KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF
ISOVLAVON DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
DARI EKSTRAK ETANOLTEMPE BERBAHAN BAKU
KEDELAI HITAM
(Glycine soja), KORO HITAM (Lablab purpureus. L.), DAN
KORO KRATOK (Phaseolus lunatus. L.)
TESIS
Oleh :
Heny Rahma S.
NIM : S 900208011
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak
disintesa oleh tanaman. Namun, tidak sebagai layaknya senyawa metabolit
sekunder karena senyawa ini tidak disintesis oleh mikroorganisme. Dengan
demikian, mikroorganisme tidak mempunyai kandungan senyawa ini. Oleh
karena itu, tanaman merupakan sumber utama senyawa isoflavon di alam. Dari
beberapa jenis tanaman, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada
tanaman Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai (Pradana, 2008).
Isoflavon yang terdapat dalam biji kedelai dorman adalah dalam bentuk
isoflavon glikosida yaitu daidzin, genistin dan glisitin. Isoflavon glikosida tersebut
mempunyai aktivitas fisiologis yang rendah. Pawiroharsono (1995) dalam
Restuhadi (2001), menyatakan bahwa 99% isoflavon glikosida yang terdapat
pada biji kedelai, selama proses perendaman (dalam pembuatan tempe) dapat
terhidrolisis menjadi isoflavon aglukan dan glukosa. Isoflavon aglukan yang
mempunyai aktivitas fisiologis tinggi tersebut adalah genistein, daidzein, dan
glisitein, selanjutnya pada proses fermentasi kedelai rendam dengan kapang
Rhizopus oligosporus, daidzein dapat mengalami proses hidroksilasi sehingga menjadi senyawa faktor-2. Faktor-2 mempunyai aktivitas antioksidan dan
Salah satu aktivitas fisiologis yang menonjol dari isoflavon daidzein,
genestein, glisitein dan faktor-2 adalah aktivitas antioksidan. Antioksidan
didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan
mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang
dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas
(Kochhar dan Rossell, 1990).
Antioksidan pada isoflavon sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan
reaksi pembentukan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses
penuaan dini, mencegah penyakit degeneratif seperti aterosklerosis, jantung
koroner, diabetes melitus,dan kanker (Horwit, 1980 dalam Sukib, et al., 2002 ). Selama ini kita ketahui antioksidan yang digunakan sebagai pengawet
pada bahan makanan adalah antioksidan sintetik seperti Butylated
Hydroxyanisole (BHA), Butylated Hydroxytoluene (BHT), Propyl Gallat (PG) dan
Etylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA). Pemanfaatan zat antioksidan sintetik
dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi konsumen antara lain gangguan
fungsi hati, paru, mukosa usus, dan keracunan (Suryo dan Tohari, 1995). Untuk
itu perlu dicari alternatif lain untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu
cara adalah dengan mengganti pemanfaatan antioksidan sintetik dengan
antioksidan alami. Mengingat adanya kandungan isoflavon dalam kedelai yang
dapat berfungsi sebagai antioksidan, maka tempe kedelai dapat direferensikan
sebagai bahan baku sumber antioksidan alami. Disamping sebagai antioksidan,
isoflavon daidzein, genistein, glisitein dan faktor-2 juga mempunyai khasiat lain
diantaranya sebagai estrogenik (zat yang mirip estrogen), anti inflamasi, anti
tumor atau anti kanker, anti hemolisis, anti kontriksi (penyempitan) pembuluh
darah, anti kolesterol, menurunkan kadar trigliserida VLDL dan LDL serta
meningkatkan HDL (Pawiroharsono, 2001). Dengan demikian isoflavon dari
tempe kedelai selain berkhasiat sebagai antioksidan juga mempunyai khasiat
Pada saat ini tengah terjadi dilema dalam memproduksi bahan pangan
berbahan baku kedelai (termasuk tempe), karena harganya yang melambung
yaitu, dari Rp 2.500,00 ( tahun 2004) menjadi Rp 8.000,00 (tahun 2009) / kg.
Penurunan harga kedelai sudah tidak memungkinkan lagi karena saat ini kedelai
selain diperebutkan sebagai bahan pangan (food ), juga untuk pakan (feed).
Untuk itu perlu dicari alternatif lain, yaitu dengan menggali potensi bahan lokal
yang murah dan melimpah di Indonesia sebagai alternatif pengganti kedelai
sebagai sumber antioksidan alami khususnya isoflavon ( Retno, 2001)
Handayani dkk. (1996) menyatakan bahwa Indonesia mempunyai banyak
jenis legume yang beberapa diantaranya belum dimanfaatkan secara optimal.
Salah satu jenis legume yang cocok dibudidayakan di Indonesia dan dapat
berfungsi sebagai bahan pangan tetapi produk olahannya masih jarang
dikonsumsi yaitu koro hitam (Lablab purpureus), koro kratok (Phaseolus lunatus), dan kedelai hitam (Glycine soja).
Dalam rangka pengembangan senyawa antioksidan alami khususnya
isoflavon maka perlu dilakukan penelitian tentang optimasi produksi senyawa
antioksidan dari koro hitam, koro kratok, dan kedelai hitam dan produk tempenya
serta karakterisasi kandungan isoflavonnya. Dipilihnya koro hitam, koro kratok
dan kedelai hitam sebagai alternatif obyek penelitian sumber isoflavon karena
isoflavon merupakan metabolit sekunder yang banyak disintesis oleh tanaman
namun tidak disintesis oleh mikroorganisme. Koro hitam, koro kratok, dan kedelai
hitam merupakan spesies dari familia leguminoceae sehingga dimungkinkan
juga mengandung isoflavon seperti yang dijumpai pada kedelai.
Selama ini tempe kedelai yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah
tempe hasil fermentasi kedelai selama 48 jam. Lama waktu fermentasi tersebut
merupakan lama waktu fermentasi kedelai untuk menghasilkan tempe yang
paling optimum dari sisi cita rasa untuk dikonsumsi, tetapi lama waktu fermentasi
optimum belum diketahui. Kedelai hitam, koro hitam, dan koro kratok mempunyai
ukuran biji yang hampir sama dari ukuran biji kedelai, untuk itu perlu diteliti lama
waktu fermentasi untuk menghasilkan ekstrak antioksidan khususnya isoflavon
yang optimum. Penelitian ini akan difokuskan pada optimasi produksi senyawa
antioksidan khususnya isoflavon dengan variasi lama waktu fermentasi baik
pada biji kedelai dan produk tempenya maupun pada biji koro hitam, koro kratok
serta kedelai hitam dan produk tempenya.
Untuk memperoleh zat antioksidan alami, dapat dilakukan dengan cara
ekstraksi tanaman menggunakan pelarut organik seperti, heksana, benzena, etil
eter, kloroform, etanol atau metanol. Metanol 90 % merupakan pelarut optimum
untuk mengekstrak isoflavon dari kedelai, namun penggunaannya untuk skala
komersial masih perlu dikaji lebih lanjut karena bersifat toksik. Penelitian dengan
menggunakan pelarut etanol untuk ekstraksi diharapkan dapat mengganti
metanol untuk menghasilkan ekstrak antioksidan alami secara komersial, karena
kepolaran etanol mendekati metanol dan relatif tidak beracun (Ariani dan Hastuti,
2009). Untuk selanjutnya pada penelitian ini juga akan difokuskan pada ekstraksi
dengan menggunakan pelarut etanol.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Berapa lama waktu fermentasi yang optimum untuk menghasilkan ekstrak
etanol tempe berbahan baku Kedelai Hitam, Koro hitam dan Koro kratok
dengan aktivitas antioksidan yang optimum pada perlakuan fermentasi (0,
1, 2, 3, 4 hari) ?
2. Isoflavon jenis apa sajakah yang terkandung dalam tempe berbahan baku
koro hitam, koro kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya
3. Bagaimana aktivitas antioksidan tempe berbahan baku koro hitam, koro
kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya bila dibandingkan
dengan ekstrak etanol dari kedelai dan produk tempenya serta beberapa
antioksidan alami ( α-tokoferol, β-karoten, dan asam askorbat) maupun
antioksidan sintetis (BHT) ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah :
1. Mengetahui lama waktu fermentasi yang optimum untuk menghasilkan
ekstrak etanol tempe berbahan baku kedelai hitam, koro hitam dan koro
kratok dengan aktivitas antioksidan yang optimum pada perlakuan fermentasi
(0, 1, 2, 3, 4 hari).
2. Mengetahui Isoflavon jenis apa saja yang terkandung dalam tempe berbahan
baku koro hitam, koro kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya
berdasarkan variasi lama waktu fermentasi (0, 1, 2, 3, dan 4 hari)
3. Mengetahui aktivitas antioksidan tempe berbahan baku koro hitam, koro
kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya bila dibandingkan dengan
ekstrak etanol dari kedelai dan produk tempenya serta beberapa antioksidan
alami (α-tokoferol, β-karoten, dan asam askorbat) maupun antioksidan
sintetis (BHT).
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah :
1. Secara teoritis :
a. Mengetahui jenis-jenis kandungan senyawa isoflavon yang terdapat
dalam koro hitam, koro kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya
b. Mengetahui sejauh mana manfaat koro hitam, koro kratok serta kedelai
hitam dan produk tempenya sebagai sumber antioksidan alami.
c. Diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya
mengenai aktivitas antioksidan dan kandungan senyawa isoflavon dari
jenis legum lainnya.
2. Secara praktis :
a. Dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai kandungan
isoflavon dan aktivitas antioksidan dalam biji dan tempe koro hitam, koro
kratok serta kedelai hitam yang berguna bagi kesehatan
b. Sebagai bahan alternatif pengganti kedelai dan pengembangan produk
BAB
IITINJAUAN PUSTAKA A. LEGUMINOCEAE
Legume adalah tanaman dikotyl setahun dan tahunan; sebagian besar
legume sayuran dan legume bijian yang dibudidayakan adalah tanaman setahun.
Legum bijian, sering dikenal sebagai tanaman kacang bijian, adalah tanaman
serealia bijian terpenting kedua sebagai sumber pangan utama dunia (Rubatski
dan Yamaguchi, 1997).
1. Kedelai Hitam (Glycine soja)
Berdasarkan warna bijinya dikenal kedelai putih (Glycine max.) dan kedelai hitam (Glycine soja). Kedelai putih membutuhkan tanah yang lebih subur, serta memerlukan pengairan dan pemeliharaan lebih baik dari pada kedelai
hitam. Kedelai hitam umunya hanya digunakan untuk bahan baku kecap,
sedangkan kedelai putih untuk bahan baku tempe dan tahu serta makanan
lainnya (tauco dan lain-lain). Biji kedelai adalah hasil yang paling utama untuk
diambil dan dimanfaatkan (Yamaguchi dan Rubatski, 1997).
Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua
spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). Glycine max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC dan Jepang selatan, sementara Glycine soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia
tenggara. Tanaman ini telah menyebar ke Jepang, Korea, Asia Tenggara dan
Indonesia.
Menurut Tjitrosoepomo, G. (1996) kedudukan tanaman kedelai dalam
sistematik tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae Filum : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Glycine
Spesies : Glycine soja (L.)
( Martin dan Leonardo, 1962 dalam Tjitrosoepomo. G., 1996).
Kedelai termasuk keluarga kacang-kacangan yang berasal dari asia.
Kedelai ditanam lebih dari 5000 ribu tahun yang lalu dinegeri Cina. Dunia barat
baru mengenal kedelai pada tahun 1737. Namun, pada tahun 1905 dunia
mengenal kedelai berbentuk bulat panjang atau pipih dengan tinggi pohon sekitar
30-100cm. Amerika, Brazil, Cina dan Argentina adalah negara terbesar di dunia
penghasil kedelai. Indonesia sudah melakukan penanaman kedelai sejak tahun
1750 terutama di pulau Jawa dan Bali (Lamina, 1989).
Biji kedelai kaya akan protein dan lemak serta beberapa bahan gizi
penting lain, misalnya vitamin dan lesitin. Karena ini jugalah, kedelai banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan makanan, seperti tahu, tempe,
kecap, susu kedelai hingga tepung kedelai .
Secara morfologi kedelai hitam merupakan tanaman dikotil semusim
berkambium. Kedelai dapat berubah penampilan menjadi tumbuhan setengah
merambat dalam keadaan pencahayaan rendah. Kedelai, khususnya kedelai
putih dari daerah subtropik, juga merupakan tanaman hari-pendek dengan waktu
kritis rata-rata 13 jam. Ia akan segera berbunga apabila pada masa siap
berbunga panjang hari kurang dari 13 jam. Ini menjelaskan rendahnya produksi
di daerah tropika, karena tanaman terlalu dini berbunga.
Perilaku pembungaan berbeda-beda, mulai dari sangat tidak terbatas
hingga sangat terbatas. Saat berbunga bergantung pada kultivar dan dapat
beragam dari 80 hari hingga mencapai 150 hari setelah tanam. Bunga berwarna
putih agak ungu pucat, dan dapat menyerbuk sendiri. Polongnya, yang
berkembang dalam kelompok, biasanya mengandung 2-3 biji yang berbentuk
bundar atau pipih, dan sangat kaya akan protein dan minyak. Warna biji
berbeda-beda menurut kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Gambar 1. Tanaman kedelai hitam (www.wikipedia.org.com)
Kegunaan pangan umumnya berkorelasi dengan warna biji. Biji berwarna
hijau dan kuning diproduksi terutama untuk sayuran (biji yang dapat dimakan).
Kultivar berbiji besar warna kuning digunakan untuk membuat tahu. Umumnya,
kultivar berbiji kuning kecil kaya akan minyak dan memiliki kandungan protein
rendah, sedangkan kultivar berbiji hitam memiliki kandungan protein tinggi dan
dapat berkisar 15-25%, protein mencapai 50% dan kultivar tertentu mengandung
minyak hingga 25%. Polong kultivar minyak biji umumnya mengandung 1-2 biji,
sedangkan kultivar sayuran biasanya 2-3 biji (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Gambar 2. Biji Kedelai Kuning mentah
Kedelai yang berkulit hitam saat ini sedang menjadi incaran peneliti gizi
dan kesehatan. Karena ternyata, di dalam kedelai hitam mengandung antosianin.
Antosianin tersebut sangat potensial mencegah proses oksidasi yang terjadi
secara dini dan menimbulkan penyakit degeneratif. Oksidasi LDL akan memicu
berkembangnya penyakit tekanan darah tinggi dan berkembangnya penyakit
jantung koroner, stroke dan beragam penyakit berbahaya lainnya (Astuti, 1995). Gambar 3. Biji Kedelai hitam mentah
Antosianin dari kulit kedelai mampu menghambat oksidasi LDL kolesterol,
dengan rajin mengonsumsi tempe dan produk olahan kedelai hitam sebanyak
150 gram/ hari mampu menurunkan kadar kolesterol. Alangkah sayangnya jika
selama ini masyarakat hanya mendengar manfaat antosianin di dalam buah
blueberry. Padahal kenyataannya, kandungan antosianin di dalam kedelai hitam
lebih besar dibandingkan blueberry.
Selain mampu menghambat oksidasi LDL, kandungan flavonoid yang
dimiliki kedelai hitam dapat berfungsi sebagai antikanker. Kandungan
flavonoid,banyak ditemukan dalam buah-buahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian.
Tidak hanya berfungsi sebagai antioksidan, kedelai hitam mampu mengurangi
gejala- gejala menopause pada wanita. Karena struktur kedelai mirip dengan
struktur hormon estrogen. Salah satu senyawa yang menyerupai estrogen yang
terdapat di dalam tanaman adalah isoflavon. Di samping itu, kedelai hitam dapat
menghambat penuaan dini pada wanita jika dikonsumsi secara rutin. Olahan
kedelai hitam memang tidak semenarik kedelai kuning. Misalnya, olahan kedelai
hitam menjadi tahu akan berwarna abu-abu. Sehingga tidak jarang produk olahan
kedelai hitam malah dihindari konsumen (http://wikipedia.org)
2. Koro Hitam (Lablab purpureus)
Tanaman yang hampir mirip dengan kedelai hitam ini sering disebut
dengan kacang India atau kacang Mesir. Warna yang mirip dengan kedelai hitam
tetapi lebih legam daripada kedelai hitam dan bentuk yang sedikit lebih besar,
kurang banyak dimanfaatkan oleh para pengguna jenis legume, karena tekstur
yang keras dan berkulit tebal.
Kedudukan tanaman Koro hitam dalam sistematik tumbuhan (taksonomi)
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Lablab
Species : Lablab purpureus ( Martin dan Leonardo, 1962 dalam Tjitrosoepomo, 1996).
Secara morfologi tanaman ini adalah tanaman tahunan berumur pendek,
tetapi terutama ditanam sebagai tanaman setahun untuk menghasilkan polong
yang dapat dimakan. Tanaman ini tumbuh baik mulai dari ketinggian permukaan
laut hingga dataran tinggi (2200 m) dan di wilayah dengan curah hujan rendah
dan suhu tinggi, serta toleran terhadap genangan. Tanaman koro hitam memiliki
pola pertumbuhan merambat dengan panjang batang jalar mencapai 6-10 cm jika
dilanjari. Daun trifoliatnya besar (15 cm), berbentuk mirip belah ketupat dan
berperan dalam memproduksi biomassa dalam jumlah besar.
Bunga berwarna putih, merah jambu, atau ungu kebanyakan menyerbuk
sendiri. Polong berwarna hijau atau ungu berbentuk rampin pipih, oblong dan
sering melengkung. Panen dilakukan ketika polong mencapai panjang 5-10 cm,
dan sebelum biji matang. Polong mengandung tiga hingga enam biji kecil bundar
matang sempurna dalam waktu 3-5 bulan.
Warna biji biasanya putih atau hitam tetapi kadang-kadang ditemukan
juga warna coklat kemerahan dan berbintik-bintik, semuanya memiliki hilum
(pusar biji)putih, panjang dan terlihat jelas. Kultivar berbiji putih mengandung
glukosida sianogenik dan penghambat tripsin dalam jumlah kecil sehingga tidak
beracun sedangkan kultivar berbiji gelap mengandung kedua senyawa tersebut
dalam jumlah besar. Polong tanaman koro hitam mengandung 4-5% protein. Biji
kering memiliki kandungan karbohidrat 50-60% dan protein 20-25% (Rubatzky
dan Yamaguchi, 1997).
Gambar 5. Koro hitam mentah
Tanaman dan biji koro hitam belum begitu banyak ditemukan kegunaan
dan manfaatnya, karena tanaman dan biji koro hitam hanya digunakan sebagai
campuran sayur bagi masyarakat pedesaan.
3. Koro Kratok (Phaseolus lunatus)
Budidaya tanaman ini tersebar luas, mulai dari wilayah utara Brazil hingga
menjadi tanaman kacang pangan pokok penting di beberapa wilayah afrika dan
asia Tenggara. Peninggalan koro kratok berbiji kecil yang ditemukan di Amerika
Tengah telah berumur sekitar 2000 tahun. Tipe liar tanaman ini selanjutnya
ditemukan di Meksiko, Amerika Tengah dan seluruh wilayah Andes.
Kedudukan tanaman Koro hitam dalam sistematik tumbuhan (taksonomi)
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Phaseolus
Species : Phaseolus lunatus (Tjitrosoepomo, 1996).
Secara morfologi tanaman ini mempunyai biji agak berbentuk bulan,
panjang polong oblong yang agak melengkung berkisar antara 5 hingga 15 cm
dengan lebar 2-3 cm. Sebagian besar kultivar biasanya mengandung 2-4 biji,
walaupun ada yang berisi hingga 6 biji. Polong kultivar tertentu gemuk; yang lain
agak ramping. Biji besar pipih dan oblong pada tipe tanaman tertentu memiliki
panjang hingga 3 cm. Tipe biji yang lain juga pipih, tetapi agak bundar dan
panjangnya sekitar 1 cm; permukaan biji kedua tipe ini rata.
Kultivar yang umum ditanam memilki warna kulit biji hijau muda atau
putih; yang lain dapat berwarna merah, ungu, coklat, atau hitam. Dua kotiledon
daun biji besar merupakan bagia terbesar dari volume biji. Biji tipe liar memiliki
kandungan glukosida sianogenik tinggi dan harus direndam sebelum atau selama
pemasakan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Lima
Gambar 7. Biji koro kratok yang masih muda (www.wikipedia.org.com)
Kandungan gizi biji koro kratok dalam 100 gram adalah protein 14,66g;
serat fiber 13,16g; folate 156,23g; zat besi 4,49mg; phosphor 208,68mg;
magnesium 80,84mg dan vitamin B1 (thiamin) 0,30mg ( Larco, 2001).
Kandungan gizi koro kratok dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kandungan beberapa zat biji koro kratok per 100 gram Zat Gizi Kandungan
Protein 14.66 g Serat pangan 13.16 g Vitamin B1 (thiamin) 0.30 mg Zat besi 4.49 mg Copper 0.44 mg Phosphor 208.68 mg Magnesium 80.84 mg Mangan 0.97 mg Potassium 955.04 mg Folate 156.23 mcg Tryptophan 0.17 g
Sumber : Larco Hoyle, Rafael 2001.
B. TEMPE
Tempe secara luas dikenal sebagai makanan khas Indonesia, dan sangat
digemari oleh masyarakat Jawa. Ada berbagai macam tempe di Indonesia seperti
misalnya tempe gembus dibuat dari ampas tahu, tempe lamtoro dibuat dari biji
lamtoro, tempe benguk dibuat dari biji koro benguk, tempe koro dibuat dari koro,
tempe bongkrek dibuat dari ampas kelapa, tempe gude dibuat dari kacang gude
paling banyak digemari masyarakat adalah tempe kedelai. Tempe dibuat dengan
proses fermentasi kedelai dengan kapang jenis Rhizopus.
Tempe merupakan makanan bergizi tinggi sehingga makanan ini
mempunyai arti strategis dan sangat penting untuk pemenuhan gizi. Lebih dari
itu, tempe mempunyai keunggulan-keunggulan lain, yaitu mempunyai kandungan
senyawa aktif; teknologi pembuatannya sederhana; harganya murah; mempunyai
citarasa yang enak; dan mudah dimasak
Tempe bermutu tinggi bila kacang terlekat dengan jalinan miselium putih.
Jika proses fermentasi dibiarkan terlalu lama, spora hitam mungkin terbentuk di
permukaan. Spora tersebut tidak berbahaya namun mempengaruhi kenampakan
dan penerimaan konsumen ( Anonima, 2008).
Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavour
spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji-bijian. Tekstur yang kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia
jamur yang menghubungkan antara biji-biji. Sedangkan flavour yang spesifik
disebabkan oleh terjadinya degradasi komponen-komponen dalam kedelai
selama fermentasi ( Kasmidjo, 1990 dalam Supriyadi, 1998).
1. Tempe Kedelai
Tempe tergolong sebagai makanan hasil fermentasi oleh jamur Rhizopus s.p. Tempe adalah produk fermentasi yang amat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan. Tetapi yang biasanya
dikenal sebagai tempe oleh masyarakat pada umumnya ialah tempe yang dibuat
dari kedelai (Astuti, 1995).
Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga
dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit
degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan
lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun
Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak
banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan
karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh
dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik
untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia),
sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur. Dibandingkan dengan
kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe.
2. Tempe Non Kedelai
Selain tempe berbahan dasar kacang kedelai, terdapat pula berbagai
jenis makanan berbahan bukan kedelai yang juga disebut tempe. Terdapat 2
golongan besar tempe menurut bahan bahan dasarnya, yaitu tempe berbahan
dasar Legume dan tempe berbahan dasar non-legume (Astawan M, 2003).
Tempe bukan kedelai yang berbahan dasar legume mencakup tempe
koro benguk (dari biji koro benguk (Mucuna pruriens, L.) berasal dari sekitar Waduk Kedungombo (Handayani, 1992), tempe gude (dari kacang gude/Cajanus cajan), tempe gembus dari ampas tahu/ampas gude (populer didaerah Lombok dan Bali), tempe kacang hijau (dari kacang hijau terkenal didaerah Yogyakarta),
tempe kacang kecipir (dari biji kecipir (Psopocaarpus tetragonolobus), tempe koro pedang (dari biji koro pedang Canavalia ensiformis, tempe lupin dari lupin,
Lupinus Angustifolius), tempe kacang merah (dari kacang merah, Phaseolus vulgaris), tempe kacang tunggak (dari kacang tunggak, Vigna unguiculata), tempe koro wedhus (dari biji koro wedhus, Lablab purpureus), tempe koro (dari koro kratok, Phaseolus lunatus banyak ditemukan di Amerika utara), dan tempe menjes (dari kacang tanah dan kelapa terkenal disekitar Malang).
Tempe berbahan dasar non-legume mencakup tempe mungur (dari biji
kelapa yang terkenal didaerah Banyumas, tempe jamur merang (dari jamur
merang) (Astawan, 2003)
Kacang gude, komak, dan koro benguk, dan koro pedang biji
putih/biji merah dapat dibuat tempe. Masyarakat Trenggalek (Jawa Timur)
biasa mengkonsumsi tempe koro pedang. Biji kacang-kacangan tersebut
memiliki kulit yang keras sehingga sebelum dibuat tempe perlu pengupasan kulit
biji secara mekanis.
Komak, koro benguk dan koro pedang mengandung senyawa beracun,
sehingga dalam pembuatan tempe, setelah kulit biji dikupas, direbus dengan
air yang dicampur abu kapus dan selanjutnya biji direndam dalam air dua kali
selama selama dua hari dua malam agar kandungan racun dapat dinetralkan.
Perendaman terbaik bila dilakukan pada air yang mengalir, bila hal tersebut tidak
dapat dilakukan (air tetap), maka air perlu sering diganti agar terhindar dari
aroma kurang sedap. Proses selanjutnya, termasuk jenis ragi yang digunakan
relatif sama dengan pembuatan tempe kedelai (http://id.wikipedia.org).
3. Fermentasi Tempe
Fermentasi adalah proses kimiawi yang komplek sebagai akibat
pertumbuhan maupun metabolisme mikroba yang merubah bahan-bahan mentah
yang murah bahkan tidak berharga menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi
tinggi. Proses kimiawi yang terjadi disebabkan oleh enzim dan enzim yang
berperan dihasilkan oleh mikroorganisme atau telah ada dalam bahan pangan.
Fermentasi bahan makanan menyebabkan perubahan fisik dan kimia yang
menguntungkan seperti flavour, aroma, tekstur, daya cerna dan daya simpan
(Astuti, 1995).
Fermentasi merupakan suatu proses oksidasi karbohidrat anaerob
(Samson et al., 1988) dan merupakan hasil kegiatan beberapa jenis organisme, yaitu beribu-ribu jenis bakteri, khamir, dan kapang yang telah dikenal. Jadi
terhadap berhasil atau tidaknya proses fermentasi bersangkutan.
Hasil fermentasi merupakan bagian penting dalam menu makanan dunia.
Fermentasi mengakibatkan perubahan karbohidrat dari bahan pangan, tetapi
kerugian ini dapat tertutup oleh keuntungan yang diperoleh. Protein, lemak, dan
polisakarida dapat dihidrolisis sehingga bahan pangan hasil fermentasi dapat
lebih mudah dicerna. Fermentasi menyebabkan perubahan flavour yang
dipertimbangkan lebih disukai daripada bahan bakunya (Sutardi and Bucle,
1985).
Sifat-sifat bahan pangan hasil fermentasi ditentukan oleh mutu dan sifat-sifat asal
bahan pangan, perubahan yang terjadi sebagai hasil fermentasi mikroorganisme
dan interaksi yang terjadi diantara kegiatan-kegiatan tersebut dan zat-zat yang
merupakan pembentuk bahan pangan tersebut (Sutardi and Bucle, 1985).
Proses pengolahan tempe pada umumnya meliputi tahap pencucian,
perendaman bahan mentah, perebusan, pengulitan, pengukusan, penirisan dan
pendinginan, inokulasi, pemanasan, kemudian pemeraman 2-3 hari. Perendaman
mengakibatkan ukuran biji menjadi lebih besar dan stuktur kulit mengalami
perubahan sehingga lebih mudah dikupas. Perebusan dan pengukusan selain
menaikkan biji dimaksud untuk membunuh bakteri kontaminan dan mengurangi
zat antigizi. Penirisan dan pendinginan bertujuan mengurangi kadar air dalam biji
dan menurunkan suhu biji sampai sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur
(Samson, 1987).
Fujimaki (1968) melaporkan selama fermentasi terjadi perubahan
enzimatik yaitu bau dan rasa karena adanya aktivitas enzim protease. Selama
fermentasi miselia jamur yang berwarna putih akan menyelubungi permukaan
tempe. Jamur akan mengeluarkan enzim-enzim yang dapat memecah komponen
dalam bahan yaitu lemak, protein dan karbohidrat menjadi bahan yang lebih
Aktivitas mikroorganisme didalam proses pembuatan tempe secara
tradisional terutama terdapat 2 tahapan proses yaitu pada :
1) Proses Fermentasi Awal (Fermentasi I)
Proses perendaman dilakukan terhadap kedelai yang telah
direbus dan atau dikuliti selama semalaman (12 jam), pada temperatur
kamar (25-300C), dengan menggunakan air tanah atu air kran. Pada
proses ini terjadi proses fermentasi awal oleh bakteri pembentuk
asam-asam organik. Tujuan utama proses ini adalah untuk pengasam-asaman
kedelai. Untuk maksud pengasaman ini, maka pada proses perendaman
dilakukan inokulasi bakteri pembentuk asam yaitu dengan menambahkan
air ke dalam rendaman dari proses perendaman sebelumnya, sehingga
tahapan ini disebut merupakan proses fermentasi I. Dengan kondisi
demikian (12 jam perendaman) terjadi proses pembentukan asam-asam
organik oleh bakteri pembentuk asam/pengasaman. Sedangkan pada
koro proses perendamannya 3 x 24 jam untuk menghilangkan senyawa
sianida (HCN) (Handayani, 1992).
2) Proses Fermentasi Utama (pemeraman)
Mikroorganisme yang berperan utama didalam pembuatan tempe adalah
kapang Rhizopus oligosporus. Aktivitas fisiologis kapang pada proses fermentasi tempe dimulai sejak diinokulasinya inokulum (ragi tempe) pada
kedelai yang telah siap difermentasikan yaitu kedelai dan berbagai jenis
koro masak yang telah yang telah dikuliti dan ditiriskan. Spora kapang
tersebut mulai tumbuh berkecambah dengan membentuk benang-benang
hifa yang makin tumbuh memanjang membalut dan menembus biji
koteledon kedelai. Apabila benang-benang tersebut telah sedemikian
padat, maka terbentuklah tempe yang kompak, putih dan dengan aroma
khas tempe. Secara keseluruhan tahapan ini disebut sebagai proses
4. Kapang Tempe
Mikroorganisme yang berperan utama di dalam pembuatan tempe adalah
kapang Rhizopus sp. Didalam klasifikasi, kapang ini digolongkan ke dalam genus
Rhizopus, familia Mucoraceae, ordo Mucorales, subklass Zygomicotina, dan klass zygomycetes (Hesseltine, 1985).
Kapang yang tergolong dalam genus Rhizopus sp. ditandai dalam sel vegetatif yang berupa benang yang disebut hifa/misellium yang membentuk
stolon-stolon (semacam ruas/buku) yang dilengkapi dengan rhizoid (mirip akar)
yang tumbuh bercabang-cabang masuk kedalam substrat. Pada tempat
tumbuhnya rhizoid terdapat sporangiospora yang tumbuh mengarah keudara
(berlawanan arah dengan rhizoid) dan dari tempat inilah terbentuk spora didalam
spora didalam suatu sporangium. Kapang jenis Rhizopus sp. mempunyai sifat tumbuh cepat dan membentuk koloni yang terdiri dari benang-benang misellia.
Hesseltin (1966 dalam Pawiroharsono, 1995), menambahkan bahwa
aktivitas fisiologis kapang pada proses fermentasi tempe dimulai sejak
diinokulasikanya inokulum (ragi tempe) pada kedelai yang telah siap
difermentasikan yaitu kedelai masak yang telah dikuliti dan ditiriskan. Spora
kapang tersebut mulai tumbuh berkecambah dengan membentuk
benang-benang hifa yang makin tumbuh memanjang membalut dan menembus biji
kotiledone kedelai. Apabila benang-benang tersebut telah sedemikian padat
Rhizopus sebagai kapang pemeran utama dalam proses pembuatan tempe, jenis kapang ini telah terbukti dapat memfermentasikan kedelai dan
membentuk tempe secara sempurna. Waktu yang dibutuhkan sampai terbentuk
tempe secara sempurna 24-36 jam (Samson et al., dalam Sutardi, 1988)
Selama proses fermentasi berlangsung, kedelai berubah menjadi tempe
dan perubahan tersebut pada dasarnya dapat dibedakan sebagai perubahan
secara fisik dan secara kimia. Perubahan sifat fisik tempe dibandingkan dengan
kedelai antara lain, bertekstur kompak, warna putih dengan aroma khas tempe.
Perubahan secara kimia ditandai dengan terjadinya hidrolisis senyawa-senyawa
komplek (protein, karbohidrat, lemak) menjadi senyawa yang lebih sederhana
dan mudah dicerna.
Disamping itu masih terdapat berbagai senyawa baru yang disintesis
selama fermentasi yang bermanfaat untuk kesehatan seperti asam lemak tidak
jenuh, isoflavon faktor II (Hesseltin, 1966 dalam Pawiroharsono, 1995).
C. ISOFLAVON
Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak
disintesis oleh tanaman. Namun, tidak sebagai layaknya senyawa metabolit
sekunder karena senyawa ini tidak disintesa oleh mikroorganisme. Dengan
demikian, mikroorganisma tidak mempunyai kandungan senyawa ini. Oleh
karena itu, tanaman merupakan sumber utama senyawa isoflavon di alam. Dari
beberapa jenis tanaman, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada
tanaman Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai. Pada tanaman
kedelai, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji kedelai,
khususnya pada bagian hipokotil (germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman.
Sebagian lagi terdapat pada kotiledon yang akan menjadi daun pertama dari
tanaman (Pradana, 2008).
Mengingat berbagai potensi kedelai sebagai sumber gizi dan senyawa
aktif serta prospeknya untuk dikembangkannya produk-produk baru, kedelai
banyak disebut sebagai “The golden bean, the miracle bean, food for the future”.
(Pradana, 2008).
Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2--4 mg/g kedelai. Senyawa
isoflavon ini pada umumnya berupa senyawa kompleks atau konjugasi dengan
senyawa gula melalui ikatan glukosida. Jenis senyawa isoflavon ini terutama
adalah genistin, daidzin, dan glisitin (Pradana, 2008).
Sebanyak 99% isoflavon pada kedelai dalam bentuk glikosida (yang
berikatan dengan glikosa), yang terdiri dari 64% genistin, 23% daidzin, dan 13%
glisitin (Naim et al., (1974). Genestein dan deidzin serta konjugat glukosidanya berada dalam konsentrasi diatas tiga milligram per 1 biji kedelai (Walter, 1941).
Isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat dalam bentuk glikosida,
sedangkan yang dominan pada produk kedelai yang mengalami fermentasi
adalah aglikon (Coward et al., 1993). Bentuk glikosida dipertahankan oleh tanaman sebagai bentuk inaktif sehingga dibutuhkan sebagai antioksidan.
Bentuk aktif glikosida adalah aglukon, yang dihasilkan dari pelepasan glukosa
dan glikosida (Anderson et al., 1998).
Isoflavon kedelai dapat menurunkan resiko penyakit jantung
dengan membantu menurunkan kadar kolesterol darah. Protein kedelai
telah terbukti mempunyai efek menurunkan kolesterol, yang di percaya
karena adanya isoflavon di dalam protein tersebut. Studi epidemologi juga
telah membuktikan bahwa masyarakat yang secara teratur mengkonsumsi
makanan dari kedelai, memiliki kasus kanker payudara, kolon dan prostat
yang lebih rendah. Isoflavon kedelai juga terbukti, melalui penelitian in
vitro dapat menghambat enzim tirosin kinase, oleh karena itu dapat
menghambat perkembangan sel-sel kanker dan angiogenesis. Hal ini
tidak dapat tumbuh (Koswara, 2006).
Peranan isoflavon dalam membantu menurunkan osteoporosis juga
telah diteliti. Konsumsi protein kedelai dengan isoflavon telah terbukti dapat
mencegah kerapuhan tulang pada tikus yang digunakan sebagai model
untuk penelitian osteoporosis. Studi yang lain menunjukkan hasil yang
sama pada saat menggunakan genistein saja. Ipriflavone, obat yang
dimetabolisme menjadi daidzein telah terbukti dapat menghambat kehilangan
kalsium melalui urine pada wanita post monopouse (Koswara, 2006).
Produk kedelai yang mengandung isoflavon dapat membantu
pengobatan simptom monopouse. Pada wanita yang memproduksi
sedikit estrogen, isoflavon (phitoestrogen) dapat menghasilkan cukup
aktivitas estrogen untuk mengatasi symptom akibat monopouse, misalnya
hot flashes. Suatu penelitian menunjukkan bahwa wanita yang
mengkonsumsi 48 gram tepung kedelai per hari mengalami gejala hot flashes 40
% lebih rendah (Koswara, 2006).
Makanan yang terbuat dari kedelai mempunyai jumlah isoflavon yang
bervariasi, tergantung bagaimana mereka diproses. Makanan dari kedelai seperti
tahu, susu kedelai, tepung kedelai dan kedelai utuh mempunyai kandungan
isoflavon berkisar antara 130 –380 mg/100 gram. Kecap dan minyak kedelai
tidak mengandung isoflavon. Produk kedelai yang digunakan sebagai bahan
tambahan pangan, seperti isolat dan konsentrat protein kedelai mempunyai
kandungan isoflavon yang bervariasi, tergantung bagaimana proses
pengolahannya. Misalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan alkohol dalam proses ekstraksi menghasilkan kadar isoflavon yang
Tabel 2. Struktur Daidzin, Genistin dan Glisitin
Nama Senyawa Struktur
Genistin
Glisitin
Daidzin
2. Isoflavon Pada Tempe Kedelai
Pada kedelai mengalami berbagai perubahan pada proses pembuatan
tempe baik oleh proses fisik maupun proses enzimatik oleh adanya aktivitas
mikroorganisme. Keterlibatan mikroorganisme pada proses pembuatan tempe
O OH OH O O
O
OH
H
OH
H
OH
H
CH
2OH
H
OH O H3CO OO
O H
H
O H
H
H
O H
H
CH
2OH
O HOH2C H H OH H O H OHO
O OH O OH
terutama terjadi pada proses perendaman oleh bakteri-bakteri pembentuk asam
dan proses fermentasi oleh kapang khususnya Rhizopus oligosporus.
Sebagai akibat perubahan-perubahan tersebut tempe menjadi lebih enak,
lebih bergizi, dan lebih mudah dicerna. Salah satu factor penting dalam
perubahan tersebut adalah terbebasnya senyawa-senyawa isoflavon dalam
bentuk bebas (aglukon), dan teristimewa hadirnya Faktor-II, yang terdapat pada
tempe tetapi tidak terdapat pada kedelai, ternyata berpotensi tinggi (dibanding
dengan jenis isoflavon yang lainnya) sebagai antioksidan (Gyorgy dkk., 1964),
antihemolitik (Murata, 1985), penurun tekanan darah, anti kanker (Zilleken,
1986), dan sebagainya
Selama proses pengolahan, baik melaui fermentasi maupun proses
non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami biokonversi, terutama melalui
proses hidrolisis sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut
aglukan yang lebih tinggi aktivitasnya. Senyawa aglukan tersebut adalah
genistein, daidzein dan glisitein (Pawiroharsono, 2001). Struktur dan sifat kimia
daidzein, genistein, glisitein dan faktor-2 ditampilkan pada Gambar 8, 9, 10, dan
11.
Nama Kimia : Daidzein, 7,4’-dihidroksi isoflavon
Rumus Molekul : C15H10O4
Kelarutan : Tidak larut dalam air
Gambar 8. Struktur dan Sifat Kimia Daidzein (Ariani, 2009)
OH O O H O Daidzein
Nama Kimia : Genistein, 5,7,4’-trihidroksi isoflavon
Rumus Molekul : C15H10O5
Kelarutan : Larut dalam metanol dan etanol
Gambar 9. Struktur dan Sifat Kimia Genistein (Ariani, 2009)
Nama Kimia : Glisitein, 6-metoksi-7,4’-trihidroksi isoflavon
Rumus Molekul : C16H12O5
Kelarutan : Tidak larut dalam air
Gambar 10. Struktur dan Sifat Kimia Glisitein (Ariani, 2009)
Nama Kimia : Faktor-2 , 6,7,4’-trihidroksi isoflavon
Rumus Molekul : C15H10O5 OH OH O O H O Genistein OH O H O H3CO O Glisitein OH O H O H O O Faktor II
Kelarutan : Tidak larut dalam air
Gambar 11. Struktur dan Sifat Kimia faktor-2 (Ariani, 2009)
3. Metabolisme Isoflavon pada Proses Pengolahan Kedelai menjadi Tempe
Senyawa isoflavon merupakan salah satu komponen yang juga
mengalami metabolisme. Senyawa isoflavon ini pada kedelai berbentuk senyawa
konjugat dengan senyawa gula melalui ikatan -O- glikosidik. Senyawa isoflavon
aglukon ini dapat mengalami transformasi lebih lanjut membentuk senyawa
transforman baru. Hasil transformasi lebih lanjut dari senyawa aglukon ini justru
menghasilkan senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas biologi lebih tinggi.
Hal ini terlihat pada Faktor-II, yang mempunyai aktivitas antioksidan dan
antihemolisis lebih baik dari daidzein dan genistein. Selain itu, telah ditemukan
bahwa senyawa isoflavon lebih aktif 10 kali dari senyawa karboksikroman.
Faktor-II merupakan senyawa yang sangat menarik perhatian, karena
senyawa ini tidak terdapat pada kedelai dan hanya terdapat pada tempe.
Senyawa ini terbentuk selama proses fermentasi oleh aktivitas mikroorganisme.
Senyawa ini mula-mula ditemukan kembali oleh Gyorgy (1964) pada ekstrak
tepung tempe. Perkembangan selanjutnya terbukti bahwa Faktor-II tersebut pada
kedelai jumlahnya sangat kecil.
Setelah fermentasi, Faktor-II akan dibebaskan walaupun jumlahnya
sangat kecil. Faktor-II dipandang sebagai senyawa yang sangat prospektif
sebagai senyawa antioksidan (10 kali aktivitas dari vitamin A atau karboksi
kroman dan sekitar 3 kali dari senyawa isoflavon aglukon lainnya pada tempe)
serta antihemolitik. Dengan demikian, karakterisasi mikroorganisme transforman
Faktor-II perlu diteliti. Menurut penelitian Barz et al. (1993) biosintesis Faktor-II dihasilkan melalui demetilasi glisitein oleh bakteri Brevibacterium epidermis dan Micrococcus luteus atau melalui reaksi hidroksilasi daidzein.
Selama proses pengolahan, baik melaui fermentasi maupun proses
proses hidrolisis sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut
aglukan yang lebih tinggi aktivitasnya.
Senyawa isoflavon aglukan daidzein dan genistein dapat mengalami
transformasi lebih lanjut membentuk senyawa baru, yaitu faktor-2
(Pawiroharsono, 2001 ). Senyawa faktor-2 ini tidak dijumpai pada kedelai yang
tidak difermentasi (Ariani, 2001).
4. Manfaat Senyawa Isoflavon Pada Tempe Kedelai
Isoflavon pada tempe dapat mencegah aktivitas sel menjadi sel kanker,
tetapi juga dapat memperbaiki metabolisme hormon steroid, menurunkan
kolesterol dan trigleserida, serta melindungi sel-sel hati dari paparan senyawa
beracun. Selain itu Isoflavon juga dapat berfungsi untuk memperlancar sirkulasi
darah. Isoflavon mempunyai beberapa efek positif dari isoflavon adalah
antiadrenalin, yang membuat jantung bekerja lebih santai, di samping
antiperadangan serta mencegah ketidak teraturan denyut jantung
Khususnya isoflavon pada tempe yang aktif sebagai antioksidan, yaitu
Faktor-2, terbukti berpotensi sebagai anti-kontriksi (penyempitan) pembuluh
darah dan juga berpotensi menghambat pembentukan LDL (low density
lipoprotein). Dengan demikian, isoflavon dapat mengurangi terjadinya
arteriosclerosis pada pembuluh darah.
Zat yang terkandung dalam hasil olahan kedelai ini dapat berfungsi pula
untuk mencegah terjadinya kerusakan permukaan dinding pembuluh darah
jantung (koroner), tetapi sekaligus memperbaikinya. Termasuk pula mengikis
endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah koroner. Hasil olahan kedelai
lain seperti minyak kedelai, juga dapat menangkal kolesterol. Menurut Zilliken
(1987), Faktor-II merupakan senyawa isoflavon yang paling besar pengaruhnya,
karena itulah isoflavon menumbuhkan harapan cerah pada pencegahan dan
Antitumor atau Antikanker, Antivirus, Antikolesterol, Antialergi, berpengaruh pada
sistem Sirkulasi dan Mencegah Jantung Koroner, Membantu Produksi Hormon
Estrogen dan Mencegah Osteoporosis (Pawiroharsono, 1995)
D. ANTIOKSIDAN
Antioksidan dapat berasal dari dalam tubuh dan luar tubuh. Didalam
tubuh kita memiliki sistem enzym antioksidan yang bekerja secara simultan
mematabolisme radikal bebas sehingga tidak meninggalkan kerusakan pada
jaringan (Hodgson and Levi, 2000). Sementara itu jenis antioksidan yang lainnya
berasal dari luar tubuh, yaitu yang berasal dari makanan, atau komponen bahan
makanan (fitokimia) seperti fenol (Yang, et al dalam Sri Retno DA dan Wiji Astuti, 2009), karotenoid (Nara, et al, 2001), atau alkaloid (Schultz, et al, 1984).
1. Pengertian Tentang Antioksidan
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga
molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron
dari molekul atom sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme
tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran UV, zat kimiawi
dalam makanan dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas
bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut
menjadi nyata. Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas
adalah serangan jatung dan kanker ( Anonimb, 2008).
Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,
memperlambat, mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan
adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal
bebas dalam oksidasi lipid (Pratt, 1992, dalam Ardiansyah, 2007 ) .
Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari : (Pratt, 1992, dalam
Ardiansyah, 2007 ).
a. Senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen
makanan.
b. Senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses
pengolahan.
c. senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
dalam makanan sebagai bahan tambahan pangan.
Berbagai nutrisi yang mengandung antioksidan di antaranya adalah
semua biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran, hati, tiram, unggas,
kerang, ikan, susu dan daging (Destiutami, 2007 ).
Kumalaningsih (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga macam
antioksidan yaitu :
a. Antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang berupa enzim antara
lain superoksida dismutase, glutathione peroksidase, perxidasi dan katalase.
b. Antioksidan alami yang diperoleh dari tanaman atau hewan yaitu tokoferol,
vitamin C, betakaroten, flavonoid dan senyawa fenolik.
c. Antioksidan sintetik yang dibuat dari bahan-bahan kimia yaitu Butylated
Hroxyanisole (BHA), BHT, PG dan EDTA yang ditambahkan dalam makanan
untuk mencegah kerusakan lemak.
Atas dasar fungsinya antioksidan dapat dibedakan menjadi lima yaitu :
(Kumalaningsih, 2007)
a. Antioksidan Primer
Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas
baru karena ia dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang
berkurang dampak negatifnya sebelum sempat bereaksi.
Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap
radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi
kerusakan yang lebih besar. Contoh yang popular, antioksidan sekunder adalah
vitamin E, vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.
c. Antioksidan Tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan
jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk
kelompok ini adalah jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang
dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk
perbaikan DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA
pada penderita kanker.
d. Oxygen scavenger
Antioksidan yang termasuk Oxygen scavenger mengikat oksigen sehingga
tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.
e. Chelators / sequestrants
Mengikat logam yang mampu mengkatalis reaski oksidasi misalnya
asam sitrat dan asam amino.
Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama
merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen.
Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai
antioksidan primer. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu
memperlambat laju autooksidasi dengan mekanisme pemutusan rantai
autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon,
1990 dalam Ardiansyah, 2007).
Reaksi oksidasi lemak yang terjadi pada makanan atau bahan makanan
berlemak dapat dihambat dengan pemberian zat antioksidan. Pada umumnya zat
Hydroxyanisole (BHA), Butylated Hydroxytoluene (BHT), Propyl Gallat (PG) dan
Etylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA). Sementara itu penggunaan zat
antioksidan sintetik tertentu misalnya BHT dapat menimbulkan akibat buruk
terhadap kesehatan konsumen seperti gangguan fungsi hati, paru, mukosa usus
dan keracunan. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut adalah
mengganti zat antioksidan sintetik dengan zat antioksidan alami. Zat antioksidan
alami dapat diperoleh dari ekstrak bagian-bagian tanaman tertentu terutama yang
banyak mengandung senyawa-senyawa flavonoid yang tersusun dari
gugus-gugus fenol (Suryo dan Tohari, 1995).
Antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh antara lain adalah :
1. Superoksida Dismutase
Antioksidan ini merupakan enzim yang bekerja bila ada pembantunya
yaitu berupa mineral-mineral seperti tembaga, mangan yang bersumber pada
kacang-kacangan, padi-padian. Dengan demikian sangat diperlukan sekali
mengkonsumsi bahan tersebut di atas. Sayangnya kita lebih senang
mengkonsumsi bahan yang enak dimakan. Bagi orang yang mampu, kekurangan
mineral dapat dilakukan dengan meminum multivitamin dan suplemen mineral
tetapi bagi orang yang hidupnya sedang-sedang saja lebih baik mengkonsumsi
mineral dari tanaman karena banyak juga tanaman yang dapat menghasilkan
SOD antara lain brokoli, bayam, sawi dan juga hasil-hasil olahan seperti tempe.
2. Glutathione Peroksidase
Adalah enzim yang berperan aktif dalam menghilangkan H2O2 dalam
tubuh dan mempergunakannya untuk merubah glutathione (GSH) menjadi
glutathine teroksidasi (GSSG). Makanan yang kaya glutahione adalah kubis,
melindungi selaput-selaput sel. Senyawa ini merupakan tripeptida yang terdiri
dari asam amino glisin, asam glutamat dan sistein.
3. Katalase
Enzim katalase di samping mendukung aktivitas enzim SOD juga dapat
mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi
oksigen dan air. Enzim-enzim tersebut di atas dalam bekerjanya sengat
membutuhkan mineral-mineral penyusun sebagai berikut : Copper (Cu), Zinc
(Zn), Selenium (Se), Manganese (Mn), Besi (Fe) .
Jenis penggolongan antioksidan yang lain adalah berdasarkan sumber
diperoleh senyawa tersebut. Penggolongan ini ada dua yaitu antioksidan sintetik
dan antioksidan alami.
1. Antioksidan sintetik
Antioksidan sintetik efektif dalam mencegah ketengikan pada minyak dan
bahan pangan berlemak (Kikuzaki dan Nakatani, 1993). Contoh antioksidan
sintetik adalah BHA, BHT, propil galat dan lain-lain. Namun menurut Chang et al. (1977), penggunaan BHT pada tikus percobaan dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh seperti paru-paru dan organ pencernaan. Oleh karena itu
penggunaan food additive (bahan tambahan makanan) lebih baik dibatasi
(Osawa dan Namiki, 1981 dalam Ariani dan Hastuti, 2008).
Penggunaan antioksidan tidak boleh berlebihan karena aktivitas
antioksidan akan hilang pada konsentrasi yang tinggi dan mungkin akan menjadi
prooksidan. Penggunaan antioksidan berlebihan akan menyebabkan senyawa
lebih bersifat sebagai akselerator daripada inhibitor dalam oksidasi lemak. Dalam
keadaan berlebih, antioksidan akan meningkatkan dekomposisi oksidasi lemak
dan pembentukan produk radikal.
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c)
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
makanan sebagai bahan tambahan pangan
Kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami
adalah berasal dari tumbuhan. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari
tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat
dimakan. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada
kayu, kulit kayu, akar, daun, bunga, biji, dan serbuk sari.
Kira-kira 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan
diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya,
sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar.
Sebenarnya flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau, sehingga pastilah
ditemukan pula pada setiap telaah ekstrak tumbuhan. Golongan flavonoid dan
senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan baik
didalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida.
Di samping itu ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber
antioksidan alami, seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian,
serealia, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini
mengandung jenis senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti
asam-asam amino, asam-asam askorbat, tokoferol, karotenoid, tannin, peptida, melanoidin,
produk-produk reduksi, dan asam-asam organik lain.
2. Antioksidan Pada Kedelai
Dalam suatu sistem biologis terdapat sistem pertahanan tubuh untuk
melawan atau meredam radikal bebas. Sistem pertahanan tubuh tersebut
senyawa yang dapat meredam dampak negatif radikal bebas maupun oksidan.
Dikenal ada empat tipe perlindungan (Mills, 1989), yaitu :
1. Senyawa yang berperanan dalam pencegahan radikal bebas, meliputi peranannya dalam mempertahankan struktur sel, pencegahan terhadap
terhimpunnya subtansi-subtansi yang kemungkinan membentuk radikal
bebas; pengendalian terhadap distribusi zat besi. Antioksidan yang
termasuk dalam kategori ini adalah katalase dan glutathion peroksidase.
2. senyawa yang berperan sebagai pembersih radikal bebas. Termasuk dalam golongan ini adalah vitamin E, vitamin C, betha karotin, glutathion
dan enzim superoksida dismutase.
3. Senyawa yang berperan dalam memperbaiki radikal bebas, terutama
dalam mempertahankan efektivitas glutathion.
4. Senyawa yang berperan dalam perbaikan asam nukleat seperti enzim
polimerase.
Kedelai, terkenal sebagai makanan antikanker. Dalam kedelai terdapat
sejumlah zat yang secara bersama-sama saling menguatkan dalam menghabisi
benih kanker. Senyawa inhibitor protease kedelai, yang punya nama khusus
inhibitor Browman-Birk, ampuh melumpuhkan berbagai jenis kanker. Daya bunuh
kanker tersebut dibantu serat kasar kedelai, yang kadarnya lumayan tinggi (2
gram per 100 gram)
Itulah sebabnya mengapa kedelai dipastikan mampu mencegah dan
membantu penyembuhan segala jenis kanker. Dari kanker usus besar, kanker
paru-paru, kanker kulit, kanker payudara, kanker prostat, hingga kanker darah
(leukimia). Namun kemampuannya menumpas kanker akibat membanjirnya
hormon adalah paling top, seperti kanker payudara pada wanita dan kanker
prostat pada pria. Sebab genistein kedelai memiliki khasiat antihormon, terutama
antiestrogen, yang merupakan hormon seks pada wanita (Depkes 2004).
Di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk
isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan
antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi
pembentukan radikal bebas (Pawiroharsono, 1996).
Dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan
genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat
antioksidan faktor II yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan
dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya
proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan
Brevisbacterium epidermis. (Pawiroharsono, 1996).
Penuaan (aging) dapat dihambat bila dalam makanan yang dikonsumsi
sehari-hari mengandung antioksidan yang cukup. Karena tempe merupakan
sumber antioksidan yang baik, konsumsinya dalam jumlah cukup secara teratur
dapat mencegah terjadinya proses penuaan dini (Pawiroharsono, 1996).
Murata et.al., 1985 menemukan bahwa kadar ribovlavin, asam nikotinat, asam pantotenat dan piridoksin dalam tempe jauh lebih tinggi daripada dalam
kedelai yang tidak difermentasikan seperti terlihat dalam tabel 3 (Sumaatmojo,
1985).
Liu et.al, 1997 menemukan peningkatan kadar vitamin B12 , dihasiikan oleh bakteri clebsiela peneumonae , yang merupakan cemaran selama proses pembuatan tempe. Kadar vitamin B12 dalam tempe 3,9mcg per 100 gram tempe,
2600 kali kadar dalam kedelai. Vitamin lain yang meningkat jumlahnya adalah
asam folat (300%) dan biotin (50%) , sedangkan jumlah thiamin turun menjadi
58% (Sumaatmojo, 1985).
Fermentasi ternyata dapat menurunkan kadar asam phitat dalam biji
kedelai (54%).asam phitat adalah senyawa fosfor yg dapat mengikat mineral
(kalsium, besi, fosfor, magnesium, seng) sehingga tidak dapat diserap tubuh.
dihasilkan cendawan Rhizophus oligosporus, fosfornya dapat dimanfaatkan tubuh dan penyerapan mineral lainpun tidak terganggu (Sumaatmojo, 1985).
Tabel 3. kadar vitamin ( mg / g bahan kering) dalam biji kedelai dan tempe
VITAMIN KEDELAI TEMPE
Riboflavin 0,06 0,49
Asam nikotianat 0,90 4,39
Asam pantothenat 0,50 1,00
Piridoksin 0,08 0,35
Sumber : Sumaatmojo, 1985.
Berdasarkan dari tabel diatas, Sumaatmaja (1985) menegaskan bahwa riboflavin
meningkat 8 kali lipat pada tempe dibanding pada kedelai, juga pada asam
nikotianat meningkat 5 kali lipat , sedangkan asam pantothenat meningkat 2 kali
lipat, selain itu juga ditemukan peningkatan hampir 5 kali pada piridoksin.
E. UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
Berbagai metode uji aktivitas antioksidan telah digunakan untuk
mengetahui dan membandingkan aktivitas antioksidan pada makanan. Beberapa
tahun terakhir, pengujian kapasitas absorbansi radikal oksigen telah digunakan
untuk menguji aktivitas antioksidan pada makanan, serum dan cairan biologis.
Metode ini memerlukan peralatan khusus dan keahlian teknis untuk analisanya.
Beberapa metode untuk uji aktivitas antioksidan antara lain Thiobarbituric
acid-reactive-substances (TBARS), 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH),
2,2’-azinobis-3-ethylbenzothiazoline-6-sulfonic acid ( ABTS), Oxygen Radical Absorbance
Capacity (ORAC), 2,2;-azobis-amidinopropane-dihydrochloride (AAPH) serta
reagen Folin-Ciocalteau. Berbagai metode yang digunakan untuk mengukur
aktivitas antioksidan pada bahan makanan dapat memberikan hasil yang
berbeda-beda tergantung pada jenis radikal bebas yang digunakan sebagai
Metode yang cepat, mudah dan tidah mahal untuk mengukur aktivitas
antioksidan pada makanan dan bahan makanan menggunakan senyawa radikal
bebas DPPH. DPPH secara luas digunakan untuk menguji kemampuan
senyawa-senyawa penyerang radikal bebas atau donor hidrogen dan untuk
menilai besarnya aktivitas antioksidan pada makanan. Metode DPPH dapat
digunakan untuk sampel padat ataupun cair dan tidak spesifik untuk senyawa
antioksidan tertentu tetapi pada keseluruhan senyawa antioksidan yang ada
dalam sampel. Uji aktivitas antioksidan secara keseluruhan membantu dalam
memahami fungsi zat-zat yang terkandung dalam makanan (Prakash, 2001 ).
Uji antioksidan dengan metode DPPH telah dikembangkan dalam
memaparkan aktivitas antioksidan menggunakan radikal bebas stabil DPPH.
Elektron bebas dalam radikal bebas DPPH memberikan panjang gelombang
maksimum 517 nm dan berwarna ungu. Peredaman warna ungu menjadi kuning
sebagai absorpsivitas molar radikal bebas DPPH berkurang dari 9660 menjadi
1640 ketika elektron bebas radikal bebas menjadi berpasangan dengan hidrogen
dari antioksidan yang menyerang radikal bebas membentuk DPPH-H tereduksi.
Sehingga peredaman warna DPPH sebanding dengan banyaknya elektron yang
tertangkap (Prakash, 2001 ).
DPPH (difenil pikril hidrazil hidrat) menghasilkan radikal bebas aktif bila
dilarutkan dalam alkohol. Radikal bebas tersebut stabil dengan absorpsi
maksimum pada panjang gelombang 517 nm dan dapat direduksi oleh senyawa
antioksidan (Prakash, 2001). Dalam metode ini larutan sampel ditambah larutan
0,2 mM DPPH (sebagai kontrol) dalam metanol, dibiarkan selama 30 menit pada
suhu kamar dalam keadaan gelap dan diukur absorbansinya pada
spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas antiradikal dapat
diperlihatkan pada sistem yang warnanya berubah dari ungu menjadi
Perubahan warna larutan menunjukkan aktivitas penangkapan radikal
bebas DPPH dan dapat diukur dengan perbedaan absorbansi yang dihasilkan
pada sampel dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas antiradikal dinyatakan dalam
bentuk persen penangkapan radikal DPPH dan dihitung dengan persamaan
(Yen dan Chen, 1995).
%
100
x
)
kontrol
absorbansi
sampel
absorbansi
1
(
n
antioksida
aktivitas
%
Nilai 0% berarti tidak mempunyai aktivitas antiradikal bebas atau
antioksidan, sedangkan nilai 100% berarti peredaman total dan pengujian perlu
dilanjutkan dengan pengenceran larutan uji untuk melihat batas konsentrasi
aktivitasnya.
F. KERANGKA BERPIKIR
Tempe kedelai merupakan salah satu bahan makanan berbahan dasar
kedelai yang merupakan hasil fermentasi dengan Rhizopus oligosporus.
Isoflavon yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya berada dalam
bentuk glukosida isoflavon (daidzin, genistin dan glisitin) dan dalam bentuk
aglukan isoflavon (daizein, genistein, glisitein dan faktor-2). Selama proses
pengolahan dan fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi biokonversi isoflavon
dari glukosida isoflavon menjadi aglukan isoflavon. Kandungan isoflavon dalam
tempe kedelai mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan dapat dimanfaatkan
sebagai antioksidan alami.
Salah satu manfaat isoflavon adalah sebagai antioksidan. Kandungan
isoflavon dalam kedelai dan hasil olahannya memiliki aktivitas antioksidan yang
disebabkan terhidrolisanya isoflavon glikosida menjadi aglukan isoflavon.
Aktivitas antioksidatif aglukan isoflavon lebih tinggi karena gugus hidroksi lebih
banyak dijumpai pada aglukan isoflavon. Analisis kandungan daizein, genistein,
glisitein dan faktor-2 dalam tempe kedelai dapat dilakukan dengan metode
HPLC.
Selain Kedelai, jenis legume yang dapat diolah menjadi tempe adalah
kedelai hitam, koro hitam dan koro kratok. Meski kandungan gizi tidak lebih dari
kedelai kuning, ketiga jenis legume tersebut dapat diolah menjadi tempe yang
mempunyai cita rasa seperti halnya tempe dari kedelai kuning.
Kedelai yang berkulit hitam saat ini sedang menjadi incaran peneliti gizi
dan kesehatan. Karena ternyata, di dalam kedelai hitam mengandung antosianin.
Antosianin tersebut sangat potensial mencegah proses oksidasi yang terjadi
secara dini dan menimbulkan penyakit degeneratif, penyakit jantung koroner,
stroke dan beragam penyakit berbahaya lainnya (Astuti , 1995).
Pada koro kratok kultivar yang umum ditanam memilki warna kulit biji
hijau muda atau putih; yang lain dapat berwarna merah, ungu, coklat, atau hitam.
Dua kotiledon daun biji besar merupakan bagia terbesar dari volume biji. Biji tipe
liar memiliki kandungan glukosida sianogenik tinggi dan harus dilindikan
sebelum atau selama pemasakan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Pada koro hitam kultivar berbiji putih mengandung glukosida sianogenik
dan penghambat tripsin dalam jumlah kecil sehingga tidak beracun sedangkan
kultivar berbiji gelap mengandung kedua senyawa tersebut dalam jumlah besar.
Polong tanaman koro hitam mengandung 4-5% protein. Biji kering memiliki
kandungan karbohidrat 50-60% dan protein 20-25% (Rubatzky dan Yamaguchi,