ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Sambulgana dalam Perkawinan Adat Suku Kaili (Studi Kasus di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi Tengah)” merupakan penelitian yang dilakukan di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi Tengah. Penenelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan: 1. Bagaimana deskripsi tradisi sambulgana dalam perkawinan adat suku Kaili di Kampung Baru?. 2. Bagaimana analisis Hukum Islam terhadap ketentuan tradisi sambulgana tersebut?
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field Research) yang menggunakan teknik dokumentasi dan wawancara sebagai metode pengumpulan data. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur yang hanya memuat pertanyaan-pertanyaan pokok permasalahan yang ditanyakan pada tokoh adat, tokoh agama, masyarakat yang melakukan tradisi tersebut, serta aparatur di Kampung Baru. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan pola pikir induktif deduktif dengan metode deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: tradisi sambulgana telah dilakukan oleh masyarakat suku Kaili secara turun temurun dan masih terus dipraktekkan hingga sekarang. Bentuk sambulgana tediri dari uang, barang/benda atau hewan tertentu berdasarkan permintaan pihak perempuan. Pada awalnya tujuan sambulgana adalah untuk meringankan biaya upacara pernikahan dari pihak perempuan, namun seiring
berjalannya waktu sambulgana juga mengalami perkembangan dan membawa
dampak yang kurang baik. Seseorang yang menikah dengan nominal sambulgana
yang tinggi akan meningkatkan prestise orang tuanya di mata masyarakat dan
sambulgana juga merupakan cara untuk menolak perkawinan.
Semua ketentuan tradisi sambulgana ada yang sesuai dengan hukum Islam dan ada yang tidak sesuai. Sambulgana yang tidak sesuai misalnya Sambulgana juga dijadikan alat untuk menghalangi perkawinan pasangan yang saling mencintai dengan meminta nominal yang sangat tinggi kepada pihak laki-laki.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
MOTTO ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ...vi
DAFTAR ISI ...viii
DAFTAR TRANSLITERASI ...xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional... 15
H. Metode Penelitian... 16
I. Sistematika Penulisan... 22
BAB II Khitbah Dan ‘Urf ... 25
A. Pengertian Khitbah ... 25
B. Hukum Khitbah ... 27
C. Tata Cara Khitbah ... 29
D. Syarat-Syarat Khitbah ... 31
E. Akibat Khitbah ... 37
F. Hikmah Khitbah ... 40
G. Putusnya Khitbah ... 41
H. Pengertian ‘Urf ... 44
J. Kedudukan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’ ... 48
K. Hukum Dapat Berubah Karena ‘Urf ... 50
BAB III TRADISI SAMBULGANA DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU KAILI DI KAMPUNG BARU KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH ... 53
A. Gambaran Umum Kampung Baru ... 53
B. Konsep Sambulgana Dalam Tradisi Perkawinan Adat Suku Kaili Di Kampung Baru ... 62
C. Pandangan Tokoh Masyarakat Tentang Tradisi Sambulgana Dalam Perkawinan Adat Suku Kaili Di Kampung Baru ... 68
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI SAMBULGANA ... 70
A. Analisis Terhadap Ketentuan tradisi Sambulgana dalam Perkawinan Adat Suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah ... 70
B. Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Sambulgana dalam Perkawinan Adat Suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Kaili Kepulauan Sulawesi Tengah ...73
BAB V PENUTUP ... 81
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis
(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.
Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai
berikut:
A. Konsonan
No Arab Indonesia Arab Indonesia
1. ا ’ ط t}
2. ب B ظ z}
3. ت T ع ‘
4. ث Th غ Gh
5. ج J ف F
6. ح h} ق Q
7. خ kh ك K
8. د d ل L
9. ذ dh م M
10. ر r ن N
11. ز z و W
12. س s ه H
13. ش sh ء ’
14. ص s} ي Y
15. ض d}
Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers.
Disertasions(Chicago and London: The University of Chicago
B. Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong) Tanda dan
Huruf Arab Nama Indonesia
__َ__ fath}ah A
__ِ__ kasrah I
__ُ__ d}ammah U
Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika
hamzah berh}arakatsukun atau didahului oleh huruf yang
berh}arakatsukun. Contoh: iqtid}a> ’ (ءﺎﺿﺗﻗا)
2. Vokal Rangkap (diftong) Tanda dan
Huruf Arab
Nama Indonesia Ket.
ْﻲـــَـــــــــ fath}ah dan ya’ ay a dan y ْﻮـــُـــــــــ fath}ah dan wawu au a dan w
Contoh : bayna ( نﯾﺑ )
: mawd}u>’ ( عوﺿوﻣ )
3. Vokal Panjang (mad) Tanda dan
Huruf Arab
Nama Indonesia Ket.
ﺎـــــــــــــــَـــــــ fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ﻲــــــِــــــــ kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas ﻮــــــــــُـــــــــ d}ammahdan wawu u> u dan garis di atas Contoh : al-jama>’ah (ﺔﻋﺎﻣﺟﻟا)
: takhyi}>r (رﯾﯾﺧﺗ)
: yadu>ru (رودﯾ)
C. Ta>’ Marbu>t}ah
Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua :
2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.
Contoh : shari>‘atal-Isla>m (م ﺳ ا ﺔﻌ ﺮﺷ)
: shari>‘ahisla>mi>yah (ﺔﻌ ﺮﺷﺔ ﻣ ﺳإ)
D. Penulisan Huruf Kapital\
Penulisan huruf besar dan kecil pada kata, phrase (ungkapan) atau
kalimat yang ditulis dengan translitersiArab-Indonesia mengikuti ketentuan
BAB I
PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ikatan sosial antar laki-laki dan perempuan
yang akan membentuk hubungan untuk mencapai tujuan yang baik sesuai
dengan syariat Islam demi terciptanya keluarga yang saki>nah mawaddah dan
wa rah{mah. Perkawinan merupakan suatu cara yang ditetapkan oleh Allah
sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan menjaga
kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.1
Manusia diciptakan Allah SWT secara berpasang-pasangan untuk
saling memperkuat iman dan Islam. Oleh karenanya, seringkali Allah SWT
mempertemukan pasangan-pasangan tersebut dengan cara yang tidak
terduga. Perbedaan warna kulit, suku dan bangsa-pun memberi warna yang
indah dalam setiap takdir yang telah Allah SWT tetapkan.
Dalam pandangan Islam, perkawinan bukan hanya urusan perdata
semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi
masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk
memenuhi sunnah Allah SWT dan sunnah Nabi saw. Di samping itu,
perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tapi
2
untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan
pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.2
Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga
bahagia. Dalam KHI Pasal 2 dan 3 disebutkan perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi<tha<qan gali<z}an
untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan
ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sa@kinah,
mawaddah, warah{mah.3 Dalam surah ar-Ru<m ayat 21 juga disebutkan :
نِإ ًةَمْحَر و ة دَوَم ْمُكَْ يَ ب َلَعَجَو اَهْ يَلِإ اوُُكْسَتِل اًجاَوْزَأ ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْنَأ ِِتاَيآ ْنِمَو
َنوُر كَفَ تَ ي ٍمْوَقِل ٍتاَي ََ َكِلَٰذ يِف
Artinya: ‚Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir‛4
Hal ini ditegaskan juga dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Dalam pasal 1 disebutkan:
‚perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.‛ 5
Tujuan mulia perkawinan sebagaimana yang termaktub dalam
al-Qur’an, Undang-Undang Perkawinan dan KHI akan tercapai dengan baik dan
2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta : kencana, Cet. III, 2009), 48.
3 Kompilasi Hukum Islam, Bab II Pasal 2.
3
sempurna, bila sejak proses awal juga dilaksanakan selaras dengan
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama. Di antara proses
yang harus dilalui itu adalah peminangan atau pelamaran.
Kata peminangan berasal dari kata pinang, yang memiliki sinonim
yaitu melamar, yang dalam bahasa Arab disebut Khit}bah (ة ط لا ). Secara
etimologi meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan
istri bagi diri sendiri atau orang lain. Sedangkan menurut terminologi,
peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau pemingangan berarti
seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.6
Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 235:
َاَو
ْمُك نَأ ُها َمِلَع ْمُكِسُفنَأ يِف ْمُتَْ ْكَأ ْوَأ ِءآَسِلا ِةَبْطِخ ْنِم ِِب مُتْض رَع اَميِف ْمُكْيَلَع َحاَُج
ِلا َةَدْقُع اوُمِزْعَ ت َاَو اًفوُرْع م ًاْوَ ق اوُلوُقَ ت نَأ اِإ اًرِس نُوُدِعاَوُ ت ا نِكَلَو نُهَ نوُرُكْذَتَس
ِحاَك
َها نَأ اوُمَلْعاَو ُوُرَذْحاَف ْمُكِسُفنَأ يِف اَم ُمَلْعَ ي َها نَأ اوُمَلْعاَو َُلَجَأ ُباَتِكْلا َغُلْ بَ ي ى تَح
ُُُميِلَح ٌروُفَغ
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah SWT mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah SWT
4
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya,
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.7
Jadi, yang dimaksud Peminangan atau khit}bah adalah upaya ataupun
cara untuk menuju perkawinan dengan cara-cara yang umum diketahui oleh
masyarakat. Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan, yang
waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah atau
jauh-jauh hari sebelum akad nikah dilaksanakan.8
Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa hukum khit}bah adalah sunnah,
sedangkan Imam Dawud mengatakan bahwa khit}bah merupakan kewajiban
yang harus dilaksanakan sebelum adanya prosesi akad nikah. Akan tetapi
seluruh ahli fiqh sepakat bahwa hukum khit}bah menjadi haram jika khit}bah
dilakukan pada wanita yang berada dalam pinangan orang lain.9
Peminangan adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului
perkawinan dan menurut kebiasaan setelah waktu itu dilangsungkan akad
perkawinan. Namun, peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang
mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau perempuan yang
dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan
pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerimanya.
Meskipun demikian, pemutusan peminangan mestinya dilakukan
secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang diberikan
dalam acara peminangan tersebut tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan
7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 38
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan...., 50
5
mahar yang diberikan kemudian dalam perkawinan. Dengan demikian,
pemberian tersebut dapat diambil kembali jika peminangan itu tidak
berlanjut dengan perkawinan. 10
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pelamaran atau peminangan
merupakan pola yang umum dilakukan dalam masyarakat. Maksudnya
adalah pola yang dapat ditemui pada setiap masyarakat (hukum adat) yang
ada di Indonesia ini. Cara yang dilakukan dalam melakukan pelamaran pada
hakekatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaannya (kira-kira)
terdapat pada alat atau sarana pendukung dari proses melamar itu.11
Bila peminangan atau lamaran telah diterima dengan baik oleh pihak
yang dilamar, maka mungkin tidak sekaligus mengakibatkan perkawinan,
akan tetapi mungkin dilakukan pertunangan terlebih dahulu. Pertunangan
baru akan mengikat kedua belah pihak pada saat diterimanya hadiah
pertunangan yang merupakan alat pengikat atau benda yang kelihatan, yang
kadang-kadang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau
dari kedua belah pihak (Batak, Minangkabau, kebanyakan Suku Dayak,
beberapa suku Toraja dan Suku To Mori).12
Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara pihak
yang saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap ada perjanjian.
Suatu perjanjian belum tentu akan terus mengikat para pihak walaupun telah
disepakati. Supaya perjanjian yang disepakati dapat mengikat, harus ada
10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan.., 57.
6
tanda ikatan. Tetapi dengan adanya ikatan belum tentu suatu perjanjian itu
dapat dipenuhi. Tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak dimana keduanya berkewajiban memenuhi perjanjian
yang telah disepakati itu. Istilah yang dikenal dalam adat jawa sebagai tanda
jadi adalah Panjer khususnya dalam perjanjian kebendaan, walaupun
terkadang juga dipakai dalam hubungan perkawinan.13 Namun, secara umum
yang terkenal dalam istilah perjanjian dalam hubungan perkawinan adalah
Peningsetan.14
Peningset yang dalam tradisi Jawa biasanya diberikan dalam proses
lamaran, dalam perkawinan adat suku Kaili di Kampung Baru, Kecamatan
Palu Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, diberikan sebelum
berlangsungnya proses akad nikah. Sedangkan untuk menentukan jumlah
harta yang diberikan pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan
atas permintaan pihak perempuan atau disebut juga sambulgana menurut
suku Kaili, maka akan ada pertemuan antara pihak suami dan pihak istri
setelah adanya lamaran untuk menentukan besarnya jumlah sambulgana
yang harus diserahkan sebelum akad nikah. Biasanya strata sosial atau
tingkat pendidikan wanita yang akan dilamar menjadi tolok ukur untuk
menentukan besarnya jumlah sambulgana. Sambulgana tersebut biasanya
7
berupa uang, hewan atau benda-benda tertentu yang akan digunakan untuk
keperluan perkawinan dan untuk kedua orang tua .15
Sambulgana yang telah di sepakati menjadi kewajiban pihak laki-laki
untuk memenuhinya. Jika sampai waktu yang ditentukan berdasarkan
kesepakatan sambulgana tidak dapat dibayarkan, maka perkawinan tidak
dapat dilaksanakan. Sambulgana ini tidak hanya semata-mata untuk
kepentingan materiil saja, hal ini dikarenakan sambulgana ini juga dilakukan
selain untuk menjalankan adat suku Kaili yang sudah turun-temurun, juga
untuk menguji kelayakan ataupun kemapanan dari mempelai pria, apakah dia
sudah siap secara materiil untuk menikah atau belum dan sambulgana juga
biasanya digunakan untuk menolak mempelai pria, apabila keluarga wanita
tidak menyukai mempelai pria tersebut, dengan cara meninggikan
permintaan sambulgana dan harus dipenuhi dalam jangka waktu yang
singkat.
Pelaksanaan sambulgana ini memang memberatkan pihak laki-laki,
hal ini karena mereka yang berkewajiban membayar kepada pihak mempelai
perempuan dengan harta yang sudah disepakati. Bagaimana pandangan Islam
terhadap tradisi sambulgana menurut hukum Islam perspektif ‘urf?
‘Urf adalah adat kebiasaan yang dipandang baik oleh akal dan
diterima oleh tabiat manusia yang sejahtera. Jadi, yang dimaksud dengan
‘urf menurut hukum Islam sebagai sumber hukum adalah bukan hanya adat
kebiasaan masyarakat Arab saja, tetapi semua adat kebiasaan yang berlaku
8
di masing-masing masyarakat atau tempat.16 ‘Urf adalah salah satu metode
ijtihad yang dilakukan para ulama dalam menetapkan hukum suatu
kebiasaan yang baik dalam masyarakat. Mereka mengacu pada ayat:
ََيِلِاَْْاََِنَعََْضِرْعَأَوََِفْرُعْلاِبََْرُمْأَوَََوْفَعْلاََِذُخ
Artinya:‛Jadiah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.‛
Berdasarkan dalil di atas sebagai dalil hukum, maka ulama, terutama
ulama Hanafiyah dan Malikiyah merumuskan kaidah hukum yang berkaitan
dengan ‘urf, antara lain:
َ كََُُُةَداَعلا
َ ةَم
Artinya: adat kebiasaan dapat menjadi hukum
يِعْرَشَلْيِلَدِبَ تِباَثَ ِفْرُعلِابَُتِباّثلا
Artinya: yang berlaku berdasarkan ‘urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara’.
Namun tidak semua adat kebiasaan atau ‘urf dapat dijadikan hukum,
maka adat kebiasaan atau ‘urf terbagi menjadi dua, yaitu:
a.‘Urf s}ah}i<h} adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash,
tidak menghilangkan maslahat, dan tidak menimbulkan mafsadah,
seperti membayar sebagian mahar dan menangguhkan sisanya.
9
b.‘Urf fa<sid adalah adat kebiasaan yang bertentangan dengan nash,
menimbulkan mafsadah, dan menghilangkan maslahat, seperti
melakukan transaksi yang berbau riba.17
Para ulama sepakat bahwa hanya ‘Urf s}ah}i<h yang dapat dijadikan
dasar hukum dan dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam.
18Maka dengan adanya penelitian ini dapat memberi sumbangan pemikiran
terhadap masyarakat Kampung Baru atas kebiasaan yang biasa dilakukan.
Apakah itu termasuk ‘Urf s}ah}i<h atau ‘Urf fa<sid .
Dalam skripsi ini membahas apa saja yang melatar belakangi
terjadinya adat Sambulgana, serta bagaimana perspektif ‘Urf terhadap adat
Sambulgana yang terjadi di Kampung Baru. Berangkat dari hal tersebut,
maka penyusun tertarik untuk menelitinya sehingga dirumuskan dalam
sebuah judul penelitian skripsi yang berbunyi: Analisis Hukum Islam
Terhadap Tradisi ‚Sambulgana‛ dalam Perkawinan Adat Suku Kaili (studi
Kasus di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi
Tengah).
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
maka dapat dituis beberapa identifikasi masalah sebagai berikut :
17 Sulaiman Abdullah, sumber Hukum Islam, Permasalahan Dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 78
10
1.Deskripsi Tradisi sambulgana pada masyarakat suku Kaili di Kampung
Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi Tengah
2.Dasar dilakukannya tradisi sambulgana
3.Faktor penyebab tradisi sambulgana dapat membatalkan atau
menghambat terjadinya akad nikah pada suku Kaili di Kampung Baru
Kecamatan Palu Barat Kota Palu
4.Ketentuan sambulgana dalam hukum Islam perspektif ‘Urf.
5.Analisis hukum Islam terhadap tradisi sambulgana dalam perkawinan
adat suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu
Sulawesi Tengah.
Berdasarkan indetifikasi masalah yang telah dilakukan, maka
penelitian ini hanya terfokus meneliti masalah sebagai berikut:
1.Deskripsi Tradisi sambulgana pada masyarakat suku Kaili di Kampung
Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi Tengah
2.Analisis hukum Islam terhadap tradisi Sambulgana dalam perkawinan
adat Suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu
Sulawesi Tengah.
C. Rumusan Masalah
Berdasar dari judul penelitian, latar belakang dan batasan masalah
diatas, maka penulis merumuskan masalah pokok dalam penelitian ini adalah
11
1. Bagaiman deskripsi tradisi ‚Sambulgana‛ dalam perkawinan adat Suku
Kaili di di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Kabupaten
Kaili Kepulauan Sulawesi Tengah?
2. Bagaimana analisis Hukum Islam dan ‘Urf terhadap tradisi
‚Sambulgana‛ dalam perkawinan adat Suku Kaili di Kampung Baru
Kecamatan Palu Barat Kota Palu Kabupaten Kaili Kepulauan Sulawesi
Tengah?
D. Kajian Pustaka
Setelah penulis melakukan penelitian, belum ditemukan penlitian
yang secara khusus membahas tentang tradisi Sambulgana, namun beberapa
skripsi yang memiliki kesamaan dengan pembahasan skripsi akan penulis
angat tersebut antara lain :
1.Skripsi yang ditulis oleh Nur Wahid Yasin tentang ‚Tinjauan Hukum
Islam terhadap Sanksi Pembatalan Peminangan (Study kasus di Desa
Ngreco, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo). Berdasarkan hasil
penelitian tersebut terjawab bahwa masyarakat desa ngreco sebagai
bagian dari masyarakat jawa dalam memenerapkan sanksi pembatalan
pertunangan dimaksudkan untuk mengutan perjanjian pertunangan
sebelum menikah dengan harapan tidak akan terjadi pembatalan
peminangan yang dapat menyebabkan permusuhan yang akan
mengancam keselamatan jiwa, harta, dan akal. Dengan teori Sad
12
dengan tujuan sebagaimana yang disebutkan diatas diperbolehkan
menurut hukum Islam.19
2.Skripsi yang ditulis oleh Siti Nurhayati tentang ‚Ganti Rugi pembatalan
Khitbah dalam tinjauan Sosiologis (Studi Masyarakat Pulung Rejo,
Kecamatan Rimbo Ilir, Jambi)‛. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
bahwa gantu rugi pembatalan khitbah dimaksudkan untuk menjegah
adanya kegagalan pernikahan dan mencegah agar tidak terjadi konflik
dalam hubungan kemasyarakatan.20
3.Skripsi yang ditulis oleh Edi Daru Wibowo tentang ‚Tinjauan Hukum
Islam terhadap Denda Pembatalan Khitbah (Studi kasus di Kecamatan
Donorojo Kabupaten Pacitan)‛. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
jawaban bahwa pengenaan denda terhadap pihak yang membatalkan
khitbah disebut Bunderan. Lembaga bunderan berisi penetapan jumlah
denda dan penentuan waktu pelaksanaan akad nikah sesuai kesepakatan.
Menurut hukum Islam, lembaga buderan merupakan bagian dari ‘urf
yang diperbolehkan.21
4.Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Safi’i tentang ‚Tinjauan Hukum Islam
terhadap praktik pemberian uang antaran dalam pinangan di Desa Silo
Baru kecamatan Air Joman kabupaten Asahan Sumatera utara‛. Adapun
hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa
19 Nur Wahid Yasin, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap sanksi Pembatalan Pertunangan (Studi kasus di Desa ngreco), Kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo)‛, (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010).
13
praktek pemberian uang antaran tersebut dkategorikan dalam 2 macam,
yaitu yang bermaksud meringankan biaya pelaksanaan perkawinan dan
ini sejalan dengan hukum Islam. Yang kedua adalah uang antaran yang
semata-mata hanya untuk meningkatkan gengsi atau prestise tidak
dibenarkan dalam hukum Islam karena bertentangan dengan dalil-dalil
Syar’i.22
5. Skripsi yang ditulis oleh Sisnawati Ladjahia tentang ‚Analisis Hukum
Islam Terhadap Tradisi Pasai Dalam Perkawinan Adat Suku Banggai
(Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totiokum Kabupaten
Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah)‛. Penelitian ini lebih
kepada deskripsi secara detail tentang tradisi pasai dalam perkawinan
adat suku Banggai di desa Kombutokan, serta kesesuaian tradisi tersebut
jika ditnjau dari perspektif hukum Islam.23
Adapun peneletian penulis ini selain mendeskripsikan tentang tradisi
sambulgana, juga dilakukan untuk menjalankan adat suku Kaili yang sudah
turun-temurun, dan untuk menguji kelayakan ataupun kemapanan dari
mempelai pria, apakah dia sudah siap secara materiil untuk menikah atau
belum dan sambulgana biasanya dapat digunakan untuk menolak mempelai
pria, apabilan keluarga wanita tidak menyukai mempelai pria tersebut,
dengan cara meninggikan permintaan sambulgana dan harus dipenuhi dalam
22 Ahmad Syafi’i, ‚Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pemberian uang antaran dalam pinangan di Desa Silo Baru kecamatan Air Joman kabupaten Asahan Sumatera Utara‛, (Skripsi— UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).
14
jangka waktu yang singkat dan analisis Hukum Islam dan menurut
perspektif ‘Urf.
Jadi, skripsi yang penulis susun dengan judul Analisis Hukum Islam
Terhadap Tradisi Sambulgana dalam Perkawinan Adat Suku Kaili (Studi
Kasus di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi
Sulawesi Tengah) adalah penelitian yang baru dan belum pernah
dipublikasikan sebelumnya.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1.Menjelaskan deskripsi tradisi Sambulgana dalam perkawinan adat Suku
Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Sulawesi
Tengah.
2.Menjelaskan analisis Hukum Islam dan‘Urf terhadap tradisi Sambulgana
dalam perkawinan adat Suku Kaili di Kampung Baru Kecamatan Palu
Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya
untuk dua hal dibawah ini :
1.Kegunaan Teoretis; Menambah khazanah literatur pengetahuan ilmiah
keislaman khususnya di bidang ilmu Hukum Islam.
15
1.Memberikan manfaat bagi peneliti;
2.Memberikan manfaat bagi masyarakat muslim di wilayah di
Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu
Provinsi Sulawesi Tengah;
3.Memberikan manfaat bagi peneliti selanjutnya.
G. Definisi Operasional
Agar terhindar dari kesalahpahaman dalam menginterpretasikan arti
dan maksud dari judul ini, maka perlu ditegaskan beberapa istilah yang
terdapat didalamnya, yaitu :
1.Hukum Islam (‘Urf): merupakan seperangkat aturan yang didasarkan pada
wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
(dalam hal ini tentang tradisi sambulgana dalam perkawinan adat suku
Kaili) yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang
beragama Islam.24 Hukum Islam dalam hal ini adalah menurut perspektif
‘urf. ‘Urf adalah adat kebiasaan yang dipandang baik oleh akal dan
diterima oleh tabiat manusia yang sejahtera. Jadi, yang dimaksud
dengan ‘urf menurut hukum Islam sebagai sumber hukum adalah bukan
hanya adat kebiasaan masyarakat Arab saja, tetapi semua adat kebiasaan
yang berlaku di masing-masing masyarakat atau tempat.25.
24 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I, (jakarta: kencana Prenada media Group, Cet. Ke-4, 2009), 6.
16
2.Sambulgana : pemberian wajib berupa uang, benda, atau hewan tertentu
sebagai harta dalam perkawinan, dilakukan berdasarkan perjanjian
tertentu yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan setelah
melamar sebagai syarat dapat melangsungkan akad perkawinan.
3.Suku Kaili: merupakan suku etnis terbesar yang mendiami daerah
Sulawesi Tengah. Sebagian besar suku Kaili berada di Palu, yaitu
Ibukota Sulawesi Tengah. Suku Kaili mendiami berbagai daerah di
Sulawesi Tengah yang meliputi, Kota Palu, Kabupaten Donggala,
Kabupaten Sigi Biromaru, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten
Ampana, Kabupaten Poso, dan sebagian kecil di Kabupaten Buol dan
Toli-Toli. Dalam penelitian ini suku Kaili yang di teliti berada di
Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi
Tengah.
Jadi, yang dimaksud dengan judul ini adalah bagamana pandangan
hukum Islam dan ‘Urf dalam tradisi Sambulgana dalam perkawinan adat
suku Kaili terbatas hanya pada Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota
Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
H. Metode Penelitian
Agar penelitian berjalan baik dan lancar serta memperoleh data yang
dapat dipertanggungjawabkan, maka penelitian ini perlu menggunakan
metode tertentu. Adapun metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah
17
1.Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (field
Research). penelitian ini dilakukan dengan mengambil sumber data dari
adat perkawinan di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu
Provinsi Sulawesi Tengah tentang adanya tradisi Pemberian sambulgana
dalam perkawinan serta akibat hukum yang ditimbulkan jika
sambulgana tersebut tidak diberikan sesuai dengan batas waktu yang
telah ditentukan.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif historis.
Pendekatan normatif maksudnya pembahasan dalam penelitian ini
secara normatif didasarkan pada teori dan konsep hukum Islam. Adapun
secara historis artinya penelitian ini akan menelusuri bagaimana
historisitas tradisi Sambulgana di Suku Kaili.
2.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota
Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
3.Data yang Dikumpulkan
Sesuai dengan permasalahan diatas, maka data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini adalah :
a. Proses pelaksanaan Sambulgana dalam perkawinan adat Suku Kaili
di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi
18
b. Faktor yang melatarbelakangi praktek pemberian sambulgana dapat
membatalkan atau mencegah terjadinya akad nikah dalam
perkawinan adat suku Kaili.
c. Data tentang Hukum Islam dan ‘Urf terhadap penyebab tradisi
Sambulgana dapat membatalkan atau menghambat terjadinya akad
perkawinan dalam perkawinan adat suku Kaili di Kampung Baru
Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
4.Sumber Data
Sumber data yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah
dari mana data dapat diperoleh.26 Berdasarkan data yang akan dihimpun
di atas, sumber data dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Sumber data ini diperoleh langsung dari subjek penelitian.
Data ini didapatkan langsung dari lapangan. Adapun yang menjadi
subjek dari penelitian ini adalah pelaku perkawinan,
pemuka-pemuka adat, tokoh agama, pejabat pemerintahan, dan masyarakat
lain yang paham tentang tradisi Sambulgana dalam perkawinan
adat Suku Kaili Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu
Provinsi Sulawesi Tengah serta dokumentasi langsung yang
penulis dapatkan dari subjek penelitian.
b. Sumber Data Sekunder
19
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh
dari pihak lain. Peneliti tidak memperoleh langsung dari subjek
penelitiannya. Data sekunder bisa berwujud data dokumentasi,
laporan, ataupun buku-buku yang sudah tersedia.27
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya :
1) Bida>yat Mujtahid wa Niha>yat Muqtas}id karya Ibn
al-Rushd
2) Ensiklopedi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
3) Al-Fiqh al-Isla@m wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuh}ailiy
4) Fiqh Sunnah Juz 2 karya Sayyid Sabiq
5) Fiqh al-Munakahat karya Abdul Azi@z Muh{ammad Azzam
dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas
6) Hukum perkawinan Adat dengan adat Istiadat dan Upacara
Adatnya karya Hilman Hadikusuma dan buku-buku lain
yang berhubungan dengan adat perkawinan Suku Kaili.
7) Kode Etik Melamar Calon Istri Bagaimana Proses
Meminang Secara Islami karya Syaikh Nada@ Abu@ Ah}mad
20
5.Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan berdasarkan sumber
data diatas, maka penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
sebagai berikut :
a. Wawacara (Interview)
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari
seseorang lainnya dengan mengajukan beberapa
pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.28 Dalam wawancara ini
peneliti terlebih dahulu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang
akan diajukan melalui pedoman wawancara yang mempunyai
keterkaitan dengan Tradisi Sambulgana Dalam Perkawinan Adat
Suku Kaili Di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu
Provinsi Sulawesi Tengah‛. Untuk mendapatkan data, penyusun
melakukan wawancara dengan Yati dan Anca (pelaku perkawinan),
Saifudin Parenrengi (pemuka adat), Hj. Fatmah (tokoh Perempuan),
dan Anwar Mangge (tokoh agama).
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan bahan-bahan dan data-data
penelitian berupa dokumen. Data tersebut diperoleh dari buku profil
Kampung Baru pada tahun 2013 yang isi berupa letak geografis
21
maupun kondisi ekonomi, sosial, budaya masyarakat Suku Kaili di
Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi
Tengah.
6.Teknik Pengolahan Data
Setelah semua data yang diperlukan terkumpulkan, maka penulis
menggunakan teknik berikut ini untuk mengolah data:
a. Editing, yaitu kegiatan memeriksa atau meneliti data yang telah
diperoleh untuk menjamin apakah data tersebut dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak.29 Penulis
memeriksa data-data berupa dokumentasi yang berasal
pemerintahan desa Kombutokan serta hasil wawancara dari para
subjek penelitian kemudian memilah data yang dapat digunakan
untuk mendukung pembahasan.
b. Organizing yaitu mengatur dan menyusun bagian (orang dan
sebagainya) sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang
teratur.30 Setelah data diteliti kemudian penulis menyusun bahan
dalam bagian-bagian yang sistematis, dimana bahan
dikategorisasikan secara teratur sehingga menjadi data yang siap
digunakan untuk keperluan penelitian.
29 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 121.
22
7.Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis.
Data yang diperoleh dalam suatu penelitian tidak akan ada artinya jika
tidak melalui tahap analisis, karena analisis merupakan bagian yang
amat penting dalam penelitian. data yang telah dikumpulkan dapat
diberi arti dan makna yang berguna untuk memecahkan masalah
penelitian melalui analisis.31 Penelitian ini termasuk dalam penelitian
deskriptif karena bertujuan menyajikan data seteliti mungkin tentang
manusia atau gejala lainnya.
Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif. Hal tersebut dikarenakan teknik analisis
yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada data yang tidak bisa
dihitung, bersifat monografis, atau berupa kasus-kasus.32 Pola berpikir
yang digunakan untuk mendeskripsikan data yang telah terhimpun
adalah pola pikir induktif karena berangkat dari sebuah kasus yang
terjadi di Kampung Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi
Sulawesi Tengah, kemudian ditinjau dari Hukum Islam, dalam hal ini
menurut perspektif ‘urf.
I. Sistematika Pembahasan
23
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman dalam penulisan
skripsi ini, penulis membagi masing-masing pembahasan menjadi 5 (lima)
bab dan tiap bab akan diuraikan menjadi sub-sub bab. Secara garis besar,
penjelasannya adalah sebagai berikut :
Bab pertama : merupakan pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua : bab ini membahas tentang khit{bah, pengertian khit{bah,
hukum khit{bah, syarat-syarat dan ketentuan khit{bah serta kajian
tentang‘Urf..
Bab ketiga : menjelaskan hasil temuan dilapangan yang meliputi
tradisi sambulgana dalam adat perkawinan suku Kaili di Kampung Baru
Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Pembahasan ini
terdiri dari kodisi dan latar belakang daerah penelitian, keadaan sosial,
ekonomi, budaya dan keagamaan masyarakat setempat, kemudian
pembahasan dilanjutkan dengan deskripsi ketentuan tradisi sambulgana
dalam adat perkawinan Suku Kaili serta faktor yang menyebabkan tradisi
tersebut dapat membatalkan atau menghabat terjadinya proses akad nikah di
daerah tersebut.
Bab keempat : merupakan analisis dari hasil penelitian yang
penulis lakukan dengan menjawab rumusan masalah tentang deskripsi tradisi
24
tradisi Sambulgana tersebut dalam perkawinan adat suku Kaili di Kampung
Baru Kecamatan Palu Barat Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
Bab kelima : merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan
saran. Kesimpulan berfungsi menjawab rumusan masalah, sementara saran
BAB II
KHIT{BAH DAN ‘URF
A.Pengertian Khit{bah
Sebelum melakukan perkawinan, biasanya tradisi di Indonesia
adalah dilakukannya pertemuan kedua belah pihak calon mempelai
atau dikenal dengan istilah lamaran atau peminangan. Kata
peminangan berasal dari kata ‚pinang‛ dan dalam bahasa arab disebut
ةبطخلا. Lafadz ةبطخلا jika huruf kha’ dikasrah maka memiliki arti
permohonan. Maksudnya adalah permohonan orang yang meminang
untuk menikahi wanita yang dipinang.1 Menurut etimologi, khit{bah
artinya meminta wanita untuk dijadikan istri bagi diri sendiri maupun
orang lain.2 Adapun secara terminologi peminangan ialah kegiatan
upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita.3
Khit{bah merupakan tahapan sebelum perkawinan yang
dibenarkan oleh syara’ dengan maksud agar perkawinan dapat
dilaksanakan berdasarkan pengetahuan serta kesadaran masing-masing
pihak.4
1 Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat, (Surabaya: CV. IMTIYAZ, 2013), 85.
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet. Ke-3, edisi ke-2, 1994), 556.
3 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, cet. Ke-2, 1995), 113.
26
Di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan tentang pengertian
perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mi<tha<qan gali<z}an untuk
mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan
ibadah.5 Sedangkan menurut UU Perkawinan RI No. 1/1974 pasal 1
disebutkan bahwasanya perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.6
Sayyid Sa@biq mendefinisikan khit{bah sebagai suatu upaya untuk
menuju perkawinan dengan cara-cara yang umum berlaku di
masyarakat. Khit{bah merupakan pendahuluan dari perkawinan dan
Allah SWT telah mensyari’atkan kepada pasangan yang akan menikah
untuk saling mengenal.7 Menurut Wahbah az-Zuhaily, bahwa khit{bah
adalah pernyataan keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan
wanita tertentu, lalu pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada
walinya. Pernyataan ini bisa disampaikan secara langsung atau melalui
keluarga lelaki tersebut. Apabila wanita yang dikhit{bah atau
keluarganya sepakat, maka sang lelaki dan wanita yang dipinang telah
5 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2010), 7.
6 UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung: Nuansa Alia, 2012), 76.
27
terikat dan implikasi hukum dari adanya khit{bah berlaku diantara
mereka.8
Sa’id Thalib Al-Hamdani mendefinisikan khit{bah sebagai
permintaan seorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau
seorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk
dikawini, sebagai pendahuluan nikah.9
B.Hukum Khit{bah
Mayoritas ulama’ menyepakati bahwa dalam Islam peminangan
hendaknya dilakukan ketika akan melakukan pernikahan. Seperti dalam
firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 235, yaitu:
ِءآَسِلا ِةَبْطِخ ْنِم ِِب مُتْض رَع اَميِف ْمُكْيَلَع َحاَُج َاَو
َأ
ْمُكِسُفنَأ يِف ْمُتَْ ْكَأ ْو
ُها َمِلَع
اوُمِزْعَ ت َاَو اًفوُرْع م ًاْوَ ق اوُلوُقَ ت نَأ اِإ اًرِس نُوُدِعاَوُ ت ا نِكَلَو نُهَ نوُرُكْذَتَس ْمُك نَأ
َلْعَ ي َها نَأ اوُمَلْعاَو َُلَجَأ ُباَتِكْلا َغُلْ بَ ي ى تَح ِحاَكِلا َةَدْقُع
ُوُرَذْحاَف ْمُكِسُفنَأ يِف اَم ُم
ُُُميِلَح ٌروُفَغ َها نَأ اوُمَلْعاَو
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminangperempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati, Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.10
8 Wahbah az-Zuh{aily, al-Fiqhul Isla@mi wa Adillatuhu, Juz 9, (Damaskus: Da@r al-Fikr, cet. Ke-4, 1997), 6492.
9 Sa’id Thalib al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, cet. Ke-2, 2011), 31.
28
Di dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw banyak disinggung
tentang masalah peminangan atau khit{bah, akan tetapi tidak ditemukan
secara jelas perintah ataupun larangan untuk melakukan peminangan.
Oleh karena itu, tidak ada ulama yang menghukumi peminangan sebagai
sesuatu yang wajib, atau bisa disebut mubah}.11
Sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin bahwa Syaikh Nada@ Abu
Ahmad mengatakan bahwa pendapat yang dipercaya oleh para pengikut
Syafi’i yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hukum khit{bah adalah
sunnah, sesuai dengan perbuatan Rasulullah ketika beliau meminang
Aisyah binti Abu Bakar. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
hukum khit{bah sama dengan hukum pernikahan, yaitu wajib, sunnah,
makruh, h}aram, atau mubah}.12
Imam Ghazali menyatakan bahwa hukum peminangan adalah
sunnah, akan tetapi Imam an-Nawawi menegaskan bahwa pendapat
dalam Madzhab Syafi’iyah menghukumi peminangan sebagai sesuatu
yang mubah.13
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa menurut mayoritas ulama’,
khit{bah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw.
bukanlah suatu kewajiban. Sedangkan menurut Imam Daud az-Zahiri
11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup, cet. Ke-3, 2009), 38.
12 Nada@ Abu@ Ahmad, Kode Etik Melamar Calon Istri, Bagaimana Proses Meminang Secara Islami, ter., Nila Nur Fajariyah, al-Khit{bah Ahkam wa ‘Adab, (Solo: Kiswah Media, 2010), 15.
29
hukum khit{bah adalah wajib. Perbedaan pendapat di antara mereka
disebabkan karena perbedaan pandangan tentang khit{bah yang dilakukan
oleh Rasulullah saw., yaitu apakah perbuatan beliau mengindikasikan
pada kewajiban atau pada kesunnahan.
Khit{bah dihukumi haram apabila meminang wanita yang sudah
menikah, meminang wanita yang ditalak raj’i sebelum habis masa
‘iddahnya, dan peminangan yang dilakukan oleh lelaki yang telah
memiliki empat orang istri. Khit{bah menjadi wajib bagi orang yang
khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera
meminang dan menikah. Sedangkan khit{bah dihukumi mubah} apabila
wanita yang dipinang kosong dari pernikahan serta tidak ada halangan
hukum untuk dilamar.14
C. Tata Cara Khit{bah
Adapun seorang laki-laki yang ingin menyampaikan kehendak
untuk meminang wanita, maka ia perlu mengetahui keadaan wanita
tersebut. Jika wanita yang ingin Ia lamar termasuk wanita mujbiroh,
maka kehendak untuk meminangnya disampaikan pada wali wanita
tersebut.15 Rasulullah saw. bersabda:
14Abu ‘Abdillahi Ibni Ismail Al-Bukhari@y, al-Jami’ al-Shahih Juz 3, Kairo: al Maktabah al-Salafiyah, 1980 H), 358.
30
َ عَ ن
ََ ع
َ رَ وَ ة
ََ ا
َ ن
َ
َ نلا
َ ِبَ
َ صَ ل
َ لاَي
ََ عَ
لَ يَِه
ََ وَ
َ سَ ل
َ مَ
َ خ
َ ط
َ ب
ََ ع
َِئا
َ شَ ة
ََِإ
َ ل
َ ََ
َ ِبَ
َ بَ ك
َ رَ
َ
َا ن ََا مِّا
َ خَ
َ وَ ك
َ
َ فَ,
َ ق
َ لا
َ
َ ََ ن
َ ت
ََ َ
َِخ
َ يَ
َ ِفَ
َِدَ ي
َِنَ
َِلا
ََ وَِك
َ تَِبا
َِهَ
َ وَِ
َ يَ
َ ِلَ
َ ح
َ ل
َ ل
16Artinya: Dari ‘Urwah bahwa Nabi Muhammad saw. meminang
‘Aisyah pada Abu Bakr, lalu Abu Bakr berkata pada Nabi: ‚Sesungguhnya aku adalah saudaramu‛. Lalu Nabi saw. bersabda: ‚Engkau adalah saudaraku dalam agama dan kitab Allah, dan dia (‘Aisyah) halal bagiku.
Apabila wanita yang ingin ia lamar sudah baligh, maka ia bisa
menyampaikan kehendak untuk meminang kepada walinya atau
menyampaikan kepada wanita tersebut secara langsung, berdasarkan
sabda Rasulullah saw. berikut:17
ّمُأ ْنَع
َتاَم اّمَلَ ف ْتَلاَق اَهّ نَأ َةَم َََس
يِبَأ ْنِم ٌرْ يَخ َنْيمِلْسُمْلا يأ ُتْلُ ق َةَم َََس وُبَأ
ُه يَلَص ِها ِلْوُسَر يَلِإ َرَجاَ ٍتْيَ ب ُل وَأ َةَمَلَس
َفَلْخَأَف اَهُ تْلُ ق ْيِنِإ مُث َ َمّلَس َو ِيَلَع
َلِإ َلَسْرأ ْتَلاَق َم لَس َو ِْيَلَع ُها يَلَص ِها َلْوُسَر يِل ُها
ْوُسَر ّي
ُل
َو ِْيَلَع ُها يَلَص ِها
َبِتاَح َم لَس
ْخَي َةَعَ تْلَ ب يِبأ َنْب
ُط ُب
ِ
ُتْلُقَ ف َُل ي
اًتِْب يِل نِإ
ٌرْوُ يَغ اَنأَو
18Artinya: Dari Ummu Sala@mah bahwasanya dia berkata ‚Ketika Abu@ Sala@mah wafat, aku berkata siapakah diantara orang-orang Islam yang lebih baik dari Abu Salamah, dia dan keluarganya pertama kali hijrah pada Rasulullah saw.? Kemudian aku mengucapkan kalimat istirja’ lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.‛ Ummu Salamah berkata: ‚Rasulullah mengutus Hatib bin Abi Balta’ah agar melamarky untuk beliau, lalu aku berkata ‚Sesungguhnya aku memiliki seorang anak dan aku adalah wanita pencemburu.‛
16 Abu Abdillahi Ibni Ismail al-Bukhariy, al-Jami’ al-Shahih, 358.
17 Abdul Wahhab, Kasyful Gimmah, juz 1, 70.
31
Cara penyampaian kehendak peminangan dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu secara jelas (s}arih}) dans ecara sindiran (kina<yah).
Peminangan dikatakan s}arih} apabila peminang melakukannya dengan
perkataan yang dapat dipahami secara langsung seperti ‚aku ingin
menikahi Fulanah‛. Peminangan secara kinayah dilakukan dengan cara
peminang menyampaikan kehendaknya secara sindirian atau memberi
tanda-tanda kepada wanita yang hendak dilamar (bi kina@yah aw
al-qarinah). Seperti: kamu telah pantas untuk menikah.19
Peminangan sunnah dimulai dengan bacaan h}amdalah} dan
pujian-pujian pada Allah SWT. se`rta salawat pada Rasulullah saw. yang
dilanjutkan dengan wasiat untuk bertakwa kepada Allah SWT., setelah
itu barulah laki-laki yang akan meminang menyampaikan keinginannya.
Kesunnahan ini hanya berlaku bagi khit{bah yang boleh dilakukan secara
terang-terangan, tidak pada khit{bah yang hanya boleh dilakukan dengan
cara sindiran.20
D.Syarat-Syarat Khit{bah
Syarat-syarat peminangan ada dua macam, yaitu:
1. Syarat Mustah{sinah
Syarat mustah{sinah adalah syarat yang merupakan anjuran
pada laki-laki yang hendak melakukan peminangan agar meneliti
wanita yang akan dipinangnya sebelum melangsungkan
19 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhul Islami, Juz 9, 6492.
32
peminangan. Syarat mustah}sinah tidak wajib untuk dipenuhi, hanya
bersifat anjuran dan baik untuk dilaksanakan. Sehingga tanpa
adanya syarat ini, hukum peminangan tetap sah.21
Syarat-syarat mustah{sinah tersebut ialah:
a. Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan
laki-laki yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya,
status sosial, dan kekayaan.
b. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan
peranak.
c. Meminang wanita yang jauh hubungan kerabatnya dengan
lelaki yang meminang. Dalam hal ini Sayyidina ‘Umar bin
Khat{t{a@b mengatakan bahwa perkawinan antara seseorang lelaki
dan wanita yang dekat hubungan darahnya akan melemahkan
jasmani dan rohani keturunannya.
d. Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan-keadaan
lainnya yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.22
2. Syarat la@zimah
Syarat la@zimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada
adanya syarat-syarat la@zimah.23 Syarat-syarat tersebut adalah:
21 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), 28.
22 Ibid., 28-30
33
a. Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama
ditinggalkan oleh suaminya.24
b. Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik
keharaman itu disebabkan oleh mahram mu’abbad, seperti
saudari kandung dan bibi, maupun mahram mu’aqqad (mahram
sementara) saudari ipar. Adapun penjelasan tentang
wanita-wanita yang haram dinikahi terdapat dalam firman Allah SWT
surat an-Nisa@ ayat 22-23.
c. Tidak sedang dalam masa ‘iddah. Ulama sepakat atas
keharaman meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas
(sarih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, baik
‘‘iddah karena kematian suami maupun ‘‘iddah karena terjadi
t{ala@q raj’iy maupun ba@’in.25 Allah SWT. berfirman dalam surat
al-Ba@qarah ayat 235:
ْمُكِسُفنَأ يِف ْمُتَْ ْكَأ ْوَأ ِءآَسِلا ِةَبْطِخ ْنِم ِِب مُتْض رَع اَميِف ْمُكْيَلَع َحاَُج َاَو
ًرِس نُوُدِعاَوُ ت ا نِكَلَو نُهَ نوُرُكْذَتَس ْمُك نَأ ُها َمِلَع
ًاْوَ ق اوُلوُقَ ت نَأ اِإ ا
َها نَأ اوُمَلْعاَو َُلَجَأ ُباَتِكْلا َغُلْ بَ ي ى تَح ِحاَكِلا َةَدْقُع اوُمِزْعَ ت َاَو اًفوُرْع م
ُُُميِلَح ٌروُفَغ َها نَأ اوُمَلْعاَو ُوُرَذْحاَف ْمُكِسُفنَأ يِف اَم ُمَلْعَ ي
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan(keinginanmu) dalam hati, Allah mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf.
24 Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan, 51.
34
Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.26
Adapun meminang wanita yang sedang dalam masa ‘iddah
secara sindiran, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. ‘Iddah wanita karena suaminya wafat. Dalam hal ini , ulama
bersepakat bahwa boleh melakukan pinangan secara kina@yah
(sindiran). Karena hak suami sudah tidak ada.
b. Tidak dalam masa ‘iddah karena t{ala@q raj’iy, sekalipun dengan
cara sindiran. Karena dalam masa ‘iddah karena t{ala@q raj’iy,
suami wanita tersebut masih memiliki hak atas dirinya.
c. Pendapat ulama mengenai hukum meminang wanita yang
sedang dalam t{ala@q ba@’in, baik s{ugra@ maupun kubra@, terbagi
atas dua pendapat, yaitu:
1) Ulama Hanafiyah mengharamkan pinangan pada wanita
yang sedang dalam t{ala@q ba@’in dengan alasan dalam t{ala@q
ba@’in sugra@ suami masih memiliki hak untuk kembali pada
istri dengan akad yang baru. Sedangkan dalam t{ala@q ba@’in
kubra@, keharamannya disebabkan karena dikhawatirkan
dapat membuat wanita itu berbohong tentang batas akhir
‘iddahnya, dan bisa jadi lelaki yang meminang wanita
35
tersebut merupakan penyebab dari kerusakan perkawinan
yang sebelumnya.
2) Jumhur Ulama berpendaoat bahwa khit{bah atas wanita yang
sedang dalam ‘iddah t{ala@q ba@’in diperbolehkan, berdasarkan
keumuman dari surat al-ba@qarah ayat 235 dan bahwa sebab
adanya t{ala@q ba@’in suami tidak lagi berkuasa atas istri karena
perkawinan diantara mereka telah putus. Sehingga adanya
khit{bah secara sindiran ini tidak mengindikasikan adanya
pelanggaran atas hak suami yang mentalak.27
d. Tidak dalam pinangan orang lain. Hukum meminang pinangan
orang lain adalah haram, karena dapat menghalangi hak dan
menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan
kekeluargaan, dan mengganggu ketentraman. Berdasarkan hadis
Rasulullah saw.
ْبا ْنَع
ِيِب لا ِنَع َرَمُع ِن
لَص
َا َلاَق َمّلَس َو ِيَلَع ُه ي
ِبَي
ُعْي
ّرلا
َع ُلُج
ِعْيَ ب يَل
ْخَي َاَو ِْيِخَأ
ُط
ُب
َُل َنَذْاَي ْنَأ ّاِإ ِْيخأ ِةَبْطِخ يَلَع
28Artinya: dari Ibnu ‘Umar, Nabi saw. bersabda, ‚seseorang tidak boleh membeli barang yang dibeli oleh saudaranya dan jangan meminang atas pinangan saudaranya hingga ia mengizinkan.‛
Menurut Ibnu Qasim, yang dimaksud larangan di sini
adalah apabila lelaki sholeh meminang wanita yang dipinang
27 Ibid., 6497-6499.
36
orang sholeh pula. Sedangkan apabila lelaki sholeh meminang
wanita yang dipinang orang yang tidak sholeh, maka pinangan
semacam itu diperbolehkan.
Meminang wanita yang telah dipinang orang lain
dihukumi haram apabila perempuan tersebut telah menerima
pinangan yang pertama dan walinya telah jelas-jelas
mengizinkannya. Sehingga peminangan tetap diperbolehkan
apabila:
a. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara
terang-terangan maupun sindiran
b. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah
dipinang oleh orang lain.
c. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah.
d. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk
meminang wanita.29
Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan
menikah dengannya setelah ia menerima pinangan pertama,
maka ulama berbeda pendapat, yaitu:
a. Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah, karena
meminang bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu,
37
pernikahannya tidak boleh di-fasakh sekalipun mereka
telah melanggar ketentuan khit{bah.
b. Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan dengan
peminang kedua harus dibatalkan baik sesudah maupun
sebelum persetubuhan.30
c. Pendapat ketiga berasal dari kalangan Malikiyah yang
menyatakan bahwa bila dalam perkawinan itu telah terjadi
persetubuhan, maka perkawinan tersebut tidak dibatalkan,
sedamgkan apabila dalam perkawinan tersebut belum
terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus
dibatalkan.
Perbedaan pendapat di antara ulama di atas disebabkan
oleh perbedaan dalam menanggapi pengaruh pelarangan
terhadap batalnya sesuatu yang dilarang. Pendapat yang
mengatakan bahwa perkawinannya sah beranggapan bahwa
larangan tidak menyebabkan batalnya apa yang dilarang,
sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak
sah dan harus dibatalkan beranggapan bahwa larangan
menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.31
30 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 78.
38
E. Akibat Khit{bah
Khit{bah adalah perjanjian untuk mengadakan pernikahan, bukan
pernikahan. Sehingga terjadinya khit{bah tidak menyebabkan bolehnya
hal-hal yang dihalalkan sebab adanya pernikahan. Akan tetapi,
sebagaimana janji pada umumnya, janji dalam peminangan harus
ditepati dan meninggalkannya adalah perbuatan tercela.32
Khit{bah tidak memiliki implikasi hukum sebagaimana yang
dimiliki oleh akad nikah, hubungan seorang lelaki dan perempuan yang
terikat dalam khit{bah tetap seperti orang asing, sehingga khalwat di
antara mereka dapat dihukumi haram. Akan tetapi, jika ada mahram
yang menemani mereka, maka hal ini diperbolehkan.33
Khalwat adalah berduanya seorang lelaki dan perempuan yang
bukan mahram dan belum terikat dalam perkawinan di suatu tempat.
Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan, mereka dilarang
untuk berdua dalam satu tempat.
نَوُلْخَي َا
ا نِإَف َُل لِحَت َا ِةأَرْماِب ُلُجَر
اَمُهُ ثِلاَث َناَطْيّشل
34Artinya: Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaitan
Hadits di atas menyatakan bahwa hukum khalwat adalah haram,
namun ternyata ada pula khalwat yang diperbolehkan. Khalwat yang
32 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. ket-1, 1995)
33Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 83-84.
39
diharamkan adalah khalwat yang tidak terlihat dari pandangan orang
banyak sedangkan khalwat yang diperbolehkan adalah khalwat yang
dilakukan di depan orang banyak, sekalipun mereka tidak mendengar
apa yang menjadi pembicaraan lelaki dan perempuan tersebut. Hal yang
diperbolehkan bahkan disunnahkan dalam khit{bah adalah melihat wanita
yang dikhit{bah.35 Ada dua jenis melihat wanita yang dikhit{bah, yaitu:
1. Mengirim utusan untuk melihat keadaan wanita itu, baik sifat,
kebiasaan, akhlak, maupun penampilannya. Berdasarkan hadits
Rasulullah dalam riwayat Anas bin Malik yang artinya: Rasulullah
saw. mengirim Ummu Sulaym kepada seorang wanita, lalu
Rasulullah memerintahkan untuk memperhatikan pundak, leher, dan
bau wanita tersebut‛.36
2. Melihat pinangan secara langsung. Berdasarkan hadits dari Jabir bin
‘Abdillah r.a:
َلاَقَ ف ، ًةَأَرْما َبَطَخ ٌلُجَر : َةَرْ يَرُ يِبأ ْنَع
–
ِيِب لا يِْعَ ي
َلَص
َمّلَس َو ِيَلَع ُه ي
ُظْنا :
َلِإ ْر
ا ِنُيْعَأ يِف نِإَف ، اَهي
أ
ٌءْيَش ِراَصْن
َدمحأ اورُ
37
Artinya: Dari Abi Hurayrah: Seorang lelaki meminang seorang wanita, lalu Rasulullah saw. bersabda: Lihatlah wanita tersebut sesungguhnya pada mata orang-orang anshar terdapat sesuatu‛
35Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 83.
36Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, volume 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Cet ke-7, 2006), 930.
40
Sekalipun ulama telah sepakat tentang kebolehan melihat
wanita yang dipinang, tetapi mereka memberi batasan terhadap apa
saja yang boleh dilihat. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan
batasan yang boleh dilihat, yaitu:
a. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah
wajah dan kedua telapak tangan.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang boleh dilihat
adalah wajah, telapak tangan dan kaki.
c. ‘Abdurahman al-Awza’i berpendapat bahwa boleh melihat
daerah-daerah yang berdaging.
d. Imam Daud az-Zahiri berpendapat bahwa seluruh badan wanita
yang dipinang boleh dilihat.
e. Menurut ulama Madzhab Hanbali bagian yang boleh dilihat
terdapat pada 6 tempat, yaitu muka, pundak, kedua telapak
tangan, kedua kaki, kepala (leher) dan betis.
Perbedaan pendapat diantara ahli fiqih ini terjadi karena hadis
yang menjadi dasar kebolehan melihat pinangan hanya
membolehkan secara mutlak tanpa menentukan anggota tubuh mana
yang boleh dilihat. Ulama fikih sepakat bahwa kebolehan melihat
pinangan tidak hanya berlaku pada lelaki saja, akan tetapi wanita
juga boleh melihat lelaki yang meminangnya.38
41
F. Hikmah Khit{bah
Segala sesuatu yang ditetapkan syari’at Islam pasti memiliki
hikmah dan tujuan, termasuk khit{bah. Adapun hikmah dari adanya
khit{bah adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang
dilakukan setelahnya, karena dengan khit{bah, pasangan yang menikah
telah saling mengenal sebelumnya.39
Wahbah Zuhaily mengatakan bahwa khit{bah merupakan jalan
untuk saling mengenal bagi pasangan yang akan menikah. Dengan
khit{bah, masing-masing pihak dapat saling mempelajari akhlak, tabiat,
dan kecondongan dalam garis yang dibenarkan agama. Sehingga, dapat
ditemukan kompromi yang dapat menjadikan hubungan pernikahan
sebagai sebuah ikatan yang kekal, memberikan ketenangan pada
masing-masing pihak karena mereka dapat hidup bersama dengan
kesejahteraan dan kedamaian, kesenangan dan kecocokan, ketentraman
dan rasa cinta. Hal-hal tersebut merupakan puncak harapan dari setiap
orang yang menikah dan keluarga yang ada di belakang mereka.40
G. Putusnya Khit{bah
Putusnya peminangan terjadi sebab pembatalan dari salah satu
pihak atau kesepakatan diantara keduanya. Peminangan juga usai jika
salah satu pasangan ada yang meninggal dunia.41
39 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, volume 3, 930-931.
40 Wahbah Zuhaily, al-Fiqhul Isklami, Juz 9, 6492
42
Apabila seorang perempuan membatalkan pinangan karena ada
lelaki lain yang meminangnya, lalu ia menikah dengan peminang
kedua, maka perbuatan wanita tersebut haram namun pernikahannya
tetap sah.42
Ibnu Hajar mengatakan bahwa indikasi kewajiban menepati janji
sangat kuat. Akan tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa
menepati janji hukumnya sunnah, sedangkan lainnya berpendapat
bahwa menepati janji merupakan suatu kewajiban. Peminangan juga
termasuk komitmen atau janji untuk melakukan akad, oleh karena itu
membatalkan peminangan makruh menurut mayoritas ulama’ dan
haram menurut sebagain lainnya. Hal ini berlaku jika pembatalan
peminangan memiliki sebab-sebab yang jelas, maka hukumnya
mubah.43
Wali atau tunangan yang menarik kembali janjinya tanpa suatu
alasan yang jelas hukumya makruh, namun tidak sampai haram.
Perumpamaannya adalah seperti se