• Tidak ada hasil yang ditemukan

I TERKULTURALISASI TOKOH KIAI AHMAD DAHLA DALAM OVEL SA G PE CERAH KARYA AKMAL ASERY BASRAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I TERKULTURALISASI TOKOH KIAI AHMAD DAHLA DALAM OVEL SA G PE CERAH KARYA AKMAL ASERY BASRAL"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ITERCULTURALIZATIO OF THE CHARACTER KIAI AHMAD DAHLA I SAG PECERAH OVEL BY AKMAL ASERY BASRAL

aila ilofar

Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Jalan Silawanpanji II, Buduran, Sidoarjo

Ponsel: 081231635337 Posel: tajunaya@gmail.com

(Makalah diterima tanggal 20 Februari 2015—Disetujui tanggal 16 April 2015)

Abstrak: Novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral menceritakan tentang kehidupan tokoh pendiri organisasi Agama di Indonesia. Tokoh tersebut diasumsikan mengalami interkulturalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap interkulturalisasi tokoh tersebut dan faktor-faktor penyebabnya dengan menggunakan pendekatan interkulturalisme. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interkulturalisasi tokoh tersebut ditunjukkan melalui metode mengajar dan caranya berpakaian. Adapun faktor-faktor penyebab interkulturalisasi tokoh tersebut adalah tradisi, penjajahan, dan pendidikan.

Kata Kunci: novel, tokoh, dan interkulturalisme.

Abstract: ovel Sang Pencerah by Akmal asery Basral tells us about the life of religion organization founder in Indonesia. He is assumed in getting interculturalization. This research is aimed to reveal the interculturalization and many factors that motivate it. The research uses interculturalism approach. It uses library research. The result shows the interculturalization of him is shown through his teaching method and the way he wears clothes. Many factors of his interculturalization are tradition, colonialism, and education.

Keywords: novel, character, and interculturalism.

PEDAHULUA

Sastra menyajikan kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 2014:98). Hal tersebut tampak dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral. Novel Sang Pencerah menceritakan tentang kehidupan Kiai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi keagamaan Muhammadiyah, yaitu organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia. Novel tersebut menceritakan kehidupan Kiai Ahmad Dahlan dari masa kecil sampai dengan beliau mempelopori pergerakan keagamaan

di Yogyakarta. Pergerakan keagamaan yang dilakukan oleh beliau mendapat pertentangan dari masyarakat di desanya. Masyarakat menentang tindakan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan karena tindakan yang dilakukan oleh beliau berbeda dengan tradisi masyarakat di desanya sehingga mereka menganggap perbuatan beliau melanggar aturan agama Islam yang mereka yakini, sedangkan Kiai Ahmad Dahlan menganggap bahwa tindakan yang dilakukannya tidak melanggar aturan agama Islam. Diasumsikan bahwa Kiai Ahmad Dahlan tidak melanggar aturan agama Islam,

(2)

melainkan sedang mengalami interkulturalisasi dalam dirinya.

Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini membahas beberapa permasalahan berikut.

1. Interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan dalam novel “Sang Pencerah” karya Akmal Nasery Basral.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan dalam novel “Sang Pencerah” karya Akmal Nasery Basral.

Tujuan penulisan makalah ini adalah mengungkapkan faktor-faktor yang memengaruhi interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan dan interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan dalam novel “Sang Pencerah” karya Akmal Nasery Basral.

Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini secara teoretis adalah mengungkapkan kehidupan pendiri salah satu organisasi keagamaan di Indonesia, Kiai Ahmad Dahlan.

Penelitian dengan objek cerita Sang Pencerah baik novel maupun film sudah pernah dilakukan sebelumnya antara lain ilai –ilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam ovel Sang Pencerah Karya Akmal asery Basral (2011), ilai-ilai Pendidikan Islam dalam Film Sang Pencerah ( http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6110), Kritik Sosial dalam ovel Sang Pencerah dan Potensi Bahan Ajar Berbasis Pendidikan Karakter untuk Siswa SMP (2012), dan Konflik Batin Tokoh Utama dalam Film Sang Pencerah Karya Hanung Bramantyo (Pradita, Eka dkk, 2012).

Penelitian ilai –ilai

Pendidikan Islam yang Terkandung dalam ovel Sang Pencerah Karya Akmal asery Basral (2011) dan ilai-ilai Pendidikan Islam dalam

Film Sang Pencerah

(

http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6110) bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai Islam yang terdapat dalam novel tersebut. Kedua penelitian tersebut menggunakan pendekatan content analysis. Kedua penelitian tersebut mengungkapkan bahwa nilai-nilai agama Islam yang terdapat dalam novel SP antara lain nilai tauhid, nilai ibadah, nilai akhlak, dan nilai sosial kemasyarakatan.

Kritik Sosial dalam ovel Sang Pencerah dan Potensi Bahan Ajar Berbasis Pendidikan Karakter untuk Siswa SMP (2012) bertujuan untuk mendeskripsikan kritik sosial yang terdapat dalam novel SP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kritik sosial tersebut meliputi kritik pengarang terhadap kemiskinan, kritik terhadap praktik rentenir, kemiskinan akibat penjajahan dan tanam paksa, kritik terhadap perilaku deskriminasi, kritik terhadap bentuk penindasan, kritik terhadap prasangka masyarakat. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa novel tersebut berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan ajar. Konflik Batin Tokoh Utama dalam Film Sang Pencerah Karya Hanung Bramantyo (Pradita, Eka dkk, 2012) bertujuan untuk mendeskripsikan konflik batin yang dialami oleh tokoh utama pada film SP. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan psikologi sastra. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama dalam novel tersebut dipengaruhi oleh tiga sistem kepribadian yaitu id, ego, dan super ego.

Objek penelitian ini adalah novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral, cetakan ke-1 yang diterbitkan oleh penerbit Mizan tahun 2010. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

(3)

menggunakan teknik studi pustaka, yaitu dengan cara mengumpulkan data berupa novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral dan buku-buku lain yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini.

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan cara menemukan frase-frase atau kalimat-kalimat yang sesuai dengan topik penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analisis.

KAJIA TEORI

Interkulturalisme dalam karya sastra adalah bagaimana berbagai (asal) budaya yang berbeda dipahami, dinilai, diterima, atau dikeluarkan (ditolak) dalam satu perspektif dan tindakan budaya tertentu (penulisan sastra) sehingga dalam proses tersebut secara imajinatif menuju dan menjadi satu bentuk cara kehidupan tertentu yang berbeda dengan kenyataan sesungguhnya (Salam, 2011:41)

Dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral terdapat berbagai karakter (tokoh-tokoh) yang berasal dari setting yang berbeda. Untuk menganalisis makalah ini, penulis menggunakan sudut pandang tentang interkulturalisasi dan interkulturalisme yang menyebutkan bahwa jika diandaikan teks sastra sebagai sesuatu yang mandiri, karya sastra dapat ditempatkan sebagai medan tekstual bagaimana secara intrinsik budaya-budaya yang berbeda diposisikan, dikelola, dinilai, dan kemudian dinarasikan. Kajian tersebut sangat penting untuk mengetahui bagaimana kultur yang berbeda saling dipertemukan, saling mengisi, atau dipertentangkan (Salam, 2011:42).

Terdapat perbedaan diantara sudut pandang interkulturalisme

dengan sudut pandang

multikulturalisme. Multikulturalisme

lebih sebagai satu gerakan politik kebudayaan untuk mengandaikan bahwa entitas budaya itu dalam posisi sederajat dan selayaknya saling menghormati dan menghargai. Sementara, sudut pandang interkulturalisme adalah suatu upaya yang mencoba menjelaskan relasi-relasi antarbudaya, proses-proses negosiasi, dan hal-hal apa saja yang berpengaruh terhadap relasi dan negosiasi tersebut, dan mengapa hal tersebut terjadi (Salam, 2011:43).

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap relasi antarbudaya antara lain politik, ekonomi, pendidikan, agama, teknologi, seksualitas, tradisi, dan gender (Salam, 2011: 44). Agama formal merupakan sesuatu yang dianggap sebagai motor atau sumber inspirasi bagi berbagai tindakan sosial dan ekonomi, atau sebagai konsep filosofis dan etis yang berpengaruh terhadap masyarakat (Weber via Salam, 2011). Agama berperan sangat penting dalam berbagai kebudayaan sebagai agama dianggap sebagai salah satu pemicu berbagai tindakan kultural, dalam berbagai tujuan dan kepentingan (Salam, 2011:45).

Secara kultural terdapat sejumlah kekuatan diskursif lain sebagai pembentuk kebudayaan yang menyebabkan berbagai perbedaan dan kesamaan setiap individu sebagai anggota masyarakat. Hal-hal tersebut antara lain pandangan dunia, kepercayaan, nilai-nilai, pengalaman sejarah, mitos(logi), dan berimplikasi terhadap otoritas status (struktur sosial) dalam masyarakat bersangkutan (Asante dalam Salam, 2011: 46)

(4)

HASIL DA PEMBAHASA Tokoh dan Setting

Subbab ini memaparkan tokoh dan setting novel Sang Pencerah karena melalui gambaran tokoh dan setting yang digambarkan oleh pengarang tersebut kita bisa melihat adanya interkulturalisme.

Tokoh Kiai Ahmad Dahlan

Kiai Ahmad Dahlan adalah keturunan dari tokoh agama yang sangat berwibawa di Kauman, yakni Kiai Abu Bakar, yang merupakan keturunan ke-10 dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim, penyebar agama Islam di Gresik pada abad ke-15 yang juga merupakan salah satu dari 9 tokoh besar Wali Songo. Ibunya bernama Siti Aminah merupakan seorang putri Kiai Haji Ibrahim, seorang penghulu kasultanan yang terpandang di Yogyakarta. Kiai Ahmad Dahlan yang nama kecilnya Muhammad Darwis lahir pada 1868, satu tahun setelah terjadinya gempa yang menyebabkan serambi asli Masjid Gedhe Kauman hancur lebur. Beberapa orang tua yang biasa menafsirkan gejala alam menyampaikan kepada bapak Kiai Ahmad Dahlan bahwa kelahiran Kiai Ahmad Dahlan yang terjadi setelah gempa besar itu merupakan pertanda bahwa Kiai Ahmad Dahlan ditakdirkan untuk membawa perubahan besar dalam masyarakat.

Sejak kecil Darwis/Kiai Ahmad Dahlan mendapat pendidikan agama yang kuat dari ayahnya. Darwis juga sering diajak ayahnya untuk menghadiri acara atau pertemuan keagamaan. Darwis merupakan anak yang sangat cerdas sehingga sering timbul pertanyaan yang kritis dalam dirinya misalnya Darwis menanyakan tentang tradisi yasinan 40 hari untuk seorang anggota keluarga yang sudah

meninggal padahal tidak semua orang mampu mengadakan acara tersebut dan tentang kegunaan sesajen dalam acara tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa Kiai Ahmad Dahlan merupakan keturunan dari keluarga yang sangat kental dengan tradisi Islam dari garis ayahnya. Dari garis ibunya beliau adalah keturunan dari keluarga Yogyakarta yang lingkungannya sangat kental dengan tradisi Jawa. Kedua tradisi tersebut berpengaruh terhadap pembentukan karakter Kiai Ahmad Dahlan.

Setting

Berbicara tentang setting bukan hanya berbicara tentang tempat terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita, namun juga tentang gambaran sosial yang melingkupi peristiwa dalam sebuah cerita. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002:216), latar atau setting menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Novel “Sang Pencerah” memiliki setting kota Yogyakarta dengan gambaran masyarakat dan tradisinya.

Novel “Sang Pencerah”

menggambarkan Kota Yogyakarta pada tahun 1870an. Yogyakarta pada periode itu dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Masyarakat Yogyakarta digambarkan sebagai masyarakat yang taat beragama Islam dan kental dengan tradisi Jawanya. Ketaatan masyarakat dalam menjalankan agama Islam ditunjukkan dengan aktivitas mereka yang dilakukan di Masjid Kauman yang sangat padat seperti pengajian, pertemuan alim ulama, pernikahan, mahkamah pengadilan, dan pembagian warisan. Di sisi lain, masyarakat

(5)

Yogyakarta juga taat dalam menjalankan tradisi Jawa. Tradisi Jawa tersebut masuk dalam kegiatan keagamaan umat Islam, seperti adanya yasinan pada beberapa hari setelah orang meninggal, ruwatan, sesaji, padusan, dan nyadran ketika akan memasuki bulan Ramadan. Gambaran masyarakat yang demikian disebut agama Islam Jawa yang sinkretis yaitu keyakinan yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam (Koentjaraningrat, 1984:310).

Setting lain yang digunakan dalam novel “Sang Pencerah” adalah Kota Mekkah. Kota Mekkah digambarkan sebagai tempat bertemunya berbagai budaya karena di tempat tersebut, orang muslim dari berbagai negara di dunia berkumpul untuk menjalankan ibadah haji. Di samping itu, Mekkah juga merupakan tempat bagi orang muslim untuk menuntut ilmu. Hal tersebut terlihat dari kutipan berikut.

Dan sekarang aku sedang berada bersama puluhan murid lain dari berbagai negara di salah satu bagian ruangan Masjidil Haram, mendengarkan pelajaran yang disampaikan ulama bernama lengkap Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif Al-Minangkabawi Asy-Syafi’I yang lahir di Kota Gadang, Sumatra barat (Basral, 2010:141).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mekkah merupakan tempat untuk menuntut ilmu bagi orang yang berasal dari berbagai negara.

Interkulturalisasi Tokoh Kiai Ahmad Dahlan dalam ovel “Sang Pencerah”

Sebagaimana yang diuraikan dalam subbab penokohan, Kiai Ahmad Dahlan merupakan keturunan dari keluarga yang berasal dari Gresik dan Yogyakarta. Dari garis ayah, Kiai Ahmad Dahlan merupakan keturunan

dari ulama di Gresik, sedangkan dari garis ibunya merupakan keturunan priyayi Yogyakarta. Gresik dan Yogyakarta berbeda dilihat dari segi keagamaan. Masyarakat Gresik cenderung menjalankan syariah agamanya secara puritan, sedangkan masyarakat Yogyakarta sebagian besar menjalankan syariah agama secara sinkretis. Uraian tersebut menunjukkan adanya dua budaya yang berbeda yang dimiliki oleh sosok Kiai Ahmad Dahlan. Dalam perjalanan hidupnya, beliau bertemu dan bergaul dengan orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda, seperti Melayu, Arab, dan budaya-budaya lainnya. Berbagai budaya tersebut memengaruhi tindakan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan, yang selanjutnya disebut interkulturalisasi. Interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan dalam novel “Sang Pencerah” terlihat dalam pengajaran agama dan cara berpakaian Kiai Ahmad Dahlan. Pengajaran Agama

Ketika pulang dari Mekkah, Kiai Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya menjadi khatib di Masjid Gedhe Kauman. Selain menjadi khatib, Kiai Ahmad Dahlan juga mengajar ngaji para pemuda di Langgar Kidul. Kiai Ahmad Dahlan mempunyai metode pengajaran agama yang berbeda dengan kiai-kiai lain. Kiai Ahmad Dahlan mengajar agama kepada para pemuda dengan menggunakan alat musik biola.

Aku ingin anak-anak remaja ini berpikir lebih keras setiap kali mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mereka sendiri. Maka, alih-alih aku menjawab, aku ambil lagi biola dan memainkan sebuah Asmaradhana yang membuat mereka terbuai sampai aku menyelesaikan utuh satu lagu (Basral, 2010:182).

(6)

Kiai Ahmad Dahlan mengalami interkulturalisasi dalam cara mengajar agama. Di satu sisi, Kiai Ahmad Dahlan menggunakan biola yang merupakan alat musik dari Eropa sebagai media pengajaran agama. Kiai Ahmad Dahlan juga menggunakan media lain yakni tembang Asmaradhana, yang merupakan tembang dari Jawa. Para kiai di Kauman menganggap Kiai Ahmad Dahlan melanggar aturan agama Islam karena beliau menggunakan alat musik buatan orang non-Muslim. Sementara, Kiai Ahmad Dahlan menganggap metode mengajarnya tidak melanggar aturan agama karena yang non-Muslim adalah orang yang membuat alat, bukan alat musiknya.

Agama memiliki kriteria nilai dan syariah yang relatif baku, proses dan mekanisme interkulturalisasinya. Dalam proses, keduanya bisa saling mengeluarkan. Seseorang secara kultural akan mengalami kesulitan jika memodifikasi di antara dua nilai tersebut karena nilai-nilai yang ditawarkan agama akan mengeluarkan di satu identitas nilai tertentu, dan memasukkan ke identitas tertentu yang lain (Salam, 2011:48).

Interkulturalisasi yang dialami Kiai Ahmad Dahlan tidak mengeluarkan Kiai Ahmad Dahlan dari agama Islam atau menjadikannya kafir karena Kiai Ahmad Dahlan tetap menjalankan syariah Islam. Kiai Ahmad Dahlan tidak pernah melakukan hal-hal yang dalam agama Islam dianggap menyekutukan Tuhannya. Karenanya, tindakan Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan agama dengan menggunakan alat musik tidak menyebabkan dirinya memiliki identitas baru sebagai non-Muslim.

Interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan juga terlihat ketika beliau mengajar anak-anak. Kiai Ahmad Dahlan tidak memberi khutbah kepada anak-anak melainkan mengajak mereka menyanyi lagu Lir-Ilir dan mengiringinya dengan biola. Bagi Kiai Ahmad Dahlan, berdakwah itu bukan hanya menyampaikan dakwah dari atas mihrab. Mengajak anak-anak menyanyikan lagu Lir-Ilir juga merupakan salah satu cara untuk berdakwah. “Tapi buatku, berdakwah bukan hanya menyampaikan khutbah dari atas mikhrab. Apa yang kita lakukan barusan juga adalah bagian dari dakwah, karena kata-kata yang ditulis Sunan Kali Jaga untuk syair lagu itu sungguh-sungguh sangat dalam artinya.” (Basral, 2010:329).

Kiai Ahmad Dahlan memilih metode mengajar agama dengan cara memainkan alat musik biola serta menyanyikan lagu Lir-ilir dengan pertimbangan bahwa mengajarkan agama harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan sehingga mudah diterima oleh santri-santrinya. Pertimbangan lainnya adalah agama Islam tidak pernah melarang pemeluknya untuk bermain musik sehingga yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan bukan sesuatu yang melanggar ajaran agama Islam. Adapun alasan beliau memilih tembang Lir-Ilir untuk digunakan dalam dakwahnya karena tembang tersebut mengandung makna yang sangat dalam.

Cara Berpakaian Kiai Ahmad Dahlan

Interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan juga terlihat dari caranya berpakaian. Cara berpakaian Kiai Ahmad Dahlan berbeda dengan cara berpakaian para kiai di Kauman. Kiai Ahmad Dahlan memakai jas, yang

(7)

merupakan pakaian khas Eropa dan sarung serta serban yang merupakan pakaian khas Jawa.

Namun, karena aku mulai sering menghadiri rapat-rapat Budi Utomo dengan peserta yang hampir semua berpakaian dengan cara Eropa, aku pun mulai mencoba untuk memantas-mantaskan diri dengan menggunakan jas warna putih dengan serban (Basral, 2010:332).

Para kiai dan masyarakat Kauman menganggap Kiai Ahmad Dahlan sebagai kiai kafir karena cara berpakaiannya mengikuti gaya orang Eropa. Akan tetapi, karena pergaulan Kiai Ahmad Dahlan yang luas, beliau beranggapan bahwa pakaian tidak membuat seseorang itu menjadi kafir atau tidak. Agama Islam tidak pernah melarang umatnya untuk berpakaian yang dibuat oleh orang non-Muslim.

Kiai Ahmad Dahlan

memutuskan untuk berpakaian seperti itu karena mempunyai alasan. Beliau ingin mengenalkan ajaran Islam tidak hanya kepada masyarakat Kauman dan sekitarnya, tetapi juga kepada masyarakat luas termasuk masyarakat non-Muslim. Beliau ingin menunjukkan bahwa orang Islam rapi, tidak seperti anggapan selama ini.

Aku benahi jas dan serbanku sekali lagi dengan cepat, sebelum masuk ke dalam kelas dengan langkah perlahan

yangmenyebabkan sepatuku

menimbulkan ketukan berirama. Murid-murid melihatku tak percaya. Barangkali inilah untuk pertama kalinyadalam hidup mereka melihat seorang kiai memakai jas, dasi, dan sepatu, meski tetap tidak meninggalkan serban. Wajah paling terkejut terlihat dari anak pangeran yang belum lama mencoba memengaruhi kawannya (Basral, 2010:347).

“Kamu bohong, kiainya pakai sepatu, kok. Rapi, nggak keringatan. Pasti wangi,” ujar temannya kepada sang anak pangeran, melalui gerak bibir yang terlihat jelas dan mudah dibaca. Wajah

anak pangeran itu mendadak merah, mungkin karena malu (Basral, 2010:347).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa selama ini ada anggapan bahwa cara berpakaian kiai tidak rapi dan badannya bau. Ketika melihat Kiai Ahmad Dahlan mengajar anak-anak Kwekschool dengan berpakaian rapi, anak-anak seketika berubah pikiran. Faktor-faktor yang memengaruhi interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut. Tradisi yang dianggap sebagai Keyakinan

Sejak kecil sudah berkecamuk di kepala Kiai Ahmad Dahlan tentang beberapa pertanyaan mengenai tradisi dalam masyarakat yang dianggap sebagai kewajiban dalam agamanya. Beberapa tradisi yang dianggap sebagai kewajiban oleh masyarakat muslim antara lain, tradisi empatpuluh harian orang meninggal, ruwatan sebelum bulan puasa, dan sesajen.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku kembali terdiam. Sederet pertanyaan mengisi kepalaku. Mengapa untuk mengadakan yasinan 40 hari seorang anggota keluarga yang sudah wafat, anggota keluarga yang masih hidup harus meminjam uang kepada orang lain? Apa itu tidak memberatkan bagi yang masih hidup? Apakah hal ini memang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad panutan umat manusia (Basral, 2010:32).

Kiai Ahmad Dahlan merasa heran dengan tradisi yang dilakukan oleh sebuah keluarga yakni mengadakan acara yasinan 40 hari untuk seseorang yang meninggal dunia. Keluarga tersebut harus meminjam uang untuk mengadakan acara tersebut. Dengan demikian, tradisi tersebut bertentangan dengan

(8)

ajaran yang selama ini dipelajarinya. Agama Islam itu adalah agama yang memberi kedamaian bagi pemeluknya, tetapi mengapa tradisi yang dilakukan masyarakat Muslim tersebut

memberatkan masyarakat

pemeluknya. Akibatnya, timbul pertanyaan pada diri Kiai Ahmad Dahlan, apakah ajaran tersebut memang diajarkan oleh Nabi Muhammad, nabi umat Islam.

Tradisi lain yang menimbulkan pertanyaan bagi Kiai Ahmad Dahlan adalah tradisi yang dilakukan masyarakat untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan. Di Yogyakarta ada tradisi yang dilakukan masyarakat sebelum bulan Ramadan yakni tradisi nyadran dan ruwatan. Tradisi tersebut bertujuan untuk membersihkan diri dan lingkungan untuk menyambut bulan Ramadan. Tradisi tersebut dilakukan dengan cara membersihkan kompleks Masjid Gede Kauman dan membawa sesaji di pemakaman. Kiai Ahmad Dahlan merasa tradisi tersebut kurang sesuai karena membutuhkan biaya yang sangat banyak. Padahal masyarakat berada dalam kondisi yang serba kekurangan.

Kiai Ahmad Dahlan sudah berusaha untuk menanyakan kepada para kiai di Kauman tentang tradisi-tradisi yang bukan ajaran agama Islam tetapi diyakini oleh masyarakat sebagai kewajiban agama. Jawaban yang diberikan oleh para kiai tersebut belum bisa menjawab kegelisahan Kiai Ahmad Dahlan. Bahkan Kiai Ahmad Dahlan dilarang menanyakan hal-hal yang bisa mengganggu ketenangan masyarakat.

“Maaf, Kiai. Mengingat kondisi masyarakat kita yang sedang prihatin di zaman Kala Bendu ini, apakah tidak sebaiknya acara nyadran dibuat sederhana saja?” tanyaku. …

Tapi aku keliru. Yang merasa tertusuk lebih dulu dengan pertanyaanku justru bapakku sendiri. “Maksudmu dibuat sederhana itu apa, Wis”

Kini seluruh mata hadirin benar-benar terhunjam ke arahku, menantikan jawaban yang akan kuberikan. Suasana berubah menjadi lebih tegang karena rasanya seperti membicarakan masalah keluarga di depan umum. Tapi kata-kata sudah terlontar, tak bisa ditarik lagi. Dan aku pun memang berniat mencari kejelasan dari rencana yang menurutku justru akan menyulitkan rakyat kebanyakan itu.

“Maksudku sederhana itu cukup berdoa saja, Pak. Tidak perlu dengan upacara berlebihan apalagi dengan memberikan sesajen.” Aku mantapkan hatiku dalam memberikan jawaban sambil tetap berusaha menjaga kesantunan. “Uang buat pembuatan sesajen itu bisa dimanfaatkan sebagai sedekah bagi fakir miskin sehingga hasilnya juga akan lebih jelas.” (Basral, 2010:83—84).

Percakapan di atas

menunjukkan bahwa Kiai Ahmad Dahlan berusaha mencari tahu alasan mengapa tradisi-tradisi yang bukan perintah Allah dan Rasulullah itu tetap dilaksanakan masyarakat padahal tradisi-tradisi tersebut menghabiskan biaya yang sangat besar. Dalam percakapan tesebut, Kiai Ahmad Dahlan juga mengusulkan kepada para kiai sepuh bahwa lebih baik uang yang akan digunakan untuk upacara-upacara dalam tradisi tersebut disedekahkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kiai Ahmad Dahlan tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Akhirnya, Kiai Ahmad

Dahlan memutuskan untuk

menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya tersebut.

Pada akhirnya, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi

Islam yang dinamakan

Muhammadiyah. Organisasi ini merupakan organisasi yang menolak

(9)

melakukan tradisi yang selama ini dianggap sebagai keyakinan oleh umat Islam; seperti selametan orang meninggal, ruwatan, dan sesajen. Kuntowijoyo (2006:68) menyebut gerakan yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah sebagai gerakan pemiskinan simbol.

Organisasi Muhammadiyah

menghendaki agama bersih dari kaitan simbolis yang dapat merusak citra agama yang murni.

Perlakuan Pemerintah Hindia-Belanda terhadap Masyarakat Pribumi

Selain tradisi-tradisi yang dianggap sebagai kewajiban agama oleh masyarakat, ada hal lain yang menjadi buah pikiran Kiai Ahmad Dahlan yaitu adanya perlakuan pemerintah Hindia-Belanda yang berbeda terhadap orang Eropa dan terhadap masyarakat pribumi. Perlakuan pemerintah Hindia-Belanda tersebut nampak jelas dalam kebijakan pembagian tempat duduk di kereta api.

Kaum pribumi maksimal hanya bisa duduk di gerbong kelas 2, itu pun seperti para haji yang selalu mengenakan pakaian yang berbeda dengan rakyat kebanyakan. Pemerintah Hindia-Belanda memisahkan tempat duduk para haji dengan masyarakat kebanyakan, termasuk aku, yang hanya diperbolehkan duduk di gerbong kelas 3 (Basral, 2010:121).

Kesewenang-wenangan pemerintah Hindia-Belanda terlihat dengan jelas dalam pembagian tempat duduk di kereta api. Masyarakat pribumi hanya bisa duduk di gerbong kelas 2 dan 3. Sementara, gerbong 1 untuk orang Eropa.

Perlakuan yang tidak adil juga menjadi buah pikiran Kiai Ahmad Dahlan. Kiai Ahmad Dahlan berpikir

mengapa kaum penjajah bisa menindas rakyat Jawa dalam jangka watu yang sangat lama padahal orang Jawa bukan orang yang bodoh, dalam arti orang Jawa bukanlah orang yang tidak bisa melihat adanya ketidakadilan yang terjadi di depan mata mereka dan membiarkan seluruh kekayaan tanah diambil oleh pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini mungkin disebabkan masyarakat Jawa yang memiliki sikap nrimo, sikap terlalu mudah menerima terhadap apa yang sedang terjadi dan sering dianggap sebagai takdir.

Faktor Pendidikan

Pada usia lima belas tahun, Kiai Ahmad Dahlan memutuskan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama Islam selama lima tahun. Selama berada di Mekkah, Kiai Ahmad Dahlan bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara.

Guru-guruku di sini sebagian adalah teman Bapak, dan sebagian lainnya para ulama dari berbagai negara. Biasanya guru-guru dari tanah Jawa tetap kupanggil kiai, sedangkan dari wilayah Nusantara lain, atau Negara lain, umumnya dipanggil dengan sebutan Syaikh atau Sayyid (Basral, 2010:139).

Selama berada di Mekkah, Kiai Ahmad Dahlan belajar ilmu agama tidak hanya dari guru yang berasal dari Indonesia. Dia juga belajar dari guru yang berasal dari negara lain. Guru-guru yang berasal dari Indonesia pun tidak hanya berasal dari Jawa tetapi kebanyakan berasal dari Melayu.

Selain belajar dari para guru, Kiai Ahmad Dahlan juga banyak membaca majalah terbitan Eropa.

(10)

“Majalah ini bukannya dilarang pemerintah Mesir dan Saudi, Dimas?”

Pertanyaan Mas Noor membuat suasana langsung hening, seperti menunggu jawabanku. “Majalah ini memang diterbitkan oleh Syaikh Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh yang disebut-sebut sebagai tokoh pembaharu. Pemikiran mereka mengubah kecenderungan tasawuf sempit menjadi pengamalan Islam secara nyata melalui pendidikan untuk membuat umat menjadi lebih mengerti agama, bukan sekedar ikut-ikutan. Saya rasa tidak ada yang berbahaya dengan semangat pembaharuan yang seperti itu.” (Basral, 2010:149—150).

Dari kutipan di atas nampak bahwa Kiai Ahmad Dahlan tidak menutup diri terhadap pengetahuan baru yang diperolehnya selama berada di Mekkah. Kiai Ahmad Dahlan tidak semata-mata ikut-ikutan menolak majalah yang berisi ajaran yang dilarang oleh Pemerintah Mesir dan Saudi. Kiai ahmad Dahlan mengambil ajaran positif yang terkandung dalam majalah tersebut yaitu ajaran terhadap kaum muslim untuk lebih memahami agama, bukan sekadar ikut-ikutan.

SIMPULA

Interkulturalisasi tokoh Kiai Ahmad Dahlan terlihat dari metode mengajar

dan cara berpakaiannya.

Interkulturalisasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya tradisi-tradisi yang dianggap sebagai ajaran agama oleh masyarakat, perlakuan pemerintah Hindia-Belanda yang tidak adil terhadap masyarakat pribumi, dan faktor pendidikannya. Interkulturalisasi yang dialami Kiai Ahmad Dahlan tidak menyebabkan beliau keluar dari identitasnya sebagai Muslim. Hal tersebut dikarenakan

beliau tetap menjalankan dan tidak melanggar syariah Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Afianti, Diantini Ida. 2011. ilai-ilai Islam yang Terkandung dalam ovel Sang Pencerah Karya Akmal asery Basral. Malang: Universitas Islam Negeri Malang.

Basral, Akmal Nasery. 2010. Sang Pencerah. Bandung: Mizan Media Utama.

Fajri, Reza. 2012. Kritik Sosial dalam ovel Sang Pencerah dan Potensi Bahan ajar Berbasis Penidikan Karakter untuk

Siswa SMP. Malang:

Universitas Negeri Malang. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan

Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori

Pengkajian Fiksi.

Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Pradita, Linda Eka dkk. 2012. “Konflik Batin Tokoh Utama dalam Film Sang Pencerah Karya Hanung Bramantyo”. Basastra Vol. I No. 1.

Salam, Aprinus. 2011. Beberapa Catatan tentang Sastra Indonesia dalam Perspektif Interkulturalisme dalam “Jejak Sastra dan Budaya”. Salam, Aprinus, Henry Cahmbert-Loir, dan M. Haji

(11)

Saleh (Ed.). Yogyakarta: Elmatera dan Jurusan Sasindo FIB UGM.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Intinya bahwa pada metode SAW ini menentukan nilai bobot pada setiap kriteria untuk. menentukan alternatif optimal

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengukur kadar senyawa fenol dalam buah mengkudu (Morinda citrifolia) mentah, mengkal, dan matang, membandingkan daya

Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui Problem Based Learning (PBL) dalam Pembelajaran IPS (Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 10 Kota Bandung Kelas VIII

DiskripsiSingkat MK Pembelajaran mata kuliah ini dimaksudkan untuk memberi kemampuan mahasiswa mempelajari dan memahami ilmu kepemimpinan dan kewirausahaan yang mencakup

Saya pernah mencoba untuk melakukan pencarian kembali udang Cirolana marosina di Gua Saripa, di kawasan karst Maros, tempat yang sama saat Louis Dehaveng menunjukkan hewan itu

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis rasio likuiditas, analisis rasio aktivitas, analisis rasio solvabilitas, analisis rasio

Excelcomindo Pratama Tbk, Medan dan untuk mengetahui bagaimana perencanaan dan pengawasan persediaan digunakan sebagai alat ukur tingkat efisiensi persediaan perusahaan Pada

Untuk mengetahui Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Dinas di Pemerintah Kabupaten Bandung, digunakan metode deskriptif analysis dan survey dengan