&
HALILI
Koordinator
Lingkar
Kajian
Demokrasi
dan
HAM
f,lS Universrtas
Negeri
Yogyakarta
ARUS mundur
demokratisasi
di
ln-donesia
tampaknya
sulit
dicegah,
jika
Koalisi
Merah
Putih
tetap
mempertahankan
"banting setir"
pilihan
politfknya
terkait
mekanis-rne
pemilihan kepala daerah
(Pilka-da) oleh
DPRD,
bukan
melalui
pemil
ihan langsung.
Dalarn
bebera-pa hari
ini,
dinamika
politik
belum
berubah. Partai-partal Koalisi
Merah
Putih,
yang m€ngusung
pasangan
Capres-Cawapres
Prabowo-Hatta
Rajasa,
ngototdengan opsi
Pemilihan
Kepala Daerah
melalui
DPRD.
Arus
mundur
tersebut
bisa
dibaca
dari
beberapa
parametar.
Pertama,
Pilkada
secara
langsung
merupakan
konsekuensi
dari
desen-tralisasi
yang berhil.ir
pada otono
daerah.
Otonomi
daerah
memberi-kan
ruang
politik (political
space)
sebesar-besarnya
kepada
daerah
untuk
mengelola pemerintahan
di
tingkat
lokal.
Ruang
politik tersebut
tide;,
semata disediakan
untuk
penlr
lenggara pemerintahan
daerai.
tetapijuga
untuk rakyat, demi
rnela
kukan
ekstensifikasi
partisipss,
melalui
pemilihan kepala
pemerir,
tahan
daerah,
pengawasan,
dl"
kontrol publik.
Dengan
demikia,
u
paya
pol
itik
untu
k
mem
angk
salah satu
saluran
partisipi
Bersarnbunff,ke
Hal
3.Tribunopinimenerima
kiriman
artikelopinitentang
beragam
isu poputer
lokali
regional,
maupun nastonat;
.Melawan
Tirani
raKyat
dalam
menentukankepala daerahnya jelas sebuah
kemunduran,
Kedua,
Pilkada
langsungyang mulai cliadopsi di Indonesia
sejak tahun
2005
mendorong kemandirianpolitik
di
tingkat lokal. Di era Pilkada langsung,kemandirian politik lokal, yang
sebelumnya dipasung oleh sen-tralisasi politik rezim Soeharto,
perlahan-lahan mulai tumbuh. Pendidikan politik secara lebih
masif
di
kalangan masyarakatsipil
berkembang sebagai sinequa non (hal yang harus ada,
Red). Hasilnya,
literasi
politikakar rumput mulai meningkat.
Belakangan,
masyarakatmemanen buah dari transformasi
politik pemilihan kepala daerah.
Pada masa pemilihan kepala daerah oleh DPRD, rekrutmen pemimpin lokal berbasis
elitis-me dan oligarki, bahkan
primor-dialisme. Setelah Pilkada
dilaku-kan secara langsung, populisme
membaik, oligarki mulai mencair,
dan simpul-simpul orang kuat
lokal
pun mulaiterurai.
lmpli-kasinya, muncullah pemimpin-pe-mimpin meritokrat dengan inte-gritas dan kapabilitas ekselen,sepertiJoko Widodo, Herry
Zudr-anto, Ridwan Kamil, BasukiTjahja Purnama, dan Tri Rismaharini.
Jika ruang kontestasi Pilkada
ditarik lagi ke
laci-laci
meja anggota DPRD, maka akap terjadikemunduran
politik
di
tingkatlokal.
Elitisme,
oligarki,
danprimordialisme
politik
akankembali menguat.
Politik uang
Ketiga, voluntarisme potitik
di tingkat lokal semakin
mening-kat. Meskipun politik uang belum
lenyap,
akan
tetapi
Pilkada secara langsung mendedahkanfakta semakin dewasanya publik
dalam
merespons fenomena politik uang.Kalau pada masa lalu politik uang merupakan sesuatu yang
menjamur secara terbuka mela-lui serangan fajar, maka pada
fa-se perkembdngan Pilkada
lang-sung mulai berkembang €lerakan
akar
rumput "Ambil uangnya, jangan pilih orangnya!". Gerakandemikian semakin maju
danbertransformasi menjadi "Tolak uangnya, dan jangan pilih orang,
nyal" Bahkan dalam beberapa
proses elektoral
sepanjang2OI4, terdapat beberapa daerah
setingkat
RTdan
RW berani mencanangkan gerakan"Kam-pung bebas' politik uang" atau
"Kampung antiserangan fajar" .
Saya yakin, iklim dan kualitas
Pilkada langsung akan semakin
steril
dari politik uang dengan semakin meningkatnya literasipolitik masyarakat.
Bila kita cermati, mahalnya
Pilkada
dari
sisi
pengeluarankontestan, sejatinya lebih banyak disebabkan oleh besarnya
ong-l<os partai politik, seperti mahar
politik, mas kawin politik, "oli"
mesin
partai,
dan biaya iklan politik sebagai konsekuensi dariperkembangan ilmu dan praktik
marketing politik.
Mengacu pada beberapa
pa-rameter
tersebut,
tidak
adaalasan substantif untuk meng-ganti Pilkada Langsung dengan
Pilkada oleh DPRD. Jika Koalisi
Sambungan Hal. 1 pendukung Prabowo-Hatta
Raja-sa
memaksakan' perubahantersebut,
nrakahal
itu
harryamempertegas bahwa mereka
adalah para demagog, musuh denlokrasi, sebagaimana pernah
penulis uraikan diharian ini pada
19 Agustus lalu.
Kisruh perubahan UU Pilkada sesungguhnya satu tarikan nafas dengan kontroversi perubahan
UU MD3 sehari sebelum Pilpres, upaya membangun
ketidakpas-tian
hasil Pilpres,
dominasiPimpinan Pansus Tatib DPR, dan kemungkinan "permainan"
si-dang paripurna DPRD DKltentang
penSunduran diri Gubernur Joko
Widodo
(Jokowi).. Semua ituadalah ekspresi egoisme politik Koalisi yang menguasai sekitar
63% suara DPR, bukan tawaran
trasformasi
politik
baru untukkepentingan bersama rakyat. Pamer
soliditas
yang merekadengung-dengungkan hingga kini mengindikasikan bahwa
manu-ver politik
mereka akan terusberlanjut.
Untuk itu, rakyat harus
me-waspadai dan menolak upaya
penjungki rbal
ikan
demokrasi melalui arena politik,DPR.Kon-trol publik harus terus menyala. Media seyogyanya menggiatkan
fungsi
pengawas (watchdog). Mahkamah Konstitusi (MK)seba-gai
penguji konstitusionqlitasproduk legislasi
DPR harusdioptimalkan. Bahkan
di titik
sangat kritis tertentu, Pemerin-tahan Jokowi-Jusuf Kalla mesti