• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis yuridis terhadap pandangan hakim pengadilan agama di Jawa Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami : Studi putusan pengadilan Agama Probolinggo nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis yuridis terhadap pandangan hakim pengadilan agama di Jawa Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami : Studi putusan pengadilan Agama Probolinggo nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DI JAWA TIMUR TENTANG STATUS ISTRI DAN ANAK PASCA

PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI

(Studi Putusan Pengadilan Agama Probolinggo Nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob)

SKRIPSI

Oleh:

Nur Faridah Alia Wardani NIM.C01213066

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur Tentang Status Istri dan Anak Pasca Penolakan Perkara Isbath Nikah Poligami” (Studi Putusan Nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana pandangan hakim pengadilan agama di jawa timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami? Bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim pengadilan agama di jawa timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami?

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (kualitatif) karena data yang digunakan dalam penelitian ini, diperoleh dari pengadilan agama melalui proses wawancara. Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer adalah para hakim pengadilan yang di wawancarai dan sumber data sekunder yaitu buku-buku pendukung tentang poligami. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif induktif.

Hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa hakim Pengadilan Agama di jawa timur dalam isbat nikah poligami putusan Nomor: 0164.pdt.G/2013/PA.Prob tidak mengabulkan isbat nikah bagi nikah poligami tersebut menggunakan Undang-undang Nomor 1 Th.1974 tentang perkawinan, berdasarkan Undang-Undang-undang Nomor 1 Th.1974 Pasal 43 ayat (1) anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 56 suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, keempat, tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah R.I Nomor 45 Th.1990 tentang perubahan atas PP Nomor 10 Th.1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, perkawinaan dan perceraian yang dilakukan oleh PNS harus mendapat izin dari atasan sesuai hirarki instansi.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 14

C.Rumusan Masalah ... 15

D.Kajian Pustaka ... 16

E. Tujuan Penelitian ... 20

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 21

G.Definisi Operasional ... 22

H.Metode Penelitian ... 23

I. Sistematika Pembahasan ... 27

BAB II LEGALISASI PERNIKAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STATUS ISTRI DAN ANAK PASCA PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI A. Isbat Nikah 1. Pengertian isbat nikah ... 29

2. Syarat dan rukun isbat nikah ... 31

(8)

B. Pecatatan Perkawinan

1. Pengertian pencatatan perkawinan ... 35 2. Tujuan pencatatan perkawinan ... 37 C. Poligami

1. Dasar hukum poligami... 38 2. Poligami non PNS ... 44 3. Poligami PNS ... 46 BAB III PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DI JAWA

TIMUR TENTANG STATUS ISTRI DAN ANAK PASCA PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI A. Gambaran Umum Pengadilan Agama di Jawa Timur

1. Letak geografis ... 50 2. Tupoksi pengadilan agama ... 51 B. Uraian Pandangan Hakim Pengadilan Agama di Jawa

Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan isbat nikah poligami

1. Pandangan hakim pengadilan agama Probolinggo ... 52 2. Pandangan hakim pengadilan agama Sidoarjo ... 55 3. Pandangan hakim pengadilan agama Lamongan ... 59

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DI JAWA TIMUR TENTANG

PENOLAKAN PUTUSAN HAKIM PENGADILAN

AGAMA PROBOLINGGO

(Nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob)

(9)

B. Solusi dan Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Perkawinan Poligami ... 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradilan agama merupakan salah satu badan peradilan yang ada di

Indonesia dan peradilan agama diperuntukkan bagi orang-orang yang

beragama Islam. Dalam peradilan agama terdapat dua macam pengadilan,

yaitu pengadilan agama (PA) dan pengadilan tinggi agama (PTA). Peradilan

agama merupakan juga salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam

menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara

perdata tersebut bagi rakyat atau orang-orang yang beragama Islam untuk

menegakkan hukum dan keadilan. Perkara perdata tertentu yang dimaksud

diatas adalah perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,

hibah, wakaf, dan sedekah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.1

Perkawinan merupakan Sunah Nabi Muhammad Saw. Sunnah

diartikan secara singkat adalah mencontoh tingkah laku Nabi Muhammad

saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan

keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat. Dibawah

naungan cinta kasih dan rida Allah Swt.

Agama Islam yang diturunkan oleh Allah Swt, sebagai pembawa

rahmat bagi seluruh alam, yang mengatur segala sendi kehidupan manusia di

(11)

2

alam semesta ini, di antara aturan tersebut adalah hukum mengenai

perkawinan. Allah mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan

primer, yaitu mempertahankan keturunan, manusia terbebani tanggung jawab

untuk membina keluarga dan pendidikan generasi.

Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya sebuah institusi kecil

dalam keluarga. Perkawinan sangat penting bagi kehidupan manusia

perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah,

pergaulan antara laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai

kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina

dalam suasana damai, tentram dan kasih sayang antara suami, istri dan anak.

Anak dari hasil perkawinan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus

merupakan anugerah dari Allah Swt.2

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.3 Dari pengertian

tersebut untuk mewujudkan keluarga yang bahagia landasan utama yang perlu

dibangun antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah adanya

hak dan kewajiban diantara keduanya. Untuk itulah harus diadakan ikatan

pertalian yang kokoh dan langgeng melalui perkawinan.

2 Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), 10.

(12)

3

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah

tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami istri memikul

amanah dan tanggung jawab. Bagaimanapun juga suatu perkawinan yang

sukses tidak dapat diharapkan dari mereka yang masih kurang matang,

melainkan menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan psikis

dan mental, untuk itu suatu perkawinan haruslah diawali dengan suatu

persiapan yang matang pula.4

Tentang duduk perkara, bahwa si PEMOHON I (suami) dan

TERMOHON (istri) telah melangsungkan pernikahan pada Tahun 1978, yang

dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama kecamatan

pesantren Kota Kediri dengan kutipan Akta Nikah Nomor: 89/34/19178

Tanggal 26 Februari 1978. Bahwa pemohon dan termohon selama dalam

pernikahan tersebut telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan

telah dikaruniai dua orang anak, dan pada Tahun 2013 terjadi perceraian

sebagaimana oleh pasangan suami istri tersebut, dengan kutipan Akta Cerai

yang telah diterbitkan oleh Pengadilan Agama Probolinggo pada Tanggal 16

Januari 2013. Dengan diam-diam tanpa izin dan persetujuan si istri pertama,

sang suami menikah dibawah tangan atau siri dengan perempuan lain. Bahwa

pada Tanggal 25 Desember 1994 PEMOHON I (suami) dan PEMOHON II

(istri siri) melangsungkan pernikahan dibawah tangan dirumah kakak kandung

pemohon II dan selama pernikahan tersebut pemohon bertempat tinggal di

(13)

4

rumah milik bersama dan telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri

dan dikaruniai dua orang anak. Empat bulan setelah menikah dibawah tangan

telah lahir anak pertama, anak pertama (lahir 21 April 1995), anak kedua

(lahir 24 Juni 2005). Bahwa pada pernikahan tersebut wali nikahnya adalah

adik kandung pemohon II karena orangtua telah meninggal. Berdasarkan

hal-hal tersebut di atas para pemohon mengajukan permohonan isbat nikah

poligami ke Pengadilan Agama kabupaten Kota Probolinggo pada Tanggal 01

Mei 2013. Dan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang sudah diatur

dalam hukum perkawinan di Indonesia, dengan landasan teori

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), atas

pertimbangan hakim, maka hakim Pengadilan Agama Probolinggo tidak dapat

mengabulkan permohonan isbat tersebut.5

Isbat nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri

yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan

pengakuan dari negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh

keduanya sebelum adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga

pernikahannya tersebut berkekuatan hukum. Cukup banyak masyarakat yang

mengajukan isbat nikah, yaitu permohonan pengesahan nikah yang diajukan

ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan

hukum.

5 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor:

(14)

5

Pernikahan siri oleh masyarakat umum sering diartikan sebagai

berikut:6

1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan ini dilakukan secara rahasia (siri),

dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap

absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu

syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.

2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam

lembaga pencatatan negara.

Sedangkan faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan

siri antara lain:7

1. Nikah siri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orangtua

kedua belah pihak atau salah satu pihak.

2. Nikah siri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah

satu atau kedua belah pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan

telah mempunyai istri dan anak yang resmi, tetapi ingin menikah lagi

dengan orang lain.

3. Nikah siri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina.

4. Nikah siri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi

dan secara sosial.

6 Muhammad Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 557-558.

(15)

6

5. Nikah siri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau

tahu prosedur hukum.

6. Nikah siri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan

badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan, maka

akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang

berbelit-belit di persidangan.

Pada kejelasan tersebut dapat dipahami bahwa pentingnya pencatatan

perkawinan bertujuan untuk terlaksananya tertib administrasi supaya tidak

terjadi ketidakjelasan status dalam suatu perkawinan dan perkawinan tersebut

memiliki perlindungan hukum bila suatu waktu terjadi sengketa. Namun fakta

yang sedang terjadi saat ini adalah ketidak patuhan yang dilakukan beberapa

masyarakat dalam melakukan pernikahan atau perkawinan dengan tidak

melakukan pencatatan sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974, seperti nikah siri. Sehingga hal itu menimbulkan

berbagai akibat pada kehidupan perkawinan seseorang yang tidak sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dapat disebut perkawinan yang

tidak taat hukum.

Dalam pertimbangan Islam perkawinan merupakan suatu ibadah dan

merupakan sunatullah dan sunah Nabi Muhammad Saw. Sunah Allah berarti

menurut kodrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini

(16)

7

Muhammad Saw yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan untuk

umatnya.8 Dalam ayat Al-quran surah An-nisa’ ayat 1:

ن ن م م ق خ لا م ب ا قتا سانلاا يأي

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu.(Annisa’ ayat 1).9

Sebagi makhluk yang dimuliakan oleh Allah Swt., manusia memiliki

akal, peradaban, budaya, dan norma-norma sosial yang berlaku memiliki,

bahkan sistem nilai yang diambil dari suatu agama, misalnya dari Islam.10

Ketentuan undang-undang yang mengatur perkawinan di Indonesia,

diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mewajibkan bahwa

perkawinan itu harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dimana ia

bertempat tinggal, sebagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2

yaitu ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007), 41. 9Departemen Agama Republik Indonesia, Al-HikmahAl-Quran dan Terjemahan, (Bandung: Diponegoro), 77.

(17)

8

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, (2) Tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.11

Seiring dengan perkembangan zaman undang-undang tersebut mulai

menampakkan kelemahanya. Pada dasarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam

lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak

sepenuhnya merujuk pada undang-undang tersebut.

Sebagai contoh dalam masalah isbat nikah dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dalam Pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa isbat nikah yang

diajukan ke pengadilan agama terbatas ketika “Adanya perkawinan yang

terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974”.12

Artinya jika mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam

Pasal 7 (ayat 3d) & Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ketika seseorang

menikah sebelum adanya undang-undang perkawinan tersebut (sebelum tahun

1974) maka diperkenankan untuk melakukan isbat nikah, karena pada saat itu

tidak ada aturan tentang pencatatan nikah. Akan tetapi setelah adanya

undang-undang perkawinan tersebut maka pihak yang menikah siri (nikah di bawah

tangan) dilarang untuk melakukan isbat nikah.

Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini banyak sekali perkara isbat

nikah yang masuk dalam lingkungan peradilan agama walaupun pernikahan

11Ibid.,78.

(18)

9

siri tersebut terjadi setelah adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Salah satu tujuan utama disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

adalah sebagai upaya penertiban hukum terhadap pernikahan yang dilakukan

oleh masyarakat Indonesia.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah

dengan pencatatan nikah. Dengan adanya pencatatan nikah ini, sebagai

konsekuensinya masyarakat akan mendapatkan pengakuan yang sah oleh

hukum terhadap pernikahan tersebut dan akan mendapatkan perlindungan

hukum jika suatu saat nanti terjadi sengketa hukum terkait dengan perceraian,

pembagian waris, wakaf, dan lain sebagainya.

Seperti yang telah tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974, dalam Pasal 2 dijelaskan, ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut masing masing agamanya dan kepercayaannya

itu”. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) dijelaskan “Tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.13

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan (2)

tersebut mempunyai makna bahwa sesungguhnya setelah terbitnya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada lagi pernikahan yang tidak dicatatkan

di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal tersebut juga sebagai penertiban

pernikahan, dengan tidak dicatatkannya sebuah pernikahan akan

menimbulkan dampak dimasyarakat.

(19)

10

Kemudian kemunculan Pasal 7 ayat (3e) dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) tampaknya memberikan celah hukum sehingga seorang hakim

mempunyai pertimbangan khusus dalam mengabulkan perkara isbat nikah

dimana dalam pasal tersebut dijelaskan : “Perkawinan yang dilakukan oleh

mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974”.

Pada dasarnya isbat nikah merupakan penetapan yang dikeluarkan

oleh negara terhadap keabsahan suatu perkawinan yang dilakukan secara sah,

adanya isbat nikah merupakan jalan keluar yang diberikan negara bagi mereka

yang tidak mempunyai akta nikah. Akan tetapi perkawinan yang dapat di

isbatkan hanya terbatas dalam hal-hal sebagaimana dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) Pasal 7 ayat (3) yang berbunyi:

a) Adanya perkawinan dalam rangka menyelesaikan perceraian.

b) Hilangnya akta nikah.

c) Adanya keraguan sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan,

e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.14

Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana isbat nikah yang di

akibatkan karena tidak mempunyai surat izin poligami. Dalam masalah ini

(20)

11

terdapat kasus isbat nikah yang diajukan, tetapi permohonan isbat nikah

tersebut ditolak oleh pengadilan agama. Terkait dengan hal tersebut

bagaimana status istri dan anak yang disebabkan ditolaknya atau tidak

dikabulkanya isbat nikah tersebut. Padahal sudah jelas didalam Al-quran

tentang perlindungan wanita dan hak-hak wanita, jika isbat nikah yang

diajukan ditolak, sudah pasti hak-hak wanita tidak bisa didapat dan perasaan

seorang wanita pasti merasa kecewa dan tidak adil bagi dirinya.

Menurut sejumlah penelitian, isbat nikah merupakan salah satu sarana

bagi pelaku-pelaku pelanggar undang-undang perkawinan. Peluang isbat

nikah ditambah dengan pengetahuan yang rendah, bahkan tidak paham dari

pihak lain, menjadi pintu luang bagi pelanggar. Mengaku calon istri dan anak

sudah hamil menjadi lowongan poligami lewat isbat nikah. Mengaku sudah

lahir anak yang kelak tidak jelas status hukum orangtuanya menjadi alasan

lagi untuk poligami lewat isbat nikah. Masih banyak modus-modus hampir

sama untuk tujuan sama. Karena itu, ketegasan para penegak hukum (hakim)

untuk bertindak tegas atau minimal kecerdasan untuk menyeleksi mana yang

masih pantas diberi isbat nikah.

Semestinya para hakim dan tokoh masyarakat, ustad, kiai, mubalig,

meletakkan undang-undang perkawinan sebagai hukum (fikih) Islam

Indonesia. Sehingga undang-undang inilah sebagai fikih Islam yang

diberlakukan di Indonesia, sama status dan otoritasnya dengan hukum (fikih)

(21)

12

Sehingga tidak ada lagi istilah sah menurut agama tetapi belum menurut

negara. Dengan ungkapan lain, undang-undang itulah hukum Islam (agama)

sekaligus hukum negara.

Adapun dalam perkawinan Indonesia, undang-undang telah mengatur

syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan

administrasi, prosedur pelaksanaanya, dan mekanismenya.15 Apabila suatu

perkawinan telah memenuhi seluruh syarat dan rukun yang telah ditentukan,

maka perkawinan dapat dikatakan sah. Akan tetapi, selain terpenuhinya syarat

dan rukun perkawinan, perkawinan tersebut harus terlepas dari segala hal

yang menjadi penghalang. Hal ini disebut sebagai larangan dalam perkawinan.

Larangan perkawinan adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan

perkawinan yaitu perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini

oleh seorang laki-laki, maupun sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak

boleh dikawini oleh seorang perempuan.

Apabila terjadi perkawinan yang melanggar larangan perkawinan atau

tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun perkawinan, maka perkawinan

tersebut tidak sah dan dapat di batalkan. Pembatalan perkawinan adalah

pembatalan ikatan perkawinan oleh pengadilan agama berdasarkan tuntutan

istri dan anak atau suami yang dapat dibenarkan pengadilan agama atau

karena perkawinan yang telah telanjur menyalahi hukum perkawinan.16 Pasal

(22)

13

22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa perkawinan

dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan

untuk melangsungkan perkawinan.17

Dalam skripsi ini peneliti mengambil tempat untuk melakukan

penelitian lapangan di Pengadilan Agama Kota Probolinggo, bahwa pasangan

suami istri yang menikah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 akan tetapi tidak tercatat di KUA.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh

penolakan isbat nikah tersebut yang dalam hal ini secara komprehensif penulis

menuangkannya kedalam bentuk karya skripsi yang berjudul: “Analisis

Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang

Status Istri dan Anak Pasca Penolakan Perkara Isbat Nikah Poligami”.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

1. Identifikasi masalah

Judul skripsi “Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim

Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang Status Istri dan Anak pasca

Penolakan Perkara Isbat Nikah Poligami” dari latar belakang masalah ini,

identifikasi sebuah masalah diantaranya :

a. Definisi dari isbat nikah berdasarkan undang-undang yang berlaku.

b. Faktor-faktor yang menyebabkan isbat nikah.

(23)

14

c. Dampak terhadap perkawinan poligami secara siri.

d. Akibat hukum dari perkawinan poligami secara siri.

e. Pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang status istri

dan anak pasca penolakan isbat nikah poligami.

f. Analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa

Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah

poligami.

2. Batasan masalah

Untuk menghindari munculnya berbagai permasalahan diluar

pembahasan skripsi ini, maka penulis memberikan batasan masalah sebagai

berikut :

a. Pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang status

istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami.

b. Analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa

Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat

nikah poligami.

C. Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang di atas dapat di ketahui bahwa pokok yang

(24)

15

1. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur

tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah

poligami?

2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan

Agama di Jawa Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan

perkara isbat nikah poligami?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau

penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar permasalahan yang akan

diteliti. Kajian pustaka dilakukan untuk menegaskan bahwa kajian penelitian

yang ditulis sama sekali bukan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau

penelitian sebelumnya, berikut data yang berhasil diperoleh terkait penelitian

yang terdahulu.18

Kajian pustaka digunakan untuk menguji keabsahan suatu penelitian

karena dikhawatirkan bahwa penelitian ini sudah pernah ada yang melakukan

penelitian atau belum. Berdasarkan penelusuran karya ilmiah yang penyusun

lakukan, ada beberapa karya ilmiah yang membahas masalah isbat nikah

diantaranya:

(25)

16

1. Skripsi Mohammad Roqib (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

2015), dengan judul “Analisa Hukum Islam Terhadap Penolakan isbat

nikah Siri bagi suami yang sudah beristri dan anak (Studi putusan

Pengadilan Agama Nganjuk Nomor: 1339/Pdt.G/2013/PA.Ngj)”,

membahas bagaimana dasar pertimbangan hukum penolakan hakim

terhadap ithbat nikah siri bagi suami yang sudah beristri dan anak, hasil

yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini, bahwa pertimbangan dan

dasar hukum yang digunakan hakim dalam menetapkan perkara isbat

nikah ialah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam. Dengan demikian hakim menolak permohonan isbat nikah karena

pada kasus ini menurut majlis hakim tergolong perkara poligami.

Pertimbangan hukum yang digunakan hakim hanya bertendensi pada

aspek yuridis semata tanpa mempertimbangkan maqasid al-shariah

maksud yang terkandung yaitu kemaslahatan umat manusia.19

2. Skripsi Arianti yang berjudul “Tinjauan yuridis Terhadap Isbat Nikah

Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Bangkalan”. Pembahasan dalam

penelitian ini yaitu studi analisis putusan hakim, dari tiga perkara putusan

kemudian bagaimana pertimbangan hakim memutuskan perkara isbat

nikah poligami sehingga hakim menolak perkara isbat nikah. Dari

penelitian ini menyimpulkan bahwa hakim tidak mengabulkan

(26)

17

permohonan isbat nikah, sebab tidak adanya surat izin poligami, dimana

ketentuan surat izin poligami tidak terakomodir dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) Pasal 7.20

3. Skripsi Nur Afifah yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Putusan

Pengadilan Agama Jombang tentang Status Anak dari pembatalan

perkawinan Nomor 1433/pdt.G/2008/PA.Jbg”. Pembahasan dalam

penelitian ini adalah pembatalan perkawinan terjadi karena istri dan

anaknya masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain. Oleh karena itu

Pengadilan Agama membatalkan perkawinan tersebut dengan bukti-bukti

otentik yang sudah diperiksa oleh para Hakim. Adapun tentang status

hukum anak dari pembatalan perkawinan menurut Undang-undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

bahwa anak tersebut tetap dinasabkan kepada kedua orang tuanya karena

hukum tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan

yang dibatalkan tersebut.21

4. Skripsi Agung Yusfantoro, yang berjudul “Akibat Hukum Pembatalan

Perkawinan Terhadap Status Anak dan Harta bersama (Studi kasus di

Pengadilan Agama Kabupaten Kediri). Skripsi ini menyimpulkan bahwa

status anak yang lahir sebagai akibat pembatalan perkawinan dianggap

20 Ariyanti, Tinjauan Yuridis Terhadap Isbat Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Bangkalan, (Skripsi-UIN-Sunan Ampel-Surabaya, 2015).

(27)

18

sebagai anak sah dan pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut

bagi anak yang lahir sebelum adanya pembatalan, sehingga berhak atas

pemeliharaan, pembiayaan serta waris dari kedua orangtuanya. Adapun

terkait harta bersama dalam putusan ini untuk pembagianya diserahkan

sesuai dengan kesepakatan masing-masing.22

Sedangkan dalam pembahasan penelitian ini berbeda dengan

pembahasan yang dilakukan sebelum-sebelumnya. Berdasarkan beberapa

penelitian tersebut, penulis memilih wawancara hakim secara langsung,

terkait pandangan hakim atas pertimbangan-pertimbangan tidak

mengabulkanya permohonan, sehingga sangat berbeda dengan analisis

putusan yang dibahas sebelum-sebelumnya, maka penulis memilih judul

“Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama di Jawa

Timur tentang status Istri dan Anak pasca Penolakan Perkara Isbat Nikah

poligami” dengan alasan karena belum pernah dibahas oleh peneliti terdahulu

terkait pandangan hakim setelah mempertimbangkan ditolaknya permohonan

isbat nikah, sehingga penulis mengangkat kasus di Pengadilan Agama

Probolinggo.

Pembahasan penelitian ini nantinya lebih kepada dampak dari

penolakan isbat nikah poligami yang dilakukan secara siri terhadap status istri

(28)

19

dan anak, dalam ruang lingkup Pengadilan Agama di Jawa Timur. Penulis

memilih tiga Kota di Jawa Timur (Sidoarjo-Probolinggo-Lamongan) untuk

mewakili dari pendapat pandangan hakim diambil tiga sampel zona sudah

dirasa cukup, dengan alasan jumlah pengadilan agama di Jawa Timur ada 37

Pengadilan Agama, dibagi dalam lima zona, diantaranya:

1. Zona metropolis : Surabaya, Sidoarjo, Malang, Kodya malang

2. Zona tapalkuda : Pasuruan, Probolinggo, Jember, Bondowoso,

Situbondo, Banyuwangi, Lumajang, Bangil, Kraksaan.

3. Zona pantura : Gersik, Bawean, Lamongan, Tuban.

4. Zona Mataraman : Nganjuk, Kediri, Tulungagung, Blitar, Pacitan,

Ponorogo, Magetan, Madiun, Trenggalek, Kodya madiun, Kodya Kediri,

Bojonegoro, Mojokerto, Jombang, Ngawi.

5. Zona Blok-M : Bangkalan, Pamekasan, Sampang, Sumenep,

Kangean.

E. Tujuan Penelitan

Selanjutnya penelitian skripsi ini bertujuan untuk memenuhi tugas

akademik guna memperoleh gelar sarjana dalam fakultas syariah dan hukum,

juga didorong oleh beberapa tujuan penelitian yang berkaitan dengan isi

rumusan masalah diatas, antara lain:

1. Untuk mengetahui dasar hukum hakim dalam mempertimbangkan dan

(29)

20

mendalam tentang bagaimana pertimbangan hakim dan dasar hukum

hakim menolak permohonan isbat nikah poligami.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana analisis yuridis terhadap

pertimbangan hakim menolak permohonan isbat nikah poligami.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan

mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi

pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka peneliti ini sekiranya

bermanfaat diantaranya:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

yang jelas mengenai tentang perkawinan poligami atau siri (perkawinan

bawah tangan), yang tidak memiliki bukti otentik. Oleh sebab itu,

diperlukan adanya isbat nikah supaya memperoleh pengesahan nikahnya

dan memiliki kekuatan hukum. Dengan adanya perkawinan yang tidak

dicatatkan dalam Kantor Urusan Agama (KUA), maka akan

menimbulkan dampak di masyarakat.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan

ilmu pengetahuan hukum, dan memberikan manfaat praktis terhadap

pihak-pihak yang membutuhkan, baik sebagai pegangan selanjutnya

maupun sebagai bahan penyuluhan dalam bidang perkawinan khususnya

(30)

21

tidak dikabulkannya permohonan isbat nikah. Bagi lembaga peradilan

agama, penelitian ini diharapkan sebagai informasi pengetahuan agar

dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara isbat

nikah.

G. Definisi Operasional

Skripsi ini berjudul: “Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim

Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang Status Istri dan Anak Pasca

Penolakan Perkara Isbat Nikah Poligami”

Agar memudahkan pemahaman dan tidak menimbulkan banyak

penafsiran bagi para pembaca maka penulis perlu untuk mengemukakan atau

mendefinisikan beberapa istilah yang menjadi variabel ataupun konsep dalam

penelitian ini.23 Istilah-istilah yang terkait dalam masalah tersebut antara lain

sebagai berikut:

1. Analisis Yuridis: Metode penelitian yang ingin menyelidiki hal-hal yang

berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi

Hukum Islam (KHI) , Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, PP

Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas PP Nomor 10 Tahun 1983.

2. Pandangan Hakim: Pendapat yang berdasar pada pengetahuan

hakim-hakim di Pengadilan Agama di Jawa Timur

(Sidoarjo-Probolinggo-Lamongan) tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat

nikah poligami.

(31)

22

3. Status Istri dan Anak : Keadaan atau kedudukan istri dan anak pasca

penolakan isbat nikah poligami oleh pengadilan agama atau karena

perkawinan yang telah terlanjur menyalahi hukum perkawinan.

4. Isbat Nikah Poligami: Sebuah proses permohonan pengesahan nikah

poligami yang telah dilakukan secara siri dan diajukan ke pengadilan

agama untuk dinyatakan sah-nya sebagai bukti keabsahan pernikahan yang

telah dilakukan dan memiliki kekuatan hukum.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, yaitu data yang

dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah fakta-fakta yang berkaitan

langsung dan tidak langsung dengan pertimbangan hakim pengadilan agama

di jawa timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah

poligami.

Dalam pengumpulan bahan/data penyusun skripsi ini agar

mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode

penelitian kuantitatif:

1. Data yang dikumpulkan

Sesuai rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, agar

dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung jawabkan

tentang kualitas mutunya maka penulis membutuhkan data sebagai

(32)

23

a. Data yang terkait pandangan hakim pengadilan agama di Jawa Timur

tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah

poligami.

b. Data yang terkait dasar hukum hakim pengadilan agama di Jawa Timur

tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah

poligami.

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data

tersebut dapat diperoleh. Dari data yang akan dikumpulkan di atas, maka

sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer dan

sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data utama, atau dapat disebut

juga dengan sumber data pokok yang akan dikaji. Sumber data primer

dalam skripsi ini adalah hakim-hakim pengadilan agama di Jawa

Timur, mengambil tiga sampel (Sidoarjo-Probolinggo-Lamongan)

dianggap cukup untuk mewakili dari lima zona yang ada di Jawa

Timur diantaranya: Zona metropolis, tapal kuda, mataraman, pantura,

blok-M.

(33)

24

Sumber data sekunder adalah sumber data pendukung yang

memuat informasi tentang permasalahan yang akan dikupas dalam

penelitian ini. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini

antara lain Kitab Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9

Tahun 1975, PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990

(tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS), Kompilasi Hukum

Islam (KHI), dan buku-buku tentang nikah poligami dan siri yang

relevan dan memiliki keterkaitan secara konseptual dan substansional

yang dapat melengkapi sumber data primer, serta dokumen dan arsip.

3. Teknik pengumpulan data

a. Wawancara (interview), yaitu teknik memperoleh data dengan tanya

jawab langsung secara lisan dengan Hakim-hakim Pengadilan Agama

di Jawa Timur (Sidoarjo, Probolinggo dan Lamongan). Wawancara ini

dilakukan dengan pokok pertanyaan yang telah disiapkan kemudian

dilanjutkan dengan variasi wawancara yaitu pengembangan dari

wawancara guna memperoleh data yang diperlukan yaitu memperoleh

data dengan menelusuri dan memperoleh dokumen yang berupa

buku-buku yang relevan dengan status istri dan anak pasca penolakan

perkara isbat nikah poligami.

b. Dokumentasi (document), yaitu memperoleh data dengan menelusuri

(34)

25

buku yang relevan dengan status istri dan anak pasca penolakan

perkara isbat nikah poligami.

4. Teknik pengolahan data

Data yang sudah terkumpul kemudian diolah dengan cara-cara

sebagai berikut:

a. Editing (pemeriksaan data) yaitu memeriksa kembali semua data yang

diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai

segi yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya,

keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.24

b. Memeriksa data hasil wawancara yang diperoleh dapat memberikan

informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti berhubungan

dengan pembahasan tentang Analisis Yuridis terhadap pandangan

hakim pengadilan agama di Jawa Timur tentang status istri dan anak

pasca penolakan perkara isbat nikah poligami.

5. Teknik analisis data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan dan

menjelaskan data secara rinci dan sistematis sehingga diperoleh

pendalaman yang mendalam dan menyeluruh. Kemudian menggunakan

pola pokir deduktif, yaitu menganalisis data yang bertitik tolak dari teori

yang bersifat umum tentang isbat nikah untuk meninjau data yang bersifat

(35)

26

khusus yaitu pertimbangan hakim pengadilan agama di Jawa Timur

tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah

poligami.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini agar lebih mudah dipahami dan terperinci

pembahasanya, maka dibuat sistematika penyusunan skripsi ini menjadi

kedalam lima bab. Masing-masing membahas permasalahan yang di uraikan

menjadi beberapa sub bab, antara satu bab dengan bab yang lain saling

berhubungan dan terkait. Adapun beberapa sub bab diantaranya sebagai

berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari Latar

Belakang Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah,

Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi

Opreasional, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

\ Bab kedua berisi tentang Landasan Teori tentang Isbat Nikah,

pengertian syarat dan dasar hukum, Pencatatan Perkawinan tentang pengertian

dan tujuan, Poligami tentang poligami PNS dan non PNS.

Bab ketiga berisi uraikan tentang hasil wawancara yang meliputi

gambaran umum Pengadilan Agama di Jawa Timur, yang meliputi letak

georgrafis, wilayah yurisdiksi, dan Uraian pertimbangan hakim tentang status

(36)

27

Bab keempat yang membahas kajian analisis yuridis terhadap

pertimbangan Hakim-hakim Pengadilan Agama di Jawa Timur tentang status

istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami dan Solusi serta

akibat hukum yang ditimbulkan.

(37)

BAB II

LEGALISASI PERNIKAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STATUS ISTRI & ANAK PASCA PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI

A. Isbat Nikah

1. Pengertian isbat nikah

Isbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah

dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat

oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN)

yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:

KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Pengadilan).

Pada dasarnya isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah

terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Tetapi pernikahan yang terjadi

pada masa lampau ini belum atau bahkan tidak dicatatkan ke pejabat

yang berwenang, dalam hal ini pejabat KUA (Kantor Urusan Agama)

yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).1

Isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

1 Burhanuddin, NIKAH SIRI menjawab semua Pertanyaan tentang Nikah Siri, (Jakarta: Media

(38)

30

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b. Hilangnya akta nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat

perkawinan;

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974.2

Isbat (penetapan) merupakan produk pengadilan agama, dalam

arti bukan pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan dengan Juris

diktio Voluntair. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena,

di dalam perkara ini hanya ada pemohon, yang memohon untuk

ditetapkan tentang sesuatu yaitu penetapan nikah.

Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan

didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Produk

perkara voluntair ialah penetapan. Nomor perkara permohonan diberi

tanda P, misalnya: Nomor 125/Pdt.P/1996/PA/Btl.

(39)

31

Pada dasarnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali

kepentingan undang-undang menghendaki demikian. Perkara voluntair

yang diajukan ke Pengadilan Agama seperti:

a. Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk

melakukan tindakan hukum;

b. Penetapan pengangkatan wali;

c. Penetapan pengangkatan anak;

d. Penetapan nikah (isbat nikah);

e. Penetapan wali adhal.

Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri,

anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan

perkawinan itu.3

2. Syarat dan rukun isbat nikah

Tentang syarat isbat nikah ini tidak dijelaskan dalam kitab fikih

klasik maupun kontemporer. Akan tetapi syarat isbat nikah ini dapat

dianalogikan dengan syarat pernikahan. Hal ini karena isbat nikah

(penetapan nikah) pada dasarnya adalah penetapan suatu perkawinan

yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam

syariat Islam. Bahwa perkawinan ini telah dilakukan dengan sah yaitu

telah sesuai dengan syarat dan rukun nikah tetapi pernikahan ini belum

3 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996),

(40)

32

dicatatkan ke pejabat yang berwenang yaitu Pegawai Pencatat Nikah

(PPN).4

Rukun dan syarat perkawinan, dalam Pasal 14 KHI yang berbunyi

untuk melaksanakan perkawinan harus ada:5

Syarat-syarat perkawinan sudah dijelaskan pada Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 6 diantaranya:6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan

4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 71.

5Undang-undang RI Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,

(Bandung: Citra Umbara, 2012), 327.

(41)

33

dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

3. Dasar hukum isbat nikah

Dasar hukum isbat nikah, pada dasarnya kewenangan perkara

isbat nikah bagi pengadilan agama dalam sejarahnya adalah

diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan di bawah tangan

sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975; (penjelasan

Pasal 49 ayat (2), jo Pasal 64 UU Nomor 1 Tahun. 1974). Namun

kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan

kompilasi.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat (2) dan (3). Dalam

ayat (2) disebutkan: “dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan

dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya di pengadilan agama”

pada ayat (3) disebutkan: isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama

terbatas mengenai hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

(42)

34

c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan

dan;

d. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.7

Prosedur permohonan isbat nikah sama halnya dengan prosedur

yang ditempuhkan dalam mengajukan perkara perdata, adapun prosedur

yang harus ditempuh oleh pemohon isbat nikah adalah sebagai berikut:

a) Menyerahkan surat permohonan isbat nikah kepada pengadilan agama

setempat.

b) Surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat yang

menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan.

c) Surat keterangan dari kepala desa / lurah yang menerangkan bahwa

pemohon telah menikah.

d) Fotokopi KTP pemohon isbat nikah.

e) Membayar biaya perkara.

f) Lain-lain yang akan ditentukan Hakim dalam persidangan.8

Syarat-syarat yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah

antara lain:

a. Suami atau istri

7 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999/2000),

137.

8 Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, “UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU

Nomor.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Inpres No.1/1991 tentang kompilasi hukum islam”

(43)

35

b. Anak-anak mereka

c. Wali nikah; dan

d. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal itu.9

B. Pencatatan Perkawinan

1. Pengertian pencatatan perkawinan

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

tidak dijelaskan secara rinci tentang pengertian pencatatan perkawinan.

pengertian itu dijelaskan dalam penjelasan umum undang-undang

tersebut, yaitu bahwa tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dalam

kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan

dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam

daftar pencatatan. Namun secara bahasa pencatatan berarti proses atau

perbuatan menulis sesuatu untuk peringatan dalam buku catatan.10

Jadi pencatatan perkawinan adalah proses atau perbuatan menulis

yang dilakukan oleh petugas atau pejabat yang berwenang kedalam

daftar perkawinan yang dibuktikan dengan adanya akta nikah sebagai

bukti otentik.

9 Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, “UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, UU

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Inpres Nomor 1 /1991 tentang kompilasi hukum

islam”, (direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), 167.

(44)

36

Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum

Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat dikatakan

bahwa pencatatan perkawinan merupakan sebuah usaha yang bertujuan

untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Dengan

maksud sewaktu-waktu dapat dipergunakan bila perlu dan dapat dipakai

sebagai bukti otentik. Akta otentik ialah akta yang dibuat oleh atau

dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk

menurut ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik maupun tanpa

bantuan dari yang berkepentingan, di tempat di mana pejabat berwenang

menjalankan tugasnya.11

Dalam hal pencatan perkawinan, hukum Islam tidak mengatur

secara jelas apakah perkawinan harus dicatat atau tidak. Dengan melihat

tujuan dari pencatatan perkawinan banyak kegunaannya bagi kedua

belah pihak yang melaksanakan perkawinan baik dalam kehidupan

pribadi maupun dalam kehidupan masyarakat, misalnya dengan akta

nikah itu dapat dijadikan bukti bahwa mereka telah melaksanakan

perkawinan secara sah dan resmi bardasarkan hukum Islam dan hukum

positif yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

11 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Belajar,

(45)

37

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam

sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (@2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan.

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.12

Pasal 5

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956.13

2. Tujuan pencatatan perkawinan

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan upaya yang di atur melalui

perundang-undangan untuk melindungi martabat perkawinan, lebih

khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui

pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang

masing-masing suami-istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau

percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab,

maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan

atau memperoleh hak masing-masing. Kerena dengan akta tersebut,

12Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,

(Bandung, Citra Umbara, 2012), 2.

(46)

38

suami-istri mempunyai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah

mereka lakukan.

Kemudian setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan masalah pencatatan perkawinan lebih ditekankan

sebagai pelaksanaan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan. Adapun pelanggaran ketentuan ini dikenakan

sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975 yang berbunyi : “Kecuali apabila ditentukan lain dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka barang siapa yang

melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), peraturan

pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setingi-tingginya Rp.

7.500; (tujuh ribu lima ratus rupian).14

C. Poligami

1. Dasar hukum poligami

Poligami adalah mengawini beberapa wanita/istri di waktu yang

bersamaan. Berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami.

Istilah poligami sama dengan poligyni, yaitu mengawini beberapa wanita

14 Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:

(47)

39

dalam waktu yang sama. Lawan kata poligami adalah poliandri yaitu

menikahi beberapa laki-laki dalam waktu yang sama.15

Di Indonesia pada prinsipnya perkawinan itu adalah monogamy,

hanya karena alasan-alasan tertentu poligami dibolehkan oleh pengadilan

agama, apabila:16

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Islam membolehkan seorang suami menikahi lebih dari satu istri

(poligami). Menurut kesepakatan para Imam Mazhab boleh hingga 4

orang istri, asalkan memenuhi persyaratan seperti mampu berbuat adil

kepada istri, baik dalam hal ekonomi, tempat tinggal, pakaian, perhatian,

pendidikan, giliran, dan lain sebagainya.17

Dasar hukum dibolehkan poligami di Indonesia adalah Pasal 3

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ketentuan ini berarti bahwa

perkawinan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menurut

asas monogami, akan tetapi tidak bersifat mutlak, karena hukum

15 Gus Arifin, Menikah Untuk Bahagia, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2013), 349.

16 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 ayat (1).

(48)

40

menutup kemungkinan bila pihak-pihak yang bersangkutan

menghendaki, dibolehkan dengan izin pengadilan agama.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal-pasal yang

menjelaskan tentang poligami terdapat dalam bab IX Pasal 55-59,

ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak jauh beda dengan yang

terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, hanya saja dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat

ketentuan-ketentuan tentang kebolehan poligami hanya dibatasi sampai

empat orang istri. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 55 ayat (1)18

mengenai pembolehan poligami.

Dalam Pasal 56 ayat (1) ditegaskan bahwa suami yang hendak

beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari pengadilan agama

dan dalam ayat (2) dijelaskan bahwa tanpa adanya izin dari pengadilan

agama perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga dan

keempat tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan diikutsertakan

campur tangan pengadilan berarti poligami bukanlah semata-mata urusan

pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan Negara yakni adanya izin

dari pengadilan agama.

Allah Swt., membolehkan berpoligami sampai 4 (empat) orang

istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka, yaitu adil dalam

18 Pasal tersebut berbunyi : Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya

(49)

41

melayani istri, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriyah, jika tidak

bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami).19

Syarat poligami, dalam ayat Al-quran juga menerangkan tentang

syarat-syarat melakukan poligami yaitu:

a. Maksimal empat orang

Islam hanya membolehkan seorang laki-laki melakukan

poligami dengan empat orang istri. Seorang laki-laki/suami hanya

diperbolehkan menikahi wanita dengan batas maksimal sampai empat

orang istri. Sebab empat orang istri itu sudah cukup, dan lebih dari itu

berarti mengingkari kebaikan yang disyariatkan oleh Allah Swt., bagi

kemaslahatan hidup suami istri.

Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafii di dalam kitab

Bidayatul Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari

empat wanita dalam waktu yang bersamaan.20

Dalam kitab al-Umm karangan imam Syafii dan sekaligus

pendiri mazhab Syafii, dijelaskan Islam membolehkan seorang

muslim mempunyai istri maksimal empat berdasarkan surah an-Nisa’

(4) : 3, al-Ahzab (33) : 58, al-Mu’minun (23) : 5-6 dan hadis Nabi

tentang Ghailan bin Salamah dan Naufal bin Muawiyah yang

memiliki sepuluh orang istri sebelum masuk Islam, kemudian disuruh

19 Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, 2008), 130.

(50)

42

memilih empat istri saja dan menceraikan yang lainnya ketika masuk

Islam.21

Ibnu Qudaimah dari mazhab Hambali berpendapat, seorang

laki-laki boleh menikahi wanita maksimal empat berdasarkan pada surah

an-Nisa’ (4) : 3, kasus Ghailan bin Salamah dan kasus Naufal bin

Mu’awiyah.22

b. Adil terhadap semua istri

Allah Swt., telah memerintahkan lelaki yang ingin berpoligami

agar berlaku adil dengan firmannya :

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. (Q.S 4:3)

Maksudnya : jika kamu khawatir tidak dapat perlaku adil

terhadap empat istri, nikahilah tiga saja, jika tidak mampu, dua saja,

dan juka tidak sanggup, nikahilah satu istri saja atau hamba-hamba

sahaya yang kamu miliki.

Disebutkan oleh Imam Ath-Thabrani ketika menafsirkan ayat di

atas:

“Nikahilah perempuan dengan jumlah yang Aku bolehkan bagimu, dua, tiga, atau empat, jika kamu merasa aman dan sikap zalim terhadap istri-istrimu. Jika kamu khawatir berlaku zalim terhadap seorang itri, maka kawinilah hamba sahaya saja, karena itu lebih aman bagi kamu karena kewajiban kamu atas mereka tidak seperti kewajiban kamu atas

21 Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar Status Poligami”, (Mustawa No.I, Vol.1, Maret 2002),

58.

(51)

43

perempuan merdeka, sehingga kamu lebih aman dari dosa dan kezaliman.”

Tuntutan harus berbuat adil di antara para istri menurut imam

Syafii berhubungan dengan urusan fisik. Akan halnya keadilan dalam

hati, menurut Syafii hanya Allah yang mengetahuinya, karena itu

mustahil seorang dapat berbuat adil terhadap istrinya, yang

diisyaratkan pada surah an-Nisa’ (4) : 129 adalah yang berhubungan

dengan hati. Dengan demikian, hati memang tidak mungkin berbuat

adil. Sementara keharusan adil yang dituntut apabila seseorang

mempunyai istri lebih dari satu adalah adil dalam bentuk fisik, yakni

dalam perbuatan dan perkataan.23

c. Mampu memberi nafkah

Seseorang tidak diperbolehkan maju menikah dengan seorang

perempuan atau lebih jika ia tidak mampu memberi nafkah secara

berkesenimbungan, karena Rasulullah Saw bersabda: “Wahai para

pemuda, barang siapa telah mampu menikah di antara kalian maka

segeralah menikah, karema ia lebih dapat menjaga pandangan dan

kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, hendaklah berpuasa,

karena itu perisai.24

23 Ibid., 61.

24 Arij Abdurrahman As-Sanah, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: PT. Globalmedia

(52)

44

d. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri

Yang dimaksud dengan adanya persetujuan dari istri/istri-istri,

adalah apabila ada pernyataan baik lisan maupun tertuli. Apabila

pernyataan itu secara lisan maka harus diucapkan di depan sidang

pengadilan.

Kesulitan memperoleh istri/istri-istri ialah, bahwa nomaliter

tiada seorang istripun yang suka di madu, sehingga bilmana ada yang

mau memberikan izinnya tiada lain karena dalam keadaan terpaksa

dengan pertimbangan:

a) Ia tidak dapat mencari nafkah sendiri;

b) Karena usia yang sudah cukup tua, tidak ada harapan lagi untuk

kawin lagi dengan orang lain;

c) Tidak ingin pecahnya hubungan keluarga, demi kepentingan

anak-anaknya.

2. Poligami non PNS (non pegawai negeri sipil)

Dasar hukum dibolehkan poligami di Indonesia adalah Pasal 3

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ketentuan ini berarti bahwa

perkawinan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menurut

asas monogami, akan tetapi tidak bersifat mutlak, karena hukum

menutup kemungkinan bila pihak-pihak yang bersangkutan

(53)

45

Syarat-syarat untuk berpoligami menurut ketentuan Pasal 5

Undang-undang perkawinan juga harus dipenuhi, yaitu:

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini,

harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(1) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

(2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

(3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri

dan anak-anak mereka.

2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak

diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak

mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak

dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama

sekurang-kurangnya 2 (dua) Tahun, atau karena sebab-sebab lainnya

yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.25

Pasal 56

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.

(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

(54)

46

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.26

3. Poligami PNS (pegawai negeri sipil)

Di Indonesia pada prinsipnya perkawinan itu adalah monogamy,

hanya karena alasan-alasan tertentu poligami dibolehkan oleh pengadilan

agama, apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983

tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,

bahwa yang dimaksud dengan istri tidak dapat menjalankan

kewajibannya sebagai istri adalah apabila istri yang bersangkutan

mendapat penyakit jasmaniah atau rohaniah, sehingga ia tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai istri baik secara biologis maupun

lainnya yang menurut ketentuan dokter susah disembuhkan. Izin

poligami termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), hanya dapat diberikan

apabila memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif, dan ketiga

syarat komulatif.

26 Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang PERKAWINAN & Kompilasi Hukum Islam,

(55)

47

Adapun syarat-syarat alternatif yang dimaksud adalah :27

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sedangkan syarat-syarat komulatif adalah :

a) Ada persetujuan tertulis dari istri atau istri-istri;

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup

istri dan anak-anak mereka, dan;

c) Adanya jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap

istri-istri dan anak-anaknya.

Dalam Peraturan Pemerintah R.I Nomor 45 Tahun 1990 tentang

perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin

Perkawinan dan Perceraian bagi PNS (pegawai negeri sipil).

Pasal 3

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat; (2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat

atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis;

(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.

27 Lihat UU Nomor.1 Tahun 1974 Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam 41 dan PP

Referensi

Dokumen terkait

Waktu tunggu terendah sebesar 52 detik terdapat di Simpang Lima, dan waktu tunggu tertinggi BRT Trans Semarang sebesar 35 menit terdapat di Stasiun Tawang, yang seharusnya antara

Anggota Partner, adalah anggota yang berlatar belakang diluar industri hotel namun terkait dengan pariwisata secara umum yang dipilih dn ditetapkan sebagai mitra kerja IHGMA yang

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi intelektual skripsi saya yang berjudul “ PEMODELAN SINTETIK UNTUK OPTIMASI PARAMETERAKUSTIK MUSHOLLA DENGAN MODEL KUBAH

1) Sistem pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan undang- undang secara negatif dimana pembuktian harus didasarkan pada

Hasil penelitian mengemukakan bahwa latihan ladder drill two feet each square dan zig-zag run berbeda signifikan, latihan ladder drill two feet each square lebih

Tanah (Lumbricus rubellus dan Pheretima aspergillum) dengan Variasi Suhu Pengolahan (50 O C, 60 O C, dan 70 O C) terhadap Penghambatan Pertumbuhan Bakteri Salmonella

Rekomendasi yang dapat peneliti berikan adalah bagi guru bahwa metode pembelajaran penemuan terbimbing dapat dijadikan sebagai suatu alternatif dalam proses

secara benar, sehingga aturan yang ada sesuai dengan kenyataan dilapangan. Namun dalam hal implementasi peraturan tersebut pemerintah kota bontang harus terus