• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Berbahasa Reseptif Tiga Anak Tunarungu Taman Kanak-Kanak Kelas 1 dengan Metode Maternal Reflektif di SLB/B Pangudi Luhur Jakarta Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kemampuan Berbahasa Reseptif Tiga Anak Tunarungu Taman Kanak-Kanak Kelas 1 dengan Metode Maternal Reflektif di SLB/B Pangudi Luhur Jakarta Barat"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

31 Kemampuan Berbahasa Reseptif Tiga Anak Tunarungu

Taman Kanak-Kanak Kelas 1 dengan Metode Maternal Reflektif di SLB/B Pangudi Luhur Jakarta Barat

Pardi Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berbahasa reseptif tiga anak tunarungu Taman Kanak-Kanak kelas 1 dengan penerapan Metode Maternal Reflektif di SLB/B Pangudi Luhur, Jakarta Barat. Subjek penelitian sebanyak tiga anak tunarungu yang mendapat program penempatan di Taman Kanak-kanak kelas 1 di SLB/B Pangudi Luhur, Jakarta Barat. Waktu pelaksanaan penelitian selama enam bulan, dimulai dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Juli 2012 dilakukan di SLB/B Pangudi Luhur Jl. Pesanggarahan 125 Kembangan Jakarta Barat. Variabel penelitian adalah kemampuan bahasa reseptif. Metode yang digunakan untuk penelitian adalah metode diskriptif dengan jenis penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan penerapan MMR yang dilakukan oleh guru kelas dan peneliti.

Hasil penelitian kemampuan berbahasa reseptif tiga anak tunarungu taman kanak-kanak kelas 1 dengan metode maternal reflektif yaitu: (1) Y mampu berbahasa reseptif karena ada bimbingan yang intensif dari pihak sekolah dan orangtua. (2) Kemampuan berbahasa reseptif, N menurun karena kurang mendapat bimbingan dari orangtua. (3) Kemampuan berbahasa reseptif R meningkat, karena orangtua memberi drill ketika akan tes/ulangan. (4) Ketiga anak tunarungu Taman Kanak-kanak kelas 1 mampu berbahasa reseptif lisan dengan ujaran yang perlahan-lahan, bahasa yang sederhana, dan menyertakan gesture. (5) Ydan R mampu berbahasa reseptif tulis. (6) N kurang mampu berbahasa reseptif, karena penempatan huruf masih terbolak-balik.

Saran yang dapat disampaikan kepada pemerhati anak tunarungu, hendaknya mempelajari dan mengaplikasikan MMR untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak tunarungu. Bagi Pimpinan Sekolah untuk melaksanakan program penempatan perlu meneliti perkembangan dari berbagai aspek yaitu aspek mental, sosial, emosional, kesiapan belajar, pendampingan orangtua, dan kemampuan berbahasa anak. Pihak Sekolah hendaknya terus menerus menerapkan MMR secara konsekuen. Guru hendaknya menggunakan cara-cara yang inovatif untuk mengaplikasikan Metode Maternal Reflektif, supaya pembelajaran menjadi lebih menarik,

(2)

32 menyenangkan, dan berdaya pikat. Bagi mahasiswa BK-FKIP Atma Jaya, hendaknya mempelajari MMR untuk memperkaya wacana dan sumber informasi untuk memberikan layanan konseling bagi anak tunarungu.

PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial yang akan senantiasa mengadakan interaksi dengan orang lain dan dalam pelaksanaannya membutuhkan alat komunikasi dalam bentuk bahasa. Kemampuan berbahasa merupakan sarana komunikasi dengan menyimpulkan pikiran dan perasaan baik verbal maupun nonverbal. Kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam tahap pertama adalah bahasa reseptif. Bahasa reseptif yaitu kegiatan menyimak atau mendengar apa yang dituturkan orang lain melalui sarana lisan. Bahasa reseptif diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Bahasa reseptif lisan dan bahasa reseptif tulis.

Tunarungu adalah jenis gangguan pada kemampuan pendengaran, sehingga tidak dapat menangkap berbagai rangsangan melalui indera pendengaran. Ketunarunguan menimbulkan dampak yang sangat serius terhadap kemampuan individu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu-individu lain di masyarakat. Anak tunarungu kurang atau mengalami hambatan dalam menerima dan menyampaikan pesan-pesan dari dan kepada sesamanya. Anak tunarungu mengandalkan ketajaman penglihatan dan menggunakan sisa pendengaran untuk menangkap kejadian-kejadian dalam berkomunikasi. Akibat dari ketunarunguan adalah kemiskinan bahasa. Maka diperlukan intervensi sejak dini untuk mengatasi kemiskinan bahasa dan meningkatkan kemampuan berbahasa.

Metode Maternal Reflektif untuk selanjutnya ditulis MMR adalah metode yang mengajarkan, melatih, dan membiasakan anak tunarungu supaya mampu berbahasa oral yang baik. Sasaran metode tersebut yakni anak tunarungu memiliki kemampuan untuk berbahasa secara reseptif dan berbahasa secara ekspresif. Sasaran pembelajaran yang akan dicapai adalah kemampuan berbahasa, yang diperoleh melalui percakapan yang divisualisasikan, direfleksikan, dibuat bacaan, dan direfleksikan kembali. Suasana percakapan dalam pembelajaran bahasa mengalir secara natural, naluriah, alamiah dan informal demi memuaskan kebutuhan psikologis anak.

Permasalahan yang ingin diketahui dalam penelitian ini yaitu kemampuan berbahasa reseptif tiga anak tunarungu Taman Kanak-Kanak kelas 1 yang mendapat program penempatan dengan

(3)

33 penerapan Metode Maternal Reflektif di SLB/B Pangudi Luhur. Hasil penelitian diharapkan berguna bagi pemerhati anak luar biasa, untuk memberikan wawasan dan pemahaman mengenai manfaat penerapan Metode Maternal Reflektif untuk pemerolehan bahasa anak tunarungu sehingga makin memperkaya dalam pengetahuan dan pelayanan. Bagi Pimpinan Sekolah dan guru, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan dan melaksanakan program pembelajaran bagi anak tunarungu. Bagi Mahasiswa calon pemerhati pendidikan, untuk memperkaya wacana dan sumber informasi, khususnya dalam memberikan layanan bagi anak tunarungu.

Kajian Teoretis

Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena disamping berfungsi sebagai alat untuk menyatakan pikiran dan perasaan kepada orang lain juga sekaligus sebagai alat untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Masa kanak-kanak adalah usia yang paling tepat untuk mengembangkan bahasa, karena pada masa ini sering disebut masa “golden age” yaitu anak sangat peka mendapatkan rangsangan-rangsangan baik yang berkaitan dengan aspek fisik motorik, intelektual, sosial, emosi maupun bahasa (Taningsih, 2006). Kemampuan bahasa dipelajari dan diperoleh sejak anak usia dini secara alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Bahasa dapat menjelaskan keinginan dan kebutuhan individu, mengubah dan mengontrol perilaku, membantu mempererat hubungan interaksi dengan orang lain. Bahasa juga dapat memudahkan individu untuk mengetahui informasi secara mendalam, serta sebagai sarana untuk mengekspresikan diri.

Kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam tahap pertama adalah bahasa reseptif. Menurut Judarwanto (2009) bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang didengar. Dhieni (2008) berpendapat anak menerima dan mengekspresikan bahasa dengan berbagai cara. Keterampilan menyimak dan membaca merupakan keterampilan bahasa reseptif karena dalam keterampilan ini makna bahasa diperoleh dan diproses melalui simbol visual dan verbal. Ketika anak menyimak dan membaca, anak memahami bahasa berdasarkan konsep pengetahuan dan pengalaman, dengan demikian menyimak dan membaca juga merupakan proses pemahaman (comprehending process). Luria (dalam Dardjowidjojo, 1991) mengatakan selain apa yang didengar, bentuk bahasa reseptif lainnya ialah bahasa yang dilihat. Bahasa yang dilihat terpapar dalam tulisan atau sikap, gerakan jari-jari tangan, tangan, lengan, kepala, muka, dan tubuh.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti melalui indera pendengaran dan indera penglihatan. Anak akan memperoleh pengalaman baik dari anak itu sendiri, ibunya, dan orang terdekat melalui indera pendengaran. Penguasaan bahasa reseptif dapat diukur dengan keterampilan reseptif lisan yaitu kemampuan menyimak/mendengar bahasa, dan keterampilan reseptif tulis yaitu kemampuan dalam membaca.

(4)

34 Somantri (2007) mengemukakan tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. Khalila (2009) juga mengemukakan tunarungu adalah kondisi seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga tidak dapat menggunakan pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks. Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2007) berpendapat bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya tidak berfungsi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tunarungu adalah kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran, sehingga tidak dapat menangkap berbagai rangsangan melalui indera pendengaran. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya tidak berfungsi. Kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Akibat ketunarunguan ialah hambatan dalam berbahasa. Anak tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengaran, sehingga sulit memahami bahasa yang diucapkan oleh orang lain dan anak tunarungu tidak bisa berkomunikasi apabila tidak diberi latihan dan bimbingan dalam berbahasa.

Bunawan dan Yuwati (dalam Nugroho, 2008) menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan khusus anak tunarungu yang utama adalah kebutuhan akan penguasaan bahasa, dapat diupayakan sedini mungkin. Supriyadi (2011) mengemukakan dampak lain berakibat pada terhambatnya segala aspek kehidupan seperti: terhambat mempersepsikan bunyi yang didengar, dalam emosi sering mengalami hambatan karena minimnya perasaan yang dimiliki terkait dengan bahasa, dalam sosialisasi jelas anak tunarungu sering menjadi gunjingan dan bahkan dijauhi karena ucapan yang disampaikan tidak dimengerti, di dunia pendidikan bila guru tidak paham bagaimana mendidik anak tunarungu, maka anak akan mengalami kesulitan; dan dalam kesempatan bekerja, anak tunarungu mengalami diskriminasi.

Menurut Nugroho (2008) anak tunarungu yang mengalami hambatan dalam pendengaran, dalam memperoleh bahasa menggunakan sistem lambang secara visual dan taktil kinestetik, atau kombinasi dari keduanya. Meskipun membaca bibir mempunyai kelemahan-kelemahan, tetap merupakan sarana komunikasi yang tepat untuk anak tunarungu. Bahasa batini anak tunarungu terdiri dari kata-kata yang mereka dengar dengan bantuan alat bantu dengar, dengan kata yang nampak pada gerak bibir sebagai ganti bunyi bahasa vokal dan konsonan, serta intonasi, sebagaimana terjadi pada anak normal, bagi anak tunarungu aspek ekspresif baru dapat dituntut

(5)

35 sesudah terjadi perkembangan reseptifnya yang didahului pengalaman atau situasi bersama sebagai syarat utama.

Menurut Somantri (2007) perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik, dengan demikian anak tunarungu tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa meraban, proses peniruan hanya terbatas pada peniruan visual. Selanjutnya dalam perkembangan bicara dan bahasa, anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan taraf ketunarunguan. Menurut Nugroho (2008) anak yang mengalami gangguan pendengaran mengalami kemiskinan bahasa. Kemiskinan bahasa ini disebabkan karena anak tidak mengalami proses pemerolehan bahasa seperti anak dengar pada umumnya, karena indera pendengaran tidak berfungsi untuk menangkap persepsi bunyi dari lingkungan, termasuk bunyi bahasa. Tingkat keterlambatan perkembangan bahasa anak tunarungu juga ditentukan oleh jenis ketunarunguan dan tingkat kehilangan derajat kemampuan dengar seorang anak.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran baik sebagian maupun total, sehingga tidak dapat mengerti atau memahami pembicaraan secara tepat. Anak tunarungu masih mampu mendengar melalui sisa pendengaran, dengan bantuan alat bantu dengar. Anak tunarungu juga memiliki kemampuan untuk menyerap informasi melalui ketajaman penglihatan. Anak tunarungu yang telah dididik dapat bersosialisasi dengan lingkungan, karena memiliki bahasa.

Metode Maternal Reflektif merupakan metode mengajar yang dikembangkan oleh Van Uden dari lembaga pendidikan anak tunarungu St. Michielsgestel, The Netherlands. Menurut Van Uden (dalam Nugroho, 2008) Metode Maternal Reflektif diartikan sebagai berikut:”A maternal reflective method is a model of teaching a mother tangue to prelingually deaf children based on psycholinguistic principles”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pendekatan maternal reflektif adalah pengajaran bahasa ibu untuk anak tunarungu yang belum menguasai bahasa berdasarkan prinsip psikolinguistik, dengan prinsip utama adalah percakapan. Suasana percakapan dalam memberi bahasa mengalir secara natural, naluriah, alamiah dan informal demi memuaskan kebutuhan psikologis anak. Ekspresi bayi yang diajak bercakap-cakap dapat berupa ocehan, tangisan, tawa, gerakan atau ekspresi wajah. Hal tersebut sangat sesuai dengan keadaan anak tunarungu usia dini yang sama sekali belum berbahasa.

Bartlett (2002) berpendapat tujuan mendidik dengan metode oral adalah untuk mengajari anak-anak yang mempunyai gangguan pendengaran kurang dengar dan tuli total, untuk mendengarkan dan berbicara. Tujuan utama metode oral adalah perkembangan anak secara utuh dalam keluarga dan lingkungannya, kepercayaan diri dalam berbicara, pribadi yang merdeka, kreatif dan mampu dalam menyelesaikan masalah, dengan tetap memerhatikan kemampuan dalam menyimak dan mengujarkan. Pendidik metode oral bagi tunarungu mengajarkan latihan mendengar, berbicara, dan kemampuan memahami bahasa. Guru juga mengajarkan kepada

(6)

36 orangtua, keluarga, dan teman-teman bagaimana berinteraksi dengan anak tunarungu dalam kerangka untuk mendukung perkembangan bahasa. Metode oral mengembangkan komunikasi melalui ucapan dan ujaran bibir. Bahasa isyarat mengembangkan komunikasi melalui gesture atau jari tangan untuk mengekpresikan pikiran dan ide, dapat juga dengan cara menulis di udara. Uden (dalam Mulholland, 1980) menegaskan bahwa percakapan adalah yang utama dari segala macam seni/model mendengarkan. Percakapan yang dilakukan oleh guru/orangtua/pendidik akan menemukan apa yang dibutuhkan anak, sikap asertives, pemikiran ke depan, mendapatkan penemuan baru, belajar untuk berelasi dengan ramah, serta sikap mengkonfirmasikan segala sesuatu. Marsudiharjo (2002) menegaskan metode percakapan reflektif tak berdaya guna dalam kegiatan belajar-mengajar, bila tidak ada kegiatan yang disebut latihan reflektif. Latihan reflektif adalah seperangkat kegiatan berbahasa lisan dan tulisan, aktif dan pasif bagi anak tunarungu yang sifatnya untuk memperkuat pemahaman bahasa. Tujuan latihan reflektif ialah untuk meningkatkan frekuensi penggunaan bahasa yang telah diperoleh dalam percakapan yang terhayati, memperkokoh pemahaman bahasa, dan memperluas pengetahuan bahasa.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Metode Maternal Reflektif (MMR) yaitu metode yang mengajarkan, melatih, dan membiasakan anak tunarungu supaya mampu berbahasa oral. Tujuan mendidik dengan metode oral adalah untuk mengajari anak-anak yang mempunyai gangguan pendengaran kurang dengar dan tuli total untuk mendengarkan dan berbicara. Sasaran metode tersebut yakni anak tunarungu mampu berbahasa, yaitu memiliki kemampuan untuk berbahasa secara reseptif yang terdiri dari membaca ujaran dan mendengar, serta berbahasa aktif yaitu berbicara. Pemerolehan kemampuan berbahasa dapat dilakukan: percakapan, visualisasi percakapan, membaca, dan latihan reflektif..

Metode Penelitian

Subjek penelitian adalah tiga anak tunarungu yang mendapat program penempatan di Taman Kanak-Kanak kelas 1 di SLB/B Pangudi Luhur, Jakarta Barat. Ketiga anak tersebut sudah dianggap mampu dalam hal belajar yaitu menulis dan membaca, serta umur ketiga anak lebih tua dibanding dengan teman-teman sekelasnya di Playgroup. Berdasarkan pemantauan guru kelas, ketiga anak tersebut mampu bersosialisasi dengan teman-teman dan kegiatan belajar di TK kelas 1. Waktu pelaksanaan penelitian selama enam bulan, dimulai dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Juli 2012.

Variabel penelitian adalah kemampuan berbahasa reseptif. Definisi operasional: kemampuan berbahasa reseptif adalah kemampuan untuk memahami ungkapan orang lain secara lisan dalam hal menyimak/mendengar dan membaca ujaran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Jenis penelitian adalah studi kasus. Tindakan penelitian yang digunakan adalah penerapan Metode Maternal Reflektif.

Teknik Pengumpulan Data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, tes tertulis dan tes lisan, serta pengumpulan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan cara menguji

(7)

37 kebenaran data dengan menggunakan trianggulasi data yang diperoleh dengan cara pengecekan dari guru kelas dan orangtua, agar data ketiga subjek lebih akurat. Membuat transkrip (Verbatim) hasil wawancara. Menginterpretasi ketiga subyek dengan cermat. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil interpretasi yang diperoleh dari ketiga kasus.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini, memberikan gambaran bahwa Y mengalami gangguan pendengaran tuli total sejak usia dini, akibat dari ketunaruanguan, Y tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaran baik dengan maupun tanpa alat bantu dengar. Penyebab gangguan pendengaran Y adalah virus rubella. Virus Rubella sangat berbahaya, karena virus tersebut menyerang pada otak hemisfer kiri yang dapat berakibat gangguan berbahasa (Baca tabel data siswa).

Penanganan sejak dini agak terlambat. Hal tersebut terbukti orangtua baru mengerti Y mengalami gangguan pendengaran setelah berumur 1 tahun dan masuk sekolah ketika umur 5 tahun. Ketunarunguan yang dialami sejak usia dini berakibat pula pada kemiskinan bahasa reseptif, karena pada usia tersebut merupakan awal perkembangan bahasa melalui apa yang didengar dan yang dilihat. Setelah mendapat bimbingan yang intensif dari pihak sekolah dan orangtua, serta penerapan Metode Maternal Reflektif, Y mampu berbahasa reseptif secara lisan dan tulis.

N mengalami gangguan pendengaran tuli total sejak usia dini, akibat dari ketunaruanguan, N tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan maupun tanpa alat bantu dengar. Penyebab gangguan pendengaran N tidak diketahui, ada kemungkinan faktor bawaan sehingga tidak berpengaruh pada perkembangan baik fisik dan metal (Baca tabel data siswa).

Tabel Data siswa

No Keterangan Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3

1 Nama Y N R

2 Jenis kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki

3 Umur 6th 7th 6th

4 Jumlah saudara kandung 1 5 1

5 Posisi dalam keluarga Anak ke-1 (anak sulung) Anak ke-6 (anak bungsu) Anak ke-1 (anak bungsu) 6 Masuk sekolah 2010 2010 2010

(8)

38 7 Diketahui tunarungu Umur 2 th Umur 1 th Umur 1 th

8 Pemeriksaan pendengaran Kiri: 116 dB Kanan: 115 dB Kiri: 113 dB Kanan: 113 dB Kiri: 113 dB Kanan: 113 dB

9 Frekuensi suara yang dapat didengar 250 hz – 4000 hz 250 hz – 4000 hz 250 hz – 4000 hz

10 Klasifikasi ketunarunguan Tuli total (deaf)

Tuli total (deaf)

Tuli total (deaf)

11 Penyebab ketunarunguan Virus Rubella Tidak diketahui

Pembengkakan lever karena pengaruh obat yang terlalu

keras.

12 Penyakit yang diderita Asma Tidak ada Paru-paru, Asma, Penyakit kulit

13 Kondisi Fisik Sering sakit Sehat, energik

Sering sakit

Kondisi Sosial Menunggu ajakan teman.

Mampu bersosialisasi

Lebih suka menyendiri

14 Kondisi motorik pelan cepat lambat

15 Pendampingan orangtua Protective Permisif Over protective dan ambisius 16 Pengasuh di rumah Orangtua,

kakek-nenek

orangtua Ibu

17 Penanganan yang pernah dilakukan

Tidak ada Tidak ada Terapi Orthopedhagogik dan terapi wicara

Penanganan sejak dini agak terlambat. Hal tersebut terbukti orangtua baru mengerti N mengalami gangguan pendengaran setelah berumur 1 tahun dan masuk sekolah ketika umur 6 tahun. Ketunarunguan yang dialami sejak usia dini berakibat pula pada kemiskinan bahasa reseptif, karena pada usia tersebut merupakan awal perkembangan bahasa melalui apa yang didengar dan yang dilihat. N mendapat bimbingan yang intensif dari pihak sekolah dan penerapan Metode Maternal Reflektif, tetapi orangtua kurang membimbing dan lebih memberi kebebasan pada N. Hal tersebut berakibat pada kemampuan berbahasa reseptif N baik secara lisan dan tulis mengalami penurunan.

(9)

39 R juga mengalami gangguan pendengaran tuli total sejak usia dini, akibat dari ketunaruanguan, R tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan maupun tanpa alat bantu dengar. Penyebab gangguan pendengaran adalah pembengkakan lever karena obat yang terlalu keras ketika berumur satu tahun. Hal tersebut berakibat pada kondisi fisik kurang sehat dan secara psikis mudah merasa cemas (Baca tabel data siswa).

Penanganan sejak dini agak terlambat. Hal tersebut terbukti orangtua baru mengerti R mengalami gangguan pendengaran setelah berumur 1 tahun dan masuk sekolah ketika umur 5 tahun. Orangtua memberi bimbingan setelah R masuk sekolah. Bimbingan yang diberikan berlebihan dan ambisius. Kondisi tersebut memperparah kondisi fisik, R jadi mudah sakit dan rasa cemas ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua.

Ketunarunguan yang dialami sejak usia dini berakibat pula pada kemiskinan bahasa reseptif, karena pada usia tersebut merupakan awal perkembangan bahasa melalui apa yang didengar dan yang dilihat. R mendapat bimbingan yang intensif dari pihak sekolah dan penerapan Metode Maternal Reflektif, tetapi orangtua berlebihan membimbing ketika mendekati tes/ulangan dan mengatur kegiatan R, misalnya orangtua melarang R untuk bergaul dengan teman sekampung. R diharuskan bermain di rumah dan belajar. Hal tersebut berakibat pada kemampuan berbahasa reseptif R baik secara lisan dan tulis mengalami peningkatan yang tinggi. Resikonya ketika bimbingan dari orangtua berkurang, kemampuan berbahasa reseptif menurun secara drastis.

Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Y mampu berbahasa reseptif karena mendapat bimbingan yang itensif dari pihak sekolah dan orangtua, serta penerapan Metode Maternal Reflektif.

2. Kemampuan berbahasa reseptif N menurun, karena kurang mendapat bimbingan yang itensif dari orangtua.

3. R mampu berbahasa reseptif karena mendapat bimbingan yang itensif dari pihak sekolah dan orangtua, serta penerapan Metode Maternal Reflektif. Hasil kemampuan berbahasa meningkat tinggi, karena orangtua memberi drill ketika akan tes/ulangan.

4. Y, N, dan R mampu berbahasa reseptif lisan dengan ujaran yang perlahan-lahan, bahasa yang sederhana, dan menyertakan gesture.

5. Y dan R mampu berbahasa reseptif tulis.

(10)

40 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi pemerhati anak tunarungu, hendaknya mempelajari dan mengaplikasikan Metode Maternal Reflektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa penanganan anak tunarungu yang mengalami kemiskinan bahasa. Pemerhati anak tunarungu diharapkan memberikan banyak stimulasi verbal pada anak tunarungu dengan memerhatikan tatabahasa, pengucapan kata yang jelas dan berirama.

2. Bagi Pimpinan Sekolah, pertama, berdasarkan hasil penelitian istilah program percepatan kurang tepat karena bermakna ganda. Istilah yang tepat adalah program penempatan. Kedua, penentuan siswa yang diikutkan program penempatan untuk memperoleh hasil yang memuaskan, selain aspek kognitif dan umur perlu meneliti perkembangan dari berbagai aspek yaitu aspek mental, sosial, emosional, kesiapan belajar, dan pendampingan orangtua, serta kemampuan berbahasa anak. Bagi guru, hendaknya menggunakan cara-cara yang inovatif untuk mengaplikasikan Metode Maternal Reflektif, supaya pembelajaran menjadi lebih menarik, menyenangkan, dan berdaya pikat.

3. Bagi Mahasiswa calon pemerhati pendidikan hendaknya mempelajari Metode Maternal Reflektif untuk memperkaya wacana dan sumber informasi sebagai calon pemerhati pendidikan, khususnya dalam memberikan layanan bagi anak tunarungu.

Daftar Pustaka

Ardatin, A.(2006). Pendidikan oral untuk anak tunarungu. Artikel: Majalah Utusan, vol 56, no 11, halaman 28-29.

Astutik, P., E. (2010). Metode maternal reflektif untuk meningkatkan kemampuan berbicara anak tunarungu kelas 3 SLB-B Widya Bhakti Semarang tahun 2009/2010. Skripsi Sarjana, tidak dipublikasikan. Surakarta: FKIP- Univesitas Sebelas Maret.

Bartlett, C.(2002). Effective intervention for children who are deaf and hard of hearing. New York: Oraldeafed Foundation.

(11)

41 Dardjowidjojo, S. (1991). Linguistik neurologi. Jogjakarta: Kanisius.

Darwanto P. (2006). Belajar dengan Metode Maternal Reflektif: Upaya peningkatan penguasaan bahasa bagi anak Tunarungu di SLB Pawestri Karanganyar. Jurnal kependidikan:

Prospect, Agustus 2006, Tahun 2, Nomor 3, tidak dipublikasikan. Klaten: Universitas Wandya Dharma.

Dhieni, N,dkk (2008). Metode pengembangan bahasa. Jakarta: Universitas terbuka.

Hildayani, R. (2008). Psikologi perkembangan anak. Jakarta: Universitas terbuka

Judarwanto, W. (2009). Bicara, bahasa dan komunikasi : definisi dan berbagai gangguannya. Diunggah dari http://speechclinic.wordpress.com/2009/04/25/ apa-itu-bicara-bahasa-dan-komunikasi-apa-saja-gangguan-yang-bisa-terjadi/

……...(2009). Oral language development. Diunggah dari http://speechclinic.

wordpress.com/2009/05/21/oral-language-development/

Khalila.(2009). Sekilas pengertian tunarungu. Diunggah dari http://kahilla16. blogspot.com/

Mamakiya.(2010). Pendidikan anak usia dini. Diunggah dari http://mamakiya. multiply.com/journal/item/1

Maria, J. (2010). Pendidikan anakku terlambat bicara. Jakarta: Prenada Media Group.

Madhu,J. (2006). Adjustment problems of hearing impaired. India: Ciscovery Publishing House.

Marsudiharjo, A. (2002). Pedoman kegiatan belajar mengajar pemerolehan bahasa anak tunarungu dengan metode maternal reflektif. Buku panduan mengajar, tidak

dipublikasikan. Jakarta: SLB/B Pangudi Luhur.

Murwani, dkk. (2011). Didaktik metodik pemerolehan kemampuan berbahasa anak Tunarungu di Taman Latihan Observasi. Buku panduan mengajar, tidak dipublikasikan. Jakarta: SLB/B Pangudi Luhur.

(12)

42 Mulholland, M, An. (ED). (1980). Oral education today & tomorrow. Washinton, d.c.: The

alexander Graham Bell association for the deaf.

Nazir, M. (2009). Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nugroho, B., G. (2008). Pengaruh model intervensi dini dan tingkat ketunarunguan terhadap penguasaan bahasa anak tunarungu. Disertasi Pasca Sarjana, tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta

Ochamutz.(2010). Pengertian dan klasifikasi, penyebab serta cara pencegahan terjadinya anak tunarungu. Diunggah dari http://ochamutz91.wordpress.com/ 2010/05/29/karakteristik-dan-pendidikan-anak-tuna-rungu/

Peter, P (terjemahkan: Hartotanojo). (1994). Psikologi dan ketulian. Buku panduan mengajar, tidak dipublikasikan. Wonosobo: Yayasan karya bakti.

Peter, P (terjemahkan: Hartotanojo). (1994). Ketulian dan perkembangan bahasa. Buku panduan mengajar, tidak dipublikasikan.Wonosobo: Yayasan karya bakti.

Peter, P (terjemahkan: Hartotanojo). (1994). Ketulian dan proses-proses sensori-perseptual. Buku panduan mengajar, tidak dipublikasikan.Wonosobo: Yayasan karya bakti

Sastra, G. .(2011). Neurolinguistik suatu pengantar. Bandung: Alfabeta

Soetjiningsih. (1994). Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Somad, P & Tarsidi, D. (2008). Dampak ketunarunguan terhadap perkembangan individu. Diunggah dari http://permanarian16.blogspot.com/2008/03/dampak-ketunarunguan-terhadap.html

Somantri, S. (2007). Psikologi anak luar biasa. Bandung: Refika Aditama.

Sudarnoto, L.,dkk.(2011). Panduan penulisan skripsi. Buku panduan, tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Sudarnoto, L. (2011). Diktat kuliah: Metodologi Penelitian. Buku panduan mengajar, tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

(13)

43 Sukardi, D.K.(1984). Pengantar teori konseling. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sumarwati, Th. (2002). Pedoman kegiatan belajar mengajar pemerolehan bahasa anak tunarungu dengan metode maternal reflektif. Buku panduan mengajar, tidak dipublikasikan. Jakarta: SLB/B Pangudi Luhur.

Supriyadi, dkk. (2011). Pendidikan dan pelatihan profesi guru rayon 9 UNJ. Jakarta: Unvesitas Negeri Jakarta.

Taningsih, (2006). Mengembangkan kemampuan bahasa anak usia (4-6 tahun) melalui

bercerita. Penulisan ilmiah, tidak dipublikasikan. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Tirtonegoro, S.(1994). Perilaku mandiri anak tunarungu pada berbagai pola asuh. Jurnal kependidikan: Majalah Ilmiah Penelitian Pendidikan, vol 24, no. 3, halaman 83-93.

Winkel, W.S. (2004). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.

Gambar

Tabel  Data siswa

Referensi

Dokumen terkait

Dalam komunikasi interpersonal menggunankan Metode Maternal Reflektif ini peneliti memberikan artian bahwa selain dari ibu dan keluarga inti, penerimaan yang baik

Permasalahan yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah: “ Apakah penerapan Metode Maternal Reflektif dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman pada anak

Tidak ada hubungan yang signifikan antara kemampuan berbahasa dengan persepsi guru terhadap penyesuaian sosial anak di Taman Kanak-Kanak. Persentase persepsi guru

kemampuan berbahasa anak dengan persepsi guru terhadap penyesuaian sosial pada. anak di Taman

maternal reflektif yaitu suatu metode pengajaran yang menekankan pada kemampuan berbahasa anak, didalamnya terdiri dari proses berbicara, menyimak dan membaca dalam

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang peranan kegiatan bercakap- cakap terhadap perkembangan kemampuan berbahasa anak di Taman Kanak-kanak Angkasa Lanud

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran sentra balok sebagai stimulasi kemampuan berbahasa anak di taman kanak-kanak pembina kandis terlaksana melalui metode