• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK (STUDI KASUS NOMOR.1110 K/PID.SUS/2012 MAHKAMAH AGUNG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK (STUDI KASUS NOMOR.1110 K/PID.SUS/2012 MAHKAMAH AGUNG)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN

PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK

(STUDI KASUS NOMOR.1110 K/PID.SUS/2012

MAHKAMAH AGUNG)

JURNAL

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

AGUS TRIPIKA HANDAYANI SARAGIH 130200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS YURIDIS TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK (STUDI KASUS

NOMOR.1110 K/PID.SUS/2012

MAHKAMAH AGUNG

)

JURNAL

Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

AGUS TRIPIKA HANDAYANI SARAGIH NIM: 130200038 Disetujui Oleh: Penanggung Jawab, (Dr. M. HAMDAN, S.H., M.H.) NIP. 195703261986011001 Pembimbing, (SYARIFUDDIN , SH.,MH.,DFM) NIP. 196305111989031001 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS YURIDIS TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK (STUDI KASUS

NOMOR.1110 K/PID.SUS/2012

MAHKAMAH AGUNG

)

JURNAL

Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

AGUS TRIPIKA HANDAYANI SARAGIH NIM: 130200038 Disetujui Oleh: Penanggung Jawab, (Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.) NIP. 195703261986011001 Pembimbing,

(Dr. MOHAMMAD EKAPUTRA, SH, M.HUM) 197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI MENGENAI PENANGANAN PERKARA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN

TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTIK (ANALISIS PUTUSAN NO.110 K/Pid.Sus/2012 MADIUN)

Syarifudin Sulung, SH., M.Hum. Eka Putra, SH., M.Hum. Agus Tripika Handayani Saragih

ABSTRAK

Dokter yang melakukan praktik kedokteran pada pasien haruslah memiliki surat

izin praktik sehingga dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibn dalam suatu hubungan hukum pasien dan dokter yang berlaku dibawah kekuasaan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum Indonesia. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan bagi penulis yang kemudiann diangkat menjadi rumusan permasalahan, yaitu bagaimana hubungan antara pasien dengan dokter, bagaimana pengaturan hukum mengenai perizinan praktik kedokteran di Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhui hakim menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap pelaku yang tidak memiliki surat izin praktik.

Metode yang digunakan penulis dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan studi hukum kepustakaan. Metode yang digunakan dalam menganalisi data adalah analisis kualitatif.

Kesimpulan dari skripsi ini ialah pengaturan hukum mengenai perizinan praktik kedokteran diatur pada Pasal 36 UU Praktik Kedokteran No.29 Tahun 2004 ,bahwa setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran harus memiliki surat izin praktik. Faktor-faktor hakim menjatuhkan pidana bagi pelaku yaitu faktor yuridis, serta kebijakan hukum bagi pelaku adalah kebijakan hukum pidana yaitu dengan menerapkan hukum pidana penjara satu tahun enam bulan.

*Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**

Dosen Pembimbing I ***Dosen Pembimbing II

(5)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan proses perkembangan kesehatan sehingga perkembangan kesehatan sangat diperlukan bagi permasalahan hukum

kesehatan.1

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal ini tidak terpenuhui, maka

mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.i2

Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleh karena itu adalah suatu hal yang keliru apabila menganggap pasien selalu tidak dapat mengambil keputusan karena ia sedang sakit. Dalam pergaulan hidup normal sehari-hari, biasanya pengungkapan keinginan atau kehendak dianggap sebagai titik tolak untuk mengambil keputusan. Dengan demikian walaupun seorang pasien sedang sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang sehat. Jadi secara hukum, pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang

diperlukan.3

Pelanggaran terhadap kewajiban pasien dapat digunakan sebagai alasan pembelaan diri dokter, manakala pelanggaran kewajiban itu menyebabkan salah diagnosis dokter dan atau salah terapi. Misalnya, pelanggaran kewajiban memberi informasi yang lengkap dan jujur. Jujur artinya benar sesuai dengan yng sebenarnya, tidak dikarang-karang, dan tidak disembunyikan.

1

Ns.Ta’adi, Hukum Kesehatan Sanksi dan Motivasi bagi Perawat, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta: 2013,halaman 1

2

Soerjono Soekanto,Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1983, halaman 37

3

Bahder Jhon Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT.Rineka Cipta, Jakarta:2005, halaman 31

(6)

Pelanggaran kewajiban pasien tersebut tidak serta merta dapat dijadikan alasan pembelaan diri dokter. Masih harus diuji dan dilihat dari sifat dan keadaan serta kewajaran yang berlaku. Keterangan pasien adakalanya tidak wajar. Dokter wajib menilai wajar dan nyata keterangan pasien berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Dalam penilaian dokter bisa terjadi kelalaian, apabila seharusnya dokter menilai keterangan pasien salah namun dokter mempercayainya sebagai benar.

Sebaliknya, kesalahan doktertimbul sebagai akibat terjadinya tindakan yang tidak sesuai, atau tidak memenuhui prosedur medis yang seharusnya dilakukan. Kesalahan seperti ini kemungkinannya dapat terjadi karena faktor kesengajaan. Menurut C.Berkhouwer dan L.D.Vortsman, suatu kesalahan dalam melakukan profesi bisa terjadi karena faktor kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman, dan kurangnya pengertian. Ketiga faktor ini bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam mengambil keputusan atau menentukan penilaian, baik pada saat diagnosa maupun pada saat berlangsungnya

terapi terhadap pasien.4

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi Permasalahan dalam penulisan skripsi ini mengenai adalah mengenai hal-hal berikut:

1. Bagaimana Pola Hubungan Antara Pasien Dengan Dokter?

2. Bagaimana Pengaturan HukumMengenai Perizinan Praktik Kedokteran di Indonesia?

3. Bagaimana Penerapan Hukum Terhadap Dokter yang Melakukan Praktik

Kedokteran Tanpa Memiliki Surat Izin Praktek (Studi Kasus

Nomor.1110K/Pid.Sus.2012 Mahkamah Agung

(7)

II. HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DENGAN DOKTER DAN TANGGUNGJAWAB DOKTER DALAM UPAYA PELAYANAN MEDIS

A. POLA HUBUNGAN ANTARA DOKTER-PASIEN

Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat superioritas dokter terhadappasien dalam bidang ilmu biomedis, hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap yang lainnya. Oleh karena hubungan anatara manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antara manusia.

a. Activyty-Passitivity

Activity-Passivity Relation pola ini berlaku hubungan dokter dengan pasien selayaknya bapak dengan anaknya, yang dilandasi oleh asas kepercayaan (fiduciary relationship), dimana ada anggapan bahwa seorang bapak tidak mungkin mencelakakan anaknya, yang tahu akan keperluan anakanya. kekurangan dari pola ini adalah pada saat si dokter berbuat keliru, lalai atau salah, maka pasien tidak bisa protes tidak punya hak untuk mengeluh dan harus menerima hasil apapun. Pada pola ini hanya aspek medis yang

menjadi perjanjinnya.5

b. Guidance-Cooperation

Hubungan membimbing kerja sama, seperti halnya orangtua dengan remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. Ia berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama. Walaupun dokter mengetahui lebih banyak, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan kerja sama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.

c. Mutual-Participation

Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sama. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya seperti medical check-up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif

5

http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/3842/06bab2_fadlillah_10040010005_s

(8)

berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien dengan ganngguan mental tertentu. Hubungan antara dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu perjanjian atau kontrak. Dimulai dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan, akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu working diagnosis atau diagnosis sementara,bisa juga merupakan diagnosa yang defenitif.

III. PENGATURAN HUKUM MENEGENAI PERIZINAN PRAKTIK

KEDOKTERAN DI INDONESIA

Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha. Izin ialah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi, untuk mengemudikan tingkah laku masyarakat.

A. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.29 TAHUN2004

TENTANG PRAKTIK KEDDOKTERAN

Penyelenggaraan praktik kedokteran haruslah memiliki surat izin praktik yang diatur

dalam Pasal 36:6

“setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”

Dalam Pasal 36 mewajibkan setiap dokter setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik di Indonesia. Semula kewajiban dokter adalah kewajiban hukum administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana oleh sebab diberikan ancaman pidana.

Ketentuan mengenai SIP (Surat Izin Praktik) adalah:7

a. SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat dimana praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004

6

Lihat Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

7

(9)

b. SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004

c. Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004

d. Untuk miliki SIP harus memenuhui tiga syarat sebagaimana diatur dalamPasal 38

ayat (1):8

1) Memiliki Surat Tanda Registrasi yang masih berlaku 2) Memiliki tempat praktik

3) Memiliki rekomendasi dari organisasi

e. Sip tetap berlaku sepanjang Pasal 38 ayat (2):9

1) Surat Tanda Registrasi masih berlaku

2) Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP

Dengan Sengaja Melakukan Praktik Kedokteran Tanpa Memiliki Surat Izin Praktik sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-undang No.29 Tahun

2004 tentang Praktek Kedokteran.10

“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Dari rumusan tersebut apabila dirinci, terdapat unsur-unsurnya.11

Unsur-unsur objektif: 1. Pembuatnya:

a. Dokter b. Dokter gigi

2. Perbuatannya: melakukan praktik kedokteran. 3. Melawan hukum : tanpa memiliki Surat Izin Praktik. Unsur subjektif:

1. Kesalahan : dengan sengaja

8

Lihat Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

9

Lihat Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

10

Lihat Pasal 76 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

11

(10)

B. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN

Pengaturan perizinan dalam UU Tenaga Kesehatan ini diatur dalam Pasal 46

yaitu:12

1. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin.

2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP(surat izin praktik).

3. SIP(surat izin praktik) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya.

4. Untuk mendapatkan SIP (surat izin praktik) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Tenaga Kesehatan harus memiliki

a. STR (surat tanda registrasi) yang masih berlaku b. Rekomendasi dari organisasi profesi

c. Tempat praktik

5. SIP (surat izin praktik) sebagaimana di maksud pada ayat (2) masing-masing berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat

6. SIP (surat izin praktik) masih berlaku sepanjang a. STR (surat tanda registrasi) masih berlaku

b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP

7. Ketentuan ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri

Pasal 8613

1. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

12

Lihat Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan

13

(11)

C. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 512/ MenKes/ Per /IV/ 2007 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

Perizinan tenaga kesehatan diatur dalam: Pasal 2

1. Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran wajib memiliki SIP.

2. Untuk memperoleh SIP, dokter dan dokter gigi yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat praktik kedokteran dilaksanakan dengan melampirkan

a. Fotokopi surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkab dan dilegalisir asli oleh Konsil Kedokteran Indonesia, yang masih berlaku. b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik, atau surat keterangan dari sarana

pelayanan kesehatan sebagai tempat praktiknya.

c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi, sesuai tempat praktik.

d. Pas foto berwarna ukuran 4X6 sebanyak 3 (tiga) lembar dan 3X4 sebanyak 2 (dua) lembar.

3. Dalam pengajuan permohonan SIP sebagaimana pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas permintaan SIP untuk tempat praktik pertama, kedua dan ketiga.

4. Untuk memperoleh SIP kedua dan ketiga pada jam kerja, dokter dan dokter gigi yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah harus melampirkan surat izin dari pimpinan instansi/sarana pelayanan kesehatan dimana dokter dan dokter gigi.

5. Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir I peraturan ini.

C. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 512/ MenKes/ Per /IV/ 2007 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

Bahwa sebagai pelaksana Pasal 38 ayat (3) “ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan Menteri”. Dan pasal 43 “ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri” dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Keokteran. Telah diatur

(12)

penyelenggaraan praktik kedokteran dan dokter gigi dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.1419/MenKes/ Per/ 2005.

Bahwa dalam rangka memenuhui kebutuhan dalam penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi, perlu mengatur kembali Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Perizinan tenaga kesehatan diatur dalam: Pasal 2

1. Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran wajib memiliki SIP.

2. Untuk memperoleh SIP, dokter dan dokter gigi yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat praktik kedokteran dilaksanakan dengan melampirkan

a. Fotokopi surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkab dan dilegalisir asli oleh Konsil Kedokteran Indonesia, yang masih berlaku.

b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik, atau surat keterangan dari sarana pelayanan kesehatan sebagai tempat praktiknya.

c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi, sesuai tempat praktik.

d. Pas foto berwarna ukuran 4X6 sebanyak 3 (tiga) lembar dan 3X4 sebanyak 2 (dua) lembar.

3. Dalam pengajuan permohonan SIP sebagaimana pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas permintaan SIP untuk tempat praktik pertama, kedua dan ketiga.

4. Untuk memperoleh SIP kedua dan ketiga pada jam kerja, dokter dan dokter gigi yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah harus melampirkan surat izin dari pimpinan instansi/sarana pelayanan kesehatan dimana dokter dan dokter gigi.

5. Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir I peraturan ini.

Pasal 314

1. Dokter atau dokter gigi yang telah memenuhui persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diberikan SIP untuk 1 (satu) tempat praktik.

14

(13)

2. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang STR masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP.

3. Bentuk format SIP dokter atau dokter gigi seperti contoh sebagaimana tercantum pada Formulir II Peraturan ini.

Pasal 415

1. SIP dokter atau dokter gigi diberikan paling banyak untuk 3 (tiga) tempat praktik, baik pada sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun praktik perancangan.

2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota langsung memberikan SIP kepada dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR ditempatkan di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah setempat berdasarkan permohonan yang bersangkutan, dan SIP di tempat tersebut sudah terhitung sebagai 1 (satu) tempat praktik.

3. SIP 3 (tiga) tempat praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota lain baik dari Provinsi yang sama maupun Provinsi lain.

4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan SIP harus

mempertimbangkan kesimbangan antara jumlah dokter atau dokter gigi dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.

Pasal 516

1. SIP bagi dokter dan dokter gigi dapat berupa SIP dokter, SIP dokter gigi, SIP dokter spesialis, SIP dokter gigi spesialis, SIP dokter spesialis konsultan dan SIP dokter gigi spesialis konsultan.

2. Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis, dokter spesialis konsultan dan dokter gigi spesialis konsultan berkaitan dengan pemberian SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan STR yang diberikan, ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan pemberian SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan STR yang diberikan, ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan mengikutsertakan Organisasi Profesi, Kolegium Kedokteran dan Kolegium Kedokteran Gigi yang terkait.

3. Dalam hal terdapat keperluan pelayanan medis di daerah, Konsil Kedokteran Indonesia dapat menetapkan STR dokter spesialis atau STR dokter gigi spesialis, berkompeten

15

Lihat Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan No.512/MenKes/ Per/IV/ 2007.

16

(14)

pula sebagai dokter atau dokter gigi sesuai permintaan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atas nama Menteri.

IV. ANALISIS YURIDIS MENGENAI PENANGANAN PERKARA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN TANPA MEMILIKI IZIN PRAKTEK (ANALISIS PUTUSAN NOMOR.110K/Pid.Sus/2012

A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Penanganan Perkara Dokter yang Melakukan Praktik Kedokteran Tanpa memiliki Izin

Dakwaan dalam Putusan No.1110 K/Pid.Sus/2012 berupa dakwaan Kumulatif sesuai dengan bentuk formatnya yang memakai kata penghubung “dan”.

Adapun Terdakwa di dakwa oleh Penuntut Umum adalah sebagi berikut:

1. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 76 Undang-undang RI No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran “setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana diatur dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banayk Rp.100.000,000,00 (seratus juta rupiah)”.

2. Perbuatan Terdakwa sebagaimana ditur dan diancam dalam Pasal 79 huruf C UU.RI.No.29 Tahun 2004 tentang prakti kedokteran “ berupa dengan sengaja tidak memenuhui kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,huruf b,huruf c ,huruf d, huruf e.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa ialah melakukan praktik kedokteran akan tetapi terdakwa tidak memiliki surat izin praktik sehingga terdakwa dapat dikenakan pasal 76 Undang-undang RI No.29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran. 17

Pasal 76 terdapat unsur-unsur yaitu: Unsur-unsur Objektif: 1) Pembuatnya a) dokter b) dokter gigi 17

(15)

2) Perbuatannya: melakukan praktik kedokteran 3) Melawan hukum: tanpa memiliki surat izin praktik Unsur-unsur Subjektifnya:

1) Kesalahan: dengan sengaja

Dari unsur-unsur objektif maupun unsur subjektif dalam pasal ini, terdakwa telah memenuhui semua unsur tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 76. Jadi benarlah jika Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan menggunakan pasal tersebut.

2. Tuntutan

Pada pasal 1 butir 7 KUHAP18 tercantum defenisi penuntutan sebagai berikut:

“penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan Pasal 76 dan Pasal 79 Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Pidana yang dikenakan kepada terdakwa harus memenuhui persyaratan yaitu terpenuhuinya dua unsur pokok dari hukum pidana. Pertama, adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan (kaidah). Kedua, adanya sanksi atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan hukum pidana.

Dengan adanya sanksi-sanksi pidana ini, norma-norma tersebut menjadi peraturan

hukum pidana.19

Dalam Pasal 76 dan 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran terdapat kedua unsur pokok tersebut yaitu norma dan sanksi.

Norma hukum pidana

1. Pasal 7620

Setiap dokter atau dokter gigi yang melaksanakan praktik kedokteran harus memiliki surat izin praktik

2. Pasal 79 huruf C21

18

Lihat Pasal 1 butir 7 KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana)

19

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT.Replika Aditama, 2003), halaman 13

20

Lihat Pasal 76 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

(16)

Setiap dokter atau dokter gigi harus memenuhui kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 yaitu:

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasiakan segala sesuatu yang dikeahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran Sanksi Hukum Pidana 1. Pasal 76

Pidana penjara paling lama 3 Tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000.00 (seratus juta rupiah)

2. Pasal 79

Pidana kurungan 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

Dengan demikian tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum sudah memenuhui unsur pokok hukum pidana, maka tuntutan tersebut benar adanya

3. Putusan

Bahwa judex facti (pengadilan Negeri) tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan secara untuh dan benar,sebab meskipun judex facti sudah menyatakan terpenuhui unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan kesatu Pasal 76 Undang-undang Nomor :29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, namun judex facti keliru dalam hal mengaitkan unsur-unsur dari Pasal 76 tersebut dengan “keadaan darurat” padahal relevansinya karena kondisi pasien bukanlah dalam keadaan darurat, sebab

21

Lihat Pasal 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

(17)

bukanlah Terdakwa telah melakukan pemeriksaan terhadap korban beberapa kali sebelum dioperasi.

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu.

Bahwa terhadap dakwaan kedua Pasal 79 huruf c Undang-undang Nomor : 29 Tahun 2004, setelah dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata dakwaan Kedua inipun telah terbukti dengan pertimbangan bahwa pada tanggal 25 Oktober 2007 sekitar pikul 16.00 WIB, Terdakwa melakukan operasi pengangkatan tumor pada usus besar bagian bawah terhadap pasien YOHANES TRI HANDOKO, yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari Terdakwa selaku operator, dibantu oleh ISMARDIANTORO selaku petugas yang menyiapkan alat-alat, SUDARSONO selaku petugas administrasi.

Bahwa memperhatikan komposisi Tim tersebut, ternyata tindakan medis yang dilakukan Terdakwa dengan melakukan operasi tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), sebagai berikut:

Pelaksanaan operasi besar harus dilakukan oleh tim dokter ahli, sedangkan dalam operasi ini tidak dilakukan oleh tim dokter ahli,melainkan hanya dilakukan oleh Terdakwa sendiri dengan dibantu oleh 4 (empat) orang perwat rumah sakit (Ahli Madya Kesehatan)

Terungkap dari tindakan operasi yang dilakukan oleh Tim Dokter ahli Rumah Sakit RKZ Surabaya, telah menemukan benang jahitan warna hitam yang tertinggal pada usus besar akibat operasi yang dilakukan oleh Terdakwa di Rumah Sakit DKT Madiun pada tanggal 25 Oktober 2007 yang lalu, akibatnya Johanes Tri Handoko meninggal dunia. Perbuatan Terdakwa merupakan conditio sine quanon dan mempunyai hubungan kausal terhadap meninggalnya Johanes Tri Handoko.

Bahwa dengan demikian perbuatan Terdakwa memenuhui unsur-unsur dalam dakwaan Kedua Pasal 79 huruf C Undang-undang Nomor : 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

(18)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dari keseluruhan bab yang ada dalam skripsi ini adalah :

1. Pola hubungan antara dokter dengan pasien terdiri dari:

a. Activyty-Passitivity (Pola hubugan orangtua-anak), disini dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien, dengan suatu motivasi altruistis.

b. Guidance-Cooperation (Hubungan membimbing kerja sama), seperti halnya orangtua dengan remaja.

c. Mutual-Participation Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sama.

2. Pengaturan hukum mengenai Izin Praktik Kedokteran di Indonesia

a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran terdapat pada (Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 76, Pasal 79).

b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan terdapat pada (Pasal 1 ayat 46, Pasal 86).

c. Peraturan Menteri Kesehatan No.512/MenKes/Per/IV.2007 terdapat pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13.

3. Penerapan Hukum terhadap dokter yang melakukan praktik kedokteran tanpa memilki surat izin praktik dalam studi kasus Nomor.1110/K.Pid.Sus/2012 di Madiun, yaitu:

a. Sebagaimana dalam kasus mengenai dokter yang melakukan praktik kedokteran tanpa memilki surat izin praktik dalam studi kasus Nomor.1110/K.Pid.Sus/2012 di Madiun Majelis Hakim menerapkan Pasal 76 UU.RI.No. 29 Tahun 2004 terhadap terdakwa dan terdakwa telah memenuhui unsur pidana dalam pasal tersebut, dengan sengaja melakukan tindakan operasi kepada korban yang seharusnya tindakan operasi hanya dapat dilakukan oleh tim dokter ahli sedangkan terdakwa tidak termasuk dalam tim dokter ahli.

b. Pasal 79 huruf C Junto Pasal 51 telah terbukti bahwa terdakwa melakukan operasi pengangkutan tumor pada usus bagian bawah terhadap pasien jika kita merujuk

(19)

kewajiban dokter haruslah memeberikan pelayanan medis sesuai dengan standar prosedur operasional akan tetapi terdakwa tidak memenuhui standar operasional tersebut.

B. SARAN

1. Hendaknya kepada setiap rumah sakit dalam menerima dokter sebagai tenaga medis yang akan bekerja untuk mengobati dan menyelematkan pasien, terlebih dahulu diperiksa surat izin praktik dan kebenaran setiap dokumen yang diserahkan seperti ijazah lulusan dari kedokteran, dan dokumen lainnya, supaya bagi pasien merasa aman dan nyaman saat berkonsultasi mengenai kesehatan kepada dokter, dan dalam pengobatan dan pemulihan pasien.

2. Hendaknya para dokter meningkatkan ilmunya sesuai dengan kemajuan di bidang teknologi kedokteran dan lebih berhati-hati lagi, serta berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan tingkat keahlian dan kemampuan yang dimilikinya.

3. Dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap para pelaku dalam tingkat pengadilan Negeri baik tindak pidana umum dan maupun kepada para pelaku tindak pidana kesehatan, diharapkan hakim lebih bijaksana untuk mempertimbangkan segala aspek dalam diri terdakwa maupun di luar terdakwa, sehingga putusan hakim dapat mencerminkan keadilan bagi semua pihak.

(20)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

Nasution, Bahder Jhon. 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono. 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhui Penegakan Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Ta’adi, N.S. 2013, Hukum Kesehatan Sanksi dan Motivasi bagi Perawat, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Prodjodikoro Wirjono, 2003, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT.Replika Aditama

Waluyo, Bambang. 1991, Penelitian Hukum Dalam Malpraktek, Jakarta: Sinar Grafika. B. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Undan-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan No.512/ MenKes/ Per/ IV.2007 C. PUTUSAN

Putusan Pengadilan Negeri Kota Madiun No. 79/Pid.Sus/2011/PN.Kd.Mn. Putusan Mahakamah Agung Republik Indonesia No. 1110K/Pid.Sus/2012/MA

Referensi

Dokumen terkait

i. Harga bayangan bibit. Jenis bibit bawang merah yang digunakan yaitu varietas manjung yang merupakan varietas lokal sehingga penentuan harga bayangan dari bibit

Pengolahan citra adalah suatu metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi gambar dalam bentuk 2 dimensi.. Pengolahan citra juga dikatakan sebagai operasi untuk

Jika salah satu dari prinsip induksi matematika tidak dipenuhi oleh suatu pernyataan P ( n ), maka P ( n ) salah, untuk setiap n bilangan asli.. Penguasaan kamu terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk menda- patkan nilai dan kecenderungan nilai tangkapan per unit upaya ( trend CPUE) baku selama sepuluh tahun terakhir, serta proporsi

Yang dimaksud dengan “satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal yang sejenis” adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini jalur

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa aplikasi sistem informasi geografis berbasis android

Pemeriksaan hasil jarak yang telah dilakukan di lapangan dengan hasil data yang ada di dokumen, biasanya memeriksa jarak tempuh saluran optik yang dibangun. 3) Cek Fisik

Adeodatus Yohanes Kopong: “Pengembangan Media Pembelajaran Fisika Ludo In Physics untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik SMA 17 Agustus 1945 Surabaya