• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang akan semakin berisiko mengalami demensia dengan semakin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Seseorang akan semakin berisiko mengalami demensia dengan semakin"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seseorang akan semakin berisiko mengalami demensia dengan semakin bertambahnya usia (Suriastini, et. al., 2016). Demensia atau pikun merupakan gejala penurunan kemampuan berpikir seseorang yang dapat mempengaruhi kemampuan sesorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Alzheimer’s Association, 2017). Gangguan fungsi kognitif, gangguan fisik, emosional dan sosial yang dapat mempengaruhi cara berpikir dan perilaku penderita demensia (Alzheimer’s Australia, 2016; Fairbairn, 2007). Demensia merupakan penyakit kronis yang dapat menyebabkan ketidakmampuan bagi penderitanya, ketidakmampuan yang dialami penderita demensia lebih berat daripada penderita penyakit malaria, tetanus dan penderita kanker payudara (Alzheimer’s Disease International, 2006).

Ketidakmampuan tersebut berupa hilangnya penilaian, orientasi dan kemampuan memahami serta komunikasi secara efektif (Alzheimer’s Association, 2010), selain itu penderita juga dapat mengalami gejala neuropsikiatri atau disebut dengan behavioural and psychological symptoms of dementia (BPSD) (Cerejeira et.,al, 2012). Gejala neuropsikiatri dibagi menjadi dua yaitu gejala perilaku yang meliputi disinhibisi, agitasi, wandering dan reaksi ledakan amarah (katastrofik) dan gejala psikologis yang meliputi depresi, apati, kecemasan, waham, halusinasi, misidentifikasi (Khairiah & Margono, 2012). Oleh karena itu demensia

(2)

menjadi ditakuti oleh lansia (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003). Lebih dari 35 juta orang hidup dengan demensia, terutama yang berusia 65 tahun keatas (Prince and Jackson, 2009). Di dunia, demensia menjadi prioritas kesehatan dari salah satu penyakit degeneratif (WHO, 2012).

Sekitar 30 juta orang yang ada di dunia menderita demensia, pada tahun 2005 sebanyak 13,7 juta orang di Asia Pasifik penderita demensia jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat menjadi 64,6 juta orang pada tahun 2050 (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003; Alzheimer’s Disease International, 2006). Di Asia Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke- 4 setelah negara China, India dan jepang (Alzheimer’s Disease International, 2006). Jumlah penderita demensia di Indonesia pada tahun 2015 kurang lebih sebanyak 500 ribu orang dan diperkirakan pada tahun 2030 meningkat menjadi 2,3 juta (World Alzheimer Report, 2016). Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk lansia dan umur harapan hidup (UHH), jumlah lansia di Indonesia yaitu 23,9 juta (9,77%) pada tahun 2010 menjadi 28,8 juta (11,34%) pada tahun 2020 (Kemenkes, 2015; Alzheimer’s Disease International, 2006).

Indonesia memiliki lima propinsi dengan umur harapan hidup tertinggi diatas 70 tahun yaitu Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur. Yogyakarta menempati urutan pertama dengan umur harapan hidup 73,62 tahun dan Kalimantan Timur menempati urutan kelima dengan umur harapan hidup 71,78 tahun. (Dinkes.Jogjaprov, 2015). Angka prevalensi demensia di Yogyakarta dapat dikarenakan jumlah lansia yang mencapai 20,1 % semakin meningkatnya umur

(3)

maka prevalensi demensia juga akan meningkat. Satu dari 10 lansia dengan demensia berada pada umur 60 tahun dan 7 dari 10 lansia dengan demensia berada pada umur 90 tahun (Suriastini, et.al, 2016). Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada perawat Poli Memori RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, kurang lebih dalam satu bulan terdapat 60 orang pasien demensia yang berobat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Penyebab demensia 60% sampai 80% dikarenakan penyakit Alzheimer, 10 % karena demensia vaskular yang merupakan akibat dari penyumbatan pembuluh darah atau stroke, 10 % penyebab yang dikarenakan oleh demensia lewy body, demensia frontotemporal dan penyakit lainnya (Alzheimer’s Association, 2010; Alzheimer’s Association, 2016). Penyakit tersebut antara lain degenerasi otak (seperti parkinson dan pick), cemas, depresi, penyakit tiroid, paratirod, penyakit diabetes atau kencing manis, setelah cuci darah, mata kabur, tuli, kurang bahan gizi (defisiensi vitamin B12, B6, Zn dan asam folat), normal presure hydrocephalus, gegar otak, perdarahan orak, infeksi susunan saraf pusat, AIDS, sifilis, meningitis, ensefalitis, anemia, stroke (Probosuseno, 2011). Oleh karena itu demensia menjadi prioritas utama kesehatan di dunia (WHO, 2012).

Demensia merupakan penyakit kronis yang memiliki beberapa tantangan antara lain memerlukan biaya yang cukup besar dan kesabaran bagi keluarga yang merawat (Astuti, 2010). Selain itu, tantangan terbesar yang berkait dengan demensia adalah adanya stigma masyarakat tentang penyakit demensia yaitu “demensia bukan suatu penyakit tetapi merupakan akibat dari proses penuaan yang wajar terjadi pada lansia” (Alzheimer’s Disease International, 2006). Stigma

(4)

tersebut dapat menjadi salah satu faktor peningkatan jumlah penderita demensia dan lemahnya perhatian bagi penderita demensia yang akan mempengaruhi perawatan yang diberikan kepada mereka. Karena ketidakmampuan yang dialami penderita demensia, mereka akan tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka, orang tersebut sering disebut dengan istilah caregiver (Alzheimer’s Disease International, 2006; Yuliawati & Handadari, 2013).

Di Indonesia, peran caregiver paling banyak dilakukan oleh keluarga (istri, anak, menantu) sebagai wujud tanggung jawab, balas budi, tolong menolong, menyayangi dan mencintai kepada suami ataupun orangtua yang sedang sakit (Riasmini et.al., 2013; Effendy et.al., 2014). Di Amerika serikat, sebanyak 83% caregiver merawat penderita demensia dan caregiver tersebut berasal dari keluarga dan teman mereka sedangkan lebih dari 50% caregiver tinggal bersama penderita demensia (Alzheimer’s Association, 2016). Begitu pula dibeberapa negara berkembang seperti Asia Tenggara, China, India, Amerika Latin, Karibia, dan Nigeria (Dementia Research Group, 2004). Di Korea, sebagian besar penderita demensia dirawat oleh keluarga tepatnya menantu perempuan (Hong dan Kim, 2008). Dapat disimpulkan bahwa baik di Indonesia maupun di Amerika serikat, Asia ataupun beberapa negara berkembang dengan kebudayaan yang berbeda antara budaya timur dan barat tetapi dalam merawat penderita demensia ternyata memiliki kesamaan yaitu semua perawatan menjadi tanggungjawab keluarga.

Merawat keluarga yang sedang sakit di rumah dapat dilakukan oleh seluruh anggota keluarga tetapi menurut tradisi perempuan atau anak perempuan tunggal

(5)

ataupun yang belum menikah mempunyai peran sebagai pemberi asuhan secara alamiah serta memiliki tanggungjawab terhadap orangtuanya (Lueckenotte, 2003 dalam Badriyah, 2011). Menurut Alzheimer’s Association, (2016) Lebih dari sepertiga perempuan memiliki tanggung jawab untuk merawat penderita demensia karena caregiver perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh daripada laki-laki sehingga kondisi tersebut memungkinkan pengasuh perempuan mengalami burden yang lebih tinggi, depresi dan gangguan kesehatan daripada laki-laki.

Oleh karena itu keluarga yang merawat pasien demensia membutuhkan persiapan secara fisik, mental, sosial maupun finansial, apabila keluarga kurang persiapan dalam memberikan perawatan maka keluarga akan mengalami burden bagi penderita dan keluarga yang memberikan perawatan (Shaji et al., 2003 dalam Putri, 2013; Alzheimer’s Disease International, 2006). Caregiver burden merupakan kesulitan yang dialami keluarga karena adanya anggota keluarga yang mengalami penyakit yang berkepanjangan (Magliano, 2006).

Burden caregiver dengan penyakit demensia akan lebih tinggi dibandingkan burden caregiver dengan penyakit kronis (Maryam et.al., 2012). Dikarenakan perubahan perilaku yang terjadi pada penderita demensia, waktu yang lama untuk merawat penderita demensia dengan ketergantungan hal tersebut dapat menjadi faktor risiko timbulnya burden caregiver, sehingga dalam merawat anggota keluarga dengan demensia membutuhkan perawatan, pengawasan yang intensif (Clarck dan Diamond, 2010; Putri, 2013; ‘ibad et.al., 2015).

(6)

Burden caregiver dapat dipengaruhi oleh status kesehatan keluarga, kemampuan merawat, dukungan sosial, kepuasan merawat, kondisi lansia, masalah yang dialami lansia serta jumlah jam yang digunakan caregiver untuk merawat lansia (Conde-Sala et.al, 2008). Menurut Vugt & Verhey (2013) yang dilakukan di Netherland bahwa keluarga mengalami burden saat merawat pasien dengan demensia, namun mereka tetap melakukannya dengan alasan adanya rasa belas kasihan dan balas budi terhadap orang tua mereka, dengan menginginkan suatu harapan yang baru tentang kesembuhan orang tua mereka.

Burden pasangan yang merawat penderita dengan demensia akan lebih tinggi daripada penderita demensia sehingga dapat mempengaruhi kepuasan hidup, kesehatan mental, wellbeing dan kualitas hidup pasangan tersebut (caregiver). Burden caregiver yang meningkat dapat mempengaruhi kualitas hidup caregiver ataupun penderita demensia sehingga perawatan yang diberikan ataupun yang didapatkan menjadi tidak maksimal. Keluarga sebagai caregiver akan merasakan dampak akibat demensia yang dapat mempengaruhi kualitas hidup caregiver itu sendiri (Georgia et.al., 2015; Prince & Jackson, 2009 dalam Eisai, 2013).

Dampak tersebut antara lain penyakit jantung (Mausbach, et. al., 2007), masalah tidur (Simpson and Carter, 2013), gejala fisik dan psikologis seperti hipertensi, masalah pencernaan, gangguan tidur, penyakit pernafasan, penurunan sistem kekebalan tubuh, depresi, kecemasan dan gangguan tidur yang dialami sekitar 60 % keluarga yang mengasuh orang dengan demensia (Gaugler et.al., 2009 & Haley et.al., 2008).

(7)

Uraian diatas sesuai dengan yang diungkapkan dalam penelitian Schölzel-Dorenbos, et.al, ( 2009) yang dilakukan di Netherland pada tahun 2009 tentang kualiats hidup dan beban pasangan pasien dengan Alzheimer. Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa pasangan mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien dengan penyakit Alzheimer. Burden caregiver yang tinggi dapat mempengaruhi kualitas hidup dari caregiver itu sendiri dan kualitas hidup yang dirasakan akan jauh lebih buruk daripada kualitas hidup pasien (Kemenkes, 2015). Berdasarkan tujuan pada perawatan rumah sakit dan perawatan paliatif yaitu dengan mengurangi beban pada family caregiver dapat meningkatkan kualitas hidup mereka (National Consensus Project for Quality Palliative Care. 2004).

Kualitas hidup caregiver dapat dipengaruhi oleh berbagai masalah dalam melakukan perawatan pada anggota keluarga dengan penyakit kronis. Kualitas hidup caregiver merupakan pengalaman hidup caregiver dalam merawat anggota keluarga yang sedang sakit dengan penuh rasa kepedulian tetapi tidak mempengaruhi peran caregiver didalam keluarga (Effendy et al, 2015). Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh usia, pengalaman merawat, tingkat pendidikan, hubungan pernikahan, kegiatan sehari-hari, psikologis, spiritual dan keuangan(Effendy et al, 2015), kondisi fisik, sosial dan lingkungan (Rohmah et.al.,2012).

Untuk menilai kualitas hidup family caregiver dalam merawat pasien dengan demensia pada penelitian ini menggunakan instrumen Short Form 36 (SF- 36). Kualitas hidup yang dirasakan family caregiver akan jauh lebih buruk daripada

(8)

kualitas hidup pasien (Kemenkes, 2015). Kualitas hidup tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai masalah yang dialami oleh caregiver karena perubahan perilaku penderita demensia (Cerejeira et.,al, 2012). Masalah tersebut dapat mempengaruhi perawatan yang diberikan kepada penderita demensia serta dapat mempengaruhi kualitas hidup family caregiver itu sendiri. Hasil wawancara yang dilakukan kepada salah satu keluarga yang mengasuh pasien dengan demensia. Keluarga sering merasa kesal dan marah dengan perilaku yang ditunjukkan oleh pasien. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara burden family caregiver terhadap kualitas hidup family caregiver dalam merawat pasien demensia. Penelitian tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia khususnya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara burden family caregiver dengan kualitas hidup family caregiver dalam merawat pasien demensia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara burden family caregiver dengan kualitas hidup family caregiver dalam merawat pasien demensia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui burden family caregiver dalam merawat pasien dengan demensia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

(9)

b. Mengetahui kualitas hidup family caregiver dalam merawat pasien dengan demensia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

c. Mengetahui burden family caregiver dan kualitas hidup family caregiver berdasarkan karakteristik responden dalam merawat pasien dengan demensia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

d. Mengetahui hubungan burden family caregiver dengan kualitas hidup family caregiver dalam merawat pasien dengan demensia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

D. Manfaat

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat mengembangkan dan menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan serta dapat menjadi referensi dan dasar penelitian selanjutnya.

2. Bagi Family Caregiver

Dapat menambah pengetahuan keluarga sehingga keluarga dapat merawat lansia dengan demensia dengan baik dan tidak mempengaruhi kualitas hidup keluarga/ family caregiver.

3. Bagi Instansi Terkait

Diharapkan dapat menambah informasi khususnya pada keluarga yang merawat lansia yang mengalami demensia terkait burden family caregiver dengan kualitas hidup family caregiver dalam merawat pasien demensia sehingga tidak mempengaruhi kualitas hidup keluarga serta tidak terjadi penelantaran pada lansia yang mengalami demensia.

(10)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengetahuan dan literatur yang ditelaah oleh peneliti, penelitian tentang hubungan antara burden family caregiver dengan kualitas hidup family caregiver dalam merawat pasien demensia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan. Penelitian yang berhubungan dengan hubungan antara burden family caregiver dengan kualitas hidup family caregiver yang pernah dilakukan antara lain:

Tabel. 1 Keaslian penelitian No. Penulis Judul

Penelitian

Metode dan Hasil Persamaan dan perbedaan 1. Yun, et,al. (2005) Economic Burdens and Quality of Life of Family Caregivers of Cancer Patients Design: Subyek:

Sampel 704 yang berasal

dari 6 rumah sakit

universitas dan nasional

cancer center yang ada

di Korea Instrumen:

Penelitian ini

menggunakan instrumen Caregiver QOL Index Cancer (CQOLC)

Hasil:

Beban ekonomi menjadi beban yang tertinggi dan beban ekonomi tersebut berhubungan erat dengan kualitas hidup caregiver dalam merawat pasien dengan kanker.

Persamaan:

Persamaan terletak pada variabel yang akan diteliti yaitu tentang Quality of Life Family Caregivers.

Perbedaan:

Perbedaan terletak pada tempat/ penelitian ini akan dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah lokasi Caregiver Reactive Assessment (CRA) untuk mengukur beban caregiver dan Short Form 36 (SF-36) untuk mengukur kualitas hidup caregiver. 2. Maryam, et.al., (2012) Beban keluarga merawat lansia dapat memicu tindakan kekerasan dan Design:

Cross sectional dan untuk pengambilan sampel secara Cluster multistage sampling.

Persamaan:

Persamaan terletak pada variabel yang akan diteliti yaitu tentang beban keluarga dan

(11)

Tabel. 1 Lanjutan No. Penulis Judul

Penelitian

Metode dan Hasil Persamaan dan perbedaan penelantaran

terhadap lansia.

Subyek:

Sampel yang digunakan sebanyak 205 responden. Instrumen:

penelitian ini

menggunakan instrumen Basic Activities of Daily Living (BADL) dan Instrumen Activities of Daily Living (IDL) Hasil:

Status kesehatan keluarga mempunyai hubungan bermakna terhadap beban merawat lansia

desain penelitian yang digunakan.

Perbedaan:

Perbedaan terletak pada responden yang akan digunakan dalam penelitian yaitu pasien

demensia, cara

pengambilan sampel penelitian yang akan dilakukan menggunakan secara purposive sampling, instrumen penelitian yang akan dilakukan menggunakan Caregiver Reactive Assessment (CRA) untuk mengukur burden caregiver dan Short Form 36 (SF-36) untuk mengukur kualitas hidup caregiver. 3. Scho¨lzel-Dorenbos, et.al., (2009) Quality of life and burden of spouses of alzheimer disease patients.

Design: Cross sectional study.

Subyek: Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasangan suami/istri yang menjadi caregiver pasien dengan demensia Alzheimer berjumlah 97 responden

Instrumen: Untuk menilai kualitas hidup peneliti menggunakan instrumen Evaluation of Individual Quality of Life (SEIQoL), sedangkan untuk menilai beban

Persamaan:

Variabel yang digunakan dalam penelitian sama-sama meneliti tentang Quality of life and burden. Desain yang digunakan sama-sama menggunakan desain Cross sectional study. Perbedaan: Perbedaan penelitian ini terletak pada sampel yang akan digunakan, instrumen penelitian yang akan dilakukan menggunakan Caregiver Reactive Assessment (CRA) untuk

(12)

Tabel. 1 Lanjutan No. Penulis Judul

Penelitian

Metode dan Hasil Persamaan dan perbedaan pasangan dalam merawat

pasien dengan Alzheimer peneliti menggunakan instrumen Self Rated Burden scale (SRB) and Zarit Burden Interview (ZBI).

Hasil: Pasangan akan mengalami kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien dengan penyakit Alzheimer dan pasangan merasakan beban pada tingkat yang sedang.

mengukur burden caregiver dan Short Form 36 (SF-36) untuk mengukur kualitas hidup caregiver. 4. Widyastuti (2011) Gambaran beban keluarga dalam merawat lansia dengan demensia di kelurahan pancoranmas, depok, jawa barat: studi

fenomenologi.

Partisipan penelitian ini adalah anggota keluarga utama yang merawat lansia demensia.

Instrumen:

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Hasil: Penelitian ini teridentifikasi 4 tema yaitu: 1) beban fisik; 2) beban psikologik; 3); beban ekonomi dan 4) beban sosial. Beban keluarga merawat lansia dengan demensia sangat

beragam dan

mengakibatkan respon yang berbeda, sehingga perlu dicermati oleh pemberi asuhan lansia.

Perbedaan:

Penelitian ini tidak meneliti tentang kualitas

hidup keluarga

sedangkan paenelitian yang akan dilakukan meneliti tentang kualitas hidup keluarga, desain

penelitian ini

menggunakan study fenomenologi sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan desain deskriptif korelational, instrumen penelitian yang akan dilakukan menggunakan Caregiver Reactive Assessment (CRA) untuk mengukur burden caregiver dan Short Form 36 (SF-36) untuk mengukur kualitas hidup caregiver

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh perbedaan lama waktu kejutan panas yang berbeda terhadap daya tetas telur ikan mas ( Cyprinus carpio ) dengan

Dengan metode AHP dalam penentuan strategi peningkatan kinerja karyawan didapatkan prioritas tertinggi yaitu peningkatan fasilitas kerja dengan nilai prioritas sebesar

Kesimpulan: Tidak ada perbedaaan kepadatan tulang antara kategori lingkar pinggang normal dan obesitas abdominal pada wanita dewasa. Aktivitas fisik berhubungan

Tabel XXXIII PSPEC Lihat dan Ubah Siswa

Walaupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 masih membuka kekhususan untuk setiap pengadilan melalui pengaturan bagi kekhususan lingkungan peradilan masing-masing,

Kabupaten Garut mempunyai ketinggian tempat yang bervariasi antara wilayah yang paling rendah yang sejajar dengan permukaan laut hingga wilayah tertinggi di puncak gunung..

Fenomena budaya yang dimaksudkan di sini ialah berkenaan dengan keyakinan iman, nilai-nilai, norma, adat-istiadat, penggunaan simbol-simbol dan praktik dalam kehidupan

ƒ Dalam hal kontrak tahunan, syarat di mana perusahaan siap untuk melakukan renewal mungkin berbeda dari syarat yang berlaku sebelumnya. ƒ Misal, dengan meningkatnya kejadian