• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGKAYAAN ROTIFER DENGAN VITAMIN C TERHADAP LARVA UDANG VANNAMEI Littopenaeus vannamei. Oleh : Septiyulizan MS C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENGKAYAAN ROTIFER DENGAN VITAMIN C TERHADAP LARVA UDANG VANNAMEI Littopenaeus vannamei. Oleh : Septiyulizan MS C"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGKAYAAN ROTIFER DENGAN VITAMIN C

TERHADAP LARVA UDANG VANNAMEI

Littopenaeus vannamei

Oleh : Septiyulizan MS

C14101030

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

PENGARUH PENGKAYAAN ROTIFER DENGAN VITAMIN C

TERHADAP LARVA UDANG VANNAMEI Littopenaeus vannamei

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, 2 Januari 2006

SEPTIYULIZAN MS C14101030

(3)

PENGARUH PENGKAYAAN ROTIFER DENGAN VITAMIN C

TERHADAP LARVA UDANG VANNAMEI

Littopenaeus vannamei

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan

Oleh : Septiyulizan MS

C14101030

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(4)

SKRIPSI

Judul skripsi : Pengaruh Pengkayaan Rotifer dengan Vitamin C Terhadap Larva Udang Vannamei Littopenaeus vannamei

Nama : Septiyulizan MS NRP : C14101030

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dedi Jusadi Dr. M Agus Suprayudi NIP : 131 788 590 NIP : 131 953 475

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP : 130805031

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih atas segala rahmat dan karunia dari Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Skripsi yang berjudul pengaruh pengkayaan Rotifer dengan Vitamin C Terhadap Larva Udang Vannamei Littopenaeus vannamei ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Dedi Jusadi dan Bapak Dr. M Agus Suprayudi selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya. Terima kasih pula diucapkan kepada Bapak Ir. A Musyafik, Ibu Ir. Fivi Najmushabah, Bapak Ir. Soebandriyo, Bapak Edi Poncolaksito A. Md dan seluruh karyawan PT CP Bahari atas kesempatan, bimbingan dan arahannya selama penulis melakukan penelitian. Tak lupa terima kasih juga kepada orang tua dan adik-adikku atas segala dukungan, pengertian dan kasih sayangnya selama ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Tim Penelitian CPB 2005 atas bantuan dan kerjasamanya, teman-teman BDP’38 dan sahabat-sahabatku atas motivasi dan kebersamaannya selama ini.

Seorang manusia selalu memiliki sisi kekurangan dan dengan segala keterbatasan sebagai seorang manusia pula penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak untuk kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi hasil penelitin ini.

Bogor, Januari 2006 Septiyulizan MS

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, 1 September 1983. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang lahir dari ayah Muslim Yusuf dan ibu Suryati. Penulis memulai pendidikan formal di TK YP PG Cinta Manis, Palembang tahun 1987. Kemudian dilanjutkan di SD YP PG Cinta Manis, Palembang pada tahun 1988. Pada tahun 1994-1998 penulis melanjutkan pendidikan formal di SLTP N 1 Tanjung Raja, Palembang dan SLTP N 8 Bandar Lampung. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SMU N 9 Bandar lampung pada tahun 1998 hingga tahun 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima di Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Baru IPB.

Selama kuliah penulis pernah aktif sebagai pengurus Kesekretariatan HIMAKUA 2003-2004. Pada tahun 2004 penulis melakukan kegiatan magang pembenihan Udang Windu di PT CP Bahari dan pembesaran Kuda Laut di Balai Budidaya Laut, Lampung.

Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengkayaan Rotifer dengan Vitamin C Terhadap Larva Udang Vannamei Littopenaeus vannamei”.

(7)

RINGKASAN

SEPTIYULIZAN MS. Pengaruh Pengkayaan Rotifer dengan Vitamin C

Terhadap Larva Udang Vannamei Littopenaeus vannamei. Dibimbing oleh Dr. Dedi Jusadi dan Dr. M Agus Suprayudi.

Udang vannamei (Littopenaeus vannamei) saat ini merupakan komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan informasi dari PT CentralPertiwi Bahari, ketika memasuki stadia zoea hingga zoea mysis, larva udang ini seringkali mengalami kegagalan moulting yang mengakibatkan kelangsungan hidup yang rendah, yaitu sekitar 40%-50% dari jumlah populasi awal tebar. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya asupan nutrien tertentu, seperti vitamin C. Vitamin C yang diberikan bersamaan dengan pakan buatan kemungkinan besar akan mengalami

leaching di air media pemeliharaan sebelum sampai ke larva udang. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan melakukan bioenkapsulasi rotifer (Brachionus rotundiformis) dengan vitamin C, mengingat sifat rotifer yang non selective filter feeder. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian rotifer yang diperkaya dengan vitamin C terhadap kelangsungan hidup, panjang total, waktu intermoult dan kecepatan perkembangan stadia larva udang vannamei.

Penelitian ini mengaplikasikan Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Tahap dalam penelitian ini terdiri dari penyediaan pakan, pemeliharaan larva dan pengamatan. Larva udang vannamei stadia naupli 6 dipelihara dalam 15 fiber volume 500 l yang diisi 300 l air laut dengan kepadatan ± 100 ind/l. Larva diberi pakan buatan CP Star 100, CP Spina, BP Eguci, Lanzy ZM dan vitamin C dengan frekuensi pemberian 6 x sehari. Sedangkan pakan alami berupa Chaetoceros gracillis dan Skeletonema costatum diberikan dengan frekuensi pemberian 4 x sehari. Mulai stadia zoea 2, larva udang diberi perlakuan yang berbeda, yakni : larva tidak diberi rotifer (K), larva diberi rotifer yang langsung dari kultur masal (R1), larva diberi rotifer yang diperkaya dengan 0 g (R2), 0,5 g (R3) dan 1 g vitamin C/10 l media pengkaya (R4).

Pengkayaan rotifer dengan vitamin C menyebabkan kandungan vitamin C tubuh rotifer meningkat dibandingkan yang tidak diperkaya, yakni mulai dari 26 hingga 64 µg/g bobot kering rotifer. Peningkatan ini menyebabkan kandungan vitamin C dalam tubuh larva udang juga meningkat, yaitu 17,9-20,9 µg/g bobot kering larva untuk R1, R2, R3 dan R4 sedangkan pada perlakuan K, tubuh larva mengandung 11,8 µg/g bobot kering larva. Kelangsungan hidup larva perlakuan R2 dan R3 adalah 81,85% dan 88,21% sedangkan perlakuan pada K, R1 dan R4 adalah 39,00%, 59,19% dan 61,34%. Rata-rata panjang total larva pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata, yaitu antara 3,00-3,31 mm. Begitu pula dengan waktu intermoult dan kecepatan perkembangan stadia larva, berturut-turut sebesar 2,45-2,82 hari untuk Z1-Z3, 3,70-4,52 hari untuk Z3-M3 dengan jumlah larva stadia PL1 pada akhir penelitian sebanyak 30,00%-70,00%.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………... i

DAFTAR GAMBAR….………... ii

DAFTAR LAMPIRAN……… iii

I. PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar belakang………... 1

1.2. Tujuan………... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 3

2.1. Biologi larva udang vannamei………... 3

2.2. Makanan dan kebiasaan makan larva udang vannamei……... 4

2.3. Biologi rotifera………... 5

2.4. Makanan dan kebiasaan makan rotifer………... 5

2.5. Nilai nutrisi rotifer………... 6

2.6. Sifat-sifat umum vitamin C………... 7

2.7. Peran vitamin C secara biologis………... 7

2.8. Kebutuhan, defisiensi dan hipervitaminosis vitamin C... 8

III. METODA... 11

3.1. Rancangan penelitian... 11

3.2. Penyediaan pakan 11 3.2.1 Kultur rotifer ... 11

3.2.2. Proses pengkayaan rotifer... 12

3.3. Pemeliharaan larva udang vannamei... 12

3.4. Pengelolaan kualitas air... 13

3.5. Pengamatan... 14

3.5.1. Kelangsungan hidup... 14

3.5.2. Panjang total larva... 14

3.5.3.Kecepatan perkembangan stadia dan waktu intermolt larva udang vannamei... 15

3.6. Analisa kimia... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 16

4.1. Hasil... 16

4.2. Pembahasan... 18

(9)

DAFTAR PUSTAKA...….………... 23

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.

Kisaran parameter kualitas air pemeliharaan larva udang

vannamei yang diukur selama penelitian... 13

Tabel 2.

Kadar vitamin C dalam rotifer dan tubuh larva setelah diberi

perlakuan pengkayaan vitamin C (µg/g bobot kering bahan)… 17

Tabel 3.

Stadia (%) larva udang vannamei di akhir

penelitian...

19

Tabel 4.

Waktu intermoult larva udang vannamei

(hari)... 19

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.

Panjang total (mm) PL 1 udang vannamei di akhir penelitian... 17

Gambar 2.

Kelangsungan hidup PL 1 udang vannamei (ind) di akhir

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jadwal pemberian pakan larva udang vannamei... 26

2. Data analisa kualitas air... 27

3. Analisa kimia... 31

4. Kandungan vitamin C dan kadar air tubuh larva udang vannamei dan rotifer... 32

5. Data panjang tubuh larva udang vannamei ... 33

6. Analisis ragam panjang total larva udang vannamei... 34

7. Data jumlah larva udang vannamei (ind)... 35

8. Data jumlah larva pada awal dan akhir perlakuan dan kelangsungan hidup larva udang vannamei... 36

9. Analisis ragam kelangsungan hidup larva udang vannamei... 37

10. Persentase harian larva(%) pada setiap stadia ... 39

11. Analisis ragam stadia PL1(%) larva udang vannamei ... 41

12. Waktu intermoult larva udang vannamei (hari)... 42 13. Data mikrobiologi tubuh dan air media pemeliharaan larva udang

vannamei... 43

(13)

I. PENDAHULUAN 1.1Latar belakang

Udang vannamei (Littopenaeus vannamei) saat ini merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting dalam kegiatan ekspor nonmigas di Pulau Jawa dan Provinsi Lampung. Salah satu perusahaan besar yang memasok kebutuhan benur udang ini adalah PT CentralPertiwi Bahari (PT. CP Bahari). Berdasarkan informasi dari hatchery PT CP Bahari (2005), larva udang vannamei hingga saat ini masih sering mengalami kendala kelangsungan hidup yang rendah pada saat larva berada di stadia zoea hingga zoea-mysis. Jumlah populasi pada stadia tersebut bisa mencapai 40-50% dari jumlah populasi awal tebar (naupli 6). Hal ini terjadi dikarenakan larva udang vannamei masih sering mengalami kegagalan dalam melakukan moulting (pengelupasan dan penggantian karapas) setiap kali berganti stadia.

Salah satu sebab kegagalan moulting mungkin dikarenakan kurangnya nutrien tertentu seperti vitamin C. Vitamin C sendiri diketahui dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan daya tahan tubuh larva udang. Irmasari (2002) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pemberian artemia yang diperkaya dengan 1 g ascorbyl palmitat/l air media dapat meningkatkan daya tahan tubuh, kelangsungan hidup dan pertumbuhan pasca larva udang windu. Kontara et al. (1997) melaporkan bahwa defisiensi vitamin C pada udang penaeid dapat dicirikan oleh pertumbuhan dan konversi pakan yang rendah, berkurangnya frekuensi moulting atau moulting yang tidak sempurna, penurunan ketahanan terhadap stress, sintesis kolagen, penyembuhan luka yang tidak sempurna dan mortalitas yang tinggi. Sementara itu juga, Merchie et al. (1997) melaporkan bahwa pertumbuhan yang baik bagi pasca larva udang windu adalah 20 mg

ascorbyl acid/kg pakan.

Di PT CP Bahari sendiri, pada stadia zoea hingga mysis, jenis-jenis pakan yang diberikan terdiri dari pakan alami berupa Chaetoceros sp. dan

Skeletonema sp., pakan buatan dan vitamin C dalam bentuk bubuk. Metode peningkatan nutrien berupa vitamin C masih kurang tepat dikarenakan vitamin C yang diberikan bersamaan dengan pakan buatan akan mengalami leaching selama berada di media pemeliharaan larva, sehingga memperkecil kesempatan larva

(14)

untuk memperoleh nutrien vitamin C tersebut. Vitamin C sendiri merupakan senyawa yang sangat mudah larut dalam air, tidak stabil, mempunyai sifat asam dan sifat pereduksi yang kuat (Combs, 1992).

Upaya pemberian vitamin C dapat dilakukan melalui metode bioenkapsulasi terhadap rotifer, mengingat sifat rotifer yang non selective filter feeder, ukurannya yang kecil dan dapat dimakan oleh zoea. Rotifer sendiri telah digunakan secara luas sebagai pakan larva udang dan ikan (Fukuhara, 1982; Omori dan Ikeda, 1989). McVey (1997) menyatakan bahwa rotifer memberikan hasil berupa peningkatan EPA, DHA dan vitamin, seperti vitamin C dan E. Dert (1992) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa rotifer yang diberikan ke dalam air laut setelah dikultur atau diperkaya tidak mempengaruhi kandungan ascorbic acidnya untuk jangka waktu 24 jam. Hal ini menandakan bahwa rotifer membawa kandungan nutrsinya hingga diberikan sebagai pakan kepada larva ikan. Menurut Merchie et al. (1997), pemberian pakan alami (Brachionus dan Artemia) yang telah diperkaya dengan ascorbic acid mampu meningkatkan ketahanan larva terhadap stress.

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengakayaan rotifer dengan vitamin C terhadap kelangsungan hidup, panjang total, waktu intermoult dan kecepatan perkembangan stadia larva udang vannamei (Littopenaeus vannamei)

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi larva udang vannamei

Pada L.vannamei yang termasuk golongan udang penaeid, larva akan mengalami perkembangan stadia melalui moulting dimana stadia awal saat ditebar dalam media pemeliharaan pembenihan, larva berada pada stadia naupli 6 (N6) yang dicirikan dengan adanya caudal setae pada masing-masing lobe sebanyak tujuh buah setae. Pada stadia ini, larva memilki karakteristik aktivitas renang sporadic dan mempunyai pigmentasi merah pada apendik renangnya. Stadia berikutnya adalah stadia zoea dimana larva akan berada pada stadia selama 3-4 hari, terdiri dari stadia zoea 1 (Z1), zoea 2 (Z2) dan zoea 3 (Z3). Pada stadia zoea larva dicirikan dengan perubahan radikal pada bentuk tubuh larva dan aktivitas renangnya. Tubuhnya akan bertambah panjang dari sebelumnya sekitar 1,00 mm, lebih aktif dan gerak renangnya kontinyu. Keberadaan apendig pakan menandakan bahwa larva mulai memiliki kemampuan mengambil makanan, dan ini merupakan karakter utama pada stadia ini.

Memasuki stadia mysis, sebagai stadia ketiga yang akan dilalui larva, pada stadia ini larva memiliki kemiripan dengan udang dewasa dan aktif dalam mengambil makanan berupa phytoplankton dan zooplankton. Selama stadia ini, larva akan mengalami perkembangan pleopod menyerupai kipas dengan fungsi sebagai alat lokomosi saat stadia post larva nantinya. Gerakan renangnya terbalik, dimana larva akan bergerak mundur dengan posisi ekor diatas dan kepala dibawah. Karakteristik utamanya adalah adanya perkembangan pleopod. Stadia ini juga terdiri dari tiga tahap, yaitu mysis 1 (M1), mysis 2 (M2) dan mysis 3 (M3).

Stadia terakhir larva di panti benih adalah pascalarva (PL) yang akan dimasuki larva yang berhasil melalui stadia mysis. PL memiliki kemiripan dengan udang dewasa, memiliki panjang total ± 4,5 mm. Kemampuan renangnya berubah, dimana pleopod sudah mulai berfungsi. PL yang masih muda masih bersifat pelagis partikular, hingga memasuki stadia PL sifat dominannya adalah bentik (McVey, 1997).

(16)

2.2 Makanan dan kebiasaan makan larva udang vannamei

Pasokan pakan yang nutriennya cukup merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sampai menjadi benih (Kudoh, 1983). Makanan alami merupakan makanan utama dan pertama yang harus diberikan kepada larva dalam suatu kegiatan pembenihan. Salah satu pakan alami yang sering diberikan dalam pembenihan udang adalah rotifera. Rotifer telah digunakan secara luas sebagai pakan larva udang dan ikan.

Vitamin merupakan zat esensial yang dibutuhkan larva udang untuk mentransformasi energi, tetapi vitamin tidak mensuplai energi. Vitamin juga sebagai komponen organik untuk mendukung pertumbuhan yang normal dan maintenance tubuhnya. Seperti halnya hewan lain, krustasea tidak dapat mensintesis vitamin sendiri. Merchie et al. (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik bagi pasca larva udang windu adalah 20 mg ascorbyl acid/kg pakan, sedangkan untuk ketahanan tubuhnya terhadap stress 2000 mg ascorbyl acid/ kg pakan. Berdasarkan bobot tubuh, FCR dan PER, kebutuhan optimum larva udang penaeid pada umumnya akan vitamin C sebesar 200-250 mg/100 g bobot kering pakannya (McVey, 1997).

Menurut Zauierdo, Watanabe, Takeuchi, Arakawa dan Kitajima (1989) bahwa ketersediaan omega tiga (n3-HUFA) dalam pakan akan meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan-ikan yang berasal dari laut. Sementara itu Kompyang dan Ilyas (1988) menyatakan bahwa kekurangan asam lemak esensial pakan dan dalam tubuh larva dapat meningkatkan angka kematian ikan. Lemak yang terdi dari asam lemak n6 dan asam lemak n3 merupakan komponen membran sel yang dapat mempengaruhi sifat fluiditas membran (Furuichi, 1988), sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi kelancaran metabolisme sel dalam tubuh yang akhirnya berakibat baik pada pertumbuhan. Kebutuhan larva akan nilai EPA dan DHA dalam tubuhnya adalah EPA yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan DHA. Jika hal ini tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka kemungkinan seperti pembentukan organ yang tidak sempurna akan lebih besar.

(17)

2.3 Biologi rotifer (Brachionus sp)

Zooplankton ini berbentuk bilateral simetris, menyerupai piala. Kulit terdiri atas dua lapisan yaitu hipodermis dan kutikula. Kutikula merupakan bagian kulit yang tebal yang disebut lorika. Tubuhnya terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, badan, dan kaki. Pada bagian kepala terdapat enam buah duri. Sepasang duri yang panjang terdapat di tengah. Ujung bagian depan dilengkapi dengan gelang-gelang silia yang kelihatan seperti spiral yang disebut korona yang berfungsi untuk memasukkan makanan dalam mulut. Silia tersebut selalu bergetar membentuk gerakan rotasi sehingga tampak seperti roda berputar. Brachionus sp.

terdiri dari dua tipe yaitu, tipe L yang berukuran 230-400 mikron (Brachionus plicatilis), sedangkan tipe S antara 50-200 mikron (Brachionus rotundiformis) (Dert, 1995).

2.4 Makanan dan kebiasaan makan rotifer

Rotifer merupakan salah satu zooplankton yang mampu mengambil makanannya yang ada di sekitarnya (media hidupnya) yang tersedia dalam bentuk partikel mikroorganik (non selective filter feeder), sehingga ia dapat diperkaya dengan nutrien-nutrien tertentu sesuai dengan kebutuhan dari ikan yang akan mengkonsumsinya.

Makanan bagi rotifer bervariasi, terutama mikroalga, bakteri, ragi dan partikel mikroorganik. Pakan yang terbaik adalah kombinasi dari mikroalga (seperti Chlorella dan Tetraselmis) dan ragi roti. Rotifer yang hanya mengkonsumsi ragi sama bagusnya dengan rotifer yang memakan

Nannochloropsis bagi P.japonicus tetapi tidak bagi jenis krustasea lainnya (Tarumizu dalam Maguire,G.B., 1979). Dert (1995) menyebutkan bahwa rotifer yang diberikan ke dalam air laut setelah dikultur atau diperkaya tidak mempengaruhi kandungan ascorbic acidnya untuk jangka waktu 24 jam. Hal ini menandakan bahwa rotifer membawa kandungan nutrisinya hingga diberikan sebagai pakan terhadap larva ikan.

(18)

2.5 Nilai nutrisi rotifer

Komposisi biokimia rotifer dan yang tersedia dalam tubuhnya untuk larva ikan yang mengkonsumsi rotifer tersebut tergantung pada pakannya. Kemampuan penyerapan protein dari rotifer berkisar antara 89-94% dengan pakan ragi atau

Nannochloropsis (Hoff and Snell, 1987).

Analisis terhadap rotifer menunjukkan bahwa nilai HUFA tidak terdapat dalam tubuh rotifer yang memakan ragi, tetapi terdapat pada rotifer yang mengkonsumsi Nannochloropsis (Watanabe, et al.,1983a). HUFA yang terdapat pada Nannochloropsis menjadikan Nannochloropsis sebagai pasangan terbaik bagi rotifer dalam memenuhi kebutuhan sebagian besar ikan laut (Hoff and Snell, 1987). Nannochloropsis ocullata mengandung 0,9 % vitamin C dari bobot kering tiap selnya (Brown and Miller, 1992).

Rotifer yang dikultur dengan menggunakan pakan ragi dan Nannochloropsis

memiliki kadar vitamin C sebesar 220µg/g bobot kering rotifer sedangkan rotifer yang diperkaya dengan Nannochloropsis mengandung vitamin C sebesar 410 µg/g bobot kering rotifer (Dert, 1995). Akan tetapi, nutrisi yang diberikan alga dan ragi saja tidak cukup menjadikan rotifer sebagai pakan alami yang mampu memenuhi kebutuhan larva ikan dan krustasea laut. Oleh karena itu dilakukan pengkayaan dengan emulsi minyak ikan dan vitamin, seperti vitamin C dan E yang ternyata terbukti memberikan hasil yang menggembirakan dalam peningkatan EPA, DHA dan vitamin C (McVey, 1997).

Rotifer yang diberikan ke dalam air laut setelah dikultur atau diperkaya tidak mempengaruhi kandungan ascorbic acidnya untuk jangka waktu 24 jam. Hal ini menandakan bahwa rotifer membawa kandungan nutrisinya hingga diberikan sebagai pakan terhadap larva ikan (Merchie et al., 1997). Menurut Merchie et al. (1997), pemberian pakan alami (Brachionus dan Artemia) yang telah diperkaya dengan ascorbic acid memberikan efek yang positip pada ketahanan larva terhadap stress.

(19)

2.6 Sifat-sifat umum vitamin C

Vitamin C merupakan senyawa yang sangat mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam dan sifat pereduksi yang kuat. Sifat-sifat tersebut terutama disebabkan adanya struktur enediol yang berkonyugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton. Bentuk vitamin C yang ada di alam terutama adalah L-ascorbic acid. D-ascorbic acid jarang terdapat di alam dan hanya memiliki 10% aktivitas vitamin C. Vitamin C atau asam askorbat merupakan vitamin yang tidak mengandung gugus amina, terdiri atas 6 rantai karbon dan mudah bereaksi dengan oksigen membentuk dehidroksi askorbat. Vitamin C yang mempunyai rumus empiris C6H8O6 dalam bentuk murni merupakan kristal putih, tidak berwarna,

tidak berbau dan mencair pada suhu 190-192ºC. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam (Combs, 1992).

2.7 Peran vitamin C secara biologis

Vitamin C merupakan salah satu nutrien yang paling penting pada pakan ikan. Ikan tidak dapat mensintesis vitamin C, karena tidak adanya enzim L-gulanolactoneoxdase yang diperlukan dalam sintesis vitamin C (Al-Amoudi, 1992). Vitamin C dalam organ internal tubuh krustasea, hanya terdapat di hepatopankreas dan saluran pencernaan. Terkait dengan fungsinya sebagai antioksidan, vitamin C berperan dalam menjaga lemak dari oksidasi (Waterman, 1960). Sandra (2002) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa penambahan L-ascorbyl-2-phosphate-magnesium berpengaruh terhadap kadar vitamin C hati, rasio hydroksiprolina/prolina, total lemak, L-karnitin otot dan asam lemak (EPA dan DHA) tubuh ikan baung (Mystus nemurus CV). Peningkatan kandungan asam lemak dengan bertambahnya kadar vitamin C dalam pakan tersebut menunjukkan fungsi vitamin C sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan, vitamin C dapat melindungi lemak dari oksidasi (Combs, 1992). Begitu pula dengan hasil penelitian Subyakto (2000) terhadap juvenil ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Dewantara (2003) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa perbedaan kadar vitamin C dalam pakan menyebabkan perbedaan dalam retensi asam lemak, dimana peningkatan kadar vitamin C pakan menyebabkan retensi lemak meningkat, sehingga kadar lemak juga meningkat. Vitamin C juga berperan

(20)

dalam biosintesis karnitin, yaitu kofaktor yang dibutuhkan untuk aktivitas enzim hidroksilase mitokondrial dan hidroksilase sitosolik (Combs, 1992). Pada tubuh, karnitin berperan dalam mentransport asam lemak rantai menengah dan rantai panjang dari sitosol ke mitokondria untuk dioksidasi menjadi energi. Selanjutnya dinyatakan bahwa defisiensi vitamin C menunjukkan penurunan level karnitin dalam jaringan, ini menyebabkan menurunnya produksi energi dan melemahnya

tubuh (Horning et al., 1984). Vitamin C dalam pakan terbukti mampu meningkatkan daya tahan tubuh

benih udang dan ikan terhadap stress akibat kondisi lingkungan yang buruk maupun penyakit. Irmasari (2002) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pemberian artemia yang diperkaya dengan 1 g ascorbyl palmitat/l air media dapat meningkatkan daya tahan tubuh, kelangsungan hidup dan pertumbuhan pasca larva udang windu. Kontara (1998) menyatakan bahwa vitamin C efektif meningkatkan ketahanan udang Penaeus japonicus terhadap infeksi Vibrio sp. Strain NJB (isolasi dari P.japonicus yang terserang patogen). Sementara Dabrowski (1992) menyatakan bahwa stress menyebabkan peningkatan kebutuhan larva ikan dan krustasea akan asam askorbat.

Vitamin dibutuhkan untuk pertumbuhan yang normal, pemeliharaan jaringan tubuh dan reproduksi. Kebutuhan vitamin bergantung kepada spesies, ukuran, kondisi lingkungan dan adanya stress fisiologis. Kebutuhan vitamin bervariasi sesuai umur ikan, juga komposisi makanan turut berpengaruh terhadap kebutuhan vitamin tersebut oleh ikan. Efisiensi vitamin C terbesar dalam tubuh makhluk hidup hanya terjadi jika vitamin C diberikan dalam konsentrasi yang kecil dari seluruh vitamin yang diperolehnya (Combs, 1992). Merchie et al.(1997) menyatakan pada stadia pascalarva kebutuhan vitamin C sangat tinggi dimana pada stadia ini larva sedang dalam proses morfogenesis, laju pertumbuhan yang tinggi dicirikan oleh seringnya frekuensi moulting.

2.8 Kebutuhan, defisiensi dan hipervitaminosis vitamin C

Dari beberapa hasil penelitian, ascorbyl palmitat sebesar 1 g AP/l mampu untuk meningkatkan ketahanan tubuh P. Monodon (PL 10) terhadap stress salinitas (Kontara et al., 1998). Lebih lanjut Kontara menyatakan bahwa

(21)

pemberian ascorbyl palmitate juga dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva udang windu PL1-PL10 sebesar 20,8% sedangkan pemeliharaan tanpa ascorbyl palmitat hanya diperoleh kelangsungan hidup sebesar 11,5%. Menurut Merchie et al. (1997) kebutuhan pertumbuhan yang baik bagi pascalarva udang windu PL5-PL25 diperlukan sebesar 20 mg ascorbic acid-2-polyphosphate/kg pakan dan untuk uji ketahanan stress pada pascalarva udang windu PL25 diperlukan sebesar 200 mg ascorbyl acid-2-polyphosphate/kg pakan. Sedangkan menurut Hsu and Shiau (1997), pemberian 200 mg ascorbyl-2-polyphosphate/kg pakan dan 200 mg

ascorbyl-2-sulfate pada pascalarva udang windu dengan berat rata-rata 0,79±0,08 dapat tumbuh lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa pemberian vitamin C. Menurut Kontara et al. (1997) pada udang P.vannamei PL14-PL41 yang diberi pakan 2 g ascorbyl-2-polyphosphate, 90% dapat hidup setelah diberi kejutan osmotik selama 60 menit. Irmasari (2002) dalam skripsinya menyimpulkan bahwa larva udang windu yang diberi artemia yang diperkaya vitamin C dengan dosis 0,5-2 g ascorbyl palmitat/l air media mengalami pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan larva udang yang diberi artemia tanpa diperkaya vitamin C.

Terjadinya gejala defisiensi vitamin C pada ikan disebabkan kurang tersedianya senyawa ini dalam ransum yang diberikan, sedangkan ikan tidak mampu mensintesis vitamin C dalam tubuh. Defisiensi vitamin C pada ikan menyebabkan pendarahan, pertumbuhan lambat, kelainan bentuk tulang serta peka terhadap infeksi, defisiensi asam askorbat dapat menyebabkan skoliosis, lordosis, luka pada mata dan menurunkan pertumbuhan. Kontara et al. (1997) melaporkan bahwa defisiensi vitamin C pada udang penaeid dapat dicirikan oleh pertumbuhan dan konversi pakan yang rendah, berkurangnya frekuensi moulting/moulting yang tidak sempurna, penurunan ketahanan terhadap stress, sintesis kolagen, penyembuhan luka yang tidak sempurna dan mortalitas yang tinggi. Irmasari (2002) dalam hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa larva udang windu yang diberi artemia tanpa diperkaya vitamin C mengalami pertumbuhan (panjang total dan bobot biomassa) yang paling kecil dibandingkan larva udang yang diberi artemia yang diperkaya vitamin C.

Pemberian vitamin C secara berlebihan akan meningkatkan sekresi vitamin C melalui urin, tetapi jika kondisi tubuh buruk sebagian besar vitamin C akan

(22)

ditahan oleh jaringan tubuh. Efek samping dari dosis yang terlalu besar dari kebutuhannya, pada manusia menyebabkan gangguan saluran pencernaan, terutama pada bagian lambung dan usus dan juga dapat menyebabkan diare. Sedikit informasi juga menyebutkan adanya keracunan vitamin C pada hewan, meskipun nilai toksisitasnya bersifat akut pada sebagian besar spesies dan jalur dari pengaturan tampaknya menjadi lebih sedikit pada sebagian besar dari gram per kilogram bobot tubuh. Kajian tunggal menunjukkan pada manusia yang menjadi sensitif terhadap hipervitaminois C, dengan asupan harian sebesar 100-200 mg ascorbic acid, wanita hamil dapat mengalami anemia dan sel darahnya tereduksi menjadi ukuran yang lebih kecil (Combs, 1992) .

(23)

III. BAHAN DAN METODA 3.1. Rancangan penelitian

Larva udang vannamei dipelihara mulai dari stadia naupli 6 (N6) hingga

stadia pasca larva 1 (PL1) di PT CentralPertiwi Bahari, Desa Suak, Kecamatan

Sidomulyo, Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung pada bulan April-Juli 2005. Mulai stadia zoea 2 (Z2), larva udang diberi rotifer dengan perlakuan yang berbeda, yakni :

1. Larva tidak diberi rotifer (sesuai prosedur oprasional standar PT CP Bahari) (K).

2. Larva diberi rotifer yang langsung dari kultur massalnya (R1). 3. Larva diberi rotifer dari kultur massal yang diperkaya dengan 0 g

vitamin C per 10 l media pengkaya (R2).

4. Larva diberi rotifer dari kultur massal yang diperkaya dengan 0,5 g vitamin C per 10 l media pengkaya (R3).

5. Larva diberi rotifer dari kultur massal yang diperkaya dengan 1 g vitamin C per 10 l media pengkaya (R4).

Penelitian ini dilakukan dengan memakai rancangan acak lengkap yang mengaplikasikan 5 perlakuan seperti tersebut di atas dengan 3 ulangan. Evaluasi hasil menggunakan program SPSS versi 11,5 dengan uji F dan uji Tukey terhadap panjang total, kelangsungan hidup, stadia PL1 larva dan waktu intermoult larva udang vannamei.

3.2. Penyediaan pakan

3.2.1. Kultur rotifer

Rotifer yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotifer tipe S (Brachionus rotundiformis). Rotifer yang berasal dari wadah kultur galon 20 l dimasukkan ke dalam wadah fiber 250 l berisi air salinitas 26 ppt, yang telah diaerasi. Pada tahap awal, rotifer diberi pakan Nannochloropsis oculata dengan kepadatan 107 sel/ml sebanyak 40 l. Setelah air media kultur berwarna bening,

rotifer diberi pakan ragi roti yang diblender dalam air tawar dengan dosis 0,2 g/106 rotifer. Setelah rotifer mencapai kepadatan 150-200 ind/ml, rotifer dipanen dan ditransfer ke dalam bak yang berisi air 500 l salinitas 26 ppt ditambah

(24)

Nannochloropsis oculata dengan kepadatan awal 107 sel/ml sebanyak 60-80 l. Setelah 2 hari, dilakukan penambahan air pada wadah kultur hingga volume media mencapai 1000 l. Pakan yang diberikan adalah ragi roti. Pada saat stok

Nannoclhoropsis ada dan berlebih, rotifer juga diberi pakan Nannoclhoropsis. Rotifer dipanen setelah mencapai kepadatan 200-300 ind/ml, sisanya dipindahkan ke bak lain yang berisi 500 l air salinitas 26 ppt.

3.2.2. Proses pengkayaan rotifer

Rotifer dipanen dari wadah kultur massal 1000 l, dimasukkan ke dalam wadah pengkayaan volume 20 l yang diisi 10 l air laut dengan kepadatan 500 ind/ml media pengkayaan. Rotifer tersebut kemudian diperkaya dengan 0 g, 0,5 g atau 1 g vitamin C. Vitamin C dengan dosis yang sesuai perlakuan, dicampur dengan 0,25 g minyak ikan, 0,25 g minyak cumi, 0,1 g ragi roti dan 0,01 g kuning telur ayam, lalu diemulsi dalam 100 ml air tawar menggunakan blender selama ± 5 menit.

Proses pengkayaan ini berlangsung selama 6 dan 9 jam. Selanjutnya rotifer dipanen menggunakan saringan plankton berukuran mesh 200 dan 300 (53µm), lalu dicuci dengan air laut dan dibilas dengan air tawar untuk kemudian diberikan ke larva udang.

3.3. Pemeliharaan larva udang vannamei

Wadah pemeliharaan larva udang vannamei menggunakan fiber volume 500 l, yang sebelumnya disanitasi dengan kaporit selama 24 jam, dibilas, lalu diisi air 300 l air laut dan diaerasi. Selanjutnya diberi EDTA 5-10 ppm pada pagi hari untuk mengikat logam berat. Kandungan oksigen terlarut air laut tersebut adalah >5 ppm, suhu 29-31ºC, salinitas 33 ppt, pH 8,25, alkalinitas 115 ppm dan total amoniak nitrogen tidak terdeteksi (data selengkapnya ada di Lampiran 1).

Pada pukul 15.00 WIB larva udang vannamei stadia N6 dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan dengan kepadatan 100 ekor/l. Selama masa pemeliharaan larva dari stadia N6-ZM air media pemeliharaan diberi treflan sebanyak 0,07 ppm. Pakan alami berupa Chaetoceros gracilis pertama kali diberikan sejak stadia naupli hingga stadia Z3 dengan kepadatan 30-100x103

(25)

sel/ml, kemudian dilanjutkan dengan Skeletonema costatum hingga stadia PL1 Pakan buatan (CP. Star 100, CP Spina, BP Eguchi dan Lanzy ZM) diberikan enam kali sehari secara rutin sejak stadia Z1 hingga panen. Untuk empat perlakuan lain, rotifer diberikan sebagai pakan alami tambahan sejak larva udang memasuki stadia Z2 hingga PL1. Rotifer diberikan dengan kepadatan 2-3 ind. rotifer/larva/pemberian untuk larva stadia Z2-Z3 dan 7-8 ind. rotifer/larva/pemberian untuk stadia M1-M3 sesuai perlakuan. Rotifer diberikan pada larva sebanyak empat kali sehari dengan jadwal mengikuti jam pemberian pakan alami. Pakan buatan yang diberikan, dosis dan komposisinya mengikuti prosedur oprasional standar PT. CP Bahari. Jadwal pemberian pakan alami dan buatan larva udang vannamei dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4 Pengelolaan air

Selama masa budidaya (N6-PL1) tidak dilakukan pergantian air. Penambahan air baru dilakuan dari stadia PL1 sampai panen sebanyak 5 – 20 % (Standar Operasional Prosedur CPB, 2000). Penambahan air hanya berasal dari pemberian pakan Chaetocheros sp. dan pakan buatan (sebagai pelarut). Parameter kualitas air diamati pada waktu persiapan, stadia Z2, stadia M2 dan pada waktu panen (PL1).

Berikut adalah data kisaran kualitas air pada media pemeliharaan larva udang vannamei (Tabel 4). Sedangkan data parameter kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 1. Kisaran parameter kualitas air pemeliharaan larva udang vannamei yang diukur selama penelitian.

Parameter Nilai

pH Suhu (0C) Salinitas (ppt)

Oksigen terlarut (mg/L)

Total Amoniak Nitrogen TAN (mg/L) Alkalinitas (mg/L) 7,95 – 8,15 28,5 – 31,2 33 5,00 – 6,27 0,000 – 2,488 89,8 – 188,58

(26)

% 100 × = No Nt SR       × = 7 1 , 0 panjang Pl 3.5. Pengamatan

3.5.1. Kelangsungan hidup larva udang vannamei

Kelangsungan hidup larva per hari diperoleh dengan menghitung jumlah larva dalam 1 l air media pemeliharaan sebanyak 3 ulangan. Kelangsungan hidup akhir diperoleh dengan cara sebagai berikut. Larva dari media pemeliharaan disaring dengan saringan plankton mesh 100, lalu ditampung dalam 20 l air laut. Setelah itu, diambil 1 l untuk kemudian dihitung jumlah larva yang ada di dalamnya. Jumlah larva dalam 1 l air tersebut kemudian dikonversikan menjadi jumlah total larva udang yang hidup saat dipanen.

Kelangsungan hidup larva diperoleh dengan menghitung jumlah larva udang saat awal perlakuan (stadia Z2) dan jumlah larva pada hari terakhir penelitian (stadia PL1), dengan rumus:

Keterangan : SR : kelangsungan hidup

Nt : jumlah larva udang akhir (PL1)

No : jumlah larva udang saat awal perlakuan (Z2)

3.5.2. Panjang total larva udang vannamei

Pertumbuhan larva yang diamati adalah panjang total larva pada stadia PL1. Data panjang tersebut diperoleh dengan mengukur panjang tubuh dari 30 ekor larva dari masing-masing ulangan menggunakan mikrometer okuler dengan perbesaran 4x10, kemudian dikonversi ke satuan milimeter, dengan rumus:

Keterangan : Pl : panjang total (mm) pasca larva 1

Panjang : panjang total (µm) pasca larva 1

(27)

3.5.3. Kecepatan perkembangan stadia dan waktu intermolt larva udang vannamei Perkembangan larva yang diamati adalah perubahan stadia larva secara visual setiap hari yang dilakukan di bawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan pada 15 ekor larva dari setiap wadah pemeliharaan. Kecepatan perkembangan stadia diperoleh dengan membandingkan komposisi stadia larva udang pada setiap perlakuan di akhir penelitian. Selain itu, dilihat juga fase intermoult larva udang vannamei pada setiap stadia dengan cara menghitung waktu (hari) yang dibutuhkan larva untuk berganti stadia (Suprayudi, et al., 2004).

3.6. Analisa kimia

Analisa kimia tubuh larva udang dan rotifer (sebelum dan sesudah diperkaya) terdiri dari analisa kadar air dan vitamin C. Analisa kadar air dan kadar vitamin C (metode titrasi) dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Jl.Dr. Semeru No.63, Bogor. Sampel larva dari tiap ulangan digabung menjadi satu untuk selanjutnya dilakukan analisis vitamin C. Dengan demikian, analisa vitamin C terhadap tubuh larva udang dan rotifer tidak dilakukan di tiap ulangan perlakuan, tapi hanya dilakukan pengulangan pentitrasian sampel.

Sampel rotifer yang akan dianalisa, diambil setiap hari. Sampel larva diambil pada saat akhir penelitian kemudian dikemas dalam kantong plastik kedap udara dan disimpan dalam freezer hingga saat akan dianalisa (Lampiran 3).

(28)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 K R1 R2 R3 R4 Perlakuan Panjang total (mm)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Hasil analisa kadar vitamin C memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C pada rotifer setelah pengkayaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diperkaya. Kandungan vitamin C meningkat sejalan dengan peningkatan dosis vitamin C yang diberikan pada rotifer saat pengkayaan. Kandungan vitamin C rotifer tertinggi terdapat pada perlakuan R4, sedangkan yang terendah terdapat pada R1. Peningkatan kadar vitamin C pada rotifer, diikuti oleh kadar vitamin C pada tubuh larva, terkecuali pada perlakuan R4 yang ternyata kadar vitamin C-nya tidak sejalan dengan peningkatan kadar vitamin C pada rotifernya. Kadar vitamin C tubuh larva tertinggi terdapat pada perlakuan R3 dan terendah terdapat pada perlakuan K (Tabel 2). Hasil analisa lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 2. Kadar vitamin C dalam rotifer dan tubuh larva setelah diberi perlakuan

pengkayaan vitamin C (µg/g bobot kering bahan) Perlakuan Bahan K R1 R2 R3 R4 Rotifer - 26,00±1,15 42,00±7,28 46,00±1,99 64,00±4,45 Larva udang 11,80±0,79 17,90±1,18 18,50±0,66 24,50±3,42 20,90±1,22 a a a a a

Gambar 1. Panjang total (mm) larva udang vannamei di akhir penelitian.

Keterangan : huruf yang sama dalam setiap kolom menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (p>0,05).

(29)

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 K R1 R2 R3 R4 Perlakuan Kelangsungan hidup (%)

Rata-rata panjang total PL 1 pada setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05), dimana pada masing-masing perlakuan memiliki panjang total yang hampir sama (Gambar 1). Rata-rata panjang total larva udang pada perlakuan K adalah 3,00±0,00 mm, perlakuan R1 adalah 3,02±0,17 mm, perlakuan R2 adalah 3,14±0,12 mm, perlakuan R3 adalah 3,31±0,39 mm dan perlakuan R4 adalah 3,26±0,16 mm (data selengkapnya di Lampiran 5 dan 6).

a a,b b b a,b

Gambar 2. Kelangsungan hidup larva udang vannamei di akhir penelitian

Keterangan : huruf yang tidak sama dalam setiap kolom menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05).

Pada penelitian ini, diketahui bahwa kelangsungan hidup perlakuan K adalah 39,00±21,34 %, perlakuan R1 adalah 59,19±3,75 %, perlakuan R2 adalah 81,85±7,71 %, perlakuan R3 adalah 88,21±15,74 %, perlakuan R4 adalah 61,34±0,65 % (Gambar 2). Dari nilai tersebut, diketahui bahwa kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan R2 dan R3 (data selengkapnya di Lampiran 7, 8 dan 9).

Dari hasil analisa statistik terhadap komposisi stadia larva udang di akhir penelitian (Tabel 3), diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada masing-masing perlakuan (p>0,05) (data selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 10 dan 11).

(30)

Tabel 3. Stadia (%) larva udang vannamei di akhir penelitian Perlakuan Stadia larva K R1 R2 R3 R4 M2 6,67±11,55 8,33±7,64 3,33±5,77 3,33±15,77 11,67±10,41 M3 63,33±32,16 50,00±34,64 26,67±5,77 36,67±11,54 33,33±20,82 PL1 30,00±30,00 41,67±36,86 70,00±0,00 60,00±10,00 55,00±30,41

Tabel 4. Waktu intermoult larva udang vannamei (hari).

Waktu intermolt larva udang vannamei (hari) Fase intermolt

larva K R1 R2 R3 R4

Z1-Z3 2,75±0,49 2,82±0,42 2,80±0,26 2,45±0,48 2,70±0,30 Z3-M3 4,12±1,16 4,52±0,14 3,95±0,82 3,70±0,45 3,95±0,74

Hasil perhitungan terhadap waktu intermoult larva udang vannamei (hari) menunjukkan bahwa larva udang vannamei yang ada pada perlakuan R2 memiliki waktu intermoult yang lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 4). Waktu intermoult larva udang vannamei dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 12.

4.2 Pembahasan

Kandungan vitamin C dalam rotifer pada perlakuan R3 dan R4 lebih banyak dibandingkan perlakuan R1 (Tabel 4). Rotifer pada perlakuan R3 dan R4 mendapatkan asupan vitamin C dari bahan pengkaya di samping dari pakannya, sedangkan R1 dan R 2 diduga hanya mendapatkan vitamin C dari pakannya saja, yaitu Nannochloropsis oculata. Nannocholoropsis oculata sendiri mengandung 0,9 % vitamin C dari bobot kering tiap selnya (Brown and Miller, 1992). Hal ini menyebabkan larva udang pada perlakuan R3 dan R4 dapat memperoleh vitamin C yang lebih dibandingkan perlakuan K, R1 dan R2. Larva udang pada perlakuan K hanya mendapatkan asupan vitamin C dari vitamin C bubuk yang diberikan bersamaan dengan pakan buatannya dan dari Chaetoceros gracilis yang mengandung vitamin C sebesar 1,7 % vitamin C dari bobot kering tiap selnya (Brown and Miller, 1992).

Kelangsungan hidup larva udang vannamei sangat bergantung pada keberhasilan larva saat melakukan moulting (McVey, 1997). Pada saat moulting, larva membutuhkan banyak energi untuk keberhasilannya membentuk kitin

(31)

eksoskeletonnya yang baru. Energi ini sebagian besar diperoleh dari bahan cadangan yang terdiri dari lemak, karbohidrat dan protein. Pada krustasea, bahan cadangan itu disimpan dalam organ hepatopankreas hingga saat akan diubah menjadi energi, terutama pada saat moulting. Vitamin C dalam organ internal tubuh krustasea, hanya terdapat di hepatopankreas dan saluran pencernaan. Untuk memenuhi keutuhannya akan vitamin C, krustesea harus memperolehnya dari luar, karena tubuhnya tidak mampu mensintesis vitamin C sendiri. Terkait dengan fungsinya sebagai antiokasidan, vitamin C berperan dalam menjaga lemak dari oksidasi. Hal ini memungkinkan krustasea yang mendapatkan asupan lemak dan vitamin C dalam jumlah yang cukup, dapat memperoleh energi yang mencukupi kebutuhannya pada saat melakukan moulting (Waterman, 1960). Pada perlakuan R2 dan R3 larva udang diduga memperoleh asupan lemak tambahan yang berasal dari minyak ikan dan minyak cumi yang digunakan sebagai bahan pengkaya rotifer disamping vitamin C. Adanya asupan sumber asam lemak tambahan ini menandakan bahwa larva udang pada perlakuan R2 dan R3 memiliki bahan cadangan yang berperan sebagai sumber energi lebih banyak dibandingkan perlakuan K dan R1. Dengan kadar vitamin C yang ada dalam tubuhnya, larva udang pada perlakuan R2 dan R3 ternyata mampu melindungi lemak dalam hepatopankreasnya sebagai sumber energi pada saat melakukan moulting. Hal ini menyebabkan larva pada perlakuan R2 dan R3 mendapatkan asupan energi yang cukup untuk menunjang keberhasilannya melakukan moulting. Terbukti pada kelangsungan hidup larva udang perlakuan R2 dan R3 yang lebih tinggi dibandingkan tiga perlakuan lainnya (perlakuan K, R1 dan R4). Pada larva Red Sea Bream yang diberikan pakan rotifer yang hanya diberi pakan ragi memiliki kelangsungan hidup yang lebih rendah (13%) dibandingkan larva yang diberi rotifer yang sudah diperkaya dengan 15% minyak cumi (37,8%) (Kitajima et al., 1980). Begitu pula pada ikan Ayu Plecoylossus altivelis yang diberi rotifer yang diperkaya dengan minyak cumi memiliki kelangsungan hidup dan kandungan asam lemak (EPA dan DHA) yang lebih tinggi dibandingkan yang diberi rotifer yang hanya diperkaya dengan ragi (Kitajima et al., 1980). Kontara et al. (1997) menyatakan bahwa defisiensi vitamin C pada udang Penaeid dapat dicirikan oleh pertumbuhan dan konversi pakan yang rendah, moulting yang tidak sempurna,

(32)

penurunan ketahanan terhadap stress, sintesis kolagen, penyembuhan luka yang tidak sempurna dan mortalitas yang tinggi.

Pada perlakuan R4, terjadi penyimpangan padahal kandungan vitamin C pada rotifer paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Akan tetapi kandungan vitamin C pada tubuh larva justru lebih rendah dibandingkan perlakuan R3 (Tabel 2). Hal ini mungkin dikarenakan dosis yang diberikan melebihi kebutuhan larva akan vitamin C, sehingga larva mensekresikan kelebihan vitamin C melalui urin. Kebutuhan vitamin bergantung kepada spesies, ukuran, kondisi lingkungan dan adanya stress fisiologis. Kebutuhan vitamin bervariasi sesuai umur ikan, juga komposisi makanan turut berpengaruh terhadap kebutuhan vitamin tersebut oleh ikan (Merchie et al.,1997). Efisiensi vitamin C terbesar dalam tubuh makhluk hidup hanya terjadi jika vitamin C diberikan dalam konsentrasi yang kecil dari seluruh vitamin yang diperolehnya (Combs, 1992). Penurunan tingkat kelangsungan hidup larva pada R4 dibandingkan R2 dan R3 mungkin disebabkan larva yang mengalami keracunan vitamin C akibat hipervitaminosis C, seperti yang dinyatakan oleh Combs (1992) bahwa adanya keracunan vitamin C pada hewan, meskipun nilai toksisitasnya bersifat akut pada sebagian besar spesies dan jalur pengaturan metabolisme vitamin C dalam tubuh tampaknya menjadi lebih sedikit pada sebagian besar dari gram vitamin C per kilogram bobot tubuh. Keracunan ini mungkin terjadi pada larva yang gagal mensekresikan kelebihan vitamin C dari dalam tubuhnya.

Vitamin C berperan dalam kebutuhan integrasi jaringan penghubung, jaringan tulang dan jaringan luka, juga sebagai kofaktor reaksi hidroksilasi, termasuk tryptophan, tyrosine, lysine, phenylalanine dan proline (Lovell, 1973; Andrew and Murai, 1975). Selain itu, menurut Linder (1992) dalam Subyakto (2000) mnyebutkan bahwa vitamin C berperan dalam proses hidroksilasi, dimana vitamin C dibutuhkan untuk pembentukan hydroksiprolin dan hydroksilysine pada sintesis kolagen yang merupakan komponen utama pada kulit dan jaringan ikat termasuk pada hewan yang masih muda. Dengan kandungan vitamin C dalam tubuh larva udang pada perlakuan R3, kemungkinan vitamin C tersebut berperan dalam perkembangan jaringan ikat yang menyusun otot-otot pada tubuh larva udang sehingga mempercepat pertumbuhannnya dibandingkan larva udang pada

(33)

empat perlakuan lainnya. Sandra (2002) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa penambahan L-ascorbyl-2-posphate-magnesium berpegaruh terhadap kadar vitamin C hati, rasio hydroksiprolin/prolin, total lemak, L-karnitin otot dan asam lemak (EPA dan DHA) tubuh ikan baung (Mystus nemurus CV.). Begitu pula dengan hasil penelitian Subyakto (2000) terhadap juvenil ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Dalam hal ini menandakan bahwa vitamin C dalam tubuh ikan berperan dalam kemampuannya untuk menghidroksilasi asam lemak dan asam amino dari pakan yang diasupnya. Udang akan melakukan moulting ketika didalam tubuhnya mengalami pembentukan dan perkembangan organ. Proses pembentukan dan perkembangan organ tubuh pada udang akan terjadi ketika kebutuhan nutriennya tercukupi. Lemak yang terdiri dari asam lemak n6 dan n3 merupakan komponen membran sel yang mempengaruhi sifat fluiditas membran (Furuichi, 1988) sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi kelancaran metabolisme sel dalam tubuh yang akhirnya berakibat baik pada pembentukan organ dan pertumbuhan larva. Dengan kadar vitamin C dala tubuh larva udang perlakuan R2 diduga membantu larva udang vannamei pada perlakuan ini mampu mendapatkan nutrien yang lebih mencukupi kebutuhannya dari pakan buatan dan pakan alami (Chaeroceros gracilis, Skeletonema costatum dan rotifer yang juga diperkaya minyak ikan dan minyak cumi) yang diberikan. Hal ini kemungkinan menyebabkan larva udang pada perlakuan R2 mengalami pembentukan organ dan pertumbuhan yang lebih baik sehingga dapat melakukan moulting dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan larva udang pada empat perlakuan lainnya.

Pertumbuhan larva disini dilihat dari panjang total (mm) dari tubuh larva saat larva dipanen (stadia PL1). Tingkat perkembangan stadia larva bersifat linier, dimana perubahan stadia larva udang akan diikuti oleh pertambahan panjang tubuh larva udang. Merchie et al. (1997) menyatakan bahwa laju pertumbuhan yang tinggi dicirikan oleh seringnya frekuensi moulting. Akan tetapi, panjang total larva udang vannamei pada setiap perlakuan ternyata tidak berbeda nyata. Hal ini mungkin juga dikarenakan ukuran larva yang masih terlalu kecil sehingga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

(34)

V. KESIMPULAN

Penggunaan rotifer yang diperkaya vitamin C dengan dosis 0 g dan 0,5 g /10 l media pengkaya mampu meningkatkan kelangsungan hidup larva udang vannamei, tetapi tidak mampu meningkatkan panjang total larva udang, waktu intermolt dan kecepatan perkembangan stadianya. Akan tetapi, dosis pengkayaan rotifer dengan vitamin C sebanyak 1 g/10 l media pengkaya justru menurunkan kembali kelangsungan hidup larva udang vannamei.

(35)

Lampiran 1. Jadwal pemberian pakan larva udang vannamei selama penelitian.

Pakan Buatan Pakan alami

CP. Star 100 CP. Spina BP. Eguchi Lanzy ZM Vitamin C Chaetoceros gracilis

Stadia larva udang (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (sel/ml) Z1 1,5 0,5 0,7 1 0,5 30-150 x 103 Z1-2 2 0,5 1 1,5 0,5 30-150 x 103 Z2 2,5 0,5 1,5 2 0,5 30-150 x 103 Z3 3,5 0,5 1,5 3 0,5 30-150 x 103 ZM 5 0,7 4 0,5 M1 5,7 0,7 4,5 M2 6,8 0,7 5 M3 9 5 MPL 9,5 5

PL1 Panen Panen Panen Panen Panen Panen

Ket : Pakan buatan diberikan pada pukul 07.00, 11.00, 16.00, 19.00, 23.00 dan 01.00 WIB

(36)

Lampiran 2. Data analisa kualitas air

Parameter kualitas air Hari

ke-

No.fiber perlakuan Jenis DO

(ppm) Suhu (ºC) Alakinitas (ppm) (ppm) TAN pH Salinitas (ppt)

1 K1 5,55 29,70 115,00 0,0000 8,25 33,00 2 R41 5,21 29,70 115,00 0,0000 8,25 33,00 3 K2 5,36 28,50 115,00 0,0000 8,25 33,00 4 R31 5,74 30,00 115,00 0,0000 8,25 33,00 5 R21 5,82 30,00 115,00 0,0000 8,25 33,00 6 R32 5,64 30,00 115,00 0,0000 8,25 33,00 7 R22 5,31 30,00 115,00 0,0000 8,25 33,00 8 R11 5,46 30,00 115,00 0,0000 8,25 33,00 9 R12 5,79 29,80 115,00 0,0000 8,25 33,00 10 R42 5,85 30,10 115,00 0,0000 8,25 33,00 11 R43 5,32 30,20 115,00 0,0000 8,25 33,00 12 K3 5,22 30,00 115,00 0,0000 8,25 33,00 13 R23 5,20 30,00 115,00 0,0000 8,25 33,00 14 R13 5,65 30,50 115,00 0,0000 8,25 33,00 0 15 R33 5,00 30,50 115,00 0,0000 8,25 33,00 1 K1 5,74 29,60 33,00 2 R41 5,95 29,80 33,00 3 K2 5,91 28,70 33,00 4 R31 5,88 30,10 33,00 5 R21 5,65 30,10 33,00 6 R32 5,78 30,10 33,00 7 R22 5,77 30,00 33,00 8 R11 5,74 29,90 33,00 9 R12 5,55 30,30 33,00 10 R42 5,62 30,10 33,00 11 R43 5,62 29,90 33,00 12 K3 5,64 30,10 33,00 13 R23 5,57 30,40 33,00 14 R13 5,56 30,60 33,00 1 15 R33 5,55 30,50 33,00 1 K1 5,87 29,90 33,00 2 R41 5,70 30,20 33,00 3 K2 5,53 29,00 33,00 4 R31 5,51 30,50 33,00 5 R21 5,39 30,50 33,00 6 R32 5,37 30,50 33,00 7 R22 5,36 30,30 33,00 8 R11 5,42 30,30 33,00 9 R12 5,35 30,80 33,00 10 R42 5,24 30,70 33,00 11 R43 5,23 30,50 33,00 12 K3 5,26 30,50 33,00 13 R23 5,25 30,80 33,00 14 R13 5,05 31,10 33,00 2 15 R33 5,08 30,90 33,00

(37)

1 K1 6,27 29,90 102,12 0,0866 8,09 33,00 2 R41 6,05 30,30 102,12 0,1143 8,13 33,00 3 K2 6,16 29,20 102,12 0,0592 8,10 33,00 4 R31 6,01 30,60 102,12 0,0550 8,25 33,00 5 R21 5,79 30,70 106,56 0,0687 8,17 33,00 6 R32 5,87 30,0 102,12 0,0601 8,19 33,00 7 R22 5,81 30,0 102,12 0,1027 8,16 33,00 8 R11 5,92 30,30 93,24 0,0500 8,17 33,00 9 R12 5,76 30,80 97,68 0,0476 8,14 33,00 10 R42 5,76 30,70 102,12 0,0726 8,18 33,00 11 R43 5,67 30,60 97,68 0,0262 8,17 33,00 12 K3 5,78 30,50 106,56 0,1532 8,18 33,00 13 R23 5,74 30,80 97,68 0,0835 8,16 33,00 14 R13 5,66 31,10 106,56 0,0587 8,16 33,00 3 15 R33 5,68 31,00 102,12 0,1389 8,18 33,00 1 K1 5,62 30,00 33,00 2 R41 5,48 30,30 33,00 3 K2 5,43 29,20 33,00 4 R31 5,12 3,60 33,00 5 R21 5,35 30,70 33,00 6 R32 5,28 30,70 33,00 7 R22 5,32 30,40 33,00 8 R11 5,28 30,50 33,00 9 R12 5,10 30,90 33,00 10 R42 5.15 30,80 33,00 11 R43 5,17 30,60 33,00 12 K3 5,21 30,60 33,00 13 R23 5,01 31,00 33,00 14 R13 5,11 31,20 33,00 4 15 R33 5,08 31,00 33,00 1 K1 6,04 30,10 33,00 2 R41 5,81 30,50 33,00 3 K2 5,88 29,40 33,00 4 R31 5,90 30,80 33,00 5 R21 5,72 30,80 33,00 6 R32 5,77 30,80 33,00 7 R22 5,75 30,60 33,00 8 R11 5,81 30,60 33,00 9 R12 5,83 31,00 33,00 10 R42 5,70 30,90 33,00 11 R43 5,64 30,50 33,00 12 K3 5,69 30,60 33,00 13 R23 5,45 31,10 33,00 14 R13 5,49 31,20 33,00 5 15 R33 5,47 31,20 33,00 1 K1 6,27 29,90 33,00 2 R41 6,05 30,30 33,00 3 K2 6,16 29,20 33,00 4 R31 6,01 30,60 33,00 6 5 R21 5,79 30,70 33,00

(38)

6 R32 5,87 30,60 33,00 7 R22 5,81 30,30 33,00 8 R11 5.92 30,30 33,00 9 R12 5.76 30,80 33,00 10 R42 5,76 30,70 33,00 11 R43 5,67 30,60 33,00 12 K3 5,78 30,50 33,00 13 R23 5,74 30,80 33,00 14 R13 5,66 31,10 33,00 15 R33 5,68 31,00 33,00 1 K1 5,74 29,60 107,76 1,5215 8,16 33,00 2 R41 5,95 29,80 125,72 1,4825 8,16 33,00 3 K2 5,91 28,70 116,74 1,3062 8,15 33,00 4 R31 5,88 30,10 107,76 0,7267 8,07 33,00 5 R21 5,65 30,10 116,74 1,9520 8,12 33,00 6 R32 5,78 30,10 125,72 2,2602 8,22 33,00 7 R22 5,77 30,00 89,80 1,1516 8,22 33,00 8 R11 5,74 29,90 116,74 1,8676 8,19 33,00 9 R12 5,55 30,30 107,76 2,2626 8,15 33,00 10 R42 5,62 30,10 89,80 1,3311 8,19 33,00 11 R43 5,62 29,90 116,74 2,2367 8,22 33,00 12 K3 5,64 30,10 116,74 2,0303 8,20 33,00 13 R23 5,57 30,40 116,74 2,4877 8,21 33,00 14 R13 5,56 30,60 107,76 1,4723 8,22 33,00 7 15 R33 5,55 30,50 125,72 2,5040 8,19 33,00 1 K1 5,78 29,80 33,00 2 R41 5,78 30,10 33,00 3 K2 5,70 29,00 33,00 4 R31 5,36 30,50 33,00 5 R21 5,46 30,60 33,00 6 R32 5,43 30,70 33,00 7 R22 5,45 30,30 33,00 8 R11 5,47 30,30 33,00 9 R12 5,42 30,60 33,00 10 R42 5,33 30,70 33,00 11 R43 5,32 30,40 33,00 12 K3 5,35 30,50 33,00 13 R23 5,40 30,80 33,00 14 R13 5,24 31,10 33,00 8 15 R33 5,30 31,00 33,00 1 K1 5,87 29,90 33,00 2 R41 5,70 30,20 33,00 3 K2 5,53 29,00 33,00 4 R31 5,51 30,50 33,00 5 R21 5,39 30,50 33,00 6 R32 5,37 30,50 33,00 7 R22 5,36 30,30 33,00 8 R11 5,42 30,30 33,00 9 R12 5,35 30,80 33,00 9 10 R42 5,24 30,70 33,00

(39)

11 R43 5,23 30,50 33,00 12 K3 5,26 30,50 33,00 13 R23 5,25 30,80 33,00 14 R13 5,05 31,10 33,00 15 R33 5,08 30,90 33,00 1 K1 6,04 30,10 107,76 1,0633 8,24 33,00 2 R41 5,81 30,50 116,74 1,5601 8,27 33,00 3 K2 5,88 29,40 107,76 0,7954 8,20 33,00 4 R31 5,90 30,80 107,76 1,1353 8,17 33,00 5 R21 5,72 30,80 161,64 0,9213 8,16 33,00 6 R32 5,77 30,80 188,58 1,0788 8,20 33,00 7 R22 5,75 30,60 125,72 1,1775 8,19 33,00 8 R11 5,81 30,60 116,74 0,7405 8,20 33,00 9 R12 5,83 31,00 89,80 1,4217 8,15 33,00 10 R42 5,70 30,90 89,80 0,9794 8,15 33,00 11 R43 5,64 30,50 134,70 0,9452 8,15 33,00 12 K3 5,69 30,60 107,76 1,2288 8,19 33,00 13 R23 5,45 31,10 116,74 0,9138 8,19 33,00 14 R13 5,49 31,20 125,72 1,0788 8,17 33,00 10 15 R33 5,47 31,20 125,72 1,7384 8,13 33,00

(40)

(

)

x100% A 2 X A 1 X       + − = Lampiran 3. Analisa kimia Prosedur analisa kadar air:

1. Cawan dipanaskan didalam oven (110oC) selama ±1 jam kemudian

dimasukkan kedalam eksikator ±30 menit dan ditimbang(X1) 2. Bahan ditimbang 2-3 g.

3. Cawan dan bahan dimasukkan didalam oven (110oC) selama 4 jam

kemudian dimasukkan kedalam eksikator selama ±30 menit dan ditimbang (X2).

Kadar air

Prosedur analisa kandungan vitamin C: 1. Pembuatan larutan Iodium

Iodium P sebanyak 14 g dilarutkan dalam larutan 36 g kalium iodida P dalam 100 ml air, ditambahkan 3 tetes asam klorida P, lalu diencerkan dengan air hingga 1000 ml.

2. Pembakuan larutan Iodium

Ditimbang kurang lebih 30 mg arsen trioksida P yang sebelumnya telah dikeringkan pada suhu 105ºC selama 1 jam dan dilarutkan dalam 20 ml natrium hidroksida 1 N. Jika perlu dihangatkan. Larutan tersebut kemudian diencerkan dengan 40 ml air, ditambahkan dengan 2 tetes metil jingga metil LP, kemudian asam klorida encer hingga warna kuning berubah menjadi merah muda. Ditambahkan 2 g natrium bikarbonat P dan diencerkan dengan 50 ml air lalu ditambahkan 3 ml kanji LP. Larutan tersebut kemudian dititrasi dengan iodium hingga terjadi warna biru yang mantap. Dihitung normalitas 1 ml I2 0,1 N yang

setara dengan 4,946 mg arsen trioksida. 3. Pembuatan larutan kanji

Satu g kanji dicampur dengan 10 mg raksa (II) iodida P dan air dingin secukupnya hingga menjadi pasta tipis. Ditambahkan 200 ml air mendidih, dan didihkan selama 1 menit sambil terus diaduk. Setelah dingin, digunakan hanya bagian larutan yang jernih.

4. Pembuatan asam klorida encer

(41)

5. Penetapan kadar vitamin C

Sampel yang mengandung vitamin C ditimbang sebanyak 5 g, kemudian dilarutkan dalam campuran 100 ml air dan 25 ml asam sulfat 2 N, ditambahkan 3 ml kanji LP. Larutan tersebut segera dititrasi dengan Iodium 0,1 N LV.(1 ml iodium 0,1 N setara dengan 8,806 mg C6H8O6).

(42)

Lampiran 4. Kandungan vitamin C dan kadar air tubuh larva udang vannamei dan rotifer.

Data kandungan vitamin C tubuh larva udang vannamei (µg/g bobot keringudang) Perlakuan Ulangan K R1 R2 R3 R4 1 12,70 16,90 17,90 28,40 20,30 2 11,20 19,20 18,40 23,10 20,10 3 11,50 17,60 19,20 22,00 22,30 Rata-rata 11,80±0,79 17,90±1,18 18,50±0,66 24,50±3,42 20,90±1,222

Data kandungan vitamin C rotifer ( µg/g bobot kering rotifer) Perlakuan Ulangan K R1 R2 R3 R4 1 - 25,60 43,30 45,50 59,10 2 - 25,10 39,60 44,30 65,10 3 - 27,30 43,10 48,20 67,80 Rata-rata - 26,00±1,15 42,00±7,28 46,00±1,99 64,00±4,45

Data kadar air tubuh larva udang vannamei (%) Perlakuan Ulangan K R1 R2 R3 R4 1 90,24 91,77 91,03 90,2 93,03 2 90,34 91,13 90,88 91,01 91,87 3 90,41 90,85 91,12 90,32 92,03 Rata-rata 90,33±0,09 91,25±0,47 91,01±0,12 90,51±0,44 92,31±0,63

Keterangan : ulangan dalam data ini merupakan ulangan pentitrasian sampel, bukan ulangan dari perlakuan.

(43)

Lampiran 5. Panjang total tubuh larva udang vannamei. Panjang total (mm) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata K(mm) 3,00 3,00 3,00 3,00±0,00a R1(mm) 3,19 2,86 3,00 3,02±0,16a R2(mm) 3,02 3,25 3,14 3,14±0,39a R3(mm) 3,09 3,07 3,76 3,31±0,16a R4(mm) 3,22 3,12 3,43 3,26±0,17a

(44)

Lampiran 6. Analisis ragam panjang total larva udang vannamei. Descriptives

Rata-rata dalam selang kepercayaan 95% Perlakuan Jumlah Rata-rata Std. Deviasi Std. Error

terendah Nilai tertinggi Nilai Minimum Maksimum

K 3 3,0000 ,00000 ,00000 3,0000 3,0000 3,00 3,00 R1 3 3,0167 ,16563 ,09563 2,6052 3,4281 2,86 3,19 R2 3 3,1367 ,11504 ,06642 2,8509 3,4224 3,02 3,25 R3 3 3,3067 ,39273 ,22674 2,3311 4,2823 3,07 3,76 R4 3 3,2567 ,15822 ,09135 2,8636 3,6497 3,12 3,43 Total 15 3,1433 ,21849 ,05641 3,0223 3,2643 2,86 3,76 ANOVA

Jumlah kuadrat df Rata-rata kuadrat F Sign.

Perlakuan ,228 4 ,057 1,298 ,335

Kelompok ,440 10 ,044

(45)

Lampiran 7. Data jumlah larva udang vannamei (ind). Perlakuan K R1 R2 R3 Hari ke- 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 0 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 1 29700 29400 28800 28500 28500 29700 29100 28500 29400 29100 29400 29700 2 16500 30000 25500 29700 27900 25500 29400 28200 27000 29400 29400 20400 3 29700 30000 25800 30000 27000 24600 27900 30000 26400 29400 28800 20700 4 19500 29100 20100 24900 16500 29400 28500 29700 30000 29700 28200 25800 5 16500 30000 25500 28200 16800 29100 28800 28800 29100 29400 28500 26400 6 6600 23100 18000 27300 16500 23700 27300 28500 25500 25800 21900 19500 7 6600 29100 21300 28200 18900 24900 27300 29400 24600 26400 22200 19500 8 7500 29100 22500 28500 18900 24900 27900 29400 25200 28800 26700 19500 9 4500 17100 16200 28200 17100 21600 29400 30000 22200 28800 26700 19500 10 4500 13200 15900 17400 17100 13800 20400 26400 22200 29400 20400 19800

(46)

Lampiran 8. Data jumlah larva pada awal dan akhir perlakuan dan kelangsungan hidup larva udang vannamei.

Perlakuan Ulangan Awal perlakuan (ind) Akhir perlakuan (ind)

SR(%) 1 29700 4500 15,15 2 30000 15900 53,00 K 3 25800 13200 51,16 Rata-rata 28500±1352,775a 11200±3439,48a 39,00±21,34a 1 30000 17400 58,00 2 27000 17100 63,33 R1 3 24600 13800 56,10 Rata-rata 27200±1562,050a 16100±1153,26a 59,19±3,75a,b 1 30000 20400 73,12 2 27900 26400 88,00 R2 3 26400 22200 84,09 Rata-rata 28100±1044,031a 23000±1777,64b 81.85±7,72b 1 29400 29400 100,00 2 28800 19800 70,83 R3 3 20700 20400 95,65 Rata-rata 26300±2805,352a 23200±3104,84b 88,21±15,749,11b 1 30000 18600 62,00 2 25500 15600 61,18 R4 3 25200 15300 60,71 Rata-rata 26900±1552,417a 16500±1053,57a 61,34±0,65a,b

(47)

Lampiran 9. Analisis ragam kelangsungan hidup larva udang vannamei Descriptives

Rata-rata dalam selang kepercayaan

95%

Perlakuan Jumlah Rata-rata Std.

Deviasi Error Std.

Nilai

terendah tertinggi Nilai

Minimum Maksimum K 3 39.7700 21.34138 12.32145 -13.2449 92.7849 15.15 53.00 R1 3 59.1433 3.74815 2.16400 49.8324 68.4543 56.10 63.33 R2 3 81.7367 7.71409 4.45373 62.5738 100.8995 73.12 88.00 R3 3 88.8267 15.73660 9.08553 49.7348 127.9186 70.83 100.00 R4 3 61.2967 .65287 .37693 59.6749 62.9185 60.71 62.00 Total 15 66.1547 20.92732 5.40341 54.5655 77.7438 15.15 100.00 ANOVA

Jumlah kuadrat df Rata-rata F Sig. Perlakuan 4577.184 4 1144.296 7.363 .005 Kelompok 1554.155 10 155.415

Total 6131.339 14

Multiple Comparisons

Dependent Variable: SRPRLKN

Interval dalam selang kepercayaan 95% (I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

Nilai terendah Nilai tertinggi

K R1 -19.3733 10.17892 .374 -52.8730 14.1263 R2 -41.9667* 10.17892 .014 -75.4663 -8.4670 R3 -49.0567* 10.17892 .005 -82.5563 -15.5570 R4 -21.5267 10.17892 .285 -55.0263 11.9730 R1 K 19.3733 10.17892 .374 -14.1263 52.8730 R2 -22.5933 10.17892 .248 -56.0930 10.9063 R3 -29.6833 10.17892 .089 -63.1830 3.8163 R4 -2.1533 10.17892 .999 -35.6530 31.3463 R2 K 41.9667* 10.17892 .014 8.4670 75.4663 R1 22.5933 10.17892 .248 -10.9063 56.0930 R3 -7.0900 10.17892 .953 -40.5896 26.4096 R4 20.4400 10.17892 .328 -13.0596 53.9396 R3 K 49.0567* 10.17892 .005 15.5570 82.5563 R1 29.6833 10.17892 .089 -3.8163 63.1830 R2 7.0900 10.17892 .953 -26.4096 40.5896 R4 27.5300 10.17892 .123 -5.9696 61.0296 R4 K 21.5267 10.17892 .285 -11.9730 55.0263 R1 2.1533 10.17892 .999 -31.3463 35.6530 R2 -20.4400 10.17892 .328 -53.9396 13.0596 R3 -27.5300 10.17892 .123 -61.0296 5.9696

(48)

Lampiran 10. Persentase harian larva (%) pada setiap stadia

Persentase larva pada setiap stadia(%) Hari

ke- Stadia larva udang K1 K2 K3 R11 R12 R13 R21 R22 R23 R31 R32 R33

0 N6 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Rata-rata 100,00 100,00 100,00 100,00 1 N6 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 000 0,00 0,00 Rata-rata 0,00 0,00 0,00 0,00 Z1 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100.,00 100,00 100,00 100,00 10000 100,00 Rata-rata 100,00 100,00 100,00 100,00 2 Z1 30,00 50,00 30,00 40,00 0,00 30,00 0,00 0,00 50,00 10,00 25,00 0,00 Rata-rata 38,33 23,33 16,67 11,67 Z2 70,00 50,00 6500 60,00 100,00 70,00 100,00 100,00 50,00 9,.00 75,00 100,00 Rata-rata 61,67 76,67 83,33 88,33 3 Z2 100,00 75,00 100,00 100,00 100,00 80,00 90,00 100,00 60,00 100,00 100,00 100,00 Rata-rata 91,67 93,33 83,33 100,00 Z3 0,00 25,00 0,00 0,00 0,00 20,00 10,00 0,00 40,00 0,00 0,00 0,00 Rata-rata 8,33 6,67 16,67 0,00 4 Z2 100,00 0,00 20,00 15,00 30,00 40,00 0,00 0,00 25,00 0,00 25,00 0,00 Rata-rata 40,00 28,33 8,33 8,33 Z3 0,00 100,00 80,00 85,00 70,00 60,00 100,00 100,00 75,00 100,00 75,00 100,00 Rata-rata 6,.00 71,67 91,67 91,67 5 Z2 50,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 30,00 0,00 Rata-rata 16,67 0,00 0,00 10,00 Z3 50,00 100,00 100,00 100,00 80,00 100,00 70,00 65,00 50,00 60,00 30,00 100,00 Rata-rata 8333 93,33 61,67 63,33 M1 0,00 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00 30,00 35,00 50,00 40,00 40,00 0,00 Rata-rata 0,00 6,67 38,33 26,67 6 Z2 30,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

(49)

Lampiran 11. Analisis ragam stadia PL1 larva udang vannamei Descriptives

Rata-rata dalam selang kepercayaan 95% Perlakuan

Jumlah Rata-rata

Std. Deviasi

Std. Error terendah Nilai tertinggi Nilai Minimum Maksimum

K 3 30.0000 30.00000 17.32051 -44.5241 104.5241 .00 60.00 R1 3 41.6667 36.85557 21.27858 -49.8877 133.2210 .00 70.00 R2 3 70.0000 .00000 .00000 70.0000 70.0000 70.00 70.00 R3 3 60.0000 10.00000 5.77350 35.1586 84.8414 50.00 70.00 5 3 55.0000 30.41381 17.55942 -20.5521 130.5521 35.00 90.00 Total 15 51.3333 26.08137 6.73418 36.8899 65.7767 .00 90.00 ANOVA

Jumlah Kuadrat df Rata-rata kuadrat F Sign.

Perlakuan 2956.667 4 739.167 1.126 .398

Kelompok 6566.667 10 656.667

Total 9523.333 14

(50)

Lampiran 12. Waktu intermoult larva udang vannamei (hari).

Waktu intermolt larva udang vannamei (hari) Fase intermolt larva K1 K2 K3 R11 R12 R13 R21 R22 R23 R31 R32 Z1-Z3 3,30 2,50 2,45 2,55 2,60 3,30 2,90 3,00 2,50 2,10 2,25 Rata-rata 2,75±0,49a 2,82±0,42a 2,80±0,26a 2,45±0,48a Z3-M3 3,50 4,10 4,75 4,60 4,35 4,60 4,45 4,40 3,00 4,15 3,25 Rata-rata 4,12±1,16a 4,52±0,14a 3,95±0,82a 3,70±0,45a

Gambar

Tabel 2.  Kadar vitamin C dalam rotifer dan tubuh larva setelah diberi  perlakuan  pengkayaan vitamin C (µg/g bobot kering bahan)…   17
Tabel 1. Kisaran parameter kualitas air pemeliharaan larva udang vannamei yang  diukur selama penelitian
Tabel 2. Kadar vitamin C dalam rotifer dan tubuh larva setelah diberi perlakuan   pengkayaan vitamin C (µg/g bobot kering bahan)
Gambar 2. Kelangsungan hidup larva udang vannamei di akhir penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Adapun yang di pelajari langkah-langkah dalam penelitian geografi Melakukan piket guru berupa: mendata absensi siswa, menerima tamu sekolah, menyampaikan titipan tugas dari

Retaliasi World Trade Organization (WTO) Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Ranah Perdagangan Internasional.. Universitas Gadjah

KALALO NUGROHO NIP.. DINAS PERHUBUNGAN ... Stasiun Komunikasi Radio Antar Penduduk atas nama ... milik Saudara ... melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ...

Dalam geografi ortodoks terdapat pemisahan di antara lingkup geografi. Sekat yang ada seolah memecah geografi menjadi ilmu pengetahuan sendiri. Konsentrasi di lingkup

Aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu periode akuntansi untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat

dari bentuk massa bangunannya menyesuaikan dengan bentuk bangunan lama, akan tetapi diberikan tambahan dimana struktur tidak hanya sebagai penahan beban, tetapi dapat

Kejadian demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pengamatan selama kurun waktu 20 sampai 25 tahun sejak awal ditemukan kasus DBD