ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DI JAWA TIMUR TENTANG STATUS ISTRI DAN ANAK PASCA
PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI
(Studi Putusan Pengadilan Agama Probolinggo Nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob)
SKRIPSI
Oleh:
Nur Faridah Alia Wardani NIM.C01213066
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur Tentang Status Istri dan Anak Pasca Penolakan Perkara Isbath Nikah Poligami” (Studi Putusan Nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana pandangan hakim pengadilan agama di jawa timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami? Bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim pengadilan agama di jawa timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami?
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (kualitatif) karena data yang digunakan dalam penelitian ini, diperoleh dari pengadilan agama melalui proses wawancara. Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer adalah para hakim pengadilan yang di wawancarai dan sumber data sekunder yaitu buku-buku pendukung tentang poligami. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif induktif.
Hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa hakim Pengadilan Agama di jawa timur dalam isbat nikah poligami putusan Nomor: 0164.pdt.G/2013/PA.Prob tidak mengabulkan isbat nikah bagi nikah poligami tersebut menggunakan Undang-undang Nomor 1 Th.1974 tentang perkawinan, berdasarkan Undang-Undang-undang Nomor 1 Th.1974 Pasal 43 ayat (1) anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 56 suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, keempat, tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah R.I Nomor 45 Th.1990 tentang perubahan atas PP Nomor 10 Th.1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, perkawinaan dan perceraian yang dilakukan oleh PNS harus mendapat izin dari atasan sesuai hirarki instansi.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 14
C.Rumusan Masalah ... 15
D.Kajian Pustaka ... 16
E. Tujuan Penelitian ... 20
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 21
G.Definisi Operasional ... 22
H.Metode Penelitian ... 23
I. Sistematika Pembahasan ... 27
BAB II LEGALISASI PERNIKAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STATUS ISTRI DAN ANAK PASCA PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI A. Isbat Nikah 1. Pengertian isbat nikah ... 29
2. Syarat dan rukun isbat nikah ... 31
B. Pecatatan Perkawinan
1. Pengertian pencatatan perkawinan ... 35 2. Tujuan pencatatan perkawinan ... 37 C. Poligami
1. Dasar hukum poligami... 38 2. Poligami non PNS ... 44 3. Poligami PNS ... 46 BAB III PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DI JAWA
TIMUR TENTANG STATUS ISTRI DAN ANAK PASCA PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI A. Gambaran Umum Pengadilan Agama di Jawa Timur
1. Letak geografis ... 50 2. Tupoksi pengadilan agama ... 51 B. Uraian Pandangan Hakim Pengadilan Agama di Jawa
Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan isbat nikah poligami
1. Pandangan hakim pengadilan agama Probolinggo ... 52 2. Pandangan hakim pengadilan agama Sidoarjo ... 55 3. Pandangan hakim pengadilan agama Lamongan ... 59
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DI JAWA TIMUR TENTANG
PENOLAKAN PUTUSAN HAKIM PENGADILAN
AGAMA PROBOLINGGO
(Nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob)
B. Solusi dan Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Perkawinan Poligami ... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradilan agama merupakan salah satu badan peradilan yang ada di
Indonesia dan peradilan agama diperuntukkan bagi orang-orang yang
beragama Islam. Dalam peradilan agama terdapat dua macam pengadilan,
yaitu pengadilan agama (PA) dan pengadilan tinggi agama (PTA). Peradilan
agama merupakan juga salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam
menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
perdata tersebut bagi rakyat atau orang-orang yang beragama Islam untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Perkara perdata tertentu yang dimaksud
diatas adalah perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, dan sedekah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.1
Perkawinan merupakan Sunah Nabi Muhammad Saw. Sunnah
diartikan secara singkat adalah mencontoh tingkah laku Nabi Muhammad
saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan
keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat. Dibawah
naungan cinta kasih dan rida Allah Swt.
Agama Islam yang diturunkan oleh Allah Swt, sebagai pembawa
rahmat bagi seluruh alam, yang mengatur segala sendi kehidupan manusia di
2
alam semesta ini, di antara aturan tersebut adalah hukum mengenai
perkawinan. Allah mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan
primer, yaitu mempertahankan keturunan, manusia terbebani tanggung jawab
untuk membina keluarga dan pendidikan generasi.
Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya sebuah institusi kecil
dalam keluarga. Perkawinan sangat penting bagi kehidupan manusia
perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah,
pergaulan antara laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai
kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina
dalam suasana damai, tentram dan kasih sayang antara suami, istri dan anak.
Anak dari hasil perkawinan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan anugerah dari Allah Swt.2
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.3 Dari pengertian
tersebut untuk mewujudkan keluarga yang bahagia landasan utama yang perlu
dibangun antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah adanya
hak dan kewajiban diantara keduanya. Untuk itulah harus diadakan ikatan
pertalian yang kokoh dan langgeng melalui perkawinan.
2 Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), 10.
3
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah
tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami istri memikul
amanah dan tanggung jawab. Bagaimanapun juga suatu perkawinan yang
sukses tidak dapat diharapkan dari mereka yang masih kurang matang,
melainkan menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan psikis
dan mental, untuk itu suatu perkawinan haruslah diawali dengan suatu
persiapan yang matang pula.4
Tentang duduk perkara, bahwa si PEMOHON I (suami) dan
TERMOHON (istri) telah melangsungkan pernikahan pada Tahun 1978, yang
dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama kecamatan
pesantren Kota Kediri dengan kutipan Akta Nikah Nomor: 89/34/19178
Tanggal 26 Februari 1978. Bahwa pemohon dan termohon selama dalam
pernikahan tersebut telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan
telah dikaruniai dua orang anak, dan pada Tahun 2013 terjadi perceraian
sebagaimana oleh pasangan suami istri tersebut, dengan kutipan Akta Cerai
yang telah diterbitkan oleh Pengadilan Agama Probolinggo pada Tanggal 16
Januari 2013. Dengan diam-diam tanpa izin dan persetujuan si istri pertama,
sang suami menikah dibawah tangan atau siri dengan perempuan lain. Bahwa
pada Tanggal 25 Desember 1994 PEMOHON I (suami) dan PEMOHON II
(istri siri) melangsungkan pernikahan dibawah tangan dirumah kakak kandung
pemohon II dan selama pernikahan tersebut pemohon bertempat tinggal di
4
rumah milik bersama dan telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri
dan dikaruniai dua orang anak. Empat bulan setelah menikah dibawah tangan
telah lahir anak pertama, anak pertama (lahir 21 April 1995), anak kedua
(lahir 24 Juni 2005). Bahwa pada pernikahan tersebut wali nikahnya adalah
adik kandung pemohon II karena orangtua telah meninggal. Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas para pemohon mengajukan permohonan isbat nikah
poligami ke Pengadilan Agama kabupaten Kota Probolinggo pada Tanggal 01
Mei 2013. Dan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang sudah diatur
dalam hukum perkawinan di Indonesia, dengan landasan teori
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), atas
pertimbangan hakim, maka hakim Pengadilan Agama Probolinggo tidak dapat
mengabulkan permohonan isbat tersebut.5
Isbat nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri
yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan
pengakuan dari negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh
keduanya sebelum adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga
pernikahannya tersebut berkekuatan hukum. Cukup banyak masyarakat yang
mengajukan isbat nikah, yaitu permohonan pengesahan nikah yang diajukan
ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan
hukum.
5 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor:
5
Pernikahan siri oleh masyarakat umum sering diartikan sebagai
berikut:6
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan ini dilakukan secara rahasia (siri),
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap
absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu
syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam
lembaga pencatatan negara.
Sedangkan faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan
siri antara lain:7
1. Nikah siri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orangtua
kedua belah pihak atau salah satu pihak.
2. Nikah siri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah
satu atau kedua belah pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan
telah mempunyai istri dan anak yang resmi, tetapi ingin menikah lagi
dengan orang lain.
3. Nikah siri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina.
4. Nikah siri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi
dan secara sosial.
6 Muhammad Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 557-558.
6
5. Nikah siri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau
tahu prosedur hukum.
6. Nikah siri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan
badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan, maka
akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang
berbelit-belit di persidangan.
Pada kejelasan tersebut dapat dipahami bahwa pentingnya pencatatan
perkawinan bertujuan untuk terlaksananya tertib administrasi supaya tidak
terjadi ketidakjelasan status dalam suatu perkawinan dan perkawinan tersebut
memiliki perlindungan hukum bila suatu waktu terjadi sengketa. Namun fakta
yang sedang terjadi saat ini adalah ketidak patuhan yang dilakukan beberapa
masyarakat dalam melakukan pernikahan atau perkawinan dengan tidak
melakukan pencatatan sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, seperti nikah siri. Sehingga hal itu menimbulkan
berbagai akibat pada kehidupan perkawinan seseorang yang tidak sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dapat disebut perkawinan yang
tidak taat hukum.
Dalam pertimbangan Islam perkawinan merupakan suatu ibadah dan
merupakan sunatullah dan sunah Nabi Muhammad Saw. Sunah Allah berarti
menurut kodrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini
7
Muhammad Saw yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan untuk
umatnya.8 Dalam ayat Al-quran surah An-nisa’ ayat 1:
ن ن م م ق خ لا م ب ا قتا سانلاا يأي
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.(Annisa’ ayat 1).9
Sebagi makhluk yang dimuliakan oleh Allah Swt., manusia memiliki
akal, peradaban, budaya, dan norma-norma sosial yang berlaku memiliki,
bahkan sistem nilai yang diambil dari suatu agama, misalnya dari Islam.10
Ketentuan undang-undang yang mengatur perkawinan di Indonesia,
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mewajibkan bahwa
perkawinan itu harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dimana ia
bertempat tinggal, sebagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2
yaitu ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007), 41. 9Departemen Agama Republik Indonesia, Al-HikmahAl-Quran dan Terjemahan, (Bandung: Diponegoro), 77.
8
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, (2) Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.11
Seiring dengan perkembangan zaman undang-undang tersebut mulai
menampakkan kelemahanya. Pada dasarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam
lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak
sepenuhnya merujuk pada undang-undang tersebut.
Sebagai contoh dalam masalah isbat nikah dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dalam Pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa isbat nikah yang
diajukan ke pengadilan agama terbatas ketika “Adanya perkawinan yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974”.12
Artinya jika mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam
Pasal 7 (ayat 3d) & Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ketika seseorang
menikah sebelum adanya undang-undang perkawinan tersebut (sebelum tahun
1974) maka diperkenankan untuk melakukan isbat nikah, karena pada saat itu
tidak ada aturan tentang pencatatan nikah. Akan tetapi setelah adanya
undang-undang perkawinan tersebut maka pihak yang menikah siri (nikah di bawah
tangan) dilarang untuk melakukan isbat nikah.
Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini banyak sekali perkara isbat
nikah yang masuk dalam lingkungan peradilan agama walaupun pernikahan
11Ibid.,78.
9
siri tersebut terjadi setelah adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Salah satu tujuan utama disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
adalah sebagai upaya penertiban hukum terhadap pernikahan yang dilakukan
oleh masyarakat Indonesia.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
dengan pencatatan nikah. Dengan adanya pencatatan nikah ini, sebagai
konsekuensinya masyarakat akan mendapatkan pengakuan yang sah oleh
hukum terhadap pernikahan tersebut dan akan mendapatkan perlindungan
hukum jika suatu saat nanti terjadi sengketa hukum terkait dengan perceraian,
pembagian waris, wakaf, dan lain sebagainya.
Seperti yang telah tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, dalam Pasal 2 dijelaskan, ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut masing masing agamanya dan kepercayaannya
itu”. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) dijelaskan “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.13
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan (2)
tersebut mempunyai makna bahwa sesungguhnya setelah terbitnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada lagi pernikahan yang tidak dicatatkan
di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal tersebut juga sebagai penertiban
pernikahan, dengan tidak dicatatkannya sebuah pernikahan akan
menimbulkan dampak dimasyarakat.
10
Kemudian kemunculan Pasal 7 ayat (3e) dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) tampaknya memberikan celah hukum sehingga seorang hakim
mempunyai pertimbangan khusus dalam mengabulkan perkara isbat nikah
dimana dalam pasal tersebut dijelaskan : “Perkawinan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974”.
Pada dasarnya isbat nikah merupakan penetapan yang dikeluarkan
oleh negara terhadap keabsahan suatu perkawinan yang dilakukan secara sah,
adanya isbat nikah merupakan jalan keluar yang diberikan negara bagi mereka
yang tidak mempunyai akta nikah. Akan tetapi perkawinan yang dapat di
isbatkan hanya terbatas dalam hal-hal sebagaimana dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 7 ayat (3) yang berbunyi:
a) Adanya perkawinan dalam rangka menyelesaikan perceraian.
b) Hilangnya akta nikah.
c) Adanya keraguan sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan,
e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.14
Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana isbat nikah yang di
akibatkan karena tidak mempunyai surat izin poligami. Dalam masalah ini
11
terdapat kasus isbat nikah yang diajukan, tetapi permohonan isbat nikah
tersebut ditolak oleh pengadilan agama. Terkait dengan hal tersebut
bagaimana status istri dan anak yang disebabkan ditolaknya atau tidak
dikabulkanya isbat nikah tersebut. Padahal sudah jelas didalam Al-quran
tentang perlindungan wanita dan hak-hak wanita, jika isbat nikah yang
diajukan ditolak, sudah pasti hak-hak wanita tidak bisa didapat dan perasaan
seorang wanita pasti merasa kecewa dan tidak adil bagi dirinya.
Menurut sejumlah penelitian, isbat nikah merupakan salah satu sarana
bagi pelaku-pelaku pelanggar undang-undang perkawinan. Peluang isbat
nikah ditambah dengan pengetahuan yang rendah, bahkan tidak paham dari
pihak lain, menjadi pintu luang bagi pelanggar. Mengaku calon istri dan anak
sudah hamil menjadi lowongan poligami lewat isbat nikah. Mengaku sudah
lahir anak yang kelak tidak jelas status hukum orangtuanya menjadi alasan
lagi untuk poligami lewat isbat nikah. Masih banyak modus-modus hampir
sama untuk tujuan sama. Karena itu, ketegasan para penegak hukum (hakim)
untuk bertindak tegas atau minimal kecerdasan untuk menyeleksi mana yang
masih pantas diberi isbat nikah.
Semestinya para hakim dan tokoh masyarakat, ustad, kiai, mubalig,
meletakkan undang-undang perkawinan sebagai hukum (fikih) Islam
Indonesia. Sehingga undang-undang inilah sebagai fikih Islam yang
diberlakukan di Indonesia, sama status dan otoritasnya dengan hukum (fikih)
12
Sehingga tidak ada lagi istilah sah menurut agama tetapi belum menurut
negara. Dengan ungkapan lain, undang-undang itulah hukum Islam (agama)
sekaligus hukum negara.
Adapun dalam perkawinan Indonesia, undang-undang telah mengatur
syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan
administrasi, prosedur pelaksanaanya, dan mekanismenya.15 Apabila suatu
perkawinan telah memenuhi seluruh syarat dan rukun yang telah ditentukan,
maka perkawinan dapat dikatakan sah. Akan tetapi, selain terpenuhinya syarat
dan rukun perkawinan, perkawinan tersebut harus terlepas dari segala hal
yang menjadi penghalang. Hal ini disebut sebagai larangan dalam perkawinan.
Larangan perkawinan adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan
perkawinan yaitu perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini
oleh seorang laki-laki, maupun sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak
boleh dikawini oleh seorang perempuan.
Apabila terjadi perkawinan yang melanggar larangan perkawinan atau
tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun perkawinan, maka perkawinan
tersebut tidak sah dan dapat di batalkan. Pembatalan perkawinan adalah
pembatalan ikatan perkawinan oleh pengadilan agama berdasarkan tuntutan
istri dan anak atau suami yang dapat dibenarkan pengadilan agama atau
karena perkawinan yang telah telanjur menyalahi hukum perkawinan.16 Pasal
13
22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa perkawinan
dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan
untuk melangsungkan perkawinan.17
Dalam skripsi ini peneliti mengambil tempat untuk melakukan
penelitian lapangan di Pengadilan Agama Kota Probolinggo, bahwa pasangan
suami istri yang menikah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 akan tetapi tidak tercatat di KUA.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh
penolakan isbat nikah tersebut yang dalam hal ini secara komprehensif penulis
menuangkannya kedalam bentuk karya skripsi yang berjudul: “Analisis
Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang
Status Istri dan Anak Pasca Penolakan Perkara Isbat Nikah Poligami”.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi masalah
Judul skripsi “Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim
Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang Status Istri dan Anak pasca
Penolakan Perkara Isbat Nikah Poligami” dari latar belakang masalah ini,
identifikasi sebuah masalah diantaranya :
a. Definisi dari isbat nikah berdasarkan undang-undang yang berlaku.
b. Faktor-faktor yang menyebabkan isbat nikah.
14
c. Dampak terhadap perkawinan poligami secara siri.
d. Akibat hukum dari perkawinan poligami secara siri.
e. Pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang status istri
dan anak pasca penolakan isbat nikah poligami.
f. Analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa
Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah
poligami.
2. Batasan masalah
Untuk menghindari munculnya berbagai permasalahan diluar
pembahasan skripsi ini, maka penulis memberikan batasan masalah sebagai
berikut :
a. Pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang status
istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami.
b. Analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa
Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat
nikah poligami.
C. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas dapat di ketahui bahwa pokok yang
15
1. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur
tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah
poligami?
2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan
Agama di Jawa Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan
perkara isbat nikah poligami?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar permasalahan yang akan
diteliti. Kajian pustaka dilakukan untuk menegaskan bahwa kajian penelitian
yang ditulis sama sekali bukan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau
penelitian sebelumnya, berikut data yang berhasil diperoleh terkait penelitian
yang terdahulu.18
Kajian pustaka digunakan untuk menguji keabsahan suatu penelitian
karena dikhawatirkan bahwa penelitian ini sudah pernah ada yang melakukan
penelitian atau belum. Berdasarkan penelusuran karya ilmiah yang penyusun
lakukan, ada beberapa karya ilmiah yang membahas masalah isbat nikah
diantaranya:
16
1. Skripsi Mohammad Roqib (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
2015), dengan judul “Analisa Hukum Islam Terhadap Penolakan isbat
nikah Siri bagi suami yang sudah beristri dan anak (Studi putusan
Pengadilan Agama Nganjuk Nomor: 1339/Pdt.G/2013/PA.Ngj)”,
membahas bagaimana dasar pertimbangan hukum penolakan hakim
terhadap ithbat nikah siri bagi suami yang sudah beristri dan anak, hasil
yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini, bahwa pertimbangan dan
dasar hukum yang digunakan hakim dalam menetapkan perkara isbat
nikah ialah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam. Dengan demikian hakim menolak permohonan isbat nikah karena
pada kasus ini menurut majlis hakim tergolong perkara poligami.
Pertimbangan hukum yang digunakan hakim hanya bertendensi pada
aspek yuridis semata tanpa mempertimbangkan maqasid al-shari‘ah
maksud yang terkandung yaitu kemaslahatan umat manusia.19
2. Skripsi Arianti yang berjudul “Tinjauan yuridis Terhadap Isbat Nikah
Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Bangkalan”. Pembahasan dalam
penelitian ini yaitu studi analisis putusan hakim, dari tiga perkara putusan
kemudian bagaimana pertimbangan hakim memutuskan perkara isbat
nikah poligami sehingga hakim menolak perkara isbat nikah. Dari
penelitian ini menyimpulkan bahwa hakim tidak mengabulkan
17
permohonan isbat nikah, sebab tidak adanya surat izin poligami, dimana
ketentuan surat izin poligami tidak terakomodir dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 7.20
3. Skripsi Nur Afifah yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Putusan
Pengadilan Agama Jombang tentang Status Anak dari pembatalan
perkawinan Nomor 1433/pdt.G/2008/PA.Jbg”. Pembahasan dalam
penelitian ini adalah pembatalan perkawinan terjadi karena istri dan
anaknya masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain. Oleh karena itu
Pengadilan Agama membatalkan perkawinan tersebut dengan bukti-bukti
otentik yang sudah diperiksa oleh para Hakim. Adapun tentang status
hukum anak dari pembatalan perkawinan menurut Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
bahwa anak tersebut tetap dinasabkan kepada kedua orang tuanya karena
hukum tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang dibatalkan tersebut.21
4. Skripsi Agung Yusfantoro, yang berjudul “Akibat Hukum Pembatalan
Perkawinan Terhadap Status Anak dan Harta bersama (Studi kasus di
Pengadilan Agama Kabupaten Kediri). Skripsi ini menyimpulkan bahwa
status anak yang lahir sebagai akibat pembatalan perkawinan dianggap
20 Ariyanti, Tinjauan Yuridis Terhadap Isbat Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Bangkalan, (Skripsi-UIN-Sunan Ampel-Surabaya, 2015).
18
sebagai anak sah dan pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut
bagi anak yang lahir sebelum adanya pembatalan, sehingga berhak atas
pemeliharaan, pembiayaan serta waris dari kedua orangtuanya. Adapun
terkait harta bersama dalam putusan ini untuk pembagianya diserahkan
sesuai dengan kesepakatan masing-masing.22
Sedangkan dalam pembahasan penelitian ini berbeda dengan
pembahasan yang dilakukan sebelum-sebelumnya. Berdasarkan beberapa
penelitian tersebut, penulis memilih wawancara hakim secara langsung,
terkait pandangan hakim atas pertimbangan-pertimbangan tidak
mengabulkanya permohonan, sehingga sangat berbeda dengan analisis
putusan yang dibahas sebelum-sebelumnya, maka penulis memilih judul
“Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama di Jawa
Timur tentang status Istri dan Anak pasca Penolakan Perkara Isbat Nikah
poligami” dengan alasan karena belum pernah dibahas oleh peneliti terdahulu
terkait pandangan hakim setelah mempertimbangkan ditolaknya permohonan
isbat nikah, sehingga penulis mengangkat kasus di Pengadilan Agama
Probolinggo.
Pembahasan penelitian ini nantinya lebih kepada dampak dari
penolakan isbat nikah poligami yang dilakukan secara siri terhadap status istri
19
dan anak, dalam ruang lingkup Pengadilan Agama di Jawa Timur. Penulis
memilih tiga Kota di Jawa Timur (Sidoarjo-Probolinggo-Lamongan) untuk
mewakili dari pendapat pandangan hakim diambil tiga sampel zona sudah
dirasa cukup, dengan alasan jumlah pengadilan agama di Jawa Timur ada 37
Pengadilan Agama, dibagi dalam lima zona, diantaranya:
1. Zona metropolis : Surabaya, Sidoarjo, Malang, Kodya malang
2. Zona tapalkuda : Pasuruan, Probolinggo, Jember, Bondowoso,
Situbondo, Banyuwangi, Lumajang, Bangil, Kraksaan.
3. Zona pantura : Gersik, Bawean, Lamongan, Tuban.
4. Zona Mataraman : Nganjuk, Kediri, Tulungagung, Blitar, Pacitan,
Ponorogo, Magetan, Madiun, Trenggalek, Kodya madiun, Kodya Kediri,
Bojonegoro, Mojokerto, Jombang, Ngawi.
5. Zona Blok-M : Bangkalan, Pamekasan, Sampang, Sumenep,
Kangean.
E. Tujuan Penelitan
Selanjutnya penelitian skripsi ini bertujuan untuk memenuhi tugas
akademik guna memperoleh gelar sarjana dalam fakultas syariah dan hukum,
juga didorong oleh beberapa tujuan penelitian yang berkaitan dengan isi
rumusan masalah diatas, antara lain:
1. Untuk mengetahui dasar hukum hakim dalam mempertimbangkan dan
20
mendalam tentang bagaimana pertimbangan hakim dan dasar hukum
hakim menolak permohonan isbat nikah poligami.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana analisis yuridis terhadap
pertimbangan hakim menolak permohonan isbat nikah poligami.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan
mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka peneliti ini sekiranya
bermanfaat diantaranya:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
yang jelas mengenai tentang perkawinan poligami atau siri (perkawinan
bawah tangan), yang tidak memiliki bukti otentik. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya isbat nikah supaya memperoleh pengesahan nikahnya
dan memiliki kekuatan hukum. Dengan adanya perkawinan yang tidak
dicatatkan dalam Kantor Urusan Agama (KUA), maka akan
menimbulkan dampak di masyarakat.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan
ilmu pengetahuan hukum, dan memberikan manfaat praktis terhadap
pihak-pihak yang membutuhkan, baik sebagai pegangan selanjutnya
maupun sebagai bahan penyuluhan dalam bidang perkawinan khususnya
21
tidak dikabulkannya permohonan isbat nikah. Bagi lembaga peradilan
agama, penelitian ini diharapkan sebagai informasi pengetahuan agar
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara isbat
nikah.
G. Definisi Operasional
Skripsi ini berjudul: “Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim
Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang Status Istri dan Anak Pasca
Penolakan Perkara Isbat Nikah Poligami”
Agar memudahkan pemahaman dan tidak menimbulkan banyak
penafsiran bagi para pembaca maka penulis perlu untuk mengemukakan atau
mendefinisikan beberapa istilah yang menjadi variabel ataupun konsep dalam
penelitian ini.23 Istilah-istilah yang terkait dalam masalah tersebut antara lain
sebagai berikut:
1. Analisis Yuridis: Metode penelitian yang ingin menyelidiki hal-hal yang
berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) , Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, PP
Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas PP Nomor 10 Tahun 1983.
2. Pandangan Hakim: Pendapat yang berdasar pada pengetahuan
hakim-hakim di Pengadilan Agama di Jawa Timur
(Sidoarjo-Probolinggo-Lamongan) tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat
nikah poligami.
22
3. Status Istri dan Anak : Keadaan atau kedudukan istri dan anak pasca
penolakan isbat nikah poligami oleh pengadilan agama atau karena
perkawinan yang telah terlanjur menyalahi hukum perkawinan.
4. Isbat Nikah Poligami: Sebuah proses permohonan pengesahan nikah
poligami yang telah dilakukan secara siri dan diajukan ke pengadilan
agama untuk dinyatakan sah-nya sebagai bukti keabsahan pernikahan yang
telah dilakukan dan memiliki kekuatan hukum.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, yaitu data yang
dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah fakta-fakta yang berkaitan
langsung dan tidak langsung dengan pertimbangan hakim pengadilan agama
di jawa timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah
poligami.
Dalam pengumpulan bahan/data penyusun skripsi ini agar
mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode
penelitian kuantitatif:
1. Data yang dikumpulkan
Sesuai rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, agar
dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung jawabkan
tentang kualitas mutunya maka penulis membutuhkan data sebagai
23
a. Data yang terkait pandangan hakim pengadilan agama di Jawa Timur
tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah
poligami.
b. Data yang terkait dasar hukum hakim pengadilan agama di Jawa Timur
tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah
poligami.
2. Sumber data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data
tersebut dapat diperoleh. Dari data yang akan dikumpulkan di atas, maka
sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data utama, atau dapat disebut
juga dengan sumber data pokok yang akan dikaji. Sumber data primer
dalam skripsi ini adalah hakim-hakim pengadilan agama di Jawa
Timur, mengambil tiga sampel (Sidoarjo-Probolinggo-Lamongan)
dianggap cukup untuk mewakili dari lima zona yang ada di Jawa
Timur diantaranya: Zona metropolis, tapal kuda, mataraman, pantura,
blok-M.
24
Sumber data sekunder adalah sumber data pendukung yang
memuat informasi tentang permasalahan yang akan dikupas dalam
penelitian ini. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini
antara lain Kitab Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9
Tahun 1975, PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990
(tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS), Kompilasi Hukum
Islam (KHI), dan buku-buku tentang nikah poligami dan siri yang
relevan dan memiliki keterkaitan secara konseptual dan substansional
yang dapat melengkapi sumber data primer, serta dokumen dan arsip.
3. Teknik pengumpulan data
a. Wawancara (interview), yaitu teknik memperoleh data dengan tanya
jawab langsung secara lisan dengan Hakim-hakim Pengadilan Agama
di Jawa Timur (Sidoarjo, Probolinggo dan Lamongan). Wawancara ini
dilakukan dengan pokok pertanyaan yang telah disiapkan kemudian
dilanjutkan dengan variasi wawancara yaitu pengembangan dari
wawancara guna memperoleh data yang diperlukan yaitu memperoleh
data dengan menelusuri dan memperoleh dokumen yang berupa
buku-buku yang relevan dengan status istri dan anak pasca penolakan
perkara isbat nikah poligami.
b. Dokumentasi (document), yaitu memperoleh data dengan menelusuri
25
buku yang relevan dengan status istri dan anak pasca penolakan
perkara isbat nikah poligami.
4. Teknik pengolahan data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah dengan cara-cara
sebagai berikut:
a. Editing (pemeriksaan data) yaitu memeriksa kembali semua data yang
diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai
segi yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya,
keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.24
b. Memeriksa data hasil wawancara yang diperoleh dapat memberikan
informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti berhubungan
dengan pembahasan tentang Analisis Yuridis terhadap pandangan
hakim pengadilan agama di Jawa Timur tentang status istri dan anak
pasca penolakan perkara isbat nikah poligami.
5. Teknik analisis data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan dan
menjelaskan data secara rinci dan sistematis sehingga diperoleh
pendalaman yang mendalam dan menyeluruh. Kemudian menggunakan
pola pokir deduktif, yaitu menganalisis data yang bertitik tolak dari teori
yang bersifat umum tentang isbat nikah untuk meninjau data yang bersifat
26
khusus yaitu pertimbangan hakim pengadilan agama di Jawa Timur
tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah
poligami.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini agar lebih mudah dipahami dan terperinci
pembahasanya, maka dibuat sistematika penyusunan skripsi ini menjadi
kedalam lima bab. Masing-masing membahas permasalahan yang di uraikan
menjadi beberapa sub bab, antara satu bab dengan bab yang lain saling
berhubungan dan terkait. Adapun beberapa sub bab diantaranya sebagai
berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari Latar
Belakang Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah,
Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi
Opreasional, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
\ Bab kedua berisi tentang Landasan Teori tentang Isbat Nikah,
pengertian syarat dan dasar hukum, Pencatatan Perkawinan tentang pengertian
dan tujuan, Poligami tentang poligami PNS dan non PNS.
Bab ketiga berisi uraikan tentang hasil wawancara yang meliputi
gambaran umum Pengadilan Agama di Jawa Timur, yang meliputi letak
georgrafis, wilayah yurisdiksi, dan Uraian pertimbangan hakim tentang status
27
Bab keempat yang membahas kajian analisis yuridis terhadap
pertimbangan Hakim-hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang status
istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami dan Solusi serta
akibat hukum yang ditimbulkan.
BAB II
LEGALISASI PERNIKAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STATUS ISTRI & ANAK PASCA PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI
A. Isbat Nikah
1. Pengertian isbat nikah
Isbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah
dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat
oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:
KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan).
Pada dasarnya isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Tetapi pernikahan yang terjadi
pada masa lampau ini belum atau bahkan tidak dicatatkan ke pejabat
yang berwenang, dalam hal ini pejabat KUA (Kantor Urusan Agama)
yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).1
Isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
1 Burhanuddin, NIKAH SIRI menjawab semua Pertanyaan tentang Nikah Siri, (Jakarta: Media
30
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya akta nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974.2
Isbat (penetapan) merupakan produk pengadilan agama, dalam
arti bukan pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan dengan Juris
diktio Voluntair. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena,
di dalam perkara ini hanya ada pemohon, yang memohon untuk
ditetapkan tentang sesuatu yaitu penetapan nikah.
Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan
didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Produk
perkara voluntair ialah penetapan. Nomor perkara permohonan diberi
tanda P, misalnya: Nomor 125/Pdt.P/1996/PA/Btl.
31
Pada dasarnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali
kepentingan undang-undang menghendaki demikian. Perkara voluntair
yang diajukan ke Pengadilan Agama seperti:
a. Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk
melakukan tindakan hukum;
b. Penetapan pengangkatan wali;
c. Penetapan pengangkatan anak;
d. Penetapan nikah (isbat nikah);
e. Penetapan wali adhal.
Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu.3
2. Syarat dan rukun isbat nikah
Tentang syarat isbat nikah ini tidak dijelaskan dalam kitab fikih
klasik maupun kontemporer. Akan tetapi syarat isbat nikah ini dapat
dianalogikan dengan syarat pernikahan. Hal ini karena isbat nikah
(penetapan nikah) pada dasarnya adalah penetapan suatu perkawinan
yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
syariat Islam. Bahwa perkawinan ini telah dilakukan dengan sah yaitu
telah sesuai dengan syarat dan rukun nikah tetapi pernikahan ini belum
3 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996),
32
dicatatkan ke pejabat yang berwenang yaitu Pegawai Pencatat Nikah
(PPN).4
Rukun dan syarat perkawinan, dalam Pasal 14 KHI yang berbunyi
untuk melaksanakan perkawinan harus ada:5
Syarat-syarat perkawinan sudah dijelaskan pada Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 6 diantaranya:6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan
4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 71.
5Undang-undang RI Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
(Bandung: Citra Umbara, 2012), 327.
33
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
3. Dasar hukum isbat nikah
Dasar hukum isbat nikah, pada dasarnya kewenangan perkara
isbat nikah bagi pengadilan agama dalam sejarahnya adalah
diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan di bawah tangan
sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975; (penjelasan
Pasal 49 ayat (2), jo Pasal 64 UU Nomor 1 Tahun. 1974). Namun
kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan
kompilasi.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat (2) dan (3). Dalam
ayat (2) disebutkan: “dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya di pengadilan agama”
pada ayat (3) disebutkan: isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama
terbatas mengenai hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
34
c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan
dan;
d. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.7
Prosedur permohonan isbat nikah sama halnya dengan prosedur
yang ditempuhkan dalam mengajukan perkara perdata, adapun prosedur
yang harus ditempuh oleh pemohon isbat nikah adalah sebagai berikut:
a) Menyerahkan surat permohonan isbat nikah kepada pengadilan agama
setempat.
b) Surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat yang
menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan.
c) Surat keterangan dari kepala desa / lurah yang menerangkan bahwa
pemohon telah menikah.
d) Fotokopi KTP pemohon isbat nikah.
e) Membayar biaya perkara.
f) Lain-lain yang akan ditentukan Hakim dalam persidangan.8
Syarat-syarat yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah
antara lain:
a. Suami atau istri
7 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999/2000),
137.
8 Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, “UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU
Nomor.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Inpres No.1/1991 tentang kompilasi hukum islam”
35
b. Anak-anak mereka
c. Wali nikah; dan
d. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal itu.9
B. Pencatatan Perkawinan
1. Pengertian pencatatan perkawinan
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
tidak dijelaskan secara rinci tentang pengertian pencatatan perkawinan.
pengertian itu dijelaskan dalam penjelasan umum undang-undang
tersebut, yaitu bahwa tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam
daftar pencatatan. Namun secara bahasa pencatatan berarti proses atau
perbuatan menulis sesuatu untuk peringatan dalam buku catatan.10
Jadi pencatatan perkawinan adalah proses atau perbuatan menulis
yang dilakukan oleh petugas atau pejabat yang berwenang kedalam
daftar perkawinan yang dibuktikan dengan adanya akta nikah sebagai
bukti otentik.
9 Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, “UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Inpres Nomor 1 /1991 tentang kompilasi hukum
islam”, (direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), 167.
36
Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum
Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat dikatakan
bahwa pencatatan perkawinan merupakan sebuah usaha yang bertujuan
untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Dengan
maksud sewaktu-waktu dapat dipergunakan bila perlu dan dapat dipakai
sebagai bukti otentik. Akta otentik ialah akta yang dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk
menurut ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik maupun tanpa
bantuan dari yang berkepentingan, di tempat di mana pejabat berwenang
menjalankan tugasnya.11
Dalam hal pencatan perkawinan, hukum Islam tidak mengatur
secara jelas apakah perkawinan harus dicatat atau tidak. Dengan melihat
tujuan dari pencatatan perkawinan banyak kegunaannya bagi kedua
belah pihak yang melaksanakan perkawinan baik dalam kehidupan
pribadi maupun dalam kehidupan masyarakat, misalnya dengan akta
nikah itu dapat dijadikan bukti bahwa mereka telah melaksanakan
perkawinan secara sah dan resmi bardasarkan hukum Islam dan hukum
positif yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
11 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Belajar,
37
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (@2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.12
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956.13
2. Tujuan pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan upaya yang di atur melalui
perundang-undangan untuk melindungi martabat perkawinan, lebih
khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui
pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang
masing-masing suami-istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau
percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab,
maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan
atau memperoleh hak masing-masing. Kerena dengan akta tersebut,
12Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
(Bandung, Citra Umbara, 2012), 2.
38
suami-istri mempunyai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah
mereka lakukan.
Kemudian setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan masalah pencatatan perkawinan lebih ditekankan
sebagai pelaksanaan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Adapun pelanggaran ketentuan ini dikenakan
sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 yang berbunyi : “Kecuali apabila ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka barang siapa yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), peraturan
pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setingi-tingginya Rp.
7.500; (tujuh ribu lima ratus rupian).14
C. Poligami
1. Dasar hukum poligami
Poligami adalah mengawini beberapa wanita/istri di waktu yang
bersamaan. Berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami.
Istilah poligami sama dengan poligyni, yaitu mengawini beberapa wanita
14 Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:
39
dalam waktu yang sama. Lawan kata poligami adalah poliandri yaitu
menikahi beberapa laki-laki dalam waktu yang sama.15
Di Indonesia pada prinsipnya perkawinan itu adalah monogamy,
hanya karena alasan-alasan tertentu poligami dibolehkan oleh pengadilan
agama, apabila:16
1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Islam membolehkan seorang suami menikahi lebih dari satu istri
(poligami). Menurut kesepakatan para Imam Mazhab boleh hingga 4
orang istri, asalkan memenuhi persyaratan seperti mampu berbuat adil
kepada istri, baik dalam hal ekonomi, tempat tinggal, pakaian, perhatian,
pendidikan, giliran, dan lain sebagainya.17
Dasar hukum dibolehkan poligami di Indonesia adalah Pasal 3
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ketentuan ini berarti bahwa
perkawinan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menurut
asas monogami, akan tetapi tidak bersifat mutlak, karena hukum
15 Gus Arifin, Menikah Untuk Bahagia, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2013), 349.
16 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 ayat (1).
40
menutup kemungkinan bila pihak-pihak yang bersangkutan
menghendaki, dibolehkan dengan izin pengadilan agama.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal-pasal yang
menjelaskan tentang poligami terdapat dalam bab IX Pasal 55-59,
ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak jauh beda dengan yang
terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, hanya saja dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat
ketentuan-ketentuan tentang kebolehan poligami hanya dibatasi sampai
empat orang istri. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 55 ayat (1)18
mengenai pembolehan poligami.
Dalam Pasal 56 ayat (1) ditegaskan bahwa suami yang hendak
beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari pengadilan agama
dan dalam ayat (2) dijelaskan bahwa tanpa adanya izin dari pengadilan
agama perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga dan
keempat tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan diikutsertakan
campur tangan pengadilan berarti poligami bukanlah semata-mata urusan
pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan Negara yakni adanya izin
dari pengadilan agama.
Allah Swt., membolehkan berpoligami sampai 4 (empat) orang
istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka, yaitu adil dalam
18 Pasal tersebut berbunyi : Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
41
melayani istri, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriyah, jika tidak
bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami).19
Syarat poligami, dalam ayat Al-quran juga menerangkan tentang
syarat-syarat melakukan poligami yaitu:
a. Maksimal empat orang
Islam hanya membolehkan seorang laki-laki melakukan
poligami dengan empat orang istri. Seorang laki-laki/suami hanya
diperbolehkan menikahi wanita dengan batas maksimal sampai empat
orang istri. Sebab empat orang istri itu sudah cukup, dan lebih dari itu
berarti mengingkari kebaikan yang disyariatkan oleh Allah Swt., bagi
kemaslahatan hidup suami istri.
Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafii di dalam kitab
Bidayatul Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari
empat wanita dalam waktu yang bersamaan.20
Dalam kitab al-Umm karangan imam Syafii dan sekaligus
pendiri mazhab Syafii, dijelaskan Islam membolehkan seorang
muslim mempunyai istri maksimal empat berdasarkan surah an-Nisa’
(4) : 3, al-Ahzab (33) : 58, al-Mu’minun (23) : 5-6 dan hadis Nabi
tentang Ghailan bin Salamah dan Naufal bin Muawiyah yang
memiliki sepuluh orang istri sebelum masuk Islam, kemudian disuruh
19 Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, 2008), 130.
42
memilih empat istri saja dan menceraikan yang lainnya ketika masuk
Islam.21
Ibnu Qudaimah dari mazhab Hambali berpendapat, seorang
laki-laki boleh menikahi wanita maksimal empat berdasarkan pada surah
an-Nisa’ (4) : 3, kasus Ghailan bin Salamah dan kasus Naufal bin
Mu’awiyah.22
b. Adil terhadap semua istri
Allah Swt., telah memerintahkan lelaki yang ingin berpoligami
agar berlaku adil dengan firmannya :
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. (Q.S 4:3)
Maksudnya : jika kamu khawatir tidak dapat perlaku adil
terhadap empat istri, nikahilah tiga saja, jika tidak mampu, dua saja,
dan juka tidak sanggup, nikahilah satu istri saja atau hamba-hamba
sahaya yang kamu miliki.
Disebutkan oleh Imam Ath-Thabrani ketika menafsirkan ayat di
atas:
“Nikahilah perempuan dengan jumlah yang Aku bolehkan bagimu, dua, tiga, atau empat, jika kamu merasa aman dan sikap zalim terhadap istri-istrimu. Jika kamu khawatir berlaku zalim terhadap seorang itri, maka kawinilah hamba sahaya saja, karena itu lebih aman bagi kamu karena kewajiban kamu atas mereka tidak seperti kewajiban kamu atas
21 Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar Status Poligami”, (Mustawa No.I, Vol.1, Maret 2002),
58.
43
perempuan merdeka, sehingga kamu lebih aman dari dosa dan kezaliman.”
Tuntutan harus berbuat adil di antara para istri menurut imam
Syafii berhubungan dengan urusan fisik. Akan halnya keadilan dalam
hati, menurut Syafii hanya Allah yang mengetahuinya, karena itu
mustahil seorang dapat berbuat adil terhadap istrinya, yang
diisyaratkan pada surah an-Nisa’ (4) : 129 adalah yang berhubungan
dengan hati. Dengan demikian, hati memang tidak mungkin berbuat
adil. Sementara keharusan adil yang dituntut apabila seseorang
mempunyai istri lebih dari satu adalah adil dalam bentuk fisik, yakni
dalam perbuatan dan perkataan.23
c. Mampu memberi nafkah
Seseorang tidak diperbolehkan maju menikah dengan seorang
perempuan atau lebih jika ia tidak mampu memberi nafkah secara
berkesenimbungan, karena Rasulullah Saw bersabda: “Wahai para
pemuda, barang siapa telah mampu menikah di antara kalian maka
segeralah menikah, karema ia lebih dapat menjaga pandangan dan
kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, hendaklah berpuasa,
karena itu perisai.24
23 Ibid., 61.
24 Arij Abdurrahman As-Sanah, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: PT. Globalmedia
44
d. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
Yang dimaksud dengan adanya persetujuan dari istri/istri-istri,
adalah apabila ada pernyataan baik lisan maupun tertuli. Apabila
pernyataan itu secara lisan maka harus diucapkan di depan sidang
pengadilan.
Kesulitan memperoleh istri/istri-istri ialah, bahwa nomaliter
tiada seorang istripun yang suka di madu, sehingga bilmana ada yang
mau memberikan izinnya tiada lain karena dalam keadaan terpaksa
dengan pertimbangan:
a) Ia tidak dapat mencari nafkah sendiri;
b) Karena usia yang sudah cukup tua, tidak ada harapan lagi untuk
kawin lagi dengan orang lain;
c) Tidak ingin pecahnya hubungan keluarga, demi kepentingan
anak-anaknya.
2. Poligami non PNS (non pegawai negeri sipil)
Dasar hukum dibolehkan poligami di Indonesia adalah Pasal 3
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ketentuan ini berarti bahwa
perkawinan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menurut
asas monogami, akan tetapi tidak bersifat mutlak, karena hukum
menutup kemungkinan bila pihak-pihak yang bersangkutan
45
Syarat-syarat untuk berpoligami menurut ketentuan Pasal 5
Undang-undang perkawinan juga harus dipenuhi, yaitu:
1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
(2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.
2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) Tahun, atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.25
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
46
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.26
3. Poligami PNS (pegawai negeri sipil)
Di Indonesia pada prinsipnya perkawinan itu adalah monogamy,
hanya karena alasan-alasan tertentu poligami dibolehkan oleh pengadilan
agama, apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,
bahwa yang dimaksud dengan istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri adalah apabila istri yang bersangkutan
mendapat penyakit jasmaniah atau rohaniah, sehingga ia tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri baik secara biologis maupun
lainnya yang menurut ketentuan dokter susah disembuhkan. Izin
poligami termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), hanya dapat diberikan
apabila memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif, dan ketiga
syarat komulatif.
26 Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang PERKAWINAN & Kompilasi Hukum Islam,
47
Adapun syarat-syarat alternatif yang dimaksud adalah :27
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat-syarat komulatif adalah :
a) Ada persetujuan tertulis dari istri atau istri-istri;
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri dan anak-anak mereka, dan;
c) Adanya jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya.
Dalam Peraturan Pemerintah R.I Nomor 45 Tahun 1990 tentang
perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi PNS (pegawai negeri sipil).
Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat; (2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat
atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis;
(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.
27 Lihat UU Nomor.1 Tahun 1974 Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam 41 dan PP