesultanan Ternate (bagian Utara dan Selatan) dan Tidore (bagian Tengah). Sistem pemerintahan yang dibangun kedua kerajaan itu berkaitan dengan kepentingan tenagan kerja, pajak serta bahan makanan yang
disalurkan pada Sultan Ternate dan Tidore, melalui sitem upeti.5 Dengan
demikian maka lapisan masyarakat dilihat dari segi struktur politik ada sultan dan rakyat. Pada masayarakat Tobelo, yang belum memeluk agama Islam, hidup menyebar di Pedalaman Halmahera atau biasa disebut orang Alfur yang tidak
memiliki pemimpin kampung yaitu sangaji6 karena tidak diakui oleh pihak
Kesultanan Ternate.7
Sumber-sumber Eropa, dan Kesultanan Ternate, membedakan penduduk pribumi menjadi kelompok sosial, yaitu penduduk Muslim dan Alfur.
4 Halmahera merupakan induk dari pulau-pulau kecil yang berada di
Maluku Utara. Arti kata Halmahera adalah “penyokong pulau” atau “dasar pulau itu muncul”. Sebenarnya kata ini berasal dari Hale-ma-here. Namun hale adalah bahasa Tidore yang sama dengan kata Ternate, kaha meskipun tak ada yang pernah mengatakan kaha ma-hera. Bahasa Tidore menyebutnya Haleyora, yora adalah “Perahu Terbalik” yang dalam bahasa Ternate Hra. Orang pribumi mengatakan Halmahera sama dengan “tanah besar”. F. S. A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate. (Leiden: E. J. Brill, 1890), hlm. 53.
5 R. Z. Leirissa, “Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi Tentang
Sejarah Masyarakat Maluku Utara”. (Disertasi: Universitas Indonesia, 1990), hlm. 6.
6 Pejabat Kesultanan Ternate setingkat gubernur. Selanjutnya lihat juga
catatan kaki. hlm 4-5.
4
Pengolongan ini didasarkan atas perbedaan agama Islam, sedangkan penduduk
yang tergolong sebagai Alfur adalah mereka yang manganut agama lokal.8 Jika
ditinjau dari segi keagamaan, maka terdapat golongan masyarakat penganut agam
Islam, Kristen dan kepercayaan lokal.9
Pada dasarnya sistem sosial masyarakat pedalaman yang biasa dinamakan
Halefuru atau Alfur itu jauh berbeda10 dengan masyarakat pesisir11 yang terkait
8 Alfur Istilah yang disematkan bagi penduduk yang beragama pribumi.
Sebagai Alifur-u dan Harifuru berasal dari bahasa Portugis, dimana makna yang dikenakan padanya berasal dari kata Al furu. Al berfungsi sebagai kata sandang, yang dalam bahasa Indonesia bermakna sama dengan sang- atau si-, sedangkan furu berarti bodoh, tolol atau biadab. Irza Arnyta Djafaar, Jejak-Jejak Portugis di Maluku Utara. (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm. 42; Bangsa Portugis yang memberi istilah Alfur pertama kali, memiliki pemahaman bahwa beragama berarti memeluk agama Kristen atau Islam. Meskipun demikian sesungguhnya istilah alfur itu sendiri diduga berasal dari istilah asli Maluku. Jacobs menyebutkan bahwa pada abad ke-16 ada suatu penggolongan penduduk yang disebut Alfur. Alfur adalah padanan bagi petani berpindah. Nada negatif mengenainya dikarenkan kesultanan ingin memisahkan atas status sosialnya dari penduduk mayoritas. Julukan alifuru yang pada kurun periode penulisan ini sama dengan istilah Alfur, harifuru ataupun harafora. Tentu saja penyebutan Alifuru ini memiliki makna sosial yang ditunjukan pada petani ladang berpindah pada masa tersebut dan masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Jacobs, S. J., Hubert Th. Th. M. A Treatise on the Moluccas (c. 1544), Probably the preliminary version of the Antonio Galvao’s lost Historia Das Molucas. Edited, annotated, and translated into English from the Portuguese manuscript in the Archivo General de Indias, Seville by Hubert Th. Th. M. Jacobs, S. J. (Rome & St. Louis. Jesuit Historical Institute & St. Louis University, 1971), hm. 103.
9Uka Tjandrasasmita, “Struktur Masyarakat Kota Pelabuhan Ternate Abad
XIV-XVII” dalam G.A. Ohorella, Ternate Sebagai Bandar di Jalur Sutra; Kumpulan Makalah Diskusi. (Jakarta: Depdikbud, 1997), hlm. 53.
10 Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the
Early Modern Period. (Honolulu: University of Hawaii, Press, 1973), hlm. 68.
11Ketika masyarakat Alfur (Tobelo-pedalaman) yang telah tingal di pesisir,
kepemimpinan tidak lagi bersandar pada tetua keluarga atau tetua adat dalam satu Hoana. Berbagai persoalan semuanya diserahkan pada bobato dunia, atau disebut sangaji untuk mengabil keputusan setelah bermusawarah setiap permasalahan dengan pihak Kesultanan Ternate. Koloniaal Verslag (KV), 1882. hlm. 20, 23.
5
dengan Kesultanan Ternate melalui para bobato dunia.12 Pada abad ke-19 telah
terdapat penganut agama Islam di pesisir pantai, Pada abad ke-20 agama Kristen pun mulai dianut sebagian besar dari mereka. Sultan Ternate pengaruhnya tidak begitu terasa terhadap orang Tobelo-pedalaman, Para sultan tidak terlalu mengontrol kepentingan politik di pedalaman. Di daerah pedalaman atau suatu distrik terdapat suatu daerah yang berada di bawah kontrol dari seorang pemimpin
utusan Sultan Ternate.13 Mereka biasa disebut dengan sangaji yang oleh pihak
Belanda sebagai kepala distrik, dan kepentingan hanya difokuskan pada pungutan pajak semata.
Wilayah Tobelo dipilih sebagai wilayah penelitian ini karena posisinya yang unik. Secara historis wilayah ini di bawah kekuasaan Pemerintahan Kesultanan Ternate yang memiliki tradisi Islam. Tetapi saat ini fakta menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk wilayah tersebut menganut agama
Kristen Protestan. Jika demikian bahwa Tobelo merupakan bagian dari taklukan
Kesultanan Ternate yang berkultur Islam sejak abad ke-17, maka fakta ini sangat mengejutkan, Bagaimanakah proses perubahan komposisi ini terjadi di dalam ruang Kesultanan Ternate.
12Kerajaan Ternate dalam menjalankan pemerintahan Sultan juga dibantu
oleh beberapa “Dewan Mentri” antara lain Bobato Dunia; di lingkungan Halmahera bagian utara (Sabua Lamo) terdiri dari: Kepala lingkungan (sangaji), Imam/ Guru/ Pendeta, Kimalaha (tokoh tetua adat) dan Fanyira (unsur pemuda). Sementara Bobato Akhirat: Kadih/ Imam Jiko, Imam Jawa, Imam Sangaji dan Imam Moti berfungsi sebagai Imam Masjid Kesultanan Ternate. Abdul Hamid Hasan. Aroma Sejarah dan Budaya Ternate. (Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2001), hlm. 43.
13E.K.M. Masinambow, Halmahera dan Raja Ampat Konsep dan Strategi
6
Bahkan Gereja Masehi Injil Halmahera (GMIH)14 yang berpusat di
Tobelo, merupakan salah satu sinode terbesar dan terkuat di Indonesia Timur, terpisah dari sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) yang berpusat di Ambon. Basis utama mereka di Desa Wari, ± 4 km di pinggir utara Kota Tobelo ke arah Galela. Sinode GMIH mengukuhkan kekuatan agresi mereka melalui gedung-gedung megah berarsitektur modern lengkap dengan gereja besar, kantor pusat Sinode, Sekolah Tinggi Teologi (STT), dan Pusat Latihan untuk Pengkajian dan
Pengembangan Pedesaan (PPPL), perumahan karyawan gereja dan sebagainya.15
Di Desa Wosia ± 3 km di tepi selatan Kota Tobelo ke arah Kao, terbentang luas kawasan perkebunan kelapa dengan peternakan sapi, dengan nama Wosia Kopra Onderneming (WKO), yang merupakan salah satu basis sumber dana GMIH. Di Halmahera Utara, sampai ke pelosok-pelosok sekalipun, hampir tidak ada desa atau kampung yang tidak memiliki gereja atau sekolah (TK, SD, SMP dan SMA) milik GMIH, bahkan gereja merupakan salah satu bangunan terbesar
dan megah, sekaligus menjadi landmark desa yang bersangkutan.16
14Gereja Masehi Injil Halmahera (selanjutnya disingkat menjadi: GMIH),
berdiri sebagai buah kerja kelompok misi Utrecht Zendings Vereenigeng (selanjutnya UZV) dari Belanda, seperti Hendrijk van Dijken yang berkerja di Halmahera sejak abad IX. Persekutuan orang terpercaya ini kemudian mengorganisasi diri menjadi GMIH pada 6 Juni 1949 dalam Sidang Proto Sinode yang bertempat di Tobelo, dengan susunan Badan Pengurus Sinode (BPS), yang diketuai oleh: A. Ploeger, Potret Gereja Masehi Injili di Halmahera. (Tobelo-07 Juni 2010), hlm. 1.
15P. M. Laksono, “Pengantar: Memotret Wajah Kita Sendiri”, dalam Roem
Topatimasang. Orang-Orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku. (Yogyakarta: INSIST Press 2004), hlm. 54.
7
Semasa Pemerintahan Belanda tidak dapat diketahui dengan pasti jumlah penganut agama Kristen di Halmahera khususnya Tobelo. Namun di Karesidenan Ternate yang membawahi Afdeeling Tobelo tahun 1828-1885, penganut agama Kristen tercatat berjumlah hanya 1753 jiwa, dari tolal jumlah penduduk di
Karesidenan Ternate 107. 163 jiwa.17 Seiring berjalannya waktu menjelang akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, tampaknya penganut agama Kristen bertambah setelah kedatangan para penginjil dari Belanda. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengkaji lebih jauh tentang Kristenisasi di Tobelo.
Masuknya agama Islam di Maluku (Utara), ada usaha dari para Kesultanan Ternate untuk menyiarkan agama Islam di Halmahera bagaian utara (Tobelo). Namun gerak pesebaran ini berlangsung lambat disebabkan agama lokal/ suku yang melekat/berakar, pola hidup yang masih nomaden pada masyarakat Tobelo. Selain itu masyarakat Tobelo dikenal sebagai pemburu di laut
alias “bajak laut”, dalam melakukan perburuan selalu saja terjadi perang di laut.18
Aktifitas ini muncul pada orang Tobelo, tidak terlepas dengan penaklukan
Kesultanan Gilolo19 oleh Kesultanan Ternate. Sehingga Raja Gilolo yang hijra ke
17Willard A. Hanna & Des Alwi, Ternate Dan Tidore Masa Lalu Penuh
Gejolak. (Jakarta: Sinar harapan, 1996), hlm. 223: De Clercq, op.cit., hlm. 33; R. Z. Leirissa, op.cit., hlm. 60.
18Leirissa, op.cit., hlm. 197-198.
19Gilolo/ Jilolo atau Jailolo; adalah salah satu Kerajaan tertua di Maluku
(Utara), sebelum tahun 1250, (lihat Juga mitos Tujuh Putri, tentang asal-usul kerajaan-kerajaan di Maluku Kie Raha). Teritorial kerajaan Jailolo meliputi Halmahera bagian utara dan barat, sehingga nama Jailolo sering kali dijumpai dalam naskah-naskah Portugis sering menggunakan kata Gilolo untuk menunjukkan daerah Halmahera. Hal serupa berbeda yang di kemukan oleh Lapian: Tentang status Jailolo sebagai kerajaan tertua, dengan menelah berbagai
8
Halmahera bagian utara menghimpun kekuatan dengan membentuk Kerajaan
Moro atau Tolo, dan tidak ingin tunduk pada Kesultanan Ternate.20 Tampaknya
ini merupakan suatu kebiasaan yang inheren dalam masyarakat Tobelo pada umumnya sehingga Islamisasi dari pihak Kesultanan Ternate tidak begitu berhasil di wilayah Tobelo.
Pada kenyataannya keberakaran pengaruh dari Kesultanan Ternate perlu dipertanyakan karena intensitas misi gereja yang didukung oleh kekuasaan Pemerintah Belanda telah menundukkan dan kemudian menjadikan Sultan Ternate hanya sebagai simbol (antara lain dengan memperbolehkan sultan menerima upeti tradisional dari rakyat Tobelo dan Galela) tanpa kekuasaan politik
yang efektif.21
1.2. Pertanyaan Penelitian
Kristenisasi di Tobelo dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu karya misi Katolik oleh bangsa Portugis, khususnya misionaris “Jesuit” pada tahun 1600-an dan karya penginjilan Kristen Protestan melalui Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV) pada tahun 1866. Dalam tesis ini penulis lebih memfokuskan
mitos yang berhasil direkam oleh Portugis sekitar tahun 1544, dalam kesimpulannya bahwa garis raja-raja Maluku berawal dari empat buah telur Naga. Berdasarkan versi tersebut maka hanya terdapat dua kelompok/kerajaan di Maluku, Batucina de Moro, atau Batu Cina yang merujuk pada kerajaan tertua di Halmahera bagian utara, yang eksis hingga abad ke 17, dan tidak menyebut tentang kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan. A. B. Lapian, Bacan and the Early History of North Maluku, Halmahera and Beyond, L. E. Visser (ed) (Leiden, KITLV Prees, 1994), hlm. 11, 13, 22.
20 Papilaya, Morologi; Mengetahui dan Menelusuri Keberadaan Moro
Sebagai Sebuah Kerajaan. (Tobelo; DISPAR-Halmahera Utara, 2012), hlm. 2-20
9
pada karya Kristenisasi kelompok Kristen yang dibawa oleh penginjil Belanda di Tobelo tahun 1866-1942. Pemilihan kurun periode 1866-1942 dianggap tepat untuk melihat awal perjumpaan agama Kristen Protestan hingga terjadi perubahan sosial yang signifikan pada masyarakat Tobelo yang telah melakukan konversi ke agama Kristen.
Fokus penelitian ini adalah proses masuknya Kristen ke Tobelo sehingga terjadi perubahan sosial pada masyarakat dengan kehadiran karya para penginjil di Tobelo. Hal ini penting karena ketika sedang berkonsentrasi pada daerah keagamaan maka sulit untuk melepaskan diri atas perhatian serta hubungannya dengan gagasan akan kepercayaan masyarakat pendukungnya termasuk kehidupan politik yang melingkupinya. Adapun pertanyaan penelitian ini sebagai berikut:
1. Faktor apa yang mempengaruhi sehingga agama Kristen masuk ke Tobelo 1866-1942?
2. Mengapa orang Tobelo mau menerima agama Kristen 1866-1942? 3. Bagaimana pengaruh agama Kristen bagi masyarakat Tobelo 1866-1942?
Menurut Kuntowijoyo, cakupan waktu dalam studi sejarah tidak secara langsung menunjuk pada suatu periodisasi, sebab dalam perkembangan sosial dan
sejarah tidak ada permulaan maupun akhir.22 Dengan demikian pembahasan studi
ini tidak hanya dalam batas periode yang sudah ditentukan, tetapi juga akan bergerak melihat ke belakang, khususnya untuk melihat kebijakan Pemerintahan Belanda serta kehidupan sosial masyarakat dan ke depan untuk melihat
22 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris. Madura
10
keberlanjutan dinamika keagamaan serta perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Tobelo yang telah mengalami konversi ke agama Kristen.
Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok, dapat disebut
sejarah sosial.23 Lahan garapan sejarah sosial juga sangat luas dan beraneka
ragam. Sebagai kajian sejarah, maka aspek temporal dan spasial penting untuk
dieksplisitkan.24
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
Jika dilihat dari waktunya, proses Kristenisasi di Karesidenan Ternate khususnya Tobelo sepertinya telah berlangsung sejak lama. Mengingat kompleksnya permasalahan yang muncul dalam penelitian ini, maka perlu diadakan pembatasan secara temporal dan special dalam ruang lingkup penelitian ini adalah tahun 1866-1942. Kurun waktu tersebut merupakan periode masuknya karya UZV di Tobelo. Secara administrasi kurun waktu tersebut juga Kesultanan Ternate dijadikan Karesidenan yang otonom dalam bidang ekonomi dan politik, yang berdampak pada berubahnya kehidupan sosial masyarakat Tobelo.
Secara khusus batas akhir tahun 1942 sangat penting karena pada tahun ini Karesidenan Ternate, khusunya Halmahera bagian utara dijadikan pangkalan markas besar militer Angkatan Laut Jepang. Akibatnya di mata kekuasaan Jepang
23Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
(Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 50.
24H. J. de Graaf dan Th. G. Th Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
Abad XV-XVI, Pealihan dari Majapahit ke Mataram. (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hlm. xiii.
11
semua yang berbau Belanda harus dimusnahkan. Semua harta milik UZV di Tobelo sebagai inventaris dalam bidang pendidikan, kesehatan, perkebunan sampai dengan milik pribadi dimusnahkan. Jadi sampai 1942 bisa dikatakan proses Kristenisasi di wilayah Tobelo lumpuh total.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah memaparkan dan mengulas aspek-aspek sosial dari proses Kristenisasi di Tobelo abad ke-19 sampai abad ke-20. Berdasarkan tujuan di atas, tulisan ini diharapkan memberi informasi tentang praktek UZV. Akan uraian tentang proses masuknya agama Kristen, perkembangan agama Kristen yang dianggap sukses di wilayah ini, dan dampaknya pada perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat yang berdomisili di Tobelo, serta aktifitas keagamaan dalam bidang sosial, seperti pendidikan, kesehatan dan pengaruhnya atas perkembangan sosial yang lain.
Secara metodologis penelitian ini mencoba menguraikan sebuah proses sejarah bukan saja soal becoming (menjadi) tetapi juga being (keadaan). Bagaimanapun penulis sejarah memiliki peluang untuk memberikan penjelasan atas fenomena masa lalu. Berdasarkan tujuan penulisan ini paling tidak akan diperoleh informasi berbagai hal yang berhubungan dengan keagamaan dan masalah sosial. Manfaat lainnya adalah menambah historiografi lokal, khusus kaitannya dengan studi sejarah. Dan pada akhirnya, penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan pembanding dengan penelitian terdahulu dan juga akan menjadi sumber rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
12 1.5. Tinjauan Pustaka
Cornelis Adolf Alyona dalam Pendidikan Barat di Maluku Tengah,
1885-1942; Timbulnya Dualisme dalam Sistem Pendidikan25 karya ini memperlihatkan
bahwa di Maluku Tengah terdapat dualisme dalam sistem pendidikan. Dualisme dalam arti bahwa pendidikan agama yang sudah ada sejak masa Portugis, VOC yang melakukan aksentuasi pada pengajaran agama tetap dipertahankan di zaman Hindia-Belanda telah terjadi sekularisasi dalam abad ke-19. Oleh karena itu sejak tahun 1855 ada dua sistem pendidikan barat yaitu pendidikan yang dilakukan oleh gereja pada satu pihak, dan di lain pihak ada pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Belanda.
Walaupun dalam karya ini hanya mengulas tentang pendidikan Kristen. Namun sangat membantu penulis untuk mengetahui metode yang dilakukan oleh penginjil dalam dunia pendidikan. Kiranya karya ini sangat penting oleh penulis mengingat bahwa Maluku Tengah baru dikenal pada masa Hindia Belanda karena pada masa VOC, wilayah Maluku Tengah, Sulawesi dan Irian adalah bagian dari Maluku terbagi dalam gubernemen yang berpusat di benteng Oranje di Ternate.
D.G.E Hall dalam bukunya Sejarah Asia Tenggara,26 menguraikan
bagaimana seorang ahli perkumpulan Jesuit. Penginjil Fransisccus Xaverius yang tiba di Maluku pada tahun 1546, menulis tentang orang Portugis di Maluku Utara khususnya Halmahera bagian utara terbatas pada perubahan kata kerja rapio yang
25 Cornelis Adolf Alyona. “Pendidikan Barat di Maluku Tengah,
1885-1942; Timbulnya Dualisme Dalam Sistem Pendidikan”. (Desertasi: Universitas Indonesia, 2009).
26 D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. (Penerbit Usaha Nasional;
13
ditujukan sebagai kemampuan yang menajubkan untuk menanamkan masa-masa baru di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Bagi penduduk Halmahera bagian utara, menurut Hall, dipandang sebagai pemeluk agama Kristen dari kerajaan Ternate dan Tidore. Kemudian Portugis mendirikan basis kedua di wilayah kepulauan tersebut.
F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate,27
merupakan suatu upaya penggambaran menyeluruh mengenai keberadaan masyarakat di Karesidenan Ternate. Kedudukannya sebagai bekas Residen Ternate pada tahun 1885 hingga 1888 memudahkannya untuk dapat mengenali keberadaan yang sesungguhnya dari keseharian masyarakat Ternate. De Clercq, mampu mengenali bentuk-bentuk kebudayaan dari keseharian masyarakat dan suatu keadaan sosial yang sedang berlangsung pada saat ia mengamati. Bahkan ia mampu mengenali pembagian dan perbedaan beberapa desa yang memiliki karakteristik antara satu dengan lainnya. Bahkan dalam karya ini ia membawa pembaca seolah-olah Kesultanan Ternate dan Tidore merupakan kekuasaan utama di wilayah tersebut. Padahal seperti telah diketahui bahwa kekuasaan kesultanan itu sendiri seringkali hanya bersifat de jure dan kehidupan masyarakat lokal terpisah dari kekuasaan kesultanan. Meskipun demikian karya ini sangat baik dan layak untuk dijadikan acuan.
27 F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate.
14
J. M. Baretta dalam Mededelingen Halmahera en Morotai,28 menyebutkan
bahwa masyarakat kebun di Halmahera merupakan salah satu komunitas pertanian (Alfur) terbesar yang ada di Maluku. Baretta juga menyebutkan berbagai kebiasaan masyarakat Alfur dalam mengolah perkebunan. Karya ini bermanfaat untuk memahami kondisi yang ada di salah satu pulau yang termasuk dalam Karesidenan Ternate khususnya kondisi Pulau Halmahera, terutama di sekitar akhir abad XIX dan awal abad XX.
Magany dalam Bahtera Injil di Halmahera,29 karya ini membahas tentang
sejarah perjalanan Gereja Tuhan di Halmahera, sejak pengutusan zendeling dari negeri Belanda untuk menaburkan benih-benih Injil di Halmahera hingga terbentukya sebuah wadah Gereja dengan nama GMIH. Magany menjelaskan bahwa perjalanan Injil yang dimulai dari Duma (Galela) Halmahera bagian utara hingga ke seluruh pelosok Halmahera dan wilayah Morotai yang dimotori oleh zendeling.
Dalam karya ini juga diulas bagaimana pihak penginjil mengalami berbagai tantangan baik politis maupun agama suku yang dianut oleh penduduk pribumi di Halmahera, adat-istiadat dan berbagai manifestasi kepercayaan agama suku. Meski demikian, benih-benih Injil bisa tumbuh subur dan berkembang hingga saat ini. Karya ini, penting untuk penulis karena betapa minim
28J. M. Baretta, Mededelingen Halmahera en Morotai. (Batavia: Javasche
Boekhandel & Drukkerij, 1917).
29Magany, Bahtera Injil di Halmahera. (Tobelo: GMIH & Intitut Hendrik
15
pengetahuan tentang sejarah Pekabaran Injil di Halmahera, walaupun disisi lain karya ini hanya mengulas tentang sejarah Gereja dari sisi teologi.
Syahril Muhammad dalam Kesultanan Ternate Sejarah Sosial Ekonomi &
Poltik,30 menguraikan kedatangan Belanda abad ke-17 dan ke-18, dimana Belanda
berinteraksi dengan Kesultanan Ternate dengan “sistem VOC”-nya. Kemudian di abad ke-19, interaksi ini meluas ke wilayah-wilayah lainnya sekalipun bentuknya tidak sama dengan yang sebelumnya. Dalam karya ini juga dapat dilihat kondisi sosial ekonomi dan politik di Kesultanan Ternate dalam kurun 1866-1942, yang bersifat kompleks dengan pendekatan ilmu sosial. Karya ini cukup bermanfaat untuk memahami dinamika politik ekonomi dan sosial di Karesidenan Ternate.
Sylvera Sjiariel dalam “Karya de Utrechtsche Zendings Vereeniging
(UZV) di Halmahera 1866-1942”,31 karya ini penulis menguraikan peran penginjil
dalam menerapkan metode Kristenisasi di Halmahera. Tinjuauan historis teologi terhadap metode Injil-UZV di Halmahera, dengan asumsi bahwa penduduk yang masih terbelakang dengan penganut agama suku terbesar di Halmahera perlahan akan menerima agama Kristen yang di bawahkan oleh penginjil dari Belanda. Dalam karya ini juga kita diajak untuk mengetahui berkembangnya Injil di Halmahera tidak terlepas dari peran metode sebagai alat untuk mencapai tujuan. Demikian juga yang terjadi di Halmahera, Injil tumbuh dan berkembang hingga
30 Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial Ekonomi &
Politik. (Yogyakarta: Ombak 2004).
31Sylvera Sjiariel, “Karya de Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV) di
Halmahera 1866-1942”. (Skripsi; Universitas Kristen Duta Wacana-Yogyakarta, 1995).
16
menjadi cikal bakal terbentuknya Lembaga Gereja Masehi Injil Halmahera (GMIH). Hal yang sebupa juga terdapat dalam karya di bawah ini:
Fauziah Rasid, “Masuknya Agama Protestan di Galela dan Tobelo
1866-1924”.32 Karya ini membahas tentang masyarakat Halmahera sebelum kedatangan
agama Kristen, proses masuknya agama Kristen di Halmahera, dan penerapan metode kerja oleh pihak zending. Akan tetapi kelemahan dalam karya ini yaitu peneliti jarang mengunakan sumber primer. Bahkan dalam penulisan ini, peneliti juga melakunan metode wawancara di lapangan dan sangat diragukan kebenaran faktanya.
Dalam karya Sylvera Sjiariel menjelaskan bahwa, berkembangnya Injil di Halmahera tidak terlepas dari peran metode sebagai alat untuk mencapai tujuan Kristenisasi. Dalam karya ini walaupun punya kesamaan secara spasial dan temporal, akan tetapi kedua penulis hanya menguraikan tinjauan historis teologi terhadap metode pekabaran Injil dengan kata lain penulis hanya memfokuskan pada tinjauan teologi semata, hal yang sama juga terdapat dalam karya Fauziah Rasid. Selain itu kedua penulis juga tidak terlalu akurat dan detail dalam menyajikan proses Kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil di Halmahera bagian utara.
Penelitian ini bertolak atau berdasarkan pada kedua skripsi Sylvera Sjiariel dan Fauziah Rasid. Walaupun penulisan ini memiliki kemiripan dalam metode yang dimaksud, akan tetapi metode dalam kedua skripsi tersebut bukan seperti apa
32Fauziah Rasid, “Masuknya Agama Protestan di Galela dan Tobelo
17
yang di uraikan dalam tesis ini. Selain itu kedua karya tersbut masih memiliki kekurangan dalam menggunakan sumber-sumber primer. Sehingga dalam penelitian tesis ini, saya perluaskan topik dalam kajian sejarah sosial dengan mengunakan pendekatan sejarah sosial, berupa dampak sosial budaya, ekonomi dan politik pada masyarakat Tobelo. Sudah tentu penelitian ini berbeda dari apa yang teliti oleh Sylvera Sjiariel dan Fauziah Rasid. Namun studi-stusi tersebut sangat memberikan informasi yang komprehensif tentang Kristenisasi di Tobelo.
1.6. Kerangka Teoretik
Dalam melakukan sebuah penulisan agar lebih terarah maksud dan tujuan serta mencapai hasil yang maksimal, maka diperlukan menggunakan kerangka teoretik yang sesuai dengan tema dalam penulisan tersebut, betapa pentingnya kerangka teoretik dalam melakukan penulisan sehingga dapat mewujudkan suatu karya yang ilmiah.
Misi Kristen di Indonesia dalam catatan sejarah seiring dengan masuknya imperialis bangsa asing seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda di Indonesia. Misi Kristen hadir bergandengan tangan dengan kekuatan imperial asing yang ingin menaklukan wilayah Nusantara melalui penaklukan sumber-sumber ekonomi, penaklukan budaya dan agama yang sudah ada di wilayah Nusantara pada masa itu, baik menaklukan agama Islam maupun agama lokal.
Agama memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia, dalam sejarah agama kerap menjadi alat atau instrument untuk melegitimasi suatu kebijakan negara, pemuka agama, juga dijadikan simbol dari suatu ideologi Negara, pada arah ini melahirkan ekspresi agama yang terselubung dibalik tujuan
18
politik penguasa. Agama Kristen sebagaimana yang terungkap dalam kitab suci, kecenderungan pemimpin agama yang telah banyak memunculkan tragedi kemanusian yang dibawa atas nama panji perang suci, jaringan perdagangan pada masa lampau memunculkan ambivalensi perdagangan sekaligus politik yang
didalamnya terselubung misi untuk menyiarkan agama.33
Misiologi kristiani mencatat bahwa kristenisasi bagaimanapun juga
berjalan secara simbiose mutualistis dengan kalangan penguasa dan pengusaha,34
peran agama bagi kalangan misionaris yang bekerja di tanah kolonial dengan menyediakan pendidikan untuk sumber daya manusia (keterampilan dan keahlian), birokrasi pemerintahan dan perdagangan moderen. Pelayanan kesehatan untuk menjamin masyarakat Eropa di Hindia-Belanda steril dari penyakit menular, khususnya kuli perkebunan yaitu: TBC, kusta, kolera, malaria dan lainnya. Pemerintah Hindia-Belanda dan yayasan zending pun kemudian tidak dapat mengabaikan begitu saja “kewajiban moralnya” untuk terlibat dalam penyebaran Injil.
Penelitian ini sendiri hanya melihat unsur Kristenisasi dari satu sudut pandang yang berbeda dalam sebuah kasus yang spesial. Kristenisasi tidak dianggap sebagai upaya yang berkaitan dengan bidang kerohanian, akan tetapi ada pergeseran kepercayaan lokal (animism-dinamisme), budaya serta pengenalan dunia pendidikan, kesehatan maupun dalam bidang tatanan sosial pada
33 Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama. (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 1993), hlm. 11.
34 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. (Jakarta: LP3ES, 1985),
19
masyarakat. dengan demikian penelitian ini akan mencoba menelusuri proses Kristensiasi pada orang Tobelo dari sudut pandang sejarah sosial.
Untuk mengawali penelitian ini, pastinya menggunakan konsep-konsep sosial yang berkaitan dengan agama, budaya masyarakat, struktur sosial, struktur pemerintahan, ideologi serta konsep lain yang berkaitan dengan tema Kristenisasi. Dalam hal ini tentunya melihat sumber ideologi, kemudian siapa pembawa agama, selanjutnya dikaitkan dengan situasi politik dan pemegang kekuasaan di Karesidenan Ternate (Tobelo), serta melihat sistem kekuasaan yang berlaku, baik Pemerintah Belanda maupun kepemimpinan tradisional.
Tentunya dalam penelitian ini memerlukan pendekatan teori yang merupakan alat penting dalam kegiatan ilmiah. Teori bukan saja diperlukan generalisasi-generalisasi yang dapat diambil berdasarkan fakta-fakta hasil pengamatan, tetapi juga dapat memberikan kerangka orientasi untuk mengklasifikasikan dan menganalisis fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian. Kecuali itu, teori mampu memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi dalam mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang
gejala-gejala yang telah ada dan akan terjadi.35
Dalam melukiskan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Kesultanan Ternate tidak hanya pengambaran secara kronologis saja, akan tetapi diperlukan suatu peristiwa sejarah yang bersifat kompleks dapat diperoleh dengan
35 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
20
menggunakan suatu pendekatan ilmu sosial.36 Dari sudut pendekatan ilmu sosial,
agama dipersepsikan bahwa agama menjadi unsur penting yang turut mempercepat terjadinya perubahan sosial.37
Menurut Karl Marx pada masyarakat feodal, pemilik tanah adalah kelas dominasi dan memiliki gagasan yang mencerminkan kepentingan-kepentingan para penguasa. Sebagai contoh masyarakat feodal selalu mengasosiasiakan budak dan tanah atau rakyat dan penguasa, juga melegitimasi tatanan sosial dan
menjadikan agama yang di anut oleh para penguasa sebagai agama feodal.38
Kesultanan Ternate terdiri dari kelas penguasa pada tingkat atas yaitu raja/ sultan beserta keluarganya dan para birokrat sampai tingkat daerah. Puncak hirarki ditempati oleh sultan yang memiliki otoritas tradisional yang telah diterimanya sebagai hak turun-temurun. Pihak penguasa memberikan “pelayanan dan pengayoman”, sedangkan rakyat memberikan pelayanan penghormatan dan kesetiaan. Pribadi raja adalah sebagai pemilik kekuasaan di seluruh kesultanan,
tercermin dalam struktur administrasi sesuai dengan sistem politik patrimonial.39
Hal ini terjadi, karena kekuasaan tradisional telah lama berlangsung dan diakui oleh masyarakat Maluku (Utara). Membangun hubungan kekuasaan di bidang
36 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia: Suatu Alternatif. (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 14-21.
37Nanang Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), hlm. 173-174.
38 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial; Dari Teori Fungsionalisme
Hingga Post-modernisme. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2003), hlm. 92-93.
39Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate; Sejarah Sosial-Ekonomi dan
21
sosial, ekonomi dan politik.40 Bila dilihat secara politis dan ekonomis penguasa/
sultan mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam masyarakat.
Kesultanan Ternate dari segi ekonomi, sangat mengandalkan “commercial power” dan sangat bergantung pada fluktualisasi arus perdagangan internasional di Asia Tenggara, untuk itu sangat dibutuhkan kekuatan angkatan laut yang ekspansif. Kesultanan Ternate adalah Rezim yang sangat mengandalkan pada warganya yang tersebar dibanyak pulau dan sangat dibutuhkan partisipasinya untuk ekspedisi militer, perjalanan mencari sagu, pengerahan kora-kora dan
mendorong relokasi penduduk.41
1.7. Metode Penelitian
Prinsip kesesuaian penelitian atau keselarasan dalam penerapan metode
dalam penelitian ini yang tepat adalah penggunaan metode sejarah. Hal ini karena metode sejarah ketika diterapkan dalam penelitian, memiliki seperangkat langkah kerja, sejak dari persiapan sampai selesai penyusunan hasil akhir dalam bentuk laporan penelitian. Metode sejarah yang terbagi menjadi 4 tahapan. Sebagai berikut: 1) heuristik yaitu suatu pencarian dan pengumpulan data; 2) kritik yang berupa pengujian keaslian data; 3) interpretasi yaitu suatu penggambaran dan pemahaman pada permasalahan yang dibahas; dan kemudian ditutup oleh tahap terakhir (4) historiografi yang berarti proses penulisan sejarah.
40R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolokan di Laut
Seram Abad ke-19. (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 1.
41 Joko Suryo, Agama dan Perubahan Sosial Study Tentang Hubungan
Agama Islam, Masyarakat Dan struktur Sosial-Politik Indonesia. (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2001), hlm. 93.
22
Data-data yang digunakan berasal dari sumber primer maupun sekunder. Sumber primer adalah sunber-sumber yang berasal dari berbagai laporan resmi pemerintah dalam bentuk arsip, sedangkan sumber sekunder adalah sumber-sumber yang berasal dari pencatatan informal dari berbagai laporan perjalanan jurnal, ataupun buku-buku yang memiliki keterkaitan dengan penulisan yang dimaksud.
Kedua bentuk data tersebut dianggap sesuai untuk mencapai sasaran penulisan. Akan tetapi, penggunaan data sekunder dalam tulisan ini memiliki peranan yang lebih menonjol dibandingkan data-data primer. Berbagai karya baik dalam bentuk laporan pemerintah yang diterbitkan, jurnal, artikel, dan buku merupakan salah satu sumber informasi penting. Sehingga dalam penulisan ini ada beberapa karya yang turut dijadikan acuan adalah karya milik W. Ph. Coolhaas, Mededelingen betreffende de Onderafdeeling Batjan; F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate; J. M. Baretta, Halmahera en Morotai; Selain itu digunakan juga buku-buku atau hasil penelitian yang tidak sezaman seperti karya Christiaan Frans van Fraasen, Ternate, de Molukken en deIndonesische Archipel, van Soa Organisatie en Vierdeling: Een Studie van Traditionele Samenleving en Cultuur in Indonesie; F. Valentijn, Beschryving der Moluccos; dan Leonard Y. Andaya, The World of Maluku.
Akan tetapi penggunaan sumber sekunder tersebut tidak berarti bahwa penggunaan sumber primer juga sangat penting. Beberapa laporan pemerintah berupa Memorie van Overgave (Laporan Serah Terima Jabatan), Algemeene Verslag, dan laporan pemerintah yang diterbitkan, Koloniaal Verslag, sangat
23
membantu menyediakan sumber-sumber yang bermanfaat bagi penulisan ini, surat-surat dinas atau laporan kerja kepala distrik atau kontrolir di beberapa wilayah seperti Tobelo, kao, Galela, Morotai, Jailolo, Labuha, dan Ternate, serta Statsblad (Lembar Negara) yang sesuai dengan kebutuhan penulisan.
Sumber sejarah lainnya yang banyak digunakan ialah laporan pemerintah kolonial, Koloniaal Verslaag (KV). Meskipun penyajian informasi dan narasi lebih disesuaikan dengan kepentingan pemerintah, tetapi gambaran umum yang ada di dalamnya sangat membantu penyusunan tulisan ini. KV sendiri lebih menyerupai sebuah ‘cerita bersambung’ dari suatu kondisi di wilayah kolonial Hindia Belanda. Selain itu intensitas suatu tema atau laporan yang muncul dalam beberapa terbitan memudahkan untuk mencari kecenderungan dari pola-pola umum yang terjadi di suatu wilayah.
Pengumpulan data-data tersebut dilakukan pada berbagai tempat penyimpanan seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional, Perpustakaan KITLV yang bertempat di Jakarta. Selain itu beberapa tempat penyimpanan koleksi referensi yang dianggap sesuai dengan sasaran penulisan seperti di perpustakaan-perpustakaan yang berada di lingkungan Universitas Gajah Mada, Perpustakaan UKDW Yogyakarta, Perpustakaan Daerah Maluku Utara, serta Lembaga Sejarah-Budaya (MATAHATI) Ternate yang mengoleksi berbagai arsip sejarah dan budaya Maluku Utara.
1.8. Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan dibagi menjadi 6 (enam) bab dan akan diuraikan sebagai berikut:
24
Bab I Pendahuluan. Bab ini dibagi menjadi beberapa sub-bab yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretik, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II menguraikan hubungan Karesidenan Ternate dan masyarakat Tobelo pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Dibahas kondisi geografis, penduduk dan struktur demografi serta pemerintahan tradisional dan stratifikasi sosial masyarakat Tobelo.
Bab III menguraikan perjumpaan masyarakat Tobelo dengan agama Kristen. Bab ini dibagi menjadi beberapa sub-bab yaitu: proses awal penetrasi agama Kristen, kedatangan dan pembawa (agent) agama Kristen Protestan, dan hubungan antara Pemerintah Kolonial-Belanda, zending dan gereja pribumi.
Bab IV menguraikan strategi dan pola kerja Utrechtsche Zendings
Vereeniging di Tobelo, meliputi sub-bab tentang bidang metode pendekatan secara individu, bidang pendidikan dan bidang kesehatan.
Bab V menguraikan perubahan sosial di Tobelo sebagai respon masyarakat dan dampak penyebaran agama Kristen. Bab ini meliputi sub-bab pemusatan pemukiman, nilai sosial budaya, dan meningkatnya jumlah penganut agama Kristen.
Bab VI kesimpulan merupakan penutup dari rangkaian tulisan ini. Dalam bab ini akan dituangkan jawaban-jawaban atas permasalahan tesis ini.