• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran dari dampak penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran dari dampak penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

i

GAMBARAN DARI DAMPAK PENGGUNAAN METODE MATERNAL

REFLEKTIF (MMR) TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN

KOMUNIKASI PADA MURID TUNARUNGU KELAS VI SLB B

KARNNAMANOHARA YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

Memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Halida Elkhusna

NIM: 079114129

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Skripsi ini saya persembahkan untuk Mama, Papa, Suami, dan

Kakak

kakak tersayang yang selalu mendoakan dan

mendukung saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini.

(5)
(6)

vi

GAMBARAN DARI DAMPAK PENGGUNAAN METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR) TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN

KOMUNIKASI PADA MURID TUNARUNGU KELAS VI SLB B KARNNAMANOHARA YOGYAKARTA

Halida Elkhusna

ABSTRAK

Anak tunarungu mengalami kesulitan berkomunikasi karena adanya keterbatasan bahasa sehingga mereka akan menggunakan bahasa isyarat mereka sendiri untuk berkomunikasi. Metode Maternal Reflektif (MMR) merupakan salah satu metode pengajaran yang diharapkan dapat mengembangan kemampuan berbahasa anak tunarungu sehingga dapat berkomunikasi menggunakan bahasa oral. Kondisi tersebut melatarbelakangi penelitian yang berfokus pada

“bagaimana perkembangan bahasa dan komunikasi berdasarkan penggunaan Metode Maternal

Reflektif (MMR) pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta.” Fokus

utama dari penelitian ini terdiri dari: (1) bagaimana perkembangan bahasa murid tunarungu yang dilihat dari tugas, tipe, dan faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa; dan (2) bagaimana penggunaannya dalam berkomunikasi. Hal tersebut berdasarkan penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai metode pengajarannya di kelas. Penelitian ini melibatkan empat orang murid tunarungu kelas VI yang berasal dari SLB B Karnnamanohara Yogyakarta. Untuk menggambarkan situasi yang terjadi pada subjek penelitian, maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data penelitian yang dikumpulkan berupa hasil observasi, wawancara, dan data dokumentasi. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa: (1) Metode Maternal Reflektif (MMR) telah berperan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan mengenalkan bahasa oral pada murid – murid, tetapi belum optimal; (2) murid – murid hanya menggunakan bahasa oral ketika mereka sedang mengikuti pelajaran di kelas atau ketika berkomunikasi dengan guru. Namun, mereka akan menggunakan bahasa oral sambil berisyarat ketika mereka berada di luar kelas atau ketika berkomunikasi dengan teman – temannya.

(7)

vii

OVERVIEW OF THE IMPACT MATERNAL REFLECTIVE METHOD (MMR) USED TO DEVELOPMENT LANGUAGE AND

COMMUNICATION TO THE DEAF STUDENTS IN CLASS VI SLB B KARNNAMANOHARA YOGYAKARTA

Halida Elkhusna

ABSTRACT

The deaf children have difficulty to communicate due to language barrier so they will use their own sign language to communicate. Maternal Reflective Method (MMR) is a method of teaching that expected to develop proficiency in the deaf children so they can communicate using oral language. Under these conditions the background research focusing on "how the language and communication development based on Maternal Reflective Method (MMR) in the sixth grade deaf students SLB B Karnnamanohara Yogyakarta." Primary focus of this study consists of: (1) how the language development of the deaf children based on task, type, and factor that influence the language development, and (2) how its implementation in communication. It based on the use of Maternal Reflective Method (MMR) as a teaching method in the classroom. This study involved four deaf students from sixth grade SLB B Karnnamanohara Yogyakarta. To describe the situation on the subject of research, this study used a descriptive qualitative approach. The research data were collected in the form of observations, interviews, and data documentation. The result of this research are: (1) Maternal Reflective Method (MMR) has been engaged to develop language skills and to introduce oral language in the students, but yet optimal; (2) the students only using oral language as they were following the lessons in the classroom or when communicating with teachers. However, they would use oral language combined with gestures when they were out of class or when communicating with their friends.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat serta hidayah – Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini diajukan untuk

memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana, pada Program Studi

Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang

tak terhingga kepada:

1. Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., S.Psi., M.Si. sebagai pembimbing yang

selalu sabar dalam menuntun penulis untuk menyelesaikan penelitian dan

selalu memberikan pengetahuan kepada penulis.

2. Ibu Sri Kumorowati, S.Pd selaku Kepala Sekolah SLB B Karnnamanohara

Yogyakarta dan Bapak Hikmawan Cahyadi, S.Pd selaku Wali Kelas VI

yang telah memberikan ijin dan dukungan kepada penulis untuk

menyelesaikan penelitian.

3. Nadia, Lintang, Danu, dan Saifi yang telah bersedia menjadi subjek

penelitian. Terimakasih sekali yaa adik – adik baruku.

4. Mama Elmy dan Papa Agus yang selalu mendoakan dan mendukung

penulis, terutama dukungan moral dan finansial.

5. Mas Elang, Mba Vienna, Mba Nana, Mas Ical, Raefa, Fahesh, Fadia, Ayu,

Sri, dan semua keluarga yang juga mendorong penulis untuk segera

(10)

x

6. Alip Arfiyan Denata yang selalu memberikan semangat dan motivasi

kepada penulis.

7. Sahabat – sahabat penulis: Vidya, Theista, Manda, Ayu, Heni, Danang

DAL, Lily, Rani, dan Santa, serta nama – nama yang tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu atas dukungan dan bantuannya.

8. Berbagai pihak yang turut mendukung dan membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan Ilmu Psikologi,

terutama studi tentang anak luar biasa, khususnya anak tunarungu.

Yogyakarta, 22 Januari 2013

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK …..……….. vi

ABSTRACT…...……….. vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR …....……….. ix

DAFTAR ISI …...……… xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 7

C. TUJUAN PENELITIAN ... 7

D. MANFAAT PENELITIAN ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II.LANDASAN TEORI ... 9

A. ANAK TUNARUNGU ... 9

1. Pengertian Anak Tunarungu ... 9

(12)

xii

3. Karakteristik Anak Tunarungu ... 11

B. PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK TUNARUNGU ... 13

1. Pengertian Bahasa ... 13

2. Tugas – tugas Perkembangan Bahasa ... 13

3. Tipe Perkembangan Bahasa ... 14

4. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu ... 15

C. KOMUNIKASI PADA ANAK TUNARUNGU ... 15

1. Pengertian Komunikasi ... 15

2. Metode Komunikasi pada Anak Tunarungu ... 16

D. METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR) ... 17

1. Pengertian Metode Maternal Reflektif (MMR) ... 17

2. Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) ... 18

E. PENELITIAN – PENELITIAN TERDAHULU ... 19

F. DINAMIKA DAMPAK PENGGUNAAN METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR) TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN KOMUNIKASI PADA MURID TUNARUNGU ... 22

BAB III.METODE PENELITIAN ... 24

A. PENDEKATAN PENELITIAN ... 24

B. SUBJEK PENELITIAN ... 24

C. BATASAN ISTILAH ... 25

(13)

xiii

2. Komunikasi ... 25

3. Metode Maternal Reflektif (MMR) ... 26

4. Anak Tunarungu ... 25

D. METODE PENGUMPULAN DATA ... 26

1. Observasi ... 26

2. Wawancara ... 27

3. Studi Dokumentasi ... 27

E. ANALISIS DATA ... 27

1. Mengorganisasikan Data ... 28

2. Pengkodean ... 28

3. Menguji Dugaan ... 28

F. PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA ... 28

1. Kepercayaan (credibility) ... 29

2. Keteralihan (transferability) ... 29

3. Kebergantungan (dependability) ... 30

4. Kepastian (confirmability) ... 30

BAB IV. HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN KETERBATASAN PENELITIAN ... 31

A. HASIL PENELITIAN ... 31

1. Orientasi Kancah ... 31

2. Pelaksanaan Pengambilan Data ... 34

(14)

xiv

4. Metode Pengajaran Bahasa pada Murid Kelas VI SLB B

Karnnamanohara Yogyakarta ... 36

5. Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) Dalam Pengajaran Bahasa pada Murid Kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta ... 41

6. Penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) Dalam Berkomunikasi pada Murid Kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta ... 44

7. Analisis Data ... 49

B. PEMBAHASAN ... 62

C. KETERBATASAN PENELITIAN ... 72

BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. KESIMPULAN ... 73

B. SARAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN ... 80

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sesuai dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun

2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa

setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu

dan pelayanan pendidikan yang layak dan berkualitas sesuai dengan

kebutuhannya, termasuk dengan anak penyandang cacat atau anak

berkebutuhan khusus. Hal tersebut dijelaskan pada pasal 5 ayat 2 UU No.

20 Tahun 2003 yang menjamin bahwa warga negara yang memiliki

kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak

memperoleh pendidikan khusus. Pada ayat 4 juga menjamin bahwa

warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa

berhak memperoleh pendidikan khusus.

Menurut data WHO pada tahun 2007, jumlah anak penyandang

cacat atau anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7% dari total

jumlah anak usia 0 – 18 tahun atau sebesar 6.230.000 jiwa. Sebelumnya,

menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah

anak penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% atau sebanyak

1.480.000 jiwa dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 jiwa. Dari

jumlah tersebut, 24,45% atau 361.860 jiwa diantaranya adalah anak-anak

usia 0 – 18 tahun dan 21,42% atau 317.016 jiwa merupakan anak cacat

(16)

seluruh anak penyandang cacat) yang terdaftar di Sekolah Luar Biasa

(SLB). Selain itu, menurut data dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar

Biasa Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2009, jumlah anak

penyandang cacat yang bersekolah meningkat menjadi 85.645 jiwa dengan

rincian sebanyak 70.501 jiwa bersekolah di SLB (Taman Kanak – kanak

sampai Sekolah Menengah Pertama) dan sebanyak 15.144 jiwa bersekolah

di sekolah inklusif (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2010 : 10).

Salah satu jenis kecacatan yang dialami oleh anak di Indonesia

adalah tunarungu. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan

pada organ pendengarannya sehingga mengakibatkan ketidakmampuan

mendengar, mulai dari tingkatan yang ringan sampai yang berat yang

diklasifikasikan ke dalam tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).

Hallahan dan Kauffman (dalam Hernawati, 2007 : 101) mengemukakan

bahwa orang yang tuli (a deaf person) adalah orang yang mengalami

ketidakmampuan mendengar sehingga mengalami hambatan dalam

memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa

menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sementara itu, orang yang

kurang dengar (a hard of hearing person) adalah orang yang biasanya

menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukup

memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa, artinya

apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan alat bantu

dengar, maka orang tersebut masih dapat menangkap pembicaraannya

(17)

Anak tunarungu akan mengalami kesulitan dalam berbahasa

sehingga segala hal yang ingin disampaikannya menjadi sulit dimengerti

oleh orang – orang di sekitarnya. Hal tersebut disebabkan anak tunarungu

mengalami masalah dalam menghasilkan suara, memiliki kualitas suara

yang buruk, ketidakmampuan dalam membedakan nada, serta adanya

masalah yang berkaitan dengan konten dan struktur bahasa (Oyers &

Frankman, 1975 dalam Suran & Rizzo, 1979). Selain itu, anak tunarungu

juga akan mengalami kesulitan dalam memahami pembicaran oleh orang

yang mendengar.

A. Van Uden (dalam Bunawan & Yuwati, 2000 : 27) menyatakan

bahwa anak tunarungu mempunyai sifat egosentris yang lebih besar

daripada anak yang mendengar. Dunia penghayatan anak tunarungu yang

sempit membuat mereka mengalami kesulitan dalam menempatkan diri

pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta kurang menyadari efek

perilakunya terhadap orang lain. Keterbatasan yang dimiliki anak

tunarungu juga menyebabkan mereka kesulitan untuk mengadakan

interaksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Hal tersebut membuat

anak tunarungu cenderung menafsirkan sesuatu secara negatif. Anak

tunarungu menjadi kurang mandiri, menutup diri, dan bertindak agresif

karena komunikasi hanya dapat dilakukan dengan dirinya sendiri.

Keterbatasan – keterbatasan yang dialami oleh anak tunarungu

seharusnya mendapatkan perhatian yang positif dari orang lain, khususnya

(18)

tunarungu dapat dikembangkan secara optimal, mandiri, dan mampu

bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, perlu

adanya suatu metode pengajaran khusus untuk anak – anak tunarungu

untuk memperoleh kemampuan berbahasa. Namun, metode pengajaran

tersebut dapat berlangsung efektif apabila adanya komunikasi.

Komunikasi pun dapat terjadi apabila antara guru dan murid yang

tunarungu memiliki bahasa. Dengan demikian, mengenalkan dan

mengajarkan aturan – aturan bahasa untuk anak tunarungu di sekolah

harus dimulai sedini mungkin agar tingkat keberhasilannya lebih optimal

dan dapat mengembangkan kemampuan berbahasa anak tunarungu. Salah

satu bentuk metode pengajaran khusus agar mengembangkan kemampuan

bahasa anak tunarungu sehingga dapat melakukan komunikasi adalah

dengan menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR).

Metode Maternal Reflektif (MMR) merupakan metode mengajar

yang dikembangkan oleh A. Van Uden dari lembaga pendidikan anak

tunarungu St. Michielgestel Belanda. A. Van Uden (dalam Bunawan &

Yuwati, 2000 : 71 - 72) menjelaskan bahwa prinsip utama dari MMR

adalah “apa yang ingin kau katakan, katakanlah begini.” Metode ini juga

sering disebut dengan metode percakapan antara ibu dan anak (bayi).

Metode Maternal Reflektif (MMR) diharapkan dapat membantu anak

tunarungu untuk memperlancar komunikasi dengan orang lain, dapat

melatih perkembangan bicara anak, dan mengurangi penggunaan bahasa

(19)

SLB B Karnnamanohara Yogyakarta adalah suatu lembaga

pendidikan yang melayani anak – anak tunarungu dengan menggunakan

Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai metode

pengajarannya. Sekolah ini mendidik anak tunarungu sejak usia dini

(mulai usia 1,8 tahun). Pendidikan pada usia 1,8 tahun diharapkan agar

mereka dapat segera diperkenalkan dan diajarkan dengan aturan – aturan

bahasa sehingga kemampuan berbahasa mereka dapat berkembang dan

mampu berkomunikasi dengan lain.

SLB B Karnnamanohara Yogyakarta merupakan satu – satunya

sekolah khusus bagi anak tunarungu di Yogyakarta yang masih

mempertahankan penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai

metode pengajaran pada murid – murid di kelas. Menurut hasil wawancara

awal, hal tersebut dilakukan agar murid – murid tunarungu dapat

beradaptasi dan berkomunikasi seperti anak – anak yang mendengar. Pada

kenyataannya, telah banyak metode – metode pengajaran lain yang makin

berkembang, misalnya dengan metode komunikasi total atau dengan

menggunakan metode bahasa isyarat. Hampir seluruh sekolah – sekolah

khusus untuk anak tunarungu di Yogyakarta menggunakan metode

komunikasi total sebagai metode pengajarannya. Namun, penggunaan

Metode Maternal Reflektif (MMR) di SLB B Karnnamanohara

Yogyakarta dapat berperan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa

dengan mengenalkan aturan – aturan bahasa, khususnya dalam

(20)

Pelajaran Bahasa sangat penting diajarkan karena pelajaran

tersebut dapat membuat murid – muridnya memperoleh, menguasai, dan

menggunakan bahasa sehingga dapat berkomunikasi dengan orang – orang

di sekitarnya, terutama pada murid kelas VI. Hal tersebut karena murid

kelas VI merupakan kelas tertinggi pada pendidikan dasar. Murid – murid

kelas VI seharusnya telah memperoleh bahasa sehingga dapat melakukan

komunikasi menggunakan bahasa oral, baik pada guru, teman – teman,

maupun orang – orang di sekitarnya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Setiana (2011) dan Astutik

(2010), penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) telah memberikan

dampak positif terhadap kemampuan berbicara dan berkomunikasi pada

murid tunarungu. Murid tunarungu yang menjadi subjek penelitian mereka

dapat berbicara dan berkomunikasi seperti anak yang mendengar. Selain

itu, pengajaran dengan menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR)

telah dapat meningkatkan membuat konsentrasi dan prestasi murid –

murid. Meskipun demikian, penelitian – penelitian tersebut belum

menjelaskan mengenai pencapaian setiap tahapan perkembangan bahasa

dan komunikasi pada murid tunarungu dengan guru maupun teman -

temannya. Di samping itu, setiap murid akan berbeda tahap pencapaian

dalam perkembangan berbahasanya sehingga tidak semua murid memiliki

kemampuan yang sama dalam berkomunikasi secara oral. Berdasarkan

fenomena di atas, peneliti merasa tertarik untuk mendeskripsikan dampak

(21)

bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B

Karnnamanohara Yogyakarta.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,

maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana dampak

penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) terhadap perkembangan

bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B

Karnnamanohara Yogyakarta.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dampak

penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) terhadap perkembangan

bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B

Karnnamanohara Yogyakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik

secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi,

(22)

pada anak tunarungu dan Psikologi Perkembangan mengenai dampak

yang terjadi pada perkembangan kemampuan berbahasa dan

komunikasi melalui penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR)

pada murid tunarungu sebagai metode pengajarannya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan

pengetahuan mengenai gambaran secara langsung mengenai

pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) di kelas pada murid

tunarungu serta dijadikan referensi untuk mengembangkan Metode

Maternal Reflektif (MMR) sebagai metode pengajaran sehingga dapat

lebih meningkatkan kemampuan berbahasa dan komunikasi pada

(23)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A. ANAK TUNARUNGU

1. Pengertian Anak Tunarungu

Tunarungu adalah istilah umum yang digunakan untuk

menyebut kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indera

pendengaran. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh

beberapa ahli mengenai pengertian anak tunarungu.

Dwidjosumarto (dalam Somantri, 1996 : 74) mengemukakan

bahwa “Seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara

dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori

yaitu, tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).” Tuli adalah

mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf

berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sementara itu,

kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya

mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk

mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu

dengar (hearing aid).

Selain itu, Somad dan Hernawati (1996 : 27) menyatakan

bahwa anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan

atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya

(24)

pendengarannya sehingga ia tidak dapat menggunakan alat

pendengarannya dalam kehidupan sehari – hari yang membawa

dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak

tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau

kehilangan kemampuan mendengar suara yang disebabkan

adanya kerusakan pada indera pendengaran sehingga

pendengarannya tidak berfungsi lagi atau masih dapat berfungsi

mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu

dengar (hearing aid).

2. Klasifikasi Anak Tunarungu

Menurut Mangunsong (2009 : 83), klasifikasi anak tunarungu

sebagai berikut :

a. Hilangnya pendengaran yang ringan (20 – 30 dB)

Anak dengan gangguan pendengaran ini mampu berkomunikasi

dengan menggunakan pendengarannya. Gangguan ini merupakan

ambang batas (borderline) antara anak yang sulit

mendengar dengan anak normal.

b. Hilangnya pendengaran yang marginal (30 – 40 dB)

Anak dengan gangguan pendengaran ini sering mengalami

(25)

meter. Pada kelompok ini, anak – anak masih dapat menggunakan

telinganya untuk mendengar, tetapi harus dilatih.

c. Hilangnya pendengaran yang sedang (40 – 60 dB)

Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, anak – anak

ini masih dapat belajar berbicara dengan mengandalkan alat – alat

pendengarannya.

d. Hilangnya pendengaran yang berat (60 – 75 dB)

Anak – anak ini tidak dapat belajar berbicara tanpa menggunakan

teknik – teknik khusus. Pada gangguan ini, mereka sudah dianggap

sebagai 'tuli secara edukatif'. Mereka berada pada ambang batas

antara sulit mendengar dengan tuli.

e. Hilangnya pendengaran yang parah ( > 75 dB)

Anak – anak dalam kelompok ini tidak dapat belajar bahasa hanya

semata – mata dengan mengandalkan telinga, meskipun didukung

dengan alat bantu dengar.

3. Karakteristik Anak Tunarungu

Menurut Somad dan Hernawati (1996), karakteristik anak

tunarungu sebagai berikut:

a. Karakteristik dalam segi intelegensi

Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau

rata – rata, tetapi anak tunarungu akan menampakkan intelegensi

(26)

yang diverbalisasikan. Selain itu, perkembangan intelegensi anak

tunarungu tidak sama cepatnya dengan anak yang mendengar

karena mereka tidak belajar dari apa yang didengarnya sehingga

tidak berjalannya proses latihan berfikir.

b. Karakteristik dalam segi bahasa dan lisan

Kemampuan berbahasa anak tunarungu kurang dapat berkembang

karena mereka tidak mengetahui makna kata serta aturan atau

kaidah bahasanya sehingga kemampuan berbicara mereka akan

jauh tertinggal dengan anak yang mendengar. Di sisi lain,

kemampuan bicara anak tunarungu baik suara, irama, dan tekanan

suara akan terdengar monoton. Hal tersebut disebabkan kurangnya

mendapatkan umpan balik untuk mengontrol suara dan

pengucapannya sendiri melalui pendengarannya.

c. Karakteristik dalam segi emosi dan sosial

Ketunarunguan dapat anak terasing dari pergaulan atau peraturan

sosial yang berlaku dalam masyarakat tempat tinggal sehingga

akan mengakibatkan egosentrisme anak tunarungu akan melebihi

anak yang mendengar, perhatian mereka akan lebih sukar

dialihkan, tetapi mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang

lebih luas sehingga akan memunculkan sikap ketergantungan

dengan orang lain. Anak tunarungu umumnya memiliki sifat yang

polos, sederhana, dan tanpa beban. Meskipun demikian, mereka

(27)

B. PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK TUNARUNGU

1. Pengertian Bahasa

Bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau alat untuk

berkomunikasi, dalam arti alat adalah untuk menyampaikan pikiran,

gagasan, konsep, atau perasaan (Chaer & Agustina, 2010). Yusuf

(2010) juga mengungkapkan bahwa bahasa adalah kemampuan untuk

berkomunikasi dengan orang lain yang dinyatakan dalam bentuk

lambang atau simbol untuk mengungkapkan suatu pengertian dengan

menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik

muka. Selain itu, menurut Wibowo (2001), bahasa merupakan suatu

sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi yang dihasilkan

oleh alat ucap, serta bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai

sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk

melahirkan perasaan dan pikiran.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa

bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi yang

bermakna dan berartikulasi dalam bentuk lambang atau simbol untuk

mengungkapkan pikiran, gagasan, konsep, atau perasaan.

2. Tugas – tugas Perkembangan Bahasa

Dalam berbahasa, anak – anak dituntut untuk mengusai empat

(28)

satu tugas, maka ia juga dapat menguasai tugas yang lainnya (Yusuf,

2010). Keempat tugas – tugas tersebut antara lain :

a. Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang

lain.

b. Pengembangan Pembendaharaan Kata. Pembendaharaan kata

anak akan mengalami peningkatan pada usia pra-sekolah dan akan

terus meningkat setelah masuk sekolah.

c. Penyusunan Kata – kata Menjadi Kalimat, pada umumnya

berkembang sebelum usia dua tahun.

d. Ucapan. Kemampuan mengucapkan kata – kata merupakan hasil

belajar melalui imitasi terhadap suara – suara yang didengar anak

dari orang lain.

3. Tipe Perkembangan Bahasa

Menurut Yusuf (2010 : 210), ada dua tipe perkembangan

bahasa anak, yaitu :

a. Egocentric Speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri.

b. Socialized Speech, yaitu terjadi ketika berlangsungnya kontak

antara anak dengan temannya atau lingkungannya. Perkembangan

ini terbagi ke dalam lima bentuk : (a) adapted information, disini

terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang

dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap

(29)

request (permintaan), dan threat (ancaman), (d) questions

(pertanyaan), dan (e) answer (jawaban).

4. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Anak

Tunarungu

Menurut Carrol (1986 : 65), faktor mendasar yang

mempengaruhi perkembangan bahasa anak tunarungu, yaitu :

a. Tingkat kerusakan pendengaran.

b. Status pendengaran orang tua (apakah normal atau tunarungu).

c. Usia diperkenalkan pada sistem komunikasi tertentu serta

konsistensi latihan berkomunikasi.

C. KOMUNIKASI PADA ANAK TUNARUNGU

1. Pengertian Komunikasi

Secara luas, komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku

seseorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang

lain sedangkan secara sempit, komunikasi diartikan sebagai pesan yang

dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud

sadar untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima (Supratiknya,

1995 : 30).

Rogers dan Kincaid (dalam Cangara, 1998 : 20)

mengungkapkan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua

(30)

dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling

pengertian yang mendalam. Selain itu, menurut Berelson & Steiner

(dalam Mulyana, 2005 : 68), komunikasi merupakan transmisi

informasi, gagasan, emosi, keterampilan dengan menggunakan simbol

– simbol seperti, perkataan, gambar, figur, grafik, dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa

komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi, gagasan, emosi,

keterampilan dengan menggunakan simbol – simbol, seperti perkataan,

gambar, figur, grafik, dan sebagainya antara dua orang atau lebih, baik

secara verbal maupun nonverbal.

2. Metode Komunikasi pada Anak Tunarungu

Menurut Bunawan dan Yuwati (2000 : 72), metode komunikasi

bagi anak tunarungu dapat dibedakan menjadi bahasa verbal dan

bahasa manual (isyarat). Bahasa verbal dapat dibedakan antara metode

yang menggunakan media komunikasi lisan/oral, yang dikenal sebagai

metode oral, dan metode yang menggunakan media tulisan. Sementara

bahasa manual (isyarat) yang merupakan metode dengan menggunakan

gerak tangan dibedakan antara Abjad Jari (Dactylologi), Isyarat

(31)

D. METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR)

1. Pengertian Metode Maternal Reflektif (MMR)

Menurut Bunawan dan Yuwati (2000), Metode Maternal

Reflektif (MMR) adalah suatu metode pengajaran bahasa dengan

mengikuti cara – cara anak mendengar sampai pada penguasaan bahasa

ibu dengan tekanan pada berlangsungnya percakapan antara ibu dan

anak sejak bayi, tetapi bukan pada program pengajaran tentang aturan

bahasa. Selain itu, menyajikan bahasa yang sewajarnya pada anak,

baik secara ekspresif maupun represif, serta menuntun anak agar

secara bertahap mampu menemukan sendiri aturan/bentuk bahasa

melalui refleksi terhadap segala pengalaman berbahasanya.

Selanjutnya, Djatun (2007 : 34) mengemukakan bahwa Metode

Maternal Reflektif (MMR) adalah model pembelajaran untuk

meningkatkan kemampuan berbahasa yang pada gilirannya akan

meningkatkan kemampuan berkomunikasi.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa

Metode Maternal Reflektif (MMR) adalah suatu metode pengajaran

dengan menggunakan percakapan untuk meningkatkan kemampuan

berbahasa sehingga anak mampu menemukan sendiri aturan/bentuk

(32)

2. Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR)

Menurut Dewan Nasional Indonesia Kesejahteraan Sosial

(2009), pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) adalah:

a. Percakapan dari Hati ke Hati (Perdati)

Perdati adalah proses pembelajaran bahasa yang

berlangsung dalam percakapan yang wajar, saling mengungkapkan

pengalaman, pikiran, perasan, ide/gagasan murid – murid tentang

suatu topik. Kegiatan Perdati dilakukan dengan membebaskan

murid – murid untuk mengungkapkan pengalaman atau peristiwa

yang dialami oleh dirinya sendiri lalu ditanggapi oleh teman –

teman dan gurunya sehingga terjadi sebuah percakapan.

b. Percakapan Membaca Ideovisual (Percami)

Membaca ideovisual merupakan kegiatan membaca

ide/gagasan sendiri yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan

atau grafis sehingga dapat ditangkap secara visual. Kegiatan

Percami dilakukan dengan menuliskan hasil percakapan kedalam

sebuah bacaan yang telah dilakukan murid – murid di papan tulis

oleh guru. Kemudian, guru membacakan bacaan di papan tulis dan

meminta murid – murid untuk mengikutinya sampai mereka dapat

menangkap dan memahami bacaan tersebut.

c. Percakapan Membaca Transisi (Percamsi)

Percamsi merupakan strategi dan perantara antara dunia diri

(33)

diharapkan dapat memahami isi wacana mengenai pengalaman

dirinya sendiri, kelompoknya, atau orang lain yang terjadi pada

masa lampau atau yang belum terjadi. Kegiatan Percamsi

dilakukan dengan memberikan materi tentang kejadian di masa

lampau atau pengalaman orang lain dalam bentuk sebuah bacaan

yang telah dituliskan di papan tulis. Murid – murid lalu diminta

untuk membacanya sehingga mereka dapat memahami isi bacaan

tersebut.

d. Percakapan Latihan Refleksi (Perlatsi)

Perlatsi merupakan latihan mengontrol penggunaan bahasa

dengan cara mengadakan percakapan tentang isi wacana mengenai

pengalaman sendiri sehingga sistem bahasa yang benar dan yang

salah, yang mungkin atau tidak mungkin disadarinya. Kegiatan

Perlatsi antara lain dilakukan dengan meminta murid – murid

untuk memberikan tanggapan atau menjawab pertanyaan yang

diajukan oleh guru mengenai sebuah bacaan yang telah dituliskan

oleh guru di papan tulis.

E. PENELITIAN – PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian yang dilakukan oleh Setiana (2011) menyatakan bahwa

kemampuan berkomunikasi pada dua subjek tunarungu di SLB B Santi

Rama Jakarta sama seperti anak yang mendengar. Mereka mampu

(34)

serta dapat membaca ujaran. Selain itu, mereka mampu melakukan

percakapan dengan wajar dan spontan, melafalkan kata – kata dengan

artikulasi yang jelas dan mudah dipahami, serta dapat membuat kalimat

dengan baik.

Di samping itu, penelitian yang dilakukan Astutik (2010) juga

menjelaskan bahwa Metode Maternal Reflektif membuat lima subjek

tunarungu kelas III SLB B Widya Bhakti Semarang menjadi semakin aktif

berpartisipasi dalam kegiatan belajar mengajar, menumbuhkan keberanian

berbicara, bertanya, dan menanggapi percakapan orang lain, serta dapat

meningkatkan konsentrasi dan prestasi belajar.

Dari hasil penelitian – penelitian tersebut, diketahui bahwa murid –

murid tunarungu yang diajarkan menggunakan Metode Maternal Reflektif

(MMR) telah mampu untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan belajar

mengajar, misalnya merespon pertanyaan dan pernyataan secara lisan,

serta dapat membaca ujaran. Mereka juga mampu melakukan percakapan

dengan artikulasi yang jelas dan mudah dipahami. Hal tersebut membuat

mereka dapat berkomunikasi seperti anak yang mendengar. Pengajaran

dengan Metode Maternal Reflektif (MMR) juga telah dapat meningkatkan

membuat konsentrasi dan prestasi murid – murid.

Penelitian – penelitian sebelumnya secara umum bertujuan untuk

mengetahui efektivitas dalam Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai

metode pengajaran pada murid tunarungu sehingga berdampak pada

(35)

itu, menjelaskan bahwa penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR)

telah cukup efektif dan memberikan kontribusi yang positif pada

kemampuan berbicara dan komunikasi pada anak tunarungu. Namun, pada

penelitian yang pertama, subjek penelitiannya cukup terbatas, yaitu dua

murid yang dipilih secara acak dan hanya mengamati proses pelaksanaan

Metode Maternal Reflektif (MMR) di kelas. Di sisi lain, pada penelitian

yang kedua hanya mengumpulkan informasi – informasi mengenai

kemampuan berbahasa dan berkomunikasi murid – murid melalui sebuah

tes yang dilakukan sebanyak dua kali serta dari nilai hasil belajar murid –

murid. Pada penelitian kedua pun, pengamatan yang dilakukan hanya

berdasarkan keaktifan murid – murid di kelas dalam menerima pelajaran

sehingga interaksi dengan teman – temannya tidak diamati.

Sementara itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak

dalam penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) yang terhadap

perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu. Faktor yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian – penelitian sebelumnya

adalah selain untuk mengamati metode pengajaran di kelas menggunakan

Metode Maternal Reflektif (MMR) dan kemampuan berkomunikasi pada

murid tunarungu, tetapi peneliti juga ingin mengamati perkembangan

bahasanya. Penelitian ini akan menjelaskan mengenai dampak yang terjadi

dalam penggunaan Metode Maternal Reflektif terhadap perkembangan

bahasa anak tunarungu yang meliputi tugas – tugas, tipe – tipe, dan faktor

(36)

murid – murid ketika berkomunikasi dengan guru dan teman – temannya,

baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

F. DINAMIKA DAMPAK PENGGUNAAN METODE MATERNAL

REFLEKTIF (MMR) TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA

DAN KOMUNIKASI PADA MURID TUNARUNGU

Anak tunarungu mengalami gangguan pada organ pendengarannya

sehingga mengakibatkan ketidakmampuan mendengar dan kesulitan dalam

berbahasa. Meskipun mereka memiliki intelegensi normal, tetapi anak

tunarungu tidak dapat mendengar informasi dari luar, maka mereka

mengalami kelainan dalam perkembangan bahasa. Hal tersebut membuat

mereka kesulitan untuk melakukan komunikasi sehingga mereka tidak

dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, maupun pengalaman yang

dimilikinya. Selain itu, anak tunarungu masih sering menggunakan bahasa

isyarat mereka sendiri untuk berkomunikasi, padahal tidak semua orang,

khususnya orang yang mendengar dapat memahami maksud mereka.

Untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan mengatasi

hambatan komunikasi, anak tunarungu memerlukan metode pengajaran

bahasa secara teratur, agar keterbatasan bahasa yang dialami anak

tunarungu tidak menghambat kehidupan jiwa dan sosialnya. Salah satu

metode pengajaran bahasa adalah dengan menggunakan Metode Maternal

Reflektif (MMR). SLB B Karnnamanohara Yogyakarta merupakan sebuah

(37)

Metode Maternal Reflektif (MMR) dalam pengajarannya. Metode tersebut

diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berbahasa anak tunarungu

sehingga dapat menggunakan bahasa oral untuk berkomunikasi dengan

orang – orang disekitarnya.

Meskipun demikian, tidak semua murid memiliki kemampuan

yang sama untuk dapat mengikuti pelajaran dengan baik menggunakan

metode tersebut. Hal tersebut membuat murid – murid masih sering

menggunakan bahasa oral sambil berisyarat untuk berkomunikasi,

terutama ketika berkomunikasi dengan teman – teman sesama tunarungu.

Dengan demikian, dinamika yang telah dijelaskan di atas dapat

digambarkan di bawah ini :

Gambar. Perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu

kelas VI SLB B Karnnamanohara Sebelum menerapkan

MMR: Murid – murid masih menggunakan bahasa

isyarat.

Sesudah menerapkan

MMR: Menggunakan bahasa oral meskipun sambil

(38)

24 BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Bungin

(2007 : 68) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif kualitatif bertujuan

untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi,

atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang

menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas tersebut ke

permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, mode, tanda, atau gambaran

tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif karena

peneliti mendeskripsikan perkembangan bahasa dengan menggunakan

Metode Maternal Reflektif (MMR) yang ditinjau dari tugas, tipe, faktor

perkembangan bahasa anak, dan penggunaanya dalam komunikasi sehari –

hari pada murid – murid tunarungu.

B. SUBJEK PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa B Karnnamanohara,

Yogyakarta. Subjek penelitian adalah murid – murid kelas VI SLB B

Karnnamanohara, Yogyakarta. Hal tersebut karena murid kelas VI

merupakan kelas tertinggi pada pendidikan dasar. Murid – murid kelas VI

(39)

berkomunikasi, baik pada guru, teman – teman, maupun orang – orang

disekitarnya.

C. BATASAN ISTILAH

1. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa anak dalam penelitian ini terdiri dari tugas

perkembangan bahasa dan tipe perkembangan bahasa. Tugas

perkembangan bahasa merupakan tugas – tugas pokok yang saling

berkaitan dalam berbahasa yang menuntut anak – anak untuk dapat

menguasai tugas – tugas tersebut, yaitu tahapan pemahaman,

pengembangan pembendaharaan kata, penyusunan kata – kata menjadi

kalimat, dan ucapan. Sedangkan tipe perkembangan bahasa dibagi

menjadi egocentric speech, yaitu kegiatan anak yang berbicara dengan

dirinya sendiri (monolog) dan socialized speech yang terjadi ketika

adanya kontak antara anak dengan lingkungannya.

2. Komunikasi

Komunikasi merupakan suatu proses pertukaran informasi, gagasan,

atau emosi antara dua orang atau lebih, baik secara verbal atau

nonverbal. Dalam penelitian ini, komunikasi tersebut terjadi antara

murid – murid, baik dengan guru, teman sekelas, maupun teman dari

kelas lain selama berada di dalam dan di luar kelas. Komunikasi

tersebut dapat berupa bahasa oral, bahasa oral sambil berisyarat,

(40)

3. Metode Maternal Reflektif (MMR)

Metode Maternal Reflektif (MMR) merupakan suatu metode

pengajaran dengan menggunakan percakapan untuk meningkatkan

kemampuan berbahasa anak. Dalam penelitian ini, guru selalu

menggunakan bahasa oral dan menerapkan langkah – langkah yang

telah disesuaikan dengan pelaksanaan MMR ketika mengajarkan

pelajaran Bahasa.

4. Anak Tunarungu

Anak tunarungu merupakan anak yang mengalami kekurangan atau

keidakmampuan dalam mendengar suara. Dalam penelitian ini,

subjek penelitian merupakan murid – murid yang termasuk dalam

kategori hilangnya pendengaran yang marginal dan sedang.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Menurut Hasan (2002 : 86 – 88), pengumpulan data dapat

dilakukan dengan menggunakan lima teknik, antara lain angket

(kuesioner), wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan analisis isi.

Peneliti menggunakan tiga teknik dalam pengumpulan data, yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan

pengodean serangkaian perilaku dan suasana yang berkenaan dengan

organisme sesuai dengan tujuan – tujuan empiris. Observasi yang

(41)

murid – murid di dalam dan di luar kelas selama dan setelah proses

belajar mengajar.

2. Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan

mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara dengan

responden, dan jawaban – jawaban responden dicatat atau direkam.

Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini adalah wawancara

semi terstruktur untuk melengkapi data observasi.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak

langsung ditujukan pada subjek penelitian, tetapi melalui dokumen.

Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa rekaman

video dan foto selama proses belajar mengajar berlangsung. Hal

tersebut dilakukan untuk mengamati kesesuaian dengan hasil

observasi.

E. ANALISIS DATA

Menurut Patton (dalam Hasan, 2002 : 97), analisis data adalah

proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,

kategori, dan satuan uraian dasar.

Menurut Poerwandari (2005), langkah – langkah dalam

(42)

1. Mengorganisasikan Data

Data yang telah diperoleh yaitu, berupa hasil observasi,

wawancara, dan dokumentasi, selanjutnya disusun secara sistematis,

rapi, dan selengkap mungkin.

2. Pengkodean

Langkah berikutnya adalah membubuhkan kode – kode pada

data yang telah diperoleh agar data dapat lebih terorganisir dan

sistematis sehingga dapat memunculkan gambaran tentang topik yang

akan diteliti.

3. Menguji Dugaan

Setelah topik penelitian ditemukan maka, akan memunculkan

dugaan – dugaan yang merupakan kesimpulan sementara dari data –

data yang telah diperoleh. Kemudian, dilakukan perbandingan antara

teori – teori yang telah didapatkan sebelumnya sehingga dapat

mempertajam temuan data.

F. PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA

Menurut Moleong (2006), dalam menetapkan keabsahan data

diperlukan teknik pemeriksaan data yang dilakukan atas empat kriteria,

(43)

1. Kepercayaan (credibility)

Kepercayaan berfungsi untuk membuktikan kesesuaian antara

hasil – hasil penemuan dengan kenyataan yang sedang diteliti. Oleh

karena itu, peneliti melakukan teknik triangulasi data

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2005), untuk meningkatkan

kepercayaan penelitian kualitatif adalah dengan melakukan triangulasi.

Triangulasi dapat dibedakan menjadi empat macam, anatara lain

triangulasi data, peneliti, teori, dan metode. Peneliti menggunakan dua

triangulasi, yaitu:

a. Triangulasi data

Menggunakan sumber data yang berbeda – beda, misalnya

menggunakan catatan lapangan (observasi), wawancara dengan

guru, dan dokumentasi.

b. Triangulasi metode

Menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda,

misalnya metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.

2. Keteralihan (transferability)

Keteralihan berfungsi untuk menyamakan konteks antara

pengirim dan penerima pada suatu bentuk persoalan empiris. Dengan

demikian, peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian

empiris tentang kesamaan konteks berupa data deskriptif secukupnya.

(44)

menyamakan dengan hasil wawancara dengan guru mengenai perilaku

dan pencapaian murid – murid dalam menerima pelajaran di kelas.

3. Kebergantungan (dependability)

Kebergantungan berfungsi untuk menghindari kesalahan dalam

mengolah data hasil penelitian. Oleh karena itu, pentingnya mengulang

pengambilan data dalam suatu kondisi yang sama. Peneliti melakukan

observasi sebanyak enam kali dan dua kali wawancara.

4. Kepastian (confirmability)

Kepastian berfungsi untuk menekankan penelitian ilmiah bukan

pada kesepakatan atau pendapat orang seorang, melainkan pada data

dari hasil penelitian. oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh

peneliti sepenuhnya berdasarkan hasil observasi di lapangan yang

(45)

31 BAB IV

HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN KETERBATASAN

PENELITIAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Orientasi Kancah

Pada tanggal 23 Februari 1999, sebuah lembaga pendidikan

bagi penyandang tunarungu usia dini didirikan oleh Yayasan

Tunarungu Yogyakarta di daerah Pakem, Sleman. Lembaga tersebut

lalu ditetapkan sebagai Biro Konsultasi Tunarungu yang telah melatih

tiga anak tunarungu. Kemudian, orangtua dari ketiga anak tersebut

meminta agar biro konsultasi tersebut menjadi sekolah khusus bagi

anak tunarungu. Yayasan Tunarungu Yogyakarta pun mengabulkan

permohonan tersebut dan menfasilitasi perintisan sekolah yang

akhirnya diberi nama SLB B Karnnamanohara dengan meminjamkan

tempat untuk kegiatan belajar mengajar. Sekarang, SLB B

Karnnamanohara terletak di Jalan Pandean 2 Gang Wulung,

Codongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta.

SLB B Karnnamanohara Yogyakarta menggunakan metode

pengajaran dengan Metode Maternal Reflektif (MMR) yang diadaptasi

dari SLB B Santi Rama Jakarta. Metode Maternal Reflektif (MMR)

merupakan metode yang menekankan pentingnya percakapan

(46)

isyarat agar murid – murid dapat memahami bahasa oral sehingga

mereka dapat berkomunikasi seperti anak yang mendengar. Namun,

SLB B Karnnamanohara hanya menerima anak tunarungu dengan

kategori normal atau tidak mengalami gangguan lain melalui tes

pendengaran dan tes intelegensi.

Sistem layanan yang diberikan SLB B Karnnamanohara (dalam

Brosur Sekolah) adalah sebagai berikut :

a. Play Group (Kelas Latihan)

1) Play Grop A merupakan kelompok anak – anak yang berusia

antara 3 – 4 tahun atau yang telah dapat duduk tenang dan

konsentrasi mata terbentuk untuk belajar. Play Group A

dimulai pada pukul 08.00 – 11.00 WIB dari hari Senin sampai

Jumat.

2) Play Grop B merupakan kelompok anak – anak yang berusia

antara 1,8 – 3 tahun atau yang telah lolos observasi, belum

dapat duduk tenang, konsentrasi mata belum terbentuk untuk

belajar. Play Group B dimulai pada pukul 13.00 – 15.00 WIB

dari hari Senin sampai Jumat.

b. Kelompok Taman Kanak – Kanak

1) TK 1 (usia 4 – 5 tahun) adalah anak – anak yang telah lulus dari

Play Group B. Program pembelajaran masih berfokus pada

bahasa (berbicara, menulis, dan membaca) pada taraf

(47)

2) TK 2 (usia 5 – 6 tahun) adalah anak – anak yang telah

menyelesaikan program di TK 1. Program pembelajaran masih

berfokus pada bahasa (berbicara, menulis, dan membaca) pada

taraf membaca teknik, pemahaman, dan berhitung.

3) TK 3 (usia 6 – 7 tahun) adalah anak – anak yang telah

menyelesaikan program TK 2. Program pembelajaran fokus

pada bahasa (berbicara, menulis, dan membaca) pada taraf

membaca teknik, pemahaman, dan berhitung.

Kelompok TK 1, 2, dan 3 dimulai pada pukul 08.00 – 15.00 WIB

dari hari Senin sampai Jumat.

c. Sekolah Dasar

1) Sekolah Dasar Kecil untuk kelompok kelas I – III. Kemampuan

berbahasa pada kelompok ini masih dalam lingkup diri sendiri.

2) Sekolah Dasar Tengah untuk kelompok kelas IV – V.

Kemampuan berbahasa pada kelompok ini masih transisi antara

pengalaman diri dan pengalaman orang lain. Namun, telah

dapat membaca dan memahami bacaan.

3) Sekolah Dasar Besar untuk kelompok kelas VI. Kelompok ini

telah mengalami penguasaan membaca, memaknai, dan

mempersepsi bacaan.

d. Sekolah Menengah Pertama

Pada kelompok ini, anak – anak tidak hanya dibekali

(48)

hidup. Keterampilan tersebut meliputi pengolahan hasil pertanian

dan peternakan. Tujuannya adalah untuk memberikan pembiasaan

hidup yang terampil, kreatif, dan menggunakan peluang.

2. Pelaksanaan Pengambilan Data

Tabel

Pelaksanaan Pengambilan Data

Tanggal Waktu Kegiatan

12 September 2011 08.00 – 09.15 WIB Observasi, Wawancara,

dan Dokumentasi.

19 September 2011 08.00 – 10.30 WIB Observasi, Wawancara,

dan Dokumentasi.

6 Oktober 2011 08.00 – 10.30 WIB Observasi.

21 November 2011 08.00 – 10.30 WIB Observasi dan

Dokumentasi.

24 November 2011 08.00 – 10.30 WIB Observasi.

1 Desember 2011 10.30 – 11.30 WIB Observasi.

3. Subjek Penelitian

Subjek 1

Inisial : NA

Usia : 12 tahun

(49)

Klasifikasi ketunarunguan : Kehilangan pendengaran marginal

Subjek 2

Inisial : LI

Usia : 12 tahun

Masuk kelas Latihan : 2 tahun

Klasifikasi ketunarunguan : Kehilangan pendengaran sedang

Riwayat kesehatan : Awalnya LI termasuk anak yang

mengalami gangguan pendengaran

marginal. Namun, ketika kelas I LI

mengalami gangguan pada matanya dan

harus dioperasi. Hal tersebut makin

mempengaruhi gangguan pada

pendengaran LI sehingga LI

diklasifikasikan menjadi anak yang

mengalami kehilangan pendengaran

sedang. Selain itu, LI mengalami

kemunduran dalam mengikuti pelajaran.

Hal ini dikarenakan LI tertinggal

pelajaran beberapa bulan selama proses

penyembuhan operasi mata yang

(50)

Subjek 3

Inisial : DA

Usia : 13 tahun

Masuk kelas Latihan : 3 tahun

Klasifikasi ketunarunguan : Kehilangan pendengaran marginal

Subjek 4

Inisial : SA

Usia : 14 tahun

Masuk kelas Latihan : 4 tahun

Klasifikasi ketunarunguan : Kehilangan pendengaran marginal

4. Metode Pengajaran Bahasa pada Murid Kelas VI SLB B

Karnnamanohara Yogyakarta

Menurut hasil observasi di kelas, diketahui bahwa metode

pengajaran Bahasa di kelas sebagai berikut :

a. Guru membuka percakapan dengan murid – muridnya

(mp1.kdk.1).

b. Guru membebaskan murid – murid untuk melanjutkan

percakapan (mp1.kdk.2).

c. Guru membantu murid – murid dalam mengutarakan

(51)

d. Guru menuliskan sebuah bacaan di papan tulis yang sesuai

dengan hasil percakapan murid – murid (mp1.kdk.4).

e. Guru membacakan bacaan di papan tulis dan menyuruh murid

– murid mengulanginya lalu mengulangi tanpa bantuan guru

(mp1.kdk.5).

f. Guru memberikan pertanyaan atau menyuruh murid –

muridnya untuk membuat kalimat yang sesuai dengan bacaan

yang telah dituliskan di papan tulis (mp1.kdk.6).

g. Terkadang, guru memberikan materi yang berasal dari hasil

percakapan kelas lain pada waktu yang telah lalu (mp1.kdk.7).

h. Guru selalu berusaha untuk membuat murid – muridnya untuk

aktif mengutarakan pendapat atau menjawab pertanyaan yang

telah diberikan (mp1.kdk.8).

Metode pengajaran Bahasa oleh guru di kelas yang telah

disebutkan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, guru selalu diawali dengan membiasakan murid –

muridnya untuk berdoa bersama dan mengucapkan salam (sm1.kdk.1).

Guru lalu membuka percakapan dengan murid – muridnya mengenai

pengalaman, peristiwa, atau kejadian yang ada disekitar mereka

(mp1.kdk.1). Kedua, guru membebaskan murid – muridnya untuk

mengembangkan percakapan tersebut dengan saling bertanya satu

sama lain (mp1.kdk.2). Ketiga, guru pun tak segan untuk membantu

(52)

ingin disampaikan oleh murid – muridnya (mp1.kdk.3). Meskipun tak

jarang, guru juga kesulitan untuk memahami maksud yang ingin

disampaikan oleh murid – muridnya sehingga guru meminta bantuan

pada salah satu murid yang mampu menyampaikannya pada guru

(m1.kdk.11).

Keempat, setelah percakapan berlangsung, guru lalu

menuliskan hasil percakapan antara guru dengan murid – muridnya

maupun antara murid yang satu dengan murid yang lain menjadi

sebuah bacaan di papan tulis (mp1.kdk.4) (Foto 01). Terkadang, guru

menambahkan beberapa percakapan yang mendukung. Kelima, guru

membacakan bacaan tersebut sesuai dengan lengkung frase yang telah

dibuat oleh guru dan menyuruh murid – murid untuk mengulanginya

bersama – sama (mp1.kdk.5) (Foto 02). Guru membacakan bacaan

tersebut secara perlahan dan jelas agar murid – murid dapat

mengucapkannya dengan benar. Guru pun menyuruh murid –

muridnya untuk mengulangi bacaan tersebut secara bersama – sama

tanpa bantuan dari guru. Keenam, guru menyuruh murid – muridnya

untuk membuat kalimat yang telah ditentukan guru yang sesuai dengan

bacaan tersebut (mp1.kdk.6). Sebelumnya, guru memberikan sebuah

contoh kalimat terlebih dahulu. Guru lalu menyuruh murid – muridnya

untuk membuat kalimat secara lisan secara bergantian. Kemudian,

menyuruh mereka untuk menuliskannya di papan tulis (mp1.kdk.8)

(53)

Guru lalu menyuruh murid – muridnya untuk meneruskan

membuat beberapa kalimat di buku mereka masing – masing. Guru

pun membebaskan murid – muridnya untuk bertanya satu sama lain

dalam pembuatan kalimat. Terkadang, selama murid – murid

mengerjakan tugasnya, guru kembali menuliskan beberapa pertanyaan

yang sesuai dengan bacaan yang telah dituliskannya di papan tulis.

Kemudian, murid – murid diminta untuk menjawabnya (mp1.kdk.6).

Namun terkadang, guru kembali menuliskan bacaan yang lain di papan

tulis, tetapi dengan tema yang tidak jauh berbeda dari bacaan

sebelumnya. Selain itu, guru juga terkadang menggunakan materi yang

berasal dari hasil percakapan kelas lain pada waktu yang telah lalu

(mp1.kdk.7).

Setelah murid – murid selesai menulis, guru kembali menyuruh

murid – muridnya untuk membaca bacaan di papan tulis secara

bersama – sama. Terkadang, tanpa bantuan dari guru untuk

membacakannya terlebih dahulu. Guru lalu memberikan beberapa

pertanyaan yang sesuai dengan bacaan secara lisan dan menyuruh

murid – murid untuk menjawabnya. Guru pun menyuruh murid –

muridnya untuk maju ke papan tulis dan menunjukkan kalimat yang

merupakan jawaban atas pertanyaan guru .

Terakhir, guru selalu berusaha agar setiap muridnya untuk aktif

merespon setiap pertanyaan guru (mp1.kdk.8). Awalnya, guru tidak

(54)

yang secara sukarela untuk menjawabnya. Namun, apabila tidak ada

satu pun murid yang mau menjawab, guru lalu menunjuk murid –

muridnya untuk menjawab secara bergantian dengan pertanyaan yang

berbeda. Kemudian, guru menyuruh murid – muridnya untuk

menuliskan bacaan tersebut di buku mereka masing – masing. Guru

juga menentukan buku yang berbeda untuk menuliskan bacaan,

menuliskan kalimat, maupun untuk menuliskan pertanyaan.

Selain itu, menurut hasil wawancara dengan guru (WWC 1),

pencapaian yang diharapkan dari metode pengajaran dengan

menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR) adalah agar murid –

muridnya dapat mengenali pengalaman, peristiwa, atau kejadian yang

terjadi, baik pada diri mereka ataupun dari luar diri mereka. Metode ini

juga diharapkan dapat membuat murid – murid mampu menyebutkan

kembali kalimat atau mengucapkan kalimat dan menuliskan kalimat.

Selain itu, murid – murid diharapkan dapat memahami dan mengulangi

cerita dari bacaan yang telah dituliskan di papan tulis agar dapat

menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru serta memiliki

kemampuan untuk mengulangi ucapan dari guru maupun teman –

(55)

5. Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) dalam

Pengajaran Bahasa pada Murid Kelas VI SLB B

Karnnamanohara Yogyakarta

a. Pelaksanaan percakapan dari hati ke hati (Perdati)

Menurut hasil observasi yang dilakukan di kelas pada saat

pelajaran Bahasa mengenai pelaksanaan percakapan dari hati ke

hati (Perdati), dapat diketahui bahwa materi pembelajaran tidak

dipersiapkan oleh guru sepenuhnya. Materi yang diberikan

merupakan pengalaman, peristiwa, atau kejadian yang dialami oleh

murid – muridnya. Guru hanya memulai untuk membuka

percakapan dan percakapan selanjutnya diserahkan pada murid –

muridnya (OBS I, OBS II, dan OBS IV). Murid – murid bebas

mengutarakan segala bentuk pertanyaan dan pernyataan pada

murid yang lain, baik dengan menggunakan bahasa oral maupun

bahasa isyarat. Namun terkadang, guru juga membantu murid –

muridnya yang kesulitan untuk kembali memulai percakapan atau

memahami pertanyaan maupun pernyataan dari murid yang lain.

Setelah percakapan dirasa telah cukup maka, kegiatan selanjutnya

adalah membuat percakapan menjadi sebuah tulisan dalam bentuk

bacaan di papan tulis. Pelaksanaan Perdati merupakan upaya guru

untuk mengembangkan proses perolehan bahasa murid – murid dan

(56)

b. Pelaksanaan percakapan membaca ideovisual (Percami)

Menurut hasil observasi yang dilakukan di kelas pada saat

pelajaran Bahasa mengenai pelaksanaan percakapan membaca

ideovisual (Percami) dapat diketahui bahwa guru membacakan

bacaan yang telah dituliskan di papan tulis sesuai dengan lengkung

frase yang telah dibuat oleh guru lalu menyuruh murid – murid

untuk mengulanginya. Lengkung frase dilakukan dengan cara

memenggal kelompok kata dalam kalimat dan berguna untuk

membantu murid – murid agar dapat membaca secara berirama.

Kemudian, guru menyuruh siswa untuk mengulangi membaca

bacaan tersebut tanpa bantuan guru (OBS I, OBS II, OBS III, dan

OBS IV). Guru lalu memberikan pertanyaan mengenai bacaan

tersebut dan menyuruh murid – muridnya untuk menunjukkan

kalimat yang dalam bacaan sesuai dengan jawaban mereka (OBS

II). Pelaksanaan Percami merupakan upaya guru untuk

mengembangkan kemampuan berbahasa murid – murid agar dapat

menangkap dan memahami suatu bacaan.

c. Pelaksanaan percakapan membaca transisi (Percamsi)

Menurut hasil observasi yang dilakukan di kelas pada saat

pelajaran Bahasa mengenai pelaksanaan percakapan membaca

transisi (Percamsi), dapat diketahui bahwa materi yang diberikan

oleh guru adalah berasal dari hasil percakapan kelas lain pada

(57)

Murid – murid tetap diminta untuk membacanya agar mereka dapat

memahami isi bacaan tersebut dengan dan tanpa bantuan dari guru.

Kemudian, guru memberikan pertanyaan mengenai keterangan

waktu yang terdapat dalam bacaan. Guru lalu mengaitkan waktu

yang terdapat dalam bacaan dengan waktu terjadinya percakapan

untuk memperjelas mengenai konsep waktu yang telah lampau

(OBS III). Pelaksanaan Percamsi merupakan upaya guru untuk

membantu murid – muridnya memahami dunia orang lain dan

menjelaskan pada mereka tentang konsep waktu lampau.

d. Pelaksanaan percakapan latihan refleksi (Perlatsi)

Menurut hasil observasi yang dilakukan di kelas pada saat

pelajaran Bahasa mengenai pelaksanaan percakapan latihan

refleksi (Perlatsi), dapat diketahui bahwa kegiatan ini dilakukan

guru dengan cara meminta murid – muridnya untuk membuat

kalimat atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru atau

yang terdapat dalam bacaan, lalu menunjukkan kalimat yang

menjadi jawabannya. Selain itu, murid – murid diminta untuk

mengutarakan pendapat maupun pertanyaan pada guru atau teman

– temannya. (OBS I, OBS II, OBS III, OBS IV, dan OBS V).

Pelaksanaan Perlatsi merupakan upaya guru untuk membuat murid

– muridnya aktif mengutarakan pendapat atau menjawab

(58)

6. Penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) dalam

Berkomunikasi pada Murid Kelas VI SLB B Karnnamanohara

Yogyakarta

Menurut observasi yang dilakukan di kelas pada tanggal 12 dan

19 September, 6 Oktober, serta 21 dan 24 November 2011 serta 1

Desember 2011 pada NA, LI, DA, dan SA, dapat diketahui bahwa

penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) dalam berkomunikasi

pada murid – murid kelas VI SLB B Karnnamanohara adalah sebagai

berikut :

a. Di dalam kelas

1) NA

NA menggunakan bahasa oral dalam merespon

pertanyaan dari guru dan dalam mengungkapkan

pertanyaan maupun pernyataannya (m1.kdk.1). Terkadang,

NA mengalami kesulitan dalam merespon pertanyaan dari

guru (m1.kdk.4). Namun, dalam berkomunikasi dengan

teman – temannya, NA menggunakan bahasa oral sambil

berisyarat dengan menggunakan tangannya (m1.kdk.2). NA

juga telah cukup menguasai beberapa arti kata (m1.kdk.10a

& b). Di sisi lain, NA dapat membantu guru dalam

mengungkapkan kata – kata atau memperjelas pertanyaan

dan pernyataan dari teman – temannya yang kurang

(59)

teman – temannya dalam mengeja sebuah kata (m1.kdk.12)

(Foto 04) maupun membantu dalam merespon pertanyaan

dari guru (m1.kdk.13).

2) LI

LI menggunakan bahasa oral sambil berisyarat

dengan tangan maupun ekspresi wajahnya dalam merespon

pertanyaan dari guru dan teman – temannya (m2.kdk.1).

Terkadang, ketika mengungkapkan pertanyaan (m2.kdk.3)

atau melakukan percakapan dengan teman – temannya

(m2.kdk.2), LI lebih sering menggunakan bahasa isyarat.

Meskipun demikian, LI masih mengalami kesulitan dalam

memahami dan merespon pertanyaan dari guru maupun

teman – temannya (m2.kdk.4). Di samping itu, LI

mengalami kesulitan dalam mengucapkan (m2.kdk.6),

mengulangi (m2.kdk.7), mengeja, maupun menuliskan

(m2.kdk.8) sebuah kata atau kalimat. LI juga masih

mengalami kesulitan dalam membuat sebuah kalimat

(m2.kdk.9).

3) DA

DA menggunakan bahasa oral dalam merespon

pertanyaan dari guru serta dalam mengungkapkan

pertanyaan dan pernyataan (m3.kdk.1). Meskipun

Gambar

Gambar. Perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu
Tabel Pelaksanaan Pengambilan Data
Gambar. Kesimpulan tiap subjek dan kesimpulan akhir

Referensi

Dokumen terkait

a) Kebijakan dividen yang diproksikan dengan variabel Dividend Payout Ratio (DPR) secara parsial memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap nilai

Pada bagian Dasar Hukum disebutkan bahwa UU tersebut di antaranya mengacu kepada Pasal 27 jo 38 UUD Sementara 1950. Dalam satu kesatuan kedua pasal itu beserta penjelasan

field trip dibatasi pada lima aspek. Menuliskan isi karangan berdasarkan hasil pengalaman. Membuat kalimat sesuai struktur kalimat. Menulis karangan dengan menggunakan tanda baca

Dengan demikian, gagasan kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945 bukan hanya bermakna sebagai dekolonisasi formal berupa pemindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada

Adapun eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah eksperimen mengenai “metode field trip dalam meningkatkan kemampuan menulis karangan deskripsi pada peserta didik

Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran, dan kesadaran adalah suara hati nurani. Dalam kehidupan, manusia selalu dikehendaki dengan baik dan

Setelah database replikasi telah dibuat dan data dummy telah diproses masuk ke dalam database replikasi maka tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi tabel fakta dan

Sementara untuk komoditas udang, China saat ini menempati peringkat pertama produsen udang dunia dengan kapasitas produksi kurang lebih 700.000 ton per tahun, mengalahkan