i
GAMBARAN DARI DAMPAK PENGGUNAAN METODE MATERNAL
REFLEKTIF (MMR) TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN
KOMUNIKASI PADA MURID TUNARUNGU KELAS VI SLB B
KARNNAMANOHARA YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
Memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Halida Elkhusna
NIM: 079114129
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Skripsi ini saya persembahkan untuk Mama, Papa, Suami, dan
Kakak
–
kakak tersayang yang selalu mendoakan dan
mendukung saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini.
vi
GAMBARAN DARI DAMPAK PENGGUNAAN METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR) TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN
KOMUNIKASI PADA MURID TUNARUNGU KELAS VI SLB B KARNNAMANOHARA YOGYAKARTA
Halida Elkhusna
ABSTRAK
Anak tunarungu mengalami kesulitan berkomunikasi karena adanya keterbatasan bahasa sehingga mereka akan menggunakan bahasa isyarat mereka sendiri untuk berkomunikasi. Metode Maternal Reflektif (MMR) merupakan salah satu metode pengajaran yang diharapkan dapat mengembangan kemampuan berbahasa anak tunarungu sehingga dapat berkomunikasi menggunakan bahasa oral. Kondisi tersebut melatarbelakangi penelitian yang berfokus pada
“bagaimana perkembangan bahasa dan komunikasi berdasarkan penggunaan Metode Maternal
Reflektif (MMR) pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta.” Fokus
utama dari penelitian ini terdiri dari: (1) bagaimana perkembangan bahasa murid tunarungu yang dilihat dari tugas, tipe, dan faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa; dan (2) bagaimana penggunaannya dalam berkomunikasi. Hal tersebut berdasarkan penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai metode pengajarannya di kelas. Penelitian ini melibatkan empat orang murid tunarungu kelas VI yang berasal dari SLB B Karnnamanohara Yogyakarta. Untuk menggambarkan situasi yang terjadi pada subjek penelitian, maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data penelitian yang dikumpulkan berupa hasil observasi, wawancara, dan data dokumentasi. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa: (1) Metode Maternal Reflektif (MMR) telah berperan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan mengenalkan bahasa oral pada murid – murid, tetapi belum optimal; (2) murid – murid hanya menggunakan bahasa oral ketika mereka sedang mengikuti pelajaran di kelas atau ketika berkomunikasi dengan guru. Namun, mereka akan menggunakan bahasa oral sambil berisyarat ketika mereka berada di luar kelas atau ketika berkomunikasi dengan teman – temannya.
vii
OVERVIEW OF THE IMPACT MATERNAL REFLECTIVE METHOD (MMR) USED TO DEVELOPMENT LANGUAGE AND
COMMUNICATION TO THE DEAF STUDENTS IN CLASS VI SLB B KARNNAMANOHARA YOGYAKARTA
Halida Elkhusna
ABSTRACT
The deaf children have difficulty to communicate due to language barrier so they will use their own sign language to communicate. Maternal Reflective Method (MMR) is a method of teaching that expected to develop proficiency in the deaf children so they can communicate using oral language. Under these conditions the background research focusing on "how the language and communication development based on Maternal Reflective Method (MMR) in the sixth grade deaf students SLB B Karnnamanohara Yogyakarta." Primary focus of this study consists of: (1) how the language development of the deaf children based on task, type, and factor that influence the language development, and (2) how its implementation in communication. It based on the use of Maternal Reflective Method (MMR) as a teaching method in the classroom. This study involved four deaf students from sixth grade SLB B Karnnamanohara Yogyakarta. To describe the situation on the subject of research, this study used a descriptive qualitative approach. The research data were collected in the form of observations, interviews, and data documentation. The result of this research are: (1) Maternal Reflective Method (MMR) has been engaged to develop language skills and to introduce oral language in the students, but yet optimal; (2) the students only using oral language as they were following the lessons in the classroom or when communicating with teachers. However, they would use oral language combined with gestures when they were out of class or when communicating with their friends.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat serta hidayah – Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana, pada Program Studi
Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang
tak terhingga kepada:
1. Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., S.Psi., M.Si. sebagai pembimbing yang
selalu sabar dalam menuntun penulis untuk menyelesaikan penelitian dan
selalu memberikan pengetahuan kepada penulis.
2. Ibu Sri Kumorowati, S.Pd selaku Kepala Sekolah SLB B Karnnamanohara
Yogyakarta dan Bapak Hikmawan Cahyadi, S.Pd selaku Wali Kelas VI
yang telah memberikan ijin dan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan penelitian.
3. Nadia, Lintang, Danu, dan Saifi yang telah bersedia menjadi subjek
penelitian. Terimakasih sekali yaa adik – adik baruku.
4. Mama Elmy dan Papa Agus yang selalu mendoakan dan mendukung
penulis, terutama dukungan moral dan finansial.
5. Mas Elang, Mba Vienna, Mba Nana, Mas Ical, Raefa, Fahesh, Fadia, Ayu,
Sri, dan semua keluarga yang juga mendorong penulis untuk segera
x
6. Alip Arfiyan Denata yang selalu memberikan semangat dan motivasi
kepada penulis.
7. Sahabat – sahabat penulis: Vidya, Theista, Manda, Ayu, Heni, Danang
DAL, Lily, Rani, dan Santa, serta nama – nama yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu atas dukungan dan bantuannya.
8. Berbagai pihak yang turut mendukung dan membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan Ilmu Psikologi,
terutama studi tentang anak luar biasa, khususnya anak tunarungu.
Yogyakarta, 22 Januari 2013
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK …..……….. vi
ABSTRACT…...……….. vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR …....……….. ix
DAFTAR ISI …...……… xi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 7
C. TUJUAN PENELITIAN ... 7
D. MANFAAT PENELITIAN ... 7
1. Manfaat Teoritis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II.LANDASAN TEORI ... 9
A. ANAK TUNARUNGU ... 9
1. Pengertian Anak Tunarungu ... 9
xii
3. Karakteristik Anak Tunarungu ... 11
B. PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK TUNARUNGU ... 13
1. Pengertian Bahasa ... 13
2. Tugas – tugas Perkembangan Bahasa ... 13
3. Tipe Perkembangan Bahasa ... 14
4. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu ... 15
C. KOMUNIKASI PADA ANAK TUNARUNGU ... 15
1. Pengertian Komunikasi ... 15
2. Metode Komunikasi pada Anak Tunarungu ... 16
D. METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR) ... 17
1. Pengertian Metode Maternal Reflektif (MMR) ... 17
2. Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) ... 18
E. PENELITIAN – PENELITIAN TERDAHULU ... 19
F. DINAMIKA DAMPAK PENGGUNAAN METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR) TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN KOMUNIKASI PADA MURID TUNARUNGU ... 22
BAB III.METODE PENELITIAN ... 24
A. PENDEKATAN PENELITIAN ... 24
B. SUBJEK PENELITIAN ... 24
C. BATASAN ISTILAH ... 25
xiii
2. Komunikasi ... 25
3. Metode Maternal Reflektif (MMR) ... 26
4. Anak Tunarungu ... 25
D. METODE PENGUMPULAN DATA ... 26
1. Observasi ... 26
2. Wawancara ... 27
3. Studi Dokumentasi ... 27
E. ANALISIS DATA ... 27
1. Mengorganisasikan Data ... 28
2. Pengkodean ... 28
3. Menguji Dugaan ... 28
F. PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA ... 28
1. Kepercayaan (credibility) ... 29
2. Keteralihan (transferability) ... 29
3. Kebergantungan (dependability) ... 30
4. Kepastian (confirmability) ... 30
BAB IV. HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN KETERBATASAN PENELITIAN ... 31
A. HASIL PENELITIAN ... 31
1. Orientasi Kancah ... 31
2. Pelaksanaan Pengambilan Data ... 34
xiv
4. Metode Pengajaran Bahasa pada Murid Kelas VI SLB B
Karnnamanohara Yogyakarta ... 36
5. Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) Dalam Pengajaran Bahasa pada Murid Kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta ... 41
6. Penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) Dalam Berkomunikasi pada Murid Kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta ... 44
7. Analisis Data ... 49
B. PEMBAHASAN ... 62
C. KETERBATASAN PENELITIAN ... 72
BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. KESIMPULAN ... 73
B. SARAN ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
LAMPIRAN ... 80
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sesuai dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun
2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa
setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu
dan pelayanan pendidikan yang layak dan berkualitas sesuai dengan
kebutuhannya, termasuk dengan anak penyandang cacat atau anak
berkebutuhan khusus. Hal tersebut dijelaskan pada pasal 5 ayat 2 UU No.
20 Tahun 2003 yang menjamin bahwa warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Pada ayat 4 juga menjamin bahwa
warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus.
Menurut data WHO pada tahun 2007, jumlah anak penyandang
cacat atau anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7% dari total
jumlah anak usia 0 – 18 tahun atau sebesar 6.230.000 jiwa. Sebelumnya,
menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah
anak penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% atau sebanyak
1.480.000 jiwa dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 jiwa. Dari
jumlah tersebut, 24,45% atau 361.860 jiwa diantaranya adalah anak-anak
usia 0 – 18 tahun dan 21,42% atau 317.016 jiwa merupakan anak cacat
seluruh anak penyandang cacat) yang terdaftar di Sekolah Luar Biasa
(SLB). Selain itu, menurut data dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar
Biasa Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2009, jumlah anak
penyandang cacat yang bersekolah meningkat menjadi 85.645 jiwa dengan
rincian sebanyak 70.501 jiwa bersekolah di SLB (Taman Kanak – kanak
sampai Sekolah Menengah Pertama) dan sebanyak 15.144 jiwa bersekolah
di sekolah inklusif (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2010 : 10).
Salah satu jenis kecacatan yang dialami oleh anak di Indonesia
adalah tunarungu. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan
pada organ pendengarannya sehingga mengakibatkan ketidakmampuan
mendengar, mulai dari tingkatan yang ringan sampai yang berat yang
diklasifikasikan ke dalam tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).
Hallahan dan Kauffman (dalam Hernawati, 2007 : 101) mengemukakan
bahwa orang yang tuli (a deaf person) adalah orang yang mengalami
ketidakmampuan mendengar sehingga mengalami hambatan dalam
memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa
menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sementara itu, orang yang
kurang dengar (a hard of hearing person) adalah orang yang biasanya
menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukup
memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa, artinya
apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan alat bantu
dengar, maka orang tersebut masih dapat menangkap pembicaraannya
Anak tunarungu akan mengalami kesulitan dalam berbahasa
sehingga segala hal yang ingin disampaikannya menjadi sulit dimengerti
oleh orang – orang di sekitarnya. Hal tersebut disebabkan anak tunarungu
mengalami masalah dalam menghasilkan suara, memiliki kualitas suara
yang buruk, ketidakmampuan dalam membedakan nada, serta adanya
masalah yang berkaitan dengan konten dan struktur bahasa (Oyers &
Frankman, 1975 dalam Suran & Rizzo, 1979). Selain itu, anak tunarungu
juga akan mengalami kesulitan dalam memahami pembicaran oleh orang
yang mendengar.
A. Van Uden (dalam Bunawan & Yuwati, 2000 : 27) menyatakan
bahwa anak tunarungu mempunyai sifat egosentris yang lebih besar
daripada anak yang mendengar. Dunia penghayatan anak tunarungu yang
sempit membuat mereka mengalami kesulitan dalam menempatkan diri
pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta kurang menyadari efek
perilakunya terhadap orang lain. Keterbatasan yang dimiliki anak
tunarungu juga menyebabkan mereka kesulitan untuk mengadakan
interaksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Hal tersebut membuat
anak tunarungu cenderung menafsirkan sesuatu secara negatif. Anak
tunarungu menjadi kurang mandiri, menutup diri, dan bertindak agresif
karena komunikasi hanya dapat dilakukan dengan dirinya sendiri.
Keterbatasan – keterbatasan yang dialami oleh anak tunarungu
seharusnya mendapatkan perhatian yang positif dari orang lain, khususnya
tunarungu dapat dikembangkan secara optimal, mandiri, dan mampu
bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, perlu
adanya suatu metode pengajaran khusus untuk anak – anak tunarungu
untuk memperoleh kemampuan berbahasa. Namun, metode pengajaran
tersebut dapat berlangsung efektif apabila adanya komunikasi.
Komunikasi pun dapat terjadi apabila antara guru dan murid yang
tunarungu memiliki bahasa. Dengan demikian, mengenalkan dan
mengajarkan aturan – aturan bahasa untuk anak tunarungu di sekolah
harus dimulai sedini mungkin agar tingkat keberhasilannya lebih optimal
dan dapat mengembangkan kemampuan berbahasa anak tunarungu. Salah
satu bentuk metode pengajaran khusus agar mengembangkan kemampuan
bahasa anak tunarungu sehingga dapat melakukan komunikasi adalah
dengan menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR).
Metode Maternal Reflektif (MMR) merupakan metode mengajar
yang dikembangkan oleh A. Van Uden dari lembaga pendidikan anak
tunarungu St. Michielgestel Belanda. A. Van Uden (dalam Bunawan &
Yuwati, 2000 : 71 - 72) menjelaskan bahwa prinsip utama dari MMR
adalah “apa yang ingin kau katakan, katakanlah begini.” Metode ini juga
sering disebut dengan metode percakapan antara ibu dan anak (bayi).
Metode Maternal Reflektif (MMR) diharapkan dapat membantu anak
tunarungu untuk memperlancar komunikasi dengan orang lain, dapat
melatih perkembangan bicara anak, dan mengurangi penggunaan bahasa
SLB B Karnnamanohara Yogyakarta adalah suatu lembaga
pendidikan yang melayani anak – anak tunarungu dengan menggunakan
Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai metode
pengajarannya. Sekolah ini mendidik anak tunarungu sejak usia dini
(mulai usia 1,8 tahun). Pendidikan pada usia 1,8 tahun diharapkan agar
mereka dapat segera diperkenalkan dan diajarkan dengan aturan – aturan
bahasa sehingga kemampuan berbahasa mereka dapat berkembang dan
mampu berkomunikasi dengan lain.
SLB B Karnnamanohara Yogyakarta merupakan satu – satunya
sekolah khusus bagi anak tunarungu di Yogyakarta yang masih
mempertahankan penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai
metode pengajaran pada murid – murid di kelas. Menurut hasil wawancara
awal, hal tersebut dilakukan agar murid – murid tunarungu dapat
beradaptasi dan berkomunikasi seperti anak – anak yang mendengar. Pada
kenyataannya, telah banyak metode – metode pengajaran lain yang makin
berkembang, misalnya dengan metode komunikasi total atau dengan
menggunakan metode bahasa isyarat. Hampir seluruh sekolah – sekolah
khusus untuk anak tunarungu di Yogyakarta menggunakan metode
komunikasi total sebagai metode pengajarannya. Namun, penggunaan
Metode Maternal Reflektif (MMR) di SLB B Karnnamanohara
Yogyakarta dapat berperan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa
dengan mengenalkan aturan – aturan bahasa, khususnya dalam
Pelajaran Bahasa sangat penting diajarkan karena pelajaran
tersebut dapat membuat murid – muridnya memperoleh, menguasai, dan
menggunakan bahasa sehingga dapat berkomunikasi dengan orang – orang
di sekitarnya, terutama pada murid kelas VI. Hal tersebut karena murid
kelas VI merupakan kelas tertinggi pada pendidikan dasar. Murid – murid
kelas VI seharusnya telah memperoleh bahasa sehingga dapat melakukan
komunikasi menggunakan bahasa oral, baik pada guru, teman – teman,
maupun orang – orang di sekitarnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Setiana (2011) dan Astutik
(2010), penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) telah memberikan
dampak positif terhadap kemampuan berbicara dan berkomunikasi pada
murid tunarungu. Murid tunarungu yang menjadi subjek penelitian mereka
dapat berbicara dan berkomunikasi seperti anak yang mendengar. Selain
itu, pengajaran dengan menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR)
telah dapat meningkatkan membuat konsentrasi dan prestasi murid –
murid. Meskipun demikian, penelitian – penelitian tersebut belum
menjelaskan mengenai pencapaian setiap tahapan perkembangan bahasa
dan komunikasi pada murid tunarungu dengan guru maupun teman -
temannya. Di samping itu, setiap murid akan berbeda tahap pencapaian
dalam perkembangan berbahasanya sehingga tidak semua murid memiliki
kemampuan yang sama dalam berkomunikasi secara oral. Berdasarkan
fenomena di atas, peneliti merasa tertarik untuk mendeskripsikan dampak
bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B
Karnnamanohara Yogyakarta.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana dampak
penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) terhadap perkembangan
bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B
Karnnamanohara Yogyakarta.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dampak
penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) terhadap perkembangan
bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B
Karnnamanohara Yogyakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan
informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi,
pada anak tunarungu dan Psikologi Perkembangan mengenai dampak
yang terjadi pada perkembangan kemampuan berbahasa dan
komunikasi melalui penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR)
pada murid tunarungu sebagai metode pengajarannya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan
pengetahuan mengenai gambaran secara langsung mengenai
pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) di kelas pada murid
tunarungu serta dijadikan referensi untuk mengembangkan Metode
Maternal Reflektif (MMR) sebagai metode pengajaran sehingga dapat
lebih meningkatkan kemampuan berbahasa dan komunikasi pada
9 BAB II
LANDASAN TEORI
A. ANAK TUNARUNGU
1. Pengertian Anak Tunarungu
Tunarungu adalah istilah umum yang digunakan untuk
menyebut kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indera
pendengaran. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh
beberapa ahli mengenai pengertian anak tunarungu.
Dwidjosumarto (dalam Somantri, 1996 : 74) mengemukakan
bahwa “Seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara
dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori
yaitu, tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).” Tuli adalah
mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf
berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sementara itu,
kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk
mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu
dengar (hearing aid).
Selain itu, Somad dan Hernawati (1996 : 27) menyatakan
bahwa anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan
atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya
pendengarannya sehingga ia tidak dapat menggunakan alat
pendengarannya dalam kehidupan sehari – hari yang membawa
dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak
tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar suara yang disebabkan
adanya kerusakan pada indera pendengaran sehingga
pendengarannya tidak berfungsi lagi atau masih dapat berfungsi
mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu
dengar (hearing aid).
2. Klasifikasi Anak Tunarungu
Menurut Mangunsong (2009 : 83), klasifikasi anak tunarungu
sebagai berikut :
a. Hilangnya pendengaran yang ringan (20 – 30 dB)
Anak dengan gangguan pendengaran ini mampu berkomunikasi
dengan menggunakan pendengarannya. Gangguan ini merupakan
ambang batas (borderline) antara anak yang sulit
mendengar dengan anak normal.
b. Hilangnya pendengaran yang marginal (30 – 40 dB)
Anak dengan gangguan pendengaran ini sering mengalami
meter. Pada kelompok ini, anak – anak masih dapat menggunakan
telinganya untuk mendengar, tetapi harus dilatih.
c. Hilangnya pendengaran yang sedang (40 – 60 dB)
Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, anak – anak
ini masih dapat belajar berbicara dengan mengandalkan alat – alat
pendengarannya.
d. Hilangnya pendengaran yang berat (60 – 75 dB)
Anak – anak ini tidak dapat belajar berbicara tanpa menggunakan
teknik – teknik khusus. Pada gangguan ini, mereka sudah dianggap
sebagai 'tuli secara edukatif'. Mereka berada pada ambang batas
antara sulit mendengar dengan tuli.
e. Hilangnya pendengaran yang parah ( > 75 dB)
Anak – anak dalam kelompok ini tidak dapat belajar bahasa hanya
semata – mata dengan mengandalkan telinga, meskipun didukung
dengan alat bantu dengar.
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Menurut Somad dan Hernawati (1996), karakteristik anak
tunarungu sebagai berikut:
a. Karakteristik dalam segi intelegensi
Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau
rata – rata, tetapi anak tunarungu akan menampakkan intelegensi
yang diverbalisasikan. Selain itu, perkembangan intelegensi anak
tunarungu tidak sama cepatnya dengan anak yang mendengar
karena mereka tidak belajar dari apa yang didengarnya sehingga
tidak berjalannya proses latihan berfikir.
b. Karakteristik dalam segi bahasa dan lisan
Kemampuan berbahasa anak tunarungu kurang dapat berkembang
karena mereka tidak mengetahui makna kata serta aturan atau
kaidah bahasanya sehingga kemampuan berbicara mereka akan
jauh tertinggal dengan anak yang mendengar. Di sisi lain,
kemampuan bicara anak tunarungu baik suara, irama, dan tekanan
suara akan terdengar monoton. Hal tersebut disebabkan kurangnya
mendapatkan umpan balik untuk mengontrol suara dan
pengucapannya sendiri melalui pendengarannya.
c. Karakteristik dalam segi emosi dan sosial
Ketunarunguan dapat anak terasing dari pergaulan atau peraturan
sosial yang berlaku dalam masyarakat tempat tinggal sehingga
akan mengakibatkan egosentrisme anak tunarungu akan melebihi
anak yang mendengar, perhatian mereka akan lebih sukar
dialihkan, tetapi mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang
lebih luas sehingga akan memunculkan sikap ketergantungan
dengan orang lain. Anak tunarungu umumnya memiliki sifat yang
polos, sederhana, dan tanpa beban. Meskipun demikian, mereka
B. PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK TUNARUNGU
1. Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau alat untuk
berkomunikasi, dalam arti alat adalah untuk menyampaikan pikiran,
gagasan, konsep, atau perasaan (Chaer & Agustina, 2010). Yusuf
(2010) juga mengungkapkan bahwa bahasa adalah kemampuan untuk
berkomunikasi dengan orang lain yang dinyatakan dalam bentuk
lambang atau simbol untuk mengungkapkan suatu pengertian dengan
menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik
muka. Selain itu, menurut Wibowo (2001), bahasa merupakan suatu
sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi yang dihasilkan
oleh alat ucap, serta bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai
sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk
melahirkan perasaan dan pikiran.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi yang
bermakna dan berartikulasi dalam bentuk lambang atau simbol untuk
mengungkapkan pikiran, gagasan, konsep, atau perasaan.
2. Tugas – tugas Perkembangan Bahasa
Dalam berbahasa, anak – anak dituntut untuk mengusai empat
satu tugas, maka ia juga dapat menguasai tugas yang lainnya (Yusuf,
2010). Keempat tugas – tugas tersebut antara lain :
a. Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang
lain.
b. Pengembangan Pembendaharaan Kata. Pembendaharaan kata
anak akan mengalami peningkatan pada usia pra-sekolah dan akan
terus meningkat setelah masuk sekolah.
c. Penyusunan Kata – kata Menjadi Kalimat, pada umumnya
berkembang sebelum usia dua tahun.
d. Ucapan. Kemampuan mengucapkan kata – kata merupakan hasil
belajar melalui imitasi terhadap suara – suara yang didengar anak
dari orang lain.
3. Tipe Perkembangan Bahasa
Menurut Yusuf (2010 : 210), ada dua tipe perkembangan
bahasa anak, yaitu :
a. Egocentric Speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri.
b. Socialized Speech, yaitu terjadi ketika berlangsungnya kontak
antara anak dengan temannya atau lingkungannya. Perkembangan
ini terbagi ke dalam lima bentuk : (a) adapted information, disini
terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang
dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap
request (permintaan), dan threat (ancaman), (d) questions
(pertanyaan), dan (e) answer (jawaban).
4. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Anak
Tunarungu
Menurut Carrol (1986 : 65), faktor mendasar yang
mempengaruhi perkembangan bahasa anak tunarungu, yaitu :
a. Tingkat kerusakan pendengaran.
b. Status pendengaran orang tua (apakah normal atau tunarungu).
c. Usia diperkenalkan pada sistem komunikasi tertentu serta
konsistensi latihan berkomunikasi.
C. KOMUNIKASI PADA ANAK TUNARUNGU
1. Pengertian Komunikasi
Secara luas, komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku
seseorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang
lain sedangkan secara sempit, komunikasi diartikan sebagai pesan yang
dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud
sadar untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima (Supratiknya,
1995 : 30).
Rogers dan Kincaid (dalam Cangara, 1998 : 20)
mengungkapkan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua
dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling
pengertian yang mendalam. Selain itu, menurut Berelson & Steiner
(dalam Mulyana, 2005 : 68), komunikasi merupakan transmisi
informasi, gagasan, emosi, keterampilan dengan menggunakan simbol
– simbol seperti, perkataan, gambar, figur, grafik, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi, gagasan, emosi,
keterampilan dengan menggunakan simbol – simbol, seperti perkataan,
gambar, figur, grafik, dan sebagainya antara dua orang atau lebih, baik
secara verbal maupun nonverbal.
2. Metode Komunikasi pada Anak Tunarungu
Menurut Bunawan dan Yuwati (2000 : 72), metode komunikasi
bagi anak tunarungu dapat dibedakan menjadi bahasa verbal dan
bahasa manual (isyarat). Bahasa verbal dapat dibedakan antara metode
yang menggunakan media komunikasi lisan/oral, yang dikenal sebagai
metode oral, dan metode yang menggunakan media tulisan. Sementara
bahasa manual (isyarat) yang merupakan metode dengan menggunakan
gerak tangan dibedakan antara Abjad Jari (Dactylologi), Isyarat
D. METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR)
1. Pengertian Metode Maternal Reflektif (MMR)
Menurut Bunawan dan Yuwati (2000), Metode Maternal
Reflektif (MMR) adalah suatu metode pengajaran bahasa dengan
mengikuti cara – cara anak mendengar sampai pada penguasaan bahasa
ibu dengan tekanan pada berlangsungnya percakapan antara ibu dan
anak sejak bayi, tetapi bukan pada program pengajaran tentang aturan
bahasa. Selain itu, menyajikan bahasa yang sewajarnya pada anak,
baik secara ekspresif maupun represif, serta menuntun anak agar
secara bertahap mampu menemukan sendiri aturan/bentuk bahasa
melalui refleksi terhadap segala pengalaman berbahasanya.
Selanjutnya, Djatun (2007 : 34) mengemukakan bahwa Metode
Maternal Reflektif (MMR) adalah model pembelajaran untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa yang pada gilirannya akan
meningkatkan kemampuan berkomunikasi.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Metode Maternal Reflektif (MMR) adalah suatu metode pengajaran
dengan menggunakan percakapan untuk meningkatkan kemampuan
berbahasa sehingga anak mampu menemukan sendiri aturan/bentuk
2. Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR)
Menurut Dewan Nasional Indonesia Kesejahteraan Sosial
(2009), pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) adalah:
a. Percakapan dari Hati ke Hati (Perdati)
Perdati adalah proses pembelajaran bahasa yang
berlangsung dalam percakapan yang wajar, saling mengungkapkan
pengalaman, pikiran, perasan, ide/gagasan murid – murid tentang
suatu topik. Kegiatan Perdati dilakukan dengan membebaskan
murid – murid untuk mengungkapkan pengalaman atau peristiwa
yang dialami oleh dirinya sendiri lalu ditanggapi oleh teman –
teman dan gurunya sehingga terjadi sebuah percakapan.
b. Percakapan Membaca Ideovisual (Percami)
Membaca ideovisual merupakan kegiatan membaca
ide/gagasan sendiri yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan
atau grafis sehingga dapat ditangkap secara visual. Kegiatan
Percami dilakukan dengan menuliskan hasil percakapan kedalam
sebuah bacaan yang telah dilakukan murid – murid di papan tulis
oleh guru. Kemudian, guru membacakan bacaan di papan tulis dan
meminta murid – murid untuk mengikutinya sampai mereka dapat
menangkap dan memahami bacaan tersebut.
c. Percakapan Membaca Transisi (Percamsi)
Percamsi merupakan strategi dan perantara antara dunia diri
diharapkan dapat memahami isi wacana mengenai pengalaman
dirinya sendiri, kelompoknya, atau orang lain yang terjadi pada
masa lampau atau yang belum terjadi. Kegiatan Percamsi
dilakukan dengan memberikan materi tentang kejadian di masa
lampau atau pengalaman orang lain dalam bentuk sebuah bacaan
yang telah dituliskan di papan tulis. Murid – murid lalu diminta
untuk membacanya sehingga mereka dapat memahami isi bacaan
tersebut.
d. Percakapan Latihan Refleksi (Perlatsi)
Perlatsi merupakan latihan mengontrol penggunaan bahasa
dengan cara mengadakan percakapan tentang isi wacana mengenai
pengalaman sendiri sehingga sistem bahasa yang benar dan yang
salah, yang mungkin atau tidak mungkin disadarinya. Kegiatan
Perlatsi antara lain dilakukan dengan meminta murid – murid
untuk memberikan tanggapan atau menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh guru mengenai sebuah bacaan yang telah dituliskan
oleh guru di papan tulis.
E. PENELITIAN – PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian yang dilakukan oleh Setiana (2011) menyatakan bahwa
kemampuan berkomunikasi pada dua subjek tunarungu di SLB B Santi
Rama Jakarta sama seperti anak yang mendengar. Mereka mampu
serta dapat membaca ujaran. Selain itu, mereka mampu melakukan
percakapan dengan wajar dan spontan, melafalkan kata – kata dengan
artikulasi yang jelas dan mudah dipahami, serta dapat membuat kalimat
dengan baik.
Di samping itu, penelitian yang dilakukan Astutik (2010) juga
menjelaskan bahwa Metode Maternal Reflektif membuat lima subjek
tunarungu kelas III SLB B Widya Bhakti Semarang menjadi semakin aktif
berpartisipasi dalam kegiatan belajar mengajar, menumbuhkan keberanian
berbicara, bertanya, dan menanggapi percakapan orang lain, serta dapat
meningkatkan konsentrasi dan prestasi belajar.
Dari hasil penelitian – penelitian tersebut, diketahui bahwa murid –
murid tunarungu yang diajarkan menggunakan Metode Maternal Reflektif
(MMR) telah mampu untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan belajar
mengajar, misalnya merespon pertanyaan dan pernyataan secara lisan,
serta dapat membaca ujaran. Mereka juga mampu melakukan percakapan
dengan artikulasi yang jelas dan mudah dipahami. Hal tersebut membuat
mereka dapat berkomunikasi seperti anak yang mendengar. Pengajaran
dengan Metode Maternal Reflektif (MMR) juga telah dapat meningkatkan
membuat konsentrasi dan prestasi murid – murid.
Penelitian – penelitian sebelumnya secara umum bertujuan untuk
mengetahui efektivitas dalam Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai
metode pengajaran pada murid tunarungu sehingga berdampak pada
itu, menjelaskan bahwa penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR)
telah cukup efektif dan memberikan kontribusi yang positif pada
kemampuan berbicara dan komunikasi pada anak tunarungu. Namun, pada
penelitian yang pertama, subjek penelitiannya cukup terbatas, yaitu dua
murid yang dipilih secara acak dan hanya mengamati proses pelaksanaan
Metode Maternal Reflektif (MMR) di kelas. Di sisi lain, pada penelitian
yang kedua hanya mengumpulkan informasi – informasi mengenai
kemampuan berbahasa dan berkomunikasi murid – murid melalui sebuah
tes yang dilakukan sebanyak dua kali serta dari nilai hasil belajar murid –
murid. Pada penelitian kedua pun, pengamatan yang dilakukan hanya
berdasarkan keaktifan murid – murid di kelas dalam menerima pelajaran
sehingga interaksi dengan teman – temannya tidak diamati.
Sementara itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak
dalam penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) yang terhadap
perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu. Faktor yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian – penelitian sebelumnya
adalah selain untuk mengamati metode pengajaran di kelas menggunakan
Metode Maternal Reflektif (MMR) dan kemampuan berkomunikasi pada
murid tunarungu, tetapi peneliti juga ingin mengamati perkembangan
bahasanya. Penelitian ini akan menjelaskan mengenai dampak yang terjadi
dalam penggunaan Metode Maternal Reflektif terhadap perkembangan
bahasa anak tunarungu yang meliputi tugas – tugas, tipe – tipe, dan faktor
murid – murid ketika berkomunikasi dengan guru dan teman – temannya,
baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
F. DINAMIKA DAMPAK PENGGUNAAN METODE MATERNAL
REFLEKTIF (MMR) TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA
DAN KOMUNIKASI PADA MURID TUNARUNGU
Anak tunarungu mengalami gangguan pada organ pendengarannya
sehingga mengakibatkan ketidakmampuan mendengar dan kesulitan dalam
berbahasa. Meskipun mereka memiliki intelegensi normal, tetapi anak
tunarungu tidak dapat mendengar informasi dari luar, maka mereka
mengalami kelainan dalam perkembangan bahasa. Hal tersebut membuat
mereka kesulitan untuk melakukan komunikasi sehingga mereka tidak
dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, maupun pengalaman yang
dimilikinya. Selain itu, anak tunarungu masih sering menggunakan bahasa
isyarat mereka sendiri untuk berkomunikasi, padahal tidak semua orang,
khususnya orang yang mendengar dapat memahami maksud mereka.
Untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan mengatasi
hambatan komunikasi, anak tunarungu memerlukan metode pengajaran
bahasa secara teratur, agar keterbatasan bahasa yang dialami anak
tunarungu tidak menghambat kehidupan jiwa dan sosialnya. Salah satu
metode pengajaran bahasa adalah dengan menggunakan Metode Maternal
Reflektif (MMR). SLB B Karnnamanohara Yogyakarta merupakan sebuah
Metode Maternal Reflektif (MMR) dalam pengajarannya. Metode tersebut
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berbahasa anak tunarungu
sehingga dapat menggunakan bahasa oral untuk berkomunikasi dengan
orang – orang disekitarnya.
Meskipun demikian, tidak semua murid memiliki kemampuan
yang sama untuk dapat mengikuti pelajaran dengan baik menggunakan
metode tersebut. Hal tersebut membuat murid – murid masih sering
menggunakan bahasa oral sambil berisyarat untuk berkomunikasi,
terutama ketika berkomunikasi dengan teman – teman sesama tunarungu.
Dengan demikian, dinamika yang telah dijelaskan di atas dapat
digambarkan di bawah ini :
Gambar. Perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu
kelas VI SLB B Karnnamanohara Sebelum menerapkan
MMR: Murid – murid masih menggunakan bahasa
isyarat.
Sesudah menerapkan
MMR: Menggunakan bahasa oral meskipun sambil
24 BAB III
METODE PENELITIAN
A. PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Bungin
(2007 : 68) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif kualitatif bertujuan
untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi,
atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang
menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas tersebut ke
permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, mode, tanda, atau gambaran
tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif karena
peneliti mendeskripsikan perkembangan bahasa dengan menggunakan
Metode Maternal Reflektif (MMR) yang ditinjau dari tugas, tipe, faktor
perkembangan bahasa anak, dan penggunaanya dalam komunikasi sehari –
hari pada murid – murid tunarungu.
B. SUBJEK PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa B Karnnamanohara,
Yogyakarta. Subjek penelitian adalah murid – murid kelas VI SLB B
Karnnamanohara, Yogyakarta. Hal tersebut karena murid kelas VI
merupakan kelas tertinggi pada pendidikan dasar. Murid – murid kelas VI
berkomunikasi, baik pada guru, teman – teman, maupun orang – orang
disekitarnya.
C. BATASAN ISTILAH
1. Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa anak dalam penelitian ini terdiri dari tugas
perkembangan bahasa dan tipe perkembangan bahasa. Tugas
perkembangan bahasa merupakan tugas – tugas pokok yang saling
berkaitan dalam berbahasa yang menuntut anak – anak untuk dapat
menguasai tugas – tugas tersebut, yaitu tahapan pemahaman,
pengembangan pembendaharaan kata, penyusunan kata – kata menjadi
kalimat, dan ucapan. Sedangkan tipe perkembangan bahasa dibagi
menjadi egocentric speech, yaitu kegiatan anak yang berbicara dengan
dirinya sendiri (monolog) dan socialized speech yang terjadi ketika
adanya kontak antara anak dengan lingkungannya.
2. Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu proses pertukaran informasi, gagasan,
atau emosi antara dua orang atau lebih, baik secara verbal atau
nonverbal. Dalam penelitian ini, komunikasi tersebut terjadi antara
murid – murid, baik dengan guru, teman sekelas, maupun teman dari
kelas lain selama berada di dalam dan di luar kelas. Komunikasi
tersebut dapat berupa bahasa oral, bahasa oral sambil berisyarat,
3. Metode Maternal Reflektif (MMR)
Metode Maternal Reflektif (MMR) merupakan suatu metode
pengajaran dengan menggunakan percakapan untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa anak. Dalam penelitian ini, guru selalu
menggunakan bahasa oral dan menerapkan langkah – langkah yang
telah disesuaikan dengan pelaksanaan MMR ketika mengajarkan
pelajaran Bahasa.
4. Anak Tunarungu
Anak tunarungu merupakan anak yang mengalami kekurangan atau
keidakmampuan dalam mendengar suara. Dalam penelitian ini,
subjek penelitian merupakan murid – murid yang termasuk dalam
kategori hilangnya pendengaran yang marginal dan sedang.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Menurut Hasan (2002 : 86 – 88), pengumpulan data dapat
dilakukan dengan menggunakan lima teknik, antara lain angket
(kuesioner), wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan analisis isi.
Peneliti menggunakan tiga teknik dalam pengumpulan data, yaitu:
1. Observasi
Observasi adalah pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan
pengodean serangkaian perilaku dan suasana yang berkenaan dengan
organisme sesuai dengan tujuan – tujuan empiris. Observasi yang
murid – murid di dalam dan di luar kelas selama dan setelah proses
belajar mengajar.
2. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan
mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara dengan
responden, dan jawaban – jawaban responden dicatat atau direkam.
Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini adalah wawancara
semi terstruktur untuk melengkapi data observasi.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan pada subjek penelitian, tetapi melalui dokumen.
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa rekaman
video dan foto selama proses belajar mengajar berlangsung. Hal
tersebut dilakukan untuk mengamati kesesuaian dengan hasil
observasi.
E. ANALISIS DATA
Menurut Patton (dalam Hasan, 2002 : 97), analisis data adalah
proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,
kategori, dan satuan uraian dasar.
Menurut Poerwandari (2005), langkah – langkah dalam
1. Mengorganisasikan Data
Data yang telah diperoleh yaitu, berupa hasil observasi,
wawancara, dan dokumentasi, selanjutnya disusun secara sistematis,
rapi, dan selengkap mungkin.
2. Pengkodean
Langkah berikutnya adalah membubuhkan kode – kode pada
data yang telah diperoleh agar data dapat lebih terorganisir dan
sistematis sehingga dapat memunculkan gambaran tentang topik yang
akan diteliti.
3. Menguji Dugaan
Setelah topik penelitian ditemukan maka, akan memunculkan
dugaan – dugaan yang merupakan kesimpulan sementara dari data –
data yang telah diperoleh. Kemudian, dilakukan perbandingan antara
teori – teori yang telah didapatkan sebelumnya sehingga dapat
mempertajam temuan data.
F. PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA
Menurut Moleong (2006), dalam menetapkan keabsahan data
diperlukan teknik pemeriksaan data yang dilakukan atas empat kriteria,
1. Kepercayaan (credibility)
Kepercayaan berfungsi untuk membuktikan kesesuaian antara
hasil – hasil penemuan dengan kenyataan yang sedang diteliti. Oleh
karena itu, peneliti melakukan teknik triangulasi data
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2005), untuk meningkatkan
kepercayaan penelitian kualitatif adalah dengan melakukan triangulasi.
Triangulasi dapat dibedakan menjadi empat macam, anatara lain
triangulasi data, peneliti, teori, dan metode. Peneliti menggunakan dua
triangulasi, yaitu:
a. Triangulasi data
Menggunakan sumber data yang berbeda – beda, misalnya
menggunakan catatan lapangan (observasi), wawancara dengan
guru, dan dokumentasi.
b. Triangulasi metode
Menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda,
misalnya metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.
2. Keteralihan (transferability)
Keteralihan berfungsi untuk menyamakan konteks antara
pengirim dan penerima pada suatu bentuk persoalan empiris. Dengan
demikian, peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian
empiris tentang kesamaan konteks berupa data deskriptif secukupnya.
menyamakan dengan hasil wawancara dengan guru mengenai perilaku
dan pencapaian murid – murid dalam menerima pelajaran di kelas.
3. Kebergantungan (dependability)
Kebergantungan berfungsi untuk menghindari kesalahan dalam
mengolah data hasil penelitian. Oleh karena itu, pentingnya mengulang
pengambilan data dalam suatu kondisi yang sama. Peneliti melakukan
observasi sebanyak enam kali dan dua kali wawancara.
4. Kepastian (confirmability)
Kepastian berfungsi untuk menekankan penelitian ilmiah bukan
pada kesepakatan atau pendapat orang seorang, melainkan pada data
dari hasil penelitian. oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh
peneliti sepenuhnya berdasarkan hasil observasi di lapangan yang
31 BAB IV
HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN KETERBATASAN
PENELITIAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Orientasi Kancah
Pada tanggal 23 Februari 1999, sebuah lembaga pendidikan
bagi penyandang tunarungu usia dini didirikan oleh Yayasan
Tunarungu Yogyakarta di daerah Pakem, Sleman. Lembaga tersebut
lalu ditetapkan sebagai Biro Konsultasi Tunarungu yang telah melatih
tiga anak tunarungu. Kemudian, orangtua dari ketiga anak tersebut
meminta agar biro konsultasi tersebut menjadi sekolah khusus bagi
anak tunarungu. Yayasan Tunarungu Yogyakarta pun mengabulkan
permohonan tersebut dan menfasilitasi perintisan sekolah yang
akhirnya diberi nama SLB B Karnnamanohara dengan meminjamkan
tempat untuk kegiatan belajar mengajar. Sekarang, SLB B
Karnnamanohara terletak di Jalan Pandean 2 Gang Wulung,
Codongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta.
SLB B Karnnamanohara Yogyakarta menggunakan metode
pengajaran dengan Metode Maternal Reflektif (MMR) yang diadaptasi
dari SLB B Santi Rama Jakarta. Metode Maternal Reflektif (MMR)
merupakan metode yang menekankan pentingnya percakapan
isyarat agar murid – murid dapat memahami bahasa oral sehingga
mereka dapat berkomunikasi seperti anak yang mendengar. Namun,
SLB B Karnnamanohara hanya menerima anak tunarungu dengan
kategori normal atau tidak mengalami gangguan lain melalui tes
pendengaran dan tes intelegensi.
Sistem layanan yang diberikan SLB B Karnnamanohara (dalam
Brosur Sekolah) adalah sebagai berikut :
a. Play Group (Kelas Latihan)
1) Play Grop A merupakan kelompok anak – anak yang berusia
antara 3 – 4 tahun atau yang telah dapat duduk tenang dan
konsentrasi mata terbentuk untuk belajar. Play Group A
dimulai pada pukul 08.00 – 11.00 WIB dari hari Senin sampai
Jumat.
2) Play Grop B merupakan kelompok anak – anak yang berusia
antara 1,8 – 3 tahun atau yang telah lolos observasi, belum
dapat duduk tenang, konsentrasi mata belum terbentuk untuk
belajar. Play Group B dimulai pada pukul 13.00 – 15.00 WIB
dari hari Senin sampai Jumat.
b. Kelompok Taman Kanak – Kanak
1) TK 1 (usia 4 – 5 tahun) adalah anak – anak yang telah lulus dari
Play Group B. Program pembelajaran masih berfokus pada
bahasa (berbicara, menulis, dan membaca) pada taraf
2) TK 2 (usia 5 – 6 tahun) adalah anak – anak yang telah
menyelesaikan program di TK 1. Program pembelajaran masih
berfokus pada bahasa (berbicara, menulis, dan membaca) pada
taraf membaca teknik, pemahaman, dan berhitung.
3) TK 3 (usia 6 – 7 tahun) adalah anak – anak yang telah
menyelesaikan program TK 2. Program pembelajaran fokus
pada bahasa (berbicara, menulis, dan membaca) pada taraf
membaca teknik, pemahaman, dan berhitung.
Kelompok TK 1, 2, dan 3 dimulai pada pukul 08.00 – 15.00 WIB
dari hari Senin sampai Jumat.
c. Sekolah Dasar
1) Sekolah Dasar Kecil untuk kelompok kelas I – III. Kemampuan
berbahasa pada kelompok ini masih dalam lingkup diri sendiri.
2) Sekolah Dasar Tengah untuk kelompok kelas IV – V.
Kemampuan berbahasa pada kelompok ini masih transisi antara
pengalaman diri dan pengalaman orang lain. Namun, telah
dapat membaca dan memahami bacaan.
3) Sekolah Dasar Besar untuk kelompok kelas VI. Kelompok ini
telah mengalami penguasaan membaca, memaknai, dan
mempersepsi bacaan.
d. Sekolah Menengah Pertama
Pada kelompok ini, anak – anak tidak hanya dibekali
hidup. Keterampilan tersebut meliputi pengolahan hasil pertanian
dan peternakan. Tujuannya adalah untuk memberikan pembiasaan
hidup yang terampil, kreatif, dan menggunakan peluang.
2. Pelaksanaan Pengambilan Data
Tabel
Pelaksanaan Pengambilan Data
Tanggal Waktu Kegiatan
12 September 2011 08.00 – 09.15 WIB Observasi, Wawancara,
dan Dokumentasi.
19 September 2011 08.00 – 10.30 WIB Observasi, Wawancara,
dan Dokumentasi.
6 Oktober 2011 08.00 – 10.30 WIB Observasi.
21 November 2011 08.00 – 10.30 WIB Observasi dan
Dokumentasi.
24 November 2011 08.00 – 10.30 WIB Observasi.
1 Desember 2011 10.30 – 11.30 WIB Observasi.
3. Subjek Penelitian
Subjek 1
Inisial : NA
Usia : 12 tahun
Klasifikasi ketunarunguan : Kehilangan pendengaran marginal
Subjek 2
Inisial : LI
Usia : 12 tahun
Masuk kelas Latihan : 2 tahun
Klasifikasi ketunarunguan : Kehilangan pendengaran sedang
Riwayat kesehatan : Awalnya LI termasuk anak yang
mengalami gangguan pendengaran
marginal. Namun, ketika kelas I LI
mengalami gangguan pada matanya dan
harus dioperasi. Hal tersebut makin
mempengaruhi gangguan pada
pendengaran LI sehingga LI
diklasifikasikan menjadi anak yang
mengalami kehilangan pendengaran
sedang. Selain itu, LI mengalami
kemunduran dalam mengikuti pelajaran.
Hal ini dikarenakan LI tertinggal
pelajaran beberapa bulan selama proses
penyembuhan operasi mata yang
Subjek 3
Inisial : DA
Usia : 13 tahun
Masuk kelas Latihan : 3 tahun
Klasifikasi ketunarunguan : Kehilangan pendengaran marginal
Subjek 4
Inisial : SA
Usia : 14 tahun
Masuk kelas Latihan : 4 tahun
Klasifikasi ketunarunguan : Kehilangan pendengaran marginal
4. Metode Pengajaran Bahasa pada Murid Kelas VI SLB B
Karnnamanohara Yogyakarta
Menurut hasil observasi di kelas, diketahui bahwa metode
pengajaran Bahasa di kelas sebagai berikut :
a. Guru membuka percakapan dengan murid – muridnya
(mp1.kdk.1).
b. Guru membebaskan murid – murid untuk melanjutkan
percakapan (mp1.kdk.2).
c. Guru membantu murid – murid dalam mengutarakan
d. Guru menuliskan sebuah bacaan di papan tulis yang sesuai
dengan hasil percakapan murid – murid (mp1.kdk.4).
e. Guru membacakan bacaan di papan tulis dan menyuruh murid
– murid mengulanginya lalu mengulangi tanpa bantuan guru
(mp1.kdk.5).
f. Guru memberikan pertanyaan atau menyuruh murid –
muridnya untuk membuat kalimat yang sesuai dengan bacaan
yang telah dituliskan di papan tulis (mp1.kdk.6).
g. Terkadang, guru memberikan materi yang berasal dari hasil
percakapan kelas lain pada waktu yang telah lalu (mp1.kdk.7).
h. Guru selalu berusaha untuk membuat murid – muridnya untuk
aktif mengutarakan pendapat atau menjawab pertanyaan yang
telah diberikan (mp1.kdk.8).
Metode pengajaran Bahasa oleh guru di kelas yang telah
disebutkan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, guru selalu diawali dengan membiasakan murid –
muridnya untuk berdoa bersama dan mengucapkan salam (sm1.kdk.1).
Guru lalu membuka percakapan dengan murid – muridnya mengenai
pengalaman, peristiwa, atau kejadian yang ada disekitar mereka
(mp1.kdk.1). Kedua, guru membebaskan murid – muridnya untuk
mengembangkan percakapan tersebut dengan saling bertanya satu
sama lain (mp1.kdk.2). Ketiga, guru pun tak segan untuk membantu
ingin disampaikan oleh murid – muridnya (mp1.kdk.3). Meskipun tak
jarang, guru juga kesulitan untuk memahami maksud yang ingin
disampaikan oleh murid – muridnya sehingga guru meminta bantuan
pada salah satu murid yang mampu menyampaikannya pada guru
(m1.kdk.11).
Keempat, setelah percakapan berlangsung, guru lalu
menuliskan hasil percakapan antara guru dengan murid – muridnya
maupun antara murid yang satu dengan murid yang lain menjadi
sebuah bacaan di papan tulis (mp1.kdk.4) (Foto 01). Terkadang, guru
menambahkan beberapa percakapan yang mendukung. Kelima, guru
membacakan bacaan tersebut sesuai dengan lengkung frase yang telah
dibuat oleh guru dan menyuruh murid – murid untuk mengulanginya
bersama – sama (mp1.kdk.5) (Foto 02). Guru membacakan bacaan
tersebut secara perlahan dan jelas agar murid – murid dapat
mengucapkannya dengan benar. Guru pun menyuruh murid –
muridnya untuk mengulangi bacaan tersebut secara bersama – sama
tanpa bantuan dari guru. Keenam, guru menyuruh murid – muridnya
untuk membuat kalimat yang telah ditentukan guru yang sesuai dengan
bacaan tersebut (mp1.kdk.6). Sebelumnya, guru memberikan sebuah
contoh kalimat terlebih dahulu. Guru lalu menyuruh murid – muridnya
untuk membuat kalimat secara lisan secara bergantian. Kemudian,
menyuruh mereka untuk menuliskannya di papan tulis (mp1.kdk.8)
Guru lalu menyuruh murid – muridnya untuk meneruskan
membuat beberapa kalimat di buku mereka masing – masing. Guru
pun membebaskan murid – muridnya untuk bertanya satu sama lain
dalam pembuatan kalimat. Terkadang, selama murid – murid
mengerjakan tugasnya, guru kembali menuliskan beberapa pertanyaan
yang sesuai dengan bacaan yang telah dituliskannya di papan tulis.
Kemudian, murid – murid diminta untuk menjawabnya (mp1.kdk.6).
Namun terkadang, guru kembali menuliskan bacaan yang lain di papan
tulis, tetapi dengan tema yang tidak jauh berbeda dari bacaan
sebelumnya. Selain itu, guru juga terkadang menggunakan materi yang
berasal dari hasil percakapan kelas lain pada waktu yang telah lalu
(mp1.kdk.7).
Setelah murid – murid selesai menulis, guru kembali menyuruh
murid – muridnya untuk membaca bacaan di papan tulis secara
bersama – sama. Terkadang, tanpa bantuan dari guru untuk
membacakannya terlebih dahulu. Guru lalu memberikan beberapa
pertanyaan yang sesuai dengan bacaan secara lisan dan menyuruh
murid – murid untuk menjawabnya. Guru pun menyuruh murid –
muridnya untuk maju ke papan tulis dan menunjukkan kalimat yang
merupakan jawaban atas pertanyaan guru .
Terakhir, guru selalu berusaha agar setiap muridnya untuk aktif
merespon setiap pertanyaan guru (mp1.kdk.8). Awalnya, guru tidak
yang secara sukarela untuk menjawabnya. Namun, apabila tidak ada
satu pun murid yang mau menjawab, guru lalu menunjuk murid –
muridnya untuk menjawab secara bergantian dengan pertanyaan yang
berbeda. Kemudian, guru menyuruh murid – muridnya untuk
menuliskan bacaan tersebut di buku mereka masing – masing. Guru
juga menentukan buku yang berbeda untuk menuliskan bacaan,
menuliskan kalimat, maupun untuk menuliskan pertanyaan.
Selain itu, menurut hasil wawancara dengan guru (WWC 1),
pencapaian yang diharapkan dari metode pengajaran dengan
menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR) adalah agar murid –
muridnya dapat mengenali pengalaman, peristiwa, atau kejadian yang
terjadi, baik pada diri mereka ataupun dari luar diri mereka. Metode ini
juga diharapkan dapat membuat murid – murid mampu menyebutkan
kembali kalimat atau mengucapkan kalimat dan menuliskan kalimat.
Selain itu, murid – murid diharapkan dapat memahami dan mengulangi
cerita dari bacaan yang telah dituliskan di papan tulis agar dapat
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru serta memiliki
kemampuan untuk mengulangi ucapan dari guru maupun teman –
5. Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) dalam
Pengajaran Bahasa pada Murid Kelas VI SLB B
Karnnamanohara Yogyakarta
a. Pelaksanaan percakapan dari hati ke hati (Perdati)
Menurut hasil observasi yang dilakukan di kelas pada saat
pelajaran Bahasa mengenai pelaksanaan percakapan dari hati ke
hati (Perdati), dapat diketahui bahwa materi pembelajaran tidak
dipersiapkan oleh guru sepenuhnya. Materi yang diberikan
merupakan pengalaman, peristiwa, atau kejadian yang dialami oleh
murid – muridnya. Guru hanya memulai untuk membuka
percakapan dan percakapan selanjutnya diserahkan pada murid –
muridnya (OBS I, OBS II, dan OBS IV). Murid – murid bebas
mengutarakan segala bentuk pertanyaan dan pernyataan pada
murid yang lain, baik dengan menggunakan bahasa oral maupun
bahasa isyarat. Namun terkadang, guru juga membantu murid –
muridnya yang kesulitan untuk kembali memulai percakapan atau
memahami pertanyaan maupun pernyataan dari murid yang lain.
Setelah percakapan dirasa telah cukup maka, kegiatan selanjutnya
adalah membuat percakapan menjadi sebuah tulisan dalam bentuk
bacaan di papan tulis. Pelaksanaan Perdati merupakan upaya guru
untuk mengembangkan proses perolehan bahasa murid – murid dan
b. Pelaksanaan percakapan membaca ideovisual (Percami)
Menurut hasil observasi yang dilakukan di kelas pada saat
pelajaran Bahasa mengenai pelaksanaan percakapan membaca
ideovisual (Percami) dapat diketahui bahwa guru membacakan
bacaan yang telah dituliskan di papan tulis sesuai dengan lengkung
frase yang telah dibuat oleh guru lalu menyuruh murid – murid
untuk mengulanginya. Lengkung frase dilakukan dengan cara
memenggal kelompok kata dalam kalimat dan berguna untuk
membantu murid – murid agar dapat membaca secara berirama.
Kemudian, guru menyuruh siswa untuk mengulangi membaca
bacaan tersebut tanpa bantuan guru (OBS I, OBS II, OBS III, dan
OBS IV). Guru lalu memberikan pertanyaan mengenai bacaan
tersebut dan menyuruh murid – muridnya untuk menunjukkan
kalimat yang dalam bacaan sesuai dengan jawaban mereka (OBS
II). Pelaksanaan Percami merupakan upaya guru untuk
mengembangkan kemampuan berbahasa murid – murid agar dapat
menangkap dan memahami suatu bacaan.
c. Pelaksanaan percakapan membaca transisi (Percamsi)
Menurut hasil observasi yang dilakukan di kelas pada saat
pelajaran Bahasa mengenai pelaksanaan percakapan membaca
transisi (Percamsi), dapat diketahui bahwa materi yang diberikan
oleh guru adalah berasal dari hasil percakapan kelas lain pada
Murid – murid tetap diminta untuk membacanya agar mereka dapat
memahami isi bacaan tersebut dengan dan tanpa bantuan dari guru.
Kemudian, guru memberikan pertanyaan mengenai keterangan
waktu yang terdapat dalam bacaan. Guru lalu mengaitkan waktu
yang terdapat dalam bacaan dengan waktu terjadinya percakapan
untuk memperjelas mengenai konsep waktu yang telah lampau
(OBS III). Pelaksanaan Percamsi merupakan upaya guru untuk
membantu murid – muridnya memahami dunia orang lain dan
menjelaskan pada mereka tentang konsep waktu lampau.
d. Pelaksanaan percakapan latihan refleksi (Perlatsi)
Menurut hasil observasi yang dilakukan di kelas pada saat
pelajaran Bahasa mengenai pelaksanaan percakapan latihan
refleksi (Perlatsi), dapat diketahui bahwa kegiatan ini dilakukan
guru dengan cara meminta murid – muridnya untuk membuat
kalimat atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru atau
yang terdapat dalam bacaan, lalu menunjukkan kalimat yang
menjadi jawabannya. Selain itu, murid – murid diminta untuk
mengutarakan pendapat maupun pertanyaan pada guru atau teman
– temannya. (OBS I, OBS II, OBS III, OBS IV, dan OBS V).
Pelaksanaan Perlatsi merupakan upaya guru untuk membuat murid
– muridnya aktif mengutarakan pendapat atau menjawab
6. Penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) dalam
Berkomunikasi pada Murid Kelas VI SLB B Karnnamanohara
Yogyakarta
Menurut observasi yang dilakukan di kelas pada tanggal 12 dan
19 September, 6 Oktober, serta 21 dan 24 November 2011 serta 1
Desember 2011 pada NA, LI, DA, dan SA, dapat diketahui bahwa
penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) dalam berkomunikasi
pada murid – murid kelas VI SLB B Karnnamanohara adalah sebagai
berikut :
a. Di dalam kelas
1) NA
NA menggunakan bahasa oral dalam merespon
pertanyaan dari guru dan dalam mengungkapkan
pertanyaan maupun pernyataannya (m1.kdk.1). Terkadang,
NA mengalami kesulitan dalam merespon pertanyaan dari
guru (m1.kdk.4). Namun, dalam berkomunikasi dengan
teman – temannya, NA menggunakan bahasa oral sambil
berisyarat dengan menggunakan tangannya (m1.kdk.2). NA
juga telah cukup menguasai beberapa arti kata (m1.kdk.10a
& b). Di sisi lain, NA dapat membantu guru dalam
mengungkapkan kata – kata atau memperjelas pertanyaan
dan pernyataan dari teman – temannya yang kurang
teman – temannya dalam mengeja sebuah kata (m1.kdk.12)
(Foto 04) maupun membantu dalam merespon pertanyaan
dari guru (m1.kdk.13).
2) LI
LI menggunakan bahasa oral sambil berisyarat
dengan tangan maupun ekspresi wajahnya dalam merespon
pertanyaan dari guru dan teman – temannya (m2.kdk.1).
Terkadang, ketika mengungkapkan pertanyaan (m2.kdk.3)
atau melakukan percakapan dengan teman – temannya
(m2.kdk.2), LI lebih sering menggunakan bahasa isyarat.
Meskipun demikian, LI masih mengalami kesulitan dalam
memahami dan merespon pertanyaan dari guru maupun
teman – temannya (m2.kdk.4). Di samping itu, LI
mengalami kesulitan dalam mengucapkan (m2.kdk.6),
mengulangi (m2.kdk.7), mengeja, maupun menuliskan
(m2.kdk.8) sebuah kata atau kalimat. LI juga masih
mengalami kesulitan dalam membuat sebuah kalimat
(m2.kdk.9).
3) DA
DA menggunakan bahasa oral dalam merespon
pertanyaan dari guru serta dalam mengungkapkan
pertanyaan dan pernyataan (m3.kdk.1). Meskipun