• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN

PEMBAHASAN

I.

KAJIAN TEORETIK

1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Imanuel Kant adalah seorang filsuf bangsa jerman, hidup antara tahun 1724-1804. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Mataphysische Afangsrunde” (Ajaran Metafisika dalam Hukum).1

Menurut Imanuel Kant; “manusia dilahirkan sederajat dan segala kehendak, kemauan dalam masyarakat negara harus melalui dan didasarkan dengan undang-undang”, peraturan-peraturan hukum harus pula dirumuskan dan harus menjadi dasar pelaksana pemerintahan, Di samping itu ia memandang bahwa perlu adanya pemisahan kekuasaaan, seperti diajarkan oleh Montesquieu (Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudisial ). Dalam kepustakaan dikatakan bahwa Imanuel Kant lah yang member nama ajaran Montesquieu tentang “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu dengan nama “Trias Politika”. Jadi tujuan negara menurut Imanuel Kant adalah: menegakan hak-hak dan kebebasan warga negara atau kemerdekaan individu. Untuk menjamin kebebasan individu berupa jaminan perlindungan HAM harus diadakan pemisahan kekuasaan seperti Trias Politika.2 b. Teori Mac Iver

1

Atmadja, I Dewa Gede, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep dan Kajian Kenegaraan, Penerbit Setara Press, Malang, 2012, h.53.

2

(2)

Pendapat Mac Iver dapat dibaca dalam dua buah bukunya, yaitu: “Modern State” dan “Web of Government”. Dalam bukunya “Modern State”, mengemukakan bahwa, fungsi negara adalah ditinjau dari segi intern, artinya dilihat menurut kebutuhan negara itu sendiri. Ia mengatakan fungsi negara dilihat dari kepentingan intern, mencakup:3

1). Memelihara ketertiban dan menghormati kepribadian warga negara yang merupakan tugas negara secara positif maupun negatif. Tugas negara secara positif artinya negara melindungi dan mensejahterakan warga negaranya, sedangkan tugas negara yang negative artinya negara mempunyai wewenang menindak, menhjukum setiap orang yang melanggar aturan hukum.

2). Perlindungan, fungsi ini perlu diperluas untuk perkembangan (development) dan konservasi (conservation). Melalui fungsi perlindungan yang mencakup pengembangan dan koservasi atau pelestarian, dan apabila negara dan aparatnya menjalankan fungsi ini dengan baik, maka akan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Misalnya pelestarian sumber-sumber alam, seperti pemeliharaan hutan-hutan, pemeliharaan sumber sumber mineral, pemeliharaan kekakayaan laut, sehingga generasi yang akan dating dapat memanfaatkan warisan berupa “kekayaan alam”.

2.

TEORI HUBUNGAN NEGARA DAN HUKUM

Dengan mengelaborasi pandangan G.W Paton tersebut, dapat dirinci bahwa ketiga teori hukum hubungan antara negara dan hukum dengan merujuk pandangan pakar hukum, sebagai berikut:4

3

Ibid, h.56.

4

(3)

- Teori analisis (John Austin) yang merumuskan hukum perintah penguasa yang berdaulat (Law as sovereign command). Penguasa yang berdaulatlah yang membentuk hukum, dan ia tidak tunduk atau tidak terikat oleh hukum, hanya masyarakat yang terikat kepada hukum. Jadi, negara lebih tinggi (superior), diatas hukum. Teori analitis dari John Austin memberikan dasar pada ajaran kedaulatan negara.

- Teori kedaulatan hukum (Krabbe) merumuskan bahwa hukum tidak diciptakan oleh negara, tetapi hukum lahir dari kesadaran hukum yang bersumber pada perasaan hukum individu-individu. Begitu pula pandangan Von Jhering dengan political argument-nya, dengan Jelinek melalui theory of atolimitaion atau zelbbindoengtheorie, yang mengharuskan penguasa negara lembaga negara mengikatkan diri dan tunduk kepada aturan hukum secara sukarela (lihat Abdoel Gani; 1984: 159).

Dengan demikian hubungan negara dan hukum tidak dapat dipisahkan, negara menciptakan hukum tetapi kekuasaan pemerintah juga dibatasi oleh hukum, hukum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara, seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan bertempat tinggal, dan jaminan akan kepastian hukum.5

3. TEORI HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA

Dalam sebuah negara, keberadaan agama sangat melekat kuat pada masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam suatu negara bisa terdapat beberapa agama yang diakui secara nasional. Seperti halnya Indonesia, Indonesia saat ini telah mengakui lima (5) agama secara nasional, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu,

5

(4)

dan Budha. Dan satu (1) agama lagi yang baru saja diakui di Indonesia, yaitu Kong Hu Chu.

Dalam teori theokrasi, disebutkan bahwa urusan negara tidak dapat dipisahkan dari urusan keagamaan. Negara berdasarkan atas ketuhanan menurut suatu agama tertentu. Negara selalu mengatur urusan agama dan mewajibkan warga negara untuk melaksanakannya. Negara diatur oleh syariat agama (negara agama). Konsep negara dan agama tersebut teraplikasi dalam konsep Tahta Suci Vatikan (Soeswoto, 1996:11). R Kranenburg mengemukakan bahwa ada beberapa akademisi, rohaniawan gereja, dan negarawan yang memandang hubungan antara agama dan negara secara berbeda.6

Menurut pandangan John Locke, antara lain, “manusia, sejak dilahirkan mempunyai kebebasan dan hak-hak kodrati yang ditakdirkan oleh alam, yakni hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak milik (property). Tujuan membentuk negara adalah untuk melindungi hak-hak kodrati (HAM). Oleh karena itu, kekuasaan negara tidak boleh melanggar hak-hak kodrati. Kekuasaan negara harus menjamin kebebasan beragama, kekuasaan negara tidak dipergunakan untuk memeluk suatu agama” (Azhary; op.cit.;:121).7

Mahatma Gandhi berpendapat bahwa “semua agama, sekalipun berbeda dalam banyak hal, seperti doktrin, sistem hukum, sistem moral bahkan dalam tujuan akhirnya, tetapi relasinya dengan negara adalah sederajat. Bila satu agama dijadikan dasar negara atau dijadikan agama negara, maka yang diskriminatif terhadap agama-agama lain”.8 6 Ibid, h.178. 7 Ibid, h.189. 8

(5)

Salah satu hubungan antara negara dan agama yang paling terlihat nyata adalah dalam bidang perkawinan. Negara memegang peranan penting terutama terkait dengan pembentukan regulasi/peraturan dalam bidang perkawinan. Pembentukan regulasi/peraturan ini dilakukan oleh pemerintah yaitu pemegang kekuasaan legislatif bersama dengan eksekutif (DPR dan Presiden) dan produk regulasi yang telah diciptakan pemerintah yaitu UU Perkawinan pada tahun 1974. Sementara pemerintah yang memegang kekuasaan yudikatif (MK dan MA) berperan dalam melaksanakan fungsi peradilan terkait dengan berbagai permasalahan yang muncul seiring keberadaan UU Perkawinan sebagai norma acuan bagi warga negara Indonesia apabila hendak melangsungkan perkawinan di wilayah NKRI.

II.

KAJIAN NORMATIF

1. FUNGSI NEGARA MENURUT UUD 1945

Dalam alinea ketiga pembukaan (preambule) UUD 1945 secara tersirat tertulis bahwa negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarjan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.9

Ketentuan tersebutlah yang dapat ditarik sebagai fungsi negara yaitu untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang kemudian diturunkan kedalam ketentuan Pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Namun, fungsi negara yang paling utama adalah terkait dengan perlindungan

9

(6)

terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam Bab XA Pasal 28 bagian a sampai bagian j. Dan ketentuan Pasal 28B yang berbunyi:

(1) setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan perkawinan yang sah.

(2) setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Seharusnya menjadi tonggak bagi negara dalam menjalankan fungsinya yaitu menjamin perindungan HAM warga negara Indonesia dalam bidang perkawinan.

2. CAKUPAN HAM DALAM DUHAM

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di masyarakat.10

Deklarasi ini juga berusaha untuk mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatan yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada dibawah wilayah kekuasaan hukum mereka.11

10

Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, h.2.

11

(7)

Beberapa ketentuan yang terdapat didalam DUHAM diantaranya sebagai berikut:12

- Pasal 1

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.

- Pasal 2

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.

Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum, atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada dibawah batasan kedaulatan yang lain.

- Pasal 6

Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

- Pasal 16

12

(8)

(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal pekawinan, didalam masa perkawinan dan di saat perceraian.

(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.

(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.

3. KONSEP PERKAWINAN MENURUT UU PERKAWINAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional. Ia merupakan produk hukum yang memberikan produk nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaaan dan kebudayaan “bhineka tunggal ika”. Dan ia juga merupakan unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaannya itu.13

UU Perkawinan secara resmi mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, namun mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa undang-undang ini berlaku untuk semua warga negara dan seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu, undang-undang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan

13

Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas, Jakarta, 1986, h.1-2.

(9)

dan telah berlaku bagi golongan dalam masyarakat kita dan sekaligus juga telah meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional.14

Dalam Undang-undang ini perkawinan dibatasi dengan baik sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.15

Dan untuk sampai kepada sahnya suatu perkawinan, Undang-undang menentukan harus menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.16Pandangan ini sejalan dengan sifat religius dari bangsa Indonesia yang terealisasikan dalam kehidupan beragama dan bernegara.17

4. PERATURAN PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT HUKUM KOLONIAL

Peraturan Perkawinan Campuran atau dalam bahasa aslinya Regeling op de Gemengde Huwelijken (6HR) adalah produk hukum kolonial, yang setelah kemerdekaan masih langsung berlaku bagi bangsa Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan ini dibuat untuk mengatasi terjadinya banyak perkawinan antara orang-orang yang tunduk pada hukum-hukum yang berlainan.18

14

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986, h.16-17.

15

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974.

16

Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974.

17

Asmin, Op.Cit., h.20.

18

Hasbullah Bakri, Pengaturan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1970, h.30-31.

(10)

Menurut peraturan ini yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan (Ps.1). hukum yang berlainan itu dapat terjadi karena disebabkan oleh perbedaan ke-warganegaraannya, perbedaan agamanya atau perbedaan asalnya (keturunan).19Menurut peraturan ini juga dusebutkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan.20

Pelaksanaan perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku terhadap suaminya, dengan tidak mengurangi persetujuan suami-istri seperti yang diisyaratkan.tetapi bila hukum suaminya itu tidak mengharuskan oleh siapa atau dihadapan siapa pelaksanaan perkawinan itu dilakukan, maka pelaksanaan perkawinan itu harus dilakukan dihadapan kepala suku dari suami atau wakilnya yang sah, dan bila kepala itu tidak ada, dihadapan kepala bagian kota, kepala desa atau kampung tempat pelaksanaan (Ps.6) perkawinan itu.21 Perkawinan tidak dapat di langsungkan sebelum terbukti hal-hal yang mengenai diri istri telah dipenuhi, yakni peraturan-peraturan atau persyaratan hukum yang berlaku terhadapnya (Ps.7). Apabila persyaratan-persyaratan tersebut tidak dapat diperoleh karena adanya penolakan dari pihak yang berwenang, maka atas permohonan pihak istri atau orang-orang yang berkepentingan, hakim dapat memutuskan apakah penolakan itu beralasan atau

19 Asmin, Op.Cit., h.79. 20 Ibid, h.80. 21 Asmin, Op.Cit., h.80.

(11)

tidak; jika tidak maka keputusan hakim itu dapat sebagai pengganti surat keterangan yang dimaksud.22

Demikian isi pokok-pokok peraturan perkawinan campuran, yang dalam praktiknya ternyata mengundang berbagai persoalan terutama mengenai perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama. Surat-surat keterangan yang dibutuhkan oleh calon istri untuk persyaratan perkawinan campuran ternyata tidak mudah untuk mendapatkannya. Misalnya bila seorang perempuan Islam hendak kawin dengan laki-laki non Islam, biasanya petugas pencatat nikah bagi orang Islam (penghulu) setempat sangat keberatan untuk mengeluarkan surat keterangan yang dibutuhkan calon istri tersebut. Sebab bila petugas itu mengijinkan, dianggap ia telah memberikan izin perkawinan yang oleh agama Islam dilarang. Dalam hal demikian, biasanya akan berlanjut ke pengadilan, dan pada umumnya hakim pengadilan membenarkan calon mempelai. Dengan demikian tidak ada halangan bagi calon mempelai tersebut melaksanakan perkawinan campuran. Namun perkawinan demikian seringkali menimbulkan polemik berkepanjangan, dan bahkan menimbulkan protes keras dikalangan umat Islam.23

III. PEMBAHASAN

1. Keabsahan Perkawinan Menurut UU Perkawinan

Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila semua syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam UU Perkawinan dapat terpenuhi secara kumulatif. Artinya apabila salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu perkawinan yang sah.

22

Ibid.

23

(12)

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan meliputi syarat materiil maupun formil. Syarat-syarat materiil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai; sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tatacara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. Syarat materiil itu sendiri ada yang berlaku untuk semua perkawinan (umum) dan ada yang berlaku hanya untuk perkawinan tertentu saja.24

a. Syarat-syarat materiil yang berlaku umum25

Syarat-syarat yang termasuk ke dalam kelompok ini diatur dalam pasal dan mengenai hal sebagai berikut:

1.) Pasal 6 ayat (1); harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai; 2.) Pasal 7 ayat (1); usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan

wanita sudah mencapai 16 tahun;

3.) Pasal 9; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain (kecuali dalam hal yang diijinkan oleh Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4);

4.) Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975; mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu:

- 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian.

- 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia masih berdatang bulan.

- Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan kelamin.

24

Asmin, Op.Cit., h.22.

25

(13)

- Penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian.

Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ke-tidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya suatu perkawinan.

b. Syarat Materiil yang Berlaku Khusus26

Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.1/1974, yaitu mengenai larangan perkawinan antara dua orang yang:

a.) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b.) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping; c.) Berhubungan semenda;

d.) Berhubungan susuan;

e.) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

f.) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin;

26

(14)

g.) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4. (Pasal 9).

h.) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain (Pasal 10).

2.) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21 Tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal, ijin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup; bila itupun tidak ada, dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas; atau bisa juga ijin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut tidak ada atau tidak mungkin diminta ijinnya (Pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (5) ).

Mengenai syarat “persetujuan kedua calon mempelai” dan syarat harus adanya “ijin kedua orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun” sebagaimana diatur oleh Pasal 6, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan ke-percayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Jadi, syarat-syarat perkawinan sebagai yang diatur dalam Pasal 6 itu berlaku sebagai “lex generalis” terhadap syarat perkawinan menurut hukum agama sebagai “lex specialis” nya.

c. Syarat-Syarat Formil27

Syarat-syarat formil ini meliputi:

1.) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan;

27

(15)

2.) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan;

3.) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing;

4.) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Dari ketentuan-ketentuan diatas, jelaslah betapa besarnya peranan hukum agama dalam menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Kita melihat pula adanya hubungan saling melengkapi antara Undang-Undang Perkawinan Nasional dengan hukum perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi, UU Perkawinan merupakan pedoman dasar yang harus ditaati oleh warga negara dalam melangsungkan perkawinan yang sah di wilayah Indonesia.

2. Politik Hukum Pembentukan UU Perkawinan

Jika dilihat kembali proses pembentukan UU Perkawinan, terlihat betapa rumitnya proses kelahiran UU tersebut. Selama masa persidangan, banyak kritik, pendapat, dan harapan yang disampaikan oleh masyarakat kepada DPR, baik dilakukan melalui tulisan-tulisan di media massa. Polemik yang muncul pada garis besarnya berputar pada persoalan-persoalan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak kaum wanita.

Sebenarnya usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan itu sudah ada sejak lama, yakni sejak dibentuknya Panitia Penyelidik Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk (Panitia NTR) pada tahun 1950.28 Bahkan sebelum bangsa Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda pernah mengajukan rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan yang tercatat (tahun 1937) yang berlaku bagi orang Indonesia dan Timur Asing Bukan Tionghoa.29 Namun, semua usaha tersebut

28

Arso Sastro Atmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1981, h.9.

29

Maria Ulfah, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Penerbit Idayu, Jakarta, 1981,h.10.

(16)

baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan selalu saja mengalami kegagalan. Upaya kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan baru terwujud pada tahun 1974, yaitu dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 1974, yaitu dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa undang-undang ini berlaku untuk semua warga negara dan seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu, undang-undang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi golongan dalam masyarakat kita dan sekaligus juga telah meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional.30 Jadi, dapat disimpulkan bahwa politik hukum dari pembentukan UU Perkawinan ini adalah untuk menyeragamkan regulasi tentang Perkawinan ditengah keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

3. Perbedaan Agama Bukan Sebagai Penghalang Perkawinan

Menurut RUU Perkawinan tahun 1973 seperti disebut dalam Pasal 11 ayat (2), perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, agama/kepercayaan, dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.

Kalau ketentuan ini dibandingkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR (Peraturan Perkawinan Campuran) S.1898 No.158 seperti yang disebut dalam Bab II di atas, maka sebenarnya ketentuan yang menyebut bahwa perbedaan agama bukan sebagai penghalang perkawinan itu bukan merupakan hal yang baru, karena dalam Pasal 7 ayat (2) GHR juga disebut demikian, yaitu perbedaan agama, bangsa/asal, sama sekali bukan penghalang perkawinan.31

30

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986, h.16-17.

31

Taufiqurrohman Syauhuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2013,h.112-113.

(17)

Dimasukkannya kembali ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR itu dalam RUU Perkawinan itu, menyebabkan terjadinya perubahan pada pengertian perkawinan antara orang-orang berbeda agama termasuk dalam pengertian perkawinan campuran, maka sekarang, menurut RUU Perkawinan 1973, perkawinan demikian bukan termasuk dalam perkawinan campuran, sebab RUU Perkawinan 1973 sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 64, hanya mengenal istilah perkawinan campuran karena perbedaan kewarganegaraan.32

Jadi, berdasarkan beberapa alasan yang telah dikemukakan diatas, seharusnya perbedaan agama/kepercayaan bukanlah menjadi penghalang bagi warga negara untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk suatu keluarga.

4. Keabsahan Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Fungsi Negara

Konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi acuan dalam pembentukan peraturan lain dibawahnya, termasuk pengaturan terkait dengan perkawinan. Salah satu peraturan yang sudah terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan).

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal II Aturan Peralihan ditegaskan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan sistem hukum yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Makna yang tersirat dalam ketentuan tersebut adalah segala badan negara dan sistem hukum atau peraturan hukum yang ada dan pernah berlaku pada masa kolonial, masih bisa berlaku terus di negara Indonesia, dengan catatan, berlakunya itu tidak untuk selamanya, melainkan hanya untuk sementara waktu, yakni selama

32

(18)

belum diadakan badan negara dan sistem hukum atau peraturan hukum yang baru menurut UUD 1945.33

Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa perkawinan yang dilakukan antar agama seharusnya tetap dapat dilakukan. Di dalam hukum adat, perkawinan itu disamping harus dilakukan menurut tatacara dan syarat-syarat yang berlaku pada masyarakat tersebut, juga pengesahannya dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masyarakat yang bersangkutan.34

Salah satu putusan yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait dengan perkawinan antar agama yaitu pada tanggal 16 Februari 1955.35 Dalam hal seorang anak perempuan yang beragama Islam akan menikah dengan laki-laki beragama Kristen, berlakulah peraturan tentang Perkawinan Campuran dari Staatsblad 1898-158, yang dalam Pasal 7 ayat (3) menentukan bahwa dalam hal ini harus ada keterangan dari Kepala Kantor Urusan Agama ditempat, bahwa tiada halangan untuk perkawinan itu.

Setelah memahami duduk perkara dalam putusan MA diatas, maka dapat disimpulkan alasan hukum yang terkandung didalamnya yaitu negara ini dari dahulu sampai sekarang didiami oleh orang-orang yang berlainan agama dan kultur dan oleh karena itu berlainan hukum perkawinan, sementara Konstitusi menetapakan tentang kebebasan bagi warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan yang diyakininya. Selain itu, pengesahan perkawinan beda agama juga diperlukan agar tidak memperbanyak anak-anak yang tidak mempunyai orang tua yang sah menurut hukum, yang karena selain itu dari tidak terjamin hak nya atas

33

Taufiurrohman Syauhuri, Op.Cit., h.83.

34

Asmin, Op.Cit., h.11.

35

Gautama, Sudargo, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,h.363-369.

(19)

pemeliharaan warisan, terutama selama hidupnya mungkin sekali akan menderita penghinaan dalam pergaulannya.

Dalam peraturan perkawinan campuran, dalam pasal 6 ayat (1) dengan tegas disebutkan bahwa “perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku bagi pihak laki-laki, yang berarti bahwa bila perbuatan itu dipengaruhi oleh hukum agama-menurut keadaannya masing-masing pada satu waktu satu hukum agama yang tertentu dilakukan dan pada waktu lain hukum agama lain.”

Sehingga, bentuk penolakan yang berkaitan dengan perbedaan agama, nasionalitas, atau keturunan (Pasal 7 ayat (2)) tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, peraturan yang telah berlaku pada saat itu me-legal-kan perkawinan beda agama karena dipandang memiliki tujuan yang baik. Ketentuan yang mengesahkan perkawinan beda agama juga tidak melanggar HAM dari warga negara, melainkan untuk kepentingan dari anak-anak yang terlahir dari perkawinan beda agama agar mendapatkan status kedudukan yang sah dimata hukum.

Putusan MA selanjutnya dikeluarkan dengan Putusan Nomor 421/Pdt.P/2013/PN.Ska yang dikeluarkan pada tanggal 29 Agustus 2013. Putusan MA ini merupakan penetapan atas perkara perkawinan beda agama dengan pihak pemohon seorang wanita bernama Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik dengan seorang laki-laki bernama Nugroho Endro Prastowo yang beragama Kristen. Pengajuan permohonan ke MA didasarkan pada adanya penolakan dari Pengadilan Negeri Surakarta dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil terhadap pendaftaran perkawinan yang hendak dilakukan oleh para pihak pemohon.

Pertimbangan hukum terkait dengan perkara diatas diantaranya yaitu: Pemohon I Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik dan Pemohon II Nugroho

(20)

Endro Prastowo yang beragama Kristen yang masing-masing tidak berniat untuk melepaskan keyakinan agamanya.

Selanjutnya, dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila sudah dilakukan menurut tata cara hukum agamanya dan kepercayaannya itu dan kemudian dicatat oleh instansi yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975 pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa UU Perkawinan hanya berlaku bagi perkawinan antara 2 orang yang sama agamanya.

Regulasi lainnya yang terkait dengan perkara ini yaitu didalam Undang Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Hal ini tentunya didasari tujuan untuk melindungi HAM warga negara dan untuk menutupi kekosongan hukum karena belum adanya pengaturan yang secara rinci mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan serta untuk menghindari adanya penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama.

Pertimbangan lainnya juga didasarkan pada Putusan MA sebelumnya, yaitu Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang ijin perkawinan beda agama.

Berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dikemukakan diatas, maka sangat tidak manusiawi apabila permohonan Para Pemohon yang telah menunjukkan itikad baik untuk melangsungkan perkawinan harus ditolak hanya dengan alasan tidak ada hukum /undang-undang yang mengatur tentang perkawinan beda agama. Sejatinya, perkawinan antar agama secara obyektif

(21)

sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi mengingat letak geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis bilamana perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-undang.

Putusan MA lainnya terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama, yaitu melalui Putusan Nomor 3/Pdt.P/2015/PN.Llg yang dikeluarkan pada tanggal 27 Februari 2015 yang merupakan pelimpahan dari Pengadilan Negeri Lubuk Linggau. Dalam putusan ini tercatat perkara terkait perkawinan beda agama antara seorang laki-laki yang beragama Budha dengan seorang perempuan yang beragama Katholik. Tercatat bahwa para pemohon bernama Irawan Wijaya dan Claramitha Joan yang berkedudukan sebagai Pemohon I dan Pemohon II.

Dalam duduk perkara yang terlampir, dinyatakan bahwa pihak Pemohon I dan Pemohon II sebelumnya telah melaksanakan perkawinan disebuah Vihara. Dalam putusan ini juga menetapkan bahwa perkawinan keduanya dapat disahkan menurut hukum yang berlaku. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan hakim yang memutus perkara ini, dimana hakim ini bertindak sebagai hakim tunggal, yaitu Agus Windhana,SH.

Alasan hukum yang dapat disimpulkan berdasarkan duduk perkara dalam putusan ini yaitu dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tidak ditemukan aturan yang tegas mengatur mengenai perkawinan beda agama.

Selanjutnya, perkawinan yang terjadi diantara 2 orang yang berlainan status agamanya hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf a Undang-undang nomor

(22)

23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,dimana dalam penjelasan pasal 35 huruf a ditegaskan kalau yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Jo Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditegaskan bila suatu perkawinan sah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan diantara 2 orang yang sama agama dan keyakinannya. Perkawinan beda agama merupakan keadaan dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.

Disisi lain, dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 menentukan bahwa seluruh warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk melangsungkan perkawinan dengan sesama warga Negara sekalipun berlainan agama, sedangkan Pasal 29 UUD 1945 mengatur bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Selain itu, di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1), (2) pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan yang dilangsungkan atas kehendak bebas sesuai dengan ketentuan undang-undang.

(23)

Jadi, Berdasarkan beberapa putusan yang telah dikemukakan diatas, putusan MA tersebut memiliki banyak kesamaan, salah satunya adalah terkait dengan putusan hakim

yang seluruhnya menerima permohonan dari pihak pemohon agar dapat mencatatkan

pernikahan beda agamanya di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar diakui

oleh negara.

Dasar pertimbangan hakim yang memutus perkara perkawinan beda agama pun juga

hampir seluruhnya sama yaitu untuk melindungi HAM warga negara seperti terdapat didalam Undang Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Selain didasari tujuan untuk melindungi HAM warga negara dan untuk menutupi kekosongan hukum karena belum adanya pengaturan yang secara rinci mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan serta untuk menghindari adanya penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama.

Pada dasarnya, perkawinan merupakan suatu tindakan yang dilandasi dengan itikad baik, sehingga berbagai perbedaan yang menjadi halangan bagi terjadinya perkawinan dapat diatasi. Terlebih jika penghalang yang ada berkaitan dengan hal yang prinsipil dan menyangkut keyakinan atau kepercayaan yang tidak bisa dipaksakan, yaitu perbedaan agama.

Perkawinan beda agama sesungguhnya sangat wajar terjadi mengingat letak geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis apabila perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-undang.

(24)

Substansi yang terdapat dalam UU Perkawinan yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan berbagai permasalahan yang muncul dalam Perkawinan, terutama terkait dengan Perkawinan beda agama. Jadi, seharusnya negara segera memperbarui pengaturan terkait penikahan beda agama, bukan dengan melarang perkawinan beda agama. Karena jika ditarik kembali kepada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, selama belum ada substansi yang mengatur perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan saat ini.

Dengan hadirnya Putusan MA, dapat dilihat bahwa MA telah mengambil sikap tegas dalam mengatasi masalah terkait dengan perkawinan beda agama yang terjadi, yaitu dengan mengabulkan permohonan para pemohon agar perkawinan beda agama dapat dicatatkan dan disahkan dimata negara dan hukum.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa negara juga turut campur tangan /intervensi terkait dengan problematika perkawinan beda agama di Indonesia. Campur tangan negara terlihat dari sikap yang diambil oleh Lembaga Negara, terutama Lembaga Negara Yudikatif yaitu MA dan MK yang bertugas untuk menjalankan fungsi peradilan dan mengeluarkan produk hukum berupa putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama di masa mendatang.

5. Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat UUD 1945 Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Juli 2014 yang kemudian diperbaiki pada tanggal 17 September 2014. Permohonan pengajuan uji materi UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan UUD 1945. Permohonan ini diajukan oleh tiga (3) orang pemohon yaitu:

(25)

Damian Agata Yuvens (Konsultan Hukum), Rangga Sujud Widigda (Konsultan Hukum), dan Anbar Jayadi (Mahasiswa).

Dalam latar belakang pengajuan permohonan, dalam angka ke tiga (3) dan empat (4) secara garis besar dinyatakan bahwa ada implikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan diluar penafsiran negara atas masing-masing agama dan kepercayaannya. Atau dengan kata lain negara “memaksa” agar setiap warga negaranya untuk tunduk tunduk kepada suatu penafsiran yang dianut negara atas masing-masing agama/kepercayaannya. Serta pengaturan ini menyebabkan ke-tidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi negara.

Putusan yang dikeluarkan oleh ke sembilan (9) hakim konstitusi menyatakan bahwa menolak permohonan para pemohon. Pendapat Mahkamah terlihat pada poin [3.12.3] atau pada halaman ke 151 yang menyatakan bahwa: “….. Menurut Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD I945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.”

Jika Pendapat Mahkamah ini dibandingkan dengan substansi yang terdapat dalam UU Perkawinan, maka UU Perkawinan sudah tidak dapat lagi menampung segala kenyataan hidup yang ada dalam masyarakat, salah satunya belum diaturnya ketentuan mengenai perkawinan beda agama didalamnya. Sehingga memunculkan berbagai persoalan terkait dengan keberadaan perkawinan beda agama yang banyak

(26)

terjadi di Indonesia. Dan jika ditilik dari segi HAM, UU Perkawinan secara tidak langsung membatasi dan memaksa warga negaranya untuk melangsungkan perkawinan hanya dengan sesama agamnya saja. Jadi, Pendapat Mahkamah ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat dan juga melanggar HAM warga negaranya dalam hal ketentuan untuk melaksanakan perkawinan.

Pendapat berbeda (concurring opinion) seorang hakim MK yaitu Maria Farida Indrati, menyatakan bahwa memang benar Undang-Undang a quo telah menimbulkan berbagai permasalahan khususnya terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama, bahkan menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum karena ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum negara.

Namun demikian, permohonan para Pemohon agar Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai”, adalah tidak beralasan menurut hukum.

Penyelesaian terhadap permasalahan perkawinan beda agama dan kepercayaannya tidak akan tercapai hanya dengan menambahkan frase “sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan ke-percayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan akan membuat penafsiran yang lebih bervariasi.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat Konstitusi terkait dengan

(27)

keabsahan perkawinan beda agama dimata negara sesuai dengan ketentuan dalam UU Perkawinan yang tidak mengatur terkait perkawinan beda agama.

Dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berimplikasi pada belum adanya substansi yang mengatur terkait perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan, maka ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya, seperti hukum kolonial yang masih relevan seharusnya dapat berlaku dan menjadi dasar pertimbangan bagi negara dalam membuat regulasi terkait perkawinan beda agama di Indonesia. Dari rumusan tersebut di atas jelas terlihat bahwa pencatatan perkawinan merupakan faktor yang menentukan sah/tidaknya perkawinan, terlepas dari persoalan apakah perkawinan itu sendiri dilangsungkan menurut ketentuan hukum perkawinan masing-masing ataupun dilangsungkan menurut kedua ketentuan dimaksud, yaitu menurut undang-undang dan menurut hukum perkawinan masing-masing (hukum adat,hukum islam,HQCI, dan BW). Dengan begitu, selain perkawinan harus dilakukan di depan pegawai pencatat perkawinan dan dicatatkan, terdapat tiga pilihan hukum bagi sahnya perkawinan. Ini berarti bagi orang-orang Islam misalnya, terbuka kemungkinan melangsungkan perkawinan tanpa menggunakan hukum perkawinan Islam. Pencatatan perkawinan fungsinya hanyalah sekedar memenuhi kebutuhan administrasi.

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun berdasarkan uji sidik ragam tidak nyata, namun berdasarkan hasil perhitungan sidik regresi terlihat bahwa makin lama waktu aktivasi dan makin tinggi

Berdasarkan uraian singkat di atas dan dengan mengetahui akan pentingnya pemilihan strategi pembelajaran serta media yang digunakan dalam proses pembelajaran, maka peneliti

1.Merumuskan dan mengusulkan segala peraturan organisasi tentang system 1.Merumuskan dan mengusulkan segala peraturan organisasi tentang system dan mekanisme pelaksanaan program

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya terdapat nilai karakter yang termuat dalam motif batik perang antar suku, benteng pendem, dan kali

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terbaik hidrolisis enzim yaitu pada konsentrasi enzim selulase 5% v/v selama 12 jam pada hidrolisat asam sulfat 1%

Manfaat dari kerja sama yang saling ketergantungan antarsiswa di dalam pembelajaran kooperatif berasal dari empat faktor diungkapkan oleh Slavin (dalam Eggen dan Kauchak, 2012: