• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi interpersonal berbasis Metode Maternal Reflektif (MMR) antara ibu dan anak berkebutuhan khusus tunarungu : studi kasus keluarga di SLB Ngelom Taman Sidoarjo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi interpersonal berbasis Metode Maternal Reflektif (MMR) antara ibu dan anak berkebutuhan khusus tunarungu : studi kasus keluarga di SLB Ngelom Taman Sidoarjo."

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Komunikasi Interpersonal BerbasisMetode Maternal Reflektif (MMR)

antaraIbudanAnakBerkebutuanKhususTunarungu(StudiKasusSiswadi SLB

Ngelom TamanSidoarjo)

SKRIPSI

DiajukanKepadaUniversitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya GunaMemenuhi Salah SatuSyaratMemperolehGelarSarjanaIlmuKomunikasi (S.I.Kom.)Dalam

BidangllmuKomunikasi

Oleh:

LailatulFitri NIM. B36213052

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Lailatul Fitri, B36213052, 2017. Komunikasi Interpersonal Berbasis Metode Maternal Reflektif (MMR) antara Ibu dan Anak Berkebutuan Khusus Tunarungu (Studi Kasus Keluarga di SLB Ngelom Taman Sidoarjo). SKRIPSI Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Dakah dan Komunikasi Uin Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Komunikasi interpersonal, Metode Maternal Reflektif, Tunarungu

Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Dalam konteks keluarga, ibu mendidik anaknya supaya dapat belajar dan patuh pada orang tua, guru, agama dan negara, dan semua itu berawal dari komunikasi

Dalam penelitian ini ada hal yang dikaji yakni proses komunikasi interpersonal antara ibu dan anak berkebutuhan khusus tunarungu menggunakan Metode Maternal Reflektif.

Berdasarakan uraian di atas, melalui penelitian ini diharapkan orang tua memainkan peran ganda dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan anaknya. Dimana ibu akan menangkap ungkapan anak yang berkata kurang jelas dan kurang sempurna melalui mimik wajah dan tingkah laku kemudian si ibu membahasakan dengan bahasa yang biasa dilakukan.

Dalam hal ini, seorang ibu akan memulai berkomunikasi dengan anaknya menggunakan sentuhan terlebih dahulu dan menatap matanya agar anak fokus kepada ibu, setelah anak fokus, mulailah ibu berkomunikasi menggunakan bahasa atau simbol yang diciptakan atau dikehendaki dengan mencontohkan gerakan sesederhana mungkin bersamaan dengan mengucapkan sedikit keras dan jelas di mulut agar ibu dan anak saling memahami. Komunikasi tersebut berlangsung berulang hingga anak memahami maksud ibu begitupun sebaliknya. Ibu juga harus cepat menangkap respon anak yang mencoba memberi feed back atau hanya sekedar menirukan apa yang dilakukan ibu. Komunikasi ini dilakukan berulang dan juga setiap hari guna melatih berkomunikasi lebih jelas dan lancar.

(7)

DAFTAR ISI

JUDUL PENELITIAN... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

B. Rumusan Masalah dan Fokus Penelitian ... 7

C. Tujuan penelitian ... 7

D. Manfaat penelitian ... 7

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ... 8

F. Definisi Konsep ... 9

G. Kerangka Pikir Penelitian ... 13

H. Metode Penelitian ... 15

1. Pendekatan dan Jenis penelitian... 15

2. Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian ... 15

3. Jenis dan Sumber Data ... 15

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 16

5. Teknik Pengumpulan Data ... 17

6. Teknik Analisis Data... 18

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : KAJIAN TEORITIS A. Kajian Pustaka 1. Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu ... 20

2. Komunikasi Anak berkebutuhan Khusus Tunarungu ... 28

3. Metode Maternal Reflektif ... 30

B. Kajian Teori 1. Teori Iteraksionisme simbolik ... 36

(8)

BAB III : PAPARAN DATA PENELITIAN

A. Profil Data ... 45

1. Deskripsi Subyek Penelitian ... 45

2. Deskripsi Obyek Penelitian ... 50

3. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 51

B. Deskripsi Hasil 1. Bentuk Verbal dan Non Verbal dalam Penyampaian Komunikasi ... 54

2. Pemahaman Ibu dan Anak dalam Penerimaan Pesan ... 58

3. Umpan balik Ibu dan anak ... 59

4. Efek ibu dan anak setelah menerima pesan ... 61

BAB IV: INTERPRESTASI HASIL PENELITIAN A. Analisis Data Penelitian ... 70

B. Konfirmasi dengan Teori ... 77

BAB V : PENUTUP A. Simpulan ... 82

B. Rekomendasi... 84

Daftar Pustaka ... 85

Biodata Penulis ... 86

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia

tidak akan lepas dari individu lain. Sudah menjadi kodrat manusia hidup

berdampingan dengan individu lain, oleh sebab itu manusia tidak terlepas dari

berbagai bentuk komunikasi.

Kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk

percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada

kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapan. Kesamaan bahasa dalam

percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain

perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang

dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat

dikatakan komunikatif apabila keduanya selain mengerti bahasa juga mengerti

makna dari yang dipercakapkan.1

Komunikasi adalah suatu proses interaksi yang secara langsung

dilakukan oleh perorangan dan bersifat pribadi melalui medium (tidak

langsung) atau tidak (menggunakan medium). Kegiatan-kegiatan seperti

1 Onong Uchjana Effendy,

(10)

2

percakapan tatap muka face to face communication, percakapan melalui

telepon, surat menyurat merupakan salah satu bentuk komunikasi.2

Salah satu jenis komunikasi yang sering terjadi adalah komunikasi

interpersonal atau komunikasi antarpribadi. Oleh karena itu, tidak

mengherankan apabila banyak orang yang menganggap bahwa komunikasi

interpersonal mudah dilakukan semudah orang berjalan dan tidur.

Deddy Mulyana mengemukakan komunikasi antarpribadi adalah

komunikasi yang terjadi antara dua orang secara tatap muka, yang

memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara

langsung baik secara verbal ataupun non verbal. Dalam komunikasi

antarpersonal, karena situasinya tatap muka, tanggapan komunikan dapat

segera diketahui. Umpan balik dalam komunikasi seperti itu bersifat

langsung.3

Komunikasi merupakan menyampaian informasi kepada seseorang

dengan harapan dapat dengan mudah dalam menyampaikan dan menerima

pesan. Namun akan menjadi berbeda apabila seseorang mempunyai

keterbatasan fisik, atau salah satu dari organ tubuh tersebut tidak berfungsi

seperti anak berkebutuhan khusus tunarungu, maka akan meyebabkan

kesulitan dalam menjalin komunikasi.

Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar biasa) di

definisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus

2

Liliweri Alo, Komunikasi Antar Pribadi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), h. 8. 3 Onong Uchjana Effendy,

(11)

3

untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna.

Penyebutan sebagai anak berkebutuhan khusus, dikarenakn dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan,

layanan sosial, layanan bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis layanan

lainnya yang bersifat khusus4. Yang termasuk ABK antara lain yaitu

tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar,

gangguan prilaku, anak berbakat, dan anak dengan gangguan kesehatan.

Anak yang memiliki hambatan atau gangguan pendengaran merupakan

salah satu kategori anak berkebutuhan khusus. Penyandang kelainan

pendengaran atau tunarungu, yaitu seorang yang mengalami kehilangan

kemampuan pendengaran, baik sebagian maupun keseluruhan.

Pada umumnya, seseorang yang menderita tunarungu juga menderita

tunawicara. Hal ini berkaitan erat dengan proses perkembangan bahasa yang

harus dilalui seorang anak. Jika ketajaman pendengaran terbatas, akan

menghalangi proses peniruan bahasa semasa-anak-anak. Proses peniruan

hanya terbatas secara visual. Sebab pada anak-anak penyandang tunarungu,

segala bentuk ransang suara tidak dapat diterima dengan baik. Alhasil mereka

pun sulit menghasilkan suara seperti yang ada di sekitarnya.5

Cara berkomunikasi mereka antara lain dengan menggunakan bahasa

isyarat. Bahasa isyarat digunakan secara mudah dengan menggabungkan

4

Drs.H.AbuAhmadi, psikologibelajar, (Jakarta: PT Rinekacipta, 2008), hal 52 5

(12)

4

perkataan dengan makna dasar. Terkadang setiap wilayah atau Negara

menggunakan bahasa isyarat yang berbeda satu sama lain.

Menjadi orangtua dengan anak yang sulit berkomunikasi

menggunakan verbal perlu melengkapi diri dengan pengetahuan bahasa

isyarat. Si anak dan orang tua sama-sama belajar tentang bahasa

isyaratsehingga bisa tercapai hubungan komunikasi yang baik dan lebih

memudahkan hubungan keduanya dalam hal pengasuhan dan lainnya.6

Selain itu anak tunarungu juga menggunakan alat bantu yang lebih

baik seperti penggunaan alat bantu dengar hearing aids. Cara ini lebih

menekankan pada pembacaan gerak bibir (lip reading). Metode ini

menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan kemampuan mendengar

dan bertutur kata yang baik dan membutuhkan latihan pendengaran yang

dapat melatih anak-anak untuk mendengar bunyi dan mengklasifikasikan

bunyi-bunyi yang berbeda.

Cara lain yang digunakan anak tunarungu yaitu membaca gerak bibir

ini cocok bagi anak yang memiliki kosensentrasi tinggi pada bibir penutur

bahasa. Gerak bibir ini lebih menekankan pada penglihatan yang baik. Karena

etika berkomunikasi kita harus berkonsentrasi pada gerak bibir yang di

ucapkan oleh penutur bahasa kita dengan seksama. Dalam situasi ini penutur

bahasa harus berada ditempat yang terang dan dapat dilihat dengan jelas.

Dalam berkomunikasi, anak tunarungu salah satunya menggunakan

Metode Maternal Reflektif (MMR) Metode ini memiliki ciri bahwa

6

(13)

5

percakapan itu terkait dengan kegiatan melakukan sesuatu bersama antara ibu

atau orang lain dengan anak (bersifat alamiah), serta menerapkap metode

tangkap dan peran ganda. Metode tangkap dan peran ganda maksudnya adalah

bahwa ibu atau orang lain menangkap ungkapan anak, kemudian

membahasakannya serta menanggapi ungkapan tersebut, sehingga tercipta

suatu percakapan.7

Metode ini mengedepankan model pembelajaran ibu kepada anak. Ibu

berperan aktif dalam memberi rangsangan kepada anak, yaitu dengan

membangun komunikasi secara langsung berupa pertanyaan yang mengarah

pada aktivitas sehari-hari yang dialami anak.

Menurut Sunarto, Metode Mathernal Reflektif adalah suatu

pembelajaran yang mengikuti bagaimana anak mendengar sampai menguasai

bahasa ibu, bertitik tolak pada bahasa dan kebutuhan komunikasi anak dan

bukan pada program aturan bahasa yang perlu diajarkan atau di drill

menyajikan bahasa sewajar mungkin kepada anak baik secara ekspesif dan

reflektif, menuntut agar anak yang reflektif segala permasahan bahasanya.8

Penelitian ini penting karena komunikasi interpersonal anak tunarungu

berbeda dengan cara komunikasi orang lain pada umumnya, kebanyakan dari

mereka menggunakan bahasa isarat sebagai bahasa yang mereka gunakan

7

Hernawati, Tati. Juni 2007, “Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak

Tunarungu”. JASSI_anakku Volume 7, No. 1,

http://103.23.244.11/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196302081987032-TATI_HERNAWATI/jurnal.pdf

8

(14)

6

sehari-hari, sebab mereka kesulitan dalam bekomunikasi maupun memberikan

feed back. Apalagi bagi seorang ibu, yang biasanya anak balita normal saja

harus dengan penuh kesabaran mengenalkan bahasa, komunikasi serta

interaksi kepada anak, lain halnya ketika anak tersebut mempunyai hambatan

yakni tunarungu. Selain itu untuk mengetahui bagaimana komunikasi antara

ibu dan anak berkebutuhan khuusus tunarungu serta untuk mengetahui bahasa

ibu yang gunakan dalam mendidik anak tunarungu.

Dengan berdasarkan penjelasan di atas tentang Metode Maternal

Reflektif serta komunikasi anak tuna rungu, dirasa penting untuk

pengembangan keilmuan ilmu komunikasi serta untuk mengetahui bagaimana

Metode Maternal Reflektif dalam komunikasi interpersonal ibu dan anak

tunarungu. Untuk itu peneliti tertarik untuk memahami tentang “Komunikasi

Interpersonal Berbasis Metode Maternal Reflektif (MMR) antara Ibu dan

Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu (Studi Kasus Siswa di SLB Ngelom

(15)

7

B. Rumusan Masaah dan Fokus Penelitian

1. Bagaimana proses komunikasi menggunakan Metode Maternal Reflektif

dalam komunikasi interpersonal orangtua dan anak tuna rungu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dirumuskan peneliti di atas, maka

beberapa tujuannya adalah mendeskripsikan proses komunikasi interpersonal

antara orang tua dengan anak ABK Tunarungu menggunakan Metode

Maternal Reflektif di Desa Ngelom.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentu akan memiliki manfaat bagi peneliti maupun orang

pihak lain yang akan menggunkannya. Oleh karena itu, maka penelitian ini

memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

wawasan bagi penelitian komunikasi serta diharapkan mampu menjadi

pembanding untuk penelitian-penelitian komunikasi lainnya.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapka dapat memberi masukan bagi masyarakat

yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini.

Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan rujukan

(16)

8

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dapat memberikan gambaran ilmu kepada peneliti, agar

penelitian dapat dilakukan dengan maksimal. Adapun beberapa penelitian terdahulu

yang ditemukan oleh peneliti antara lain:

Skripsi berjudul “Analisis Proses Komunikasi Interpersonal Guru SLB Dan

Siswa Tunarungu Dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus

(Studi Deskriptif Pada Guru dan Siswa SLB Negeri Cicendo Bandung)”. Karya dari

Bunga indah pratiwi tahun 2015.Persamaan pada fokus penelitian yaitu komunikasi

interpersonal.Sedangkan perbedaan penelitian terletak pada subyek penelitian, dalam

hal ini penelitian dilakukan pada ibu dan anak.

Skripsi berjudul “Pesan Kedisiplinan Dalam Proses Belajar Mengajar Di SLB

(B-C) Ayodiatulada Surabaya (Studi Kasus Pada Anak Tunarungu Low

Vasion)”.Karya Ilmanudin shofi tahun 2013.Persamaan dalam penelitian ini terletak

pada subyek penelitian, yaitu anak tuna rungu.Sedangkan perbedaannya terletak pada

fokus penelitian, dalam hal ini komunikasi interpersonal.

Skripsi berjudul ”Komunikasi Antar Pribadi Guru Terhadap Murid (Studi

Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antar Pribadi Guru Terhadap Murid Dalam

Membentuk Kepercayaan Diri Siswa di SLB ABCD Bakti Sosial Simo Pada Tingkat

SMP Tahun Ajaran 2013/2014), karya Totok pristiyanto. Persamaan dalam penelitian

ini terletak pada fukus penelitian dalam hal ini komunikasi antar pribadi. Sedangkan

perbedaan terletak pada subyek guru terhadap murid, dalam hal ini penelitian akan

(17)

9

Skripsi berjudul ”Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk

Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap

Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB - B Karya Murni Kota

Medan)”. Karya Oloan hendra ricky silalahi tahun 2011. persamaan dalam penelitian

ini terletak pada focus penelitian, yakni komunikasi antarpribadi. Sedangkan

perbedaan dalam penelitian ini terletak pada konsep diri, dalam penelitian ini Metode

Maternal Reflektif.

Skripsi berjudul “Konsep Diri Dan Komunikasi Interpersonal Siswa

Tunarungu Kelas III Di SDLB Negeri Bekasi Jaya”.Karya Vivi septian haryono tahun

2013.Persamaan dalam penelitian ini terletak pada subyek penelitian yakni siswa tuna

rungu.Sedangkan perbedaan dalam penelitian ini terletak pada konsep diri, dalam

penelitian ini Metode Maternal Reflektif.

F. Definisi konsep penelitian Komunikasi interpersonal

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) merupakan

komunikasi yang belangsung dalam situasi tatap muka antar dua orang atau

lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang.

Menurut Bittner yang menerangkan bahwwa komunikasi antarpribadi

berlangsung apabila pengirim menyampaikan informasi berupa kata-kata

kepada penerima, dengan menggunakan medium suara manusia

(18)

10

sebagi pertemuan antara dua, tiga orang atau mungkin empat orang, yang

terjadi sangat spontan dan tidak bersruktur.9

Komunikasi interpersonal merupakan proses transaksi (berkelanjutan)

yang selektif, sistematis dan unik, yang membuat kita mampu merefleksikan

dan mampu membangun pengetahuan bersama orang lain.10

Metode maternal reflektif

Melihat keterbatasan anak tunarungu dalam berbahasa maka,

diperlukan metode yang tepat untuk membelajarkan bahasa pada anak

tunarungu.Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu Metode Maternal

Reflektif (MMR).Metode ini mengedepankan model pembelajaran ibu kepada

anak.Ibu berperan aktif dalam memberi rangsangan kepada anak, yaitu dengan

membangun komunikasi secara langsung berupa pertanyaan yang mengarah

pada aktivitas sehari-hari yang dialami anak. Menurut Sunarto, Metode

Mathernal Reflektif adalah suatu pembelajaran yang mengikuti bagaimana

anak mendengar sampai menguasai bahasa ibu, bertitik tolak pada bahasa dan

kebutuhan komunikasi anak dan bukan pada program aturan bahasa yang

perlu diajarkan atau di drill menyajikan bahasa sewajar mungkin kepada anak

baik secara ekspesif dan reflektif, menuntut agar anak yang reflektif segala

permasahan bahasanya.11

9

Wiryanto, PengantarIlmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), h. 31-32. 10

Julia, T Wood, Komunikasi Interpersonal Interaksi Keseharian Edisi 6, (Jakarta: Salemba Humanika, 2013), h. 23.

11Linawwati, Ririn. Agustus 2012, “Journal of Early Childhood Education Papers”.Belia Volume 1,

(19)

11

Dalam metode ini, percakapan berlangsung secara alamiah,

naluriahmenggunakan metode tangkap, memainkan peran ganda artinya si ibu

akan menangkap ungkapan anak yang berbahasa dengan kata-kata yang tidak

jelas dan tidak sempurna, lewat ekspresi wajah, tingkah laku kemudian si ibu

akan membahasakan dengan satu pegangan “apa yang ingin kamu lakukan

biasanya kami katakana seperti ini”. Keadaan ini berlangsung berulang-ulang

dan setiap waktu sehingga si anak akan dengan perlahan memahami bahasa

komunikasi dan lama kelamaan antara anak dan ibu terjain satu ucapan

percakapan yang saling menghendaki.12

Anak Tunarungu

Kekurang mampuan atau kehilangan pendengaran dapat disebabkan

oleh kecacatan yang dialami sejak lahir.Ketulian sjak lahir ini sering kali

membawa dampak pada kecacatan bicara atau tuna wicara. Deteksi dini dapat

dilakukan pada saat usia bayi. Sebelum keluar dari rumah sakit, jika memang

ada faktor resiko, misalnya lahir premature, berat badan bayi rendah,

toksoplasma.13

Istilah gangguan pendengaran (hearing impaired) tak terbatas pada

individu dengan kehilangan pendengaran yang sangat berat.Istilah ini

mencakup keseluruhan gangguan pendengaran, yang tidak hanya meliputi

anak tuli saja, tetapi mencakup juga anak dengan kehilangan pendengaran

12 Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu dan Tunawicara, (Jogjakarta: Javalitera, 2012). h. 63. 13

(20)

12

yang sangat ringan, yang memungkinkan dia mengerti pembicaraan tanpa

kesulitan berarti.Jika dihubungkan dengan tingkat kehilangan

pendengarannya, gangguan pendengaran secara luas terdiri dari tingkat

ringan, sedang, berat, dan sangat berat.Istilah gangguan pendengaran

mencakup kedua istilah yaitu kurang pendengaran (hard of hearing) dan tuli

(deaf).

Orang yang tuli adalah orang yang mengalami ketidakmampuan

mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam memahami pembicaraan

orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan menggunakan

alat Bantu dengar. Sedangkan orang yang kurang pendengaran adalah

seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar sehingga

mengalami kesulitan, tetapi tidak menghalangi orang tersebut dalam

memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa

atau dengan menggunakan alat bantu dengar.14

14

Aprilia, I as Dia a, , “ Educati g The Deaf: Psychology, Pri ciples, a d Practices.

(21)

13

G. Kerangka Pikir Penelitian

Bagan 1.1

Teori interaksionisme simbolik George Herbert Mead

Interaksionisme simbolik merupakan perspektif teoritis Amerika yang

nyata dikembangkan oleh para ilmuan psikologi sosial di Universitas Chicago,

yang berakar pada filsafat pragmatis.Ini merupakan perspektif yang luas

daripada teori yang spesifik dan berpendapat bahwa komunikasi manusia

terjadi melalui pertukaran lambang-lambang beserta maknanya. Perilaku Interaksi

simbolik Proses

komunikasi

Komunikasi interpersonal

Metode Maternal Reflektif (MMR)

Ibu dan Anak Tunarungu

(22)

14

manusia dapat dimengerti dengan mempelajari bagaimana para individu

memberi makna pada informasi simbolik yang mereka pertukarkan dengan

pihak lain. Interaksionisme didasarkan pada pemikiran bahwa para individu

bertindak terhadap objek atas dasar pada makna yang dimiliki objek itu bagi

mereka, makna ini berasal dari interaksi sosial dengan seseorang teman dan

makna ini dimodifikasi melalui proses penafsiran.15

George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi

simbolis ini.Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi di

antara manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan

respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau

tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan

cara-cara tertentu.Menurut paham ini, masyarakat muncul dari percakapan bagi

paham interaksi simbolis.16

Mead menyerang paham dualism pikiran-tubuh atau mind-body. Ia

mendefinisikan kata “I” merupakan kecenderungan yang bersifat menurutkan

kata hati mengenai respons individual kepada pihak lain. Sebaliknya, kata

“me” merupakan menyatunya orang lain dengan siapa orang telah berinteraksi

di mana orang mengambil alih ke dalam dirinya. Kata “me” merupakan

pandangan atau pendapat individual bagaimana orang lain meihat dirinya,

sikap-sikap orang lain yang ia mengasumsikannya. Konsep yang penting bagi

Mead ialah mengenai pengambilan peran atau role taking, kemampuan dari

15

Muammad Budyatna, Leila Mona Ganiem, Teori Komunikasi Antarpribadi (Jakarta: Kencana, 2011), h. 189.

16

(23)

15

diri individu untuk bertindak secara sosial terhadap dirinya seperti terhadap

orang lain. Mead memahami mengenai pikiran sebagai sosial, yang

berkembang melalui komunkasi dengan orang lain.17

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dan jenis penelitian

kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui

pengumpulan data sedalam-dalamnya.

2. Subyek, obyek dan lokasi penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi subyek adalah 2 orang tua dan 2 anak

tunarungu, sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah

komunikasi interpersonal, bagaimana para ibu menggunakan Metode

Maternal Reflektif dalam berkomunikasi. Sedangkan lokasi penelitian kali

ini bertempat di Taman Sidoarjo.

3. Jenis dan sumber data

Jenis data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:

a. Data Primer adalah data yang langsung dan segera diperoleh dari

sumber data. Sumber data tersebut adalah ibu dan anak tunarungu.

b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber secara tidak

langsung, dalam penelitian ini data sekunder berupa buku-buku yang

17 Muammad Budyatna, Leila Mona Ganiem

(24)

16

menunjang seperti buku tentang komunikasi interpersonal,

komunikasi anak tunarungu dan tentang metode maternal reflektif.

4. Tahap-tahap penelitan

Tahap-tahap yang ditempuh oleh peneliti adalah sebagai berikut:

a. Mencari dan Menentukan topik yang menarik

Pada awal bulan September 2016 peneliti mencari hal yang menarik di

sekitar tempat tinggal, kebetulan sekitar tiga kilometer dari tempat tinggal

ada sekolah luar biasa. Peneliti berpikir bagaimana cara ibu dan anak

tunarungu saat berkomunikasi. Anak normal biasa aja dalam mengajari

bicara saja harus penuh kesabaran.Setelah membaca buku-buku dan

sharing ke kakak yang telah wisuda, peneliti memutuskan untuk

mengambil fenomena tersebut.

b. Menentukan model analisis yang sesuai dengan tema

Komunikasi ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan komunikasi

interpersonal.Maka dari itu, paradigma penelitian ini adalah menggunakan

pendekatan interkasi simbolik. Salah satu model analisis yang sesuai

dengan tujuan penelitian yakni memperoleh realita di lapangan

sedalam-dalamnya adalah dengan metode kualitatif

c. Observasi dan Klasifikasi Data

Setelah menentukan fenomena yakni tentang anak tunarungu, ini

menghasilkan beberapa klasifikasi seputar hal tersebut, yaitu mengenai

penggunaan metode maternal reflektif dalam komunikasi interpersonal

(25)

17

diklasifikasikan sesuai kejadian yang akan dianalisis yaitu bagaimana

komunikasi ibu dengan anak tunarungu.

5. Teknik Pegumpulan data

Data dan informasiyang di peroleh dari pihak-pihak terkait dalam hal

ini orang tua atau murid, buku-buku atau referensi lain yang berhubungan

dengan seseorang yang di teliti. Teknik pengumpulan data adalah sebagai

berikut:

a. Metode observasi

Observasi adalah pengumpulan data dengan cara pengamatan

langsung pada suatu kegiatan yang sedang berlangsung untuk

mengumpulkan data atau fakta.Dalam penelitian kali ini, peneliti

langsung mendatangi langsung rumah orang tua dan anak yang

menggunkan MMR.

b. Metode wawancara

Dalam metode ini pengumpuan data dengan cara bertanya

langsung dengan ibu dari seorang tuna rungu untuk mencari informasi.

c. Dokumentasi

Tahap dokumentasi ini merupakan pengumpulan data yang

mengacu pada dokumen seperti buku-buku pedoman, buku bacaan,

jurnal sebagai acuan yang akan digunanakan untuk mendapatkan

kajian teoritis sebagai dasar teori di dalam melakukan analisis

(26)

18

6. Teknik analisis data

Pada fase ini merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk

yang lebih mudah dibaca dan dideskripsikan. Dalam penelitian ini,

peneliti mengambil kesimpulan-kesimpulan yang benar melalui proses

pengumpulan, penusunan, penyajian dan penganalisaan data hasil peneliti

yang berwujud kata-kata. Setelah itu peneliti berusaha untuk menganalisa

data dengan menyusun kata-kata kedalam tulisan yang lebih luas.

7. Teknik Pemeriksaan dan Keabsahan Data

Dalam hal ini peneliti berusaha memperoleh data sedalam-dalamnya

dengan mengunjungi tempat bersekolah anak tunarungu tersebut. Dari situ

akan diperoleh data tentang anak tunarungu serta tempat tinggalnya.

Setelah itu peneliti akan observasi langsung kerumah anak tersebut untuk

mendapatkan temuan-temuan ang valid.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam proposal penelitian terdapat beberapa penyajian pembahasan,

yaitu sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, hasil

penelitian terdahulu, definisi konsep penelitian, kerangka pikir penelitian,

metode penelitian dan sistematiaka pembahasan.

Bab II: Kajian Teoritis. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai kajian

(27)

19

sesuai dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori

yang berkaitan denganhubungan interpersonal

Bab III : Penyajian Data. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai

deskripsi subyek penelitian dan deskripsi data penelitian.

Bab IV : Analisis Data. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai temuan

penelitian dan konfirmasi temuan dengan teori.

Bab V : Penutup. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai simpulan dan

(28)

20

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. KAJIAN PUSTAKA

1. Anak ABK Tunarungu

Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan

tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari

anak-anak normal pada umumnya. Seorang anak-anak dikatakan anak-anak berkebutuhan khusus

jika ia mengalami gangguan baik pada sensori maupun indranya. Akibatnya, ia

akan mengalami kesulitan atau keterlambatan dalam proses tumbuh kembang.

Selain itu, ia tidak memiliki keinginan seperti anak normal yang memiliki mimpi

untuk masa depannya.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan anak

berkebutuhan khusus.Istilah anak berkebutuhan khusus sebenarnya merupakan

istilah terbaru yang digunakan dan merupakan terjemahan dari child with special

needs yang telah digunakan secara luas di dunia internasional, yang sebelumnya

digunakan istilah anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang dan

anak luar biasa. Selain itu ada istilah yang berkembang secara luas yaitu difabel

atau kependekan dari difabel ability.

Sejalan dengan perkembangan pengakuan terhadap hak asasi manusia,

termasuk anak-anak “istimewa” ini, digunakanlah istilah anak berkebutuhan

khusus. Penggunaan istilah anak berkebutuhan khusus ini membawa konsekuensi

(29)

21

sering digunakan. Jika pada istilah luar biasa lebih mengibaratkan pada kondisi

fisik, mental, emosi-sosial anak, pada istilah kebutuhan khusus lebih

dititkberatkan pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan

potensinya.1

Yang termasuk jenis anak berkebutuhan khusus yakni tunanetra, tuna rungu,

tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak

berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan.2

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada anak berkebutuhan khusus

tunarungu.Tunarungu berasal dari kata “tuna” yang berarti rusak, rugi, atau

kurang dan “rungu” yang berarti pendengaran.Jadi, secara sederhada tunarungu

dapat diartikan sebagai orang yang mengalami kerusakan pada sistem

pendengaran.

Amin mengemukakan bahwa anak tunarungu adalah mereka yang mengalami

kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh

kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang

mengakibatkan hambatan dalam perkembanganna sehingga memerlukan

bimbingan pendidikan khusus.3

Penderita tunarungu adalah mereka yang memiliki hambatan perkembangan

indra pendengar. Tunarungu tidak dapat mendengar suara atau bunyi, dikarenakan

tidak mampu mendengar suara atau bunyi, kemampuan berbicara pun kadang

1

Laili S Cahya, Buku Anak Untuk ABK, (Yogyakarta: Familia, 2015), h. 4. 2

Meita Shanty, Strategi Belajar Khusus Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Familia, 2015), h. 26.

3Esthy Wikasanti,

(30)

22

terganggu.Sebagaimana kita ketahui, keterampilan berbicara sering kali

ditentukan oleh seberapa sering seseorang mendengar orang lain

berbicara.Akibatnya anak-anak tunarungu sekaligus memiliki hambatan bicara

dan benjadi bisu. Untuk berkomunikasi dengan orang lain mereka menggunakan

bahasa bibir atau bahasa isyarat. Sebagaimana anak tunanetra, mereka memiliki

potensi perkembangan yang sama dengan anak-anak lain yang tidak mengalami

hambatan perkembangan apapun.4

Kekurang mampuan atau kehilangan pendengaran dapat disebabkan oleh

kecacatan yang dialami sejak lahir.Ketulian sejak lahir ini seringkali membaa

dampak pada kecacatan bicara atau tunawicara. Deteksi dini dapat dilakukan pada

saat usia bayi sebelum keluar dari rumah sakit, jika memang factor resiko,

misalnya lahir premature, berat badan bayi rendah dan toksoplasma. Kemudian

dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan saat bayi berusia tiga bulan, untuk

memastiakan ada atau tidakna gangguan pendengaran.

Sebagaimana disebutkan diatas, gangguan pendengaran atau tunarungu dapat

disebabkan sebelum anak dilahirkan atau setelah anak dilahirkan.Sardjono

menyebutkan bahwa penyebab anak tunarungu dapat dikategorikan sebagi

berikut.

a. Factor sebelum anak dilahirkan (pre natal)

1) Faktor keturunan

2) Cacar air, campak

4Geniofam,

(31)

23

3) Terjadi toxaemia (keracunan darah)

4) Penggunaan pilkina ataun obat-obatan dalam jumlah besar

5) Kekurangan oksigen

b. Faktor-faktor saat anak dilahirkan

1) Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis

2) Anak lahir premature

3) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)

4) Proses kelahiran yang terlalu lama

c. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan

1) Infeksi

2) Meningitis (peradangan selaput otak)

3) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan

4) Otitis media yang kronis

5) Terjadi ifeksi pada alat-alat pernafasan5

Berikut ini merupakan klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat

gangguan pendengaran:

a. Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40dB)

b. Gangguan pendengaran ringan (41-55dB)

c. Gangguan pendengaran sedang (56-70dB)

d. Gangguan pendengaran berat (71-90dB)

e. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli (di atas 91dB)6

5 Ahmad wasita,

(32)

24

Ciri-ciri anak yang menderita tunarungu adalah sebagai berikut:

a. Tidak mampu mendengar

b. Terlambat perkembangan bahasa

c. Serig menggunakan isyarat dalam berkomunikasi

d. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara

e. Ucapan kata tidak jelas

f. Kualitas suara aneh/monoton

g. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar

h. Banyak perhatian terhadap getaran

i. Keluar nanah dari kedua telinga

j. Terdapat kelainan organis telinga.7

Karekteristik anak tunarungu adalah sebagai berikut:

a. Segi fisik

1) Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk akibat terjadinya

permasalahan pada organ keseimbangan di telinga. Itulah sebabnya

anak-anak-anak tunarungu mengalami kekurangseimbangan dalam aktifitas

fisiknya

2) Pernapasannya pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak

pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari,

bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang

6

Meita Shanty, Strategi Belajar Khusus Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Familia, 2015), h. 29.

7 Geniofam,

(33)

25

baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya dengan

baik, khususnya dalam berbicara.

3) Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu

indra yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu karena

sebagian besar pengalamannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena

itu, anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual sehingga cara

melihatnya selalu menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat

beringas.

b. Segi bahasa

1) Miskin akan kosa kata.

2) Sulit mengartiakan kata-kata yang mengandung ungkapan atau

idiomatik.

3) Tata bahasanya kurang teratur.

c. Intelektual

1) Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak

tunarungu tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual. Namun

akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan

intelektualnya menjadi lamban.

2) Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa.

Seiring terjadinya kelambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat

adanya hambatan dalam berkomunikasi, dalam segi akademik anak

(34)

26

d. Sosial-emosional

1) Sering merasa curiga dan berprasangaka, sikap seperti ini terjadi

akibat adanya kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat

memahami apa yang dibicarakan orang lain sehingga anak-anak

tunarungu menjadi mudah merasa curiga.

2) Sering bersikap agresif.8

Hak-hak anak tunarungu adalah sebagai berikut,

a. Hak mendapatkan perlindungan, sesuai dengan isi pembukaan UUD 1945

alenia ke-4.

b. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

c. Anak tunarungu sebagai warga negara Republik Indonesia mempunyai

kedudukan yang sama baik dalam hokum maupun dalam pemerintahan,

jadi walaupun mereka itu mempunyai kelainan dalam indra

pendengarannya, tetatpi mereka berhak mendapat kedudukan yang sama

seperti halnya anak yang lain dan wajib menjunjung hokum dan

pemerintah.

d. Anak tunarungu berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak

seperti halnya anak-anak yang normal.

Adapun kewajiban anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang ada

padanya adalah sebagai berikut.

a. Kewajiban anak tunarugu akan dirinya sendiri, yang meliputi:

1) Mencintai dirinya

8

(35)

27

2) Menerima keadaan dirinya

3) Menyadari akan nasibnya

4) Memelihara kesehatan dan kebersihan dirinya

5) Berusaha mengembangkan kemampuannya

b. Kewajiban bersekolah/belajar

1) Taat dan patuh pada peraturan sekolah.

2) Mengikuti seluruh kegiatan yang diselenggarakan sekolah, baik di

dalam atau di luar sekolah.

3) Menghormati kepala sekolah, guru, dan mereka yang dianggap lebih

tua daripadanya dan sepatutnya untuk di hormati.

4) Berbuat baik terhadap teman-teman sekelas dan teman-teman satu

sekolah.

5) Menjaga citra sekolah.

c. Kewajiban dalam lingkungan keluarga

1) Patuh dan taat pada orang tua.

2) Berlaku baik terhadap saudara.

3) Mengikuti jejak anggota keluarga.

4) Ikut ambil bagian dalam tugas sebagai anggota keluarga.

d. Kewajiban dalam lingkungan masyarakat

1) Menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, sesuai dengan

kemampuan yang ada padanya.

(36)

28

3) Turut ambil bagian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan

kemampuan yang ada padanya.

4) Menaati peraturan masyarakat yang telah di tetapkan.9

2. Komunikasi anak tunarungu

Beberapa pendapat menyebutkan bahwa seseorang berkomunikasi

menggunakan bahasa.Cara yang terbaik dalam berkomunikasi dengan

berbicara.Namun dalam situasi ini yang berkomunikasi adalah anak tuna

rungu.Padahal anak tuna rungu memliki masalah dalam mendengar dan berbicara.

Oleh karena itu terdapat berbagai cara berkomunikasi untuk anak anak tuna rungu

yang penggunaannya tergantung pada tingkat masalah pendengarannya dan

penanganan awal yang telah dilakukan. Berikut adalah metode metode yang dapat

digunakan untuk berkomunikasi dengan anak tuna rungu :

a. Metode auditorial oral

Dalam metode ini lebih menekankan pada proses mendengar dan bertutur kata

dengan menggunakan alat bantu yang lebih baik seperti penggunaan alat bantu dengar

hearing aids. Metode ini tidak menggunakan bahasa isyarat atau gerakan jari yang

biasa dilakukan berkomunikasi orang normal dengan anak tuna rungu.Dalam metode

ini lebih menekankan pada pembacaan gerak bibir (lip reading).Metode ini

menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan kemampuan mendengar dan

bertutur kata yang baik dan membutuhkan latihan pendengaran yang dapat melatih

9

(37)

29

anak-anak untuk mendengar bunyi dan mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang

berbeda.

b. Metode membaca gerak bibir

Metode membaca gerak bibir ini cocok bagi anak yangmemiliki kos=nsentrasi

tinggi pada bibir penutur bahasa. Dalam metode ini lebih menekankan pada

penglihatan yang baik.Karena etika berkomunikasi kita harus berkonsentrasi pada

gerak bibir yang di ucapkan oleh penutur bahasa kita dengan seksama.Dalam situasi

ini penutur bahasa harus berada ditempat yang terang dan dapat dilihat dengan jelas.

c. Metode bahasa isyarat

Bahasa isyarat digunakan secara mudah dengan menggabungkan perkataan

dengan makna dasar. Terkadang setiap wilayah atau Negara menggunakan bahasa

isyarat yang berbeda satu sama lain. Beberapa model bahasa isyarat antara ain yakni

American Sign Language, Pidgin Sing English (PSE), Seeing Essential English ( SEE

), Signing Exact English (SEE II ), dan di Malaysia adalah Kod Tangan Bahasa

Melayu (KTBM)

d. Metode komunikasi universal

Metode universal adalah metode yang menggabungkan gerakan jari, isyarat,

pembacaan gerak bibir, penuturan dan implikasi audiotoris atau yang bisa dikenal

dengan bahasa isyarat manual-visual.Elemen yang penting ketika menggunakan

metode ini adalah penggunaan isyarat dan penuturan secara bersamaan.Dengan

metode ini anak anak tuna rungu dapat memahami hal yang disampaikan menurut

(38)

30

e. Penuturan isyarat

Metode ini dikembangkan dari metode pembacaan bibir.Menggunakan simbol

simbol tangan yang dilambangkan ditentukan dengan bentuk bentuk tangan yang

menentukanmaksud perkataan.Terdapat delapan symbol tangan yang ditentukan

menurut konsonan yang berbeda dan empat symbol tangan untuk menentukan bunyi

yang menyimbolkan huruf vokal.10

3. Metode Maternal Reflektif

Metode ini diciptakan dan dikembangkan oleh A Van Uden, seorang

pengembang didaktik pengajaran bahasa, pakar pemikir tunarungu, psikolog, dan

psikolinguistik.Ciri khas metode ini adalah berlangsungnya percakapan, pemahaman

bahasa secara global, lues, komunikasi timbal balik.11

Dalam metode ini, percakapan berlangsung secara alamiah, naluriah

menggunakan metode tangkap, memainkan peran ganda artinya si ibu akan

menangkap ungkapan anak yang berbahasa dengan kata-kata yang tidak jelas dan

tidak sempurna, lewat ekspresi wajah, tingkah laku kemudian si ibu akan

membahasakan dengan satu pegangan “apa yang ingin kamu lakukan biasanya kami

katakana seperti ini”. Keadaan ini berlangsung berulang-ulang dan setiap waktu

sehingga si anak akan dengan perlahan memahami bahasa komunikasi dan lama

kelamaan antara anak dan ibu terjain satu ucapan percakapan yang saling

menghendaki

10

Muhamad, Jamila, Special Education for Special Childern, (Jakarta: Hikmah, 2005), 11 Ahmad wasita,

(39)

31

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan

bahasa bicara anak tunarungu adalah metode Maternal Reflektif (MMR). Metode

Maternal Reflektif merupakan pengajaran bahasa ibu yang berdasarkan pada

prinsip-prinsip psikolingualistik bagi anak tunarungu yang belum menguasai bahasa sama

sekali.

Prinsip Metode Maternal Reflektif adalah “apa yang ingin kau katakan

katakanlah begini ….”.12

Pengembangan keterampilan berbahasa bicara menggunakan Metode Maternal

Reflektif dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini.

a. Percakapan

Percakapan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu percakapan dari hati ke

hati dan percakapan linguistic (bahasa).

1) Percakapan dari hati ke hati (perdati)

Percakapan dari hati ke hati (perdati) adalah percakapan yang bersifat

spontan antara anak dengan orang tua, guru, orang lain atau antar-anak sendiri

dalam suasana santai, rileks, akrab dan terjadi inter subjektivitas. Latihan

percakapan ini dapat dilakukan sebagai berikut.

a) Anak dilatih untuk memperhatikan isi hati lawan bicara, terbuka, tanpa

rasa takut dan curiga, merasa aman dan tanpa beban rasa bersalah.

b) Orang tua menerapkan metode tangkap dan peran ganda, yaiu

menangkap atau memahami ungkapan anak yang mungkin dalam

12 Esthy Wikasanti,

(40)

32

bentuk isyarat, gestur, atau dengan ucapan-ucapan yang tidak

sempurna. Lalu, membahasakan perkiraan apa yang ada dalam pikiran

anak tersebut sehingga tercipta suatu percakapan berdasarkan

ungkapan anak.

Menurut jenisnya perdati dibedakan menjadi dua, yaitu perdati

murni/bebas dan perdati melanjutkan informasi.

(1) Perdati murni/bebas

Percakapan dari hati ke hati dikatakan murni karena materi

percakapan berasal dari ungkapan perasaan yang keluar dari lubuk hati

anak sendiri, dan idak dipengaruhi oleh siapa pun. Disebut perdati

bebas karena materi percakapannya masih sangat bebas: tentang apa

saja, suasana atau situasi percakapan sangat bebas, kapan saja, dimana

saja, bentuk ungkapan anak masih sangat bebas, bentuk non verbal

apapun, bentuk verbal sederhana hingga bentuk yang sempurna dan

lawan bicaranya bebas denga siapa saja pada saat itu bersama dengan

anak.

Perdati murni atau perdati bebas umumnya terjadi pada anak

tunarungu usia balita atau anak tunarungu yang belum menguasai

bahasa sepatah kata pun, anak tunarungu yang baru menguasai sepatah

dua patah kata, hingga anak tunarungu yang penggunaan kalimatnya

yang belum sempurna. Dengan demikian, untuk menguasai kecakapan

percakapan ini, anak tunarungu masih perlu dibantu dengan metode

(41)

33

(2) Percakapan dari hari ke hati (perdati) melanjutkan informasi

Disebut perdati melanjutkan informasi karena percakapan

diaali dengan adanya informasi, penyampaian berita, pemberitahuan

dari seseorang, dua, atau tiga anak, atau dapat juga dari guru tentang

suatu hal yang tidak dialami bersama yang menyangkut pengetahuan.

Itulah sebabnya, perdati melanjutkan informasi disebut juga

percakapan pegetahuan. Pelaksanaan perdati melanjutkan informasi

ttidak jauh berbeda dengan pelaksanaan perdati murni. Semua prinsip perdati harus tetap dipertahankan. Prinsip tersebut antara lain sebagai

berikut: Percakapan harus bersikap spontan, wajar dan rileks,

percakapan harus berlangsung dalam suasana akrab dan

menyenangkan, percakapan harus menggunakan bahasa penghayatan,

atau bahasa percakapan sehari-hari, Percakapan harus mengalir,

lancar, dan fleksibel, dan percakapan harus mengandung pemupukan

empati.

2) Percakapan linguistik (percali)

Percakapan linguistic percali disebut juga percakapan tata bahasa

reflektif. Percakapan ini bertujuan agar penguasaan bahasa anak makin

berkembang, terutama struktur bahasa sehingga sedikit demi sedikit anak

akan menemukan aspek-aspek kebahasaan dalam suatu teks bacaan, baik

(42)

34

b. Bahasa yang dipelajari dalam situasi percakapan

Bayi yang berpendengaran normal belajar berbahasa melalui

percakapan dengan orang tuanya.Ketika mengasuh bayi, ayah atau ibu tidak

hanya diam, tetapi terus menerus berbicara kepada si bayi walau belum ada

tanggapan verbal dari si bayi.Dalam kegiatan apapun dengan si bayi

senantiasa selalu diajak bercakap-cakap karena percakapan tersebut direkam

oleh bayi.

Pada tunarungu pun orang-orang terdekat harus melakukan hal yang

sama dengan anak pada umumnya, namun, karena kesulitan penyandang

tunarungu untuk berkomunikasi tentu perlu upaya jauh lebih banyak untuk

menghayati maksud anak, kemudian menjelaskan maksudnya, memberikan

bahasa yang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh anak.13

c. percakapan sebagai bentuk penggunaan bahasa yang kaya

Kata-kata dan kalimat memperoleh maknanya dalam konteks

percakapan.Dalam percakapan, seseorang memberi iformasi, meminta

informasi, menanggapi, menanyakan, menyampaikan sesuatu, mengharap

menjanjiakan, membantah, menyesal, minta maaf, memafkan, memberi saran,

menyatakan pendapat, menolak dll.Kata-kata mendapat maknanya dalam

konteks sebuah kalimat.Demikian pula kata petunjuk ini, itu, di sini, di situ,

saya, kau dia, mereka dan sebagainya.

13 Esthy Wikasanti,

(43)

35

d. Sikap wicara dalam percakapan

Hal-hal yag harus diperhatikan dalam upaya mengembangkan

keterampilan percakapan anak tunarungu.

1) Hindari terus menerus memaksa anak. Misalnya dengan segala macam

cara menuntut perhatiannya, artikulasi yang tidak tercela, dan

mengharuskan menyusun kalimat secara sempurna. Pemaksaan seperti itu

merintangi kontak dari hati ke hati dan merugikan perkembangan anak.

2) Bercakap berarti dengan sungguh-sungguh saling “mendengarkan”,

saling merelakan, saling memperhatikan. Perhatian timbal balik ini

tercermin dari sikap, antara lain kontak tatap mata/tatap wajah, pandangan

ramah, hati terbuka, dan rasa santai yang terlihat dalam seluruh sikap kita.

3) Percakapan dengan anak, termasuk anak tunarugu, meminta

keterlibatan secara sungguh-sungguh pada apa ang mereka kemukakan.

Tidak berpura-pura. Kepura-puraan pasti akan segera dirasakan anak

karena mereka peka akan hal ini.

e. Memanfaatkan saat yang tepat untuk percakapan.

Bahan percakapan yang dipakai hendaknya benar-benar bebas sesuai

minat anak.Orang tua mempercakapkannya bersama mereka dan

mengarahkan percakapan kearah yang baik, seperti mengembangkan bahasa

dan kosakata, pengetahuan budaya, sopan santun, adat kebiasaan dan

sebagainya.

Dalam percakapan, tidak cukup hanya membahasakan

(44)

36

seperti sedih, gembira, kecewa, senang, bahagia, menyesal, putus asa, penuh

harap, dan lain-lain.Hal ini bermanfaat untuk memperkaya kosakata sekaligus

memperkembangkan perasaan anak tunarungu.

f. Jika ungkapan anak tidak jelas

g. Apabila ada ungkapan anak tidak jelas, orangtua dapat memperjelas

dengan membuat gambar, menuliskannya, memperagakannya, menggunakan

pertanyaan yang terarah, melihat ke tempat kejadian, dan mengupayakan

sekonkret mungkin.14

B. KAJIAN TEORI

1. Teori interaksionisme Simbolik

Teori ini di temukan oleh George Herbert Mead. Mead lahir di Headley,

sebuah kota kecil di Massachusetts, di mana bapaknya adalah seorang pendeta,

Everett M. Rogers. Kemudian Mead senior menjadi professor pada Oberlin

College, Oiho, di mana Mead belajar pada program S-1 untuk mendapatkan

bachelor‟s degree. Pada saat itu ia mulai mempertanyakan masalah dogma agama

dan mengalami kesulitan oleh keraguan dirinya mengenai agama yang dianutnya.

Karena bidang falsafah dan keyakinan kristiani erat hubungannya, permasalahan

agama Mead menghadapi kesulitan bagi keinginan masa depannya untuk menjadi

guru besar filsafat.Mead belajar satu tahun di Harvard University, sebelum

mendaftarkan diri di Universitas Leipzig berguru pada Wilhelm Wundt,

14 Esthy Wikasanti,

(45)

37

mengambil spesialisasi dalam teori mengenai gerak isyarat atau gesture.Mead

mengatakan bahwa tindakan merupakan unit dasar ilmu sosial karena pentingnya

symbol.Tindakan merupakan sosial karena hal ini ditafsirkan oleh individu

lainnya. Mead juga belajar di Universitas Berlin pada Georg Simmel tetapi ia

tidak menyelesaikan program doktornya. Setelah beberapa tahun mengajar di Ann

Arbor, Mead pindah dari University of Michigan ke Chicago pada 1894, atas

permintaan John Dewey. Di Universitas tersebut ia mengajar selama tiga puluh

tujuh tahun sampai akhir hayatnya pada 1931.

Mead dan Dewey merupakan sahabat kental. Meskipun keduanya di muka

umum sangat pemalu, tetapi keduanya bisa bekerja sama dan masing-masing

menjadi terkenal. Mereka berdua bekerja sama di Departemen Filsafat pada

University of Michigan, dan ketika Dewey ditawarkan posisi sebagai ketua

Departemen pada Universitas Chicago salah satu syarat ang dimintanya

membawa serta Mead dari Ann Arbor.

George Herbert Mead memiliki pemikiran orisinal dan melakukan kontribusi

penting bagi ilmu sosial dengan memperkenalkan perspektif teoretis yang

kemudian dikenal sebagai interaksionisme simbolik.Pandangan psikologi sosial

ini dipengaruhi oleh Charles Sanders Pierce, William James, Josiah Royce, James

Mark Baldwin, John Dewey dan Charles Horton Cooley, ditambah Wilhelm

Wundt dan Chauncey Wirght, tetapi ini uniknya merupakan konsep Mead atau

Meadian conception (Lincourt dan Hare 1973). Herbert Blumer sosiolog Chicago

di kemudian hari melanjutkan gagasan Mead ke dalam versi dia sendiri mengenai

(46)

38

serangan-serangan. Ada versi lain dari teori Mead mengenai interaksi simbolik,

meskipun teori Blumer mengenai ini lebih dikenal. Perspektif teoretis Mead ini

terutama memiliki daya Tarik bagi para sosiolog, karena memiliki sifat dasar

sosial.Untuk banyak tahun Mead menjadi psikolog sosial bagi para sosiolog.

Mead menyerang paham dualism pikiran-tubuh atau mind-body.Ia

mendefinisikan kata “I” merupakan kecenderungan yang bersifat menurutkan kata

hati mengenai respons individual kepada pihak lain. Sebaliknya, kata “me”

merupakan menyatunya orang lain ke dalam individu terdiri dari semua sikap

orang lain dengan siapa orang telah berinteraksi dimana orang mengambil alih ke

dalam dirinya. Kata “me” merupakan pandangan atau pendapat individual

bagaimana orang lain melihat dirinya—sikap-sikap orang lain yang ia

mengamsumsikannya. Konsep yang penting bagi Mead ialah mengenai

pengambilan peran atau role taking, kemampuan dari diri individu untuk

bertindak secara sosial terhadap dirinya seperti terhadap orang lain. Mead

memahami mengenai pikiran sebagai sosial, yang berkembang melalui

komunikasi orang lain. Teori Median menyatakan bahwa individu-individu

mengenal atau mengetahui diri mereka melalui interaksi dengan orang-orang lain,

yang berkomunikasi kepada mereka siapa mereka.

Ingat bahwa Charles Horton Cooley menciptakan istilah “looking glass self”

sebagai konsepsi diri individual dibangun dengan membayangkan bagaimana

orang lain merefleksikan citra seseorang kepada dirinya. Namun demikian, cooley

tidak memberikan penjelasan mengenai bagaimana diri itu dibentuk. Tetapi Mead

(47)

39

dilahirkan dengan dirinya dan diri itu tidak berkembang secara naluriah.

Sebaliknya, kata Mead, diri itu dikembangkan melalui proses sosial mengenai

interaksi dengan orang-orang lain. Individu menginternalisasikan interpretasi dan

makna dari bermacam-macam orang, khususnya didapat sejak kecil, untuk

menciptakan sebuah “generalized other”, yang dibangun dari harapan rata-rata

dari banyak indidu lainnya.Manusia, secara fisiologis termasuk yang paling tak

berdaya dan bergantung diantara makhluk-makhluk di dalam kerajaan hewan,

mendapatkan kekuatan yang muncul yang menjadikannya rumpun manusia yang

dominan di atas bumi. The generalized other ialah harapan-harapan dari

orang-orang lain dengan siapa seseorang-orang berinteraksi dan yang menjadi pedoman umum

bagi perilaku seseorang. Secara bertahap, individu belajar bertindak tidak hanya

dalam hubungan dengan harapan-harapan dari orang-orang khusus yang sedikit

jumlahnya tetapi dalam arti bagaimana individu-individu lainnya pada umumnya

mengharapkan seseorang untuk berperilaku.Hakikat mengenai diri ialah

refleksivitas, kemampuan untuk melihat diri sendiri sebagai objek mengenai

refleksi diri sendiri.15

Mead dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolis, karena pemikiranna

yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum dalam konsep pokok mengenai

“mind”, “self” dan “society”. Dia mengatakan bahwa pikiran manusia

mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan peristiwa yang dialaminya,

15 Muhammad Butyatna, Leila Mona Ganiem,

(48)

40

menerangkan asal mulanya dan meramalkannya. Pikiran manusia menerobos

dunia luar, seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya.16

Paham mengenai interaksi simbolis (symbolic interactionism) adalah suatu

cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah

memberikan banyak kontribusi kepada tradisi sosiokultural dalam membangun

teori komunikasi. Dengan menggunkan sosiologi sebagai fondasi, paham ini

mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling

membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu.

George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi

simbolis ini.Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi di antara

manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang

terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya

kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu.Menurut paham

ini masyarakat muncul dari percakapan yang saling berkaitan di antara

individu.Karena pentingnya percakapan bagi paham interaksi simbolis.17

Mead membedakan antara dua tingkat interaksi yakni isyarat dan

lambang.Blumer mengartikan tingkat-tingkat ini sebagai interaksi yang yang

nonsimbolis dan interaksi yang simbolis. Baik bagi Blumer maupun Mead

perbedaan itu sama. Suatu isyarat, atau yang bukan lambang, merupakan tindakan

implusif dan bersifat spntan, dalam arti respons refleks.Yang berupa penunjukan

diri serta penafsiran.Walaupun binatang mampu bertindak secara nonsimbolis

16 Muhamad Mufid,

Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 160. 17

(49)

41

(sudah tentu seperti manusia juga), namun hanya manusialah ang memiliki

kemampuan untuk berinteraksi secara simbolis. Seorang manusia akan

memberikan responnya kepada tindakan orang lain atas dasae makna tindakan

atau lambang.18

Menurut pandangan interaksi simbolis, makna suatu objek sosial serta sikap

dan rencana tindakan tidak merupakan sesuatu yang terisolasi satu sama lain.

Seluruh ide paham interaksi simbolis menyatukan bahwa makna muncul melalui

interaksi.Orang-orang terdekat memberikan pengaruh besar dalam

kehidupan.Mereka adalah orang-orang dengan yang memiliki hubungan dan

ikatan emosional seperti orang tua atau saudara.Mereka memperkenalkan dengan

kata-kata baru, konsep-konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang

kesemuanya memberikan pengaruh kepada kita dalam melihat realitas. Orang

terdekat membantu kita belajar membedakan antara diri kita dan orang lain

sehingga kita terus memiliki sense of self.

Konsep diri merupakan objek sosial penting yang di definisikan dan dipahami

berdasarkan jangka waktu tertentu selama interaksi antara kita dengan

orang-orang terdekat.Konsep diri anda tidak lebih dari rencana tindakan anda terhadap

diri anda, identitas anda,ketertarikan, kebencian, tujuan, ideology, serta evaluasi

diri anda. Konsep diri memberikan acuan dalam menilai objek lain. Seluruh

rencana tindakan ini berawal dari konsep diri.19

18 B Aubrey Fisher,

Teori-Teori Komunikasi,(Bandung: Remadja Karya, 1978), h.234. 19

(50)

42

2. Komunikasi interpersonal

Komunikasi interpersonal didefinisikan sebagai proses pengiriman dan

penerimaan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan

beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. dari definisi tersebut,

komunikasi antarpribadi bisa berlangsung antara dua orang yang sedang

berdua-duaan, seperti suami istri yang sedang berbincang-bincang, bisa terjadi antara dua

orang yang saling bertemu, misalnya antara mahasiswa dan dosen pembimbing

skripsinya.20

Capella mendefinisan komunikasi antarpribadi sebagai komunikasi yang

berlangsung di antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan

jelas.21

Komunikasi antarpribadi pada hakikatnya adalah interaksi antara seorang individu

dan individu lainnya tempat lambang-lambang pesan secara efektif digunakan,

terutama dalam hal komunikasi antar-manusia menggunakan bahasa.22

Komunikasi antarpribadi lebih efektif berlangsung jika berjalan secara

dialogis, yaitu anta dua orang saling menyampaikan dan memberi pesan sacara

timbal balik.Dengan komunikasi dialogis, berarti terjadi interaksi yang hidup

karena masing-masing dapat berfungsi secara bersama, baik sebagai pendengan

20

Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 4. 21 Joseph A Devito,

Komunikasi Antarmanusia, (Jakarta, Professional Books, 1997), h. 231. 22

(51)

43

maupun pembicara.Keduanya memasukkan pesan dan informasi, keduanya saling

memberi dan menerima.23

Komunikasi antarpribadi juga dibedakan berdasarkan tingkat analisis yang

digunakan untuk melakukan prediksi guna mengetahui apakah komunikasi itu

bersifat non-antarpribadi atau antarpribadi. Menurut Miller dan Stainberg seperti

dikutip dalam buku Teori Komunikasi Antarpribadi oleh Muhammad Budyatna

terdapat tiga tingkatan analisis dalam melakukan prediksi, yaitu kultural,

sosiologis dan psikologis.

a. Analisis pada tingkat kultural

Kultur merupakan keseluruhan kerangka kerja komunikasi berupa

kata-kata, tindakan, postur, gerak, nada, suara, ekspresi wajah, penggunaan

waktu dan ruang.Semuanya merupakan sistem-sistem komunikasi yang

lengkap dengan makna-makna yang hanya dapat dibaca secara tepat apabila

seorang akrab dengan perilaku dalam konteks sejarah, sosial dan kultural.

Terdapat dua kultur yang membedakannya yakni homogeneous yang artinya

apabila orang-orang disuatu kultur berperilaku kurang lebih sama dan menilai

sesuatu juga sama. Sedangkan heterogeneous yakni adanya perbedaan di

dalam pola perilaku dan nilai-nilai yang dianutnya.Jadi apabila seorang

komunikator melakukan prediksi terhadap reaksi penerima atau receiver

sebagai akibat menerima pesan dengan menggunakan dasar kultural.24

b. Analisis pada tingkat sosiologis

23 Nurani Soyomukti,

Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 143. 24

(52)

44

Analisis pada tingkat sosiologis ini apabila prediksi komunikator

tentang reaksi penerima terhadap pesan-pesan yang ia sampaikan didasarkan

kepada keanggotaan penerima di dalam kelompok sosial tertentu, maka

komunikator melakukan prediksi melalui tingkat sosiologis.25

c. Analisis pada tingkat psikologis

Pada analisis tingkat psikologis komunikator memprediksi reaksi pihak lain

atau penerima terhadap perilaku komunikasi didasarkan pada analisis dari

pengalaman-pengalaman belajar individual yang unik, maka prediksi itu

didasarkan pada tingkat psikologis.26

25 Muhammad Budyatna, dkk,

Teori Komunikasi Antarpribadi, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 3. 26

(53)

BAB III

PAPARAN DATA PENELITIAN

A. Profil Data

1. Deskripsi Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan beberapa orang yang

menjadi informan guna melengkapi data peneliti. Informan tersebut adalah dua

orang tua siswa dan dua orang siswa yang merupakan anak berkebutuhan

khusus tunarungu yaitu Chelsy dan Erlina.

a. Informan I

Nama : Rosita (Ibu Chelsy).

Ibu Rosita, berusia 45 tahun, sehari-hari ia bekerja sebagai

pegawai swasta

di salah satu perusahaan. Ia tak pernah menganggap anaknya berbeda

dengan yang lain. Ia selalu membiarkan Chelsy bergaul dengan

siapapun, hal itu dilakukannya agar chelsy tidak minder. Saat bertemu

teman-temannya ia tak pernah menyembunyikan bahwa ia mempunyai

anak berkebutuhan khusus. Ia mngakui terang-terangan, karena

meskipun Chelsy mempunyai kekurangan, ia sangat bangga, di saat anak

teman-temannya hanya bisa sekolah dan pulang, Chelsy sudah bisa

menjuarai beberapa perlombaan bahkan sudah mandiri naik pesawat

Gambar

gambar ngoten”.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Pemanfaatan penggunaan smartphone dalam proses belajar mengajar di SMA Negeri 4 Wajo, 2) Dampak penggunaan smartphone

Setelah database replikasi telah dibuat dan data dummy telah diproses masuk ke dalam database replikasi maka tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi tabel fakta dan

Sementara untuk komoditas udang, China saat ini menempati peringkat pertama produsen udang dunia dengan kapasitas produksi kurang lebih 700.000 ton per tahun, mengalahkan

Dari hasil yang diperoleh, penelitian dengan menerapkan model pembelajaran Cooperative tipe TPS ( Think-Pair-Share ) pada siswa kelas V SD Negeri 3 Karangwangi dapat

Sesuai dengan pendapat Slavin (2005:14) yang menyatakan bahwa model Cooperative Learning tipe TGT merupakan suatu model pembelajaran yang mudah diterapkan dan

field trip dibatasi pada lima aspek. Menuliskan isi karangan berdasarkan hasil pengalaman. Membuat kalimat sesuai struktur kalimat. Menulis karangan dengan menggunakan tanda baca

Dengan demikian, gagasan kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945 bukan hanya bermakna sebagai dekolonisasi formal berupa pemindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada

Adapun eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah eksperimen mengenai “metode field trip dalam meningkatkan kemampuan menulis karangan deskripsi pada peserta didik