• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. food, workaholic style, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, polusi,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. food, workaholic style, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, polusi,"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan teknologi yang semakin canggih membuat gaya hidup manusia menjadi lebih modern. Gaya hidup modern belum tentu membuat hidup manusia lebih sehat. Makanan junk

food, workaholic style, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, polusi,

kurangnya olahraga, stres, bahkan narkoba bisa menyebabkan dampak pada fisik dan psikologis, sehingga bisa menjadi penyebab seseorang terserang stroke.

Stroke adalah defisit atau gangguan pada fungsi saraf secara mendadak yang disebabkan adanya gangguan peredaran darah ke otak, dapat berupa sumbatan pembuluh darah atau pecahnya pembuluh darah di otak (Pinzon, 2010). Stroke dibedakan menjadi dua, yaitu stroke hemoragik (stroke akibat pecahnya pembuluh darah) dan stroke iskemik (stroke akibat penyumbatan pembuluh darah). Stroke tipe iskemik paling sering terjadi yaitu sekitar 85% dari semua kasus stroke (Alway dan Core, 2011), sedangan 15% lainnya adalah stroke tipe hemoragik (10% pendarahan intrasebral dan 5% pendarahan subaraknoid).

Stroke menjadi penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker di Amerika dan Inggris. Di Amerika, lebih dari 700.000 orang terserang stroke, dari jumlah tersebut 500.000 orang mengalami stroke serangan pertama dan 200.000 orang mengalami stroke berulang (Sutrisno, 2007; Setyopranoto, 2012). Jumlah penderita stroke di Indonesia menempati posisi ketiga setelah

(2)

commit to user

penyakit jantung dan kanker. Menurut dr. Herman Samsudin, Sp.S, seorang ahli saraf sekaligus Ketua Yastroki Cabang DKI Jakarta (2009), jumlah penderita stroke di Indonesia menempati posisi pertama di dunia. Sebagian besar penderita stroke berusia diatas 40 tahun dan lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki – laki (Sutrisno, 2007). Data penelitian melaporkan bahwa beberapa rumah sakit di Indonesia, baik di Jakarta maupun kota – kota lainnya menunjukkan bahwa sekitar 50% dari pasien yang dirawat di bangsal saraf menderita stroke dan sekitar 5% dari pasien yang dirawat tersebut meninggal karena terserang stroke (Misbach, 2001 dalam Setyopranoto, 2012)

Seseorang yang menderita stroke memiliki tiga kemungkinan, yaitu meninggal, sembuh dengan kelumpuhan, dan sembuh tanpa kelumpuhan. Jumlah penderita stroke yang meninggal sebanyak 28,5% dan hanya 15% penderita yang bisa sembuh total dari serangan stroke tanpa kelumpuhan, sedangkan sisanya menderita kelumpuhan, baik kelumpuhan secara total maupun lumpuh sebagian (Sutrisno, 2007).

Ketika sembuh dari stroke dengan kelumpuhan, baik sebagian atau keseluruhan, maka pasien tidak bisa beraktivitas lagi seperti sebelum terserang stroke. Mereka membutuhkan perawatan dan bantuan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari. Menurut American Heart Association (2012), seseorang baik itu pasangan, anggota keluarga, mapun teman yang menyediakan bantuan untuk merawat penderita stroke disebut dengan istilah

caregiver. Caregiver ada dua jenis, yaitu caregiver formal dan caregiver informal. Caregiver formal adalah perawatan yang disediakan oleh tenaga profesional dan

(3)

commit to user

ada pembayaran, sedangkan caregiver informal adalah perawatan yang dilakukan dirumah dan tidak ada pembayaran yaitu perawatan dari keluarga, seperti istri atau suami, anak, dan anggota keluarga lainnya (Barrow, 1996).

Seseorang yang berperan sebagai caregiver, khususnya di Indonesia biasanya adalah anggota keluarga dari penderita. Menurut Agronin (2008), peran sebagai

caregiver sekitar 90% adalah perempuan dan 50% diantaranya adalah pasangan.

Ketika seorang suami menderita sakit dan membutuhkan perawatan maka sang istri akan berperan sebagai caregiver. Istri sebagai pasangan akan berperan sebagai primary caregiver dalam memberikan perawatan pada pasangannya (Messecar, 2008). Seorang primary caregiver memiliki tanggung jawab untuk memberikan dukungan, merawat pasien (membuatkan makanan, memberikan obat, memandikan, memakaikan baju, membantu ke toilet, berpindah tempat), mengatur keuangan, menentukan keputusan tentang perawatan yang akan dijalani pasien, dan berkomunikasi dengan dokter dan perawat (Kung, 2003 dalam Mackmuroch, Karyanta, dan Agustin, 2012).

Peran menjadi seorang caregiver hari demi hari dalam jangka waktu yang panjang bisa menyebabkan istri mengalami tekanan dalam pemberian perawatan pada pasien. Hasil penelitian Bugge, Alexander H. dan Hagen S. (1999) menunjukkan bahwa 37 % dari caregiver akan mengalami tekanan besar dalam perawatan pada enam bulan pertama merawat pasien stroke. Hal ini menurut

Revitalizing Psychiatry (2013), dikarenakan adanya kebutuhan yang belum

(4)

commit to user

emosi, stres, kondisi fisik, dan menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab untuk merawat pasien.

Peran sebagai seorang caregiver rentan mengalami tekanan. Tekanan – tekanan yang muncul pada caregiver dari lansia, penderita penyakit kronis, anggota keluarga atau orang lain yang menderita kecacatan disebut dengan

caregiver burden atau beban perawatan (Oncology Nursing Society, 2008). Caregiver Burden adalah istilah yang sering menggambarkan kondisi seorang caregiver yang mengalami tekanan baik fisik, emosi, maupun keuangan (Agronin,

2008).

Caregiver burden yang dirasakan oleh caregiver akan memberikan dampak

bagi kondisi caregiver, baik itu secara fisik, psikologis atau emosi, sosial, maupun keuangan. Fenomena yang ditemukan di lapangan, istri yang berperan sebagai

caregiver dari segi fisik mengeluhkan kurangnya waktu untuk istirahat atau tidur,

kurang dapat membagi waktu, kesehatan menurun, dan merasa cepat lelah. Sedangkan dari segi psikologis/emosi mengeluhkan beban hidupnya berat, sedih, cemas dengan kondisi suami, stres, kurangnya memiliki informasi dan pengalaman tentang cara merawat pasien stroke. Lebih lanjut dari segi sosial, istri yang berperan sebagai caregiver juga merasa kurang bersosialisasi dengan teman, saudara, dan tetangga sejak suaminya sakit karena disibukkan dengan kegiatan merawat suami, bekerja, dan menggantikan peran suami sebelum sakit. Selain itu dari segi ekonomi atau keuangan, istri mengeluhkan pengeluaran yang besar untuk pengobatan suami sehingga mengalami kesulitan dalam keuangan keluarga.

(5)

commit to user

Cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi caregiver burden menurut Honea, Brintnall, Given, Sherwood, Colao, Somers, dan Northouse (2008) ada beberapa cara, yaitu, intervensi psikoedukasi, intervensi dukungan (individu atau kelompok), intervensi multikomponen, dan psikoterapi. Psikoterapi adalah teknik pengobatan gangguan mental secara psikologis untuk membantu seseorang yang mengalami gangguan emosional agar bisa memodifikasi perilaku, pikiran, dan emosi sehingga bisa mengatasi stress dan menghadapi orang lain (Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem, 2010). Psikoterapi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok yang dipimpin oleh seorang profesional atau rekan.

Psikoterapi untuk caregiver dari penderita stroke dapat dilakukan dengan terapi kelompok. Terapi kelompok dipilih sebagai intervensi karena memiliki permasalahan yang hampir sama selama berperan sebagai caregiver dari penderita stroke. Caregiver yang tergabung dalam terapi kelompok akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan umpan balik segera dari anggota kelompok, dan memberikan kesempatan pada peserta dalam kelompok dan terapis untuk mengobservasi respon psikologis, emosional, dan perilaku individu terhadap anggota kelompok lainnnya (Saddock dan Saddock, 2007). Beberapa terapi kelompok yang dapat dilakukan pada caregiver yaitu education group, self help

group (Videbeck, 2007), supportive group therapy (Stuart dan Laraia, 2005), dan multiple family therapy (Bedell, dkk, 1997 dalam Hernawaty, 2009).

Dari berbagai psikoterapi kelompok, supportive group therapy dipilih karena

caregiver dapat berbagai pengalaman dan menceritakan permasalahan yang

(6)

commit to user

dalam membantu perawatan pasien dan mengurangi caregiver burden. Dukungan sosial (social support) sangat diperlukan bagi caregiver dalam memberikan perawatan pada pasien. Dukungan sosial berfokus pada interaksi yang terjadi dalam hubungan sosial dan memiliki manfaat untuk memberikan support (Roth, 1991 dalam Friedman, Bowden, dan Jones, 2013). Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga besar, teman, tetangga, kelompok, dan tenaga profesional lainnya (Mccubbin, Olson, dan Larsen, 1991 dalam Friedman, Bowden, dan Jones, 2013).

Dukungan sosial yang diperlukan bagi seorang caregiver ada empat tipe, yaitu dukungan informasional, instrumental (seperti pertolongan dan bantuan secara langsung), penilaian, dan emosional (House dan Kahn, 1985 dalam Friedman, Bowden, dan Jones, 2013). Dukungan sosial yang dapat diperoleh diantaranya caregiver dapat berbagi kesulitan, kecemasan, dan masalah yang dihadapi, meminta pendapat dan saran, mendapatkan support, dan mendapat bantuan dalam merawat pasien (Mccubbin, Olson, dan Larsen, 1991 dalam Friedman, Bowden, dan Jones, 2013).

Meskipun tidak semua orang memerlukan dukungan dari luar, tetapi menurut

American Group Psychotherapy Association (2013), ketika seorang primary caregiver bergabung atau mengikuti group therapy maka mereka akan mendapat

kesempatan untuk belajar dari pengalaman orang lain, memahami pemikiran, perilaku diri sendiri dan orang lain, melihat reaksi anggota kelompok satu sama lain. Berinteraksi dengan anggota kelompok juga membantu caregiver mengatasi permasalahan yang dihadapinya.

(7)

commit to user

Supportive group therapy, dapat membantu caregiver berbagi dengan orang

lain sehingga caregiver dapat memantau perasaan mereka, membantu caregiver untuk menantang pikiran negative yang dapat menimbulkan masalah, membantu

caregiver untuk pemecahan masalah, dan membantu caregiver terlibat dalam

kegiatan menyenangkan sehingga membawa pengalaman positif (Honea, dkk, 2008). Para caregiver melalui supportive group therapy dapat saling bercerita dan bertukar pengalaman hidup mereka, mengomentari perilaku seseorang, dan mendiskusikan masalah yang dihadapi ketika berperan sebagai caregiver sehingga mendapatkan ketenangan batin dan dukungan karena mengetahui ternyata orang lain juga mengalami masalah yang serupa dengan masalah yang dihadapinya bahkan ada yang lebih berat (Atkinson,dkk, 2010).

Gonyea, 1989; Toseland, Rossiter dan Labrecque,1989 (dalam Scharlach, Santo, Greenlee, Whittier, Coon, Kietzman, Mills-Dick, Fox, dan Aaker, 2002) menjelaskan bahwa peserta dalam supportive group therapy biasanya mengevaluasi bahwa adanya group therapy cukup berguna dan membantu para

caregiver. Para caregiver melalui supportive group therapy akan mendapatkan

pengetahuan dan meningkatkan hubungan dukungan informal bagi caregiver (Bourgeois, Schulz, dan Burgio, 1996 dalam Scharlach, dkk, 2002).

Penelitian – penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya tentang supportive

group therapy yaitu penelitian Husaini, Cummings, Kilbourne, Roback, Sherkat,

Levine, dan Cain (2004) menunjukkan bahwa group therapy efektif untuk mengurangi depresi pada kalangan wanita Kaukasia. Selanjutnya penelitian Wahyuningsih (2011) tentang supportive group therapy yang berpengaruh

(8)

commit to user

terhadap kemampuan merawat klien gagal ginjal kronik (GGK) yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Pelni Jakarta, dan supportive group therapy juga memberikan pengaruh pada penurunan tingkat kecemasan pada keluarga yang merawat anak tunagrahita (Dewi, 2012). Selain itu penelitian tentang pengaruh

supportive group therapy terhadap caregiver burden pernah dilakukan oleh Dewi

(2011) yang melaporkan bahwa terapi kelompok menunjukkan adanya perbedaan sebelum dan setelah terapi pada beban dan tingkat ansietas keluarga dalam merawat anak tunagrahita di SLB Kabupaten Banyumas.

Supportive group therapy dapat dilakukan di klinik rawat jalan, bangsal

rumah sakit, dan lembaga rehabilitasi. RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah salah satu rumah sakit di kota Yogyakarta sebagai badan layanan umum yang menjadi rujukan dari berbagai rumah sakit dan puskesmas, seperti daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. RSUP Dr. Sardjito memiliki pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Sejak tahun 2004, RSUP Dr. Sardjito telah memiliki unit stroke yang disediakan khusus untuk merawat pasien yang terserang stroke. Pasien yang menderita stroke, setelah menjalani perawatan di rawat inap akan melakukan perawatan di bagian rawat jalan khususnya di poliklinik saraf.

Data pasien stroke yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito dari tahun 2004 sampai tahun 2009 (Setyopranoto, 2012) yaitu penderita stroke pada tahun 2004 sebanyak 290 pasien, tahun 2005 sebanyak 371 pasien, tahun 2006 sebanyak 424 pasien, tahun 2007 sebanyak 407 pasien, tahun 2008 sebanyak 507 pasien, dan tahun 2009 sebanyak 507 pasien. Data tersebut menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah penderita stroke di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta mengalami

(9)

commit to user

peningkatan. Hal ini memungkinkan pasangan yang berperan sebagai caregiver mengalami peningkatan. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh supportive group therapy terhadap caregiver burden pada istri yang berperan sebagai primary caregiver penderita stroke.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu : apakah ada pengaruh supportive group therapy terhadap

caregiver burden pada istri yang berperan sebagai primary caregiver penderita

stroke?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh supportive

group therapy terhadap caregiver burden pada istri yang berperan sebagai primary caregiver penderita stroke.

D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoretis

a) Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pengaruh supportive group

therapy terhadap caregiver burden pada istri yang berperan sebagai primary caregiver penderita stroke

(10)

commit to user

b) Dapat berguna sebagai referensi ataupun bahan pembanding bagi peneliti lain yang ingin mengkaji mengenai permasalahan supportive group therapy dan caregiver burden pada caregiver

2. Manfaat Praktis

a) Bagi primary caregiver

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada para caregiver mengenai supportive group therapy dan caregiver burden. Diharapkan pula dengan adanya penelitian ini akan memberikan informasi, pengetahuan dan dukungan informal, khususnya pada caregiver dari penderita stroke.

b) Bagi rumah sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada rumah sakit, berupa informasi yang berkaitan dengan supportive group therapy dan

caregiver burden, sehingga pihak rumah sakit dapat memberikan pelayanan

tidak hanya pada pasien, tetapi juga bagi caregiver dari pasien. Pihak rumah sakit diharapkan dapat membentuk group support bagi caregiver untuk memberikan informasi, pelatihan perawatan, dan dukungan informal kepada

caregiver sehingga caregiver dapat berperan secara optimal dalam

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

Proses pembuatan jamu yang dilakukan oleh ketiga penjual jamu di wilayah Ngawen dapat dikatakan sebagian besar prosedur pembuatannya telah sesuai dengan Cara Pembuatan

UPAYA GURU DALAM MEMBANTU PERKEMBANGAN FISIK MOTORIK ANAK PRASELASIAN MELALUI KEGIATAN BERMAIN DI TK ISTIQOMAH KOTA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) nilai rata-rata postes keterampilan komu- nikasi siswa pada kelas yang diterap- kan model pembelajaran berbasis

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk