• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI SAMBULGANA DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU KAILI : STUDI KASUS DI KAMPUNG BARU KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI SAMBULGANA DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU KAILI : STUDI KASUS DI KAMPUNG BARU KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Sambulgana dalam Perkawinan Adat Suku Kaili (Studi Kasus di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi Tengah)” merupakan penelitian yang dilakukan di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi Tengah. Penenelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan: 1. Bagaimana deskripsi tradisi sambulgana dalam perkawinan adat suku Kaili di Kampung Baru?. 2. Bagaimana analisis Hukum Islam terhadap ketentuan tradisi sambulgana tersebut?

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field Research) yang menggunakan teknik dokumentasi dan wawancara sebagai metode pengumpulan data. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur yang hanya memuat pertanyaan-pertanyaan pokok permasalahan yang ditanyakan pada tokoh adat, tokoh agama, masyarakat yang melakukan tradisi tersebut, serta aparatur di Kampung Baru. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan pola pikir induktif deduktif dengan metode deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: tradisi sambulgana telah dilakukan oleh masyarakat suku Kaili secara turun temurun dan masih terus dipraktekkan hingga sekarang. Bentuk sambulgana tediri dari uang, barang/benda atau hewan tertentu berdasarkan permintaan pihak perempuan. Pada awalnya tujuan sambulgana adalah untuk meringankan biaya upacara pernikahan dari pihak perempuan, namun seiring

berjalannya waktu sambulgana juga mengalami perkembangan dan membawa

dampak yang kurang baik. Seseorang yang menikah dengan nominal sambulgana

yang tinggi akan meningkatkan prestise orang tuanya di mata masyarakat dan

sambulgana juga merupakan cara untuk menolak perkawinan.

Semua ketentuan tradisi sambulgana ada yang sesuai dengan hukum Islam dan ada yang tidak sesuai. Sambulgana yang tidak sesuai misalnya Sambulgana juga dijadikan alat untuk menghalangi perkawinan pasangan yang saling mencintai dengan meminta nominal yang sangat tinggi kepada pihak laki-laki.

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

MOTTO ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TRANSLITERASI ...xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional... 15

H. Metode Penelitian... 16

I. Sistematika Penulisan... 22

BAB II Khitbah Dan ‘Urf ... 25

A. Pengertian Khitbah ... 25

B. Hukum Khitbah ... 27

C. Tata Cara Khitbah ... 29

D. Syarat-Syarat Khitbah ... 31

E. Akibat Khitbah ... 37

F. Hikmah Khitbah ... 40

G. Putusnya Khitbah ... 41

H. Pengertian ‘Urf ... 44

(3)

J. Kedudukan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’ ... 48

K. Hukum Dapat Berubah Karena ‘Urf ... 50

BAB III TRADISI SAMBULGANA DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU KAILI DI KAMPUNG BARU KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH ... 53

A. Gambaran Umum Kampung Baru ... 53

B. Konsep Sambulgana Dalam Tradisi Perkawinan Adat Suku Kaili Di Kampung Baru ... 62

C. Pandangan Tokoh Masyarakat Tentang Tradisi Sambulgana Dalam Perkawinan Adat Suku Kaili Di Kampung Baru ... 68

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI SAMBULGANA ... 70

A. Analisis Terhadap Ketentuan tradisi Sambulgana dalam Perkawinan Adat Suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah ... 70

B. Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Sambulgana dalam Perkawinan Adat Suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Kaili Kepulauan Sulawesi Tengah ...73

BAB V PENUTUP ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA

(4)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis

(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.

Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai

berikut:

A. Konsonan

No Arab Indonesia Arab Indonesia

1. ا ’ ط t}

2. ب B ظ z}

3. ت T ع ‘

4. ث Th غ Gh

5. ج J ف F

6. ح h} ق Q

7. خ kh ك K

8. د d ل L

9. ذ dh م M

10. ر r ن N

11. ز z و W

12. س s ه H

13. ش sh ء ’

14. ص s} ي Y

15. ض d}

Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers.

Disertasions(Chicago and London: The University of Chicago

(5)

B. Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong) Tanda dan

Huruf Arab Nama Indonesia

__َ__ fath}ah A

__ِ__ kasrah I

__ُ__ d}ammah U

Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika

hamzah berh}arakatsukun atau didahului oleh huruf yang

berh}arakatsukun. Contoh: iqtid}a> ’ (ءﺎﺿﺗﻗا)

2. Vokal Rangkap (diftong) Tanda dan

Huruf Arab

Nama Indonesia Ket.

ْﻲـــَـــــــــ fath}ah dan ya’ ay a dan y ْﻮـــُـــــــــ fath}ah dan wawu au a dan w

Contoh : bayna ( نﯾﺑ )

: mawd}u>’ ( عوﺿوﻣ )

3. Vokal Panjang (mad) Tanda dan

Huruf Arab

Nama Indonesia Ket.

ﺎـــــــــــــــَـــــــ fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ﻲــــــِــــــــ kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas ﻮــــــــــُـــــــــ d}ammahdan wawu u> u dan garis di atas Contoh : al-jama>’ah (ﺔﻋﺎﻣﺟﻟا)

: takhyi}>r (رﯾﯾﺧﺗ)

: yadu>ru (رودﯾ)

C. Ta>’ Marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua :

(6)

2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.

Contoh : shari>‘atal-Isla>m (م ﺳ ا ﺔﻌ ﺮﺷ)

: shari>‘ahisla>mi>yah (ﺔﻌ ﺮﺷﺔ ﻣ ﺳإ)

D. Penulisan Huruf Kapital\

Penulisan huruf besar dan kecil pada kata, phrase (ungkapan) atau

kalimat yang ditulis dengan translitersiArab-Indonesia mengikuti ketentuan

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan ikatan sosial antar laki-laki dan perempuan

yang akan membentuk hubungan untuk mencapai tujuan yang baik sesuai

dengan syariat Islam demi terciptanya keluarga yang saki>nah mawaddah dan

wa rah{mah. Perkawinan merupakan suatu cara yang ditetapkan oleh Allah

sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan menjaga

kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan

peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.1

Manusia diciptakan Allah SWT secara berpasang-pasangan untuk

saling memperkuat iman dan Islam. Oleh karenanya, seringkali Allah SWT

mempertemukan pasangan-pasangan tersebut dengan cara yang tidak

terduga. Perbedaan warna kulit, suku dan bangsa-pun memberi warna yang

indah dalam setiap takdir yang telah Allah SWT tetapkan.

Dalam pandangan Islam, perkawinan bukan hanya urusan perdata

semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi

masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk

memenuhi sunnah Allah SWT dan sunnah Nabi saw. Di samping itu,

perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tapi

(8)

2

untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan

pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.2

Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga

bahagia. Dalam KHI Pasal 2 dan 3 disebutkan perkawinan menurut hukum

Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi<tha<qan gali<z}an

untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan

ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sa@kinah,

mawaddah, warah{mah.3 Dalam surah ar-Ru<m ayat 21 juga disebutkan :

نِإ ًةَمْحَر و ة دَوَم ْمُكَْ يَ ب َلَعَجَو اَهْ يَلِإ اوُُكْسَتِل اًجاَوْزَأ ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْنَأ ِِتاَيآ ْنِمَو

َنوُر كَفَ تَ ي ٍمْوَقِل ٍتاَي ََ َكِلَٰذ يِف

Artinya: ‚Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian

itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir‛4

Hal ini ditegaskan juga dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan. Dalam pasal 1 disebutkan:

‚perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.‛ 5

Tujuan mulia perkawinan sebagaimana yang termaktub dalam

al-Qur’an, Undang-Undang Perkawinan dan KHI akan tercapai dengan baik dan

2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta : kencana, Cet. III, 2009), 48.

3 Kompilasi Hukum Islam, Bab II Pasal 2.

(9)

3

sempurna, bila sejak proses awal juga dilaksanakan selaras dengan

ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama. Di antara proses

yang harus dilalui itu adalah peminangan atau pelamaran.

Kata peminangan berasal dari kata pinang, yang memiliki sinonim

yaitu melamar, yang dalam bahasa Arab disebut Khit}bah (ة ط لا ). Secara

etimologi meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan

istri bagi diri sendiri atau orang lain. Sedangkan menurut terminologi,

peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan

antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau pemingangan berarti

seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi

istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.6

Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 235:

َاَو

ْمُك نَأ ُها َمِلَع ْمُكِسُفنَأ يِف ْمُتَْ ْكَأ ْوَأ ِءآَسِلا ِةَبْطِخ ْنِم ِِب مُتْض رَع اَميِف ْمُكْيَلَع َحاَُج

ِلا َةَدْقُع اوُمِزْعَ ت َاَو اًفوُرْع م ًاْوَ ق اوُلوُقَ ت نَأ اِإ اًرِس نُوُدِعاَوُ ت ا نِكَلَو نُهَ نوُرُكْذَتَس

ِحاَك

َها نَأ اوُمَلْعاَو ُوُرَذْحاَف ْمُكِسُفنَأ يِف اَم ُمَلْعَ ي َها نَأ اوُمَلْعاَو َُلَجَأ ُباَتِكْلا َغُلْ بَ ي ى تَح

ُُُميِلَح ٌروُفَغ

Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah SWT mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah SWT

(10)

4

mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya,

dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.7

Jadi, yang dimaksud Peminangan atau khit}bah adalah upaya ataupun

cara untuk menuju perkawinan dengan cara-cara yang umum diketahui oleh

masyarakat. Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan, yang

waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah atau

jauh-jauh hari sebelum akad nikah dilaksanakan.8

Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa hukum khit}bah adalah sunnah,

sedangkan Imam Dawud mengatakan bahwa khit}bah merupakan kewajiban

yang harus dilaksanakan sebelum adanya prosesi akad nikah. Akan tetapi

seluruh ahli fiqh sepakat bahwa hukum khit}bah menjadi haram jika khit}bah

dilakukan pada wanita yang berada dalam pinangan orang lain.9

Peminangan adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului

perkawinan dan menurut kebiasaan setelah waktu itu dilangsungkan akad

perkawinan. Namun, peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang

mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau perempuan yang

dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan

pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerimanya.

Meskipun demikian, pemutusan peminangan mestinya dilakukan

secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang diberikan

dalam acara peminangan tersebut tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan

7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 38

8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan...., 50

(11)

5

mahar yang diberikan kemudian dalam perkawinan. Dengan demikian,

pemberian tersebut dapat diambil kembali jika peminangan itu tidak

berlanjut dengan perkawinan. 10

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pelamaran atau peminangan

merupakan pola yang umum dilakukan dalam masyarakat. Maksudnya

adalah pola yang dapat ditemui pada setiap masyarakat (hukum adat) yang

ada di Indonesia ini. Cara yang dilakukan dalam melakukan pelamaran pada

hakekatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaannya (kira-kira)

terdapat pada alat atau sarana pendukung dari proses melamar itu.11

Bila peminangan atau lamaran telah diterima dengan baik oleh pihak

yang dilamar, maka mungkin tidak sekaligus mengakibatkan perkawinan,

akan tetapi mungkin dilakukan pertunangan terlebih dahulu. Pertunangan

baru akan mengikat kedua belah pihak pada saat diterimanya hadiah

pertunangan yang merupakan alat pengikat atau benda yang kelihatan, yang

kadang-kadang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau

dari kedua belah pihak (Batak, Minangkabau, kebanyakan Suku Dayak,

beberapa suku Toraja dan Suku To Mori).12

Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara pihak

yang saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap ada perjanjian.

Suatu perjanjian belum tentu akan terus mengikat para pihak walaupun telah

disepakati. Supaya perjanjian yang disepakati dapat mengikat, harus ada

10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan.., 57.

(12)

6

tanda ikatan. Tetapi dengan adanya ikatan belum tentu suatu perjanjian itu

dapat dipenuhi. Tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati

oleh kedua belah pihak dimana keduanya berkewajiban memenuhi perjanjian

yang telah disepakati itu. Istilah yang dikenal dalam adat jawa sebagai tanda

jadi adalah Panjer khususnya dalam perjanjian kebendaan, walaupun

terkadang juga dipakai dalam hubungan perkawinan.13 Namun, secara umum

yang terkenal dalam istilah perjanjian dalam hubungan perkawinan adalah

Peningsetan.14

Peningset yang dalam tradisi Jawa biasanya diberikan dalam proses

lamaran, dalam perkawinan adat suku Kaili di Kampung Baru, Kecamatan

Palu Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, diberikan sebelum

berlangsungnya proses akad nikah. Sedangkan untuk menentukan jumlah

harta yang diberikan pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan

atas permintaan pihak perempuan atau disebut juga sambulgana menurut

suku Kaili, maka akan ada pertemuan antara pihak suami dan pihak istri

setelah adanya lamaran untuk menentukan besarnya jumlah sambulgana

yang harus diserahkan sebelum akad nikah. Biasanya strata sosial atau

tingkat pendidikan wanita yang akan dilamar menjadi tolok ukur untuk

menentukan besarnya jumlah sambulgana. Sambulgana tersebut biasanya

(13)

7

berupa uang, hewan atau benda-benda tertentu yang akan digunakan untuk

keperluan perkawinan dan untuk kedua orang tua .15

Sambulgana yang telah di sepakati menjadi kewajiban pihak laki-laki

untuk memenuhinya. Jika sampai waktu yang ditentukan berdasarkan

kesepakatan sambulgana tidak dapat dibayarkan, maka perkawinan tidak

dapat dilaksanakan. Sambulgana ini tidak hanya semata-mata untuk

kepentingan materiil saja, hal ini dikarenakan sambulgana ini juga dilakukan

selain untuk menjalankan adat suku Kaili yang sudah turun-temurun, juga

untuk menguji kelayakan ataupun kemapanan dari mempelai pria, apakah dia

sudah siap secara materiil untuk menikah atau belum dan sambulgana juga

biasanya digunakan untuk menolak mempelai pria, apabila keluarga wanita

tidak menyukai mempelai pria tersebut, dengan cara meninggikan

permintaan sambulgana dan harus dipenuhi dalam jangka waktu yang

singkat.

Pelaksanaan sambulgana ini memang memberatkan pihak laki-laki,

hal ini karena mereka yang berkewajiban membayar kepada pihak mempelai

perempuan dengan harta yang sudah disepakati. Bagaimana pandangan Islam

terhadap tradisi sambulgana menurut hukum Islam perspektif ‘urf?

‘Urf adalah adat kebiasaan yang dipandang baik oleh akal dan

diterima oleh tabiat manusia yang sejahtera. Jadi, yang dimaksud dengan

‘urf menurut hukum Islam sebagai sumber hukum adalah bukan hanya adat

kebiasaan masyarakat Arab saja, tetapi semua adat kebiasaan yang berlaku

(14)

8

di masing-masing masyarakat atau tempat.16 ‘Urf adalah salah satu metode

ijtihad yang dilakukan para ulama dalam menetapkan hukum suatu

kebiasaan yang baik dalam masyarakat. Mereka mengacu pada ayat:

ََيِلِاَْْاََِنَعََْضِرْعَأَوََِفْرُعْلاِبََْرُمْأَوَََوْفَعْلاََِذُخ

Artinya:‛Jadiah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan

yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.‛

Berdasarkan dalil di atas sebagai dalil hukum, maka ulama, terutama

ulama Hanafiyah dan Malikiyah merumuskan kaidah hukum yang berkaitan

dengan ‘urf, antara lain:

َ كََُُُةَداَعلا

َ ةَم

Artinya: adat kebiasaan dapat menjadi hukum

يِعْرَشَلْيِلَدِبَ تِباَثَ ِفْرُعلِابَُتِباّثلا

Artinya: yang berlaku berdasarkan ‘urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara’.

Namun tidak semua adat kebiasaan atau ‘urf dapat dijadikan hukum,

maka adat kebiasaan atau ‘urf terbagi menjadi dua, yaitu:

a.‘Urf s}ah}i<h} adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash,

tidak menghilangkan maslahat, dan tidak menimbulkan mafsadah,

seperti membayar sebagian mahar dan menangguhkan sisanya.

(15)

9

b.‘Urf fa<sid adalah adat kebiasaan yang bertentangan dengan nash,

menimbulkan mafsadah, dan menghilangkan maslahat, seperti

melakukan transaksi yang berbau riba.17

Para ulama sepakat bahwa hanya ‘Urf s}ah}i<h yang dapat dijadikan

dasar hukum dan dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam.

18Maka dengan adanya penelitian ini dapat memberi sumbangan pemikiran

terhadap masyarakat Kampung Baru atas kebiasaan yang biasa dilakukan.

Apakah itu termasuk ‘Urf s}ah}i<h atau ‘Urf fa<sid .

Dalam skripsi ini membahas apa saja yang melatar belakangi

terjadinya adat Sambulgana, serta bagaimana perspektif ‘Urf terhadap adat

Sambulgana yang terjadi di Kampung Baru. Berangkat dari hal tersebut,

maka penyusun tertarik untuk menelitinya sehingga dirumuskan dalam

sebuah judul penelitian skripsi yang berbunyi: Analisis Hukum Islam

Terhadap Tradisi ‚Sambulgana‛ dalam Perkawinan Adat Suku Kaili (studi

Kasus di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi

Tengah).

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,

maka dapat dituis beberapa identifikasi masalah sebagai berikut :

17 Sulaiman Abdullah, sumber Hukum Islam, Permasalahan Dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 78

(16)

10

1.Deskripsi Tradisi sambulgana pada masyarakat suku Kaili di Kampung

Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi Tengah

2.Dasar dilakukannya tradisi sambulgana

3.Faktor penyebab tradisi sambulgana dapat membatalkan atau

menghambat terjadinya akad nikah pada suku Kaili di Kampung Baru

Kecamatan Palu Barat Kota Palu

4.Ketentuan sambulgana dalam hukum Islam perspektif ‘Urf.

5.Analisis hukum Islam terhadap tradisi sambulgana dalam perkawinan

adat suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu

Sulawesi Tengah.

Berdasarkan indetifikasi masalah yang telah dilakukan, maka

penelitian ini hanya terfokus meneliti masalah sebagai berikut:

1.Deskripsi Tradisi sambulgana pada masyarakat suku Kaili di Kampung

Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi Tengah

2.Analisis hukum Islam terhadap tradisi Sambulgana dalam perkawinan

adat Suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu

Sulawesi Tengah.

C. Rumusan Masalah

Berdasar dari judul penelitian, latar belakang dan batasan masalah

diatas, maka penulis merumuskan masalah pokok dalam penelitian ini adalah

(17)

11

1. Bagaiman deskripsi tradisi ‚Sambulgana‛ dalam perkawinan adat Suku

Kaili di di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Kabupaten

Kaili Kepulauan Sulawesi Tengah?

2. Bagaimana analisis Hukum Islam dan ‘Urf terhadap tradisi

‚Sambulgana‛ dalam perkawinan adat Suku Kaili di Kampung Baru

Kecamatan Palu Barat Kota Palu Kabupaten Kaili Kepulauan Sulawesi

Tengah?

D. Kajian Pustaka

Setelah penulis melakukan penelitian, belum ditemukan penlitian

yang secara khusus membahas tentang tradisi Sambulgana, namun beberapa

skripsi yang memiliki kesamaan dengan pembahasan skripsi akan penulis

angat tersebut antara lain :

1.Skripsi yang ditulis oleh Nur Wahid Yasin tentang ‚Tinjauan Hukum

Islam terhadap Sanksi Pembatalan Peminangan (Study kasus di Desa

Ngreco, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo). Berdasarkan hasil

penelitian tersebut terjawab bahwa masyarakat desa ngreco sebagai

bagian dari masyarakat jawa dalam memenerapkan sanksi pembatalan

pertunangan dimaksudkan untuk mengutan perjanjian pertunangan

sebelum menikah dengan harapan tidak akan terjadi pembatalan

peminangan yang dapat menyebabkan permusuhan yang akan

mengancam keselamatan jiwa, harta, dan akal. Dengan teori Sad

(18)

12

dengan tujuan sebagaimana yang disebutkan diatas diperbolehkan

menurut hukum Islam.19

2.Skripsi yang ditulis oleh Siti Nurhayati tentang ‚Ganti Rugi pembatalan

Khitbah dalam tinjauan Sosiologis (Studi Masyarakat Pulung Rejo,

Kecamatan Rimbo Ilir, Jambi)‛. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan

bahwa gantu rugi pembatalan khitbah dimaksudkan untuk menjegah

adanya kegagalan pernikahan dan mencegah agar tidak terjadi konflik

dalam hubungan kemasyarakatan.20

3.Skripsi yang ditulis oleh Edi Daru Wibowo tentang ‚Tinjauan Hukum

Islam terhadap Denda Pembatalan Khitbah (Studi kasus di Kecamatan

Donorojo Kabupaten Pacitan)‛. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan

jawaban bahwa pengenaan denda terhadap pihak yang membatalkan

khitbah disebut Bunderan. Lembaga bunderan berisi penetapan jumlah

denda dan penentuan waktu pelaksanaan akad nikah sesuai kesepakatan.

Menurut hukum Islam, lembaga buderan merupakan bagian dari ‘urf

yang diperbolehkan.21

4.Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Safi’i tentang ‚Tinjauan Hukum Islam

terhadap praktik pemberian uang antaran dalam pinangan di Desa Silo

Baru kecamatan Air Joman kabupaten Asahan Sumatera utara‛. Adapun

hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa

19 Nur Wahid Yasin, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap sanksi Pembatalan Pertunangan (Studi kasus di Desa ngreco), Kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo)‛, (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010).

(19)

13

praktek pemberian uang antaran tersebut dkategorikan dalam 2 macam,

yaitu yang bermaksud meringankan biaya pelaksanaan perkawinan dan

ini sejalan dengan hukum Islam. Yang kedua adalah uang antaran yang

semata-mata hanya untuk meningkatkan gengsi atau prestise tidak

dibenarkan dalam hukum Islam karena bertentangan dengan dalil-dalil

Syar’i.22

5. Skripsi yang ditulis oleh Sisnawati Ladjahia tentang ‚Analisis Hukum

Islam Terhadap Tradisi Pasai Dalam Perkawinan Adat Suku Banggai

(Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totiokum Kabupaten

Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah)‛. Penelitian ini lebih

kepada deskripsi secara detail tentang tradisi pasai dalam perkawinan

adat suku Banggai di desa Kombutokan, serta kesesuaian tradisi tersebut

jika ditnjau dari perspektif hukum Islam.23

Adapun peneletian penulis ini selain mendeskripsikan tentang tradisi

sambulgana, juga dilakukan untuk menjalankan adat suku Kaili yang sudah

turun-temurun, dan untuk menguji kelayakan ataupun kemapanan dari

mempelai pria, apakah dia sudah siap secara materiil untuk menikah atau

belum dan sambulgana biasanya dapat digunakan untuk menolak mempelai

pria, apabilan keluarga wanita tidak menyukai mempelai pria tersebut,

dengan cara meninggikan permintaan sambulgana dan harus dipenuhi dalam

22 Ahmad Syafi’i, ‚Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pemberian uang antaran dalam pinangan di Desa Silo Baru kecamatan Air Joman kabupaten Asahan Sumatera Utara‛, (Skripsi— UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).

(20)

14

jangka waktu yang singkat dan analisis Hukum Islam dan menurut

perspektif ‘Urf.

Jadi, skripsi yang penulis susun dengan judul Analisis Hukum Islam

Terhadap Tradisi Sambulgana dalam Perkawinan Adat Suku Kaili (Studi

Kasus di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi

Sulawesi Tengah) adalah penelitian yang baru dan belum pernah

dipublikasikan sebelumnya.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1.Menjelaskan deskripsi tradisi Sambulgana dalam perkawinan adat Suku

Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi

Tengah.

2.Menjelaskan analisis Hukum Islam dan‘Urf terhadap tradisi Sambulgana

dalam perkawinan adat Suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu

Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya

untuk dua hal dibawah ini :

1.Kegunaan Teoretis; Menambah khazanah literatur pengetahuan ilmiah

keislaman khususnya di bidang ilmu Hukum Islam.

(21)

15

1.Memberikan manfaat bagi peneliti;

2.Memberikan manfaat bagi masyarakat muslim di wilayah di

Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu

Provinsi Sulawesi Tengah;

3.Memberikan manfaat bagi peneliti selanjutnya.

G. Definisi Operasional

Agar terhindar dari kesalahpahaman dalam menginterpretasikan arti

dan maksud dari judul ini, maka perlu ditegaskan beberapa istilah yang

terdapat didalamnya, yaitu :

1.Hukum Islam (‘Urf): merupakan seperangkat aturan yang didasarkan pada

wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf

(dalam hal ini tentang tradisi sambulgana dalam perkawinan adat suku

Kaili) yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang

beragama Islam.24 Hukum Islam dalam hal ini adalah menurut perspektif

‘urf. ‘Urf adalah adat kebiasaan yang dipandang baik oleh akal dan

diterima oleh tabiat manusia yang sejahtera. Jadi, yang dimaksud

dengan ‘urf menurut hukum Islam sebagai sumber hukum adalah bukan

hanya adat kebiasaan masyarakat Arab saja, tetapi semua adat kebiasaan

yang berlaku di masing-masing masyarakat atau tempat.25.

24 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I, (jakarta: kencana Prenada media Group, Cet. Ke-4, 2009), 6.

(22)

16

2.Sambulgana : pemberian wajib berupa uang, benda, atau hewan tertentu

sebagai harta dalam perkawinan, dilakukan berdasarkan perjanjian

tertentu yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan setelah

melamar sebagai syarat dapat melangsungkan akad perkawinan.

3.Suku Kaili: merupakan suku etnis terbesar yang mendiami daerah

Sulawesi Tengah. Sebagian besar suku Kaili berada di Palu, yaitu

Ibukota Sulawesi Tengah. Suku Kaili mendiami berbagai daerah di

Sulawesi Tengah yang meliputi, Kota Palu, Kabupaten Donggala,

Kabupaten Sigi Biromaru, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten

Ampana, Kabupaten Poso, dan sebagian kecil di Kabupaten Buol dan

Toli-Toli. Dalam penelitian ini suku Kaili yang di teliti berada di

Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi

Tengah.

Jadi, yang dimaksud dengan judul ini adalah bagamana pandangan

hukum Islam dan ‘Urf dalam tradisi Sambulgana dalam perkawinan adat

suku Kaili terbatas hanya pada Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota

Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

H. Metode Penelitian

Agar penelitian berjalan baik dan lancar serta memperoleh data yang

dapat dipertanggungjawabkan, maka penelitian ini perlu menggunakan

metode tertentu. Adapun metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah

(23)

17

1.Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (field

Research). penelitian ini dilakukan dengan mengambil sumber data dari

adat perkawinan di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu

Provinsi Sulawesi Tengah tentang adanya tradisi Pemberian sambulgana

dalam perkawinan serta akibat hukum yang ditimbulkan jika

sambulgana tersebut tidak diberikan sesuai dengan batas waktu yang

telah ditentukan.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif historis.

Pendekatan normatif maksudnya pembahasan dalam penelitian ini

secara normatif didasarkan pada teori dan konsep hukum Islam. Adapun

secara historis artinya penelitian ini akan menelusuri bagaimana

historisitas tradisi Sambulgana di Suku Kaili.

2.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota

Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

3.Data yang Dikumpulkan

Sesuai dengan permasalahan diatas, maka data yang dikumpulkan

dalam penelitian ini adalah :

a. Proses pelaksanaan Sambulgana dalam perkawinan adat Suku Kaili

di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi

(24)

18

b. Faktor yang melatarbelakangi praktek pemberian sambulgana dapat

membatalkan atau mencegah terjadinya akad nikah dalam

perkawinan adat suku Kaili.

c. Data tentang Hukum Islam dan ‘Urf terhadap penyebab tradisi

Sambulgana dapat membatalkan atau menghambat terjadinya akad

perkawinan dalam perkawinan adat suku Kaili di Kampung Baru

Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

4.Sumber Data

Sumber data yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah

dari mana data dapat diperoleh.26 Berdasarkan data yang akan dihimpun

di atas, sumber data dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber Data Primer

Sumber data ini diperoleh langsung dari subjek penelitian.

Data ini didapatkan langsung dari lapangan. Adapun yang menjadi

subjek dari penelitian ini adalah pelaku perkawinan,

pemuka-pemuka adat, tokoh agama, pejabat pemerintahan, dan masyarakat

lain yang paham tentang tradisi Sambulgana dalam perkawinan

adat Suku Kaili Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu

Provinsi Sulawesi Tengah serta dokumentasi langsung yang

penulis dapatkan dari subjek penelitian.

b. Sumber Data Sekunder

(25)

19

Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh

dari pihak lain. Peneliti tidak memperoleh langsung dari subjek

penelitiannya. Data sekunder bisa berwujud data dokumentasi,

laporan, ataupun buku-buku yang sudah tersedia.27

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

diantaranya :

1) Bida>yat Mujtahid wa Niha>yat Muqtas}id karya Ibn

al-Rushd

2) Ensiklopedi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

3) Al-Fiqh al-Isla@m wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuh}ailiy

4) Fiqh Sunnah Juz 2 karya Sayyid Sabiq

5) Fiqh al-Munakahat karya Abdul Azi@z Muh{ammad Azzam

dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas

6) Hukum perkawinan Adat dengan adat Istiadat dan Upacara

Adatnya karya Hilman Hadikusuma dan buku-buku lain

yang berhubungan dengan adat perkawinan Suku Kaili.

7) Kode Etik Melamar Calon Istri Bagaimana Proses

Meminang Secara Islami karya Syaikh Nada@ Abu@ Ah}mad

(26)

20

5.Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan berdasarkan sumber

data diatas, maka penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data

sebagai berikut :

a. Wawacara (Interview)

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,

melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari

seseorang lainnya dengan mengajukan beberapa

pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.28 Dalam wawancara ini

peneliti terlebih dahulu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang

akan diajukan melalui pedoman wawancara yang mempunyai

keterkaitan dengan Tradisi Sambulgana Dalam Perkawinan Adat

Suku Kaili Di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu

Provinsi Sulawesi Tengah‛. Untuk mendapatkan data, penyusun

melakukan wawancara dengan Yati dan Anca (pelaku perkawinan),

Saifudin Parenrengi (pemuka adat), Hj. Fatmah (tokoh Perempuan),

dan Anwar Mangge (tokoh agama).

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan bahan-bahan dan data-data

penelitian berupa dokumen. Data tersebut diperoleh dari buku profil

Kampung Baru pada tahun 2013 yang isi berupa letak geografis

(27)

21

maupun kondisi ekonomi, sosial, budaya masyarakat Suku Kaili di

Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi

Tengah.

6.Teknik Pengolahan Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpulkan, maka penulis

menggunakan teknik berikut ini untuk mengolah data:

a. Editing, yaitu kegiatan memeriksa atau meneliti data yang telah

diperoleh untuk menjamin apakah data tersebut dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak.29 Penulis

memeriksa data-data berupa dokumentasi yang berasal

pemerintahan desa Kombutokan serta hasil wawancara dari para

subjek penelitian kemudian memilah data yang dapat digunakan

untuk mendukung pembahasan.

b. Organizing yaitu mengatur dan menyusun bagian (orang dan

sebagainya) sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang

teratur.30 Setelah data diteliti kemudian penulis menyusun bahan

dalam bagian-bagian yang sistematis, dimana bahan

dikategorisasikan secara teratur sehingga menjadi data yang siap

digunakan untuk keperluan penelitian.

29 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 121.

(28)

22

7.Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis.

Data yang diperoleh dalam suatu penelitian tidak akan ada artinya jika

tidak melalui tahap analisis, karena analisis merupakan bagian yang

amat penting dalam penelitian. data yang telah dikumpulkan dapat

diberi arti dan makna yang berguna untuk memecahkan masalah

penelitian melalui analisis.31 Penelitian ini termasuk dalam penelitian

deskriptif karena bertujuan menyajikan data seteliti mungkin tentang

manusia atau gejala lainnya.

Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini

adalah deskriptif kualitatif. Hal tersebut dikarenakan teknik analisis

yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada data yang tidak bisa

dihitung, bersifat monografis, atau berupa kasus-kasus.32 Pola berpikir

yang digunakan untuk mendeskripsikan data yang telah terhimpun

adalah pola pikir induktif karena berangkat dari sebuah kasus yang

terjadi di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi

Sulawesi Tengah, kemudian ditinjau dari Hukum Islam, dalam hal ini

menurut perspektif ‘urf.

I. Sistematika Pembahasan

(29)

23

Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman dalam penulisan

skripsi ini, penulis membagi masing-masing pembahasan menjadi 5 (lima)

bab dan tiap bab akan diuraikan menjadi sub-sub bab. Secara garis besar,

penjelasannya adalah sebagai berikut :

Bab pertama : merupakan pendahuluan yang memuat latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua : bab ini membahas tentang khit{bah, pengertian khit{bah,

hukum khit{bah, syarat-syarat dan ketentuan khit{bah serta kajian

tentang‘Urf..

Bab ketiga : menjelaskan hasil temuan dilapangan yang meliputi

tradisi sambulgana dalam adat perkawinan suku Kaili di Kampung Baru

Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Pembahasan ini

terdiri dari kodisi dan latar belakang daerah penelitian, keadaan sosial,

ekonomi, budaya dan keagamaan masyarakat setempat, kemudian

pembahasan dilanjutkan dengan deskripsi ketentuan tradisi sambulgana

dalam adat perkawinan Suku Kaili serta faktor yang menyebabkan tradisi

tersebut dapat membatalkan atau menghabat terjadinya proses akad nikah di

daerah tersebut.

Bab keempat : merupakan analisis dari hasil penelitian yang

penulis lakukan dengan menjawab rumusan masalah tentang deskripsi tradisi

(30)

24

tradisi Sambulgana tersebut dalam perkawinan adat suku Kaili di Kampung

Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

Bab kelima : merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan

saran. Kesimpulan berfungsi menjawab rumusan masalah, sementara saran

(31)

(32)

BAB II

KHIT{BAH DAN ‘URF

A.Pengertian Khit{bah

Sebelum melakukan perkawinan, biasanya tradisi di Indonesia

adalah dilakukannya pertemuan kedua belah pihak calon mempelai

atau dikenal dengan istilah lamaran atau peminangan. Kata

peminangan berasal dari kata ‚pinang‛ dan dalam bahasa arab disebut

ةبطخلا. Lafadz ةبطخلا jika huruf kha’ dikasrah maka memiliki arti

permohonan. Maksudnya adalah permohonan orang yang meminang

untuk menikahi wanita yang dipinang.1 Menurut etimologi, khit{bah

artinya meminta wanita untuk dijadikan istri bagi diri sendiri maupun

orang lain.2 Adapun secara terminologi peminangan ialah kegiatan

upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria

dengan seorang wanita.3

Khit{bah merupakan tahapan sebelum perkawinan yang

dibenarkan oleh syara’ dengan maksud agar perkawinan dapat

dilaksanakan berdasarkan pengetahuan serta kesadaran masing-masing

pihak.4

1 Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat, (Surabaya: CV. IMTIYAZ, 2013), 85.

2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet. Ke-3, edisi ke-2, 1994), 556.

3 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, cet. Ke-2, 1995), 113.

(33)

26

Di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan tentang pengertian

perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mi<tha<qan gali<z}an untuk

mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan

ibadah.5 Sedangkan menurut UU Perkawinan RI No. 1/1974 pasal 1

disebutkan bahwasanya perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.6

Sayyid Sa@biq mendefinisikan khit{bah sebagai suatu upaya untuk

menuju perkawinan dengan cara-cara yang umum berlaku di

masyarakat. Khit{bah merupakan pendahuluan dari perkawinan dan

Allah SWT telah mensyari’atkan kepada pasangan yang akan menikah

untuk saling mengenal.7 Menurut Wahbah az-Zuhaily, bahwa khit{bah

adalah pernyataan keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan

wanita tertentu, lalu pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada

walinya. Pernyataan ini bisa disampaikan secara langsung atau melalui

keluarga lelaki tersebut. Apabila wanita yang dikhit{bah atau

keluarganya sepakat, maka sang lelaki dan wanita yang dipinang telah

5 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2010), 7.

6 UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung: Nuansa Alia, 2012), 76.

(34)

27

terikat dan implikasi hukum dari adanya khit{bah berlaku diantara

mereka.8

Sa’id Thalib Al-Hamdani mendefinisikan khit{bah sebagai

permintaan seorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau

seorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk

dikawini, sebagai pendahuluan nikah.9

B.Hukum Khit{bah

Mayoritas ulama’ menyepakati bahwa dalam Islam peminangan

hendaknya dilakukan ketika akan melakukan pernikahan. Seperti dalam

firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 235, yaitu:

ِءآَسِلا ِةَبْطِخ ْنِم ِِب مُتْض رَع اَميِف ْمُكْيَلَع َحاَُج َاَو

َأ

ْمُكِسُفنَأ يِف ْمُتَْ ْكَأ ْو

ُها َمِلَع

اوُمِزْعَ ت َاَو اًفوُرْع م ًاْوَ ق اوُلوُقَ ت نَأ اِإ اًرِس نُوُدِعاَوُ ت ا نِكَلَو نُهَ نوُرُكْذَتَس ْمُك نَأ

َلْعَ ي َها نَأ اوُمَلْعاَو َُلَجَأ ُباَتِكْلا َغُلْ بَ ي ى تَح ِحاَكِلا َةَدْقُع

ُوُرَذْحاَف ْمُكِسُفنَأ يِف اَم ُم

ُُُميِلَح ٌروُفَغ َها نَأ اوُمَلْعاَو

Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang

perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan

(keinginanmu) dalam hati, Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.10

8 Wahbah az-Zuh{aily, al-Fiqhul Isla@mi wa Adillatuhu, Juz 9, (Damaskus: Da@r al-Fikr, cet. Ke-4, 1997), 6492.

9 Sa’id Thalib al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, cet. Ke-2, 2011), 31.

(35)

28

Di dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw banyak disinggung

tentang masalah peminangan atau khit{bah, akan tetapi tidak ditemukan

secara jelas perintah ataupun larangan untuk melakukan peminangan.

Oleh karena itu, tidak ada ulama yang menghukumi peminangan sebagai

sesuatu yang wajib, atau bisa disebut mubah}.11

Sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin bahwa Syaikh Nada@ Abu

Ahmad mengatakan bahwa pendapat yang dipercaya oleh para pengikut

Syafi’i yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hukum khit{bah adalah

sunnah, sesuai dengan perbuatan Rasulullah ketika beliau meminang

Aisyah binti Abu Bakar. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa

hukum khit{bah sama dengan hukum pernikahan, yaitu wajib, sunnah,

makruh, h}aram, atau mubah}.12

Imam Ghazali menyatakan bahwa hukum peminangan adalah

sunnah, akan tetapi Imam an-Nawawi menegaskan bahwa pendapat

dalam Madzhab Syafi’iyah menghukumi peminangan sebagai sesuatu

yang mubah.13

Ibnu Rusyd mengatakan bahwa menurut mayoritas ulama’,

khit{bah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw.

bukanlah suatu kewajiban. Sedangkan menurut Imam Daud az-Zahiri

11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup, cet. Ke-3, 2009), 38.

12 Nada@ Abu@ Ahmad, Kode Etik Melamar Calon Istri, Bagaimana Proses Meminang Secara Islami, ter., Nila Nur Fajariyah, al-Khit{bah Ahkam wa ‘Adab, (Solo: Kiswah Media, 2010), 15.

(36)

29

hukum khit{bah adalah wajib. Perbedaan pendapat di antara mereka

disebabkan karena perbedaan pandangan tentang khit{bah yang dilakukan

oleh Rasulullah saw., yaitu apakah perbuatan beliau mengindikasikan

pada kewajiban atau pada kesunnahan.

Khit{bah dihukumi haram apabila meminang wanita yang sudah

menikah, meminang wanita yang ditalak raj’i sebelum habis masa

‘iddahnya, dan peminangan yang dilakukan oleh lelaki yang telah

memiliki empat orang istri. Khit{bah menjadi wajib bagi orang yang

khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera

meminang dan menikah. Sedangkan khit{bah dihukumi mubah} apabila

wanita yang dipinang kosong dari pernikahan serta tidak ada halangan

hukum untuk dilamar.14

C. Tata Cara Khit{bah

Adapun seorang laki-laki yang ingin menyampaikan kehendak

untuk meminang wanita, maka ia perlu mengetahui keadaan wanita

tersebut. Jika wanita yang ingin Ia lamar termasuk wanita mujbiroh,

maka kehendak untuk meminangnya disampaikan pada wali wanita

tersebut.15 Rasulullah saw. bersabda:

14Abu ‘Abdillahi Ibni Ismail Al-Bukhari@y, al-Jami’ al-Shahih Juz 3, Kairo: al Maktabah al-Salafiyah, 1980 H), 358.

(37)

30

َ عَ ن

ََ ع

َ رَ وَ ة

ََ ا

َ ن

َ

َ نلا

َ ِبَ

َ صَ ل

َ لاَي

ََ عَ

لَ يَِه

ََ وَ

َ سَ ل

َ مَ

َ خ

َ ط

َ ب

ََ ع

َِئا

َ شَ ة

ََِإ

َ ل

َ ََ

َ ِبَ

َ بَ ك

َ رَ

َ

َا ن ََا مِّا

َ خَ

َ وَ ك

َ

َ فَ,

َ ق

َ لا

َ

َ ََ ن

َ ت

ََ َ

َِخ

َ يَ

َ ِفَ

َِدَ ي

َِنَ

َِلا

ََ وَِك

َ تَِبا

َِهَ

َ وَِ

َ يَ

َ ِلَ

َ ح

َ ل

َ ل

16

Artinya: Dari ‘Urwah bahwa Nabi Muhammad saw. meminang

‘Aisyah pada Abu Bakr, lalu Abu Bakr berkata pada Nabi: ‚Sesungguhnya aku adalah saudaramu‛. Lalu Nabi saw. bersabda: ‚Engkau adalah saudaraku dalam agama dan kitab Allah, dan dia (‘Aisyah) halal bagiku.

Apabila wanita yang ingin ia lamar sudah baligh, maka ia bisa

menyampaikan kehendak untuk meminang kepada walinya atau

menyampaikan kepada wanita tersebut secara langsung, berdasarkan

sabda Rasulullah saw. berikut:17

ّمُأ ْنَع

َتاَم اّمَلَ ف ْتَلاَق اَهّ نَأ َةَم َََس

يِبَأ ْنِم ٌرْ يَخ َنْيمِلْسُمْلا يأ ُتْلُ ق َةَم َََس وُبَأ

ُه يَلَص ِها ِلْوُسَر يَلِإ َرَجاَ ٍتْيَ ب ُل وَأ َةَمَلَس

َفَلْخَأَف اَهُ تْلُ ق ْيِنِإ مُث َ َمّلَس َو ِيَلَع

َلِإ َلَسْرأ ْتَلاَق َم لَس َو ِْيَلَع ُها يَلَص ِها َلْوُسَر يِل ُها

ْوُسَر ّي

ُل

َو ِْيَلَع ُها يَلَص ِها

َبِتاَح َم لَس

ْخَي َةَعَ تْلَ ب يِبأ َنْب

ُط ُب

ِ

ُتْلُقَ ف َُل ي

اًتِْب يِل نِإ

ٌرْوُ يَغ اَنأَو

18

Artinya: Dari Ummu Sala@mah bahwasanya dia berkata ‚Ketika Abu@ Sala@mah wafat, aku berkata siapakah diantara orang-orang Islam yang lebih baik dari Abu Salamah, dia dan keluarganya pertama kali hijrah pada Rasulullah saw.? Kemudian aku mengucapkan kalimat istirja’ lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.‛ Ummu Salamah berkata: ‚Rasulullah mengutus Hatib bin Abi Balta’ah agar melamarky untuk beliau, lalu aku berkata ‚Sesungguhnya aku memiliki seorang anak dan aku adalah wanita pencemburu.‛

16 Abu Abdillahi Ibni Ismail al-Bukhariy, al-Jami’ al-Shahih, 358.

17 Abdul Wahhab, Kasyful Gimmah, juz 1, 70.

(38)

31

Cara penyampaian kehendak peminangan dapat dibedakan menjadi

dua macam, yaitu secara jelas (s}arih}) dans ecara sindiran (kina<yah).

Peminangan dikatakan s}arih} apabila peminang melakukannya dengan

perkataan yang dapat dipahami secara langsung seperti ‚aku ingin

menikahi Fulanah‛. Peminangan secara kinayah dilakukan dengan cara

peminang menyampaikan kehendaknya secara sindirian atau memberi

tanda-tanda kepada wanita yang hendak dilamar (bi kina@yah aw

al-qarinah). Seperti: kamu telah pantas untuk menikah.19

Peminangan sunnah dimulai dengan bacaan h}amdalah} dan

pujian-pujian pada Allah SWT. se`rta salawat pada Rasulullah saw. yang

dilanjutkan dengan wasiat untuk bertakwa kepada Allah SWT., setelah

itu barulah laki-laki yang akan meminang menyampaikan keinginannya.

Kesunnahan ini hanya berlaku bagi khit{bah yang boleh dilakukan secara

terang-terangan, tidak pada khit{bah yang hanya boleh dilakukan dengan

cara sindiran.20

D.Syarat-Syarat Khit{bah

Syarat-syarat peminangan ada dua macam, yaitu:

1. Syarat Mustah{sinah

Syarat mustah{sinah adalah syarat yang merupakan anjuran

pada laki-laki yang hendak melakukan peminangan agar meneliti

wanita yang akan dipinangnya sebelum melangsungkan

19 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhul Islami, Juz 9, 6492.

(39)

32

peminangan. Syarat mustah}sinah tidak wajib untuk dipenuhi, hanya

bersifat anjuran dan baik untuk dilaksanakan. Sehingga tanpa

adanya syarat ini, hukum peminangan tetap sah.21

Syarat-syarat mustah{sinah tersebut ialah:

a. Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan

laki-laki yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya,

status sosial, dan kekayaan.

b. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan

peranak.

c. Meminang wanita yang jauh hubungan kerabatnya dengan

lelaki yang meminang. Dalam hal ini Sayyidina ‘Umar bin

Khat{t{a@b mengatakan bahwa perkawinan antara seseorang lelaki

dan wanita yang dekat hubungan darahnya akan melemahkan

jasmani dan rohani keturunannya.

d. Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan-keadaan

lainnya yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.22

2. Syarat la@zimah

Syarat la@zimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum

peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada

adanya syarat-syarat la@zimah.23 Syarat-syarat tersebut adalah:

21 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), 28.

22 Ibid., 28-30

(40)

33

a. Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama

ditinggalkan oleh suaminya.24

b. Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik

keharaman itu disebabkan oleh mahram mu’abbad, seperti

saudari kandung dan bibi, maupun mahram mu’aqqad (mahram

sementara) saudari ipar. Adapun penjelasan tentang

wanita-wanita yang haram dinikahi terdapat dalam firman Allah SWT

surat an-Nisa@ ayat 22-23.

c. Tidak sedang dalam masa ‘iddah. Ulama sepakat atas

keharaman meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas

(sarih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, baik

‘‘iddah karena kematian suami maupun ‘‘iddah karena terjadi

t{ala@q raj’iy maupun ba@’in.25 Allah SWT. berfirman dalam surat

al-Ba@qarah ayat 235:

ْمُكِسُفنَأ يِف ْمُتَْ ْكَأ ْوَأ ِءآَسِلا ِةَبْطِخ ْنِم ِِب مُتْض رَع اَميِف ْمُكْيَلَع َحاَُج َاَو

ًرِس نُوُدِعاَوُ ت ا نِكَلَو نُهَ نوُرُكْذَتَس ْمُك نَأ ُها َمِلَع

ًاْوَ ق اوُلوُقَ ت نَأ اِإ ا

َها نَأ اوُمَلْعاَو َُلَجَأ ُباَتِكْلا َغُلْ بَ ي ى تَح ِحاَكِلا َةَدْقُع اوُمِزْعَ ت َاَو اًفوُرْع م

ُُُميِلَح ٌروُفَغ َها نَأ اوُمَلْعاَو ُوُرَذْحاَف ْمُكِسُفنَأ يِف اَم ُمَلْعَ ي

Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan

(keinginanmu) dalam hati, Allah mengetahui bahwa kamu

akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf.

24 Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan, 51.

(41)

34

Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.26

Adapun meminang wanita yang sedang dalam masa ‘iddah

secara sindiran, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:

a. ‘Iddah wanita karena suaminya wafat. Dalam hal ini , ulama

bersepakat bahwa boleh melakukan pinangan secara kina@yah

(sindiran). Karena hak suami sudah tidak ada.

b. Tidak dalam masa ‘iddah karena t{ala@q raj’iy, sekalipun dengan

cara sindiran. Karena dalam masa ‘iddah karena t{ala@q raj’iy,

suami wanita tersebut masih memiliki hak atas dirinya.

c. Pendapat ulama mengenai hukum meminang wanita yang

sedang dalam t{ala@q ba@’in, baik s{ugra@ maupun kubra@, terbagi

atas dua pendapat, yaitu:

1) Ulama Hanafiyah mengharamkan pinangan pada wanita

yang sedang dalam t{ala@q ba@’in dengan alasan dalam t{ala@q

ba@’in sugra@ suami masih memiliki hak untuk kembali pada

istri dengan akad yang baru. Sedangkan dalam t{ala@q ba@’in

kubra@, keharamannya disebabkan karena dikhawatirkan

dapat membuat wanita itu berbohong tentang batas akhir

‘iddahnya, dan bisa jadi lelaki yang meminang wanita

(42)

35

tersebut merupakan penyebab dari kerusakan perkawinan

yang sebelumnya.

2) Jumhur Ulama berpendaoat bahwa khit{bah atas wanita yang

sedang dalam ‘iddah t{ala@q ba@’in diperbolehkan, berdasarkan

keumuman dari surat al-ba@qarah ayat 235 dan bahwa sebab

adanya t{ala@q ba@’in suami tidak lagi berkuasa atas istri karena

perkawinan diantara mereka telah putus. Sehingga adanya

khit{bah secara sindiran ini tidak mengindikasikan adanya

pelanggaran atas hak suami yang mentalak.27

d. Tidak dalam pinangan orang lain. Hukum meminang pinangan

orang lain adalah haram, karena dapat menghalangi hak dan

menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan

kekeluargaan, dan mengganggu ketentraman. Berdasarkan hadis

Rasulullah saw.

ْبا ْنَع

ِيِب لا ِنَع َرَمُع ِن

لَص

َا َلاَق َمّلَس َو ِيَلَع ُه ي

ِبَي

ُعْي

ّرلا

َع ُلُج

ِعْيَ ب يَل

ْخَي َاَو ِْيِخَأ

ُط

ُب

َُل َنَذْاَي ْنَأ ّاِإ ِْيخأ ِةَبْطِخ يَلَع

28

Artinya: dari Ibnu ‘Umar, Nabi saw. bersabda, ‚seseorang tidak boleh membeli barang yang dibeli oleh saudaranya dan jangan meminang atas pinangan saudaranya hingga ia mengizinkan.‛

Menurut Ibnu Qasim, yang dimaksud larangan di sini

adalah apabila lelaki sholeh meminang wanita yang dipinang

27 Ibid., 6497-6499.

(43)

36

orang sholeh pula. Sedangkan apabila lelaki sholeh meminang

wanita yang dipinang orang yang tidak sholeh, maka pinangan

semacam itu diperbolehkan.

Meminang wanita yang telah dipinang orang lain

dihukumi haram apabila perempuan tersebut telah menerima

pinangan yang pertama dan walinya telah jelas-jelas

mengizinkannya. Sehingga peminangan tetap diperbolehkan

apabila:

a. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara

terang-terangan maupun sindiran

b. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah

dipinang oleh orang lain.

c. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah.

d. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk

meminang wanita.29

Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan

menikah dengannya setelah ia menerima pinangan pertama,

maka ulama berbeda pendapat, yaitu:

a. Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah, karena

meminang bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu,

(44)

37

pernikahannya tidak boleh di-fasakh sekalipun mereka

telah melanggar ketentuan khit{bah.

b. Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan dengan

peminang kedua harus dibatalkan baik sesudah maupun

sebelum persetubuhan.30

c. Pendapat ketiga berasal dari kalangan Malikiyah yang

menyatakan bahwa bila dalam perkawinan itu telah terjadi

persetubuhan, maka perkawinan tersebut tidak dibatalkan,

sedamgkan apabila dalam perkawinan tersebut belum

terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus

dibatalkan.

Perbedaan pendapat di antara ulama di atas disebabkan

oleh perbedaan dalam menanggapi pengaruh pelarangan

terhadap batalnya sesuatu yang dilarang. Pendapat yang

mengatakan bahwa perkawinannya sah beranggapan bahwa

larangan tidak menyebabkan batalnya apa yang dilarang,

sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak

sah dan harus dibatalkan beranggapan bahwa larangan

menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.31

30 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 78.

(45)

38

E. Akibat Khit{bah

Khit{bah adalah perjanjian untuk mengadakan pernikahan, bukan

pernikahan. Sehingga terjadinya khit{bah tidak menyebabkan bolehnya

hal-hal yang dihalalkan sebab adanya pernikahan. Akan tetapi,

sebagaimana janji pada umumnya, janji dalam peminangan harus

ditepati dan meninggalkannya adalah perbuatan tercela.32

Khit{bah tidak memiliki implikasi hukum sebagaimana yang

dimiliki oleh akad nikah, hubungan seorang lelaki dan perempuan yang

terikat dalam khit{bah tetap seperti orang asing, sehingga khalwat di

antara mereka dapat dihukumi haram. Akan tetapi, jika ada mahram

yang menemani mereka, maka hal ini diperbolehkan.33

Khalwat adalah berduanya seorang lelaki dan perempuan yang

bukan mahram dan belum terikat dalam perkawinan di suatu tempat.

Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan, mereka dilarang

untuk berdua dalam satu tempat.

نَوُلْخَي َا

ا نِإَف َُل لِحَت َا ِةأَرْماِب ُلُجَر

اَمُهُ ثِلاَث َناَطْيّشل

34

Artinya: Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaitan

Hadits di atas menyatakan bahwa hukum khalwat adalah haram,

namun ternyata ada pula khalwat yang diperbolehkan. Khalwat yang

32 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. ket-1, 1995)

33Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 83-84.

(46)

39

diharamkan adalah khalwat yang tidak terlihat dari pandangan orang

banyak sedangkan khalwat yang diperbolehkan adalah khalwat yang

dilakukan di depan orang banyak, sekalipun mereka tidak mendengar

apa yang menjadi pembicaraan lelaki dan perempuan tersebut. Hal yang

diperbolehkan bahkan disunnahkan dalam khit{bah adalah melihat wanita

yang dikhit{bah.35 Ada dua jenis melihat wanita yang dikhit{bah, yaitu:

1. Mengirim utusan untuk melihat keadaan wanita itu, baik sifat,

kebiasaan, akhlak, maupun penampilannya. Berdasarkan hadits

Rasulullah dalam riwayat Anas bin Malik yang artinya: Rasulullah

saw. mengirim Ummu Sulaym kepada seorang wanita, lalu

Rasulullah memerintahkan untuk memperhatikan pundak, leher, dan

bau wanita tersebut‛.36

2. Melihat pinangan secara langsung. Berdasarkan hadits dari Jabir bin

‘Abdillah r.a:

َلاَقَ ف ، ًةَأَرْما َبَطَخ ٌلُجَر : َةَرْ يَرُ يِبأ ْنَع

ِيِب لا يِْعَ ي

َلَص

َمّلَس َو ِيَلَع ُه ي

ُظْنا :

َلِإ ْر

ا ِنُيْعَأ يِف نِإَف ، اَهي

أ

ٌءْيَش ِراَصْن

َدمحأ اورُ

37

Artinya: Dari Abi Hurayrah: Seorang lelaki meminang seorang wanita, lalu Rasulullah saw. bersabda: Lihatlah wanita tersebut sesungguhnya pada mata orang-orang anshar terdapat sesuatu‛

35Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 83.

36Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, volume 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Cet ke-7, 2006), 930.

(47)

40

Sekalipun ulama telah sepakat tentang kebolehan melihat

wanita yang dipinang, tetapi mereka memberi batasan terhadap apa

saja yang boleh dilihat. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan

batasan yang boleh dilihat, yaitu:

a. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah

wajah dan kedua telapak tangan.

b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang boleh dilihat

adalah wajah, telapak tangan dan kaki.

c. ‘Abdurahman al-Awza’i berpendapat bahwa boleh melihat

daerah-daerah yang berdaging.

d. Imam Daud az-Zahiri berpendapat bahwa seluruh badan wanita

yang dipinang boleh dilihat.

e. Menurut ulama Madzhab Hanbali bagian yang boleh dilihat

terdapat pada 6 tempat, yaitu muka, pundak, kedua telapak

tangan, kedua kaki, kepala (leher) dan betis.

Perbedaan pendapat diantara ahli fiqih ini terjadi karena hadis

yang menjadi dasar kebolehan melihat pinangan hanya

membolehkan secara mutlak tanpa menentukan anggota tubuh mana

yang boleh dilihat. Ulama fikih sepakat bahwa kebolehan melihat

pinangan tidak hanya berlaku pada lelaki saja, akan tetapi wanita

juga boleh melihat lelaki yang meminangnya.38

(48)

41

F. Hikmah Khit{bah

Segala sesuatu yang ditetapkan syari’at Islam pasti memiliki

hikmah dan tujuan, termasuk khit{bah. Adapun hikmah dari adanya

khit{bah adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang

dilakukan setelahnya, karena dengan khit{bah, pasangan yang menikah

telah saling mengenal sebelumnya.39

Wahbah Zuhaily mengatakan bahwa khit{bah merupakan jalan

untuk saling mengenal bagi pasangan yang akan menikah. Dengan

khit{bah, masing-masing pihak dapat saling mempelajari akhlak, tabiat,

dan kecondongan dalam garis yang dibenarkan agama. Sehingga, dapat

ditemukan kompromi yang dapat menjadikan hubungan pernikahan

sebagai sebuah ikatan yang kekal, memberikan ketenangan pada

masing-masing pihak karena mereka dapat hidup bersama dengan

kesejahteraan dan kedamaian, kesenangan dan kecocokan, ketentraman

dan rasa cinta. Hal-hal tersebut merupakan puncak harapan dari setiap

orang yang menikah dan keluarga yang ada di belakang mereka.40

G. Putusnya Khit{bah

Putusnya peminangan terjadi sebab pembatalan dari salah satu

pihak atau kesepakatan diantara keduanya. Peminangan juga usai jika

salah satu pasangan ada yang meninggal dunia.41

39 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, volume 3, 930-931.

40 Wahbah Zuhaily, al-Fiqhul Isklami, Juz 9, 6492

(49)

42

Apabila seorang perempuan membatalkan pinangan karena ada

lelaki lain yang meminangnya, lalu ia menikah dengan peminang

kedua, maka perbuatan wanita tersebut haram namun pernikahannya

tetap sah.42

Ibnu Hajar mengatakan bahwa indikasi kewajiban menepati janji

sangat kuat. Akan tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa

menepati janji hukumnya sunnah, sedangkan lainnya berpendapat

bahwa menepati janji merupakan suatu kewajiban. Peminangan juga

termasuk komitmen atau janji untuk melakukan akad, oleh karena itu

membatalkan peminangan makruh menurut mayoritas ulama’ dan

haram menurut sebagain lainnya. Hal ini berlaku jika pembatalan

peminangan memiliki sebab-sebab yang jelas, maka hukumnya

mubah.43

Wali atau tunangan yang menarik kembali janjinya tanpa suatu

alasan yang jelas hukumya makruh, namun tidak sampai haram.

Perumpamaannya adalah seperti se

Gambar

TABEL 1 Keadaan penduduk Kelurahan Kampung Baru berdasarkan
Tabel diatas memberikan penjelasan bahwa kebanyakan
TABEL 2
TABEL 1
+2

Referensi

Dokumen terkait

lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bermartabat serta menjiwai

Untuk diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien akan mempertahankan bersihan jalan napas yang efektif

Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Iriansyah dkk (2019) Penggunaan Youtube tak hanya mengalami hasil yang baik dalam keterampilan menyimak dan

bagaimana kerakusan Jepun yang ingin menawan Singapura sehingga mengorbankan banyak askar Melayu. Beliau telah melihat bagaiman perjuangan askar Melayu yang diketuai oleh

Hasil pengamatan yang ditampilkan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian dosis pupuk yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap variabel pengamatan jumlah

Dalam pelaksanaan Tugas Akhir, penulis melakukan pengumpulan data- data yang diperoleh dengan cara mengumpulkan si kepustakaan yaitu dengan pencarian bahan dan

identifikazioa erabili dezakegu Arkeologiaren barneko joera hauek identifikatzeko, izan ere, generoarekin zer ikusia duten lanak biltzen dira ekimen horretan: emakumearen egoera eta

Dengan kontrak 5 tahun tersebut, pemilik warung terutama warung dengan kapital rendah akan terbantu dari segi kapital resiko kekurangan modal yang menjadi dasar untuk melanjutkan