• Tidak ada hasil yang ditemukan

Culture shock pada Komunitas Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Indonesia (PKPMI) di Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Culture shock pada Komunitas Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Indonesia (PKPMI) di Surabaya."

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

CULTURE SHOCK PADA KOMUNITAS PERSATUAN KEBANGSAAN

PELAJAR MALAYSIA INDONESIA (PKPMI) DI SURABAYA

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.)

Oleh :

Ummul Farihah NIM. B76213094

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

JURUSAN KOMUNIKASI

(2)

CULTURE SHOCK PADA KOMUNITAS PERSATUAN KEBANGSAAN

PELAJAR MALAYSIA INDONESIA (PKPMI) DI SURABAYA

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.)

Oleh :

Ummul Farihah NIM. B76213094

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

JURUSAN KOMUNIKASI

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Abstrak

Ummul Farihah, B76213094, 2017. Culture Shock Komunitas Perkumpulan Kebangsaan Pelajar Malaysia Indonesia Di Surabaya (Deskriptif Kualitatif Komunitas Pkpmi Dalam Menghadapi Culture Shock). Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya

Kata Kunci: Culture Shock, Komunitas PKPMI,

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh komunikasi yang dialami mahaiswa rantauan dimana komunikasi antarbudaya ini difokuskan pada sebuah komunitas. Masalah umum dalam penelitian ini adalah culture shock yang dialami mahaisswa rantauan. Submasalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.) Mengapa mahasiswa PKPMI mengalami kendala dalam memahami bahasa Surabaya? 2.) Bagaimana interaksi sosial mahasiswa PKPMI di Surabaya? 3.) Bagaimana mahasiswa PKPMI mengatasi Culture Shock dalam berkomunikasi?

Dalam menjawab pertanyaan ini peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi dan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Jadi dalam penulisan laporan hasil penelitian tidak diwujudkan data statistik melainkan data non statistik.

Dari hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa culture shock dialami oleh mahasiswa rantauan yang tergabung dalam komunitas Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Indonesia di Surabaya atau biasa disebut PKPMI Cs. Terdapat beberapa alasan yang melatar belakangi terjadinya culture shcok, diantaranya perbedaan bahasa, perilaku, cara berpakaian, cara beribadah, serta makanan. Terdapat pula beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi keterkejutan budaya (culture shock), diantaranya menjadi lebih open friendly dengan mahasiswa loka serta masyarakat sekitar tempat tinggal, kemudian mengolah sendiri makanan yang akan dimakan.

Fenomena yang terjadi adalah mayoritas mahaiswa rantauan akan lebih cenderung untuk berinteraksi dengan sesama mahasiswa yang berasal dari daerah yang sama. Hal ini pula yang terjadi sehingga anggota komunitas PKPMI cenderung tidak memiliki teman dekat yang berasal dari penduduk lokal. Hal ini pula yang mengakibatkan mereka kesulitan dalam beradaptasi di Surabaya. salah satu cara untuk tetap bertahan di lingkungan perantauan adalah dengan mengakomodasi komunikasi yang dilakukan selama menempuh pendidikan di Surabaya, baik dengan masyarakat sekitar tempat tinggal maupun mahasiswa lokal.

(8)

DAFTAR ISI

COVER LUAR ……….………...………... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….……….… iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... ……….. vi

ABSTRAK ...……….... viii

DAFTAR ISI ………... ix

DAFTAR TABEL ………... xii

DAFTAR GAMBAR ………...…. xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...…. 1

B. Fokus Penelitian …………...……….…... 8

C. Tujuan Penelitian ……….…... 8

D. Manfaat Penelitian ……….. 8

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ……….. 9

F. Definisi Konsep ... ……….….. 14

G. Kerangka Pikir ………...… 16

H. Metode Penelitian ………... 17

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian …..………... 17

2. Subyek, Obyek, dan Lokasi Penelitian …..…... 18

3. Sunber Data... ………... 19

4. Tahap-tahap Penelitian ………….…... 22

5. Teknik Pengumpulan Data ……….... 23

6. Teknik analisis Data ………...…... 25

7. Teknik Pemeriksaan Keabsaan Data ... 27

I. Sistematika Pembahasan …..………...…… 28

BAB II : KAJIAN TEORITIS A. Kajian Pustaka ……...………...………... 31

1. Komunikasi Antarbudaya ….………. 31

(9)

b. Pengertian Komuniasi Antarbudaya …..…. 32

c. Fungsi Komuniasi antarbudaya...….… 36

2. Culture Shock ...……….………... 33

a. Sejarah dan Pengertian Culture Shock….. 40

b. Penyebab Terjadinya Culture Shock …… 43

c. Gejala atau Reaksi Culture Shock …..…. 47

d. Fase Culture Shock…………... 48

3. Proses Adaptasi …...…...……..…... 52

B. Kajian Teori …..……….. 52

1. Teori Akomodasi ……….…………..……….. 55

BAB III : PENYAJIAN DATA 65 A. Deskriptif Subyek dan Lokasi Penelitian …..…….. 65

1. Subyek Penelitian ……..………...……. 65

2. Obyek Penelitian …..………. 73

3. Lokasi Penelitian …..………. 73

B. Deskripsi Data Penelitian ……….... 74

1. Pengetahuan mengenai Surabaya ……….. 88

2. Culture Shock ...………....……. 93

3. Upaya menghadapi Culture Shock ... 100

BAB IV : ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian ………...…………...………... 106

1. Surabaya dalam Pandangan PKPMI Cs ... 103

2. Interaksi Sosial ... 104

3. Macam-macam culture shock ... 105

4. Adaptasi Menghadapi Culture Shock ... 109

B. Pembahasan Hasil Penelitian ……..…………...…. 112

1. Teori Akomodasi ... 113

2. Kurva U ... 116

BAB V : PENUTUP A. Simpulan ……...………..………… 127

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Subyek Penelitian ……….… 67

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Teori ……….... 17

Gambar 2.1 U-Curve ………..… 50

Gambar

3.3.1 Logo PKPMP Cs ………... 75 Gambar

3.4.1 Majlis Suai Kenal………... 80 Gambar

3.4.2 Bicara Ilmu ... 81 Gambar

3.4.3 Malaysia Peduli ... 82 Gambar

3.4.4 Turnamen Olahraga ... 83 Gambar

3.4.5 Festival Deevapali ... 84 Gambar

3.4.6 Perayaan Idul Adha ... 84 Gambar

3.4.7 Perayaan Natal ... 85 Gambar

3.4.7 Cultural Night 2016 ... 85 Ganbar

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi, dan kelompok yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial, sengaja atau tidak, selalu akan terus berkomunikasi sesuia dengan motif dan tujuannya masing-masing. Pertukaran simbol dan makna yang dilakukan oleh satu individu ke individu yang lain akan terus terjadi, sejalan dengan salah satu aksioma dalam komunikasi yaitu “we can’t communicate. 1

Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain kita dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinya makna, komunikasi telah terjadi terlepas dari kita menyadari perilaku kita atau tidak. Bila kita memikirkan hal ini, kita harus menyadari bahwa tidak mungkin bagi kita untuk tidak berperilaku. Sulit bagi kita harus memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Menurut Summer etnosentrisme adalah memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat dari segala sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya. 2

Dalam komunikasi, kebudayaan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam kelanjutan suatu hubungan. Perbedaan latar belakang budaya

1 Ruben, BrentD, Stewart, Lea P, Communication and Human Behaviour.(USA:Alyn and Bacon,

2005), hlm. 16

2Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya (Bandung : Remaja

(14)

2

yang dimiliki seseorang menjadi pengaruh yang besar karena didalamnya terdapat sikap dan ciri-ciri khusus yang berbeda-beda tergantung daerahnya masing-masing. Sebagi contoh, orang Madura jika berkomunikasi terkenal keras dan tegas, berbeda dengan orang Surabaya atau Sunda yang lunak ketika berbicara. Ciri-ciri seperti itu kemudian menyebabkan noise dalam komunikasi. Noise tersebut akrab di telinga kita dengan istilah Culture Shock.

Konsep culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg pada tahun 1960 untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh individu-individu yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru.3

Pada dasarnya culture shock pasti dialami ketika seseorang berpindah ke lingkungan baru yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Namun sudah pasti hal inilah yang mengahambat mahasiswa rantauan dalam melakukan interaksi sosial, yang nantinya juga akan menghambat proses komunikasi. Culture shock menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan diri mahasiswa rantauan, hal tersebut akan berdampak buruk dalam keberanian berkomunikasi dengan lingkungan sekitar seperti berkomunikasi dengan sesama penghuni kos atau rekan kampus.

Adanya ragam budaya dapat menimbulkan perbedaan yang ada di antara suatu budaya dengan budaya lainnya di dunia ini. Maka tidak heran jika potensi terjadinya kekagetan budaya di antara para individu perantau yang tinggal di suatu daerah baru juga akan semakin besar. Dalam konteks tersebut secara umum culture shock terjadi akibat ketidaksiapan individu menghadapi perbedaan

(15)

3

budaya, yang ditunjukkan pada tahap awal kehidupannya di tempat rantauan ia akan mengalami suatu masalah berupa ketidaknyamanan terhadap lingkungan barunya kemudian akan berpengaruh baik secara fisik maupun emosional sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup di lingkungan baru yang memiliki kebudayaan berbeda. Kebanyakan orang pasti akan merasa terganggu terhadap budaya baru yang dianggap tidak sesuai atau bahkan berbanding terbalik dengan budaya yang dimilikinya. Budaya di tempat baru akan berpotensi menimbulkan tekanan, karena bukan hal mudah untuk menerima serta memahami budaya lain.

Pada hakikatnya, antara budaya dan komunikasi bersifat timbal balik, keduanya saling mempengaruhi. Budaya takkan hidup tanpa komunikasi, dan komunikasi pun takkan hidup tanpa adanya budaya. Masalah dalam komunikasi antarbudaya menimbulkan permasalahan dalam penafsiran, seperti yang diungkapkan Richard E. Porter dan Larry A. Samovar dalam artikelnya yang

berjudul “Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi Antarbudaya”:

Kami telah menyebutkan bahwa masalah utama dalam komunikasi antarbudaya adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses persepsi. Pemberian makna kepada pesan dalam banyak hal dipengaruhi oleh budaya penyandi balik pesan.

(16)

4

komunikasi. Kesalahan-kesalahan ini diakibatkan oleh orang-orang yang berlatar

belakang berbeda dan tidak dapat memahami satu sama lainnya dengan akurat”.4

Kota Surabaya dikenal sebagai salah satu kota pendidikan di Indonesia. Dapat dilihat potensi jumlah perguruan tinggi negeri dan swasta yang terdapat di kota Surabaya. Harga makanan yang relatif murah dan fasilitas pendidikan yang memadai sangat cocok untuk belajar/menempuh pendidikan. Beberapa universitas negeri yang berdiri di Surabaya, di antaranya: Universitas Negeri Surabaya,

Universitas Airlangga, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Institut

Teknologi Surabaya, dan UIN Sunan Ampel Surabaya serta beberapa Perguruan Tinggi Swasta lainnya. Hal ini menyebabkan banyak penduduk dari berbagai wilayah yang sengaja datang ke kota Surabaya untuk menuntut ilmu. Proses mobilitas regional seperti ini seringkali menghantui pikiran dan jiwa pelakunya. Disparitas sosio-ekonomi-kultural antara desa dan kota, membuat perantau mengalami keterkejutan budaya (Culture Shock).

Dalam kurun waktu terdekat ini kemajuan disegala aspek kehidupan menuntut masyarakat untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga pendidikan telah bermunculan menawarkan berbagai pilihan kepada masyarakat. Tidak menutup kemungkinkan adanya siswa ataupun mahasiswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk belajar bersama-sama di tempat yang mereka datangi.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan membuat sebagian besar orang berusaha diterima di universitas-universitas terbaik. Dengan tidak ragu mereka akan menempuh pendidikan ditempat yang jauh dari tempat asalnya. Hal inilah

4 Deddy Mulyana, Jalaludin Rahmat. Komunikasi Antar Budaya. (Bandung: PT Remaja

(17)

5

yang membuat lingkungan universitas tidak hanya didominasi oleh mahasiswa lokal saja. Universitas dengan predikat unggulan menjadi ladang subur bagi ekspansi mahasiswa perantauan yang tidak hanya berasal dari luar kota atau daerah, bahkan sampai tingkat antar-negara. Mahasiswa-mahasiswa inilah yang

kemudian disebut sebagai mahasiswa “rantauan”.

Mahasiswa rantauan merupakan suatu golongan mahasiswa yang tidak dibatasi oleh ruang lingkup jarak, baik itu jarak dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti rentang atau perbedaan kebudayaan. Mereka merupakan sosok yang dianggap asing dalam lingkungan kebudayaan kampus dalam suatu universitas. Latar belakang budaya yang berbeda jelas menjadikan mahasiswa rantauan sebagai kaum minoritas di dalam kandang budaya lokal yang berkembang di lingkungan kampus, terutama budaya lokal Surabaya. Ancaman tentang alienasi pun menjadi isu yang paling sering dihadapi oleh mahasiswa rantauan.

Seperti halnya mahasiswa-mahasiswa yang lainnya, motivasi dari mahasiswa rantauan ini berekspansi keluar dari lingkungan kebudayaan mereka menuju lingkungan kebudayaan yang asing adalah alasan akademis. Keberhasilan akademik di universitas terbaik membawa kepada spekulasi hidup di tanah perantauan. Bagi sebagian mahasiswa rantauan, pendidikan di Surabaya memang dianggap mempunyai gengsi tersendiri baik dari segi popularitas maupun kualitas, terutama bagi yang berasal dari luar Surabaya.

Dengan kuliah di Surabaya mereka sudah bisa membayangkan kesuksesan

ketika lulus dan “pulang kampung” ke daerah asalnya masing-masing. Ekspektasi

(18)

6

perguruan tinggi negeri yang berdiri di Surabaya. Ambil contoh saja Universitas Negeri Surabaya, Universitas Airlangga, Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran”, Institut Teknologi Surabaya, dan UIN Sunan Ampel Surabaya. Dengan

kuliah di salah satu universitas tersebut dipandang ilmu yang didapat lebih berkualitas. Memang ada sebagian kecil yang bermodalkan jiwa petualang, namun alasan yang utama tetap pada lingkup prestasi akademik.

Studi di luar daerah negara tempat asal mereka merupakan petualangan yang menyenangkan dengan beragam kesempatan untuk menikmati kesenangan dan pembelajaran. Akan tetapi dapat juga merupakan saat-saat yang menantang bagi mahasiswa rantauan karena harus menyesuaikan diri dengan budaya, bahasa, gaya pengajaran, makanan yang baru dan masih banyak lagi, tanpa keluarga atau

sahabat yang membantu. Kapan saja mahasiswa rantauan dapat merasakan “rindu

kampung halaman”, terutama pada acara-acara khusus atau selama hari libur atau

pada saat suasana hati kurang baik. Kesulitan dalam membiasakan diri dengan beragam perbedaan dapat membuat mahasiswa rantauan merasa kesepian dan terisolasi.

Jika seseorang dapat melihat suatu perbedaan sebagai hal yang positif, maka perbedaan budaya justru akan menguntungkan. Dengan adanya perbedaan budaya, setiap individu dapat bertukar dan belajar satu sama lain. Karenanya, perantau seakan dituntut untuk dapat menerima dan memahami budaya di lingkungan baru tersebut.

(19)

7

berdiri sekitar tahun 1990-an hingga sekarang dengan jumlah anggota 97 orang dan menariknya yaitu tidak semuanya yang beragama Islam.

Fenomena datangnya para pendatang di lembaga pendidikan khususnya pendidikan tinggi ini telah menggugah semangat penulis untuk melakukan riset mengenai penyesuaian diri para mahasiswa yang berasal dari Malaysia atau lingkungan Melayu di perguruan tinggi yang tersebar di Surabaya yang notabenenya berada diluar wilayah yang biasa ditinggali oleh para mahasiswa yang menjadi objek penelitian.

(20)

8

B. Fokus Penelitian

Dari penjelasan di atas, maka dapat disusun fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Penyesusaian kebudayaan yang dilakukan oleh mahasiswa rantauan PKPMI terhadap budaya baru yang ada di Surabaya yang terdiri atas:

1.Mengapa mahasiswa PKPMI mengalami kendala dalam memahami bahasa Surabaya?

2.Bagaimana interaksi sosial mahasiswa PKPMI di Surabaya?

3.Bagaimana mahasiswa PKPMI menghadapi culture shock dalam berkomunikasi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka apabila penelitian ini dapat terlaksana, tujuan penelitian yang ingin dicapai, diantaranya adalah:

1.Untuk mengetahui kendala dalam memahami bahasa Surabaya 2.Untuk mengetahui interaksi sosial mahasiswa PKPMI di Surabaya

3.Untuk mengetahui cara yang dilakukan dalam menghadapi culture shock dalam berkomunikasi.

D. Manfaat Penelitian

(21)

9

1.Dari segi teoritis

a. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu komunikasi, khususnya mengenai Culture Shock dalam berkomunikasi

b. Sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya. 2.Dari segi praktis

a. Dapat mengetahui tentang budaya yang ada di Surabaya terutama dari segi bahasa.

b.Dapat memberikan pandangan sejauh mana pengetahuan mahasiswa rantauan mengenai budaya di Surabaya dalam proses penyesuaian diri.

c. Dapat memberikan pandangan mengenai bagaimana cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di Surabaya.

E. Penelitian Terdahulu

1) Analisa Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya Dalam Menyelesaikan Konflik Lintas Budaya (Studi Kasus Sekretariat ASEAN Jakarta) oleh Maria Elizabeth Josephine

(22)

10

Nama Peneliti Maria Elizabeth Josephine

Judul Analisa Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya Dalam Menyelesaikan Konflik Lintas Budaya (Studi Kasus Sekretariat ASEAN Jakarta)

Tahun Penelitian 2012

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tentang kompetensi komunikasi lintas budaya staf Sekretariat ASEAN Jakarta dalam menghadapi konflik lintas budaya.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif desktiptif dengan metode studi kasus

Hasil Temuan Penelitian

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa para staf memiliki sensitivitas budaya yang tinggi pada konteks sosial formal dalam menghadapi konflik lintas budaya.

Persamaan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif

Penelitian ini menngunakan metode studi kasus

Perbedaan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tentang kompetensi komunikasi lintas budaya staf Sekretariat ASEAN Jakarta dalam menghadapi konflik budaya.

(23)

11

ASEAN Jakarta

2) Komunikasi Antar Budaya Dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta oleh Rulliyanti Puspowardhani

Judul penelitian ini menekankan pada kegiatan komunikasi yang terjadi dalam keluarga kawin campur. Dengan menggunakan pendekatan interpretif, responden yang menjadi obyek penelitian, secara metodologis akan dipahami dan dideskripsikan perilaku komunikasi yang terjadi dalam keluarga beda budaya. Mendukung pendekatan interpretif, digunakan tradisi fenomenologi yang fokus pada pengalaman seseorang, termasuk pengalamannya dengan orang lain, sehingga teori komunikasi antarbudaya lebih dapat dipahami dengan mudah.

Nama Peneliti Rulliyanti Puspowardhani

Judul Komunikasi antar budaya dalam keluarga kawin campur Jawa-Cina di Surakarta

Tahun 2008

(24)

12

sosial dan nilai budaya dalam sebuah keluarga

kawin campur.

Metode Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan interpretif Kualitatif

Hasil Temuan Penelitian

Dalam konteks perkawinan campuran, stereotip dapat mempengaruhi penilaian keluarga besar terhadap seseorang yang akan dijadikan pendamping hidup. Begitu kuatnya hubungan kekeluargaan dalam etnis Cina, sehingga pendapat keluarga selalu dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan.

Diperlukan komitmen luar biasa oleh pasangan kawin campur, sehingga segala bentuk kesalahpahaman dapat lebih mudah teratasi. Termasuk ketika masingmasing pihak melakukan penyesuaian agar perkawinan dapat terjadi dan mendapat lampu hijau dari keluarga besar. Dari upaya ini kemudian dapat ditemukan kesamaan dari etnis Jawa dan etnis Cina..

Persamaan Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi

Penelitian ini meneliti tentang komunikasi budaya

Perbedaan Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif

(25)

13

campur

3) Peran Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Dalam Menyelesaikan Konflik Di Perumahan Talang Sari Kota Samarinda oleh Nurita Arya Kusuma

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran komunikasi antar budaya masyarakat dalam menyelesaikan konflik di perumahan Talang Sari Kota Samarinda dan untuk mengetahui faktor–faktor yang memperngaruhi peran komunikasi antar budaya masyarakat dalam menyelesaikan konflik di perumahan Talang Sari Kota Samarinda. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk deskriptif kualitatif.

Nama Peneliti Nurita Arya Kusuma

Judul Peran Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Dalam Menyelesaikan Konflik Di Perumahan Talang Sari Kota Samarinda

Tahun Penelitian 2014

(26)

14

Talang Sari Kota Samarinda..

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif

kualitatif.

Hasil Temuan Penelitian

Hasil penelitian dapat disimpulkan yaitu Konflik di latarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu yang tidak mengerti arti bahasa dan lawan bicaranya merasa tersinggung, permasalahan karena bahasa yang berbeda Kebudayaan yang berbeda norma-norma perlu diperhatikan dan dihargai. Masyarakat perlu menghargai norma-norma kebudayaan yang berbedabeda agar tidak terjadi kesalahpahaman antar sesama warga yang ada di perumahan Talang Sari.

Persamaan Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.

Perbedaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran komunikasi antar budaya masyarakat dalam menyelesaikan konflik di perumahan Talang Sari Kota Samarinda

(27)

15

Batasan definisi konsep dapat digunakan untuk mengontrol ruang kajian atau pembahasan penelitian agar tidak terjadi ambiguitas terhadap permasalahan penelitian dan tidak terjadi kesalahan dalam memahami pemakaian istilah yang terdapat pada judul penelitian ini, yaitu : Proses adaptasi dalam menghadapi Culture Shock.

Agar lebih memudahkan dalam memahami skripsi ini, maka peneliti akan mendefinisikan beberapa istilah, antara lain:

Culture Shock

Culture Shock atau “gegar budaya” merupakan salah satu istilah yang sering digunakan dalam pembahasan komunikasi antar budaya. Culture Shock merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah dari daerah asalnya menuju daerah yang baru .5

Culture shock adalah fenomena yang akan dialami oleh setiap orang yang melintasi suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah hidup dengan orang – orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai bahkan bahasa dengan yang dimiliki orang tersebut. Culture shock akan terjadi bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air lalu akan mengalami frustasi dan kecemasan.6

Komunitas PKPMI

5Deddy,Mulyana. Komunikasi Lintas Budaya. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010.), hlm. 162 6Mulyana Deddy dkk. Komunikasi Antar Budaya (Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang

(28)

16

Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko, kegemaran dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak.

Pengertian komunitas mengacu pada sekumpulan orang yang saling berbagi perhatian, masalah, atau kegemaran terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling berinteraksi secara terus menerus.7

PKPMI merupakan singkatan dari Persatuam Kebangsaan Pelajar Malaysia Indonesia. Komunitas ini merupakan tempat berkumpulnya semua mahasiswa rantauan dari Malaysia yang berada di Surabaya, komunitas ini telah berdiri sekitar tahun 1990-an hingga sekarang dengan jumlah anggota 97 orang dan menariknya yaitu tidak semuanya yang beragama Islam.

G. Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang penting jadi dengan demikian maka kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang

7 Wenger, Etienne (et.al.). Cultivating communities of practice: a guide to managing knowledge.

(29)

17

paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan.8

Kerangka pikir penelitian adalah suatu model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran yakni teori akomodasi komunikasidicetuskan oleh Howard Giles yang mana seseorang cenderung untuk melakukan penyesuaian komunikasi dengan orang lain.

Tujuan inti dari teori akomodasi komunikasi adalah untuk menjelaskan cara-cara dimana orang-orang yang berinteraksi dapat mempengaruhi satu sama lain selama interaksi. Teori akomodasi komunikasi berfokus pada mekanisme dimana proses psikologi sosial mempengaruhi perilaku yang diamati dalam interaksi. Akomodasi merunjuk pada cara-cara dimana individu - individu dalam interaksi, memantau dan mungkin menyesuaikan perilaku mereka selama interaksi. 9

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa sejatinya setiap adanya interaskis dengan orang yang berbeda budaya kita akan melakukan semacam penyesuaian demi keberlanjutan komunikasi tersebut. Komuniats PKPMI yang berlatarbelakang mahasiswa malaysia yang pastinya mempunyai kebudayaan serta kebiasaan yang berbeda dengan Surabaya yang justru dikenal dengan bahasa yang kasar, maka tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan Culture Shock nantinya.

Pola pikir penelitian “Culture Shock mahasiswa rantauan” sebagai berikut :

8Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta., hlm. 60

9 Rohim, Syaiful. Teori Komunikasi. (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 212

(30)

18

Gmbar 1.1

Kerangka Pikir Penelitian

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi. Secara konseptual fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu.10

Alasan menggunakan pendekatan ini karena masalah yang dikajii menyangkut masalah yang sedang berkembang dalam kehidupan, khususnya di Komunitas PKPMI Surabaya. Melalui pendekatan

10 Rahardjo, Turnomo. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi

Antaretnis. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 44 Culture Shock

Pola Pikir Nilai

Bahasa Adat

Upaya secara Budaya Upaya secara Komunikasi

(31)

19

fenomenologi, diharapkan deskripsi atas fenomena yang tampak di lapangan dapat diinterpretasi makna dan isinya lebih dalam.

b. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami11

2. Subjek, Objek, dan Lokasi Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menentukan komunitas PKPMI Surabaya sebagai subjek penelitian. Secara spesifik subyek penelitian ini merupakan mahasiswa semester awal yang baru datang ke Surabaya. Adapun objek penelitian, peneliti memfokuskan pada Culture Shock. Dalam Penelitian ini peneliti memilih komunitas PKPMI Surabaya yang berlokasi di Surabaya.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, data yang dimaksud disini dapat berupa hasil wawancara, dokumentasi, maupun observasi yang dilakukan pada komunitas

(32)

20

PKPMI Surabaya, untuk memahami dan mendeskripsikan mengenai Culture Shock yang terjadi. Adapun data ini diperoleh dari beberapa sumber yaitu : ketua komunitas dan anggota dalam komunitas PKPMI Surabaya.

b. Data sekunder adalah data yang sebagai pendukung data primer. Data disini dapat berupa buku, majalah ilmiah, jurnal, dokumen, dll. Adapun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah visi, misi, tujuan Komunitas PKPMI terkait culture shock yang terjadi pada lingkungan komunikasi PKPMI Surabaya

Sumber data penelitian, menurut Lofland yaitu ”sumber data utama

dalam penelitian kulitatif adalah kata-kata, tindakan, dan selebihnya

adalah data tambahan seperti dokumen dan lainnya.”12

Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengumpulan data adalah pemilihan informan. Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan istilah populasi. Teknik sampling yang digunakan oleh peneliti adalah Purposive sampling dan Snowball sampling.

a. Purposive sampling yaitu pemilihan informan dipilih secara sengaja berdasarkan kriteria yang telah ditentukan peneliti berdasarkan tujuan peneliti. Dalam ini hal ini peneliti memilih informan yang berperan aktif dalam komunitas PKPMI serta dari berbagai latar belakang yang tergabung dalam komunitas PKPMI.

12

(33)

21

b. Snowball sampling yaitu proses penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa menentukan jumlahnya secara pasti dengan menggali informasi terkait topik penelitian yang diperlukan. Dalam hal ini peneliti menentukan informan dengan mengambil beberapa informan yaitu ketua komunitas, dan anggota komunitas PKPMI.

4. Tahap-tahap Penelitian

Untuk melakukan sebuah penelitian kualitatif, perlumengetahui tahap-tahap yang akan dilalui dalam proses penelitian. Tahapan ini disusun secara sistematis agar diperoleh data secara sistematis pula. Ada empat tahap yang bisa dikerjakan dalam suatu penelitian, yaitu :

a. Tahap Pra-lapangan13

Pada tahap pra-lapangan merupakan tahap penjajakan lapangan. Adaenam langkah yang dilakukan oleh peneliti yaitu :

a) Menyusun rancangan penelitian

Pada tahap ini, peneliti membuat usulan penelitian atau proposal penelitian yang sebelumnya peneliti berkonsultasi kepada dosen pembimbing mengenai tema penelitian yang akan di lakukan.

b) Memilih lapangan penelitian

Pemilihan lapangan penelitian diarahkan oleh teori substansif yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis kerja walaupun tentatif sifatnya.

(34)

22

c) Menjajaki dan Menilai Lapangan

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh gambaran umum tentang Mahasiswa Rantauan dari Malaysia yang ada di Surabaya. Agar peneliti lebih siap terjun ke lapangan serta untuk menilai keadaan, situasi, latar belakang dan konteksnya sehingga dapat ditemukan dengan apa yang dipikirkan oleh peneliti.

d) Memilih dan Memanfaatkan Informan

Tahap ini peneliti memilih informan yang merupakan orang yang benar-benar mengetahui serta terlibat setiap kegiatan dalam Komunitas PKPMI yang ada di Surabaya baik ikut dalam komunitasnya maupun event-event yang diadakan oleh Komunitas PKPMI Surabaya tersebut. Kemudian memanfaatkan informan tersebut untuk melancarkan penelitian.

e) Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti mempersiapkan segala sesuatu atau kebutuhan yang akan dipergunakan dalam penelitian ini. Dalam tahap ini peneliti menyiapakan naskah untuk wawancara, data-data menganai Komunitas PKPMI data mengenai ketua maupun anggota Komunitas PKPMI.

b. Tahap Lapangan14

(35)

23

Dalam tahap ini dibagi atas tiga bagian yaitu : a) Memahami latar penelitian dan persiapan diri

Tahap ini selain mempersiapkan diri, peneliti haru smemahami latar penelitian agar dapat menentukan model pengumpulan datanya. Dalam penelitian ini, hubungan peneliti dengan informan dikategorikan sebagai latar tertutup, dimana hubungan peneliti dengan informan perlu akrab karena latar demikian bercirikan orang-orang subjek yang perlu diamati secara teliti dana wawancara secara menadalam.

Dalam tahap ini peneliti, mendekati informan untuk mendapatkan hasil wawancara secara mendalam, dengan latar terbuka yang dipilih oleh peneliti.

b) Memasuki Lapangan

Tahap pekerjaan lapangan meliputi mengumpulkan bahan-bahan dari refrensi buku yang berkaitan dengan Culture Shock pada komunitas PKPMI.

(36)

24

c) Berperan serta sambil mengumpulkan data

Dalam tahap ini peneliti mencatat data yang diperolehnya ke dalam field notes, baik data yang diperoleh dari wawancara, pengamatan atau menyaksikan sendiri kejadian tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan mencatat data lapangan yang telah diperoleh dari Komunitas PKPMI Surabaya.

5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Mendalam

Metode wawancara mendalam atau wawancara tak terstruktur merupakan suatu metode pengumpulan data yang bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, ternasuk karakteristik sosial-budaya (agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dsb.) responden yang dihadapi.15

Dalam metode ini peneliti membuat naskah wawancara dan kemudian mewawancarai narasumber yang merupakan mahasiswa semester awal yang merupakan anggota komunitas tersebut. Peneliti pertama-tama memulai wawancara secara langsung pada

15 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010). hlm

(37)

25

saat adanya pertemuan maupun event-event yang sering diadakan oleh pihak komunitas.

b. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah “mencari data mengenai hal- hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya”.16

Metode ini digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang relefan dengan penelitian ini, yakni untuk memperoleh data mahsiswa komunitas PKPMI dan teman dekat yang menjadi informan penelitian.

Dalam penelitian ini juga menggunakan metode dokumentasi peneliti mengambil dokumentasi berupa non visual dimana, saat ada pertemeuan maupun event yang diadakan oleh informan. c. Observasi partisipan

Observasi partisipan adalah metode tradisional yang digunakan dalam antropologi dan merupakan sarana untuk peneliti masuk ke dalam masyarakat yang akan ditelitinya.17 Observasi ini dilakukan peneliti dengan melihat bagaimana aktivitas komunitas dalam komunikasi virtual dari terbentuk hingga sekarang.

Dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan metode observasi, saat wawancara peneliti juga mengamati lingkungan

16 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Asdi Mahasatya,

2006) hlm. 231

17 Engkus Kuswarno, Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya

(38)

26

sekitar komunitas dan juga mengamati gesture narasumber saat di wawancarai.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah metode dekriptif analitik, yaitu mendeskripsikan data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Data yang berasal dari wawancara, cacatan lapangan, dokumen, dan sebagainya, kemudian dideskripsikan sehingga memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas18

Analisis data versi Miles dan Huberman, bahwa ada tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, display data, serta penerikan kesimpulan atau verifikasi.19

a. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi

data ”kasar” yang muncul dari catatan lapangan. Reduksi

dilakukan sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, menulis memo, dan lain sebagainya, dengan maksud menyisihkan data atau informasi yang tidak relevan, kemudian data tersebut diverifikasi.

Dalam tahap ini, peneliti memulai dengan membuat ringakasan kecil menganai pertanyaan yang akan diajukan terhadap informan, kemudian penelitia mengumpulkan data dari lapangan berupa hasil wawancara dengan ketua maupun anggota Komunitas

18 Sudarto,Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Hlm. 66 19 Husaini Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi

(39)

27

PKPMI peneliti juga mengambil dokumentasi saat wawancara maupun saat diadakannya event yang terakhir peneliti melakukan observasi.

b. Display Data / Penyajian Data

Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif, dengan tujuan dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami.

c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan merupakan kegiatanh akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh tempat aupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh tempat penelitian itu dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti harus menyadari bahwa dalam mencari makna, ia harus menggunakan pendekatan emik, yaitu dari kacamata key information, dan bukan penafsiran makna menurut pandangan peneliti (pandangan etik)

7. Teknik Pemeriksaan Keabsaan Data

(40)

28

a. Triangulasi Data, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data yang terkumpul untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data-data tersebut. Ha lini dapat berupa penggunaan sumber, metode penyidik dan teori20

Dari berbagai teknik tersebut cenderung menggunakan sumber, sebagaimana disarankan oleh patton yang berarti membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu data yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Untuk itu keabsahan data dengan cara sebagai berikut :21

a) Membandingkan hasil wawancara dan pengamatan dengan data hasil wawancara

b) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan

c) Membandingkanapayangdikatakanorangsecaraumumdengana payang dikatakan secara pribadi

b. Diskusi teman sejawat, yakni diskusi yang dilakukan dengan rekan yang mampu memberikan masukan ataupun sanggahan sehingga memberikan kemantapan

Teknik ini digunakan agar peneliti dapat mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran serta memberikan kesempatan awal yang

20 Op.Cit, Lexy J. Moleong, hlm. 178

21

(41)

29

baik untuk memulai menjejaki dan mendiskusikan hasil penelitian dengan teman sejawat.22

Oleh karena pemeriksaan sejawat melalui diskusi ini bersifat informal dilakukan dengan cara memperhatikan wawancara melalui rekan sejawat, dengan maksud agar dapat memperoleh kritikan yang tajam untuk membangun dan penyempurnaan pada kajian penelitian yang sedang dilaksanakannya. Dengan demikian pemeriksaan sejawat dalam penelitian ini berarti pemeriksaan yang dilakukan dengan jalan memberikan proposal penelitian kita kepada teman sejawat kita agar nantinya dikritik dan diberi masukkan.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pemahaman dan memberi ketegasan dalam penjelasan, maka dalam penyusunan laporan ini, peneliti mengklarifikasikan menjadi lima bab yang terdiri dari bagian-bagian:

Bab 1 Pendahuluan

Berisi pendahuluan yang dipaparkan mengenai latar belakang masalah penelitian, permasalahan yang diangkat sebagai perumusan masalah dalam penelitian, tujuan dari penelitian dan jga kegunaan penelitian yang berlandaskan beberapa konseptual judul penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, kemudian dijelaskan uraian singkat mengenai sistematika pembahasan penulisan laporan penelitian.

Bab II Kajian Pustaka

22

(42)

30

Dalam bab ini kajian pustakanya yang akan di bahas mengenai indikator-indikator yang terdapat pada Culture Shock Mahasiswa Rantauan pada komunitas PKPMI City, beserta kajian teori yang digunakan.

Bab III Penyajian Data

Berisi tentang deskripsi subyek, obyek penelitian, dan lokasi penelitian serta pemaparan data hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan.

Bab IV Analisis Data

Setelah melakukan penelitian maka tahap berikutnya akan membahas mengenai analisis data dan temuan penelitian.

Bab V Penutup

(43)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Kajian Pustaka

1. Komunikasi Antarbudaya

a) Sejarah Komunikasi Antarbudaya

Istilah “antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh

seorang antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice). Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu: source, messages, channel, receiver.

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda.1

1 Alo,Liliweri. Gatra Gatra Komunikasi Antarbudaya. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001),

(44)

32

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional

dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. “Annual

tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural CommunicationAnnual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977.

Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak saat itu banyak ahli mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya. Selanjutnya, 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema

pertama tentang “Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan

(45)

33

dan Gundykunst tahun 1988, dan terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny tahun 1988.2

b) Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya (interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi. Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya.3 Dengan kata lain, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.4

2 Ibid, hlm.3

3Martin, Judith dan Thomas. Intercultural Communication in Contexts. (New York : Mc Graw Hill

International,2007), hlm. 92

4Deddy, Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja

(46)

34

Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya, sebagai berikut:

1) Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial.

2) Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

3) Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

4) Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.5

5Liliweri, Alo. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.

(47)

35

Young Yun Kim sebagaimana dikutip dalam Rahardjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi (the communications) karena adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam perkembangannya, komunikasi antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses simbolik yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda. Sedangkan Tim-Toomey menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses pertukaran simbolik dimana individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas kultural yang berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah interaksi yang interaktif.

Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda. 6

(48)

36

Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada beberapa asumsi, yaitu:7

1) Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

2) Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi

3) Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

4) Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian

5) Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6) Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya

c) Fungsi Komuniasi antarbudaya Fungsi Kounikasi Antarbudaya sendiri dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Fungsi Pribadi

Fungsi pribadi adalah fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu.8

1) Menyatakan Identitas Sosial

Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu

7Ibid, hlm 15

8

(49)

37

yang digunakan untuk menyatakan identitas sosial . Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal dan nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun sosial, misalnya dapat diketahui asal-usul bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan seseorang.

2) Menyatakan Integrasi Sosial

Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi antarkelompok namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan. Dalam kasusu komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dan komunikan, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama dalam proses pertukaran

pesan komunikasi antarbudaya adalah “saya

memperlakukan anda sebagaimana kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan sebagaimana

yang saya kehendaki”. Dengan demikian

(50)

38

3) Menambah Pengetahuan

Seringkali komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan masing-masing. Sehingga kita tidak hanya mengetahui satu budaya tetapi kita juga dapat mengethaui budaya lain. 4) Melepaskan Diri atau Jalan Keluar

Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diriatau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang kita hadapi. Pilihan komunikasi seperti itu berfungsi menciptakan hubungan yang kontemporer dan hubungan yang simetris.

b. Fungsi Sosial

Ada beberapa fungsi sosial komunikasi antarbudaya, diantaranya :9

a) Pengawasan

Praktek komunikasi antarbudaya diantara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi . dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan perkembangan tentang lingkungan. Fungsi ini lebih banyak

(51)

39

dilakukan oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan peristiwa yng terjadi di sekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda.

b) Menjembatani

Dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan diantara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan. Keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.

c) Sosialisasi Nilai

Sungsi sosialisasi nilai merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.

d) Menghibur

(52)

40

Honolulu, Hawai. Hiburan tersebut termasuk dalam kategori antarbudaya.

2. Culture Shock

a. Sejarah dan Pengertian Culture Shock

Proses individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam diri individu dan menjadi kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yangm terinternalisasikan ini memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh polapola demikian oleh individu itu disebut enkulturasi. 10

Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-invidu yang berinteraksi dalam pertemuan budaya tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan gegar budaya (culture shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersonal secara langsung seringkali menimbulkan frustasi. Istilah culture shock diperkenalkan oleh seorang antropolog yang bernama Kalvero Oberg pada tahun 1960. Kalervo Oberg seorang antropolog Belanda, menjabarkan tentang gegar budaya (culture shock): “culture shock as a mental illness, an occupational pathology for persons transplanted abroad precipitated by the

10Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. (Bandung: PT. Remaja

(53)

41

anxiety that results from losing all our familiar signs and symbols of social intercourse‟. (gegar budaya sebagai sebuah penyakit mental, sebuah patologi kerja bagi orang-orang yang berpindah ke luar negeri yang dipicu oleh kecemasan yang dihasilkan akibat kehilangan semua tanda dan simbol pergaulan yang sebelumnya akrab.11

Pada awalnya definisi culture shock cenderung pada kondisi gangguan mental. Bowlbymenggambarkan bahwa kondisi ini sama seperti dengan kesedihan, berduka cita dan kehilangan. Sehingga dapat dikaitkan mirip dengan kondisi seseorang ketika kehilangan orang yang dicintai. Bedanya dalam culture shock individu merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya kehilangan kulturnya. 12

Ide culture shock tersebut telah mengarahkan para peneliti untuk menyatakan dengan model “pseudo medical”, sehingga untuk menolong orang-orang yang mengalami culture shock tersebut adalah dengan cara membantunya untuk beradaptasi terhadap kultur baru. Ide-ide tentang teknik beradaptasi terhadap kultur baru ini memunculkan tentang kurve U. Teori ini berpendapat bahwa orang-orang yang menyeberang ke kultur lain akan mengalami tiga fase penyesuaian, yakni pada awalnya timbul kegembiraan dan optimisme, kemudiandiikuti oleh frustasi, depresi

11Zapf, Michael Kim. Cross-cultural Transitions and Wellness: Dealing with Culture Shock. International Journal for the Advancement of Counseling. (Netherland: Kluwer Academic Publisher, 1991), hlm. 3

(54)

42

dan kebingungan, dan pada akhirnya muncul keadaanpenyesuaian dan kembali normal.

Ide dari pseudo medical ini menyarankan bahwauntuk mencegah culture shock harus dilakukan transformasi mental dalam pikiranindividu. Sehingga model ini menganggap bahwa satu kultur adalah lebih ungguldari kultur yang lain. Jika seseorang dapat dibujuk untuk membuang ide-idelamanya dan beradaptasi terhadap ide baru, maka semua masalah akan teratasi

Pada perkembangan selanjutnya, para peneliti mengembangkan ide baru tentang bagaimana menghadapi culture shock. Lalu muncullah mode culture learning yang digagas Furnham dan Bochner.13 Mereka mengemukakan bahwa individu hanyamemerlukan untuk belajar dan beradaptasi terhadap sifat-sifat pokok darimasyarakat baru. Sehingga pada saat menyesuaikan terhadap kultur baru tersebut,individu belajar bagaimana bertingkah laku dalam kultur baru itu dan setelahnyaakan ada perubahan yang berarti dalam pikirannya.

Oberg seperti yang dikutip oleh Dayakisni menggambarkan konsep culture shock sebagai respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Sementara Furnham dan Bochner, mengatakan bahwa culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal

13

(55)

43

kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tidak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Definisi ini menolak penyebutan culture shock sebagai gangguan yang sangat kuat dari rutinitas, ego dan self image individu. Sedangkan menurut menurut Kalvero Oberg, culture shock adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke luar negeri. 14

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa culture shock merupakan kejutan yang dialami oleh individu saat memasuki budaya baru yang berbeda dengan budaya asalnya.

b. Penyebab Terjadinya Culture Shock

Terjadinya culture shock biasanya dipicu oleh:15

a. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.

b. Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari maupun tak disadari yang mengarahkan pada

14Dayakisni, Tri. Psikologi Lintas Budaya. (Malang : UMM Press, 2004), hlm. 187

(56)

44

frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.

c. Krisis identitas, dengan pergi ke luar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya. Seseorang dilahirkan dan dibesarkan pada latar belakang budaya tertentu. Budaya memiliki kekhasannya masing-masing pada setiap daerah. Seseorang yang memasuki daerah baru yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan budayanya akan mengalami keterkejutan akibat baru pertama kali melihat budaya di tempat baru tersebut, terlebih lagi setiap manusia telah memiliki modal budaya masing-masing sehingga akan menilai segala sesuatu yang ia temui berdasarkan nilai budaya yang selama ini dipahaminya.

Hal ini tentunya akan menimbulkan keterkejutan bagi diri orang tersebut, karena struktur makna budaya di lingkungan yang baru tidak selalu sesuai dengan struktur makna budaya yang ada pada dirinya selama ini. Keadaan yang sedemikian rupa disebut dengan culture shock yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan gegar budaya. Istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan oleh seorang sosiolog bernama Kalervo Oberg di akhir tahun 1960. Ia mendefinisikan culture shock sebagai

“penyakit” yang diderita oleh individu yang hidup di luar

(57)

45

harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara kultur maupun sosial baru. Oberg menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan symbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relatif lama. Bowlby menggambarkan culture shock sebagai kondisi yang sama seperti kesedihan, berduka cita, dan kehilangan, sedangkan Ting-Toomey dan Leeva C. Chung (2012) mengemukakan bahwa culture shock adalah sebuah keadaan dimana seseorang mengalami stres serta sebuah pengalaman yang menurutnya menyimpang, karena tidak senada dengan budaya yang selama ini ada pada dirinya dan kehidupannya. 16

Culture shock itu dapat berupa gaya hidup, cara berpakaian, tempat tinggal, makanan termasuk cara memasak, menyajikannya hingga menikmati hidangan, atau mungkin dapat berupa kendala komunikasi (bahasa) sebab akan sulit untuk memulai membangun jaringan di lingkungan yang seseorang baru pertama kali memasukinya. Dari beberapa pandangan mengenai culure shock atau gegar budaya tersebut maka dapat dikatakan bahwa culture shock adalah suatu pengalaman ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri ketika memasuki lingkungan sosial yang baru

16Dayakisni, Tri. Yuniardi, Salis. Psikologi Lintas Budaya. Edisi revisi. (Malang: UMM Press,

(58)

46

yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengan latar belakang budaya yang selama ini ada pada dirinya.

Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negerinya sendiri (intra-national) dan individu yang berpindah ke negeri lain untuk periode waktu lama. Oberg lebih lanjut menjelaskan bahwa hal-hal tersebut benar dipicu oleh kecemasan yang timbul akibat hilangnya tanda dan lambang hubungan sosial yang selama ini familiar dikenalnya dalam interaksi sosial, seperti petunjuk-petunjuk dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma yang individu peroleh sepanjang perjalanan hidup sejak individu tersebut lahir.17

Ketika individu perantau memasuki suatu lingkungan budaya baru yang asing, semua atau hampir semua petunjuk-petunjuk ini menjadi samar atau bahkan lenyap, yang dapat di gambarkan individu ini bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun individu tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, individu tetap akan kehilangan pegangan, kemudian individu mengalami frustasi dengan gejala maupun reaksi yang hampir sama diderita oleh individu yang terjangkit gegar budaya. Pertama-tama individu akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan hingga penyesalan diri. Lingkungan di kampung

17

(59)

47

halaman sekarang terasa menjadi demikian penting. Semua kesulitan dan masalah yang dihadapi menjadi tekanan dan hanya hal-hal menyenangkan dikampung halamanlah yang diingat menjadi sangat dirindukan. Bagi individu perantau hanya pulang ke kampung halamannya yang akan membawanya kepada realitas. c. Gejala atau reaksi Culture Shock

Secara umum, banyak definisi awal memfokuskan gegar budaya sebagai sindrom, keadaan rekatif dari patologi atau defisit spesifik: individu pindah ke lingkungan baru yang asing, kemudian mengembangkan gejala psikologis negatif dan beberapa gejala gegar budaya ini adalah buang air kecil, minum, makan serta tidur yang berlebih-lebihan; perasaan tidak berdaya lalu keinginan untuk terus bergantung pada individu-individu sebudayanya; marah/ mudah tersinggung karena hal-hal sepele; reaksi yang berlebih-lebihan terhadap penyakit-penyakit sepele; hingga akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman. 18

Gegar budaya banyak menyebabkan gangguan-gangguan emosional, seperti depresi dan kecemasan yang dialami oleh pendatang baru. Pada tahap awal penyesuaian kebudayan baru, individu pendatang akan mengalami masa terombang-ambing antara rasa marah dan depresi. Gegar budaya sebagai pengalaman belajar yang mencakup akuisisi dan pengembangan keterampilan, aturan, dan peran yang dibutuhkan dalam setting kultur yang baru.

(60)

48

Gegar budaya juga sebagai hilangnya control seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dengan kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan gangguan psikologis. Harry Triandis, seorang psikolog terkenal memandang gegar budaya sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dari kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan gangguan psikologis.19

d. Fase Culture Shock

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Ketiga tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve. Culture Shock terjadi melalui beberapa fase yang biasa digambarkan dalam kurva berbentuk huruf U. 20

19 Shiraev. Eric B, David A. Levy. Psikologi Lintas Kultural Pemikiran Kritis dan Terapan Modern (Edisi Keempat). (Jakarta: Prenada Media Group, 2002), hlm. 443

20Samovar, Larry A., Richard R Porter & Edwin R McDaniel. Communication Between Cultures,

(61)

49

Bagan 2.1

U-curve

Tahap-tahap tersebut antara lain adalah : 1) Honeymoon

Dodd mengemukakan bahwa pada tahap ini individu akan mengalami perasaan senang, gembira, harapan, dan euphoria. Segal

Gambar

Tabel 3.2 Identitas Responden Berdasarkan Usia ………...…… 69
 Tabel 3.1
Gambar 3.3.1
Gambar 3.4.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

UD Citra Fajar Utama adalah industri kayu olahan dengan produk flooring Perusahaan tidak memiliki dokumen Pengakuan sebagai Pedagang Kayu Antar Pulau

bahwa dalam rangka mempercepat pembangunan di kawasan Agropolitan Center, Agropolitan Distrik, dan Jalan Poros Kabupaten, maka Pemerintah Kabupaten Musi Rawas perlu melakukan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul: “ Pendekatan Supervisi Kepala Sekolah dalam Pembinaan Profesionalitas Guru Pada Lembaga Pendidikan Islam Terpadu"

Pengaruh Menu Seimbang Dan Kualitas Makanan Katering Sekolah Terhadap Daya Terima Murid Sekolah Menengah Pertama (Studi Kasus Pada Murid Sekolah Menengah Pertama Pribadi Di Kota

Harga merupakan elemen termudah dalam program pemasaran untuk disesuaikan, fitur produk, saluran dan komunukasi, selainitu dapat dilihat dari perilaku konsumen dalam

Salah satu kemampuan berpi- kir tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah (Presseisen, 1985). Salah satu model pembelajaran kont- ruktivistik yang dapat digunakan untuk

Dari Penelitian yang telah dilakukan, maka didapat hasil bahwa algoritma Kohonen pada Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation jauh lebih cepat dibanding dengan hanya

2) Peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali sebagaimana yang