• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dakwah pada jamaah kelas menengah: study strategi dakwah Majelis Ta'lim Bunda Muslimah Az-Zahra.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dakwah pada jamaah kelas menengah: study strategi dakwah Majelis Ta'lim Bunda Muslimah Az-Zahra."

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

i

DAKWAH PADA JAMAAH KELAS MENENGAH

(Study Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra Sidoarjo)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi

Komunikasi dan Penyiaran Islam

Oleh Naila Nahdiyah NIM.F020715160

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul .Dakwah Pada Jamaah Kelas Menengah (Studi Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra). Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Dakwah, Strategi Dakwah, Jamaah, Kelas Menengah.

Bunda Muslimah Az-Zahra adalah Majelis Ta’lim yang keseluruhan

jamaahnya adalah wanita yang rata-rata menduduki kelas sosial menengah bahkan menengah atas perkerjaannya rata-rata adalah ibu rumah tangga dan sebagian wirausaha wati. Jumlah jamaah mencapai 1800, dakwahnya terbilang moderen dan inovativ dalam proses dakwahnya memanfaatkan media elektronik & media

sosial. Ada dua pengajian rutin, pengajian hari rabu, pengajian hari jum’at. Pada

event tertentu ada bakti sosial dan wisata religi.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus dilakukan dengan cara observasi, dokumentasi dan wawancara

mendalam terhadap informan yang berkaitan langsung dengan Majelis Ta’lim

Bunda Muslimah Az-Zahra yaitu jamaah dan pengurus. Hasil dari observasi dan wawancara dikonfirmasi ulang kepada pihak pengurus inti atau ketua Az-Zahra yang mengikuti perjalanan awal berdirinya Az-Zahra sehingga dapat diperoleh data tentang strategi dakwahnya.

Hasil penelitian ini ditemukan; 1) Strategi dakwah Az-Zahra adalah

strategi dakwah tematik, strategi dakwah aksi sosial dan sharing dakwah media sosial. 2) Perencanaan dakwah sepenuhnya dilakukan oleh jamaah Az-Zahra sebagai pemikir dan pelaksana dakwah pada awal mula berdirinya Az-Zahra yang didasari atas tujuan untuk tolab al-ilmi dan memperbaiki kualitas spiritual sehingga menjadi muslimah kaffah dan tafakkuh fi al-din . 3) Faktor pendukung, Pengalaman dan Kemampuan Networking Jamaah, Jamaah rata-rata menempati kelas sosial menengah dan menengah atas mudah untuk diajak dakwah bi al-mal,

Dukungan Pemerintah daerah dan instanasi yang menyediakan lokasi untuk pengajian. Faktor penghambat, Keterbatasan Tempat/ belum memiliki sekretariat, Stereotip Kelompok pengajian untuk orang kaya yang ditujukan pada Az-Zahra.Solusi, pinjaman ruko dari salah satu jamaah untuk sekretariat, mendapat jadwal pinjaman tempat dari Sun Hotel dan dukungan Pemerintah Daerah Sidoarjo yaitu meminjampakan Pendopo Kabupaten sebagai lokasi pengajian, Az-Zahra mencoba menunjukkan bahwa Az-Az-Zahra tidak membedakan kelas sosial

(7)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vii

ABSTRAK... viii

UCAPAN TERIMAKASIH... ix

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Batasan Masalah ... 11

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Tujuan Penelitian ... 12

E. Kegunaan Penelitian ... 13

F. Penelitian Terdahulu ... 13

G. Kerangka Teoritik ... 18

H. Definisi Konsep ... 22

I. Metode Penelitian ... 24

(8)

BAB II PERSPEKTIF TEORITIS STRATEGI DAKWAH, MAJELIS

TA’LIM dan KELAS SOSIAL MENENGAH... 31

A. Kajian Tentang Strategi Dakwah ... 31

1. Pengertian Strategi ... 31

2. Pengertian Dakwah ... 32

3. Pengertian Strategi Dakwah ... 38

4. Perbedaan Strategi Dakwah dan Metode Dakwah ... 41

5. Bentuk-Bentuk Strategi Dakwah ... 43

6. Metode dan Teknik Dakwah ... 46

B. Kajian Tentang Majelis Ta’lim ... 55

1. Pengertian Majelis Ta’lim... 55

2. PeranMajelis Ta’lim ... 57

3. Tujuan Majelis Ta’lim... 57

4. Keadaan Majelis Ta’lim ... 59

5. Materi dalam Majelis Ta’lim ... 61

C. Kajian Tentang Muslimah Menengah ... 64

1. Mad’u... 64

2. Mad’uMuslimah... 66

3. Kelas Sosial Menengah ... 69

4. Tantangan MenghadapiMad’uMuslimah dan Solusinya ... 71

BAB IIIGAMBARAN UMUM MAJELIS TA’LIM BUNDA MUSLIMAH AZ-ZAHRA... 72

A. Sejarah Singkat Berdirinya Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az -Zahra ... 72

B. Profil Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra ... 74

C. Tujuan Berdirinya Az-Zahra ... 75

D. Struktur Organisasi Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra... 77

(9)

xiii

1. Program Dakwah Az-Zahra ... 78

2. Da’i Az-Zahra ... 80

3. Jamaah Az-Zahra... 81

4. Kebiasaan Interaksi Jamaah Az-Zahra ... 84

5. Materi Pengajian Az-Zahra Hari Rabu ... 84

6. Metode Dakwah dalam Majelis Ta’lim Az-Zahra ... 85

7. Media Dakwah dalam Majelis Ta’lim Az-Zahra ... 87

BAB IV STRATEGI DAKWAH MAJELISTA’LIMBUNDA MUSLIMAH AZ-ZAHRA SIDOARJO... 88

A. Paparan Data Hasil Penelitian ... 88

1. Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Az-Zahra Pada Jamaah Kelas Menengah. ... 88

2. Keterlibatan Jamaah dalam Penyusunan Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Az-Zahra Pada Jamaah Kelas Menengah ... 101

3. Faktor pendukung dan penghambat dakwah dan solusi Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Az-Zahra ... 102

B. Analisis Hasil Penelitian ...104

1. Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra . .... 104

a. Strategi Dakwah Tematik ... 104

b. Strategi Dakwah Aksi Sosial ... 111

c. Sharing Dakwah Melalui Media Sosial ... 114

2. Keterlibatan Jamaah pada Perencanaan Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra ... 117

3. Faktor pendukung, penghambat serta solusi dalam menjalankan strategi dakwah Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra ... 124

a. Pengalaman dan Kemampuan Networking Jamaah ... 124

b. Jamaah kelas sosial menengah dan menengah atas ... 125

c. Kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Intitusi terkait... 126

d. Keterbatasan Tempat/Sarana Dakwah Sebagai Penghambat .... 127

(10)

C. Bagan Kerangka Hasil Penelitian ... 137

BAB V PENUTUP... 138

A. Kesimpulan ...138

B.Saran dan Rekomendasi...141

DAFTAR PUSTAKA... 143 Lampiran- lampiran

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pengetahuan Da’i sebagai pelaku dakwah baik perorangan maupun dalam kesatuan organisasi mengenai mad’u, yakni, manusia dan

masyarakat beserta kebudayaannya sebagai objek sekaligus subjek dakwah

sangat penting. Pengenalan dan pengetahuan tentang manusia dan

masyarakat sangat penting mengingat dakwah ditujukan bukan kepada

selain manusia.1 Setiap kelompok masyarakat memiliki perbedaan

karateristik disinilah da’i harus mampu memahami kebutuhan spiritual

seperti apa yang dibutuhkan masyarakat tersebut, agar dakwah dapat

tersampaikan dengan mudah. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada

masyarakat menengah atas.

Potret masyarakat kota kelas menengah Indonesia sebagian harinya

dihabiskan untuk berkerja dan beraktifitas dari pagi hingga sore hari

seakan berkompetisi dalam pemenuhan material. Hal ini telah berdampak

pada terciptanya keresahan kehidupan bagi kelas menengah perkotaan.

Keresahan tersebut timbul karena adanya pola kehidupan mekanik

yang serba statis telah menciptakan adanya pendisiplinan tubuh bagi

kaum modernis.2Kehidupan masyarakat modern yang serba statis tersebut

selain menimbulkan rasa lelah pada jasmani namun juga menimbulkan

kejenuhan pada sisi ruhaniyah manusia.

1

Asep Aripudin,Sosiologi Dakwah(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2013) h.51. 2

(12)

2

Selain itu masyarakat menengah kota sangat dekat dengan

kehidupan kemajuan sains dan teknologi hingga pada hasilnya

memunculkan produk-produk yang mempermudah kehidupan. Manusia

semakin yakin bahwa hanya fenomena empirik yang layak dijadikan

pijakan untuk memaknai kehidupan dan menyangkal eksistensi Tuhan

serta mengagungkan kebebasan. Akibatnya manusia menjadi penguasa

tunggal dunia, tanpa punya visi metavisis. Hidupnya berkutat seputar

materi, dengan jeritan rohani yang kian nyaring mengekspresikan

kehampaan makna hidup.3

Kegelisahan akibat kehampaan rohani yang muncul pada diri

masyarakat menengah kota ini menstimulus mereka untuk mencari solusi

atas problem tersebut. Pada akhirnya spiritualitaslah yang dipilih sebagai

solusi untuk menemukan ketenangan dan kedamaian ditengah

moderenitas, kesibukan, keglamoran dan segala hiruk pikuk kehidupan.

Solusi spiritual dipilih karena spiritual dianggap mampu

menghubungkan dengan satu kekuatan diatas segala yang

dibangga-banggakan manusia modern. Yaitu kekuatan yang tidak mampu diterka

oleh nalar manusia tidak lain adalah Tuhan. Tindakan ini yang kemudian

memunculkan istilahUrban Sufisme4atau muslim kota yang taat.

3

Yunasril Ali, “Problema Manusia Modern dan Solusinya dalam Prespektif Tasawuf”. Tasawuf, Volume 1, No. 2 (Juli, 2012),h…..

4

(13)

3

Hasil Penelitian S. Hamdani menyatakan bahwa, kegiatan sufisme

atau tasawuf sebagai cara mendekatkan diri pada Allah SWT, bisa

menyadarkan manusia mengenai asal-muasal, dasar wujud, sumber

kekuatan, tempat bersandar, bergantung dan kembali. Manusia bisa

bersinergi dengan-Nya tidak sebatas melalui tawakkal dan taqwa.

Kegiatan sufisme dapat menjadi solusi krisis spiritual bangsa Indonesia

sekarang ini- krisis pengetahuan tentang Allah SWT yang menyebabkan

manusia merasa tidak membutuhkan Allah SWT padahal pada

kenyataannya dalam setiap gerak geriknya manusia sangat membutuhkan

Allah.5

Sufisme pada era modern dalam istilahUrban Sufismbukan berarti makna yang sesungguhnya yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan

cara menyendiri. Namun Urban Sufism dalam hal ini adalah pendekatan diri kepada Tuhan dengan cara yang modern, menarik, flexibel, mudah

diikuti, tidak meninggalkan kegiatan keduniawian seperti pekerjaan.

Selain itu kegiatan sufisme modern ini kini dilakukan secara kolektif.

Seperti pada penelitian Abdul Rouf yang Melacak Pemikiran

Tasawuf Modern Hamka: Sebuah kritik terhadap tasawuf, menyatakan

bahwa ada pikiran dan gagasan baru dalam tasawuf yang dibawa Hamka.

Dalam faham tasawufnya, Hamka tidak pernah memisahkan antara urusan

para sufi, paraurban sufismjustru sangat mengapresiasi moderenitas dan teknologi, mereka juga menggunakan alat-alat modern misalnya handphone, mobil pribadi. Kehidupannya pun tidak mengasingkan diri dari rutinitas masyarakat modern dan pada umumnya, paraurban sufism juga berbelanja di mall, berkerja diperkantoran, rekreasi dll. Lihat Martin dan Julia “Urban Sufism”

5

(14)

4

dunia dan akhirat. Hamka termasuk ulama yang mengkritik keras faham

tasawuf yang anti dunia dan cenderung menjauhkan diri dari persoalan

yang dihadapi masyarakat. Bentuk tasawuf pembaruan Hamka yang ada

dalam “Tasawuf Modern” sebenarnya sama dengan neo-Sufisme. Beliau perintis neo sufisme di Indonesia.6

Dari hasil penelitian Abdul Rouf maka penelitian ini mendapat

gambaran tentang makna tasawuf modern yang akan menjadi acuan dalam

memaknai sufisme urban. Sufisme Urban atau masyarakat muslim kota yang taat. Para sufi ini tidak mejauhkan atau mengisolasi diri dari

kehidupan dunianya dan masyarakat. Mereka termasuk masyarakat yang

memberi apresiasi tinggi terhadap kemajuan teknologi dan modernitas.

Mereka juga menggunakan handphone, mengendarai mobil, berkunjung ke luar negeri, berbelanja di mall, berkerja di pusat perkantoran.

Umumnya, para sufistik baru ini merupakan kaum terpelajar, berasal dari

kalangan ekonomi berkecukupan dan para pekerja profesional.

Kelompok kelas menengah yang kemudian disebut dengan urban muslim middle class7 adalah kelompok yang cukup menarik dibahas terutama diperkotaan, Mengapa yang dibahas hanya terbatas kelompok

kelas menengah yang tinggal diperkotaan. Kelompok kelas menengah

merupakan penghubung dan jembatan antara kelompok “up” dan kelompok “down”. Sehingga kelompok ini sangat fleksibel. Berdasarkan

6

Abdul Rauf, “Melacak Pemikiran Tasawuf Modern Hamka: Sebuah Kritik Terhadap Tasawuf”. Tasawuf, Vol. 1 No (2, Juli 2012),.

7

(15)

5

tesis tersebut, maka kelompok ini menjadi sasaran dan kajian yang

menarik. Karennya, suatu kultur atau budaya akan mudah terserap oleh

kelompok ini yang kemudian mencerminkan sikap budaya.8

Kebutuhan spiritualisme masyarakat urban yang semakin tinggi

dibuktikan dengan semakin ramainya tumbuh majelis pengajian di

berbagai sudut kota. Sebut saja dalam kasus Jakarta, adanya Majelis

Rasulullah pimpinan Habib Munzir Al Musawwa, Majelis Dzikir Adz

Dzikra pimpinan KH Arifin Ilham, Majelis Ta’lim Qur’an, Manajemen

Sedekah pimpinan KH. Yusuf Mansyur, dan lain sebagainya. Adapun

di Bandung terdapat Manajemen Qolbu pimpinan K.H Abdullah

Gymnastiar.9

Munculnya gerakan-gerakan pengajian tersebut menunjukkan

adanya kebangkitan kegiatan keagamaan pada masyarakat modern.

Dimana agama kini dihadapkan dengan moderenitas, serta kebutuhan

spiritual kelas menengah perkotaan kini berusaha untuk

menyeimbangkan kebutuhan rohani dan juga materi, masyarakat tersebut

merasa haus akan pengalaman spiritual. Banyak yang menyempatkan diri

untuk bergabung pada majlis ta’lim, asosiasi shodaqoh, belajar ilmu

agama mulai dari nol misalnya belajar mengaji, mendatangkan guru les

mengaji atau bahkan memiliki guru spiritual.

8

Rofhani, “Budaya urban muslim kelas menengah”Teosofi :Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Volume 3, No. 1 (Juni 2013), h.199.

9

(16)

6

Pada kesimpulan hasil penelitian Rofhani dalam Budaya Urban

Muslim Kelas Menengah menghasilkan hipotesis bahwa budaya modern

yang dibawa oleh kaum muslim middle class tidak dapat dipisahkan dari ideologi kapitalis yang menghadirkan life style yang membedakan antara

kelompok muslim menengah dengan yang lain.10 Melalui hipotesis ini

maka penulis ingin mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan

keinginan muslim middle class dalam kegiatan dakwah, dan juga

bagaimana institusi dakwah dapat memotret fenomena mad’u kontemporer

sehingga mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhan wawasan

keagamaan dalam masyarakat.

Fenomena kebutuhan spiritual kaum urban ini hendaknya menjadi

tolak ukur bagi da’i maupun lembaga dakwah untuk dapat menentukan

strategi, metode, media, pesan dan iklim dakwah seperti apa yang

diinginkan oleh jamaah.Hal ini semata untuk dapat mencapai keberhasilan

dakwah dan berlanjut pada kontinuitas eksistensi dakwah yang terus

melakukan perbaikan dan inovasi sesuai dengan kebutuhan mad’u dari

berbagai latar belakang dan mengikuti alur perkembangan zaman.

Keberadaan institusi dakwah atau lembaga dakwah memiliki

fungsi yang sangat penting dalam berlangsungya dakwah Islamiyah. Moh.

Ali Aziz dalam bukunya Ilmu Dakwah menyatakan bahwa lembaga

dakwah termasuk dalam metode dakwah yaitu metode kelembagaan dan

metode ini merupakan manifestasi dari metode dakwah bil hal. Metode

10

(17)

7

kelembagaan yaitu pembentukan dan pelestarian norma dalam wadah

organisasi sebagai instrumen dakwah.11

Kegiatan dakwah yang terorganisir akan mendatangkan banyak

manfaat baik bagi da’i maupun mad’u. Untuk kegiatan dakwah yang

bergerak pada pemahaman keagamaan seperti pendidikan dan majlis ilmu

juga sangat baik apabila pelaksanaannya terorganisir. SDM dalam

organisasi tersebut akan menjadi pelaksana dakwah dengan pembagian

tugas masing-masing, ada yang bertugas sebagai perencana,

pengorganisasian,penggerak dan kontrol. Sedangkan mad’u sebagai target

dakwah juga berperan untuk kelangsungan organisasi dakwah.

Misalnya saja dalam majlis ilmu tema-tema pengajian sudah

disusun dengan kurikulum dan memilih da’i yang kompeten pada bidang

yang menjadi tema pengajian, pelaksana dakwah dalam majlis ilmu

mampu memahami karakter dan kebutuhan mad’u. Dalam hal ini mad’u

juga berperan memberikan feedback berupa penilaian dan saran agar lembaga dakwah dapat berjalan dengan baik serta tercapailah apa yang

menjadi tujuan dakwah.

Dan pada akhirnya dengan pengorganisasian, dimana

masing-masing pelaksana menjalankan tugasnya pada kesatuan-kesatuan kerja

yang telah ditentukan dengan wewenang yang telah ditentukan pula, akan

11

(18)

8

memudahkan pemimpin dakwah dalam mengendalikan dan mengevaluasi

penyelenggaraan dakwah.12

Berikut ini ayat Al-Qur’an yang menyatakan perlunya usaha

dakwah yang dilaksanakan secara gotong royong :































dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. At.Taubah :71).13

Ayat tersebut secara umum menyatakan bahwa kewajiban seluruh

kaum muslimin, baik wanita maupun pria adalah bergotong royong,

bersama-sama menyuruh berbuat ma’ruf, melarang berbuat mungkar,

mendirikan solat, membayar zakat, dan beriman kepada Allah dan

RasulNya. Dengan demikian, berarti bahwa setiap muslim harus menjadi

juru dakwah. Secara umum memang demikian, tetapi seprti halnya dalam

bidang-bidang lain maka dalam bidang dakwah ini harus ada orang dan

organisasi yang khusus menangani masalah-masalah dakwah secara

intensif.14

12

Rosyad Shaleh,Manajemen Dakwah,(Jakarta: Bulan Bintang, 1986),h.86. 13

Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah(Jakarta: Lentera Hati, 2002) h. 162. 14

(19)

9

Adanya organisasi yang baik dan militan yang mendukung dakwah

Islamiyah adalah satu keharusan mutlak karena tanpa adanya organisasi

yang demikian, dakwah Islamiyyah tidak bisa berjalan dengan baik bahkan

kemungkinan besar akan mandek sama sekali.

Dari paparan diatas peneliti tertarik untuk meneliti sebuah majlis

ilmu atau kelompok pengajian di Sidoarjo yaitu Majlis Ilmu yang bernama

Bunda Muslimah Az-Zahra (AZ-ZAHRA). Dari namanya sudah terbaca

bahwa kelompok pengajian ini khusus untuk muslimah. Sebagian besar

anggotanya adalah muslimah asal Sidoarjo, lainya berasal dari Surabaya,

Mojokerto dan Pasuruan.

Musyawarah Majelis Taklim Se-DKI pada tanggal 9–10 Juli 1980 merumuskan definisi (ta’rif) majelis taklim, yaitu lembaga pendidikan

Islam non-formal yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan

secara berkala dan teratur serta diikuti peserta jamaah yang relatif banyak,

dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun

dan serasi antara manusia dan Allah SWT (hablumminallah) dan antara manusia dan sesama (hablumminannas) juga dengan lingkungan dalam rangka membina pribadi dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah

SWT.15

Majlis ta’lim AZ-ZAHRA (Bunda Muslimah Az-Zahra) termasuk sebuah fenomena sufisme urban. Dimana anggotanya adalah muslimah

kota yang menginginkan pemenuhan kebutuhan spiritual dan haus akan

15

(20)

10

pengetahuan agama ditengah kesibukan masyarakat kota, bahkan sebagian

adalah muallaf. Muslimah anggota pengajian AZ-ZAHRA sebagian

berkesibukan sebagai ibu rumah tangga, wirausaha, karyawan dll.

Anggotanya tergolong masyarakat menengah bahkan menengah atas,

terlihat dari bagaimana berbusana yang mengikuti tren muslimah kekinian,

kendaraan yang digunakan dan pemilihan menyekolahkan anak di sekolah

favorit.

Pada proses dakwah Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra (AZ-ZAHRA), tentu terjadi interaksi antara pengurus sebagai pelaku

dakwah/ da’i dan jamah pengajian sebagai mad’u. Interaksi tersebut akan

menimbulkan simbol-simbol melalui komunikasi sebagai sarana saling

memahami antar pengurus dan anggota. Agar terjadi sinergi, komunikasi

timbal balik untuk mencapai tujuan organisasi dakwah sebagaimana tujuan

AZ-ZAHRA“untuk hidup lebih mulia”.

Fenomena dakwah oleh AZ-ZAHRA pada kalangan muslimah

menengah dirasa sangat penting untuk dikaji lebih intensif tentang strategi

dakwahnya terhadap kaum urban middle class. Keinginan tersebut mendasari disusunnya penelitian tesis yang berjudul “Dakwah Pada

(21)

11

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra dihadapkan dengan

mad’u muslimah secara khusus. Muslimah atau wanita muslim.

menghadapimad’umuslimah tentu tidak sama dengan menghadapi mad’u

pria. Secara sederhana dari segi psikologis wanita memiliki karakter lebih

lembut dan emosional. Dari segi peran dalam kehidupan sehari-hari wanita

memiliki kewajiban sebagai ibu rumah tangga, berkewajiban menjaga

kenyamanan rumah, terjaganya gizi anggota keluarga, mendidik dan

mengasuh anak, mengurus suami dll, selain itu banyak juga yang

merangkap sebagai wanita karir.

Selain itu wanita sebagai masyarakat sosial ia juga tidak luput dari

status sosial yang ada pada lingkungnannya. Salah satunya klasifikasi

kelas sosial, ada yang termasuk kelas bawah, menengah dan atas.

Masyarakat yang menempati kelas sosial tersebut juga memiliki

karakteristik yang berbeda-beda, permasalahan dan kebutuhan spiritual

yang berbeda.

Demi kelancaran dan efektifitas dakwah maka perlu adanya

pemahaman terhadap siapa mad’u yang dihadapi, disinilah letak fungsi disusunnya strategi dakwah. Begitu pula dengan Majelis Ta’lim bunda

muslimah Az-Zahra memiliki strategi dakwah tertentu dalam menghadapi

(22)

12

Pembahasan strategi dakwah sangat beragam dalam hal ini peneliti

membatasi hanya pada bagaimana strategi dakwah yang digunakan oleh

Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra dalam menghadapi mad’u

muslimah khususnya kalangan menengah

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka peneliti

membuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana strategi dakwah Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra untuk berdakwah pada muslimah kelas menengah?

2. Bagaimana Keterlibatan Jamaah pada Perencanaan Dakwah Majelis

Ta’lim Bunda MuslimahAz-Zahra?

3. Apa faktor pendukung dan penghambat serta solusi pada pelaksanaan

strategi dakwah Majelis Ta’lim Bunda MuslimahAz-Zahra?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui Strategi dakwah Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra untuk berdakwah pada muslimah kelas menengah.

2. Mengetahui Keterlibatan Jamaah pada Perencanaan Dakwah Majelis

Ta’lim Bunda MuslimahAz-Zahra

3. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat serta solusi Majelis

(23)

13

E. Kegunaan Penelitian

1. Segi Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku dakwah

untuk dapat menentukan strategi dakwah yang cocok untuk jamaah

dari kalangan menengah atas. Agar pesan dakwah dapat mudah

tersampaikan serta tujuan dakwah dapat tercapai dengan mudah.

2. Segi Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan

konstribusi keilmuan terhadap pelaku dakwah baik yang dilakukan

oleh perorangan maupun oleh lembaga-lembaga dakwah seperti

yayasan, organisasi masyarakat, pondok pesantren dan sebagainya,

untuk dijadikan bahan acuan dalam merencanakan

program-program dakwah pada masyarakat kelas menengah.

F. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang akan menjadi bahan

acuan dan perbandingan dari penelitian ini diantaraya, yang pertama adalah Bacharuddin dalam Tesisnya yang berjudul “Dakwah di pedalaman Fakfak Papua Barat”Penelitian tersebut bertujuan menjelaskan berbagai

fenomena dan problematika dakwah di pedalaman Fakfak khususnya

di Kampung Ugar Distrik Kokas Kabupaten Fakfak.Riset ini

menggunakan teori Interaksi Simbolik melalui pendekatan

fenomenologi, penelitian ini diakhiri dengan beberapa kesimpulan, secara

(24)

14

da’i sehingga mayarakat di pedalaman lebih meyakini kepercayaan yang secara langsung dirasakan manfaatnya selain itu bahwa agama dan

tradisi bukanlah suatu tantangan maupun hambatan dalam berdakwah,

sebaliknya adanya keterkaitan yang sangat erat antara unsur-unsur

dakwah sangat berpeluang dan berpotensi sebagai solusi bagi dakwah itu

sendiri ataukah sebaliknya menjadi problem dan hambatan dalam

berdakwah.

Perbedaan penelitian Bachauddin terbut mengeksplorasi strategi

dakwah para da’i untuk menghadapi masyarakat pedalaman. Dengan ini menjadi acuan bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah

penelitian dalam mencari suatu strategi dakwah dalam hal ini yang

membedakan peneliti akan mencari strategi dakwah yang pas untuk mad’u

dari kalangan kelas menengah.

Kedua, Kautsar Wibawa dalam Tesisnya “Dakwah Pada

Masyarakat Muslim Minoritas; Studi tentang Strategi Dakwah di

Masyarakat Muslim Karangasem Bali”. Penelitian ini menggunakan

penelitian kualitatif deskriptif yang berguna untuk memberikan fakta dan

data mengenai strategi dakwah di masyarakat muslim Karangasem

Bali. Penelitian ini memunculkan dua rumusan masalah dan menghasilkan

bahwa ada 3 strategi dakwah yang dilakukan pada da’i pada masyarakat

minoritas Karangasem Kali yaitu Tilawah, Tazkiyah dan Ta’lim, jawaban atas rumusan masalah yang ke dua yaitu faktor pendukung strategi dakwah

(25)

15

pengajar dari pesantren-pesantren di Jawa, selain itu juga terdapat faktor

penghambat serta solusi strategi dakwah pada Masyarakat minoritas

Karangasem Bali.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Kautsar wibawayaitu

pada objek yang diteliti, kautsar wibawa meneliti strategi dakwah pada

mad’u masyarakat minoritas dengan status ekonomi menengah kebawah,

sedangkan pada penelitian ini meneliti strategi dakwah pada masyarakat

kalangan mengah yang di fokuskan pada pengajian Bunda Muslimah Az

Zahra. Penelitian Wibawa Kautsar dapat menjadi acuan bagi penelitian ini

untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah penelitian untuk

mengetahui strategi dakwah pada kelompok tertentu.

Ketiga, Jurnal Teosofi oleh Rofhani yang berjudul Budaya urban muslim kelas menengah, penelitian ini menghasilkan bahwa kaum urban dengan pemikirannya yang rasional lebih pada melakukan sebuah

tindakkan dimana untuk mencapai tujuan menjadi muslim juga

menggunakan alat (instrumen) untuk mencapai tujuan tersebut. Tampilan

fashion dengan berbagai pilihan adalah instrumen yang digunakan oleh urban muslim middle class ini untuk mencapai tujuan menjadi muslim yang moderenis. Pemikiran ini muncul akibat ketidak setujuan pada

budaya fundamentalisme yang terkesan sangat eksklusif terutama dari sisi

cara berpakaian.

Jurnal tersebut memberikan gambaran pada penelitian pada

(26)

16

memunculkan identitas kemuslimannya, yaitu salah satunya dengan

budaya rasional dan menggunakan fashion untuk menunjukkan status

keislaman yang modern dan mengikuti perkembangan zaman, bahwa

Islam tidak secara kaku menerima perkembangan zaman. Dengan

penelitian rofhani ini maka dapat digunakan sebagai instrumen memahami

karakteristik jamaah pengjaian Bunda Muslimah Az Zahra sehingga akan

diketahui strategi dakwah apa yang cocok pada jamaah dengan

karakteristik demikian.

Ke empat, Moeflich Hasbullah dalam jurnalnya yang berjudul “Cultural presentation of the muslim middle class in contemporary

Indonesia”. Jurnal ini menghadirkan suatu kajian tentang kelas menegah Muslim pada masa orde baru, fokus pembahasan terutama di fokuskan

pada apa yang dimaksud dengan “presentasi budaya” suatu masyarakat

yang terkategori sebagai kelas menengah. Representasi budaya ini, penting

ditegaskan, tampak telah beperan-mengutip Pierre Bourdieu- sebagai

“habitus”, yaitu kode kelas yang menyatukan perilaku, ideologi, dan identitas. Kode-kode ini-berupa pakaian, bahasa, ideologi, agama,

ekonomi, cita rasa atau estetika-berfungsi sebagai simbol-simbol yang

menyatukan dan membentuk sebuah kelas sosial. Ia secara sosial

menunjukkan terbentuknya sebuah kelas dalam suatu masyarakat.

Dalam kaitan ini, terdapat setidaknya lima presentasi budaya

yang bisa diidentifikasi, yang berkembang bersamaan dengan tampilnya

(27)

17

Bermula dari kampus, pemakaian jilbab merebak ke kalangan kelas

menengah. Jilbab Berfungsi tidak hanya sebagai simbol kesetiaan

keagamaan, tapi lebih dari itu sebagai simbol efektif dalam memenuhi

kebutuhan psikologis dalam mengatasi problem krisis identitas di

tengan dunia modern. Kedua, munculnya lagu-lagu religi, hususnya

kasidah modern Bimbo. Seperti halnya fenomena jilbab, musik-musik

religi berkembang sebagai respon terbadap kuatnya arus musik sekuler

yang kering dari sentuhan nilai-nilai spiritual.

Ketiga, terbentuknya lkatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia

ICM,yang berdiri pada 1990. Ledakan dan ekspansi kelompok santri

terdidik ini, memiliki dampak politik kuat yang berujung pada

pendirian organisasi cendikiawan Muslim tersebut. Keempat, terbitnya

berbagai media Islam modern di mana kelas menengah Muslim

mengartikulasikan gagasan-gagasan intelektualnya. Jurnal harian

Republika adalah salah satu media Islam dengan beberapa ciri khas

modern: profesional,liberal, dan, tentu saja berorietasi modern.

Ke lima, menjamurnya gejala-gejala pengajian kelompok elit,

sejak 1980an di Indonesia tumbuh subur pengajian-pengajian yang

diselenggarakan di hotel-hotel berbintang, kantor-kantor suasta dan

(28)

18

profesional, pengusaha, parapejabat pemerintah, para artis dan mereka

yang disebut sebagai kelas menengah Muslim.16

G. Kerangka Teoretik

1. Teori Budaya Organisasi (Pacanowsky dan Trujillo)

Teori-teori mengenai budaya organisasi menekankan bagaimana

manusia mengkonstruksikan suatu realitas organisasi. Mengetahui

bagaimana gaya hidup organisasi, pendekatan budaya organisasi, melihat

makna dan nilai-nilai yang ada pada organisasi.17

Teori budaya organisasi sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran

sosiokultural. Teori budaya organisasi mencoba untuk menjelaskan

perbedaan realitas satu organisasi dengan organisasi lainnya. Artinya

setiap anggota organisasi menciptakan realitas bersama yang

membedakannya dengan organisasi lain. Dengan teori budaya organisasi

ini peneliti mencoba untuk menguraikan realitas yang ada pada pengajian

Bunda Muslimah Az Zahra sebagai organisasi yang bergerak dibidang

dakwah yang membedakannya dengan organisasi lainnya atau dengan

organisasi serupa.

Pancanowsky dan Trujillo menyatakan bahwa anggota organisasi

melakukan pertunjukan komunikasi tertentu yang menghasilkan budaya

organisasi yang bersifat unik bagi organisasi bersangkutan. Terdapat

banyak indikator yang dapat digunakan yaitu melalui ide atau gagasan

16

Moeflich Hasbullah,Cultural presentation of the muslim middle class in contemporary Indonesia. Journal for islamic studies, Vol.7, No. 2, 2000.

17

(29)

19

relevan, kata-kata yang berhubungan, fakta-fakta, kebiasaan atau tindakan,

perumpamaan, cerita, upacara dan ritual, kesemua ini adalah “pertunjukan komunikasi” karena mereka menunjukkan pengalaman hidup kelompok.18

Pertunjukan sebagaimana pertunjukan seni drama di panggung,

juga merupakan pencapaian, karena pertunjukan membawa serta realitas

budaya: “pertunjukan membawa arti penting atau makna dari bentuk -bentuk struktural seperti simbol, cerita, perumpamaan, ideologi atau

peristiwa menjadi ada.19Pacanowsky dan Trujillo mengemukakan empat

karakteristik dari pertunjukan komunikasi, sebagai berikut20:

a. Pertunjukan komunikasi bersifat interaksional, dengan kata lain

pertunjukan komunikasi merupakan tindakan sosial bukan perorangan.

Pertunjukan komunikasi adalah sesuatu dimana sekelompok orang ikut

berpartisipasi.

b. Pertunjukan bersifat kontekstual, yaitu penampilan tidak dipandang

sebagai kegiatan mandiri namun tetap dalam kerangka konteks aktivitas

berorganisasi.

c. Pertunjukan adalah peristiwa, peristiwa yang memiliki awal dan akhir.

Para pemain dapat mengenali setiap episode dan membedakannya

dengan yang lain.

d. Pertunjukan adalah improvisasi, dalam hal ini pertunjukan selalu

bersifat fleksibel dalam setiap aktivitas komunikasi, walaupun

18

Moissan dan Andy corry Wardany, Teori Komunikasi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009),h. 469. 19

Michael E Pacanowsky dan Nick O’Donnel-Trujillo,Organizational Communication as Cultural Performancedalam Littlejohn dan Foss,Theories off Human Communicaction, h. 259.

20

(30)

20

pertunjukan yang sama dilakukan berulang-ulang namun tidak

dikerjakan dengan cara yang sama persis.

Pancanowsky dan Trujillo dalam Morissan menyajikan daftar dari

sejumlah pertunjukan komunikasi organisasi yang terdiri atas pertunjukan

ritual, passion, sosial, politik dan enkulturasi. Setiap pertunjukan tersebut

dapat dilakukan oleh setiap anggota organisasi21.

a. Ritual.

Pertunjukan komunikasi yang pertama adalah ritual yaitu kegiatan

komunikasi yang dilakukan secara berulang-ulang atau teratur sehingga

dapat dikenali dengan baik.

a) Ritual Personal, ritual jenis ini mencakup hal-hal yang dilakukan seseorang secara rutin setiap hari ditempat kerja. Misalnya, banyak

anggota organisasi secara teratur memeriksa surat-surat atau e-mail

pada permulaan kerja.

b) Ritual Kerja , yaitu kegiatan yang berulang-ulang yang dilakukan untuk membantu anggota lain melakukan perkerjaannya.

c) Ritual Sosial, ritual yang tidak berhubungan kerja atau tugas namun ritual ini merupakan pertunjukan penting dalam organisasi.

Misalnya, anggota organisai keluar untuk sekedar makan bersama

sembari berbincang mengenai oganisasinya.

d) Ritual Organisasi, ritual yang diikuti oleh seluruh kelompok kerja didalam organisasi secara cukup teratur.

21

(31)

21

b. Passion

Menurut Pancanowsky dan Trujillo Passion adalah kegemaran atau

kesukaan anggota organisasi. Mencoba merubah hal membosankan

menjadi menarik dan menyenangkan dengan cara menceritakan sesuatu

yang digemar atau disukai. Cerita yang disampaikan bisa mengenai diri

sendiri, cerita mengenai teman kerja dan cerita mengenai organisai.

Dalam kata lain passion ini melakukan percakapan yang

menyenanngkan dengan bahasa yang tidak formal.

c. Sosial

Pertunjukan komunikasi ini yaitu berbagai bentuk kesopanan, basa-basi,

penghormatan yang dilakukan dengan maksud untuk mendorong dan

meningkatkan kerjasama diantara anggota. Pertunjukan sosial dapat

menimbulkan rasa identifikasi dalam anggota organisasi.Pertunjukan

komunikasi ini yaitu berbagai bentuk kesopanan, basa-basi,

penghormatan yang dilakukan dengan maksud untuk mendorong dan

meningkatkan kerjasama diantara anggota pengajian. Pertunjukan sosial

dapat menimbulkan rasa identifikasi dalam anggota organisasi.

d. Politik Organisasi

Pertunjukan komunikasi ini yaitu berbagai bentuk kesopanan, basa-basi,

penghormatan yang dilakukan dengan maksud untuk mendorong dan

meningkatkan kerjasama diantara anggota pengajian. Pertunjukan sosial

(32)

22

e. Enkulturasi

Pertunjukan Komunikasi ini yaitu proses pengajaran budaya organisasi

oleh salah satu anggota kepada anggota lainnya. Enkulturasi adalah

proses yang berlangsung terus menerus namun pertujukan tertentu

memiliki peran sangat penting dalam proses ini.

H. Definisi konsep

1. Strategi Dakwah

Strategi adalah serangkaian tindakan yang sengaja diatur dan

dilakukan oleh perorangan atau sekelompok individu dalam oragnisasi

untuk mencapai tujuan tertentu dengan tahapan-tahapan yang tepat.

Dakwah adalah sebuah ajakan kepada kebaikan untuk mencapai kehidupan

yang diRidoiAllah SWT dan mencegah pada perbuatan yang menyebabkan kemuarkaan Allah SWT.

Dengan ini strategi dakwah adalah serangkaian tindakan dan

pemikiran yang diciptakan dan untuk dilaksanakan demi mencapai tujuan

dakwah, yaitu kehidupan dunia yang harmonis dengan Rido Allah SWT

sehingga dapat meraih kebahagiaan Akhirat.

2. Majelis Ta’lim

Majelis Ta’lim adalah istilah yang digunakan AZ-ZAHRA untuk menyebut majelis taklimnya. Musyawarah Majelis Taklim Se-DKI pada

tanggal 9– 10 Juli 1980 merumuskan definisi (ta’rif) majelis taklim, yaitu

lembaga pendidikan Islam non-formal yang memiliki kurikulum tersendiri,

(33)

23

yang relatif banyak, dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan

hubungan yang santun dan serasi antara manusia dan Allah SWT

(hablumminallah) dan antara manusia dan sesama (hablumminannas) juga dengan lingkungan dalam rangka membina pribadi dan masyarakat yang

bertaqwa kepada Allah SWT.22

3. Bunda Muslimah Az-Zahra

Bunda Muslimah Az-Zahraadalah nama Majelis Ta’lim yang

menjadi subjek pada penelitian ini. Menurut keterangan dalam buku profil

Majelis Ta’lim ini, kata Bunda Muslimah berarti sekumpulan bunda-bunda yang mempunyai kepedulian tentang kegiatan sosial dan syiar agama

Islam. Sedangkan Az-Zahra berarti bunga mawar yang menunjukkan

feminimitas kelompok pengajian ini.23

4. Muslimah Kelas Menengah

Muslimah pada judul ini memberikan batasan bahwa mad’u pada Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra adalah kaum wanita. Wanita memilki karakter berbeda dengan pria, ia lebih mengedepankan emosi

sehingga perlu kiranya da’i memilih metode dan pesan dakwah yang

mampu menyentuh jiwa wanita.24

Kelas Menengah menunjukkan strata sosial pada suatu masyarakat.

Kelas menengah pada judul penelitian ini difokuskan pada kelas ekonomi

yang ditempati oleh jamaah Majelis Ta’lim.

22

MK Muhsin,Manajemen Majelis Taklim (Petunjuk Praktis Pengelolaan dan Pembentukannya), (Jakarta : Pustaka Intermasa, 2009), h.1.

23

Az-Zahra 24

(34)

24

I. Metode Penelitian

a. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian

deskriptif kualitatif, sehingga dalam laporan penelitiannya disusun dalam

bentuk narasi yang bersifat deskriptif dan mendalam sehingga

menunjukkan ciri-ciri naturalistik dan otentik karena dalam penelitian ini

akan lebih menonjolkan proses dan makna.25

Adapun beberapa alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif,

antara lain :

a) Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan perhatian pada kegiatan

serta program-program keagamaan dan kegiatan sosial sebagai

pelaksanaan dari strategi dakwah majlis ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra sehingga data yang diperoleh berupa deskripsi kegiatan

tersebut. Serta bagaimana respon jamaah terhadap kegiatan yang

dirancang oleh AZ-ZAHRA.

b) Peneliti terjun langsung ke lapangan, untuk mendapatkan data

yang didinginkan. Agar data tersebut terasa lebih objektif, peneliti

mengadakan pengamatan yang bersifat partisipan.

c) Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, pemalsuan data lebih

dapat dihindari. Oleh karena itu, peneliti hadir dan menjadi anggota

Pengajian Bunda Muslimah Az-Zahra.

25

(35)

25

b. Kehadiran Peneliti

Peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian dan melakukan

pengamatan berperanserta. Keberadaan peneliti diketahui sebagai

mahasiswa pascasarjana UINSA yang sedang meneliti organisasi

dakwah Majlis Ilmu Bunda Muslimah Az-Zahra oleh jamaah dan

pengurus pengajian.

Kehadiran peneliti pada latar penelitian ini memudahkan peneliti

mengumpulkan data. Pengamatan strategi dakwah Az-Zahra peneliti

lakukan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan Az-Zahra. Untuk

mengetahui respon jamaah, peneliti melakukan wawancara terhadap

jamaah.

c. Sumber Data 1. Sumber Data

Data penelitian diperoleh melalui pengamatan mendalam pada

proses komunikasi langsung maupun tidak langsung yang terjadi

pada pengurus dan jamaah Az-Zahra, pengamatan kegiatan-keiatan

Az-Zahra. Wawancara kepada pengurus dan jamaah pengajian.

Data-data lain berupa buku-buku yang membahas tentang

kelompok masyarakat, budaya organisasi, buku profil pengajan dan

website Az-Zahra.

2. Jenis Data

a. Data Primer adalah data inti (fokus penelitian) yang berupa

(36)

26

melalui wawancara dengan informan dalam hal ini

pengurus (pelaku dakwah) dan jamaah pengajian (mad’u) .

b. Data Sekunder yaitu website dan beberapa sosial media milik

Az-Zahra dan buku profil pengajian.

d. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi, Mengamati program-program dakwah majelis ta’lim

Bunda Muslimah Az-Zahra, diantaranya mengamati kegiatan

pengajian rutin, mulai dari siapa da’inya, materi dakwah yang disampaikan, metode dakwah yang digunakan, media dakwahnya,

serta dinamika yang terjadi antara da’i dan jamaah.

Mengamati interaksi antara pengurus dan jamaah, salah satunya

dari akun sosial media Bunda Muslimah Az-Zahra sebagai wadah

komunikasi antara pengurus dan jamaah.

2. Wawancara, wawancara akan dilakukan kepada pengurus

pengajian, jamaah.

Wawawancara kepada pengurus pengajian, seputar bagaimana

menentukan materi dan program pengajian, bagaimana menjalin

komunikasi dengan jamaah, tentang apa faktor pendukung dan

penghambat dalam menjalankan dakwah secara organisasi dan

menghadapi jamaah yang rata-rata muslimah kelas menengah.

Wawancara pada jamaah, tentang apa motivasi mengikuti

pengajian, bagaimana komunikasi dengan pengurus pengajian, apa

(37)

27

Kepada Da’i, wanwancara tentang bagaimana penyampaian dakwahnya pada Majelis Ta’lim Bunda Muslimah Az-Zahra, metode penyampainya, materi apa yang dikedepankan atau yang

relevan dengan jamaah muslimah kelas menengah.

3. Dokumen Pendukung, melakukan dokumentasi hasil observasi dengan foto dan video kegiatan pengajian, dokumentasi interaksi

antar pengurus dan jamaah via media sosial.

4. Catatan Lapangan, sebagai peneliti akan selalu mencatat hasil penelitian baik itu observasi maupun wawancara.

e. Teknik Analisis Data

Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti akan melakukan teknik

analisa data dengan model Miles dan Huberman :

1. Mereduksi Data/ Data Reduction. Yaitu dari data yang sekian

banyak, peneliti akan merangkum, memilah hal-hal yang pokok,

memfokuskan data yang penting dan membuang hal-hal yang tidak

perlu. Setelah memilih data-data yang penting peneliti membuat

kategori-kategori data sesuai dengan masalah dalam penelitian.

Kategori datanya yaitu deskripsi kegiatan pengajian rutin tentang

bagaimana penyampaian ceramah, metode, media apa yang

digunakan, program-program keagamaan dan kegiatan bakti sosial.

Dan respon jamaah terhadap kegiatan dan program-program yang

(38)

28

2. Penyajian data/ Data Display. Setelah data direduksi dan

ditemukan kategori-kategori peneliti menyajikan data yang

ditulis secara naratif dan diklasifikasikan sesuai dengan

kategori-kategori sehingga akan terbentuk suatu pola katerkaitan

antara data-data yang disajikan.

3. pengambilan kesimpulan. Dari data yang telah berbentuk pola,

peneliti menganalisis keterkaitan dan mengkonfirmasi dengan

data dan teori Budaya Organisasi Pacanowski dan Trujillo serta

teori strategi dakwah sehingga dapat diambil kesimpulan.

Kesimpulan ini akan terus diuji keabsahannya dengan data-data

yang kredibel.

f. Teknik Pengecekan Keabsahan Data

Untuk memperoleh keabsahan data beberapa langkah yang

dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:

1. Perpanjangan pengamatan. Peneliti akan kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara kembali dengan sumber

data yang pernah ditemui maupun yang baru. Agar tidak

memakan waktu lama, peneliti hanya memfokuskan pada data yang

telah diperoleh

2. Meningkatkan ketekunan. Peneliti mengamati data-data yang ada secara berkesinambungan dan teliti. Sehingga peneliti

(39)

29

g. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pemahaman mengenai penelitian ini, maka

dipandang perlu adanya sistematika pembahasanya sebagai berikut:

BAB I : Yaitu bagian pendahuluan berisi tentang latar belakang

masalah yang dijadikan pijakan awal untuk merumuskan masalah,

sehingga bisa menentukan tujuan penelitian dan kegunaan hasil

penelitian. Definisi operasional merupakan penjelasan variabel

variabel yang diteliti yang bersifat operasional kemudian paparan

teori budaya organisasi yang digunakan sebagai pisau analisis

penelitian ini. Yang terakhir metode penelitian.

BAB II : Landasan teori yang memuat tentang penjabaran

konsep-konsep strategi dakwah, deskripsi tentang majelis ta’lim, deskripsi

tentang muslimah dan masyarakat menengah.

BAB III : bab ini menyajikan hasil –hasil temuan dilapangan, meliputi: gambaran suasana lapangan penelitian yang terdiri dari

unsur-unsur dakwah yaitu da’i, mad’u, media, juga gambaran

keorganisasian Bunda Muslimah Az-Zahra begitu juga kegiatan

anggota dan pengurus diluar pengajian.

BAB IV : Analisa, yaitu setelah mengumpulkan dan mendiskripsikan

data yang kemudian dianalisa dengan teknik analisa yang telah

ditentukan untuk menjawab dan mengkategorikan program-program

keagamaan yang dilakukan oleh pengurus Bunda Muslimah Az-Zahra

(40)

30

BAB V : Merupakan bagian penutup antara lain berisi kesimpulan dari

hasil kajian terhadap permasalahan yang ada, yang kemudian

diakhiri dengan beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan

(41)

31

31 BAB II

PERSPEKTIF TEORITIS STRATEGI DAKWAH, MAJELIS TA’LIM dan KELAS SOSIAL MENENGAH

A. Kajian Tentang Strategi Dakwah 1. Pengertian Strategi

Kehidupan sosial masyarakat tidak dapat terhindar dari berbagai

problem sosial mulai dari problem ekonomi, budaya, biologis, psikologis,

secara tidak langsung permasalahan sosial tersebut juga menjadi

tantangan dalam aktifitas dakwah. Selain itu munculnya paham

Radikalisme, Liberalisme, sekularisme juga menjadi perhatian tersendiri dalam dakwah. Maka dari itu dakwah sebagai aktifitas sosial harus

memiliki strategi dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut agar

dakwah mencapai efektifitas dalam operasionalnya.

Istilah strategi umumnya dikenal di kalangan militer, karena

berkaitan dengan strategi operasi dalam perang. Strategi dalam pengertian

ini, berarti “ilmu tentang perencanaan dan pengerahan operasi militer

secara besar-besaran” atau berarti pula, kemampuan yang terampil dalam

menangani dan merencanakan sesuatu. Mengapa perlu strategi, karena

untuk memperoleh kemenangan atau tujuan yang diharapkan harus

diusahakan, tidak datang begitu saja.1

1

(42)

32

Strategi berasal dari bahasa Yunani: strategia yang berarti kepemimpinan atas pasukan atau seni memimpin pasukan. Kata strategia

berasal dari kata strategos yang berkembang dari kata stratos (tentara) dan kataagein (memimpin). Istilah strategi dipakai dalam konteks militer sejak zaman kejayaan Yunani-Romawi sampai masa awal industrialisasi.2

Seiring berkembangnya waktu kata strategi mulai digunakan dalam

kegiatan masyarakat.

Dibidang ilmu komunikasi, Onong Uchjana Effendi dalam buku

berjudul “dimensi-dimensi komunikasi” menyatakan bahwa : Strategi

Komunikasi merupakan panduan dari perencanaan komunikasi

(communication planing) dan managemen (communication manajemen)

untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai suatu tujuan tersebut

strategi komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya

secara taktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan

(approach) bisa berbeda beda sewaktu-waktu tergantung dari situasi dan

kondisi” (1981:84).3

2. Pengertian Dakwah

Sedangkan arti kata dakwah ditinjau dari etimologi atau bahasa,

kata dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu da’a -yad’u- da’watan, artinya mengajak, menyeru, memanggil. Warson munawwir,

menyebutkan bahwa dakwah artinya adalah memanggil (to call),

2

Anwar Arifin,Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011) h, 227.

3

(43)

33

mengundang ( to invite ), mengajak (to summon), menyeru (to propose), mendorong (to urge) dan memohon (to pray).4

Taufiq Yusuf Al-Wa’iy mendefinisikan dakwah dalam bukunya

fiqih dakwahilallahyaitu dakwah adalah sebuah usaha melalui perkataan

dan perbuatan untuk mengajak orang lain kepada da’i, atau kepada

perkataan atau perbuatan yang diinginkan da’i.5 Definisi ini dapat

difahami sebagai sebuah usaha mengajak orang lain melalui perkataan

dan perbuatan agar mereka mau memeluk islam, mengamalkan aqidah

dan syari’atnya.

Ali Aziz merumuskan definisi dakwah dari para ahli dalam

bukunya ilmu dakwah serta dikaitkan dengan fenimena dakwah, yaitu dakwah merupakan proses peningkatan iman dalam diri manusia sesuai

syari’at Islam. Proses merupakan kegiatan berkesinambungan dan terus

menerus, peningkatan iman termanifestasi pada peningkatan pemahaman,

kesadaran dan perubahan, syari’at Islam merupakan pembeda bagi defiisi

dakwah secara umum, bahwa segala kegiatan dakwah harus berdasarkan

Al-Qur’an dan Hadits.6

Dari beberapa definisi tersebut maka penulis menyimpulkan

dakwah sebagai suatu aktifitas mengajak manusia melalui lisan, tulisan

dan atau perbuatan agar melakukan perbuatan yang ma’ruf (baik) dan

4

Warson Munawwir,Kamus Al-Munawir,(Surabaya : Pustaka Progressif, 1994), h. 439. 5

Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Fiqih Dakwah Ilallah,Terjemahan oleh Soan Abbas, Akhrudin, Basuki Ali Subagyo (Jakarta: Al-I’tishom, 2011) h, 9.

6

(44)

34

mencegah pada perbuatan munkar(buruk) dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dalam keilmuan dakwah memiliki beberapa unsur yang perlu

dikaji yaitu da’i/ Pendakwah, mad’u/mitra dakwah, pesan dakwah, metode dakwah, media dakwah dan efek dakwah.7

1. Da’i/ Pendakwah, dalam istilah ilmu komunikasi da’i bertindak

sebagai komunikator, yaitu penyampai pesan dakwah. da’i yang

menyampaikan pesan secara lisan umumnya disebut dengan Ustadz,

Kyai, TuanGuru, Muballigh dll.Demikian pula penyampai dakwah melalui tulisan dan tindakan juga disebut sebagai da’i. Selain dapat

dilakukan perorangan atau individu dakwah juga dapat dilakuan

dengan kelompok atau lembaga, demikian ini juga disebut dengan

pendakwah`

2. Mad’u/mitra dakwah dalam istilah komunikasi disebut dengan

komunikan/ penerima pesan. Kendatipun demikian mitra dakwah

bukanlah objek pasif yang hanya menerima pesan. Namun mitra

dakwah juga aktif dalam interpretasi pesan, memberi feedback dan yang terpenting melaksanakan kandungan pesan dakwah.

3. Pesan dakwah adalah materi dakwah, dalam hal ini materi bukanlah

satu-satunya hal yang berkaitan dengan logistik, namu yang dimaksut

materi adalah muatan pesan yang disampaikan oleh da’i dan selalu

7

(45)

35

bertolak ukur pada Al-Qur’an, Hadits, pendapat uama, Kisah dan

wawasan keIslaman lainya.

4. Metode dakwah, adalah cara dalam penyampaian dakwah. metode

dakwah adalah pembahasan yang akan dikedepankan pada peneitian

ini, maka akan dibahas lebih pada sub bab berikutnya.

5. Media dakwah, adalah alat untuk menyampaikan pesan dakwah,

media adalah unsur tambahan dalam dakwah, dakwah dapat dilakukan

meskipun tanpa menggunakan media. Seiring kemajuan zaman

banyak alat yang dapat digunakan untuk berdakwah misalnya saja

media elektronik dll. selain itu media dakwah juga termasuk pada

sarana dan prasarana/ perlengkapan pelaksanaan dakwah seperti tepat,

lcd proyektor, makalah dll.

6. Efek dakwah, adalah hasil yang diinginkan setelah tejadinya

pengiriman pesan, yaitu berupa perubahan perilaku kearah yang lebih

baik, walaupun hal ini kebanyakan tidak terjadi seketika namun butu

proses.Tahapan efek yang diharapkan yaitu, Efek Kognitif/

pemahaman, Efek afektif/ penerimaan berupa perubahan sikap dan

Efek bihavioral yaitu efek perubahan perilaku.

Proses penyelanggaraan dakwah terdiri dari berbagai aktivitas

dalam rangka mencapai nilai tertentu. Nilai tertentu yang diharapkan

untuk dicapai dalam proses penyelengaraan dakwah disebut tujuan

dakwah. Setiap penyelenggaraan dakwah harus mempunyai tujuan. Tanpa

(46)

36

dakwah tidak mempunyai arti apa-apa. Bahkan hanya merupakan

pekerjaan sia-sia yang akan menghabiskan tenaga, pikiran dan biaya.8

Nilai idealis atau cita-cita mulia yang hendak dicapai dalam

aktifitas dakwah adalah tujuan dakwah.9 Tujuan dakwah harus diketahui

oleh setiap pendakwah agar aktivitas dakwah mempunyai makna. Asmuni

Syukir dalamIlmu dakwahmembagi tujuan dakwah menjadi dua : 1. Tujuan Umum dakwah

Tujuan umum dakwah adalah suatu yang hendak dicapai dalam

seluruh aktivitas dakwah. Tujuan ini masih bersifat global jadi setiap

langkah yang dilakukan akan selalu mengarah kesana. Sama halnya

dengan tujuan utama dakwah yaitu nilai-nilai muliah hasil akhir dari

seluruh aktifitas dakwah.

Asmuni Syukir mendefinisikan tujuan dakwah adalah menyampaikan

risalah syari’at Allah SWT kepada seluruh ummat manusia (baik yang

telah beriman maupun yang masih belum beriman), risalah tersebut

yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan hasil akhir

dari tujuan dakwah adalah tujuan hidup yang ingin dicapai setiap

manusia yaitu kebahagiaan didunia dan akhirat.

2. Tujuan Khusus Dakwah

Tujuan khusus dakwah adalah perumusan tujuan dan penjabaran dari

tujuan umum dakwah. Agar dalam pelaksanannya dapat diketahui

dengan jelas kemana arahnya. Ataupun jenis kegiatan apa yang akan

8

Abdul Rosyad Saleh,Manajenem Dakwah Islam(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986) h, 19. 9

(47)

37

dikerjakan, kepada siapa akan berdakwah, dengan cara apa dan

bagaimana.

Untuk mewujudkan tujuan utama dakwah harus dirumuskan

nilai-nilai dan hasil akhir yang diinginkan agar dapat diketahui secara jelas arah

setiap aspek kegiatan dakwah.

Tujuan khusus dakwah sebagai terjemahan dari tujuan umum

dakwah dapat digambarkan antara lain sebagai berikut:

a. Mengajak manusia yang telah memeluk agama Islam untuk selalu

istiqomah dalam meningkatkan taqwanya kepada Allah SWT.

Dengan tujuan ini nilai yang diharapkan yaitu mitra dakwah dapat

selalu mengerjakan perintah Allah SWT dan meninggalkan segala

laranganNya.

Secara operasional tujuan tersebut dapat dilakasanakan dengan:

1. Menganjurkan dan menunjukkan perintah-perintah Allah SWT.

Dan menunjukkan apa saja larangan Allah SWT

2. Menunjukkan reward/ pahala yang didapat ketika melaksanakan perintah Allah SWT dan menunjukkan ancaman yang didapat jika

mengerjakan perkara yang dilarang Allah SWT.

b. Membina mental agama Islam bagi kaum yang masih muallaf.

Penanganan terhadap kaum yang masih baru memeluk islam berbeda

sehingga rumusan tujuan tidak sama artinya disesuaikan dengan

(48)

38

1. Menunjukkan bukti ke Esaan Allah SWT dengan beberapa

ciptaannya.

2. Menunjukkan keuntungan bagi orang yang beriman dan bertaqwa

kepada Allah SWT.

3. Menunjukkan Ancaman Allah SWT bagi yang ingkar kepadaNya.

4. Mengajurkan untuk berbuat baik dan mencegah pada kejahatan.

5. Mengajarkan Syari’at Allah SWT .

6. Memberi tauladan yang baik

c. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari

fitrahnya.

Tujuan ini dapat dijabarkan menjadi tujuan yang lebih khusus

agar terarah dalam pelaksanaannya:

1. Menanamkan rasa keagamaan pada anak

2. Memperkenalkan ajaran Islam.

3. Melatih untuk mengerjakan ajaran-ajaran Islam.

4. Membiasakan akhlaq mulia.

5. Mengajarkan membaca dan mengamalkan Al-Qur’an.

6. Berbakti kepada orang tua. Dll.

3. Pengertian Strategi Dakwah

Setelah mengkaji definisi strategi dan dakwah berikut beberapa

(49)

39

Asmuni Syukir bependapat bahwa strategi dakwah artinya metode, siasat,

taktik atau manuver yang digunakan dalam aktivitas (kegiatan) dakwah.10

Anwar Arifin berpendapat bahwa strategi dakwah adalah

keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan

dijalankan, guna mencapai tujuan. Merumuskan strategi dakwah, berarti

memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan waktu yang dihadapi di

masa depan, guna mencapai efektifitas atau mencapai tujuan.11

Al-Bayanuni dalamIlmu Dakwah Ali Aziz mendefinisikan strategi dakwah (manahij al-da’wah) sebagai ketentuan- ketentuan dakwah dan rencana-rencana yang dirumuskan untuk kegiatan dakwah.12

Dalam bukunyaDakwah DamaiAcep Aripudin mengutip pendapat Abu Zahrah dalam Ad-Dakwah li Islam bahwa strategi dakwah islam adalah perencanaan dan penyerahan kegiatan dan operasi dakwah Islam

yang dibuat secara rasional untuk mencapai tujuan-tujuan Islam yang

meliputi seluruh dimensi kemanusiaan.13

Sedangkan Ali Aziz mendefinisikan strategi dakwah sebagai

perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk

mencapai tujuan dakwah tertentu. Dan ada dua hal yang menjadi

perhatian dalam mendefinisikan strategi dakwah yaitu, pertama, strategi merupakan rencana kerja (rangkaian kegiatan dakwah) belum sampai

10

Asmuni SyukirStrategi Dakah Islam,(Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 32. 11

Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer Sebuah Study Komunikasi, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011) h, 227.

12

Ali Aziz,Ilmu Dakwah(Jakarta : Kencana, 2009) h, 351. 13

(50)

40

pada tindakan. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu, oleh karena itu sebelum menentukan strategi harus merumuskan tujuan

yang jelas serta dapat diukur keberhasilannya.14

Dalam penelitian ini peneliti mengacu pada definisi yang

dikemukakan oleh Ali Aziz yaitu strategi merupakan suatu perencanaan

yang berisikan rencana kegiatan dakwah belum sampai pada tindakan dan

strategi tersebut disusun untuk mencapai tujuan tertentu.

Strategi yang digunakan dalam usaha dakwah haruslah

memperhatikan beberapa asas dakwah, diantaranya adalah15:

1. Asas filosofis : Asas ini membicarakan masalah yang erat

hubungannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses

atau aktifitas dakwah.

2. Asas kemampuan dan keahlian da’i (achievement and professionalis) : asas ini menyangkut pembahasan mengenai kemampuan dan

profesionalisme da’i sebagai subjek dakwah

3. Asas sosiologis : Asas ini membahas masalah-masalah yang berkaitan

dengan situasi dan kondisi sasaran dakwah. Misalnya, politik

pemerintah setempat, mayoritas agama disuatu daerah, filosofis

sasaran dakwah , sosiokultural sasaran dakwah dan sebagainya.

4. Asas psikologis: Asas ini membahas masalah yang erat hubungannya

dengan kejiwaan manusia. Seorang da’I adalah manusia, begitu pula

sasaran dakwahnya yang memiliki karakter unik dan berbeda satu

14

Ali Aziz,Ilmu Dakwah(Jakarta : Kencana, 2009) h, 349. 15

(51)

41

sama lain. Pertimbangan-pertibangan masalah psikologis harus

diperhatikan dalam proses pelaksanaan dakwah.

5. Asas efektifitas dan efisiensi: maksud asas ini adalah didalam aktifitas

dakwah harus diusahakan keseimbangan antara biaya, waktu maupun

tenaga yang dikeluarkan dengan pencapaian hasilnya. Sehingga

hasilnya dapat maksimal.

Dengan mempertimbangkan asas-asas di atas, seorang da’i hanya

butuh memformulasikan dan menerapkan srategi dakwah yang sesuai

dengan kondisi mad’u sebagai objek dakwah.16

4. Perbedaan Strategi Dakwah dan Metode Dakwah

Pembahasan antara strategi dakwah dan metode dakwah sering kali

dibahas dalam satu bab pada beberapa referensi. Hal ini menunjukkan

bahwa keduanya terdapat keterkaitan satu sama lain. Secara sederhana

strategi dakwah adalah rencana kegiatan dakwah (belum pada tindakan),

sedangkan metode dakwah adalah langkah teknis pelaksanaan strategi

dakwah.

Ali aziz menyebutkan beberapa istilah yang berhubungan dengan

metode dakwah dan diurutkan sesuai dengan fungsinya. Dimulai dari

istilah pendekatan (nahiyah/ approach), strategi (manhaj/ strategy),

metode (ushlub/ method), teknik (thariqah/ technique), dan taktik

(syakilah/tactic).17

16

Samsul Munir Amin,Ilmu Dakwah( Jakarta: AMZAH, 2009) h. 107-108. 17

(52)

42

Pendekatan adalah langkah awal dalam proses dakwah, yaitu

bagimana sudut pandang pendakwah terhadap mitra dakwahnya baik dari

sisi pendidikan, social, ekonomi, budaya dll. Menurut Toto tasmara

pendekatan dakwah adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang

muballigh (komunikator) untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

kata lain dakwah haruslah mengutamakan penghargaan pada diri

manusia.18

Samsul Munir menyebutkan dua pendekatan dakwah yang dapat

dilakukan :

1. Pendekatan Struktural, yaitu pengembangan dakwah melalui

struktural pemerintahan, sehingga dalam pemerintahan ada wakil

(pelaku dakwah) yang memperjuangkan pengembangan dakwah

secara formal.

2. Pendekatan kultural: pengembangan dakwah nonformal misalnya

melalui pengembangan masyarakat, kebudayaan dan bentuk

nonformal lainya.19

Istilah selanjutnya yaitu strategi dakwah, setelah menentukan

pendekatan dakwah yang pas untuk mad’u dengan karakteristik tertentu, seorang da’i akan menyusun strategi dakwahnya. Diawali dengan

memahami tujuan dakwah secara umum dan tujuan spesifik yang

diinginkan dalam proses dakwah tersebut, misalnya suatu lembaga

18

Ali Aziz,Ilmu Dakwah, h. 347. 19

(53)

43

memiliki visi dan misi tersendiri, maka ada langkah-langkah selanjutnya

untuk mencapai tujuan tersebut.

Setelah menentukan tujuan dakwah, maka akan timbul pertanyaan

“bagaimana mencapai tujuan tersebut?”. Dari sinilah da’i akan

menentukan metode penyampain pesan dakwah, menentukan pesan apa

Gambar

  Gambar 4.1
  Gambar 4.2
  Gambar 4.3
  Gambar 4.4
+3

Referensi

Dokumen terkait

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) sebagai metode yang sudah terkenal dalam bidang manajemen dan banyak digunakan dalam pengambilan keputusan serta pengurutan

Pertama,Ady Tjahyadi (2004) “Tinjauan Hukum Islam Terhadap UU Ketenagakerjaan Tentang Upah Pekerja”, penulis memaparkan tentang pekerja adalah tenaga kerja yang

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta‟ala atas seluruh Rahmat beserta Hidayah-Nya, sehingga penulis bersama para pembimbing dapat mencurahkan cipta,

Karena kompleksitas waktu dari algoritma- algorima tsb cukup besar, maka orang-orang berusaha untuk menemukan cara agar dapat mencari pohon merentang minimum dengan

Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong terciptanya kerukunan antarumat beragama di kota Semarang, yaitu munculnya wadah atau forum paguyupan lintas agama yang siap

Jl. Namun saat ini kawasan mangrove tersebut sudah mengalami rehabilitasi. Kawasan yang dulunya digunakan sebagai lahan pertambakan, sekarang beralih fungsi sebagai

Tips Pintar Membantu Anak Meningkatkan

1) Menurut hasil prediksi dengan metode Grover, Altman Z- Score dan Springate diperoleh kesimpulan bahwa PT Solusi Bangun Indonesia Tbk berada dalam kondisi